BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1.
Letak geografi
Penelitian ini dilakukan di Desa Sobokerto, Kecamatan Ngemplak,
Kabupaten Boyolali. Desa ini terletak lebih kurang 4 km dari kota Solo, lebih
tepatnya berada di barat Bandara Adi Soemarmo. Luas wilayah Desa Sobokerto
497.4415 Ha. Desa Sobokerto merupakan desa yang cukup luas, terbagi dalam 4
kadus dengan 8 RW, tiap RW masih terbagi lagi dalam beberapa RT yang
jumlahnya tidak sama di setiap RW. Batas wilayah Desa Sobokerto sebelah
utara yaitu Desa Kenteng, Nogosari, timur dan selatan Desa Ngesrep, Ngemplak
dan sebelah barat berbatasan dengan daerah genangan waduk Cengklik.
Pemanfaatan lahan di Desa Sobokerto sebagian besar masih merupakan lahan
hijau sebagai lahan pertanian.
2.
Demografi
a. Jumlah penduduk
Dari informasi yang diperoleh dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) tahun
2014, diketahui jumlah Kepala Keluarga (KK) 1.969 KK dengan jumlah
penduduk 6.654 orang (49% laki-laki sebanyak 3.255 orang dan 51%
perempuan 3.399 orang). Jumlah lansia secara keseluruhan di Desa
Sobokerto adalah 629 orang (10% populasi). Sedangkan dari data posyandu
lansia, jumlah lansia yang menderita hipertensi sebesar 167 orang (26,55%
dari total populasi lansia).
b. Sosial ekonomi
Sebagian besar penduduk Desa Sobokerto bermata pencaharian sebagai
petani (49.6%), buruh tani (19.7%), pedagang (8.4%), pengrajin (2.8%),
PNS/TNI/Polri (3.4%), peternak (9.9%), nelayan (4.1%), montir (0.86%),
dan dokter (0.17%).
commit to user
34
35
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan yaitu 5.5% tidak berijazah, 67.9% berpendidikan
tamat SD, 13.9% tamat SLTP, 9.1% tamat SLTA, 3.3% tamat D3 atau S1.
d. Sarana dan prasarana kesehatan
Desa Sobokerto, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali merupakan
desa terpadu dalam bidang kesehatan, memiliki fasilitas pelayanan kesehatan
yang cukup memadai. Pelayanan kesehatan berpusat di Balai Desa setempat
yang dilayani oleh bidan desa. Fasilitas pelayanan kesehatan lainnya berada
di setiap RW yang disebut Posyandu dengan penanggung jawab kader
kesehatan. Pelayanan posyandu diadakan rutin setiap bulan dengan tanggal
yang telah ditentukan. Bidan desa ikut serta dalam kegiatan ini untuk
memberikan layanan pemeriksaan, pengobatan, senam, dan penyuluhan
kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya bidan desa dibantu oleh kaderkader kesehatan di masing-masing daerah.
Kegiatan posyandu terbagi dalam dua kelompok, yaitu pelayanan
posyandu untuk balita dan pelayanan posyandu untuk lansia. Pelayanan
posyandu balita terdapat di setiap RW, jumlah totalnya ada 8 posyandu
karena ada RW yang mengadakan dua posyandu balita sekaligus lansia.
Sedangkan posyandu untuk lansia berjumlah 4, karena terdapat RW yang
tidak mengadakan pelayanan ini.
e. Sarana dan prasarana desa
Berbagai sarana dan prasarana desa yang telah ada yang berperan penting
dalam mendukung roda pembangunan yaitu 1 buah balai desa, 3 Km jalan
kabupaten, 7,5 Km jalan desa, 14 masjid dan 25 mushola.
