PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA AKSELERASI DITINJAU DARI INTENSITAS KOMUNIKASI KELUARGA (STUDI PADA KELAS X PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA) Prehaten, Tuti Hardjajani, Rin widya Agustin Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak Program akselerasi yang menyajikan kurikulum padat, menekan dan penuh tuntutan dapat menjadikan siswa kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Hal ini dapat menyebabkan pengalaman-pengalaman sosial yang dialami siswa menjadi berkurang sehingga anak menjadi kurang terampil dalam melakukan penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial seorang anak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Dalam hal ini komunikasi memainkan peranan penting sebagai media yang digunakan saat melakukan interaksi dengan anggota keluarga. Semakin tinggi intensitas Komunikasi keluarga yang terjadi akan akan memberikan pengalaman sosial yang cukup bagi anak dalam proses belajar sosial sehingga dapat membantu dalam mempelajari keterampilan-keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam melakukan penyesuaian sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan penyesuaian sosial siswa akselerasi ditinjau dari intensitas komunikasi keluarga. Subyek dalam penelitian ini adalah kelas X siswa SMA N 3 Surakarta tahun 2010. Penelitian ini menggunakan studi populasi mengingat jumlah siswa akselerasi yang sedikit yakni 59 siswa. Alat pengumpul data menggunakan skala penyesuaian sosial dan skala intensitas komunikasi keluarga. Metode analisis data menggunakan One Way anava dengan bantuan Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16. Berdasarkan hasil uji one way anava diperoleh F hitung 34,402 dan F tabel 4,010, (p = 0,05), karena F hitung > F Tabel maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan penyesuaian sosial siswa akselerasi ditinjau dari inntensitas komunikasi keluarga artinya rata-rata penyesuaian sosial berbeda berdasarkan intensitas komunikasi keluarga. Berdasarkan analisis stastistik deskriptif diperoleh bahwa penyesuaian sosial siswa akselerasi berada pada tingkat tinggi (52,54%) dan tingkat sedang (47, 46 %). Selain itu juga diperoleh bahwa intensitas komunikasi keluarga berada pada tingkat tinggi (74,58%) dan tingkat sedang (25,42%). Rata-rata penyesuaian sosial dengan intensitas komunikasi tinggi sebesar 113,11 dengan skor penyesuaian sosial terendah 99 dan skor tertinggi yaitu 137. Rata-rata penyesuaian sosial dengan intensitas komunikasi sedang sebesar 97,00 dengan skor penyesuaian sosial terendah 76 dan skor tertinggi yaitu 110. Semakin tinggi intensitas komunikasi keluarga maka semakin tinggi penyesuaian sosialnya. Kata kunci: Program Akselerasi, Penyesuaian Sosial, Intensitas Komunikasi keluarga. Abstract Accelerated program which provides a full, demanding curriculum cause make the students lose time to interact with their social environment. This can lead to social experiences by students to be reduced so that children become less skilled in social adjustment Social 86 adjustment of the child is influenced by his family. In this case, communication plays an important role in the process of interacting with other family members. The more intensive communication is, the more social experience the child gets. Those experiences helps the child learn social skills needed in social adjustment. The purpose of this research is to find out the differences of social adjustment on accelerated students based on the intensity of family communication. The subjects of this research are accelerated students of SMAN 3 Surakarta 2010 grade X. This research uses population study, considering the total of accelerated students is still manageable, there is 59. The datas are collected by using social adjustment scale and the family communication intensity scale. The data analysis method used in this research is One Way Anava with the help of Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16. Based on one way anava test result, Fc 34.402 and Ft 4.010 (p = 0.05). since Fh > Ft, it can be concluded that there is a significant difference on the average rate of social adjustment of accelerated students based on the intensity