perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Letak geografi Penelitian ini dilakukan di Desa Sobokerto, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali. Desa ini terletak lebih kurang 4 km dari kota Solo, lebih tepatnya berada di barat Bandara Adi Soemarmo. Luas wilayah Desa Sobokerto 497.4415 Ha. Desa Sobokerto merupakan desa yang cukup luas, terbagi dalam 4 kadus dengan 8 RW, tiap RW masih terbagi lagi dalam beberapa RT yang jumlahnya tidak sama di setiap RW. Batas wilayah Desa Sobokerto sebelah utara yaitu Desa Kenteng, Nogosari, timur dan selatan Desa Ngesrep, Ngemplak dan sebelah barat berbatasan dengan daerah genangan waduk Cengklik. Pemanfaatan lahan di Desa Sobokerto sebagian besar masih merupakan lahan hijau sebagai lahan pertanian. 2. Demografi a. Jumlah penduduk Dari informasi yang diperoleh dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) tahun 2014, diketahui jumlah Kepala Keluarga (KK) 1.969 KK dengan jumlah penduduk 6.654 orang (49% laki-laki sebanyak 3.255 orang dan 51% perempuan 3.399 orang). Jumlah lansia secara keseluruhan di Desa Sobokerto adalah 629 orang (10% populasi). Sedangkan dari data posyandu lansia, jumlah lansia yang menderita hipertensi sebesar 167 orang (26,55% dari total populasi lansia). b. Sosial ekonomi Sebagian besar penduduk Desa Sobokerto bermata pencaharian sebagai petani (49.6%), buruh tani (19.7%), pedagang (8.4%), pengrajin (2.8%), PNS/TNI/Polri (3.4%), peternak (9.9%), nelayan (4.1%), montir (0.86%), dan dokter (0.17%). commit to user 34 35 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan yaitu 5.5% tidak berijazah, 67.9% berpendidikan tamat SD, 13.9% tamat SLTP, 9.1% tamat SLTA, 3.3% tamat D3 atau S1. d. Sarana dan prasarana kesehatan Desa Sobokerto, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali merupakan desa terpadu dalam bidang kesehatan, memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang cukup memadai. Pelayanan kesehatan berpusat di Balai Desa setempat yang dilayani oleh bidan desa. Fasilitas pelayanan kesehatan lainnya berada di setiap RW yang disebut Posyandu dengan penanggung jawab kader kesehatan. Pelayanan posyandu diadakan rutin setiap bulan dengan tanggal yang telah ditentukan. Bidan desa ikut serta dalam kegiatan ini untuk memberikan layanan pemeriksaan, pengobatan, senam, dan penyuluhan kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya bidan desa dibantu oleh kaderkader kesehatan di masing-masing daerah. Kegiatan posyandu terbagi dalam dua kelompok, yaitu pelayanan posyandu untuk balita dan pelayanan posyandu untuk lansia. Pelayanan posyandu balita terdapat di setiap RW, jumlah totalnya ada 8 posyandu karena ada RW yang mengadakan dua posyandu balita sekaligus lansia. Sedangkan posyandu untuk lansia berjumlah 4, karena terdapat RW yang tidak mengadakan pelayanan ini. e. Sarana dan prasarana desa Berbagai sarana dan prasarana desa yang telah ada yang berperan penting dalam mendukung roda pembangunan yaitu 1 buah balai desa, 3 Km jalan kabupaten, 7,5 Km jalan desa, 14 masjid dan 25 mushola. B. Karakteristik Sampel Penelitian 1. Karakteristik Sampel Penelitian Data Kontinu Hasil statistik deskriptif subjek penelitian data kontinu yang berupa persepsi keseriusan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, petunjuk perilaku bertindak dan usia subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1 commit to user 36 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 4.1. Karakteristik Sampel Penelitian Data Kontinu Variabel Persepsi Keseriusan Persepsi Manfaat Persepsi Hambatan Petunjuk Perilaku Bertindak Umur n 80 80 80 80 80 Mean 12,08 6,48 6,38 55,46 64,20 SD 2,75 2,18 1,91 3,90 8,92 Min 4,00 1,00 2,00 44,00 47,00 Maks 19,00 10,00 10,00 63,00 84,00 2. Karakteristik Sampel Penelitian Data Kategorikal a. Pendidikan Subjek Penelitian Hasil karakteristik pendidikan subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Tingkat Pendidikan Lansia Pendidikan SD SMP SMA/SMK D3/PT Jumlah N 39 6 18 17 80 % 48,8 7,5 22,5 21,3 100 Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 39 orang (48,8%). b. Pekerjaan Lansia