B. Karakteristik Sampel Penelitian
1. Karakteristik Sampel Penelitian Data Kontinu
Hasil statistik deskriptif subjek penelitian data kontinu yang berupa
persepsi keseriusan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, petunjuk perilaku
bertindak dan usia subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1
commit to user
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 4.1. Karakteristik Sampel Penelitian Data Kontinu
Variabel
Persepsi Keseriusan
Persepsi Manfaat
Persepsi Hambatan
Petunjuk Perilaku Bertindak
Umur
n
80
80
80
80
80
Mean
12,08
6,48
6,38
55,46
64,20
SD
2,75
2,18
1,91
3,90
8,92
Min
4,00
1,00
2,00
44,00
47,00
Maks
19,00
10,00
10,00
63,00
84,00
2. Karakteristik Sampel Penelitian Data Kategorikal
a. Pendidikan Subjek Penelitian
Hasil karakteristik pendidikan subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel
4.2.
Tabel 4.2. Tingkat Pendidikan Lansia
Pendidikan
SD
SMP
SMA/SMK
D3/PT
Jumlah
N
39
6
18
17
80
%
48,8
7,5
22,5
21,3
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki
tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 39 orang (48,8%).
b. Pekerjaan Lansia
Hasil karakteristik subjek penelitian berdasarkan pekerjaan lansia dapat
dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Pekerjaan lansia
Pekerjaan
IRT/Tidak bekerja
PNS
Wiraswasta
Jumlah
N
51
7
22
80
%
63,8
8,8
27,5
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek penelitian tidak
bekerja yaitu sebanyak 51 orang (63,8%).
commit to user
37
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Status Pernikahan
Hasil karakteristik subjek penelitian berdasarkan status pernikahan dapat
dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Status Pernikahan
Status Pernikahan
Kawin
Janda / Duda
Jumlah
n
56
24
80
%
70,0
30,0
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas status pernikahan lansia
adalah kawin yaitu sebanyak 56 orang (70,0%).
d. Jenis Kelamin
Hasil karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
n
26
54
80
%
32,5
67,5
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas lansia memiliki jenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 54 orang (67,5%).
e. Status Tinggal
Hasil karakteristik subjek penelitian berdasarkan status tinggal dapat dilihat
pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Status Tinggal
Status Tinggal
Sendiri
Bersama pasangan,
anak, keluarga lain
Jumlah
n
15
%
18,8
65
81,2
80
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas lansia tinggal bersama
anak, cucu, keluarga lain yaitu sebanyak 65 orang (81,2%).
commit to user
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Pengujian Hipotesis
1. Analisis Bivariat
a. Hubungan Persepsi Keseriusan Ancaman Penyakit dengan Senam Lansia
Hasil perhitungan chi square hubungan persepsi keseriusan ancaman
penyakit dengan senam lansia dapat dilihat pada cross tabulation Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Persepsi Keseriusan Ancaman Penyakit dengan Senam Lansia
Persepsi
Keseriusan
Rendah
Tinggi
Total
Senam Lansia
Tidak
Tinggi
n
%
N
%
18 62,1 11 37,9
4
7,8
47 92,2
22 27,5 58 72,5
Total
n
29
51
80
%
100
100
100
OR
P
19,23
< 0,001
Tabel 4.7. menunjukkan nilai Odds Ratio sebesar 19,23 berarti bahwa
lansia dengan persepsi keseriusan ancaman penyakit yang tinggi mempunyai
kemungkinan 19,23 kali lebih besar untuk melakukan senam lansia
dibandingkan lansia dengan persepsi keseriusan ancaman penyakit yang
rendah. Hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan antara
persepsi keseriusanancaman penyakit dengan senam lansia dan secara statistik
signifikan (ρ < 0,001).
b. Hubungan Petunjuk Perilaku Bertindak dengan Senam Lansia
Hasil perhitungan chi square hubungan petunjuk perilaku bertindak
dengan senam lansia dapat dilihat pada cross tabulation Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Hubungan Petunjuk Perilaku Bertindak dengan Senam Lansia
Petunjuk
Perilaku
Bertindak
Kurang
Baik
Total
Senam Lansia
Tidak
Ya
n
%
n
%
14
77,8
4
22,2
8
12,9
54
87,1
22
27,5
58
72,5
Total
n
40
40
80
%
100
100
100
OR
P
23,63
< 0,001
Tabel 4.8. menunjukkan nilai Odds Ratio sebesar 23,63 berarti bahwa
lansia dengan petunjuk perilaku bertindak baik mempunyai kemungkinan 23,63
kali lebih besar untuk melakukan
senam
lansia dibandingkan lansia dengan
commit
to user
39
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
petunjuk perilaku bertindak kurang. Hasil uji Chi-Square bahwa ada hubungan
antara petunjuk perilaku bertindak dengan senam lansia dan secara statistik
signifikan (ρ < 0,001).