of their family communication. Descriptive statistic analysis leads to the fact that accelerated students have high (52.54%) and moderate (47.46%) social adjustment skills. Also known from this research that the intensity of family communication is high (74.58%) and moderate (25.42%) as well. The average rate of social adjustment with high family communication intensity is 113.11, with the lowest score of social adjusment is 99 and the highest score is 137. The average rate of social adjustment with moderate family communication intensity is 97.00, with the lowest score of social adjustment is 76 and the highest score is 110. The higher family communication intensity is, the better social adjustment of the child gets. Key word: accelerated program, social adjustment, family communication intensity. 87 A. PENDAHULUAN Dunia Pendidikan terus berupaya memaksimalkan kemampuan setiap peserta didik hingga mampu menampilkan prestasi optimal sesuai dengan kemampuannya. Anak yang memiliki bakat dan kemampuan luar biasa dibutuhkan layanan khusus dibandingkan peserta didik yang memiliki kemampuan biasa atau normal. Di Indonesia kesadaran ini telah ada dengan ditetapkannya Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 5 ayat 4 yang menyatakan bahwa “ Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.” Dan pasal 12 ayat 1 yang menegaskan “ setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya; serta menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.” Setelah ditetapkannya undang-undang tersebut pada tahun 2004 pemerintah memulai mengadakan penyelenggaraan program percepatan belajar (kelas akselerasi) di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Umum guna memberikan layanan belajar terhadap siswa-siswa berinteligensi tinggi. Alsa (2007) menjelaskan bahwa akselerasi memiliki arti pemberian perlakuan apapun yang memungkinkan untuk siswa cerdas dan berbakat agar dapat menyelesaikan sekolahnya secara cepat dengan tingkat kemampuan dan kematangannya. Dengan demikian siswa dapat menyelesaikan pendidikan formalnya dalam waktu yang lebih singkat atau pada usia yang lebih muda. Pada dasarnya program akselerasi tidak jauh berbeda dengan program pendidikan reguler, perbedaannya terdapat pada lama studi. Pada siswa akselerasi terjadi pemadatan jam dan materi pelajaran agar siswa dapat menyelesaikan studi sesuai dengan waktu yang ditentukan. Program pendidikan akselerasi merupakan alternatif positif bagi siswa yang berbakat intelektual atau memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Program ini dibuat agar siswa dapat memperoleh pendidikan sesuai dengan kemampuan sehingga potensi yang dimiliki dapat berkembang secara optimal. Namun tidak berarti bahwa penyelenggaraan program akselerasi terhindar dari persoalan. Kondisi-kondisi yang dialami oleh siswa akselerasi akan menimbulkan beberapa dampak negatif bagi kehidupan psikososial siswa diantaranya,: (1) siswa tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan sosial penting yang tepat untuk usianya; (2) program akselerasi akan mengurangi jumlah dan frekuensi hubungan dengan teman-teman; (3) siswa akan memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk mengembangkan keterampilan memimpin, 88 karena ia berada di antara teman-teman yang berusia lebih tua. Secara lebih serius, hal ini dapat mengakibatkan penyesuaian sosial yang buruk saat dewasa (Irza, dalam Gunarsa, 2004). Hidayah dan Rachmawati (2009), menjelaskan bahwa fenomena yang terjadi pemisahan anak berbakat intelektual ke dalam kelas akselerasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan pengembangan keterbakatan mereka ternyata memiliki sisi negatif yaitu timbulnya berbagai masalah penyesuaian. Permasalahan penyesuaian sosial pada anak berbakat terjadi ketika anak melakukan interaksi dengan lingkungannya. Selanjutnya Widodo (2006) mengungkapkan sebesar 15% siswa yang mengikuti program akselerasi menjadi introvert, tidak mampu mengungkapkan gagasan dan pendapat, serta mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial. Fakta tersebut diperkuat oleh hasil penelitian berjudul ”Manajemen Sekolah Unggulan Program Akselerasi di SD H. Isriati Baiturrahman Semarang” yang dilakukan Endah (dalam