Tujuan pembelajaran: VII ROADMAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DI INDONESIA Memahami proses perencanaan dan pembentukan kawasan konservasi di Indonesia – sejarah perkembangan kawasan konservasi, pengalaman (pembelajaran) dari negara lain dan berbagai proses yang kita alami di Indonesia. Juga, dibahas inisiatif pengembangan Kawasan Konservasi Perairan sebagai hasil dari kerjasama antara IUCN/WWF Program bersama Direktorat Jenderal PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam). Pada bagian akhir disajikan perkembangan jumlah Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, sampai saat ini 7.1 Sejarah Perkem bangan Konservasi di Indonesia Sejarah kawasan konservasi di Indonesia bisa dibedakan ke dalam 4 (empat) periode, ialah: (1) pra-kolonial; (2) periode kolonial Belanda, (3) periode kemerdekaan, dan (4) periode reformasi. Sejarah kawasan konservasi selama periode kolonial hampir terlupakan. Anehnya peninggalan kawasan konservasi jaman pra-kolonial bisa bertahan sampai saat ini walaupun tanpa aturan tertulis dan tanpa pengukuhan melalui aturan formal oleh pemerintah. Sebaliknya, banyak kawasan konservasi formal yang dibangun selama masa kemerdekaaan dan era reformasi tidak dipatuhi oleh masyarakat – sebagian dari kawasan tersebut bahkan dijaga ketat oleh aparat keamanan yang terlatih. Pada jaman pra-kolonial, konservasi tumbuh dari dua tipe warisan perilaku yang berbeda. Perilaku pertama ialah adanya tempat-tempat yang dikeramatkan (sakral) yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Aturan ini terbentuk dengan sendirinya dan dipatuhi oleh masyarakat di sekitarnya. Setiap orang yang bertamu ke dalam suatu wilayah, biasanya akan bertanya tentang kondisi desa, termasuk perilaku (tabu) yang tidak boleh dilakukan dan tempat-tempat yang tidak boleh didatangi (keramat). Jika hal ini dilanggar, warga desa akan segera menegur dan bahkan ketakutan karena sudah terjadi pelanggaran aturan, yang mereka patuhi secara turun temurun. Di laut, lokasi ini sekarang sering disebut dengan istilah “fish sanctuary”. Dia berpeluang menjadi KKP secara alami, dan melalui mekanisme spill-over serta ekspor-larva, memperbaharui (replenish) perikanan tangkap di sekitarnya. Di Blitar Jawa Timur, ada suatu lokasi bernama Telaga Rambut Monte yang sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya sebagai tempat yang terlarang – Rambut Monte ialah sebuah telaga sumber yang berukuran sekitar 400 m2 . Di dalam telaga terdapat beberapa jenis ikan, yang paling unik ialah ikan Sengkaring, Tor douronensis (Valenciennes, 1842). Tanpa aturan 279 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia formal, ikan sengkaring tetap terjaga di dalam telaga, sementara ikan yang sama tidak ditemukan di daerah lain, di sekitarnya. Tabu atau pantangan ialah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Menghindar dari perilaku tabu inilah yang kemungkinan menjadi kata kunci keberhasilan kawasan konservasi yang terbangun sejak jaman pra-kolonial di Indonesia. Perilaku kedua ialah adanya kesepakatan di dalam masyarakat, antara kepala kelompok dangan anggota kelompok, untuk melindungi suatu wilayah dengan segala isinya. Perilaku ini tumbuh dari keinginan bersama, bukan dari pandangan tabu. Kepala kelompok mendapat wewenang untuk mengawasi dan menegakkan aturan, termasuk menentukan hukuman terhadap pelanggaran aturan konservasi. Pada beberapa kasus, sanksi sosial sudah ditentukan dalam kesepakatan. Beberapa contoh dari kawasan konservasi yang kita kenal sampai saat ini ialah Sasi Laut di Maluku dan Papua, Panglima Laot di Aceh, Awig-Awig di Bali dan Lombok, atau Nyale di Sumba. Masyarakat Nusa Penida Bali, pernah mempunyai aturan Awig-Awig tentang perlindungan terumbu karang. Masyarakat sepakat untuk melarang perdagangan terumbu karang ke luar desa. Untuk kepentingan membangun rumah sendiri, anggota masyarakat dalam desa berhak untuk mengambil karang di laut. Jika anggota masyarakat menjual karang keluar desa, dia akan dikenakan hukuman sosial – bekerja sosial di Balai Desa (Bale Banjar) selama 20 hari. Kepatuhan masyarakat pada tipe kawasan konservasi seperti ini masih cukup kuat, walaupun belakangan mulai berkurang. Kunjungan ke beberapa wilayah Sasi Laut maupun Panglima Laot menunjukkan pernah adanya atau eksistensi dari aturan-aturan pembatasan di dalam kawasan. Sayangnya, sistem ini tidak mendapatkan penguatan yang optimal dari pemerintah. Pada jaman kolonial Belanda, inisiatif konservasi bisa berasal dari individu maupun pemerintah. Pada tahun 1714 Cornelis Chastelein menulis surat wasiat untuk menyerahkan sebidang tanah (hutan) di Depok, kepada pengikutnya. Namun hutan tersebut harus dilindungi sebagai kawasan konservasi, untuk menjaga kesimbangan lingkungan di sekitarnya. Sebagai gantinya, Chastelein memberikan sebidang tanah lainnya dan bisa dimanfaatkan oleh pengikutnya. Pengikut Chastelein, sekarang mendirikan Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) untuk mengenang jasa Chastelein. Pada tahun 1889, Direktur Lands Plantentuin (sekarang menjadi Kebun Raya Bogor), mengusulkan kawasan hutan Cibodas untuk dilindungi, untuk kepentingan penelitian. Kawasan ini diperluas pada tahun 1925, mencakup Pengunungan Gede dan Pangrango. Sekarang, kawasan tersebut menjadi Taman Nasional Gede Pangrango, kawasan yang bertujuan untuk melindungi persediaan air di wilayah perkotaan (Jakarta). Pada tahun 1932, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Natuur Monumenten Ordonatie atau Ordonasi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Sejak saat itu konservasi secara hukum mulai diterapkan. Namun kawasan konservasi selalu berada di darat, sementara pengetahuan dan kemajuan di bidang pesisir dan kelautan sangat jauh tertinggal (Tabel 7.3). Pada era kemerdekaan, Pemerintah Indonesia (Departemen Kehutanan) bekerja sama dengan Pemerintah Kerajaan Belanda untuk membangun sekolah khusus bagi praktisi konservasi di Indonesia. Sekolah ini disebut School of Environment and Conservation Management (SECM) yang berlokasi di Bogor. Lulusan dari SECM inilah yang pada umumnya menjadi pengelola hampir semua kawasan konservasi di Indonesia. Namun mulai tahun 1994, SECM harus ditutup oleh Pemerintah Indonesia karena anggaran yang terbatas. Pada saat yang sama jumlah dan luas kawasan konservasi terus meningkat, dan sebagian dari lulusan SECM saat ini sudah mengalami purna tugas. Setelah periode kekosongan selama hampir 13 tahun, Pemerintah Indonesia mulai merasakan pentingnya SECM dan bekerja sama dengan Pemerintah Korea untuk membuka kembali sekolah tersebut. SECM 280 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia dianggap sangat berhasil dalam mendidik tenaga praktisi dan pengelola kawasan konservasi di Indonesia. Keberadaan SECM sangat mewarnai kualitas pengelolaan kawasan konservasi dalam era kemerdekaan. Namun pendididkan lebih difokuskan untuk keperluan kehutanan atau kawasan konservasi di darat, dengan tujuan utama perlindungan keanekaragaman hayati. Spesialist dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan diduga jauh tertinggal dibandingkan dengan komponen daratan. Sebelum era reformasi, ada beberapa inisiatif masyarakat desa pesisir untuk melindungi wilayah di laut dengan tujuan memperbaiki perikanan. Istilah yang paling umum digunakan ketika itu ialah Daerah Perlindungan Laut (DPL). Inisiatif ini didukung oleh beberapa proyek, seperti Coastal Resource Managemient Project (CRMP). Contoh dari DPL yang cukup berhasil ialah Blongko, Talise, Bentenan dan Tumbak di Sulawesi Utara. Semua aktifitas pengelolaan kawasan dilakukan oleh masyarakat, yang didorong oleh proyek dan instansi pemerintah daerah. Inisiatif ini kemudian dikembangkan oleh beberapa program berikutnya, seperti COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). Pada awal era reformasi, terjadi beberapa perubahan dalam bidang hukum dan perundangan. Reformasi hukum tersebut juga terjadi dalam bidang konservasi. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 ialah peraturan pertama yang memberi wewenang pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan kepada insitusi selain Departemen Kehutanan. Pada saat yang sama, melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah mendapat wewenang untuk mengelola kawasan konservasi. Selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengelola kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Jadi, pada era reformasi, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 3 (tiga) jenis Undang-Undang terkait dengan kawasan konservasi. Sedangkan dalam era kemerdekaan (1945 – 2000), selama kururn waktu sekitar 55 tahu, pemerintah hanya menetapkan satu undang-undang tentang konservasi. Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia tampaknya dimulai dari darat, seperti umumnya daerah-daerah lain di dunia. Pada periode penjajahan Belanda, penetapan kawasan konservasi selalu dilakukan di darat. Pendidikan konservasi pada era kemerdekaan (SECM) juga lebih banyak difokuskan untuk masalah-masalah kehutanan di darat. Laut menjadi wilayah yang hampir dilupakan untuk kepentingan konservasi. Dengan meningkatnya teknologi penangkapan ikan, sebagian besar habitat dan sumber daya ikan mengalami degradasi akibat penangkapan berlebih dan tidak ramah lingkungan. Setelah tahun 2000, era reformasi, beberapa inisiatif termasuk pengembangan kebijakan konservasi, dimulai ke arah laut. Dari sejarah perkembangan kawasan konservasi, Indonesia tampaknya sedang berada dalam proses mencari bentuk menuju pengelolaan kawasan konservasi yang efektif. Oleh karena itu, ada baiknya kalau kita mempelajari pengalaman dari proses pembentukan beberapa kawasan konservasi diluar Indonesia. Pembelajaran yang sesuai bisa kita gunakan dan adopsi untuk perbaikan sistem yang sudah berkembang sampai saat ini. 7.2 Proses Pembentukan dan Pengelolaan Kaw asan Konservasi Proses pembentukan kawasan konservasi sangat beragam, tergantung dari: kondisi masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dari negara bersangkutan, perangkat hukum dan kebijakan, dan kesadaran akan kebutuhan bersama untuk mencadangkan sebagian wilayah sebagai 281 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia kawasan yang dilindungi. Namun, paling tidak ada 5 (lima) proses yang sama diantara masing-masing kawasan, ialah: (1) inisiatif dari para pihak; (2) seleksi berdasarkan prioritas; (3) klarifikasi atau validasi lapang; (4) pengajuan rencana, dan (5) penetapan. Inisiatif pencalonan kawasan paling sering berasal dari praktisi atau disebut pegiat konservasi yang bekerja pada tingkat lapang. Rencana inisiatif dipersiapkan dalam bentuk rencana tingkat proyek atau program. Penerima inisiatif ialah instansi yang berwenang yang selanjutnya melakukan seleksi berdasarkan skala prioritas. Jika usulan masuk dalam rencana prioritas, biasanya instansi berwenang bersifat responsif. Instansi berwenang, bersama pengusul selanjutnya melakukan klarifikasi atau validasi lapang. Hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa calon yang diusulkan memenuhi kriteria untuk diajukan sebagai kawasan. Ketika semua kriteria sudah terpenuhi, instansi berwenang mempersiapkan rencana pengusulan calon. Jika tahapan ketiga sudah dilakukan dan hasilnya positif, maka hampir bisa dipastikan bahwa calon yang diusulkan akan segera ditetapkan. Rencana pengusulan calon kawasan berisikan informasi dasar (kriteria) untuk penetapan calon kawasan dan perangkat hukum yang digunakan untuk penetapan. Pada tahap akhir ialah pertemuan bersifat “ceremonial launching”, pengumuman penetapan kawasan kepada publik. 7.2.1 Perlindungan Habitat Ikan – Queensland, Australia Negara bagian Queensland Australia menetapkan Undang-Undang Perikanan (Fisheries Act) pada tahun 1994 (sebagai perbandingan, Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan, atau 10 tahun sebelum Queensland mempunyai hal yang sama). Instansi berwenang pengelola perikanan berada di bawah Department Primary Industries and Fisheries. Salah satu pendekatan dalam pengelolaan perikanan ialah melalui kawasan konservasi – secara lokal, kawasan ini disebut Fish Habitat Area atau wilayah perlindungan habitat ikan. Sejak tahun 1994, muncul berbagai inisiatif untuk pembentukan habitat perlindungan ikan. Sampai bulan Juli tahun 2010 (16 tahun kemudian), Negara Bagian Queensland sudah memiliki 71 kawasan perlindungan habitat ikan. Tipe kawasan dan bentuk pengelolaan dibedakan dalam dua bentuk, ialah: kawasan Habitat Reserve dengan bentuk pengelolaan tipe A, dan Wetland Reserve dengan bentuk pengelolaan tipe B. Proses penetapan kawasan perlindungan habitat ikan, teridiri dari 12 langkah, ialah: 1) Nominasi calon kawasan 2) Penentuan prioritas dalam seleksi 3) Penelusuran pustaka dan survei lapang 4) Draft Rencana Pengelolaan 5) Konsultasi awal dengan para pihak 6) Revisi informasi & perbaikan draft rencana pengelolaan 7) Konsultasi kedua 8) Revisi berdasarkan informasi hasil konsultasi kedua. 9) Penetapan tanda batas kawasan 10) Penyerahan Rencana Pengelolaan pada Bagian Hukum Kementerian Primary Industries 11) Penyerahan kepada Minister for Primary Industries. 282 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia 12) Penyerahan kepada Gubernur untuk ditetapkan Semua proses, sampai pada penetapan bervariasi antara 18 sampai 36 bulan, suatu proses yang relatif sangat cepat. Tahapan proses antara 4 – 12 harus bisa diselesaikan oleh Pemerintah (Department of Primary Indutries and Fisheries) dalam waktu 12 bulan. Hal ini terjadi karena proses konsultasi hanya melibatkan kelompok-kelompok yang terbatas dan sebagian besar dilakukan melalui pengumuman pada website. Setelah pada tahap 12, ada kemungkinan suatu calon kawasan ditolak oleh Gubernur dan semua proses, dari 1 sampai 12 dinyatakan gugur. Kawasan perlindungan habitat ikan (Fish Habitat Area) didefinisikan sebagai wilayah perairan yang mengandung habitat kritis dan penting bagi ikan serta daerah penangkapan ikan, dilindungi secara hukum untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan. Tujuan utama pembentukan ialah untuk melindungi dan mempertahankan keberlanjutan perikanan tangkap. Keunikan paling dasar dari kawasan konservasi ini ialah bahwa kegiatan ekstraktif dalam bentuk penangkapan ikan diperbolehkan pada seluruh wilayah kawasan. Bahkan, menggali lumpur untuk mendapatkan cacing bagi umpan penangkapan juga diperbolehkan – Kawasan tidak mengenal istilah wilayah larang-ambil atau no-take zone, seperti umumnya kawasan konservasi lainnya. Kemungkinan besar inilah yang menjadi faktor utama Daerah Perlindungan Ikan di Australia bisa berkembang cepat tanpa ada penolakan yang nyata dari masyarakat (Gambar 7.1). Sedangkan kegiatan yang dilarang ialah semua bentuk pembangunan yang kemungkinan berdampak pada perubahan habitat, seperti reklamasi pantai, penahan gelombang dan/atau mengambil kayu, walaupun berasal dari pohon yang sudah mati (Tabel 7.1). Rehabilitasi habitat, seperti penanaman bakau sangat dimungkinkan di dalam kawasan, walaupun kegiatan tersebut harus mendapat ijin dari pengelola. Dengan demikian, kawasan bisa termasuk dalam kategori IV menurut kriteria IUCN. Pada sisi lain, tujuan utama pembentukan kawasan ialah mempertahankan pemanfaatan dan keberlanjutan perikanan tangkap. Pada saat yang sama, dia juga bisa dimasukkan kedalam kategori VI dari IUCN. Informasi paling akhir mendapatkan bahwa Pemerintah Australia melaporkan sebagian besar dari habitat perlindungan ikan di Queensland sebagai kategori IV, Habitat/Species Management Area. 283 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia Tabel 7.1 Berbagai jenis kegiatan yang diperbolehkan, tanpa ijin, memerlukan ijin, dan dilarang dilakukan di dalam kawasan habitat perlindungan ikan (Sumber: DPI, 2002 Fish Habitat Area) NO Jenis Kegiatan Tanpa Ijin Perlu Ijin Dilarang 1 Memasuki kawasan (Akses langsung) √ 2 Menggunakan perahu/speedboat ke dalam kawasan √ 3 Menangkap ikan pada skala tradisional √ 4 Menangkap ikan – sport fishing & recreational fishing √ 5 Menggali lumpur untuk mencari cacing – untuk umpan √ 6 Membangun pelabuhan perikanan / jetty √ 7 Membangun tambatan perahu (mooring buoy) √ 8 Menimbun pantai untuk mengontrol erosi √ 9 Reklamasi pantai √ 10 Membangun penahan gelombang (break-water) √ 11 Mengambil kayu dari dalam bakau dan pantai √ 12 Rabilitasi habitat kritis dan penting untuk ikan 13 Mengambil mollusca 284 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia √ (√ √ ) dalam pertimbangan Gambar 7.1 Lokasi dan jarak antar kawasan habitat perlindungan ikan pada wilayah pesisir Negara Bagian Queensland yang relatif dekat satu sama lain (Sumber: DPI, 2002 Fish Habitat Area – brochure) 7.2.2 Florida Keys National Marine Sanctuary – Amerika Serikat Sejarah konservasi di Amerika Serikat hampir tidak bisa dipisahkan dari YellowStone. YellowStone National Park benyak dianggap sebagai Taman Nasional pertama di dunia, ditetapkan pada tahun sekitar 1872, oleh Ulysses S. Grant. Taman Nasional ini terkenal karena kehidupan alam liar, pemandangan geothermal dan geyser (air panas alam karena aktifitas gunung berapi). YellowStone juga memiliki pemandangan lain yang unik, seperti danau, lembah (canyon), sungai dan pegunungan yang curam. Danau YellowStone dipercaya merupakan danau terbesar yang terletak di wilayah pengunungan (dataran tinggi) dan merupakan bekas caldera dari supervolcano. Namun YellowStone sepenuhnya ialah kawasan konservasi yang ada di darat. Florida Keys ialah wilayah perairan yang menjadi persinggahan para penjelajah dan peneliti kelautan sejak berabad-abad yang lalu ketika berkunjung ke Amerika. Sejak beberapa dekade lalu, beberapa peneliti mengamati adanya penurunan kualitas lingkungan sebagai akibat dari polusi laut dan pemanfaatan berlebih. Pada tahun 1957 praktisi konservasi dan