30 PRODUKSI EMBRIO KLONING MENCIT DENGAN PENAMBAHAN SCRIPTAID PADA APLIKASI TRANSFER INTI SEL SOMATIS Abstract The low efficiency of reproductive cloning is one of the reasons to explore the use of Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT) for biomedical purpose, specifically through nuclear transfer Embryonic Stem Cell (ntESC) production. Cloned embryos undergo DNA hypermethylation, which is thought to be one of the causes of sub-optimal growth. The objective of the research is to study the development of SCNT technique by adding Scriptaid as an inhibitory enzyme HDAC (histone deacetylase). The methods used include superovulation, enucleation, nuclear transfer, activation and in vitro culture. The first experiment determined the cumulus cell cycle using flow cytometry, while the second experiment was designed to evaluate the success rate of enucleation and nuclear transfer. The third experiment assessed the effect of Scriptaid on in vitro culture of cloned embryos. The results show that cumulus cells used as nuclei donors are in the G0/G1 cell cycle phase. The cumulus cells measure at 5-7 µm in diameter and accounts for 70,84% of the total isolated cumulus cell population. The enucleation process could achieve an efficiency rate of 49%, while the nuclear transfer achieves a 40,8% efficiency rate. The addition of Scriptaid successfully increase the embryonic cloning at the blastocyst stage’s success rate to 10,8%. This efficiency rate is three times higher compared to the control, which only shows a 3,2% success rate. Keywords: Cloning, Scriptaid, mice cloned embryo, cell cyle Abstrak Tingkat efisiensi kloning reproduksi yang relatif sangat rendah menjadi salah satu alasan menjajaki pemanfaatan TISS untuk kepentingan biomedis yaitu memproduksi ntESC. Embrio kloning mengalami hipermetilasi DNA yang diduga merupakan salah satu penyebab perkembangannya tidak bisa optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan teknik TISS dengan perlakuan penambahan Scriptaid sebagai senyawa penghambat enzim HDAC (histones deacetylases). Metode yang digunakan meliputi superovulasi, enukleasi, transfer inti, aktivasi, kultur in vitro. Penelitian pertama, menentukan tahap siklus sel kumulus dengan menggunakan analisa flowcytometri. Penelitian kedua, mengetahui tingkat keberhasilan enukleasi dan transfer inti. Penelitian ketiga, mempelajari pengaruh Scriptaid terhadap perkembangan in vitro embrio kloning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel kumulus yang dipakai sebagai donor inti berada pada tahap siklus sel G0/G1. Sel kumulus ini yang berukuran 5-7µm dan populasinya sebesar 31 70,84% dari total sel kumulus yang diisolasi. Tahap enukleasi dapat mencapai tingkat efisiensi sebesar 49%, sedangkan tahap transfer inti dapat mencapai tingkat efisiensi 40,8%. Penambahan Scriptaid berhasil meningkatkan efisiensi embrio kloning yang mencapai tahap blastosis menjadi 10,8%. Tingkat efisiensi tersebut naik lebih dari 3 kali lipat dibandingkan dengan kontrol (3,2%). Kata Kunci: Kloning, Scriptaid, embrio kloning mencit, siklus sel Pendahuluan Tingkat efisiensi kloning reproduksi yang relatif sangat rendah menjadi salah satu alasan menjajaki pemanfaatan Transfer Inti Sel Somatis (TISS) untuk kepentingan biomedis yaitu memproduksi ntESC (nuclear transfer Embryonic Stem Cell). Sel embrio