PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menunjang pembangunan sub sektor peternakan. Kontribusi tersebut terutama dalam memenuhi kebutuhan penyediaan bahan pangan asal ternak, baik dalam bentuk ternak hidup maupun daging, khususnya kebutuhan domestik dan daerah. Meskipun kontribusi petani peternak cukup menentukan dan memegang peranan penting dalam penyediaan kebutuhan sapi potong, namun belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan dan peluang pasar yang cenderung meningkat yang mengakibatkan tingginya harga daging sapi di pasaran Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Persilangan yang semakin luas dan tidak terkontrol terhadap sapi Aceh dengan bangsa sapi eksotik akan memberikan dampak terhadap peningkatan produktivitas sapi-sapi Aceh disatu sisi, namun menurunkan keaslian sapi Aceh. Kekhawatiran ini telah terjadi pada sapi di Lithuania (Eropah Timur) yang terancam punah (Maleviciute et al. 2002) akibat persilangan yang disengaja tetapi tidak terstruktur. Bahkan beberapa sapi asli di negara India telah punah sebelum sapi ini diidentifikasi dan dimanfaatkan (Sodhi et al. 2006). Hal demikian juga ditegaskan oleh FAO (2000) bahwa, sumber daya genetik ternak asli akan punah akibat permintaan pasar, persilangan yang tidak terkendali, pergantian breed (pergantian bangsa sapi yang sudah ada dengan bangsa sapi baru) dan kegiatan mekanisasi pertanian (pergantian penggunaan tenaga sapi dengan tenaga mesin untuk mengolah lahan pertanian). Mempertahankan sumber daya ternak lokal juga penting artinya untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan bagi umat manusia, selain itu juga memperkaya daftar plasma nutfah sebagai sumber protein hewani. Oleh karena itu, dalam rangka mengurangi laju kepunahan, khususnya pada sumber genetik ternak lokal Indonesia, salah satu yang harus dilakukan yaitu menggali informasi genetik melalui upaya karakterisasi keanekaragaman genetik pada ternak lokal tersebut. 2 Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam menentukan tingkat produksi daging pada sapi, sehingga memiliki nilai ekonomi penting dalam budidaya sapi pedaging. Sapi Aceh merupakan salah satu jenis sapi pedaging di Indonesia yang telah dikenal sebagai jenis sapi yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia. Sapi Aceh ini dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan Indonesia, tahan terhadap iklim tropis, dapat hidup dengan kondisi pakan dan air setempat, dan tahan terhadap keberadaan bakteri dan parasit (Gunawan 1998). Meskipun sapi ini mampu beradaptasi dengan baik, namun produktivitasnya masih rendah jika dibandingkan dengan sapi impor. Melalui peningkatan produktivitas sapi lokal Indonesia, diharapkan minat para peternak untuk beternak sapi lokal akan meningkat. Dengan demikian, populasi sapi lokal akan meningkat dan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia akan daging maupun sapi dari negara lain. Peningkatan produktivitas sapi pedaging Indonesia akan lebih tepat bila dilakukan melalui seleksi yang tidak hanya berdasarkan pada penampakan luar (fenotip), melainkan dikombinasikan dengan seleksi langsung pada tingkat DNA yang mengkodekan fenotip yang ingin diperbaiki kualitasnya. Peta genom pada sapi (bovine genome map) yang dibuat berdasarkan marker pada DNA genom menggunakan teknik molekuler seperti RFLP, mikrosatelit, minisatelit, PCRRFLP, dan PCR-SSCP dimungkinkan untuk mengidentifikasi lokus-lokus gen yang bertanggung jawab terhadap variasi sifat yang memiliki nilai ekonomi. Bruford et al. (2003) menyatakan bahwa diantara beberapa penanda molekuler yang digunakan pada genom inti, mikrosatelit merupakan penanda yang paling banyak digunakan. Hal ini karena mikrosatelit bersifat polimorfik dan sangat informatif, keberadaannya di dalam genom inti relatif banyak dan dapat diamplifikasi melalui PCR. Mikrosatelit telah digunakan untuk menjelaskan pola domestikasi dan migrasi pada sapi Eropa (Loftus et al. 1994) dan karakterisasi populasi ternak sapi dari turunan Bos indicus dan Bos taurus (Beja-Pereira et al. 2003). Lokus-lokus mikrosatelit juga digunakan oleh Machado et al (2003) untuk mengevaluasi keanekaragaman genetik dalam masing-masing bangsa sapi dan perbedaan genetik di antara setiap bangsa, sehingga informasi tersebut dapat 3 digunakan untuk membuat keputusan tentang konservasi pada ternak sapi (Sodhi et al. 2006). Patricia et al. (2002) mengggunakan DNA mitokondria untuk membuktikan