Hasil karakteristik subjek penelitian berdasarkan pekerjaan lansia dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Pekerjaan lansia Pekerjaan IRT/Tidak bekerja PNS Wiraswasta Jumlah N 51 7 22 80 % 63,8 8,8 27,5 100 Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek penelitian tidak bekerja yaitu sebanyak 51 orang (63,8%). commit to user 37 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Status Pernikahan Hasil karakteristik subjek penelitian berdasarkan status pernikahan dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Status Pernikahan Status Pernikahan Kawin Janda / Duda Jumlah n 56 24 80 % 70,0 30,0 100 Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas status pernikahan lansia adalah kawin yaitu sebanyak 56 orang (70,0%). d. Jenis Kelamin Hasil karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah n 26 54 80 % 32,5 67,5 100 Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas lansia memiliki jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 54 orang (67,5%). e. Status Tinggal Hasil karakteristik subjek penelitian berdasarkan status tinggal dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Status Tinggal Status Tinggal Sendiri Bersama pasangan, anak, keluarga lain Jumlah n 15 % 18,8 65 81,2 80 100 Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas lansia tinggal bersama anak, cucu, keluarga lain yaitu sebanyak 65 orang (81,2%). commit to user 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Pengujian Hipotesis 1. Analisis Bivariat a. Hubungan Persepsi Keseriusan Ancaman Penyakit dengan Senam Lansia Hasil perhitungan chi square hubungan persepsi keseriusan ancaman penyakit dengan senam lansia dapat dilihat pada cross tabulation Tabel 4.7. Tabel 4.7 Persepsi Keseriusan Ancaman Penyakit dengan Senam Lansia Persepsi Keseriusan Rendah Tinggi Total Senam Lansia Tidak Tinggi n % N % 18 62,1 11 37,9 4 7,8 47 92,2 22 27,5 58 72,5 Total n 29 51 80 % 100 100 100 OR P 19,23 < 0,001 Tabel 4.7. menunjukkan nilai Odds Ratio sebesar 19,23 berarti bahwa lansia dengan persepsi keseriusan ancaman penyakit yang tinggi mempunyai kemungkinan 19,23 kali lebih besar untuk melakukan senam lansia dibandingkan lansia dengan persepsi keseriusan ancaman penyakit yang rendah. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi keseriusanancaman penyakit dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ < 0,001). b. Hubungan Petunjuk Perilaku Bertindak dengan Senam Lansia Hasil perhitungan chi square hubungan petunjuk perilaku bertindak dengan senam lansia dapat dilihat pada cross tabulation Tabel 4.8. Tabel 4.8. Hubungan Petunjuk Perilaku Bertindak dengan Senam Lansia Petunjuk Perilaku Bertindak Kurang Baik Total Senam Lansia Tidak Ya n % n % 14 77,8 4 22,2 8 12,9 54 87,1 22 27,5 58 72,5 Total n 40 40 80 % 100 100 100 OR P 23,63 < 0,001 Tabel 4.8. menunjukkan nilai Odds Ratio sebesar 23,63 berarti bahwa lansia dengan petunjuk perilaku bertindak baik mempunyai kemungkinan 23,63 kali lebih besar untuk melakukan senam lansia dibandingkan lansia dengan commit to user 39 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id petunjuk perilaku bertindak kurang. Hasil uji Chi-Square bahwa ada hubungan antara petunjuk perilaku bertindak dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ < 0,001). c. Hubungan Persepsi Hambatan dengan Senam Lansia Hasil perhitungan chi square hubungan persepsi hambatan dengan senam lansia dapat dilihat pada cross tabulation Tabel 4.9. Tabel 4.9 Hubungan Persepsi Hambatan dengan Senam Lansia Persepsi hambatan Rendah Tinggi Total Senam Lansia Tidak Ya n % n % 1 2,5 39 97,5 21 52,5 19 47,5 22 27,5 58 72,5 Total n 40 40 80 % 100 100 100 OR P 0,02 < 0,001 Tabel 4.9 menunjukkan nilai Odds Ratio sebesar 0,02 berarti bahwa lansia dengan persepsi hambatan tinggi mempunyai kemungkinan 0,02 kali lebih besar untuk tidak melakukan senam lansia dibandingkan lansia dengan persepsi hambatan rendah. Hasil uji Chi-Square bahwa ada hubungan antara persepsi hambatan dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ < 0,001). d. Hubungan Persepsi Manfaat dengan Senam Lansia Hasil perhitungan chi