hasil TISS dikultur secara in vitro hingga mencapai tahap blastosis, namun tidak diimplantasikan melainkan diisolasi (Inner Cell Mass) ICM-nya dan kemudian dikultur sebagai sel lestari ntESC (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Pemanfaatan ntESC dalam terapi berbasis sel (cell replacement therapy) berpotensi dapat mengatasi permasalahan penolakan sistem imunitas karena memiliki genom yang sama dengan sel-sel dari individu yang sakit (Moon et al. 2006). Keunggulan utama ntESC bila dibandingkan dengan sumber Embryonic Stem Cell (ESC) yang lain adalah masih memiliki sifat pluripotensi, ekpresi MHC (Major Histocompatibilty Complex) kelas I yang masih rendah, dan berkarakter immune-compatible stem cells (Hochedlinger & Jaenisch 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ntESC yang berasal dari inti sel somatis mempunyai sifat pluripoten dan dapat berdiferensiasi menjadi berbagai macam sel, seperti dopaminergic & seronergic neuron dan germ cells (Wakayama et al. 2001). Namun ntESC masih berpotensi memiliki beberapa karakter yang berbeda dengan ESC alami (bukan hasil TISS). Hal ini diduga dipengaruhi oleh memori epigenetik yang tidak sepenuhnya dapat dihapus dalam proses nuclear reprogramming (Ng & Gurdon 2005). Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya indikasi bahwa penyebab rendahnya efisiensi pada sel embrio hasil kloning adalah proses nuclear reprogramming belum diketahui secara sempurna, sehingga inti sel belum sepenuhnya dapat berubah pola ekspresi genetiknya menjadi seperti pola perkembangan embrionik (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Beberapa hal yang menjadi permasalahan utama dalam proses nuclear reprogramming adalah genomic imprinting dan X-chromosome inactivation. Kedua fenomena tersebut secara dominan mempengaruhi modifikasi epigenetik dan pola ekspresi genetik pada sel embrio hasil TISS (Latham 2005). Berbagai pengembangan teknik TISS telah dilakukan, namun hingga saat ini belum diperoleh hasil yang memuaskan. Selain itu aplikasi TISS pada manusia masih menjadi perdebatan dalam masalah etika, sehingga pengembangan teknik ini lebih banyak dikaji pada hewan coba (Murti et al. 2008). 32 Salah satu pengembangan teknik TISS yang telah dilakukan adalah dengan perlakuan penambahan senyawa penghambat enzim HDAC (histones deacetylases) pada saat proses nuclear reprogramming inti sel donor. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan Trichostatin A (TSA) berhasil meningkatkan keberhasilan perkembangan embrio kloning mencapai tahap blastosis (Enright et al. 2003; Kishigami et al. 2006; Li et al. 2008). Scriptaid merupakan senyawa inhibitor deasetilasi histon yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan TSA, yaitu toksisitas yang lebih rendah dan dapat memfasilitasi aktivasi transkripsional (Monneret 2005). Penelitian ini akan mengkaji pengembangan teknik TISS dengan perlakuan penambahan Scriptaid sebagai senyawa penghambat enzim HDAC, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi produksi embrio kloning mencit. Metode Penelitian Donor Inti Sel Isolasi sel kumulus dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (1998) dengan sedikit modifikasi. Sel-sel kumulus dipisahkan dengan penambahan hyaluronidase 0.1% (Sigma, H4272, St. Louis, MO, USA) dalam medium M2 (Specialty media, MR-015P-D, Phillipsburg, New