Syok Hipovolemik yang disebabkan Diare Akut

advertisement
Syok Hipovolemik yang disebabkan
Diare Akut
Edwin
10 2012 096
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510
[email protected]
Pendahuluan
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi
yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis
tubuh yang serius, seperti perdarahan masif, trauma dan luka bakar yang berat (syok
hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri
yang tidak terkontrol (syok sepsis), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik)
atau akibat respon imun (syok anafilaktik).1
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume
sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering,
syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).1
Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan
(selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara
lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas. Terjadinya kehilangan cairan dapat di
bagi atas cairan eksternal dan internal. Kehilangan cairan eksternal terutama terjadi pada
gastroenteritis, walaupun demikian kehilangan cairan eksternal ini juga dapat timbul dari
sengatan matahari, poli uria, dan luka bakar. Sedangkan kehilangan cairan internal di
sebabkan oleh sejumlah cairan yang berkumpul pada ruangan peritoneal dan pleura.
Kehilangan cairan eksternal ini juga di sertai dengan kehilangan elektrolit.1
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lebih tentang
syok hipovolemik ec dehidrasi berat. Isi dari penulisan makalah ini adalah mengenai
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, working diagnosis, differential
diagnosis, manifestasi klinis, etiologi, patofisiologi, penanganan, komplikasi dan prognosis.
Skenario 10
Seorang perempuan berusia 76 tahun dibawa ke IGD RS karena penurunan kesadaran sejak
20 menit yang lalu. Tiga hari sebelumnya, pasien mengalami diare. Frekuensi diare sangat
sering kira-kira tiap 2 jam sekali, dan disertai muntah. Riwayat lain tidak diketahui
ANAMNESIS2
Anamnesis merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis
dapat dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau dilakukan terhdap
orangtua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, yang disebut
aloanamnesis. Untuk pasien bayi dan anak yang belum dapat memberi keterangan,
aloanamnesis paling sering digunakan.
Pada pasien terutama pasien anak, sebagian terbesar data untuk menegakkan
diagnosis diperoleh dari anamnesis. Hambatan langsung yang dijumpai dalam pembuatan
anamnesis pasien anak ialah pada umumnya aloanamnesis, dan bukan autoanamnesis. Dalam
hal ini, pemeriksa harus waspada akan terjadinya bias oleh karena data tentang keadaan
pasien yang didapat mungkin berdasarkan asumsi orang tua atau pengantar.
Langkah-langkah dalam pembuatan anamnesis:

Identitas pasien: nama; umur; jenis kelamin; nama orangtua; alamat; umur,





pendidikan dan pekerjaan orangtua; agama dan suku bangsa.
Riwayat penyakit: keluhan utama
Riwayat perjalanan penyakit
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluarga
Riwayat penyakit sosial
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaann kesadaran, keadaan umum dan tanda-tanda vital
Yang diperiksa ialah tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas dan suhu tubuh.
Gambar 1. Pemeriksaan Koma Glasglow
Inspeksi 1,3
Inspeksi dapat dilakukan secara umum untuk melihat perubahan yang terjadi secara umum
dan secara lokal untuk melihat perubahan-perubahan lokal sampai yang sekecil-kecilnya.
Bantuan pemeriksaan dengan kaca pembesar dapat dilakukan. Pemeriksaan ini mutlak
dilakukan dalam ruangan yang terang. Anamnesis terarah biasanya ditanyakan pada penderita
bersamaan dilakukan inspeksi untuk melengkapi data diagnostik. Serta didapatkan takikardi,
takipnea, turgor kulit yang lambat pada pasien anak tersebut.
Palpasi
Palpasi merupakan pemeriksaan dengan meraba, mempergunakan telapak tangan sebagai alat
peraba.
Auskultasi
Auskultasi merupakan pemeriksaan menggunakan stetoskop. Dengan cara auskultasi dapat
didengar suara pernapasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik usus, dan alirah darah dalam
pembuluh darah. Pada auskultasi perlu diperhatikan adalah frekuensi denyut jantung.
Pemeriksaan Penunjang
Darah
 Leukosit
 LED
 Eritrosit
 Trombosit
 Hematokrit
 Hemoglobin
Elektrolit 3
Ada dua tipe elektrolit yang ada dalam tubuh, yaitu kation (elektrolit yang bermuatan positif)
dan anion (elektrolit yang bermuatan negatif). Masing-masing tipe elektrolit ini saling bekerja
sama mengantarkan impuls sesuai dengan yang diinginkan atau dibutuhkan tubuh. Beberapa
contoh kation dalam tubuh adalah Natrium (Na +), Kaalium (K+), Kalsium (Ca2+), Magnesium
(Mg2+). Sedangkan anion adalah Klorida (Cl-), HCO3-, HPO4-, SO4-. Dalam keadaan normal,
kadar kation dan anion ini sama besar sehingga potensial listrik cairan tubuh bersifat netral.
Pada cairan ektrasel (cairan diluar sel), kation utama adalah Na + sedangkan anion utamanya
adalah Cl-.. Sedangkan di intrasel (di dalam sel) kation utamanya adalah kalium (K+).
Disamping sebagai pengantar aliran listrik, elektrolit juga mempunyai banyak manfaat,
tergantung dari jenisnya. Contohnya :