dan menganalisa variasi dalam dan antarspesies, stuktur populasi dan filogeni. Hal ini juga dibenarkan oleh Muladno (2006) bahwa DNA mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis keragaman hewan, baik intraspesies maupun antarspesies. Penelitian yang dilakukan oleh Nijman et al. (2003) dan Edwards et al. (2007), penentuan daerah D-loop mtDNA pada sapi telah dapat menunjukkan sejarah sapi, dan hibridisasi yang terjadi pada Banteng dan sapi Madura. Berdasarkan penelitian Abdulah (2008), runutan daerah D-loop DNA mitokondria sapi Aceh berada satu klaster dengan sapi Pesisir dan PO serta mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan bangsa-bangsa sapi Bos indicus (zebu) dari India, sedangkan sapi Bali dan Madura membentuk klaster sendiri. Dengan menggunakan analisis DNA mikrosatelit dibuktikan bahwa sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengan sapi PO dan Pesisir serta satu kelompok dengan sapi Madura. Penanda genetik molekuler yang terbaru yaitu SNP (Single Nucleotide Polymorphism), yang dapat mengidentifikasikan dengan jelas posisi perubahan hanya satu basa nukleotida pada sekuen DNA. Lucy et al. (1993) dan Zhang et al. (1992) menemukan SNP pada ekson lima (codon 127) dimana terjadi perubahan leusina ke valina (CTG – GTG) pada molekul GH. Ge et al. (2003) menggunakan metode sekuensing pada sapi Angus dan menemukan tiga SNP yang baru pada daerah promotor. Yao et al. (1996) mengidentifikasikan SNP pada ekson lima gen GH, dimana terjadi perubahan basa A menjadi basa C. Penggunaan gen GH sebagai marker genetik telah banyak digunakan dalam penelitian, karena gen hormon pertumbuhan (GH) merupakan salah satu gen yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Di Stasio et al. 2005). Casas et al. (2004) melaporkan QTL untuk sifat pertumbuhan, komposisi karkas dan kualitas daging sapi tersebar pada kromosom 1, 2, 3, 16, 17, 19, 20, 21 dan 26. Peran gen GH terhadap performans ternak sapi sangat jelas pengaruhnya (Breier. 1999), sehingga polimorfisme gen GH pada sapi Aceh sangat menarik untuk dikaji. 4 Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengindentifikasikan keragaman genetik gen hormon petumbuhan (GH) dan hubungannya dengan kualitas karkas sapi Aceh. Penentuan keragaman genetik ini dapat dipakai sebagai indikator untuk melakukan seleksi genetik sapi Aceh. Perbaikan kualitas karkas dan daging pada sapi Aceh melalui penggunaan marka gen hormon pertumbuhan (GH) dapat meningkatkan nilai ekonomis ternak sapi Aceh. Selanjutnya melestarikan keberadaan sapi Aceh dapat juga dilakukan dengan mengkarakterisasikan keragaman genetik dengan penanda genetik molekuler SNPs, D-Loop dan mikrosatelit, sehingga seluruh informasi yang didapat dari hasil penelitian dapat melengkapi data yang telah ada untuk dijadikan sebagai database dalam melakukan kebijakan pelestarian sapi Aceh dan penggunaannya yang berkelanjutan. Tujuan Penelitian a. Mengidentifikasi posisi perubahan basa nukleotida sekuen DNA gen GH pada ekson lima, dan mempelajari jumlah dan frekuensi alel SNPs pada populasi sapi Aceh. b. Mendeterminasi polimorfisme genotipe dan alel gen GH/AluI serta pengaruh dari masing-masing genotipe terhadap kualitas karkas pada sapi Aceh c. Mengidentifikasi keragaman pada populasi sapi Aceh dengan menggunakan marker genetik D-Loop dan Mikrosatelit Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka perbaikan mutu genetik sapi Aceh melalui aplikasi teknik biologi molekuler b. Dimungkinkan penciri genetik yang diperoleh dapat digunakan sebagai MAS (Marker Assisted Selection) dalam percepatan perbaikan mutu genetik sapi Aceh dan pengembangan ternak nasional pada umumnya. c. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan Biologi Molekuler/Genetika Molekuler, khususnya penerapan teknologi marker genetik pada sapi Aceh. 5 Hipotesis 1. Penciri PCR-RFLP fragmen gen GH/AluI dan marker genetik D-Loop serta mikrosatelit memiliki polimorfisme yang tinggi pada sapi Aceh. 2. Terdapat korelasi yang nyata antara polimorfisme gen GH/AluI dengan kualitas karkas pada sapi Aceh. • • Pemotongan Persilangan Kehilangan/Punahnya Plasma Nutfah SAPI ACEH • • Data Kuantitatif/Kualitatif Data Molekuler terbatas PEMECAHAN MASALAH FENOTIPIK GENETIK GEN GH PERFORMANS SEKUENSING DARAH/DAGING POLIMORFISME PRODUKSI KUALITAS KARKAS Pemanfaatan Genetik Marker Program Pemuliaan & Pemanfaatan Secara Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran alur penelitian