Maghviroh, 2009) bahwa anak berbakat siswa akselerasi memiliki kesulitan penyesuaian sosial. Berdasarkan penelitian dan pendapat para ahli di atas bahwa program akselerasi yang menyajikan kurikulum yang padat, menekan dan penuh tuntutan dapat menimbulkan permasalahan sosial yang dapat mengganggu perkembangan psikososial siswa khususnya pada aspek penyesuaian sosial. Menurut Schneiders (1985), salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial anak adalah lingkungan keluarga terdiri dari orang tua, anak maupun saudara-saudaranya. Keluarga merupakan salah satu aspek yang utama bagi perkembangan kepribadian dan penyesuaian individu untuk hidup layak dan berhasil. Penyesuaian dalam keluarga meliputi ; (1) hubungan yang sehat di antara anggota keluarga, (2) tidak ada rejection ataupun favoritisme dari orang tua terhadap anaknya, (3) tidak ada permusuhan, rasa benci atau iri hati. Selanjutnya Ali dan Asrori (2004) juga menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial remaja adalah lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, serta lingkungan masyarakat. Dengan demikian interaksi dalam lingkungan keluarga turut berperan dalam membentuk penyesuaian sosial yang baik pada siswa akselerasi. Ki Hadjar Dewantara (dalam shochib, 1998) menyatakan bahwa keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia. Dalam hal ini komunikasi memainkan peranan penting karena dalam proses interaksi antar anggota keluarga dibutuhkan suatu media agar dapat menyalurkan pikiran, ide, gagasan atau perasaan dari masing-masing anggota keluarga sehingga proses interaksi dalam keluarga dapat berjalan dengan lancar. 89 Komunikasi merupakan esensi dari penataan kondisi kehidupan keluarga. Bruner ( dalam Vangelisti, 2004) menjelaskan bahwa Komunikasi keluarga adalah suatu mekanisme atau cara yang paling awal untuk melakukan sosialisasi dimana dengan saling mengamati dan berinteraksi dengan sesama anggota keluarga , orang-orang akan belajar untuk mengkomunikasikannya dan penting baginya untuk memikirkan apa yang hendak dikomunikasikan satu sama lain. Komunikasi keluarga berfungsi untuk meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota keluarga, menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi dalam keluarga, mengurangi ketidak pastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman sosial yang dialami sehingga komunikasi keluarga dapat melatih anak agar dapat mengamalkan nilai moral dasar dalam kehidupan sehari–hari, dan membentuk pribadi yang mandiri, percaya diri, dan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi sehingga anak dapat terampil dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosial mereka. Intensitas komunikasi keluarga yang tinggi akan memberikan pengalaman sosial yang cukup bagi anak dalam proses belajar sosial mengingat komunikasi keluarga merupakan suatu mekanisme atau cara yang paling awal untuk melakukan sosialisasi dimana dalam proses komunikasi yang terjadi maka anak secara sadar ataupun tidak sadar mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam pikirannya setiap tanggapan yang diberikan oleh setiap anggota keluarga. Komunikasi keluarga yang intens akan membantu anak dalam memahami realitas sosial yang ada disekitar mereka sehingga anak dapat terampil dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, komunikasi keluarga yang kurang maka dapat menyebabkan anak kurang memiliki pengalaman sosial yang membantu mereka dalam memahami realitas sosial yang terjadi di sekitar mereka sehingga dapat menjadikan mereka kurang terampil dalam melakukan penyesuaian sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penyesuaian sosial siswa akselerasi ditinjau dari intensitas komunikasi keluarga. Hasil Penelitian dapat memberikan sumbangan informasi, menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman mengenai pengaruh intensitas komunikasi keluarga dengan penyesuaian sosial pada siswa akselerasi, pengembangan ilmu psikologi pada umumnya, dan khususnya bagi psikologi pendidikan serta psikologi sosial. B. Dasar Teori 1. Penyesuaian Sosial Pada saat seseorang berada pada masa remaja, ia mulai ingin lepas dari orang tua dan cenderung lebih senang menghabiskan waktu dengan teman sebaya serta mengikuti suatu 90 kelompok sosial yang diminati. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan dari pola sosialisai yang sesuai, remaja harus melakukan penyesuaian baru dengan lingkungan sosialnya. Bila seorang mampu menyesuaikan diri terhadap orang lain atau kelompoknya berarti ia diterima oleh kelompok dan lingkungannya atau dengan kata lain ia mampu melakukan penyesuaian sosial dengan lingkungan sosialnya. Schneiders (1985) berpendapat bahwa penyesuaian sosial adalah sejauh mana individu mampu bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial yang merupakan kebutuhan kehidupan sosial. Pengertian di atas dapat diartikan bahwa individu harus mengadakan reaksi, interaksi, berhubungan dengan individu lain yang ada di dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan sosial. Schneiders (1985) menyatakan bahwa aspek-aspek penyesuaian sosial meliputi: a. Keharmonisan diri pribadi, kemampuan individu untuk menerima keadaan diri sendiri. b. Kemampuan mengatasi ketegangan konflik dan frustrasi, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri tanpa mengganggu kondisi emosi. c. Keharmonisan dengan lingkungan, kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baik itu lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Dari ketiga aspek tersebut, aspek lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam proses penyesuaian sosial individu. Dalam proses penyesuaian sosial, individu mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkungan sosialnya dan mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok. Hal ini merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk bertahan dan mengendalikan diri. Berkembangnya kemampuan sosial ini berfungsi sebagai pengawas yang mengatur kehidupan sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Menurut Mu’tadin (2002) aspek-aspek penyesuaian sosial mencakup kemampuan individu menyesuaikan diri lingkungan dimasyarakat disekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh individu sendiri. Penyesuaian terjadi karena bertemunya kebutuhan-kebutuhan dan motif-motif yang ada di dalam diri individu dengan tuntutan-tuntutan yang berasal dari lingkungan 91 sosialnya. Kebutuhan-kebutuhan individu, motif, perasaan dan emosi merupakan kekuatan internal. Kebutuhan-kebutuhan ini menurut Daradjat (1985) seringkali menimbulkan pertentangan-pertentangan, karena tidak jarang dorongan kebutuhan tersebut membutuhkan pemuasan pada saat yang bersamaan. Individu dalam memenuhi kebutuhankebutuhan yang dihadapkan pada hambatan-hambatan yang berasal dari lingkungan, berupa penolakan orang tua, tabu-tabu sosial, peraturan yang keras (menghukum), dan keretakan keluarga. Kondisi-kondisi yang demikian akan membuat individu merasa tertekan, konflik, stress dan frustasi. Selanjutnya individu yang merasa tertekan dan frustasi tersebut akan melakukan tindakan-tindakan seperti permusuhan, agresif, penolakan serta muncul perasaan terisolir. Pada dasarnya individu akan menghindari adanya penolakan dari kelompok sosialnya, oleh karena itulah individu melakukan penyesuaian sosial. Dalam kenyataannya kemampuan individu melakukan penyesuaian sosial terhadap lingkungan sosial yang berbeda-beda. Bila individu tersebut dapat mengatasi hambatan-hambatan atau kenyataankenyataan yang terjadi pada lingkungan sosialnya, maka individu tersebut dapat dikatakan mempunyai penyesuaian sosial yang sesuai sehingga terjadi penyesuaian antara dorongan kebutuhan dari dalam diri dengan tuntutan lingkungan yang menimbulkan perilaku normal pada individu tersebut. Sebaliknya bila individu gagal menyelaraskan kebutuhankebutuhannya dengan tuntutan lingkungan sosialnya maka akan timbul konflik, frustasi, dan stress. Bila tidak cepat teratasi, akan menimbulkan gejala perilaku yang maladjusted, serta menimbulkan ketidakstabilan mental yang berakibat kurang terampil dalam melakukan penyesuaian sosial. Schneiders (1985) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial seorang anak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan sekolah: a. Penyesuaian dalam keluarga atau rumah 1) Hubungan yang sehat di antara keluarga Hubungan ini ditandai dengan adanya penyesuaian yang baik antara anggota keluarga yang satu dengan anggota keluarga yang lainnya, sehingga ada rasa kasih sayang antara anggota keluarga. 