peneliti mengadakan pertemuan (lokakarya), membahas penurunan kualitas lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai hasil dari lokakarya, Pemerintah Negara Bagian Florida menetapkan Florida Key sebagai Taman Laut – pembentukan Taman Laut Florida Keys tidak melibatkan konsultasi publik yang intensif, seperti yang 285 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia dilakukan di Negara Bagian Queensland, Australia. Namun proses pembentukan memerlukan waktu yang relatif lebih lama (tiga tahun) dari inisiatif calon kawasan. Penetapan dan pengelolaan kawasan secara optimal ternyata belum menurunkan tingkat pencemaran dan pemanfaatan berleb ih pada sumber daya di laut. Karena desakan media dan sebagian publik, pemerintah menetapkan beberapa kawasan baru, bersebelahan dengan Florida Keys - Largo National Marine Sanctuary (tahun 1975), Pennekamp Park, dan Looe Key National Marine Sanctuary (tahun 1981). Proses penetapan kawasan juga tidak melibatkan publik yang intensif. Degradasi kawasan terus berlanjut – tutupan karang keras menurun. Pengeboran minyak yang dilakukan sekitar tahun 1980an dilaporkan menurunkan kualitas air, bleaching karang, kematian padang lamun, menurunnya populasi ikan karang dan meningkatnya penyakit pada coral polyp. Pada tahun 1989, ada 3 (tiga) kapal cargo besar yang karam di dalam kawasan selama 18 hari. Desakan publik mengharuskan kepada tiga kapal cargo tersebut untuk membayar denda kepada pemerintah. Seluruh denda dibayar oleh perusahaan tanpa perlawanan yang berarti. Pada tahun 1990, Pemerintah Amerika Serikat, George Bush, menetapkan seluruh kawasan Florida Keys sebagai kawasan konservasi melalui Hukum Federal Amerika Serikat. Saat ini, Florida Keys National Marine Sanctuary tersusun atas 14 kawasan konservasi perairan, yang masing-masing ditetapkan berdasarkan Hukum Negara Bagian Florida. Pada saat yang sama, seluruh wilayah (regional) juga dilindungi dengan menggunakan Hukum Federal – Suatu Kawasan Konservasi Perairan dilindungi melalui dua peraturan berbeda, tingkat negara bagian dan Federal. Berbeda dengan pembentukan masing-masing kawasan di dalam negara bagian, rencana pengelolaan pada tingkat nasional melibatkan berbagai komponen masyarakat, peneliti, praktisi, pemerintah negara bagian dan pemerintah nasional Amerika Serikat. Panitia Pengarah (Advisory Council) harus bekerja keras untuk mengakomodasi pendapat berbagai komponen masyarakat dari seluruh negeri. Pada saat yang sama, Panitia Pengarah juga menghadapi penolakan oleh masyarakat Florida Keys. Masyarakat Florida Keys khawatir peraturan yang terlalu ketat akan berdampak pada perpindahan penduduk lokal, penurunan luas wilayah pemanfaatan tradisional, dan penurunan aktifitas ekonomi masyarakat. Pembentukan rencana pengelolaan dilakukan tanpa mendahulukan kepentingan publik (Unprecented Public Involvement), oleh karena itu Panitia Pengarah harus mengakomodasi berbagai pendapat komponen masyarakat sebagai usaha kompromi – rencana pengelolaan mengadopsi kepentingan peraturan pemerintah negara bagian, pemerintah lokal dan pemerintah tingkat nasional secara bersama. Akhirnya, setelah melalui proses debat selama 6 (enam) tahun, rencana pengelolaan kawasan konservasi Florida Keys National Marine Sanctuary bisa ditetapkan. Dari dua jenis Kawasan Konservasi Perairan (Fish Habitat Area dan Florida keys National Marine Sanctuary), kita bisa melihat perbedaaan dalam proses penetapan kawasan. Langkahlangkah dalam penetapan Fish Habitat Area sangat panjang, paling tidak melibatkan dua kali konsultasi para pihak, menggunakan hanya satu ketentuan hukum dan proses penetapan relatif sangat cepat. Florida Key ditetapkan dengan mengunakan sistem hukum bertingkat (lokal, negara bagian dan nasional), dan terdiri dari beberapa sistem kawasan konservasi dalam satu kawasan konservasi yang luas. Sistem nasional iperlukan karena kawasan konservasi lokal yang ada tidak mampu menurunkan atau mencegah kerusakan atau degradasi kawasan konservasi sebagai dampak dari pencemaran dan pemanfaatan berlebih. Sistem kawasan pada Florida Keys sangat kompleks sehingga penetapan rencana pengelolaan membutuhkan waktu yang relatif lama, walaupun pelibatan masyarakat bukan merupakan ketentuan yang mutlak. Pembelajaran yang bisa diambil 286 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia dari sini ialah bahwa setiap kawasan konservasi mempunyai roadmap tersendiri untuk mencapai tujuannya. 7.3 Pengalam an di Indonesia Indonesia mempunyai beberapa pengalaman dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi secara tradisional, sebelum kemerdekaan. Sasi Laut, Awig-Awig, Nyale dan Panglima Laut yang beberapa diantaranya masih bertahan sampai saat ini membuktikan beberapa keberhasilan dalam pengelolaan kawasan. Ada dua hal dasar yang membedakan sistem kawasan tersebut dengan kawasan saat ini, ialah: keterkaitan kawasan satu dengan lainnya dalam sistem jejaring (MPA network), dan nilai global dari keanekaragaman hayati serta perikanan. Masing-masing kawasan berfungsi secara terisolasi, tanpa ada kaitannya dengan kawasan yang berdekatan. Keterbatasan sistem komunikasi dan autoritas menyebabkan tidak memungkinkan menyusun kawasan yang saling berhubungan. 7.3.1 Inisiatif Pencalonan Kaw asan Inisiatif pencalonan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia dimulai dari survei yang dilakukan oleh IUCN/WWF Program dengan PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) pada tahun 1980. IUCN/WWF diwakili oleh Rodney Salm, sedangkan pihak pemerintah diwakili oleh Matheus Halim. Kedua tim melakukan survei lapang pada hampir seluruh wilayah pantai dan laut di Indonesia. Penentuan calon Kawasan Konservasi Perairan ditentukan dari tiga persyaratan utama, ialah: memenuhi salah satu atau kombinasi dari 6 (enam) tujuan pembentukan kawasan, memenuhi 5 (lima) kriteria identifikasi dan 4 (empat) kriteria seleksi sebagai calon kawasan. Calon Kawasan Konservasi Perairan yang akan dipilih harus memenuhi salah satu atau kombinasi dari kriteria tujuan berikut: 1) Melindungi habitat kritis (tempat mencari makan, pemijahan dan asuhan) bagi spesies atau ikan-ikan komersial; 2) Melindungi habitat dari spesies yang terancam punahdan memperbaiki stok sumber daya yang sudah terkuras akibat pengambilan berlebih; 3) Mempertahankan, paling tidak satu lokasi pesisir dan laut dekat dengan lokasi penduduk pada masing-masing propinsi untuk kepentingan pariwisata 4) Melindungi perwakilan habitat pesisir dan laut yang lengkap, ditemukan di wilayah Indonesia; 5) Mempertahankan keanekaragaman hayati warisan perairan laut Indonesia; 6) Melindungi lokasi yang bernilai tinggi untuk penelitian dan pendidikan Kriteria yang digunakan dalam proses identifikasi calon kawasan ialah sebagai berikut: 1) Kawasan harus mempunyai nilai tinggi untuk perlindungan spesies yang terancam punah atau spesies komersial (bagi perikanan); 2) Lokasi mempunyai kontribusi terhadap pengembangan pariwisata, rekreasi, penelitian dan pendidikan; 3) Lokasi memberikan kontribusi positif pada perikanan tangkap; 4) Lokasi merupakan perwakilan habitat tertentu atau kisaran beberapa habitat yang berbeda; 287 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia 5) Lokasi berada pada kondisi alami atau semi-alamiah, atau jika sudah terdegradasi, dia mempunyai peluang untuk kembali kepada kondisi alamiah. Daftar hasil identifikasi selanjutnya diseleksi berdasarkan kriteria berikut: 1) Tipe atau kategori Kawasan Konservasi Perairan tidak terwakili dalam satu propinsi; 2) Kawasan konservasi mewakili contoh terbaik dari masing-masing tema (kategori kawasan atau jenis habitat) di dalam satu propinsi; 3) Jika terjadi duplikasi dalam satu propinsi, lokasi harus bisa menunjukkan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya; berdampak pada ekonomi nasional melalui pariwisata dan perikanan, atau dia mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam satu wilayah secara regional; 4) Kawasan Konservasi Perairan memungkinkan untuk dikelola secara sehat (viable management unit) – misalkan, jika lokasi yang terseleksi dekat dengan muara sungai, pengelolaan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) harus dipastikan dilakukan dengan optimal Hasil survei disajikan dalam 6 (enam) seri laporan pada tahun 1984. Tim merekomendasi pembentukan 180 Kawasan Konservasi Perairan baru, selain yang sudah ada saat itu (Tabel 7.2). 7.3.2 Proses Pembentukan Kaw asan Konservasi Perairan di Indonesia Sampai tahun 1982, Pemerintah Indonesia, secara resmi telah menetapkan 95 kawasan konservasi perairan. Namun, hampir semua Kawasan Konservasi Perairan tersebut ialah perluasan dari kawasan konservasi di darat. Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Taman Nasional Bunaken kemungkinan besar merupakan dua taman nasional laut yang pertama di Indonesia. Masing-masing kawasan konservasi mempunyai sejarah penetapan yang berbeda dan unik. Oleh karena itu sangat sulit untuk melacak umur dari suatu kawasan konservasi dan tonggak mulai pengelolaan kawasan secara efektif. A. Tam an Nasional Kom odo Taman Nasional Komodo yang kita ketahui saat ini, meliputi wilayah darat dan laut dan juga disebut sebagai Kawasan Konservasi Perairan (marine protected area) kategori II menurut klasifikasi IUCN. Taman Nasional Komodo pada awalnya hanya terdiri dari wilayah darat. Identifikasi Pulau Komodo sebagai kawasan konservasi mulai dari ditemukannya binatang Komodo oleh J.K.H. van Stein, pada tahun 1911. Setahun kemudian binatang tersebut diberi nama Varanus Komodoensis (Ouwens, 1912), oleh P.A. Ouwens. Pada tahun yang sama (1912), Sultan Bima disebutkan membuat keputusan untuk melindungi binatang Komodo. Beberapa dokumen menyebutkan bahwa surat resmi dari Sultan Bima dikeluarkan pada tahun 1915 (SK. Sultan Bima tahun 1915 tentang Perlindungan Komodo – Verordening van het Sultanat vain Bima). Pada tahun 1926, Pemerintah Hindia Belanda di Manggarai mengeluarkan Surat Keputusan tentang Perlindungan Komodo (Besluit van het Zelfbestuur van het Landschap Manggarai). Namun mulai tahun 1926, binatang Komodo dibawa keluar Indonesia untuk kepentingan penelitian dan konservasi spesies. Sejarah transportasi Komodo ini ditelusuri kembali oleh L.C. Rookmaaker, terkait dengan keterlibatan kakeknya dalam proses pengiriman binatang ini. Oleh karena itu, agak sulit untuk mengatakan bahwa konservasi kawasan di Komodo mulai efektif sejak tahun 1912, atau bahkan tahun 1926. 288 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia W.D. Barden dikatakan berhasil menangkap dua bintang Komodo untuk pertama kali (satu betina dan satu jantan) dan dikirim ke New York Zoological Garden, Amerika Serikat. Namun pada tahun yang sama (1912), kedua binatang tersebut mati setelah sampai di Amerika. Pada bulan Oktober 1926, seekor Komodo jantan ditangkap oleh W. Groeneveld di daerah Flores Barat dan dikirim ke Amsterdam. Ketika itu, W. Groeneveld ialah Asisten Residen di wilayah Bima, Sumbawa dan diduga mengenal Sultan Bima. Binatang Komodo dibawa dengan kapal S.S. Karimata, ditempatkan pada cabin khusus dengan uap panas untuk menyesuaikan suhu alami binatang ini selama transportasi. Namun binatang Komodo juga meninggal pada tahun yang sama. Bulan Juni 1927, empat kebun binatang Eropa menerima kiriman binatang Komodo dari Indonesia. Satu Komodo diterima oleh Amsterdam Zoo, satu ekor oleh Rotterdam Zoo, dua ekor diterima oleh London Zoo dan satu ekor sisanya oleh Berlin Aquarium. Binatang ini ditangkap dari Pulau Rintja, oleh H.R. Rookmaaker. Pada saat itu H.R. Rookmaaker ialah Asisten Residen di Flores, membawa sekitar 200 orang untuk menangkap 12 ekor Komodo dari Rintja. Pengiriman dilakukan melalui Ende, Surabaya, Priok dan Eropa. Dari 12 ekor tersebut hanya 5 (lima) ekor yang dikirim ke Eropa dan pada akhirnya semua mati dalam periode waktu yang berbeda. Salah satu bintang Komodo yang berada di Berlin bisa bertahan dan dipertontonkan kepada pengunjung. Pada akhirnya, binatang Komodo ini mati pada tahun 1944, setelah 16,5 tahun berada di Eropa. Atas permintaan Prof. Mertens, Hookmaaker kembali ke Rintja untuk menangkap 2 (dua) ekor Komodo. Salah satu binatang ini mati setelah beberapa hari berada di Rana Mese. Satu Komodo sisanya lagi, dikirim ke Frankfurt, Jerman. Binatang ini bisa tahan hidup lama dan menjadi tontonan pengunjung kebun binatang selama beberapa tahun. Komodo ini terbunuh karena pengrusakan kebun binatang pada tahun 1944. Sejak tahun 1927, tidak ada surat lain dari H.R. Rookmaaker tentang usahanya untuk mengirim binatang Komodo. Pada tahun 1938, Residence Flores (Pemerintah Belanda) mengeluarkan keputusan untuk penetapan Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Komodo sebagai kawasan konservasi. Surat keputusan tersebut diperkuat oleh Residen Timor yang dikeluarkan setahun kemudian (1939). Perlindungan kawasan hanya dilakukan di wilayah daratan, tidak mencakup wilayah perairan. Perkembangan kawasan konservasi di Komodo hampir tidak terlacak setelah tahun 1938. Cerita beberapa masyarakat Komodo, Rinca dan Manggarai menyatakan bahwa pada saat ditetapkan, beberapa keluarga sudah tinggal di Pulau Komodo. Bahkan beberapa keluarga dari Manggarai juga menyatakan mempunyai hubungan keluarga dengan mereka yang tinggal di Rintja (atau ditulis Rinca). Pada tahun 1965, Menteri Kehutanan menunjuk Pulau Komodo (31.000 ha) sebagai Suaka Margasatwa (SK MenKeh No.66/Dep.Keh/1965 tertanggal 21 Oktober 1965). Pada tahun 1970, Direktorat Jenderal Kehutanan (SK DirJenHut No.97/Tap/Dit Bina/1970) secara resmi membentuk Seksi PPA di Labuan Bajo – PPA ialah singkatan dari Perlindungan dan Pelestarian Alam. Seksi PPA secara resmi bisa dikatakan sebagai instisusi pengelola dari Kawasan Konservasi Komodo yang ada di daerah (Labuan Bajo). Tahun ini boleh dikatakan sebagai tonggak awal konservasi di Komodo mulai dilaksanakan secara bertahap. Namun informasi setelah itu juga sulit dilacak sampai awal tahun 1980. Ketika itu (6 Maret 1980), Menteri Pertanian mengumumkan pembentukan 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, ialah: Taman Nasional Komododo, Gunung Leuser, Ujung Kulon, GedePangrango dan Baluran. Pengumuman ini sebenarnya lebih didorong oleh peristiwa strategis saat itu, ialah Strategi Pelestarian Dunia (World Conservation Strategy) yang diselenggarakan di Bali. Pada tahun 1992, melalui keputusan Menteri Kehutanan (KepMenHut No. 306/Kpts-II/92, tertanggal 11 Desember 1992) Taman Nasional Komodo ditetapkan dan meliputi wilayah perairan 289 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia dengan luas sekitar 132.500 ha (luas daratan Taman Nasional meliputi Pulau Padar, Rinca dan Komodo hanya mencapai 40.728 ha). Ide dan realisasi pembentukan Kawasan Konservasi Perairan ini muncul setelah 70 tahun penetapan kawasan konservasi di darat (oleh Sultan Bima, pada tahun 1912). Ketika ditetapkan, hampir tidak ada tenaga teknisi atau Jaga Wana dan pengelola kawasan yang memahami tentang laut. Baru 4 (empat) tahun kemudian (1996) dimulai kerja sama dengan beberapa pihak untuk memulai kegiatan konservasi di laut – beberapa Jaga Wana mendapat training tentang teknik penyelaman dan pengenalan observasi organisme bawah air. Dari pembelajaran ini, bisa dikatakan bahwa pengalaman kita tentang Kawasan Konservasi Perairan jauh terkebelakang (sekitar 70 tahun) dibandingkan dengan pengalaman mengelola kawasan konservasi di darat. Gambar 7.2 Perkampungan masyarakat di Pulau Komodo – sumber penghidupan penduduk ialah mencari ikan di dalam kawasan dan sebagian kecil dari pariwisata. B. Tam an Nasional Bali Barat Roadmap dari Taman Nasional Bali Barat hampir sama dengan sejarah konservasi Taman Nasional Komodo. Pada tahun 1911, seorang ahli Biologi dari Jerman, Dr. Baron Stressmann harus tinggal di Singaraja Karena Kapal Ekspedisi Maluku II rusak dan harus diperbaiki di pelabuhan Bali Utara. Selama masa menunggu, Stressmann mempunyai kesempatan melakukan eksplorasi di sekitar hutan Singaraja dan menemukan burung Jalak Bali. Setahun kemudian temuan ini dipublikasikan dan menggunakan namanya sebagai penemu binatang Jalak bali, Leucopsar rothschildi (Stressmann 1912). Penelitian lanjutan diadakan pada tahun 1925, oleh Dr. Baron Viktor von Plesen. Jalak Bali dinyatakan sebagai binatang langka dengan habitat terbatas. Penyebaran Jalak Bali diduga berada di 290 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia sekitar hutan antara Desa Bubunan sampai Gilimanuk, seluas ± 32.000 ha (data didapat dari dokumentasi Taman Nasional Bali Barat). Mulai saat itu, Pemerintah Hindia Belanda dan peneliti melakukan pendekatan dengan penguasa di Bali Utara. Akhirnya, pada tanggal 13 Agustus 1947, Dewan Raja-Raja Bali mengeluarkan Surat Keputusan No.E/I/4/5/47, menetapkan hutan Banyuwedang dengan luas 19.365 ha sebagai Taman Pelindung Alam (Natuur Park), sesuai dengan Ordonansi Perlindungan Alam tahun 1941. Status Taman Pelindung Alam saat ini hampir setara dengan Suaka Margasatwa. Pengelolaan kawasan hutan Banyuwedang dan Jalak Bali hampir tidak terdokumentasikan sejak saat penetapan pada tahun 1947. Pada tahun 1978, Menteri Pertanian menetapkan Suaka Margasatwa Bali Barat, Pulau Menjangan, Pulau Burung, Pulau Kalong dan Pulau Gadung sebagai Suaka Alam Bali Barat seluas 19.558 ha (melalui Surat Keputusan No. 169/Kpts/Um/3/78). Efektifitas pengelolaan konservasi masih menjadi pertanyaan karena keputusan ini tidak diikuti dengan pendirian kantor atau instansi PPA di sekitar Singaraja. Pada tahun 1982, melalui SK No. 736/Mentan/X/82, Menteri Pertanian menetapkan calon Taman Nasional Bali Barat dari Kawasan Suaka Alam, ditambah hutan lindung dan wilayah perairan seluas ± 1.500 ha. Kemungkinan UPT Taman Nasional bali Barat berdiri secara resmi pada tahun 1984, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/84. Namun UPT