Jersey, USA). Perlakuan tersebut dilakukan selama 10 menit. Lalu 2 !l dari suspensi sel-sel kumulus dipindahkan ke dalam 10 !l CZB-tanpa glukosa yang mengandung polyvinylpyrrolidone (Mr 360 x 103; Sigma, PVP360, St. Louis, MO, USA) 10% (w/v). Sel kumulus yang dipilih sebagai donor untuk transfer inti adalah yang berukuran 5-7 µm. Sel-sel kumulus dikultur dalam CZB –PVP pada suhu 37°C dengan kadar CO2 5% selama minimal 1 jam sebelum perlakuan lebih lanjut. Karakterisasi Siklus Sel Donor Inti Distribusi fase siklus sel dianalisa menurut Nour & Takahashi (2006) menggunakan pengukuran kandungan DNA masing-masing sel kumulus dengan sedikit modifikasi. Sel-sel kumulus dicuci dengan medium DPBS tanpa Ca2+ dan Mg2+, lalu dilakukan setrifugasi dengan kecepatan 290g pada suhu 4°C. Pelet yang dihasilkan lalu difiksasi dengan alkohol 70% dan disimpan pada suhu -20°C. Sebelum dilakukan analisa flowcytometri, sel-sel kumulus tersebut dicuci dengan medium DPBS tanpa Ca2+ dan Mg2+ dan diinkubasi dalam 200µg/mL Rnase A yang dilarutkan dalam larutan DW (distilled water) selama 30 menit pada suhu 37°C. Sel-sel kumulus diwarnai dengan 50µg/mL propidium iodide (Sigma), lalu difilter menggunakan filter jenis nylon ukuran 50µm menjelang dilakukan analisa flowcytrometri. Sel-sel kumulus dianalisa menggunakan FACs Calibur (Becton Dickinson, San Jose, CA). 33 Resipien Sel Superovulasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dengan sedikit modifikasi. Oosit diisolasi dari mencit betina galur ddy yang berumur 8-12 minggu. Mencit betina distimulasi untuk mengalami superovulasi dengan menyuntikan hormon Pregnant Mare’s Serum Gonadotrophin/PMSG (Intervet International BV, Folligon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU dan human Chorionic Gonadotrophin/ hCG (Intervet International BV, Chorulon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU menggunakan syringe (Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml dengan interval waktu 46-48 jam. Enam belas jam setelah penyuntikan hCG, COC diisolasi dari oviduct dengan menggunakan mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan). Setelah diisolasi dari sel kumulus maka oosit dikultur dalam medium CZB tanpa glukosa yang mengandung BSA (Sigma, A3311, St. Louis, MO, USA) 1mg/ml, ditutup dengan mineral oil (Sigma, M8410, St. Lois, MO, USA) dan disimpan dalam suhu 37°C dan kadar CO2 5% di dalam inkubator (Sanyo, MCO-95, Japan). Manipulasi Embrio Mencit Pembuatan Pipet Mikromanipulasi Injeksi dan Holding Bahan pipet mikromanipulasi adalah tabung borosilikat gelas kapiler tanpa filamen (Sutter Instrument, B100-75-10). Pipet mikromanipulasi injeksi dibuat dengan menggunakan alat micro-puller (Sutter Instrument, P-87) dan micro-forge (Narishige, MF-79, Japan). Ujung pipet mikromanipulasi injeksi berdiameter bagian luar ~ 15!m untuk enukleasi dan 5-6!m untuk transfer inti. Mercury (Madespa MA, 0561, Spain) dimasukkan ke dalam pipet mikromanipulasi injeksi melalui bagian belakang menggunakan syringe (Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml. Ujung pipet mikromanipulasi holding berdiameter bagian luar 80-100 !m dan berdiameter dalam 20-30 !m (Kishigami et al. 2006) . Enukleasi Kromosom MII dari Sel Oosit Enukleasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Sel-sel oosit (biasanya berjumlah 20) dipindahkan ke dalam drop