2) Kemampuan untuk menerima otoritas orang tua Kemampuan untuk menerima otoritas orang tua perlu diterapkan kepada anak, dan anak harus bisa menerima disiplin orang tua. Patuh terhadap otoritas orang tua 92 merupakan langkah penting menuju penyesuaian yang baik di lingkungan masyarakat. b. Penyesuaian sosial di sekolah 1) Hormat dan mau menerima otoritas yang ada di sekolah. 2) Menunjukkan rasa tebaik dan partisipasi dalam kegiatan sosial. 3) Menjalin hubungan yang baik dengan teman dan guru. 4) Mau menerima larangan dan tanggung jawab. 5) Membantu sekolah untuk melaksanakan tujuan sesuai dengan fungsinya. 2. Intensitas Komunikasi Keluarga Fizhben dan Ajzen (dalam Tuasikal, 2008) intensitas adalah besarnya usaha individu dalam melakukan suatu tindakan . Intensitas adalah keadaan tingkatan atau ukuran (Depdiknas, 2003). Tingkatan di sini menggambarkan seberapa sering komunikasi terjadi yaitu komunikasi antara anggota keluarga yang satu dengan anggota keluarga yang lain. De Vito (2001) menjelaskan bahwa komunikasi keluarga merupakan komunikasi antar personal yang mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih dalam keluarga yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Setiap komponen harus dipandang dan dijelaskan sebagai bagian yang terintegrasi dalam tindakan komunikasi antar personal. komunikasi dalam keluarga lebih merupakan bentuk komunikasi antar personal. Relasi antar personal dalam setiap keluarga menunjukkan sifat-sifat yang kompleks. Berdasarkan pengertian intensitas maka intensitas komunikasi keluarga dapat diartikan tingkatan atau ukuran seberapa sering komunikasi keluarga terjadi yang merupakan komunikasi antar personal yang mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih dalam keluarga yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Devito (2001) mengemukakan bahwa aspek komunikasi dalam keluarga adalah a. Keterbukaan (opennes) ; Keterbukaan adalah kemampuan untuk membuka atau mengungkapkan pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain. Kualitas keterbukaan ini mengacu pada 3 93 hal yaitu adanya kesediaan membuka diri pada yang diajak berinteraksi, bereaksi secara jujur terhadap orang lain dan terbuka terhadap pendapat orang lain b. Empati (empathy) ; Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada peranan atau posisi orang lain. Orang yang empatik berarti ia mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, mampu memahami perasaan dan sikap orang lain dan mampu memahami harapan dan keinginan orang lain. Pengertian empatik ini akan membuat seorang mampu menyesuaikan komunikasinya. c. Sikap mendukung (supportiveness) ; Untuk membangun dan melestarikan hubungan dengan sesama anggota keluarga, kita harus menerima diri dan menerima orang lain sehingga terdapat dukungan dari seluruh anggota keluarga saat melakukan interaksi. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung apabila suasana tidak saling mendukung. Kita bersikap saling mendukung apabila kita memperlihatkan sikap deskripstif bukan evaluatif dan provisional atau memberikan kebebasan pada anak. d. sikap positif (positiveness) ; Apabila kita berpikir positif tentang diri kita, maka kita pun akan berpikir positif tentang orang lain, sebaliknya bila kita menolak diri kita, maka kitapun akan menolak orang lain. Seseorang mengkomunikasikan sikap positif dalam melakukan interaksi dengan anggota keluarga sedikitnya dilakukan dengan 2 cara yaitu menyatakan sikap positif dan secara postif mendorong anggota keluarga merasa nyaman saat melakukan komunikiasi. e. Kesetaraan (equality) ; Dalam hubungan antar personal ditandai dengan kesetaraan, ketidak sependapatan dan konflik lebih dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan non verbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain dan memberikan penghargaan positif tak bersyarat kepada orang lain. Komunikasi dalam keluarga lebih banyak komunikasi antar pribadi. Relasi antar pribadi dalam setiap keluarga menunjukkan sifat-sifat yang kompleks. Komunikasi antar pribadi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan di antara dua orang atau