Taman Nasional tidak bertugas untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi pada wilayah laut (1.500 ha). Pengelolaan konservasi kawasan mengalami konflik dualisme kewenangan antara Dinas Kehutanan Daerah dengan UPT Taman Nasional (instansi pusat, Jakarta). Untuk mencegah konflik, pada tahun 1995 Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 493/Kpts-II/95 tertanggal 1995. Surat Keutusan menyatakan wilayah Taman Nasional Bali Barat yang dikelola oleh UPT seluas ± 19.000 ha, terdiri dari: 15.587 ha wilayah daratan dan 3.415 ha wilayah perairan. Mulai saat itu (1995), Taman Nasional Bali Barat secara resmi mencakup wilayah perairan dan mempunyai badan pengelola yang pasti (UPT Taman Nasional). Pada tahun 1999, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) menetapkan pebagian zonasi di dalam kawasan konservasi TN Bali Barat (SK No. 186/Kpts/Dj-V/99, tertanggal 13 Desember 1999) sebagai berikut: • Zona Inti; ialah wilayah zona yang mutlak dilindungi, tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia kecuali yang berhubungan dengan kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan – zona inti meliputi daratan seluas 7.567 ha dan perairan laut seluas 455 ha; • Zona Rimba; ialah wilayah penyangga dari zona inti, dapat dilakukan kegiatan seperti pada zona inti dan kegiatan wisata alam terbatas – meliputi daratan seluas 6.009 ha dan perairan laut seluas 244 ha; • Zona Pemanfaatan Intensif; ialah wilayah dengan kegiatan yang bisa dilakukan seperti tersebut di atas, pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dan rekreasi atau penggunaan lain yang menunjang fungsi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya – meliputi daratan seluas 1.645 ha dan perairan laut seluas 2.745 ha; • Zona Pemanfaatan Budaya; ialah wilayah yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan terbatas untuk kepentingan budaya atau relegius – meliputi wilayah seluas 245 ha yang digunakan untuk kepentingan pembangunan sarana ibadat umat Hindu. 291 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia Kawasan konservasi Bali Barat secara resmi sudah ditetapkan pada tahun 1947, dengan tujuan untuk melindungi habitat dari burung Jalak Bali. Selama era kemerdekaan, status kawasan pertama kali ditetapkan pada tahun 1978. Status kawasan kemudian dirubah dan diperluas melalui suatu seri keputusan tahun 1982, 1984 dan tahun 1995. Sedangkan pengelolaan konservasi yang mencakup aspek perairan dimulai pada tahun 1999, dengan ditetapkannya zonasi kawasan yang meliputi wilayah darat dan laut secara bersama. Beberapa pembelajaran yang bisa diambil dari perkembangan konservasi di wilayah Bali Barat ialah: pengembangan konservasi dimulai dari wilayah daratan, tujuan utama konservasi adalah perlindungan habitat species, pendekatan dalam konservasi menggunakan sistem “top-down approach”, perluasan ke arah laut dilakukan setelah kawasan berumur lebih dari 50 tahun. 7.4 Perkem bangan Kaw asan Konservasi Perairan di Indonesia Perkembangan jumlah Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, diduga ada kaitannya dengan kemajuan dalam sistem perencanaan dan perangkat hukum sebagai berikut: • • • • • • • • Pemerintah menyelesaikan proposal untuk pengembangan kawasan konservasi di wilayah perairan pada tahun 1975. Dalam proposal tersebut, ada tiga kawasan konservasi model yang akan dikembangkan, ialah: Taman Nasional Kepulauan Seribu (terletak pada wilayah dengan penduduk padat dan dekat dengan lokasi Ibu Kota), Taman Nasional Bali Barat (dekat dengan lokasi pariwisata), dan Taman Nasional Komodo yang relatif masih alamiah dan belum banyak terkena dampak pembangunan; Pada tahun 1976, proposal pertama untuk pengembangan Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Seribu diterima oleh Pemerintah; Pada tahun 1978, pemerintah berhasil menyusun pedoman penetapan kawasan konservasi perairan, dengan kriteria identifikasi dan seleksi yang jelas; Pada tahun 1981, PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam), sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi, membentuk Seksi Konservasi Perairan. Seksi ini bertugas untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan; Sejak tahun 1982, Program IUCN/WWF bersama Pemerintah Indonesia melakukan survei keanekaragaman hayati laut, mengidentifikasi dan melakukan seleksi untuk pencadangan kawasan konservasi perairan. Hasil survei (dilaporkan pada tahun 1984) menyajikan inisiatif 95 calon Kawasan Konservasi Perairan kepada pemerintah; Penetapan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan ini menghubungkan antara pengelolaan lingkungan hidup dengan pembangunan berkelanjutan; Penetapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Prinsip dasar dari UU No. 5/1990 ialah keseimbangan antara konservasi dengan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan; Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Ketentuan ini mengusahakan untuk menurunkan laju kerusakan fungsi lingkungan hidup sampai tingkat minimal Perkembangan jumlah Kawasan Konservasi Perairan per periode waktu 5 tahun disajikan pada Gambar 7.3. Sampai tahun 1982, Indonesia sudah mempunyai 95 kawasan konservasi perairan, seperti yang dilaporkan dari hasil survei IUCN/WWF bersama Pemerintah Indonesia. Dari jumlah tersebut, 25 unit kawasan ditetapkan selama masa penjajahan Belanda (antara tahun 1917 – 1937). 292 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia Fokus area untuk pengembangan Kawasan Konservasi Perairan ketika itu ialah Pulau Jawa dan Sulawesi. Ahli-ahli biologi dan konservasi pada saat itu diduga terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Sulawesi Utara dibandingkan daerah lain – eksplorasi dan penelitian sangat terkonsentrasi di wilayah Pulau Jawa. Sistem transportasi dan komunikasi diduga menjadi faktor penghalang untuk menjangkau daerah lainya di Indonesia. Cagar Alam Ujung Kulon diduga kuat ialah Kawasan Konservasi Perairan tertua, yang ditetapkan dengan menggunakan keputusan Pemerintah Indonesia. Ujung Kulon ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 48/Kpts/Um/4/58, pada tahun 1958 (Tabel 7.2). Pada tahun 1984, inisiatif IUCN/WWF program, merekomendasi 137 unit Kawasan Konservasi Perairan yang baru kepada Pemerintah Indonesia. Sejak saat itu, jumlah Kawasan Konservasi Perairan yang ditetapkan terus meningkat, dan mencapai puncak antara periode tahun 1991-1995 (data dari WDPA, World Data on Protected Areas, 2009). Pada era reformasi, jumlah penetapan Kawasan Konservasi Perairan mengalami penurunan (Gambar 7.3). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh dua kondisi dasar yang berkembang pesat pada era reformasi. Pertama, masyarakat mulai berani untuk menyampaikan pendapat kepada pemerintah. Kesempatan ini digunakan oleh kelompok “focal minority group” yang meraih keuntungan jangka pendek dari sistem pemanfaatan sumber daya laut tanpa terkontrol, untuk menolak rencana penetapan kawasan. Kedua, berkembangnya dualisme dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, antara Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Pemerintah Pusat dari kedua Kementerian menghabiskan banyak energi untuk melakukan harmonisasi (diantara kedua instansi dan antara dua peraturan hukum yang berbeda) kebijakan operasional dalam berbagi kewenangan pengelolaan kawasan. Gambar 7.3 Jumlah KKP yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah setiap periode 5 tahun, sejak tahun (Sumber: Salm & Halim, 1984; WDPA, 2009) Sebagai pembelajaran, RoadMap dari Kawasan Konservasi Perairan Indonesia bisa diartikan sebagai berikut: 293 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia • • • • • • • 294 Indonesia mempunyai cukup pengalaman dalam mengembangkan kawasan konservasi perairan. Secara historis, pengalaman ini bisa dibedakan menjadi 4 (empat) periode, ialah: pra-kolonial, priode kolonial Belanda, periode kemerdekaan, dan era reformasi. Sasi Laut, Awig-Awig, dan Panglima Laut ialah beberapa contoh dari model pengelolaan kawasan konservasi laut berbasis masyarakat. Surat Keputusan Sultan Bima dan Raja-Raja Bali bisa dianggap sebagai sistem “top-downn approach” dalam usaha perlindungan habitat spesies. Tabu ialah metode yang paling sering digunakan sebagai penghormatan pada aturan kawasan konservasi; Penetapan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan pada era kemerdekaan (1945 – 2000) lebih banyak menggunakan “top-down approach”. Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kehutanan yang terbentuk belakangan, ialah dua instansi pemerintah yang terlibat dan berwenang dalam pengelolaan kawasan konservasi, termasuk di laut. Integrasi antara perlindungan kawasan dengan pemanfaatan berkelanjutan dilakukan melalui koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH); Cagar Alam Ujung Kulon tercatat sebagai Kawasan Konservasi Perairan pertama yang ditetapkan pada era kemerdekaan (tahun 1958). Proposal untuk pengembangan Kawasan Konservasi Perairan dimulai sejak tahun 1973 dan diterima pemerintah pada tahun 1975. Setahun kemudian (1976), satu dari proyek percontohan Taman Nasional (Kepulauan Seribu) diterima, dari tiga model yang akan dikembangkan – Taman Nasional Kepulauan Seribu dianggap mewakili model kawasan dengan pemukiman padat dan dekat dengan lokasi kota besar. Taman Nasional Bali Barat mewakili kawasan yang dipengaruhi oleh iklim pariwisata. Sedangkan Taman Nasional Komodo terpilih untuk mewakili kawasan yang relatif masih alamiah dan intervensi manusia masih sangat terbatas; Sejak tahun 1975, jumlah Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia meningkat pesat. Faktor pendukung utama, antara lain ialah: adanya ketentuan kriteria identifikasi dan seleksi kawasan yang berhasil ditetapkan pemerintah, inisiatif calon Kawasan Konservasi Perairan yang diajukan melalui program IUCN/WWF dan penetapan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Paling tidak, ada 75 unit kawasan konservasi laut yang sudah ditetapkan pada era kemerdekaan; Jumlah kawasan yang ditetapkan selama periode reformasi menurun sampai hampir 30%. Hal ini diduga disebabkan oleh dualisme pengelolaan pada Kawasan Konservasi Perairan dan meningkatnya desakan pelibatan masyarakat dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi. Secara hukum (UU No. 5 tahun 1990), Kementerian Kehutanan ialah instansi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi, baik di darat maupun di laut. Untuk tujuan pengelolaan perikanan berkelanjutan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (UU No. 31 tahun 2004), juga mempunyai kewenangan untuk mengelola kawasan konservasi perairan. Saat ini, kedua instansi melakukan harmonisasi secara intensif terkait dengan wilayah (domain) kewenangan pengelolaan kawasan. Akibatnya, perencanaan penetapan kawasan konservasi yang baru mengalami kemunduran (delay) dari rencana seharusnya; Keterlibatan publik yang kental pada era reformasi memberikan peluang pada setiap komponen masyarakat untuk menolak rencana penetapan kawasan konservasi baru. Usaha ini lebih dianggap sebagai pelarangan secara berlebihan (over-restriction) dalam memanfaatkan sumber daya. Kesempatan juga bisa digunakan oleh kelompok “focal minority-group” untuk menentang konservasi. Kelompok ini biasanya mempunyai peluang lebih besar dalam mengambil keuntungan jangka pendek sebagai akibat dari sistem pengelolaan sumber daya yang tidak terkontrol. Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia Bahan Bacaan Utam a: Alder J., N. A., Sloan, & H. Uktolseya (1994). Advances In Marine Protected Area Management In Indonesia: 1988 - 1993. Ocean & Coastal Management 25: 63-75. Robinson, R., N. Polunin, K. Kvalvagnaes, & M. Halim (1981). Progress In Creating A Marine Reserve System In Indonesia. Bulletin of Marine Science 31(3): 774-785. Salm, R. V. (1984e). Conservation Of Marine Species In Indonesia. A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: V. Bogor, A IUCN/WWF report prepared for the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, Bogor: 76. Salm, R. V., & M. Halim (1984a). A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: I. Bogor, Indonesia, A IUCN/WWF Report Prepared For The Directorate General Of Forest Protection And Nature Conservation, Bogor: 19. Salm, R. V., & M. Halim (1984c). Environmental Law And Marine Protected Areas And Species In Indonesia. A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: III. Bogor, A IUCN/WWF Report Prepared For The Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, Bogor: 21. Salm, R. V., & M. Halim (1984d). Conservation Of Marine And Littoral Habitats In Indonesia. A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: IV. Bogor, A IUCN/WWF Report Prepared For The Directorate General Of Forest Protection And Nature Conservation, Bogor: 78. Salm, R. V., & M. Halim (1984f). Marine And Coastal Protected Areas In Indonesia. A Protected Area System Plan For The Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: VI. Bogor, A IUCN/WWF Report Prepared For The Directorate General Of Forest Protection And Nature Conservation, Bogor: 49. Salm, R. V., & M. Halim (1994b). Proposed Marine Protected Area Policy. A Protected Area System Plan for the Conservation Of Indonesia's Marine Environment. Vol: II. Bogor, A IUCN/WWF report prepared for the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, Bogor: 21. Ringkasan: 1. Pengalaman dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia bisa dibedakan dalam 4 (empat) periode waktu yang berbeda. Apa karakteristik dasar yang membedakan sistem pada masing-masing periode tersebut? 2. RoadMap dari Fish Habitat Area di Australia (Queensland) berbeda dengan Florida Keys National Marine Sanctuary di Amerika Serikat, terutama karena perbedaan latar belakang dan tujuan pendirian kawasan. Apa perbedaan mendasar dalam proses pembentukan kedua kawasan. 3. RoadMap Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia hampir selalu berkembang dari kawasan konservasi di darat yang sudah berkembang lebih dulu. Apa yang mendorong kecenderungan ini? 295 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia 4. Pada era reformasi ada kecenderungan penurunan jumlah Kawasan Konservasi Perairan yang baru. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? 5. Gambarkan perbedaan dalam roadmap penetapan Kawasan Konservasi Perairan antara sistem pada Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan 6. Kawasan konservasi pada era pra-kolonial umumnya berkembang dari dua perilaku yang berbeda. Gambarkan kedua perilaku masyarakat tersebut 7. Jumlah penetapan kawasan konservasi perairan di Indonesia paling tinggi terjadi pada periode tahun 1991 – 1995. Jelaskan alasan yang paling logis dari gambaran ini (perhatikan Gambar 7.3) 8. Jelaskan secara ringkas roadmap dari Taman Nasional Komodo – dari awal sampai menjadi Taman Nasional yang meliputi wilayah darat dan laut 9. Bandingkan roadmap antara Taman Nasional Komodo dengan Taman Nasional Bali Barat 10. Sebutkan beberapa Taman Nasional di Indonesia yang mempunyai wilayah darat dan laut 296 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia Tabel 7.2 Daftar Kawasan Konservasi Perairan yang telah ditetapkan sampai tahun 1982 dengan berbagai jenis peraturan yang berbeda (Sumber: Salm & Halim, 1984f) No. I. 1. 2. II 3. Propinsi IV 5. Aceh: Teluk Pulau Weh Suaka Marga Satwa Kluet Sumatra Ut ara: Suaka Marga Satwa Karang Gading Langkat Timur Laut (Belawan) Sumatra Barat: Suaka Marga Satwa Taitaibatti Riau Cagar Alam Pulau Berkeh 6. 7. Cagar Alam Pulau Burung Cagar Alam Pulau Laut III 4. V 8. Jambi Cagar Alam Kelompok Hutan Bakau Pantai Timur 9. Suaka Marga Satwa Berbak VI Bengkulu 10. Taman Buru Nanuua VII Lampung 11. Suaka Marga Satwa Bukit Barisan Selatan 12. Suaka Marga Satwa Way Kambas VIII. Jawa Barat 13. Cagar Alam Krakatau Dasar Keputusan Penetapan Nilai Konservasi SK Metan 928/Kpts/U/12/82 SK Mentan 697/Kpts/Um/12/76 Terumbu karang Pantai laut SK Mentan 811/Kpts/m/11/80 Bakau, Tempat peneluran Penyu SK Mentan 60/Kpts /Um/ 10/76 SK Mentan 758/Kpts/ Um/1279 Pantai laut SK Mentan 13/Kpts/Um/3/68 Bakau, Sarang Burung laut SK Mentan 13/Kpts/Um/3/68 SK Mentan 13/Kpts/Um/3/68 Bakau, Sarang Burung laut Bakau, Sarang Burung laut dan Penyu SK Mentan 507/Kpts/Um/6/81 Bakau GB 29-10-1935 No. 18 Stbl. 521 Bakau, , Hutan Rawa SK Mentan 741/Kpts/Um/11/78 Pantai laut Gb 18-9-1935 No. 391 Pernyataan No. 736/Mentan/X/1982 Bakau, Hutan Rawa, Pantai berpasir, Sarang telur penyu hijau dan Penyu Blimbing GB 26-1-1937 No. 14 LN No. 38 GB 11-7-1917 No. 83 Stbl. 392 14. Cagar Alam Pulau Peucang- GB 24-6-1937 No. 17 Stbl. 420 Pualu Panaitan 15. Cagar Alam Ujung Kulon 297 SK mentan 48/Kpts/Um/4/58 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia Gunung Berapi, Sarang telur penyu hijau dan Penyu Sisik, perluasan wilayah laut sampai wilayah terumbu karang yang dihuni Kima Terumbu karang ke arah laut, kima, peneluran penyu, burung pantai Estuari, bakau, peneluran penyu hijau, belimbing dan sisik, burung laut, terumbu karang 16. Cagar Aalam Pulau Dua 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. IX. 27. 28. 29. 30. X. 31. 32. 33. 34. 