medium M2 (± 10 !l) yang mengandung cytochalasin B (Sigma, C6762, St. Louis, MO, USA) 5 !l/ml dan sukrosa 3%. Tutup cawan petri 35mm (Nunc, 153066, Roskilde, Denmark) digunakan sebagai tempat membuat drop medium untuk mikromanipulasi. Mikroskop inverted (Olympus, IX70, Japan) dengan Thermoplate (Tokai Hit, MATSU55R30, Japan) dan satu perangkat micromanipulator (Narishige, Japan) digunakan untuk melakukan manipulasi oosit. Oosit diposisikan tidak bergerak dengan ditahan menggunakan pipet holding. Zona pelusida sel oosit lalu ditembus dengan menggunakan Piezo (Prime Tech, PMAS-CT150, Japan) yang menggetarkan ujung pipet mikromanipulasi injeksi yang digunakan untuk enukleasi (dengan diameter bagian dalam ± 15 !m). Komplek benang spindel kromosom MII, dapat ditandai sebagai spot yang dapat ditembus cahaya di 34 dalam ooplasma dengan perbesaran 20x Optik Hoffman Modulation Contrast (Modulation Optics Inc, Greenvale, New York, USA). Kromosom MII dihisap dengan mikropipet injeksi dan hanya sedikit cairan ooplasma yang terhisap. Setelah itu, pipet ditarik dengan halus dan perlahan hingga melewati zona pelusida. Konfirmasi keberadaan inti/kromosom MII dilakukan dengan cara mewarnai oosit pasca enukleasi dengan Hoechst 33342 (Invitrogen, H1399, Eugene, USA) 10 !g/ml dalam PBS (Gibco, 21600-010, Grand Island, NY, USA) tanpa serum selama 10 menit, lalu oosit diletakkan ke dalam sumursumur di dalam cawan Terazaki dan diamati di mikroskop fluorescent (Nikon, E600, Japan) dengan panjang gelombang 380nm. Oosit yang masih berinti akan terlihat lebih berpendar karena Hoechst 33342 akan berikatan dengan DNA inti. Setelah dipilih yang enukleasinya berhasil, maka sel oosit dipindahkan ke dalam CZB tanpa cytochalasin B dan disimpan selama lebih dari 2 jam pada 37°C dan kadar CO2 5%. Transfer Inti Transfer inti dilakukan menurut Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Pipet mikromanipulasi injeksi digunakan untuk menarik ke dalam dan keluar sebagian kecil sel kumulus hingga membran plasma rusak, dengan pengamatan menggunakan perbesaran 40x Optik Hoffman Modulation Contrast (Modulation Optics Inc, Greenvale, New York, USA). Setelah inti dapat dihisap ke dalam pipet, maka dengan pipet yang sama digunakan untuk mengisolasi inti dari sel-sel yang lain. Dalam hitungan menit beberapa inti tersebut diletakkan secara urut dalam sebuah pipet. Inti sel donor (sel kumulus) disuntikan satu per satu ke dalam oosit yang telah dihilangkan intinya (enukleasi). Semua manipulasi tersebut dilakukan pada suhu kamar (25–29°C). Inti harus disuntikan dalam waktu sekurang-kurangnya 10 menit setelah diisolasi dari selnya. Oosit yang telah disuntik kemudian dipindahkan dan disimpan dalam media CZB pada suhu 37°C selama 1–3 jam sebelum perlakuan aktivasi. TSA dan Scriptaid sebagai Penghambat Enzim HDAC Sebagai perlakuan, media kultur bagi embrio pasca transfer inti adalah CZB yang ditambah Scriptaid (Sigma, S7817, St. Louis, MO, USA) 5 nM selama 3 jam. Sebagai kontrol positif, media kultur bagi embrio pasca transfer inti adalah CZB yang ditambah TSA (Sigma, T8552, St. Louis, MO, USA) 5 nM selama 3 jam. Sebagai kontrol negatif, media kultur bagi embrio pasca transfer inti adalah CZB tanpa ditambah senyawa penghambat enzim HDAC (Kishigami et al. 2006). Aktivasi dan Kultur Oosit Pasca Transfer Inti Aktivasi dan kultur embrio pasca