c. Hubungan Persepsi Hambatan dengan Senam Lansia
Hasil perhitungan chi square hubungan persepsi hambatan dengan
senam lansia dapat dilihat pada cross tabulation Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Hubungan Persepsi Hambatan dengan Senam Lansia
Persepsi
hambatan
Rendah
Tinggi
Total
Senam Lansia
Tidak
Ya
n
%
n
%
1
2,5
39
97,5
21
52,5
19
47,5
22
27,5
58
72,5
Total
n
40
40
80
%
100
100
100
OR
P
0,02
< 0,001
Tabel 4.9 menunjukkan nilai Odds Ratio sebesar 0,02 berarti bahwa
lansia dengan persepsi hambatan tinggi mempunyai kemungkinan 0,02 kali lebih
besar untuk tidak melakukan senam lansia dibandingkan lansia dengan persepsi
hambatan rendah. Hasil uji Chi-Square bahwa ada hubungan antara persepsi
hambatan dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ < 0,001).
d. Hubungan Persepsi Manfaat dengan Senam Lansia
Hasil perhitungan chi square hubungan persepsi manfaat dengan senam
lansia dapat dilihat pada tabulasi silang Tabel 4.8.
Tabel 4.10 Hubungan Persepsi Manfaat dengan Senam Lansia
Senam Lansia
Tidak
Ya
n
%
n
%
Rendah
17
63,0
10
37,0
Tinggi
5
9,4
48
90,6
Total
22
27,5
58
72,5
Tabel 4.10 menunjukkan nilai Odds
Persepsi
manfaat
Total
n
27
53
80
Ratio
OR
p
%
100
100 16,32 < 0,001
100
sebesar 16,32 berarti bahwa
lansia dengan persepsi manfaat tinggi mempunyai kemungkinan 16,32 kali
lebih besar untuk melakukan senam lansia dibandingkan lansia dengan
persepsi manfaat rendah. Hasil uji Chi-Square bahwa ada hubungan antara
persepsi manfaat dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ <
0,001).
commit to user
40
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Regresi Logistik Ganda
Hasil perhitungan analisis multivariat menggunakan regresi logistik
ganda untuk mengetahui hubungan persepsi keseriusan, persepsi manfaat dan
persepsi hambatan, petunjuk perilaku bertindak dengan senam lansia dapat
dilihat dari tabel 4.11.
Tabel 4.11. Analisis Regresi Logistik Ganda Faktor-faktor Yang Berhubungan
Dengan Pelaksanaan Praktik Senam Lansia
Variabel
Persepsi keseriusan tinggi
Persepsi manfaat tinggi
Persepsi hambatan rendah
Petunjuk perilaku tinggi
N observasi
-2 log likelihood
Nagelkerke R 2
OR
27,01
26,95
0,02
21,37
80
24,979
83,7%
CI 95%
Batas bawah Batas atas
2,04
357,91
2,20
329,95
0,00
0,90
1,94
235,92
ρ
0,012
0,010
0,044
0,012
Nilai Odd Ratio variabel persepsi keseriusan penyakit sebesar 27,01
berarti bahwa lansia dengan persepsi keseriusan penyakit tinggi mempunyai
kemungkinan 27,01 kali lebih besar untuk melakukan senam lansia daripada
lansia dengan persepsi keseriusan penyakit yang rendah. Hasil uji Wald
menunjukkan adanya hubungan antara persepsi keseriusan dengan senam lansia
dan secara statistik signifikan (OR= 27,01; CI=95%; 2,04 hingga 357,91; ρ =
0,012).
Nilai Odd Ratio variabel persepsi manfaat sebesar 26,95 berarti bahwa
wanita lansia dengan persepsi manfaat yang tinggi mempunyai kemungkinan
26,95 kali lebih besar melakukan senam lansia daripada lansia dengan persepsi
manfaat yang rendah. Hasil uji wald menunjukkan adanya hubungan persepsi
manfaat dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (OR= 26,95;
CI=95%; 2,20 hingga 392,05; ρ = 0,010).