square hubungan persepsi manfaat dengan senam lansia dapat dilihat pada tabulasi silang Tabel 4.8. Tabel 4.10 Hubungan Persepsi Manfaat dengan Senam Lansia Senam Lansia Tidak Ya n % n % Rendah 17 63,0 10 37,0 Tinggi 5 9,4 48 90,6 Total 22 27,5 58 72,5 Tabel 4.10 menunjukkan nilai Odds Persepsi manfaat Total n 27 53 80 Ratio OR p % 100 100 16,32 < 0,001 100 sebesar 16,32 berarti bahwa lansia dengan persepsi manfaat tinggi mempunyai kemungkinan 16,32 kali lebih besar untuk melakukan senam lansia dibandingkan lansia dengan persepsi manfaat rendah. Hasil uji Chi-Square bahwa ada hubungan antara persepsi manfaat dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ < 0,001). commit to user 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Regresi Logistik Ganda Hasil perhitungan analisis multivariat menggunakan regresi logistik ganda untuk mengetahui hubungan persepsi keseriusan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan, petunjuk perilaku bertindak dengan senam lansia dapat dilihat dari tabel 4.11. Tabel 4.11. Analisis Regresi Logistik Ganda Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Pelaksanaan Praktik Senam Lansia Variabel Persepsi keseriusan tinggi Persepsi manfaat tinggi Persepsi hambatan rendah Petunjuk perilaku tinggi N observasi -2 log likelihood Nagelkerke R 2 OR 27,01 26,95 0,02 21,37 80 24,979 83,7% CI 95% Batas bawah Batas atas 2,04 357,91 2,20 329,95 0,00 0,90 1,94 235,92 ρ 0,012 0,010 0,044 0,012 Nilai Odd Ratio variabel persepsi keseriusan penyakit sebesar 27,01 berarti bahwa lansia dengan persepsi keseriusan penyakit tinggi mempunyai kemungkinan 27,01 kali lebih besar untuk melakukan senam lansia daripada lansia dengan persepsi keseriusan penyakit yang rendah. Hasil uji Wald menunjukkan adanya hubungan antara persepsi keseriusan dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (OR= 27,01; CI=95%; 2,04 hingga 357,91; ρ = 0,012). Nilai Odd Ratio variabel persepsi manfaat sebesar 26,95 berarti bahwa wanita lansia dengan persepsi manfaat yang tinggi mempunyai kemungkinan 26,95 kali lebih besar melakukan senam lansia daripada lansia dengan persepsi manfaat yang rendah. Hasil uji wald menunjukkan adanya hubungan persepsi manfaat dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (OR= 26,95; CI=95%; 2,20 hingga 392,05; ρ = 0,010). Nilai Odd Ratio variabel persepsi hambatan sebesar 0,021 berarti bahwa lansia dengan persepsi hambatan yang tinggi mempunyai kemungkinan 0,021 kali lebih besar untuk tidak melakukan senam lansia daripada lansia dengan persepsi hambatan yang rendah. Hasil uji wald menunjukkan adanya hubungan commit to user 41 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id persepsi hambatan dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (OR= 0,021; CI=95%; 0,000 hingga 0,90 ρ = 0,044). Nilai Odd Ratio variabel petunjuk perilaku bertindak sebesar 21,37 berarti bahwa lansia dengan petunjuk perilaku bertindak baik mempunyai kemungkinan 21,37 kali lebih besar untuk melakukan senam lansia daripada lansia dengan petunjuk perilaku bertindak yang kurang. Hasil uji wald menunjukkan adanya hubungan petunjuk perilaku bertindak dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (OR= 21,37; CI=95%;1,94 hingga 259,92 ρ = 0,044). Nilai Negelkerke R2 sebesar 83,7% berarti bahwa keempat variabel bebas (persepsi keseriusan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan, petunjuk perilaku bertindak) mampu menjelaskan pelaksanaan praktik senam lansia sebesar 83,7% dan sisanya yaitu sebesar 16,3% dijelaskan oleh faktor lain diluar model penelitian. D. Pembahasan 1. Hubungan Persepsi Keseriusan Ancaman Penyakit dengan Senam Lansia Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi keseriusan ancaman penyakit dengan melakukan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ = 0,000), dimana semakin tinggi persepsi seseorang tentang serius atau semakin parah suatu penyakit maka seseorang akan melakukan upaya agar tidak terkena keparahan dari penyakit tersebut yaitu melakukan senam lansia. Rosenstock et al (2011) menyatakan bahwa persepsi keseriusan atau keparahan suatu penyakit menyebabkan