transfer inti dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Setelah oosit yang dimanipulasi disimpan dalam media CZB selama 1–3 jam (37°C; kadar CO2 5%), inti yang disuntikan ke dalam tiap oosit akan berubah 35 bentuk menjadi kromosom. Embrio kloning diaktivasi selama 6–7 jam dalam media CZB tanpa Ca2+ mengandung Sr2+ 10 mM (Sigma, 255521, St.Louis, USA) dan cytochalasin B 5 !g/ml. Campuran medium aktivasi juga ditambahkan Scriptaid pada kelompok perlakuan Scriptaid. Campuran medium aktivasi juga ditambahkan TSA pada kelompok kontrol positif. Setelah diaktivasi, embrio kloning tersebut diaktivasi dan dikultur dalam media CZB tanpa glukosa hingga mencapai perkembangan 8 sel, lalu dipindahkan ke drop medium CZB yang mengandung D-glukosa 5.55 mM (Merck, 1.08342.0500, Darmstadt, Germany) hingga mencapai tahap blastosis. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penentuan Siklus Sel Donor Inti Sebanyak sepuluh ribu sel kumulus dianalisa siklus sel dengan menggunakan perangkat lunak Cell Quest (Becton Dickinson). Parameter tunggal yang dipilih adalah kandungan DNA pada masing-masing sel kumulus yang telah diwarnai dengan propidium iodide. Populasi sel kumulus tersebut lalu diklasifikasikan dalam beberapa tahapan siklus sel yaitu G0/G1 (mengandung 2C DNA), S (mengandung antara 2C hingga 4C DNA), dan G2 + M (mengandung 4C DNA). Prosentase dihitung berdasarkan jumlah sel yang sesuai dengan tahapan kandungan DNA-nya dibandingkan dengan jumlah total seluruh populasi sel kumulus. Data hasil analisa flowcytometri disajikan dalam grafik plot scatter. Enukleasi dan Transfer Inti Pada tahap ini, variabel respon yang diukur adalah keberhasilan aplikasi teknik enukleasi sel oosit sebagai sel resipien dan transfer inti sel kumulus sebagai donor inti sel. Aplikasi teknik enukleasi dan transfer inti dilakukan dengan ulangan sebanyak tiga kali. Penambahan Scriptaid pada Aplikasi TISS Pada tahap ini, variabel respon yang diukur adalah jumlah keberhasilan sel embrio mencit kloning hasil TISS untuk mencapai tahap dua sel, tahap empat sel, tahap delapan sel, tahap morula dan tahap blastosis. Perlakuan yang digunakan adalah (1) penambahan senyawa Scriptaid; (2) penambahan senyawa Trichostatin A (TSA); (3) kontrol negatif/ tanpa penambahan scriptaid dan TSA setelah transfer inti pada medium setelah transfer inti. 36 Hasil dan Pembahasan Penentuan Siklus Sel Donor Inti 100 cumulus080909.001 G0/G1 G2/M S 40 Counts 80 120 160 200 cumulus080909.001 0 0 FSC-H 200 400 600 800 1000 Pada teknik transfer inti, salah satu faktor yang harus diperhatikan dari sel donor inti adalah jumlah kromosom (Kato & Tsunoda 1993). Sel somatis pada tahap G0/G1 mempunyai kromosom diploid (2n), tahap G2 mempunyai kromosom tetraploid (4n) karena telah mengalami replikasi DNA pada tahap S, dan tahap S mempunyai jumlah kromosom yang bervariasi antara diploidtetraploid (2n-4n) karena bergantung pada posisi awal (sebelum replikasi) atau akhir (setelah replikasi). Pada penelitian ini oosit diisolasi pada tahap MII oleh karena itu agar jumlah ploidi sel embrio kloning normal (2n) maka diperlukan inti sel somatis yang memiliki kandungan inti (2n). Pada gambar 7 terlihat bahwa mayoritas populasi sel kumulus berada pada tahap siklus sel G0/G1, sedangkan sisanya berada pada tahap siklus sel S dan G2/M. Hasil analisa perangkat lunak Cell Quest dapat menunjukkan hasil yang lebih detil yaitu prosentase populasi tiap tahapan siklus sel (tabel 5). Sebanyak 70,84% dari populasi sel kumulus berada pada tahap siklus sel G0/G1. Berdasarkan pengamatan morfologi sel kumulus setelah diisolasi dari COC sebagian besar berukuran kecil yaitu antara 5-7 µm. Pemilihan sel kumulus sebagai donor inti dapat dilakukan berdasarkan ukuran morfologinya (gambar 8). 