Nilai Odd Ratio variabel persepsi hambatan sebesar 0,021 berarti bahwa
lansia dengan persepsi hambatan yang tinggi mempunyai kemungkinan 0,021
kali lebih besar untuk tidak melakukan senam lansia daripada lansia dengan
persepsi hambatan yang rendah. Hasil uji wald menunjukkan adanya hubungan
commit to user
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
persepsi hambatan dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (OR=
0,021; CI=95%; 0,000 hingga 0,90 ρ = 0,044).
Nilai Odd Ratio variabel petunjuk perilaku bertindak sebesar 21,37
berarti bahwa lansia dengan petunjuk perilaku
bertindak baik mempunyai
kemungkinan 21,37 kali lebih besar untuk melakukan senam lansia daripada
lansia dengan petunjuk perilaku bertindak yang kurang. Hasil uji wald
menunjukkan adanya hubungan petunjuk perilaku bertindak dengan senam
lansia dan secara statistik signifikan (OR= 21,37; CI=95%;1,94 hingga 259,92 ρ
= 0,044).
Nilai Negelkerke R2 sebesar 83,7% berarti bahwa keempat variabel bebas
(persepsi keseriusan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan, petunjuk perilaku
bertindak) mampu menjelaskan pelaksanaan praktik senam lansia
sebesar
83,7% dan sisanya yaitu sebesar 16,3% dijelaskan oleh faktor lain diluar model
penelitian.
D. Pembahasan
1. Hubungan Persepsi Keseriusan Ancaman Penyakit dengan Senam Lansia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi
keseriusan ancaman penyakit dengan melakukan senam lansia dan secara
statistik signifikan (ρ =
0,000), dimana semakin tinggi persepsi seseorang
tentang serius atau semakin parah suatu penyakit maka seseorang akan
melakukan upaya agar tidak terkena keparahan dari penyakit tersebut yaitu
melakukan senam lansia.
Rosenstock et al (2011) menyatakan bahwa persepsi keseriusan atau
keparahan suatu penyakit menyebabkan seseorang mempunyai sikap untuk
melakukan suatu upaya pengobatan, kemudian dalam (Bakhtari et al., 2012)
memprediksikan bahwa seorang individu akan mengambil tindakan untuk
melindungi diri mereka jika mereka menganggap bahwa kondisi seseorang
tersebut dalam masalah yang serius.
Konsep HBM mengemukakan, seseorang akan bertindak bila ia
merasakan suatu yang mengancam keselamatannya. Penilaian pertama adalah
commit
to user
ancaman yang dirasakan terhadap
resiko
yang akan muncul. Hal ini mengacu
perpustakaan.uns.ac.id
42
digilib.uns.ac.id
pada sejauhmana seseorang berfikir penyakit atau kesakitan betul-betul
merupakan ancaman meningkat maka akan terjadi perilaku pencegahan.
Penilaian kedua adalah perbandingan antara keuntungan dengan kerugian dari
perilaku dalam usaha untuk memutuskan melakukan atau tidak melakukan
tindakan. Keseriusan ini ditambah dengan akibat dari suatu penyakit misalnya
komplikasi, tingginya kematian akibat penyakit, penurunan fungsi fisik dan
mental, kecacatan dan dampaknya terhadap kehidupan sosial (Suhadi, 2011).
Persepsi individu terhadap resiko tertular penyakit merupakan salah satu
persepsi yang kuat untuk mendorong individu dalam berperilaku sehat. Semakin
besar persepsi resiko maka akan semakin besar kemungkinan ketertarikan dalam
kebiasaan sehat untuk mengurangi resiko yang akan terjadi. Persepsi kerentanan
ini seseorang merasakan keyakinan/percaya akan kemungkinan sakit yang
terjadi pada dirinya.