kelompok kecil orang dengan berbagai efek dan umpan balik. Setiap komponen 94 harus dipandang dan dijelaskan sebagai bagian yang terintegrasi dalam tindakan komunikasi antar pribadi. Komunikasi dalam interaksi keluarga yang dianggap penting untuk mencapai tujuan tertentu, biasanya direncanakan dan diutamakan.Komunikasi dikatakan berhasil kalau menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Komunikasi demikian harus dilakukan dengan efektif. Wiryanto (dalam Gunawan 2009) menegaskan bahwa komunikasi dikatakan efektif apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat menghasilkan efek-efek atau perubahan-perubahan sebagaimana yang diinginkan komunikator, seperti perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku. Perubahanperubahan di pihak komunikan itu dapat diketahui melalui tanggapan-tanggapan yang diberikannya sebagai umpan balik atau feedback. Terjadinya feedback dalam proses komunikasi dibagi menjadi dua, yaitu feedback langsung (immediate feedback) dan feedback tidak langsung (delayed feedback). Feedback langsung terjadi dalam komunikasi tatap muka, dimana komunikator dan komunikan saling berhadapan, sehingga feedback yang terjadi dapat diterima komunikator saat itu juga. Sedangkan feedback tidak langsung terjadi pada komunikasi bermedia, dimana komunikator baru dapat mengetahui tanggapan setelah komunikasi selesai. Kegiatan komunikasi keluarga yang efektif yakni komunikasi keluarga yang jelas, singkat, lengkap, mudah dimengerti, tepat dan saling memperhatikan, dapat membentuk gaya hidup dalam keluarga yang sehat. Keluarga dan susana hidup keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Komunikasi keluarga yang intens dan efektif akan memiliki dampak situasi hubungan yang sehat antara anggota keluarga, yaitu komunikasi yang penuh kasih sayang, persahabatan, kerjasama, penghargaan, kejujuran, kepercayaan, dan keterbukaan akan membentuk ketentraman keluarga. Suasana komunikasi yang demikian merupakan suasana yang menggairahkan bagi pertumbuhan anak sehingga pertumbuhan psikosial dapat berjalan dengan baik. Selain itu komunikasi yang intens akan memberikan pengalaman yang cukup bagi anak dalam proses belajar sosial sehingga anak akan terampil dalam melakukan penyesuaian sosial dengan lingkungan sosialnya. 3. Siswa Program Akselerasi Siswa yang berbakat intelektual memang membutuhkan layanan pendidikan yang khusus. Depdiknas (dalam Semiun, 2006), menjelaskan bahwa siswa yang mengikuti 95 program akselerasi dibatasi oleh 2 hal yaitu mereka yang memiliki IQ diatas 140 dan mereka yang oleh para psikolog atau guru yang telah mencapai prestasi yang memuaskan dan memiliki kemampuan intelektual umum yang berfungsi pada taraf cerdas. Dengan demikian pihak sekolah yang ingin menyelenggarakan program akselerasi perlu mengacu pada pengertian tersebut sehingga perlu adanya seleksi bagi siswa calon aksleran. Alsa (2007), akselerasi memiliki arti pemberian perlakuan apapun yang memungkinkan bagi siswa yang cerdas dan berbakat untuk menyelesaikan sekolahnya secara cepat sesuai dengan tingkat kemampuan dan kematangannya, sehingga mereka dapat menyelesaikan pendidikan formalnya dalam waktu yang lebih singkat atau pada usia yang lebih muda.. Hawadi (2004) menyebutkan bahwa penyelenggaraan program akselerasi mempunyai dua tujuan, yaitu: a) Tujuan umum 1) Memberikan pelayanan terhadap peserta didik (akseleran) yang mempunyai karakteristik khusus dari aspek kognitif dan afektif 2) Memenuhi hak asasi peserta didik sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang dibutuhkan. 3) Memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan peserta didik. 4) Menyiapkan peserta didik sebagai pemimpin masa depan. b) Tujuan khusus 1) Menghargai peserta didik yang mempunyai kecerdasan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat. 2) Memacu kualitas atau mutu peserta didik dalam meningkatkan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional secara berimbang. 3) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Southerm dan Jones (dalam Hawadi, 2004) keuntungan program akselerasi bagi anak berbakat: a) Meningkatkan efesiensi; Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran dan menguasai kurikulum pada tingkat sebelumnya akan belajar lebih baik dan lebih efisien. 