101 102 SSC-H 103 104 100 101 102 FL2-H 103 104 Gambar 7. Grafik hasil analisa flowcytometri sel kumulus setelah isolasi Inti donor pada tahap G0, dan G1 yang masing-masing jumlah Histogram Statistics kromosomnya diploid (2n) bila ditransfer ke dalam oosit resipien pada MII File: cumulus080909.001 Acquisition Date: 08-Sep-09 akan terjadi PCC pada kromatid tunggal, lalu mengalami Nuclear Reformation Gate: G1 Gated Events: 9816 (2n) dan akan terjadi replikasi DNA (menjadi 4n) kemudian akan membelah Total Events: 10000 X Parameter: FL2-H (Log) menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom diploid (Campbell et al. 1996). Marker Events % Gated % Total Mean CV Median All G0/G1 S G2/M 9816 7084 1176 1570 100.00 72.17 11.98 15.99 98.16 70.84 11.76 15.70 20.65 4.26 23.25 92.70 178.27 39.74 41.34 48.08 4.83 4.03 21.58 80.58 37 Tabel 5. Siklus sel kumulus sebagai donor inti setelah isolasi Siklus Sel Prosentase (%) G0/ G1 70,84 S 11,76 G2+M 15,70 Pada transfer inti dengan resipien pada tahap MII, konsentrasi MPF yang tinggi dapat menyebabkan inti donor mengalami NEBD (Nuclear Envelope Breakdown) dan PCC (Premature Chromosome Condensation). Menurut Campbell et al. (1993) semua inti sel pada semua tahap siklus sel akan mengalami NEBD dan PCC bila ditansfer ke sitoplasma oosit yang konsentrasi MPFnya tinggi. Namun bagaimana efek PCC terhadap proses nuclear reprogramming belum diketahui secara tuntas hingga saat ini. A B Gambar 8. A. Sel-sel kumulus yang masih mengelilingi oosit. B. Populasi sel kumulus yang sudah disolasi. Bar = 100 µm. Perbedaan kandungan protein yang terekspresi pada tiap tahap siklus sel, menjadi faktor penentu untuk memprogram kembali inti sel donor (Dinnyes & Szmolenszky 2005). Oosit yang telah mengalami ovulasi biasanya berada pada metafase II tahap M (MII). Pada tahap tersebut konsentrasi MPF/ Maturation Promoting Factor (cyclin B-Cdk1) mencapai tingkatan maksimal. Selain itu CSF (Cytostatic Factor) juga memegang kendali regulasi siklus sel dengan mempertahankan kondisi stabil pada MII dan menghambat masuk ke tahap anafase (Schimidt et al. 2006). Konsentrasi MPF sitoplasma oosit pada tahap MII juga dapat dipengaruhi oleh aktivasi (Campbell et al. 1993). Enukleasi dan Transfer Inti Enukleasi dan transfer inti merupakan tahapan dalam aplikasi TISS sebelum dilakukan aktivasi. Pada tahap enukleasi, materi genetik oosit dikeluarkan dari sitoplasma. Sedangkan pada tahap transfer inti, materi genetik sel kumulus dimasukkan ke dalam sitoplasma oosit yang telah dienukleasi. 