seseorang mempunyai sikap untuk melakukan suatu upaya pengobatan, kemudian dalam (Bakhtari et al., 2012) memprediksikan bahwa seorang individu akan mengambil tindakan untuk melindungi diri mereka jika mereka menganggap bahwa kondisi seseorang tersebut dalam masalah yang serius. Konsep HBM mengemukakan, seseorang akan bertindak bila ia merasakan suatu yang mengancam keselamatannya. Penilaian pertama adalah commit to user ancaman yang dirasakan terhadap resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu perpustakaan.uns.ac.id 42 digilib.uns.ac.id pada sejauhmana seseorang berfikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman meningkat maka akan terjadi perilaku pencegahan. Penilaian kedua adalah perbandingan antara keuntungan dengan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan melakukan atau tidak melakukan tindakan. Keseriusan ini ditambah dengan akibat dari suatu penyakit misalnya komplikasi, tingginya kematian akibat penyakit, penurunan fungsi fisik dan mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial (Suhadi, 2011). Persepsi individu terhadap resiko tertular penyakit merupakan salah satu persepsi yang kuat untuk mendorong individu dalam berperilaku sehat. Semakin besar persepsi resiko maka akan semakin besar kemungkinan ketertarikan dalam kebiasaan sehat untuk mengurangi resiko yang akan terjadi. Persepsi kerentanan ini seseorang merasakan keyakinan/percaya akan kemungkinan sakit yang terjadi pada dirinya. Perceived susceptibility memiliki hubungan positif dengan perilaku sehat. Jika persepsi kerentanan terhadap penyakit tinggi maka perilaku sehat yang dilakukan seseorang juga tinggi. Lansia merasa rentan atau beresiko mengalami penyakit hipertensi sehingga lansia berperilaku sehat dengan mengikuti kegiatan senam lansia. Perceived susceptibility, diartikan juga sebagai perceived vulnerability yaitu kerentanan atau faktor resiko merujuk pada kemungkinan seseorang dapat terkena suatu penyakit. Elsanti (2009), mengemukakan faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi pada lansia yang tidak dapat dikontrol yaitu jenis kelamin, umur, keturunan (genetik). Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita commit to user perpustakaan.uns.ac.id 43 digilib.uns.ac.id secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Anggraini, 2009). Hasil penelitian ini didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 67,5%. Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause (Marliani, 2007). Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda. Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini dkk, 2009). Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi (Marliani, 2007). Sebagian besar subjek penelitian dalam penelitian ini memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi. Elsanti (2009) menambahkan faktor resiko yang dapat dikontrol yang mempengaruhi hipertensi pada lansia yaitu obesitas, kurang olahraga, kebiasaan merokok, konsumsi garam berlebih, minum alkohol, minum kopi dan stress. Hasil penelitian Iranagh & Montelbi (2015) mengungkapkan bahwa persepsi kerentanan memiliki pengaruh tertinggi pada perilaku 200 perempuan lanjut usia dalam beraktivitas fisik. Semakin individu memiliki persepsi keparahan hipertensi yang tinggi maka semakin akan melakukan tindakan commit to user 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pencegahan hipertensi agar tidak terjadi suatu penyakit yang semakin parah atau komplikasinya. Penelitian lain yang sesuai dengan hasil penelitian ini dilakukan oleh Kamran et al (2014) bahwa 80.7 % dari subjek penelitian menyatakan penyakit hipertensi adalah penyakit yang sangat serius dan melakukan tindakan berhenti merokok dan berolahraga. Sedangkan mereka yang keseriusannya rendah tidak melakukan tindakan berhenti merokok dan berolahraga. Persepsi keparahan yaitu persepsi seseorang yang memprediksikan tingkat keparahan apabila menderita penyakit tersebut. Perasaan dimana tertular penyakit apabila tidak diobati atau meninggalkannya, persepsi ini didasarkan pada informasi kesehatan atau pengetahuan. Tahap ini meliputi evaluasi konsekuensi kesehatan (misalnya, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi sosial (seperti efek dari kondisi pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial). Kombinasi kerentanan dan keparahan ditandai sebagai ancaman. Perceived severity juga memiliki hubungan yang positif dengan perilaku sehat. Jika persepsi keparahan individu tinggi maka ia akan berperilaku sehat. Lansia percaya dan merasa takut atau mengangap hipertensi merupakan hal yang gawat dan memiliki dampak yang parah. Lansia percaya bahwa hipertensi dapat menyebabkan serangan jantung dan stroke. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa dengan adanya persepsi atau anggapan tentang keseriusan suatu penyakit dalam hal ini adalah penyakit pada lansia yang salah satunya adalah penyakit hipertensi, membuat individu bersedia untuk melalukan upaya dalam pencegahan penyakit hipertensi maupun pencegahan agar penyakit tersebut tidak semakin parah yaitu dengan mengikuti senam lansia secara teratur. 2. Hubungan Petunjuk Perilaku Bertindak dengan Senam Lansia Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara petunjuk perilaku bertindak dengan melakukan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ = 0,000), hal ini berarti semakin baik petunjuk perilaku bertindak maka akan lebih baik pula dalam melakukan senam lansia. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 45 digilib.uns.ac.id Cues to action adalah mempercepat tindakan yang membuat seseorang merasa butuh mengambil tindakan atau melakukan tindakan nyata untuk melakukan perilaku sehat. Petunjuk perilaku bertindak yang didalamnya ada dukungan keluarga pada lansia berperan besar dalam upaya mempertahankan status kesehatannya. Faktor yang positif diartikan mendapat dukungan keluarga merupakan faktor yang positif untuk perbaikan kondisi kesehatan lansia dan faktor yang negatif diartikan bahwa kurangnya dukungan keluarga merupakan faktor yang negatif bagi lansia. Keharmonisan keluarga, keuangan keluarga merupakan faktor positif untuk mendukung perbaikan kondisi lansia tersebut sehingga lansia merasa masih diperhatikan dan dibutuhkan (Suhardi, 2011). Teori Health Belief Model, Rosenstock (1966) bahwa dukungan keluarga akan mempengaruhi persepsi pribadi sehingga semakin besar dukungan keluarga maka semakin mudah melakukan praktik senam lansia. Cues to action juga berarti dukungan atau dorongan dari lingkungan terhadap individu yang melakukan perilaku sehat. Saran dokter dan petugas kesehatan atau rekomendasi telah ditemukan untuk menjadi cues to action untuk bertindak dalam konteks perilaku hidup sehat. Komponen cues to action dapat di perkuat melalui pembagian leaflet atau informasi mengenai hipertensi, surat pos sebagai reminder (pengingat), kalender minum obat yang dapat membantu konsintesi perilaku, pembuatan kelompok senam. Peran petugas kesehatan yang pro aktif mengajak lansia hipertensi berpartisipasi juga merupakan faktor yang paling berpengaruh. Hasil penelitian Rachma (2010) menunjukkan bahwa pengalaman lansia melakukan perawatan hipertensi merupakan pengalaman yang bersifat individual. Keluarga telah memberikan dukungan dalam perawatan hipertensi dan perlu diselaraskan dengan dukungan petugas kesehatan. Cues to action bisa juga merupakan kejadian, orang, atau sesuatu yang dapat membuat orang merubah kebiasaanya. Lansia mendengar atau mengetahui pengalaman kegagalan orang lain mengenai sulitnya mengelola penyakit hipertensi dan keteraturan berolahraga. Peneliti menyimpulkan bahwa adanya petunjuk perilaku bertindak yang baik dari keluarga, lingkungan ataupun dari petugas kesehatan akan menyebabkan keberhasilan dalam senam lansia dikarenakan lansia merasa commit to user 46 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id diperhatikan dan dibutuhkan sehingga akan tergerak dengan sendirinya untuk menjaga kesehatan. 