Perceived susceptibility memiliki hubungan positif dengan perilaku
sehat. Jika persepsi kerentanan terhadap penyakit tinggi maka perilaku sehat
yang dilakukan seseorang juga tinggi. Lansia merasa rentan atau beresiko
mengalami penyakit hipertensi sehingga lansia berperilaku sehat dengan
mengikuti kegiatan senam lansia. Perceived susceptibility, diartikan juga
sebagai perceived vulnerability yaitu kerentanan atau faktor resiko merujuk pada
kemungkinan seseorang dapat terkena suatu penyakit. Elsanti (2009),
mengemukakan faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi pada lansia yang
tidak dapat dikontrol yaitu jenis kelamin, umur, keturunan (genetik).
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita
yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar
kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah
terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause
wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana
hormon estrogen tersebut berubah
kuantitasnya
sesuai dengan umur wanita
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
43
digilib.uns.ac.id
secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun
(Anggraini, 2009). Hasil penelitian ini didapatkan hasil lebih dari setengah
penderita hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 67,5%. Hipertensi lebih
banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak
menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi
adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah
menopause (Marliani, 2007).
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi
orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari
orang yang berusia lebih muda. Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa
kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan
arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari
berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi
semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri.
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada
orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu
didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam
keluarga (Anggraini dkk, 2009). Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita
hipertensi (Marliani, 2007). Sebagian besar subjek penelitian dalam penelitian
ini memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi.
Elsanti (2009) menambahkan faktor resiko yang dapat dikontrol yang
mempengaruhi hipertensi pada lansia yaitu obesitas, kurang olahraga, kebiasaan
merokok, konsumsi garam berlebih, minum alkohol, minum kopi dan stress.
Hasil penelitian Iranagh & Montelbi (2015) mengungkapkan bahwa
persepsi kerentanan memiliki pengaruh tertinggi pada perilaku 200 perempuan
lanjut usia dalam beraktivitas fisik. Semakin individu memiliki persepsi
keparahan hipertensi yang tinggi
maka
semakin akan melakukan tindakan
commit
to user
44
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencegahan hipertensi agar tidak terjadi suatu penyakit yang semakin parah atau
komplikasinya. Penelitian lain yang sesuai dengan hasil penelitian ini dilakukan
oleh Kamran et al (2014) bahwa 80.7 % dari subjek penelitian menyatakan
penyakit hipertensi adalah penyakit yang sangat serius dan melakukan tindakan
berhenti merokok dan berolahraga. Sedangkan mereka yang keseriusannya
rendah tidak melakukan tindakan berhenti merokok dan berolahraga.
Persepsi keparahan yaitu persepsi seseorang yang memprediksikan
tingkat keparahan apabila menderita penyakit tersebut. Perasaan dimana tertular
penyakit apabila tidak diobati atau meninggalkannya, persepsi ini didasarkan
pada informasi kesehatan atau pengetahuan. Tahap ini meliputi evaluasi
konsekuensi kesehatan (misalnya, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi
sosial (seperti efek dari kondisi pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan
hubungan sosial).
Kombinasi kerentanan dan keparahan ditandai sebagai ancaman.
Perceived severity juga memiliki hubungan yang positif dengan perilaku sehat.
Jika persepsi keparahan individu tinggi maka ia akan berperilaku sehat. Lansia
percaya dan merasa takut atau mengangap hipertensi merupakan hal yang gawat
dan memiliki dampak yang parah. Lansia percaya bahwa hipertensi dapat
menyebabkan serangan jantung dan stroke.
Peneliti dapat menyimpulkan
bahwa dengan adanya persepsi atau
anggapan tentang keseriusan suatu penyakit dalam hal ini adalah penyakit pada
lansia yang salah satunya adalah penyakit hipertensi, membuat individu bersedia
untuk melalukan upaya dalam pencegahan penyakit hipertensi maupun
pencegahan agar penyakit tersebut tidak semakin parah yaitu dengan mengikuti
senam lansia secara teratur.