38 Rata- rata oosit yang berhasil dienukleasi adalah 49%, sedangkan rata-rata oosit yang berhasil dilakukan transfer inti adalah 40,8% (tabel 6). Dengan tingkat efisiensi enukleasi dan transfer inti yang masih rendah maka untuk aplikasi TISS diperlukan jumlah oosit yang relatif banyak sebagai sel resipien. Tabel 6. Hasil enukleasi dan transfer inti pada produksi embrio kloning mencit Ulangan # oosit Enukleasi Transfer Inti 1 112 51 (45,54%) 44 (39,29%) 2 126 63 (50%) 52 (41,27%) 3 129 67 (51,94%) 54 (41,86%) 60,33 (49%) 50,0 (40,8%) Rata-rata Keterangan: Prosentase diperoleh dari membandingkan dengan kolom # oosit. Penambahan Scriptaid pada Aplikasi TISS Aplikasi TISS yang meliputi enukleasi, transfer inti dan aktivasi akan menghasilkan embrio kloning yang kemudian dikultur secara in vitro untuk melihat perkembangan tahapan praimplantasi. Dalam penelitian ini menggunakan perlakuan penambahan senyawa HDACi (histones deacetylases inhibitor) yaitu TSA dan Scriptaid yang berfungsi untuk menurunkan hipermetilisasi DNA dan deasetilasi histon pada embrio kloning. Salah satu faktor penyebab rendahnya keberhasilan kloning adalah perubahan pola metilasi DNA dan asetilasi histon (Yang et al. 2007). Pada tabel 7 terlihat bahwa tingkat keberhasilan perkembangan embrio kloning untuk mencapai tahapan blastosis masih cukup rendah yaitu berkisar antara 7-10%, sedangkan pada kontrol hanya mampu mencapai efisiensi 3,2% (tabel 4). Secara umum embrio kloning yang dihasilkan dengan penambahan Scriptaid dan TSA menunjukkan perkembangan yang lebih baik daripada embrio kloning kontrol (gambar 8). Tabel 7. Perkembangan embrio kloning mencit secara in vitro Tahap Pembelahan Embrio Kloning (%) Aktivasi Embrio Kloning dua sel empat sel delapan sel morula blastosis TSA 50 38a 26a (68,4) 9a (23,7) 5a (13,2) 3a (7,9) Scriptaid 51 37a 24a (64,9) 11a (29,7) 7a (18,9) 4a (10,8) Perlakuan Keterangan: Prosentase diperoleh dari membandingkan dengan kolom dua sel. Angka di dalam tanda kurung merupakan angka prosentase. 39 Berdasarkan hasil penelitian ini diduga TSA dan Scriptaid berperan dalam proses ‘nuclear reprogramming’ dengan cara mengurangi level metilasi DNA dan deasetilasi histon. Urutan DNA yang mengalami metilasi, yaitu adanya gugus metil (CH3) yang berikatan dengan atom C nomor lima pada cytosine sedangkan pada histon justru kebalikannya yaitu apabila kehilangan gugus acetyl maka struktur kromatin akan mengalami kompaksi. Kromatin yang mengalami kompaksi dapat membuat gen-gen yang terkandung di dalamnya tidak dapat diekspresikan dengan normal. Hal ini sama seperti pada urutan DNA yang mengalami metilasi, maka gen-gen tidak dapat diekspresikan. Pada perkembangan embrionik, banyak gen-gen yang terlibat dalam sintesa protein yang diperlukan pada setiap tahapan pembelahan sel. Apabila protein yang diperlukan tidak tersedia maka pembelahan/ perkembangan embrio dapat berhenti (Yang et al. 2007). Gambar 9. Tahapan perkembangan kultur in vitro embrio kloning. A. Anak panah menunjukkan Pseudopronucleus yang diploid, B: Embrio kloning tahap dua sel, C: Embrio kloning tahap empat sel, D: Embrio kloning tahap delapan sel, E: Embrio kloning tahap morula, F: Embrio kloning tahap blastosis. Bar = 100 µm. Simpulan Sel kumulus yang dipakai sebagai donor inti berada pada tahap siklus sel G0/G1. Sel kumulus ini yang berdiameter 5-7 µm dan populasinya sebesar 70,84%. Tahap enukleasi dapat mencapai tingkat efisiensi sebesar 49%, sedangkan tahap transfer inti dapat mencapai tingkat efisiensi 40,8%. Penambahan Scriptaid berhasil meningkatkan efisiensi embrio kloning yang mencapai tahap blastosis menjadi 10,8%. Penambahan HDACi (Scriptaid dan 40 TSA) dapat meningkatkan tingkat efisiensi hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan kontrol.