3. Hubungan Persepsi Hambatan dengan Senam Lansia Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi hambatan yang dirasakan dengan melakukan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ = 0,000), hal ini berarti semakin merasakan besarnya suatu hambatan dalam melakukan perilaku maka keberhasilan untuk berperilaku tersebut semakin kecil. Persepsi ini mengacu pada evaluasi individu terhadap hambatan dalam berperilaku/ kebiasaan sehat. Perceived barriers merupakan faktor yang cukup penting dalam perubahan kebiasaan. Ketika orang/masyarakat percaya bahwa kebiasaan/perilaku sehat yang baru lebih menguntungkan dari pada kebiasaan yang lama dalam menurunkan resiko, maka kebiasaan/perilaku sehat yang baru tersebut akan digunakan. Potensi aspek negatif dari tindakan kesehatan tertentu sebagai hambatan untuk melakukan perilaku yang direkomendasikan. Seperti, analisis biaya dan manfaatnya dimana individu menimbang manfaat tindakan yang diharapkan dengan hambatan yang dirasakan, “ini bisa membantu saya, tapi mungkin mahal, memiliki efek samping negatif, tidak menyenangkan, nyaman, atau memakan waktu.” (Pender, 2002). Perceived barriers secara singkat berarti persepsi hambatan atau persepsi menurunnya kenyamanan saat meninggalkan perilaku tidak sehat. Hubungan perceived barriers dengan perilaku sehat adalah negatif. Jika persepsi hambatan terhadap perilaku sehat tinggi maka perialu sehat tidak akan dilakukan. Kuesioner dalam penelitian mengungkap kemudahan akses untuk menjangkau tempat diadakannya senam dan biaya. Teori Health Belief Model, Rosenstock (1966) aksesibilitas lingkungan merupakan perceived barier sehingga semakin aksesibel lingkungan maka semakin tinggi frekuensi mengikuti senam. Penelitian ini mengungkapkan perceived barrier merupakan sejauh mana lansia hipertensi mengangap bahwa untuk mengikuti kegiatan senam lansia tersebut harus ada yang dikorbankan atau ada harganya yaitu membayar biaya senam, harus meluangkan waktu untuk berolahraga. Selain iti anjuran dari petugas commit to user perpustakaan.uns.ac.id 47 digilib.uns.ac.id kesehatan yang mengharuskan lansia enggan yaitu harus mengurangi konsumsi garam, jadi sering kecing akibat efek dari obat hipertensi (diuretik). Hal ini sesuai dengan Rosenstock et al (2011) bahwa hambatan yang dirasakan merupakan suatu konsekuensi negatif potensial yang mungkin timbul ketika mengambil tindakan tertentu, termasuk tuntutan fisik, psikologis, dan keuangan. Aspek negatif yang menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan, misalnya biaya mahal, bahaya, rasa sakit dan pengalaman tidak menyenangkan. Peneliti menyimpulkan bahwa adanya persepsi hambatan dalam senam lansia dikarenakan banyak anggapan bahwa dengan mengikuti senam tersebut malah membuat tubuh semakin lelah dan biaya yang dikeluarkan setiap datang senam. Atau adanaya hambatan dari pihak petugas kesehatan meliputi ketersediaan sarana prasarana yang dibutuhkan, akses menuju pelayanan kesehatan lansia maupun tenaga kesehatan yang kurang memadai. 4. Hubungan Persepsi Manfaat dengan Senam Lansia Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi manfaat yang dirasakan dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ = 0,000), hal ini berarti semakin merasakan manfaat dari suatu tindakan untuk menghindari penyakit, maka akan lebih memilih melakukan tindakan tersebut secara teratur. Rosenstock et al (2011) mengemukakan bahwa efektivitas tingkat kepercayaan terhadap strategi yang dirancang untuk mengurangi ancaman suatu penyakit semakin tinggi maka dengan sendirinya akan melakukan tindakan pencegahan tersebut dalam hal ini melakukan senam lansia. Persepsi ini mengacu pada pendapat individu terhadap keuntungan yang didapat atau dirasakan dari suatu kebiasaan baru dalam menguangi resiko suatu penyakit. Masyarakat akan berperilaku sehat jika mereka percaya bahwa kebiasaan baru tersebut dapat menurunkan resiko penyakit atau terkena penyakit. Persepsi ini seseorang menimbang keuntungan yang diperoleh antara biaya yang dikeluarkan dengan tingkat sakitnya, misalnya apakah efektif biaya yang dikeluarkan apabila mengikuti posyandu lansia atau mengikuti senam lansia yang murah bila dibandingkan dengan tingkat keseriusan atau resiko penyakit hipertensi, manfaat yang diperoleh ketika mengikuti senam juga dapat commit to user 48 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mempengaruhi keputusan