2. Hubungan Petunjuk Perilaku Bertindak dengan Senam Lansia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara petunjuk
perilaku bertindak dengan melakukan senam lansia dan secara statistik
signifikan (ρ = 0,000), hal ini berarti semakin baik petunjuk perilaku bertindak
maka akan lebih baik pula dalam melakukan senam lansia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45
digilib.uns.ac.id
Cues to action adalah mempercepat tindakan yang membuat seseorang
merasa butuh mengambil tindakan atau melakukan tindakan nyata untuk
melakukan perilaku sehat. Petunjuk perilaku bertindak yang didalamnya ada
dukungan keluarga pada lansia berperan besar dalam upaya mempertahankan
status kesehatannya. Faktor yang positif diartikan mendapat dukungan keluarga
merupakan faktor yang positif untuk perbaikan kondisi kesehatan lansia dan
faktor yang negatif diartikan bahwa kurangnya dukungan keluarga merupakan
faktor yang negatif bagi lansia. Keharmonisan keluarga, keuangan keluarga
merupakan faktor positif untuk mendukung perbaikan kondisi lansia tersebut
sehingga lansia merasa masih diperhatikan dan dibutuhkan (Suhardi, 2011).
Teori Health Belief Model, Rosenstock (1966) bahwa dukungan keluarga akan
mempengaruhi persepsi pribadi sehingga semakin besar dukungan keluarga
maka semakin mudah melakukan praktik senam lansia.
Cues to action juga berarti dukungan atau dorongan dari lingkungan
terhadap individu yang melakukan perilaku sehat. Saran dokter dan petugas
kesehatan atau rekomendasi telah ditemukan untuk menjadi cues to action untuk
bertindak dalam konteks perilaku hidup sehat. Komponen cues to action dapat di
perkuat melalui pembagian leaflet atau informasi mengenai hipertensi, surat pos
sebagai reminder (pengingat), kalender minum obat yang dapat membantu
konsintesi perilaku, pembuatan kelompok senam. Peran petugas kesehatan yang
pro aktif mengajak lansia hipertensi berpartisipasi juga merupakan faktor yang
paling berpengaruh. Hasil penelitian Rachma (2010) menunjukkan bahwa
pengalaman lansia melakukan perawatan hipertensi merupakan pengalaman
yang bersifat individual. Keluarga telah memberikan dukungan dalam perawatan
hipertensi dan perlu diselaraskan dengan dukungan petugas kesehatan.
Cues to action bisa juga merupakan kejadian, orang, atau sesuatu yang
dapat membuat orang merubah kebiasaanya. Lansia mendengar atau mengetahui
pengalaman kegagalan orang lain mengenai sulitnya mengelola penyakit
hipertensi dan keteraturan berolahraga.
Peneliti menyimpulkan bahwa adanya petunjuk perilaku bertindak yang
baik dari keluarga, lingkungan ataupun dari petugas kesehatan akan
menyebabkan keberhasilan dalam
senam
lansia dikarenakan lansia merasa
commit
to user
46
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diperhatikan dan dibutuhkan sehingga akan tergerak dengan sendirinya untuk
menjaga kesehatan.
3. Hubungan Persepsi Hambatan dengan Senam Lansia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi
hambatan yang dirasakan dengan melakukan senam lansia dan secara statistik
signifikan (ρ = 0,000), hal ini berarti semakin merasakan besarnya suatu
hambatan dalam melakukan perilaku maka keberhasilan untuk berperilaku
tersebut semakin kecil.
Persepsi ini mengacu pada evaluasi individu terhadap hambatan dalam
berperilaku/ kebiasaan sehat. Perceived barriers merupakan faktor yang cukup
penting dalam perubahan kebiasaan. Ketika orang/masyarakat percaya bahwa
kebiasaan/perilaku sehat yang baru lebih menguntungkan dari pada kebiasaan
yang lama dalam menurunkan resiko, maka kebiasaan/perilaku sehat yang baru
tersebut akan digunakan. Potensi aspek negatif dari tindakan kesehatan tertentu
sebagai hambatan untuk melakukan perilaku yang direkomendasikan. Seperti,
analisis biaya dan manfaatnya dimana individu menimbang manfaat tindakan
yang diharapkan dengan hambatan yang dirasakan, “ini bisa membantu saya,
tapi mungkin mahal, memiliki efek samping negatif, tidak menyenangkan,
nyaman, atau memakan waktu.” (Pender, 2002).