298 GB 30-7-1937 No. 21 Stbl. 494 Pulau terumbu karang, Bakau, burung pantai Cagar Alam Pualu Seribu SK Mentan 527.Kpts/Um/7/82 Terumbu karang, bakau, ,Pernyataan 736/Mentan/X/1982 padang lamun, sarang telur penyu hijau dan penyu sisik Cagar Alam Pulau Bokor GB 16-11-1921 No. 60 Stbl. 683 Hutan pantai, laguna dan karang tepi Cagar Aalam Pulau Rambut GB 3-5-1939 No. 7 Stbl. 245 Bakau, laguna, karang tepi, sarang burung laut dan burung pantai Cagar Aalam Muara Angke SK Mentan 16/Kpts/Um/6/77 Estuari, bakau, sarang burung laut dan burung pantai, Nili pendidikan tinggi Cagar Alam Sukawayana GB 11-7-1919 No. 83 Stbl. 392 Hutan Pantai Cagar Alam Cibanteng GB 28-5-1925 No. 3 Stbl. 243 Pantai berpasir, pantai berkarang dengan sarang telur penyu hijau Suaka Marga Satwa SK Mentan 516/Kpts/Um/10/73 Pantai berpasir, pantai Cikepuh berkarang dengan sarang telur penyu hijau Cagar Alam Barong Layang SK Mentan 516/Kpts/Um/10/73 Pantai laut Jayanti Cagar Alam Leuweung SK Mentan 370/Kpts/Um/6/78 Bukit pantai pasir,bakau, Sanoang migrasi burung pantai, hutan pantai, sarang telur penyu hijau Cagar Alam Penanjung- GB 7-12-1934 No. 19 Stbl. 699, SK Batu gamping, gua, pantai, Pangandaran Mentan 170/Kpts/Um/3/78 pntai berkarang, terumbu karang Jawa Tengah Cagar Aalam Nusa GB 4-6-1937 No. 34 Stbl. 369 Bakau, htan pantai, pantai Kambangan-Segara Anakan berkarang, sarang telur penyu hijau Cagar Alam Wijaya GB 4-6-1937 No. 34 Stbl. 369 Pulau kecil berkarang Kusuma-Karang Bolong Taman Wisata Gunung SK mentan 399/Kpts/Um/10/75 Gua batu kapur di pantai Selok Cagar Alam Teluk Baron Pemda 24-3-1937, 3794/321/16 Tidak diketauhi Jawa Timur Cagar Alam Pulau Noko- GB 25-10-1926 No. 20 Stlb. 13 Pulau kecil sarang burung laut Pulau Nusa Cagar Alam Pulau Sambi GB 25-10-1926 No. 22 Stlb. 469 Pulau dengan sarang telur penyu hijau Suaka Marga Satwa GB 25-9-1937 Stlb. 544 , SK Mentan Berbatuan dan pantai pasir, Baluran 15-5-1962 No. 11/1962 bakau, terumbu karang Cagar Aalam Pulau Sempu GB 15-3-1928 No. 46 Stlb. 1928 Pulau dengan sarang telur penyu Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia 35. Cagar Alam Nusa Barung GB 9-10-1920 No. 46 Stlb. 736 36. Suaka Marga Satwa Neru Betiri SK Mentan 276/Kpts/Um/6/72 37. Suaka Marga Satwa Banyuwangi Selatan XI. Bali 38. Suaka Marga Satwa Pulau Menjangan 39. Suaka Marga Satwa Bali Barat GB 1-9-1939 No. 6 Stlb. 456 SK Mentan 169/Kpts/Um/3/78 Terumbu karang, karang tepi, bakau Dewan Raja-raja bali 13-8-1947 No. Bakau, terumbu karang ke E/1/4/5, Pernyataan 746/Mentan arah laut /X/1982 XII. Nusa Tenggara Barat 40. Suaka Marga Satwa Pulau SK mentan 349/Kpts/Um/8/75 Moyo 41. Cagar Alam Tanah Perdauh SK mentan 348/Kpts/Um/8/75 XIII. Nusa Tenggara Timur 42. Suaka Marga Satwa/Taman Nasional Komodo-PadarRinoa 43. Suaka Marga Satwa Wae Wuul 44. Tawan Wisata Tuti Adagae 45. Suaka Marga Satwa Pulau Menipo Cagar Alam Maubesi Kalimantan Barat Cagar Alam Gunung Palung Kalimantan Tengah Suaka Marga Satwa /Taman Nasional Tanjung Puting XVI. Kalimantan Selatan 50 Taman Wisata Pulau Kembang 51. Cagar Alam Pulau Kaget 52. Suaka Marga Satwa Pleihari Tanah Laut 299 Pulau batu kapur, Padang lamun Tumbuhan semak dipantai, sarang telur penyu hijau dan penyu sisik SK 66/Depkeh/65,GB 24-9-1938 No. Pulau berkarang, pulau kecil, 32 pantai, terumbu karang, sarang telur penyu hijau GB Gub. 24-6-1960 No. 32 Padang lamun SK mentan 396/Kpts/Um/5/81 SK Mentan 394/Kpts/Um/12/77, 768/Kpts/Um/1/78 SK Mentan 394/Kpts/Um/5/81 Hutan pantai,rekreasi Bakau, estuari, pelindung pulau dan perluasan ke arah laut Padang lamun dan hutan palem, bakau, sarang telur penyu Bakau ZB 4-2-1936/ZB 22-4-37 Bakau pinggir pantai GB 18-8-1937 No. 39 Stlb. 495, SK Mentan 698/Kpts/Um/11/78, Pernyataan 736/Mentan/X/19/82 Bakau, hutan rawa, laguna SK Mentan 780/Kpts/Um/12/76 Pulau bakau SK Mentan 701/Kpts/Um/11/76 SK Mentan 424/Kpts/Um/10/75 Pulau bakau Pantai dengan sarang telur penyu hijau dan penyu sisik 46. Hutan Wisata/Taman Buru SK Mentan 5/Kpts/Um/1/78 Dataram Bena 47. XIV. 49. XV. 49 Pulau batu kapur, Pantai pasir dan pantai berkarang, sarang telur penyu hijau dan penyu sisik Pantai berpasir dan pantai berkarang, bakau, hutan rawa, sarang telur penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang dan penyu blimbing Sarang telur penyu hijau dan penyu blimbing Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia 53. Cagar Alam Teluk Kelumpang XVII. Kalimantan Timur 54. Cagar Alam Teluk Apar 55. Cagar Alam teluk Adang 56. Suaka Marga Satwa /Taman Nasional Kutai 57. Teluk Pulau Sangalaki 58. Suaka Marga Satwa Pulau Semama XVIII Sulawesi Utara . 59. Cagar Alam Tangkoko-Dua Saudara SK Mentan 827/Kpts/Um/9/81 Estuari, pulau bakau, bakau SK Gub. Kalitim 1-3-82 No. 46 SK Gub. Kaltim 1-3-82 No. 46 SK mentan 280/Kpts/Um/7/71 , Pernyataan 736/Mentan/X/1982 SK mentan 604/Kpts/Um/8/82 Bakau Bakau Bakau SK Mentan 604/Kpts/Um/8/82 GB 22-2-1919 No. 6 Stlb. 90 , SK Mentan 700/Kpts/Um/11/78 60. Cagar Alam Pulau-pulau GB 17-10-1939 No. 29 LN. 626 Mas Popaya Raja 61. Cagar Alam Panua GB 3-11-1938 No. 11 Stlb. 620 XIX. Sulawesi Tengah 62. Suaka Marga Satwa SK Mentan 445/Kpts/Um/5/81 Tanjung Matop 63. Suaka Marga Satwa Pulau SK Mentan 441/Kpts/Um/5/81 Dolongan 64. Cagar Alam Tanjung Api SK Mentan 91/Kpts/Um/2/77 65. Suaka Marga Satwa Pati ZB 17-1-1936 No. 4 Pati 66. Cagar Alam Morowali SK Mentan 133/Kpts/Um/3/80 XX. Sulawesi Tenggara 67. Suaka Marga Satwa SK Mentan 845/Kpts/Um/11/80 Tanjung Peropa 68. Suaka Marga Satwa SK mentan 423/Kpts/Um/10/75 Tanjung Amolenggo 69. Suaka Marga Satwa SK Mentan 844/Kpts/Um/11/80 Tanjung Batikolo 70. Taman Buru Gunung SK Mentan 648/Kpts/Um/10/76 Watumohai 71. Suaka Marga Satwa Buton SK Mentan 728/Kpts/Um/12/79 Utara XXI. Sulawesi Selatan 72. Suaka Marga Satwa SK Mentan 699/Kpts/Um/11/78 Lampuko-Mampie XXII. Maluku 73. Cagar Alam Pulau Seho SK Mentan 492/Kpts/Um/10/72 74. Suaka Marga Satwa /Teluk SK Mentan 653/Kpts/Um/10/78 Pulau Kasa 300 Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia Sarang telur penyu hijau dan sarang telur penyu sisik, karang tepi Sarang telur penyu hijau dan sarang telur penyu sisik, karang tepi Bakau, padang pasir dan berkarang, karang menuju arah laut Hamparan pasir untuk tempat peneluran penyu Bakau Karang pantai, sarang telur penyu Pulau berkarang dengan sarang telur penyu Terumbu karang tepi Pantai laut Bakau Bakau Terumbu karang, hutan pantai Tumbuhan pantai, terumbu karang Bakau Bakau Bakau, hutan rawai Bakau Pulau berpasir, terumbu karang, sarang telur penyu sisik 75. Suaka Marga Satwa /Teluk Pulau Pombo 76. Cagar Alam Wae Mua 77. Cagar Alam Wae Nua 78. Cagar Alam/ teluk Pulau Banda 79. Suaka Marga Satwa Manuk 80. Suaka Marga Satwa Pulau Baun 81. Cagar Alam Nuswonta 82. Cagar Alam Pulau Angwarmase 83. Cagar Alam Gunung Api XXIII Irian Jaya . 84. Cagar Alam Pulau Waigeo Barat 85. Cagar Alam Batanta Barat 86. Cagar Alam Pulau Salawati Utara 87. Cagar Alam Pulau Biak Utara 88. Suaka Marga Satwa Pulau Anggremeos 89. Cagar Alam Pulau Yapen Tengah 90. Taman Wisata Teluk Yotafa 91. Cagar Alam Pulau Misool 92. Suaka Marga Satwa Pulau Sabuda-Tataruga 93. Cagar Alam Gunung Lorenz SK Mentan 327/ Kpts/Um/7/73 Karang cicin, pantai berpasir SK Mentan 558/Kpts/Um/12/72 SK Mentan 557/Kpts/Um/12/72 SK Mentan 221/Kpts/Um/4/77 Bakau, sarang telur penyu Bakau, sarang telur penyu Terumbu karang, laut dengan karang terjal Sarang burung laut, gunung laut, karang tepi Pantai SK mentan 444/Kpts/Um/5/81 SK mentan 771/Kpts/Um/1/74 SK Mentan 607/Kpts/Um/10/78 SK Mentan 609?Kpts/Um/10/78 GB 12-3-1937 No. 24 Stbl. 157 SK Mentan 395/Kpts/Um/5/81 Karang tebing , karang tepi SK Mentan 912/Kpts/Um/10/81 Pantai laut SK Mentan 14/Kpts/Um/1/82 Pantai laut SK Mentan 212/Kpts/Um/4/82 Pantai laut SK mentan 547/Kpts/Um/6/81 Pulaubakau, karang tepi SK Mentan 755/Kpts/Um/10/82 Pantai laut SK Mentan 372 Kpts/Um/1/78 SK mentan 716/Kpts/Um/10/82 SK Mentan 83/Kpts/Um/2/80 Daerah rekresi Pantai laut Pulau dengan terumbu karang, sarang telur penyu Delta estuari, bakau, hutan rawa Bakau, Rataan pasir, pantai, migrasi burung pantai Bakau, hutan rawa, rataan pasir pantai, migrasi burung pantai SK mentan 44/KPts/Um/1/78 94. Suaka Marga Satwa Pulau SK Mentan 37/Kpts/Um/1/78 Dolok 95. Suaka Marga Satwa Wasur SK mentan 253/Kpts/Um/1/78, SK Mentan/15/Kpts/Um/1/82 301 Bakau Pantai berpasir, terumbu karang Gunung laut, sarang burung laut Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia Tabel 7.3 Kawasan konservasi usulan baru (dengan kategori kawasan) hasil survei pada tahun 1981982 (Sumber: Salm & Halim, 1984f) No Propinsi & Nama Kawasan I. ACEH: 1 2 3 4 5 Kuala Jambu Air Kuala Langsa Singkil Barat Kep. Banyak-Bangkaru Jawi-jawi, P. Panjang, Simmal (Simeulue) Muara Wotya, Muara Teunon, Muara Teripa SUMATERA UTARA: Sei Prapat Lau Tapus Perairan Kep. Batu Aruah Muara Toru SUMATERA BARAT: P. Penyu 6 II. 7 8 9 10 11 III. 12 13 IV. 14 15 16 17 18 Kategori Kawasan Luas (ha) perairan I I I VIII I 10.000 7.000 65.000 200.000 10.000 Estuari, bakau Estuari, bakau Hutan Pantai, Hutan rawa pantai Terumbu karang, sarang telur penyu Sarang burung laut VI 15.000 Estuari, rawa pantai, perlindungan perikanan udang I I VIII I VI 3.000 8.000 200.000 50.000 5.000 Bakau Hutan pantai, hutan rawa pantai Terumbu karang, kima, sarang telur penyu Sarang burung laut, karang Estuari, bakau, lumpur, perikanan udang I 15.000 VIII 50.000 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau dan penyu sisik Bakau, terumbu karang IV IV IV I VIII 18.000 70.000 60.000 26.000 200.000 I I VIII 5.000 5.000 50.000 19 20 21 Muara Siberut RIAU: Tg. Sinebu-P. Alang Besar Bakau Muara Kapuas Bakau Selat