Natrium
: fungsinya sebagai penentu utama osmolaritas dalam darah dan
pengaturan volume ekstra sel. Nilai normal Natrium serum : 135-145 mEq/L

Kalium
: fungsinya mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh.
Nilai normal Kalium serum : 3,5-5,2 mEq/L

Klorida
: fungsinya mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air pada berbagai
cairan tubuh dan keseimbangan anion dan kation dalam cairan ekstrasel. Nilai normal
Klorida serum : 95-105 mEq/L

Kalsium
: fungsi utama kalsium adalah sebagai penggerak dari otot-otot, deposit
utamanya berada di tulang dan gigi, apabila diperlukan, kalsium ini dapat berpindah
ke dalam darah. Nilai normal Kalsium serum : 8,7-10,6 mg/dl

Magnesium : Berperan penting dalam aktivitas elektrik jaringan, mengatur pergerakan
Ca2+ ke dalam otot serta memelihara kekuatan kontraksi jantung dan kekuatan
pembuluh darah tubuh. Nilai normal magnesium serum :100-200µg/L
WORKING DIAGNOSIS1,4
Berdasarkan gejala yang ada permpuan tersebut mengalami diare yang menyebabkan
banyak kehilangan cairan elektrolit sehingga berakibat syok hipovolemik. Diare sendiri
adalah kehilangan banyak cairan dan elektrolit melalui tinja. Dasar semua diare adalah
gangguan transportasi larutan usus, perpindahan air melalui membran usus berlangsung
secara pasif dan hal ini ditentukkan oleh aliran larutan secara aktif maupun pasif, terutama
natrium, klorida dan glukosa.
Syok hipovolemik dapat berhubungan dengan dehidrasi, perdarahan internal atau
eksternal, kehilangan cairan gastrointestinal (diare atau muntah), keluarnya urin sekunder
akibat diuretik atau gangguan ginjal, atau kehilangan volume intravaskuler menuju interstitial
sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskular (sebagai respons terhadap sepsis atau
trauma). Dilatasi vena akibat berbagai penyebab (sepsis, cedera spinal, dan berbagai obat dan
toksin) dapat menyebabkan keadaan hipovolemik relatif.
Dehidrasi dapat timbul pada diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea
dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai
rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urine
gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada keadaan berat dapat
mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing
kepala.
Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat dibagi 3 tingkatan, yaitu :
1. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5 % BB) : gambaran klinisnya turgor kurang, suara
serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok.
2. Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8 % BB) : turgor buruk, suara serak, pasien jatuh
dalam presyok atau syok, nadi cepat, nafas cepat dan dalam.
3. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10 % BB) : tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran
menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis.
Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam
menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status volume dinilai
dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, tempratur
tubuh dan tanda-tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal
yang penting. Adanya kualitas bunyi usus dan adanya distensi abdomen dan nyeri tekan
merupakan “clue” bagi etiologi.
Stadium-Stadium Syok1,4
Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau
irreversible sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut:
1. Stadium 1: Anticipation Stage
Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam batas normal.
Biasanya masih cukup waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar.
2. Stadium 2: Pre-Shock Slide
Gangguan sudah bersifat sistemik. Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas atau
batas bawah kisaran normal.
3. Stadium 3: Compensated Shock
Compensated shock bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah, suatu
kondisi yang disebut "normotensive, cryptic shock" Banyak klinisi gagal mengenali bagian
dini dari stadium syok ini. Compensated shock memiliki arti khusus pada pasien DBD dan
perlu dikenali dari tanda-tanda berikut: Capillaryrefill time > 2 detik; penyempitan tekanan
nadi, takikardia, takipnea, akral dingin.
4. Stadium 4: Decompensated Shock Reversible
Disini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairan intravena
dan/atau vasopresor
5. Stadium 5: Decompensated Irreversible Shock
Kerusakan mikrovaskular dan organ sekarang menjadi menetap dan tak bisa diatasi.
Differential Diagnosis 5
Syok anafilaktik
Bentuk syok yang terjadi drastic, akut, dan cepat. Bentuk syok ini diakibatkan oleh reaksi
antigen-antibodi yang bila antigen-dimana individu telah tersensitisasi sebelumnya-memasuki
tubuh tersebut.
Syok neurogenik
Syok neurogenik juga diketahui sebagai syok spinal adalah akibat dari kehilangan tonus
vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Tous vasomotor
dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat simpatis yang meluas
ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Karenanya, kondisi
apapun yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis serta persarafan dapat
mencetuskan syok neurogenik. Salah satu contohnya adalah kondisi cedera kepala yang
secara langsung atau tidak langsung berefek negative pada area medulla batang otak.
Syok Kardiogenik
Status syok yang secara langsung dapat dihubungkan dengan kerusakan atau
penurunan curah jantung dianggap sebagai syok kardiogenik. Dua kategori kondisi yang
dapat mengakibatkan syok berasal dari jantung: gagal pompa, adalah ketidakmampuan
jantung untuk berkontraksi secara efektif, dan penurunan aliran vena, yaitu ketidakmampuan
darah memasuki jantung dalam jumlah yang cukup.
Gagal pompa. Syok gagal pompa selalu dihubungkan secara langsung dengan gagal
jantung, yang paling sering akibat infark miokard massif. Kondisi lain yang menyebabkan
syok kardiogenik karena gagal pompa mencakup miokardiopati, toksisitas obat, dan
disritmia. Mekanisme dimana infark jantung menyebabkan gagal pompa dihubungan dengan
kerusakan miokard luas yang mengakibatkan penurunan besar pada curah jantung. Gagal
pompa terjadi bila hampir setengah dari jaringan miokard tidak berfungsi.
Penurunan aliran balik vena. Penurunan aliran balik vena adalah kategori syok
kardiogenik yang tidak disebabkan oleh ketidakadekuatan volume sirkulasi tetapi oleh
impedans actual aliran darah ke dalam jantung. Penurunan aliran balik akibat dari suatu
kondisi seperti tamponade jantung, efusi pericardial akut, dan pergeseran mediastinal yang
menekan jantung sehingga aliran ke dalam vena terganggu. Penurunan aliran balik vena
selalu akibat dari penurunan curah jantung dan karenanya menurunkan tekanan darah dengan
kerusakan jaringan dan perfusi organ.
Syok kardiogenik terjadi jika kerusakan otot jantung > 40 %, sedangkan angka
kematiannya > 80 %. Pada keadaan syok kardiogenik ini bisa juga terjadi infark yang baru
pada infark miokard yang lama. Selain itu karena kerusakan iskemik dan nekrosis yang
progresif menyebabkan terjadinya perburukan hemodinamik. Pada keadaan ini juga
ditemukan kadar enzim-enzim jantung meningkat tinggi.
Syok kardiogenik biasanya terjadi dalam situasi infark akut dinding anterior dan
anteroseptal dengan infark baru atau lama di apeks. Disini terjadi obstruksi proksimal arteri
koronaria desendens anterior kiri. Kebanyakan juga akibat penyakit pembuluh darah koroner.
Gejala Klinis
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,
besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan
tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah
mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan
takhikardia. Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi
pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu
yang cepat atau singkat.6
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan serta
perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok.
Respon fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung
sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi efektif. Di sini akan terjadi peningkatan
kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon stress serta
ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan
interstisial, interselular dan menurunkan produksi urin.1
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting
untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan langsung. Syok
hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis.
Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan,
letargi, atau perubahan status mental. Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan
kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.
Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan
memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi
kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor).1
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan
darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting
untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:
1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu
berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis penting
untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi
mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan
curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan
tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun
tidak di bawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada
orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.6
Tanda-tanda vital ortostatik mungkin normal pada individu hipovolemik, atau individu
normal dapat memperlihatkan perubahan-perubahan ortostatik yaitu hipotensi. Jadi, gunakan
pertimbangan klinis. Sebagai tambahan, ingesti alkohol, makan atau usia lanjut dapat
menyebabkan perubahan-perubahan ortostatik dalam tekanan darah dan nadi. Penurunan
diastolik ortostatik sebesar 10-20 mmHg atau peningkatan nadi sebesar 15 detak/detik
dianggap bermakna.periksa tanda-tanda vital ortostatik, berbaring dan setelah berdiri selama
1 sampai 2 menit. Takikardia biasanya tetap ada tetapi mungkin tidak didapatkan bila ada
iritasi diafragma, yang menyebabkan stimulasi vagal. Hipoperfusi ditandai oleh berkurangnya
jumlah urin, daya pikir menurun, ekstremitas dingin, bercak-bercak, dll.6
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan
menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti:
(1) Turunnya turgor jaringan
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta
(3) Bola mata cekung.6
ETIOLOGI1,4
Syok hipovolemik adalah tergangguanya sistem sirkulasi akibat dari volume, darah
dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif atau
kehilangan plasma darah.
Perdarahan
Hematom subkapsular hati
Aneurisma aorta pecah
Perdarahan gastrointestinal
Perlukaan berganda
Kehilangan plasma
Luka bakar luas
Pankreatitis
Deskuamasi kulit
Sindrom Dumping
Kehilangan cairan ekstraselular
Muntah (vomitus)
Dehidrasi
Diare
Terapi diuretik yang sangat agresif
Diabetes insipidus
Insufisiensi adrenal
Patofisiologi 1
Tubuh manusia berespon terhadap pendarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi
utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskular, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan
mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelepasan
tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2
lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber pendarahan. Pembuluh darah
yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan
menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus,
arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon
dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot,
dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari
apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I,
yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II
mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok
hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya
akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan
terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak
langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus
distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi perfusi
organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau
koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan
berkurang,
dan
kegagalan
berbagai
organ
akan
segera
terjadi.
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian darah rata-rata dan menurunkan aliran darah
balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang
rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapaorgan.
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan
tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi
jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya gastrointestinal. Kebutuhan energy untuk
penalaksanaan metabolism di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ tersebut
tidak mampu menyimpan cadangan energy. Sehingga keduanya sangat bergantung akan
kesediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu
yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean
arterial pressure/MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan
fungsi
sel
di
semua
organ
akan
terganggu.
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor
tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autoimun tubuh yang mengatur perfusi
serta
substrak
lain.
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti : pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan
kontraksi miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung,
penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi
jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya
menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat
namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curahjantung.
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan
absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati dalam usus. Hal ini
memicu pelebaran darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki sel dan
menyebabkan
depresi
jantung.
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi terjadinya
sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi kini adalah
nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang
nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal
mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di
ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi
glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan vesopresin bertanggung jawab
terhadap menurunnya produksi urin.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah
yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan.
Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme
anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam
laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam
klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis
adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera
dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan
prioritas utama.
Penatalaksanaan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:
(1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,
peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah
(2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut
(3) resusitasi cairan.7
Ketika hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah menempatkan
pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan diberikan resusitasi cairan
dengan cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang memungkinkan seperti pemasangan
kateter CVP (central venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah
garam isotonus yang diteteskan dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau
dengan cairan garam seimbang seperti Ringer’s laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar.
Tidak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik.
Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan
hemodinamik.1
Resusitasi Cairan Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat
berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama
untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi
cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan
menurunkan angka mortalitas.6,7
Memaksimalkan penghantaran oksigen. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera
dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus
diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail
chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam
jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan
positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan
sebaiknya
dihindari.1
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya
menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang
bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya,
dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi.
Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan
terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan
dapat mengganggu pertukaran udara.1
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi
kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan
demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan
dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.Untuk perbaikan sirkulasi, langkah
utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan
infus Saline atau Ringer Laktat isotonis.Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan
untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui
agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang
cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang
umum dari hipovolemia adalah pendarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya
seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akuta.
Pemilihan Cairan Intravena. Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,
konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah
dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis.6,7
Prisip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah cairan
yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan :
1. BJ plasma dengan rumus :
Kebutuhan cairan = BJ plasma – 1,025 x Berat badan x 4 ml
0,001
2. Metode Pierce berdasarkan klinis :
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x Berat badan (kg)
Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x berat badan (kg)
3. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis :
Kebutuhan cairan = skor x 10% x kgBB x 1 liter 15
Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral (sebanyak
mungkin, sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama dengan 3 disertai syok diberikan
cairan per intravena. 7
Cairan rehidrasi pada dehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui
selangnasogastrik atau intravena. 7
Bila dehidrasi sedang/beratsebaiknya pasien diberikan cairan melalui infuse pembuluh
darah. Sedangkan dehidrasi ringan sebaiknya pasien diberikan cairan peroral atau selang
nasogastrik, kecuali bila ada kontraindikasi atau oral/saluran cerna atas tidak dapat dipakai.
Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 gr glukosa,
3,5 gr NaCl, 2,5 Natrium Bicarbonat dan 1,5 gr KCl setiap liter. Contoh oralit generik,
renalyte, pharolit, dll.
Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas :
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial) : jumlah total kebutuhan cairan menurut rumus
BJ plasma atau Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam, ini agar dapat tercapai rehidrasi
optimal secepat mungkin.
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan
cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau
skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral.
c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja
dan insensible water loss (IWL).7
Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang
menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Terapi awal pasien hipotensif adalah
cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer
Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat
dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18–24 jam sesudah cedera
luka bakar. Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid,
koloid, dan darah.6,7
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid
antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan
sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan
edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. Larutan NaCl isotonis
dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia
atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan
ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan
kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl
0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti
kehilangan cairan insensibel.Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat.
Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan
asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien
dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam
larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi
bikarbonat.6,7
Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi merupakan bahan
diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji untuk resusitasi, antara lain : NaCl 0,9%,
larutan Ringer Laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi protein murni, plasma beku segar,
hetastarch, pentastarch dan dekstran 70. Penganut resusitasi koloid berkilah bahwa tekanan
onkotik yang meningkat karena penggunaan zat-zat ini adalah mengurangi edema paru.
Namun, vaskular paru memungkinkan aliran zat dalam jumlah besar, termasuk protein, di
antara ruang intravaskular dan interstisial. Dipertahankannya tekanan hidrostatik paru penting
dalam mencegah edema paru. Alasan lain adalah dengan koloid lebih sedikit jumlah yang
dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskular. Infus Ringer Laktat sebanyak 1 L
hanya menambah volume intravaskular sebesar 194 ml. Banyak kajian membenarkan hal ini.
Resusitasi dengan kristaloid saja akan mengencerkan protein plasma dan dengan mengurangi
tekanan onkotik memudahkan filtrasi cairan dari inravaskular ke interstisial. Edema perifer
bisa mengurangi konsumsi oksigen secara mencolok karena jarak anara sel dan kapiler
menjadi bertambah. Walaupun demikian, perbedaan prognosis belum ditunjukkan antara
koloid dan kristaloid.7
KOMPLIKASI1,4