Perceived barriers secara singkat berarti persepsi hambatan atau persepsi
menurunnya kenyamanan saat meninggalkan perilaku tidak sehat. Hubungan
perceived barriers dengan perilaku sehat adalah negatif. Jika persepsi hambatan
terhadap perilaku sehat tinggi maka perialu sehat tidak akan dilakukan.
Kuesioner dalam penelitian mengungkap kemudahan akses untuk menjangkau
tempat diadakannya senam dan biaya. Teori Health Belief Model, Rosenstock
(1966) aksesibilitas lingkungan merupakan perceived barier sehingga semakin
aksesibel lingkungan maka semakin tinggi frekuensi mengikuti senam.
Penelitian ini mengungkapkan perceived barrier merupakan sejauh mana lansia
hipertensi mengangap bahwa untuk mengikuti kegiatan senam lansia tersebut
harus ada yang dikorbankan atau ada harganya yaitu membayar biaya senam,
harus meluangkan waktu untuk berolahraga. Selain iti anjuran dari petugas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
47
digilib.uns.ac.id
kesehatan yang mengharuskan lansia enggan yaitu harus mengurangi konsumsi
garam, jadi sering kecing akibat efek dari obat hipertensi (diuretik).
Hal ini sesuai dengan Rosenstock et al (2011) bahwa hambatan yang
dirasakan merupakan suatu konsekuensi negatif potensial yang mungkin timbul
ketika mengambil tindakan tertentu, termasuk tuntutan fisik, psikologis, dan
keuangan. Aspek negatif yang menghalangi individu untuk melakukan tindakan
kesehatan, misalnya biaya mahal, bahaya, rasa sakit dan pengalaman tidak
menyenangkan.
Peneliti menyimpulkan bahwa adanya persepsi hambatan dalam senam
lansia dikarenakan banyak anggapan bahwa dengan mengikuti senam tersebut
malah membuat tubuh semakin lelah dan biaya yang dikeluarkan setiap datang
senam. Atau adanaya hambatan dari pihak petugas kesehatan meliputi
ketersediaan sarana prasarana yang dibutuhkan, akses menuju pelayanan
kesehatan lansia maupun tenaga kesehatan yang kurang memadai.
4. Hubungan Persepsi Manfaat dengan Senam Lansia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara persepsi
manfaat yang dirasakan dengan senam lansia dan secara statistik signifikan (ρ =
0,000), hal ini berarti semakin merasakan manfaat dari suatu tindakan untuk
menghindari penyakit, maka akan lebih memilih melakukan tindakan tersebut
secara teratur. Rosenstock et al (2011) mengemukakan bahwa efektivitas tingkat
kepercayaan terhadap strategi yang dirancang untuk mengurangi ancaman suatu
penyakit semakin tinggi maka dengan sendirinya akan melakukan tindakan
pencegahan tersebut dalam hal ini melakukan senam lansia.
Persepsi ini mengacu pada pendapat individu terhadap keuntungan yang
didapat atau dirasakan dari suatu kebiasaan baru dalam menguangi resiko suatu
penyakit. Masyarakat akan berperilaku sehat jika mereka percaya bahwa
kebiasaan baru tersebut dapat menurunkan resiko penyakit atau terkena
penyakit. Persepsi ini seseorang menimbang keuntungan yang diperoleh antara
biaya yang dikeluarkan dengan tingkat sakitnya, misalnya apakah efektif biaya
yang dikeluarkan apabila mengikuti posyandu lansia atau mengikuti senam
lansia yang murah bila dibandingkan dengan tingkat keseriusan atau resiko
penyakit hipertensi, manfaat yang
diperoleh
ketika mengikuti senam juga dapat
commit
to user
48
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempengaruhi keputusan perilaku. Dengan demikian, individu menunjukkan
keyakinan yang optimal dalam kerentanan dan keparahan yang tidak diharapkan
untuk menerima tindakan kesehatan yang dianjurkan kecuali mereka juga
menganggap
tindakan
itu
sebagai
berpotensi
menguntungkan
dengan
mengurangi ancaman.