96 b) Meningkatkan efektivitas; Siswa yang terkait belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan menguasai keterampilan - keterampilan sebelumnya merupakan siswa yang paling efektif. c) Penghargaan; Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu sepantasnya memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya d) Meningkatkan waktu untuk karier; Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas siswa, penghasilan, dan kehidupan pribadinya pada waktu yang lain e) Membuka siswa pada kelompok barunya; Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektial dan akademis yang sama f) Ekonomis; Keuntungan bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mendidik guru khusus anak berbakat Southerm dan Jones (dalam Hawadi, 2004) mengungkapkan beberapa dampak yang dialami oleh siswa yang mengikuti program akselerasi adalah sebagai berikut : 1) Segi akademik a) Bahan ajar terlalu tinggi bagi siswa akselerasi. b) Kemampuan siswa melebihi teman sebayanya bersifat sementara c) Siswa akseleran kemungkinan imatur secara sosial, fisik dan emosional dalam tingkatankelas tertentu d) Siswa akseleran terikat pada keputusan karier lebih dini tidak efisien sehingga mahal. e) Siswa ekseleran mengembangkan kedewasaan yang luar biasa tanpa adanya pengalaman yang dimiliki sebelumnya f) Pengalaman-pengalaman yang sesuai untuk anak seusianya tidak dialami karena tidak merupakan bagian dari kurikulum g) Tuntutan sebagai siswa sebagian besar pada produk akademik konvergen sehingga siswa akseleran akan kehilangan kesempatan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan divergen. 2) Segi penyesuaian sosial a) Kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebayanya b) Siswa akan kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia sebenarnya dan kehilangan waktu bermain. 97 3) Berkurangnya kesempatan kegiatan ekstrakurikuler 4) Penyesuaian emosional a) Siswa akseleran pada akhirnya akan mengalami burn out di bawah rekanan yang ada dan kemungkinan menjadi underachiever b) Siswa akseleran akan mudah frsutasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi. c) Adanya tekanan untuk berprestasi membuat siswa akseleran kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi. C. METODE PENELITIAN 1. Variabel Peneltian Variabel Variabel dalam penelitian ini adalah penyesuaian sosial sebagai variabel tergantung dan intensitas komunikasi keluarga sebagai. Definisi operasional dari masingmasing variabel tersebut adalah sebagai berikut: a. Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk bereaksi secara tepat terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial yang ada sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan dan memuaskan. Penyesuaian sosial dalam penelitian ini diungkap menggunakan skala penyesuaian sosial yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Schneiders (1985) dan Mu’tadin (2002) yaitu keharmonisan diri pribadi, kemampuan mengatasi ketegangan konflik dan frustasi serta kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. b. Intensitas Komunikasi kleuarga Intensitas komunikasi keluarga adalah tingkatan atau ukuran seberapa sering komunikasi keluarga terjadi yang merupakan merupakan komunikasi antar personal yang mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih dalam keluarga yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Untuk mengukur intensitas komunikasi keluarga digunakan skala yang diadaptasi oleh peneliti berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh De Vito (2001) yaitu seberapa sering keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif dan kesetaraan terjalin saat anggota keluarga melakukan komunikasi. 