Kerusakan organ-organ vital
Kerusakan susunan saraf pusat
Kerusakan fungsi hati dan ginjal
Dapat menyebabkan gagal ginjal
Asidosis metabolik
PROGNOSIS 8
Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-gejala dan hasil
dapat bervariasi tergantung pada:
• Jumlah volume darah yang hilang
• Tingkat kehilangan darah
• Cedera yang menyebabkan kehilangan
• Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung, paru-paru,
dan penyakit ginjal
Secara umum, pasien dengan derajat syok yang lebih ringan cenderung lebih baik
dibandingkan dengan syok yang lebih berat. Dalam kasus-kasus syok hipovolemik berat,
dapat menyebabkan kematian sehingga memerlukan perhatian medis segera. Orang tua yang
mengalami syok lebih cenderung memiliki hasil yang buruk.
KESIMPULAN
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari
kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi
akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.
Dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat mengurangi angka mortilitas
pada orang dengan keadaan syok. Berdasarkan anamesis dan pemeriksaan yang tepat pasien
dapat disumpulkan menderita syok hipovolemik yang disebabkan dehidrasi. Pasien
mengalami kekuranggan cairan sehingga menurun kan perfusi beberapa jaringan dan organ
vital.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo, Aru. W, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simabrata K. 2007. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 180-95.
2. Mansjoer,arif. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Cetakan ke-7. Jakarta: Media
Aesculapius; 2005. hal: 288-90.
3. Kee, Joyce. Pendoman pemeriksaan laboratorium & diagnostik. Jakarta: EGC; 2007. hal:
194-201
4. Harrison. Prinsip – prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol 2. Edisi 13. Mcgraw Hill.2005
5. Jong WD, Sjamsuhidajat. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC, 2005. H. 120
6. FH Feng, KM Fock. 1996. Pengantar Penuntun Pengobatan Darurat. Yayasan Essentia
Medical Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 5–163.
7. . Sunatrio, S. 14 Agustus 1999. Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium
Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan. Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM. Jakarta.
8. Purwadianto Agus, Sampurna Budi. Syok Hipovolemik. Dalam: Kedaruratan Medik. Edisi
Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara; 2013.h.52-5
Download