Dumai Muara Gunting Kep. Riau Selatan-Lingga Utara Kayu ara Mandariki Tambelan-Uwi 22 23 24 25 V. 26 27 P. Pasir Pandjang Tg. Datuk Kep. Anambas Selatan P. Penyengat SUMATERA SELATAN: P. Segamat P. Lengkuas-P. Kepayang V IV VIII V 20 5.000 200.000 10 I IV 15.700 25.000 28 VIII 100.000 29 Perairan Manggar Tenggara-P. Rotan Tl. Bolok-Kep. Lima VIII 100.000 30 31 Terusan Dalam Dsk P. Bangka Timur IV VIII 40.000 200.000 302 Nilai konservasi Estuari, bakau Bakau, hutang rawa Bakau Bakau Terumbu karang, kepulauan bakau, sarang telur penyu hijau dan sisik Sarang burung laut, terumbu karang Sarang burung laut, terumbu karang, Sarang burung laut, penyu hijau dan sisik, terumbu karang, Kepulauan bakau, wisata Bakau Terumbu karang, sarang telur penyu sisik Kepulauan bakau, wisata Terumbu karang, sarang telur penyu sisik Terumbu karang, sarang telur penyu hijau dan sisik Terumbu karang, sarang telur penyu hijau dan sisik Terumbu karang, sarang telur penyu hijau dan sisik Bakau tepi Terumbu karang dan perilindungan perikanan, duyung, lamun Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia No Propinsi & Nama Kawasan 32 VI. 33 VII 34 35 36 37 38 39 40 41 Kebatu BENGKULU: P. Tikus JAWA BARAT: Muara Gembong Muara Bobos Muara Cimanuk Pangumbahan Tg. Sadari P. Sangiang Mawuk Zona Pesisir Tl. Banten Timur JAWA TENGAH: Karimunjawa Rongkop Muara Pemali-Brebes VIII. 42 43 44 Kategori Kawasan Luas (ha) perairan I 5.000 Terumbu karang, sarang burung laut I 15.000 Sarang telur penyu belimbing IV I I VI VI V VI VI 1.000 1.000 7.100 25.000 8.200 3.000 1.000 6.000 Estuari, bakau, perlindungan perikanan Estuari, bakau, perlindungan perikanan Estuari, bakau, perlindungan perikanan Sarang dan area pemijahan penyu hijau Bakau, burung pantai Terumbu karang, wisata Estuari, bakau, perlindungan perikanan Estuari, lahan basah, perlindungan perikanan, habitat nener bandeng II I VI 100.000 1.000 5.000 Estuari, sarang burung, penyu hijau dan sisik Sarang burung laut Estuari, perlindungan perikanan udang, rataan lumpur, habitat nener bandeng Estuari, perlindungan perikanan udang, habitat nener bandeng Estuari, perlindungan perikanan udang, rataan lumpur, habitat nener bandeng 45 Muara Pemalang VI 5.000 46 Muara S. Serang VI 5.000 IX. 47 48 JAWA TIMUR: Perairan Kangean Utara Muara Porong-Welang VIII VI 100.000 30.000 49 50 51 X. 52 Gn. Jagatamu P. Merah P. Sepanjang BALI: Nusa Penida IV V I 2.000 1.000 5.000 III 5.000 53 54 Benoa-Sanur Uluwatu VIII I 2.000 2.500 XI 55 NUSA TENGGARA BARAT: Batugendang III 12.500 56 57 Gili Air—P. Pemenanang P. Satonda III IV 5.000 22.000 58 59 P. Panjang P. Rakit IV V 10.000 2.000 303 Nilai konservasi Lamun, duyung,penyu, sarang burung laut Estuari, perlindungan perikanan, rataan lumpur, habitat nener bandeng Hutan pantai, bakau Hutang pantai, bakau, wisata Sarang telur penyu hijau Terumbu karang, tebing dengan sarang burung laut Rataan lumpur, Terumbu karang, tebing dengan sarang burung laut Terumbu karang, tebing dengan sarang burung laut Terumbu karang Terumbu karang, padang lamun, luguna air asin Pulau bakau Hutan pantai, terumbu karang, rekreasi Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia No XII. 60 61 62 63 64 65 XIII. 66 67 68 69 70 XIV. 71 72 XV. 73 74 75 76 77 78 XVI. 79 80 81 82 83 84 85 86 Propinsi & Nama Kawasan NUSA TENGGARA TIMUR: P.P. Tujuhbelas Tl. Kupang-P. Kera Kategori Kawasan III VIII 5.000 100.000 P. Dana Tl. Pelikan-Bekau Pahatu Bakau Landu Tl. Oisina KALIMANTAN BARAT: Bakau Muara Kendawangan Paloh IV IV IV IV 5.000 1.500 1.000 1.000 I 10.000 I 25.000 Tl. Ayer Karimata Tg. Keluang KALIMANTAN TENGAH: Kelompok Hutan Kahayan Tg. Penghujan KALIMANTAN SELATAN: Pamukan Pantai Barat Kalimantan selatan Kep. Laut Kecil VI III V 25.000 87.000 1.000 Hutan patai, estuari, bakau, migrai burung pantai Tempat peneluran dan perkawinan penyu hijau Estuari, bakau, daerah penangkapan ikan Terumbu karang Rekreasi I V 150.000 40.000 Bakau tepi, padang rawa Bakau tepi, padang rawa I I 10.000 30.000 Estuari, bakau Sarang telur penyu hijau VIII 200.000 I I I 500 14.400 16.250 Terumbu karang, tempat perkawinan, bertelur dan cari makan penyu sisik Pulau bakau Bakau Bakau I I I VIII 65.000 65.000 80.000 10.000 Estuari, bakau, daerah penangkapan ikan Estuari, bakau, daerah penangkapan ikan Estuari, bakau, delta Delta,bakau I IV I VIII 110.000 100.000 15.700 200.000 Estuari, bakau Terumbu karang, sarang telur penyu hijau Sarang telur penyu Terumbu karang penghalang, tempat perkawinan, bertelur dan cari makan penyu sisik dan penyu hijau III 81.000 Terumbu karang, padang lamun, kima, kepariwisataan Terumbu karang,bakau, padang lamun, kima, duyung Delta, bakau, sarang burung air tawar Sarang burung laut Tempat burung bermain P. Suwangi P. Sebuku Barat Tg. Dewa Barat KALIMANTAN TIMUR: Tl. Apar Tl. Adang Muara kayan Pantai Samarinda-Muara Mahakam Muara Sebuku Karang Muaras-Maratua P. Birah-Birahan Kep. Balangan-P. Uwi XVII. SULAWESI UTARA: 87 P.P. Bunaken Luas (ha) Nilai konservasi perairan 88 Arakan IV 16.000 89 90 91 Tg. Panjang Batu Kapal P. Burung IV I I 2.500 5.000 5.000 304 Terumbu karang, pulau-pulau kecil Terumbu karang, hamparan karang, duyung, rekreasi Sarang telur penyu hijau dan penyu sisik Bakau Bakau, hamparan karang, terumbu karang, Bakau Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia No 92 93 XVIII. 94 95 Propinsi & Nama Kawasan Kep. Sangihe-Talaud Tl. Gorontalo SULAWESI TENGAH: P. Pasoso P.P. Togian Kategori Kawasan VIII VIII Luas (ha) Nilai konservasi perairan 150.000 Terumbu karang, Kepiting kenari/kelapa 5.000 Estuari, bakau III VIII 15.000 200.000 VIII 150.000 XIX. 97 Perairan P.Peleng-P.P. Banggai SULAWESI TENGGARA: P. Kakabia I 15.000 98 99 100 101 102 P. Moromaho Tl. Lasolo-Tl. Dalam Polewai Tukang Besi P.P. Tiga I IV IV VIII IV 15.000 50.000 15.000 200.000 15.000 103 104 XX. 105 106 107 Selat Muna Selat Wowoni SULAWESI SELATAN: Sangi Sangiang Karompa Tjadi Taka Bone Rate IV I 5.000 25.000 I I VIII 15.000 15.000 205.000 108 Kep. Sembilan IV 20.000 109 110 I II 5.000 100.000 111 112 113 114 XXI. 115 Lamikomiko P.P. Spermonde-P. Samalona Madu Pallima Kep. Tengah-Kep. Salana Kep. Kalukalukuang MALUKU: Aru Tenggara IV VI VIII VIII 5.000 2.000 500.000 100.000 I 200.000 116 117 P. Suanggi P.P. Penyu-Lucipara I I 15.000 100.000 118 Kep. Kai Barat-Tayandu VIII 200.000 119 120 121 122 123 Kep. Sermata Barat P. Babi P. Kobroor Tl. Kau Tl. Ambon VIII III IV V VIII 200.000 2.500 10.000 100.000 50.000 96 305 Terumbu karang, sarang telur penyu hijau Terumbu karang, hamparan karang, bakau, kima Terumbu karang, duyung, kima Sarang burung laut dan penyu, terumbu karang Terumbu karang,sarang burung laut Terumbu karang, duyung, penyu Estuari, bakau Terumbu karang, penyu, duyung Terumbu karang, sarang telur penyu hijau dan penyu sisik Terumbu karang,bakau, duyung,penyu Terumbu karang Terumbu karang, sarang burung laut Terumbu karang, sarang burung laut Trumbu karang, perlindugan kima, duyung, sarang telur penyu hujau dan penyu sisik Terumbukarang tepi penghalang, tempat perkawinan, bertelur, tempat makan penyu hijau dan penyu sisik Bakau Terumbu karang, hamparan karang, sarang telur penyu sisik, kepariwisata Sarang burung laut Esturi, daerah penangkapan ikan Terumbu karang, sarang telur penyu sisik Terumbu karang, sarang telur penyu sisik Terumbu karang,padang lamun, duyung,sarang telur penyu hijau Sarang burung laut, terumbu karang Terumbu karang, hamparan karang, sarang teur penyu hijau dan burung Trumbu karang, sarang burung laut, kepiting kenari, palapa Karang tepi dan kima Terumbu karang dan kepariwisata Bakau, hutan rawa Kapal karam (shipwreck) Bakau, terumu karang, perikanan pelagis kecil Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia No Propinsi & Nama Kawasan Kategori Kawasan I I I Luas (ha) perairan 3.000 10.000 1.000 124 125 126 XXII. 127 Wae Apo Yamdena Wae Bula PAPUA: Tl. Cendrawasih 128 129 130 Jamursba-Mandi, WeweKoor, Sausapor Tl. Bintuni P. Mapia I IV 450.000 11.000 131 Raja Ampat IV 50.000 132 133 134 135 136 Inggresau Tl. Lelintah Mamberamo delta Jef Jus Kep. Asia-Kep. Aju I IV II I IV 25.500 75.000 40.000 5.000 100.000 137 Mubrani-Kaironi, SdideiWibain P. Sayang P. Pombo I 40.000 IV I 10.000 100 138 139 306 IV+X I Nilai konservasi Bakau Bakau, padang lamun, terumbu karang Bakau 1.000.000 Terumbu karang, kima, sarang telur penyu hijau dan penyu sisik, duyung 63.000 Sarang telur penyu blimbing dan penyu hijau Estuari, bakau, Perikanan udang Terumbu karang, kima, kepiting kenari, sarang telur penyu hijau dan penyu sisik Terumbu karang, sarang telur penyu hijau dan penyu sisik Sarang telur penyu blimbing Terumbu karang, kepiting kenari Delta, padang rawa, bakau Sarang burung laut dan terumbu karang Terumbu karang, sarang telur penyu hijau dan penyu sisik Sarang telur penyu blimbing, hijau, dan penyu lekang Terumbu karang, sarang telur penyu Pulau bakau Roadmap kawasan konservasi perairan di Indonesia