perilaku. Dengan demikian, individu menunjukkan keyakinan yang optimal dalam kerentanan dan keparahan yang tidak diharapkan untuk menerima tindakan kesehatan yang dianjurkan kecuali mereka juga menganggap tindakan itu sebagai berpotensi menguntungkan dengan mengurangi ancaman. Perceived benefits adalah kepercayaan terhadap keuntungan dari metode yang disarankan untuk mengurangi resiko penyakit. Perceived benefits dalam penelitian ini yaitu kepercayaan terhadap keuntungan dari metode senam lansia untuk mengurangi resiko penyakit hipertensi. Hasil penelitian Iskandar (2012) menunjukkan bahwa senam lansia memiliki pengaruh terhadap perubahan tekanan darah penderita hipertensi. Depkes (2003), olahraga dapat memberi beberapa manfaat, yaitu: meningkatkan peredaran darah, menambah kekuatan otot, dan merangsang pernafasan dalam. Selain itu dengan olahraga dapat membantu pencernaan, menolong ginjal, membantu kelancaran pembuangan bahan sisa, meningkatkan fungsi jaringan, menjernihkan dan melenturkan kulit, merangsang kesegaran mental, membantu mempertahankan berat badan, memberikan tidur nyenyak, memberikan kesegaran jasmani. Perceived benefits secara ringkas berarti persepsi keuntungan yang memiliki hubungan positif dengan perilaku sehat. Lansia yang sadar akan keuntungan senam lansia akan terus melakukan perilaku sehat seperti secara rutin mengikuti kegiatan senam lansia. Contoh lain adalah minum obat secara teratur dan menerapkan pola hidup sehat agar hipertensi yang diderita tidak menimbulkan komplikasi. Perceived benefit juga diartikan sejauh mana anggapan seseorang bahwa dengan mengikuti anjuran petugas kesehatan akan memberi manfaat terhindar dari resiko penyakit, jadi sejauh mana nilai keuntungan tersebut di maknai apakah sangat berharga atau tidak. Anjuran petugas kesehatan diantaranya minum obat secara teratur, menurunkan berat badan, menjaga pola makan, dan rajin mengikuti senam dapat mengurangi resiko hipertensi. Lansia akan mengikuti anjuran petugas kesehatan karena dapat terhindar dari resiko penyakit hipertensi dan komplikasinya. commit to user 49 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Peneliti dapat menyimpulkan dari uraian diatas bahwa dengan mengetahui manfaat dari senam lansia maka individu akan lebih tertarik dan lebih sadar tentang pentingnya senam lansia tersebut bagi kesehatan lansia agar bisa menjalani aktivitas dengan baik. Kampanye skrining (pemeriksaan) tekanan darah tinggi, dilakukan untuk mengindentifikasi orang yang beresiko mengalami serangan jantung dan stroke terutama lansia. Orang yang mengalami hipertensi tidak selalu mengeluh sakit, sebagian besar orang dengan hipertensi tidak mengalami gejala apa pun. Jadi, orangorang tersebut berpikir tidak perlu mengkonsultasikan masalah hipertensi dengan dokter atau mengikuti anjuran petugas kesehatan. Karena faktanya, hanya sebagian kecil orang dengan hipertensi yang mengeluhkan gejala seperti sakit kepala, mimisan, nafas pendek, dan kecemasan. Sering pertama kali pasien dengan hipertensi didiagnosa ketika hendak mencari bantuan kesehatan untuk alasan yang tidak berhubungan dengan hipertensi. Oleh karena itu, Hipertensi disebut sebagai silent killer (pembunuh diam-diam). Latihan aerobik secara teratur merupakan salah satu upaya non farmakologi pencegahan primer yang esensial dari hipertensi. Stanley (2007) menambahkan upaya non farmakologi lainnya yaitu mempertahankan berat badan ideal, diet rendah garam dan pengurangan stress. Darmojo (2006) mengemukakan bahwa perilaku hidup sehat merupakan kunci penatalaksaan hipertensi selain penatalaksaan secara farmakologi. Tingkat gabungan kerentanan dan keparahan menyediakan energi atau kekuatan untuk bertindak dan persepsi manfaat (minus hambatan) menyediakan pilihan tindakan. Teori Health Belief Model, dapat sangat berguna dalam menganalisis perilaku pencegahan penyakit. E. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu instrumen penelitian menggunakan kuesioner tertutup sehingga kurang melakukan observasi dan wawancara mendalam (indeep interview) terhadap lansia yang melakukan kegiatan senam lansia. commit to user