Perceived benefits adalah kepercayaan terhadap keuntungan dari metode
yang disarankan untuk mengurangi resiko penyakit. Perceived benefits dalam
penelitian ini yaitu kepercayaan terhadap keuntungan dari metode senam lansia
untuk mengurangi resiko penyakit hipertensi. Hasil penelitian Iskandar (2012)
menunjukkan bahwa senam lansia memiliki pengaruh terhadap perubahan
tekanan darah penderita hipertensi. Depkes (2003), olahraga dapat memberi
beberapa manfaat, yaitu: meningkatkan peredaran darah, menambah kekuatan
otot, dan merangsang pernafasan dalam. Selain itu dengan olahraga dapat
membantu pencernaan, menolong ginjal, membantu kelancaran pembuangan
bahan sisa, meningkatkan fungsi jaringan, menjernihkan dan melenturkan kulit,
merangsang kesegaran mental, membantu mempertahankan berat badan,
memberikan tidur nyenyak, memberikan kesegaran jasmani.
Perceived benefits secara ringkas berarti persepsi keuntungan yang
memiliki hubungan positif dengan perilaku sehat. Lansia yang sadar akan
keuntungan
senam
lansia
akan
terus
melakukan
perilaku
sehat
seperti secara rutin mengikuti kegiatan senam lansia. Contoh lain adalah minum
obat secara teratur dan menerapkan pola hidup sehat agar hipertensi yang
diderita tidak menimbulkan komplikasi. Perceived benefit juga diartikan sejauh
mana anggapan seseorang bahwa dengan mengikuti anjuran petugas kesehatan
akan memberi manfaat terhindar dari resiko penyakit, jadi sejauh mana nilai
keuntungan tersebut di maknai apakah sangat berharga atau tidak. Anjuran
petugas kesehatan diantaranya minum obat secara teratur, menurunkan berat
badan, menjaga pola makan, dan rajin mengikuti senam dapat mengurangi resiko
hipertensi. Lansia akan mengikuti anjuran petugas kesehatan karena dapat
terhindar dari resiko penyakit hipertensi dan komplikasinya.
commit to user
49
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Peneliti dapat menyimpulkan dari uraian diatas bahwa dengan mengetahui
manfaat dari senam lansia maka individu akan lebih tertarik dan lebih sadar tentang
pentingnya senam lansia tersebut bagi kesehatan lansia agar bisa menjalani aktivitas
dengan baik.
Kampanye skrining (pemeriksaan) tekanan darah tinggi, dilakukan untuk
mengindentifikasi orang yang beresiko mengalami serangan jantung dan stroke
terutama lansia. Orang yang mengalami hipertensi tidak selalu mengeluh sakit,
sebagian besar orang dengan hipertensi tidak mengalami gejala apa pun. Jadi, orangorang tersebut berpikir tidak perlu mengkonsultasikan masalah hipertensi dengan
dokter atau mengikuti anjuran petugas kesehatan. Karena faktanya, hanya sebagian
kecil orang dengan hipertensi yang mengeluhkan gejala seperti sakit kepala,
mimisan, nafas pendek, dan kecemasan. Sering pertama kali pasien dengan
hipertensi didiagnosa ketika hendak mencari bantuan kesehatan untuk alasan yang
tidak berhubungan dengan hipertensi. Oleh karena itu, Hipertensi disebut sebagai
silent killer (pembunuh diam-diam).
Latihan aerobik secara teratur merupakan salah satu upaya non farmakologi
pencegahan primer yang esensial dari hipertensi. Stanley (2007) menambahkan
upaya non farmakologi lainnya yaitu mempertahankan berat badan ideal, diet rendah
garam dan pengurangan stress. Darmojo (2006) mengemukakan bahwa perilaku
hidup sehat merupakan kunci penatalaksaan hipertensi selain penatalaksaan secara
farmakologi. Tingkat gabungan kerentanan dan keparahan menyediakan energi atau
kekuatan untuk bertindak dan persepsi manfaat (minus hambatan) menyediakan
pilihan tindakan. Teori Health Belief Model, dapat sangat berguna dalam
menganalisis perilaku pencegahan penyakit.
E. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu instrumen penelitian menggunakan
kuesioner tertutup sehingga kurang melakukan observasi dan wawancara mendalam
(indeep interview) terhadap lansia yang melakukan kegiatan senam lansia.
commit to user
Download