2. Responden Penelitian 98 Adapun responden yang menjadi sampel dalam penelitian diambil dengan menggunakan studi populasi kelas X tahun ajaran 2010/2011 yang berjumlah 59 siswa. Pada saat penelitian, peneliti mengambil data siswa program akselerasi kelas XI tahun 2011 karena regulasi kenaikan kelas siswa kelas X tahun ajaran 2010/2011 sudah naik ke kelas XI.. 3. Alat Ukur Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari skala penyesuaian sosial dan skala intensitas komunikasi keluarga. Pada skala penyesuaian soial skor bergerak dari 1 sampai dengan 4. Untuk pernyataan favourabel skor 4 untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), Skor 3 untuk jawaban Sesuai (S), skor 2 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (STS) dan skor 1 Untuk Pilihan Jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS). Sedangkan Untuk pernyataan unfavourabel skor 1 untuk pilihan jawaban Sangat Sesuai (SS), Skor 2 untuk jawaban Sesuai (S), skor 3 untuk pilihan jawaban Tidak Sesuai (STS) dan skor 4 Untuk Pilihan Jawaban Sangat Tidak Sesua (STS). Pada skala intensitas komunikasi keluarga skor bergerak dari 0 sampai dengan 4, dengan range skor untuk pernyataan yang Favourable yaitu skor 0 untuk pilihan jawaban Tidak Pernah (TP) , skor 1 untuk pilihan jawaban Jarang (J), skor 2 untuk pilihan jawaban Kadang (K), skor 3 untuk pilihan jawaban Sering (Sr) dan skor 4 untuk pilihan jawaban Selalu (Sl). Sedangkan untuk tipe pernyataan Unfavourable skor 4 untuk pilihan jawaban Tidak Pernah (TP) , skor 3 untuk pilihan jawaban Jarang (J), skor 2 untuk pilihan jawaban Kadang (K), skor 1 untuk pilihan jawaban Sering (Sr) dan skor 0 untuk pilihan jawaban Selalu (Sl). Skala penyesuaian sosial terdiri dari 36 aitem valid dengan koefisien reliabilitas 0,906. Skala intensitas komunikasi keluarga terdiri dari 37 aitem valid dengan koefisien reliabilitas 0,943. 4. Tekhnik Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode statistik dalam menganalisa data yang diperolehnya. Dalam menguji hipotesis peneliti menggunakan tekhnik One-Way Anova. Teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini yaitu menghitung perbedaan penyesuaian sosial siswa akselerasi kelas X SMA N 3 Surakarta ditinjau dari intensitas komunikasi keluarga. Guna mempermudah perhitungan digunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16. D. Analisi Data 1. Hasil Uji Asumsi 99 a. Hasil Uji Normalitas Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov penyesuaian sosial siswa akseleresi untuk intensitas komunikasi keluarga sedang menunjukan taraf signifikansi yang lebih besar dari 0,05 (0,200>0,05). Hasil dari uji Shapiro-Wilk juga menunjukan nilai lebih besar dari 0,05 (0,208>0,05). Berdasarkan kedua hasil uji normalitas, dapat dikatakan data penyesuaian sosial berdasarkan intensitas komunikasi keluarga sedang berdistribusi normal. Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov penyesuaian sosial siswa akseleresi untuk intensitas komunikasi keluarga tinggi menunjukan taraf signifikansi yang lebih besar dari 0,05 (0,200>0,05). Hasil dari uji Shapiro-Wilk juga menunjukan nilai lebih besar dari 0,05 (0,061>0,05). Berdasarkan kedua hasil uji normalitas, dapat dikatakan data penyesuaian sosial berdasarkan intensitas komunikasi keluarga berdistribusi normal. b. Hasil Uji Homogenitas Berdasarkan data yang diperoleh diatas diperoleh signifikansi 0,220. Karena signifikansi yang diperoleh lebih dari 0,05 (0,220 >0,05) maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial berdasar intensitas komunikasi keluarga mempunyai varian sama. 2. Hasil Uji Hipotesis Berdasarkan hasil uji one way anova diketahui bahwa F hitung 34, 402. (34,402) dan F tabel (4,010). Karena F hitung > F tabel dengan taraf signifikansi 5 % maka Ha diterima dan Ho ditolak. Berdasarkan hasil uji One Way Anova, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh variabel intensitas komunikasi keluarga terhadap variabel penyesuaian sosial artinya rata-rata penyesuaian sosial berbeda berdasarkan intensitas komunikasi keluarga. 3. Hasil Analis Data Sekunder Berdasarkan hasil uji one way anova mengenai perbedaan penyesuaian sosial dan intensitas komunikasi keluarga ditinjau dari Jenis Kelamin Siswa diperoleh bahwa F hitung pada penyesuaian sosial ditinjau dari jenis kelamin (0,001) < F tabel (4,010). Karena F hitung < F tabel dengan taraf signifikansi 5 % maka tidak terdapat pengaruh variabel jenis kelamin terhadap variabel penyesuaian sosial. Pada variabel intensitas komunikasi keluarga diperoleh F hitung pada intensitas komunikasi keluarga ditinjau dari jenis kelamin (0,182) < F tabel (4,010). Karena F hitung < F tabel dengan taraf signifikansi 5 % maka tidak terdapat pengaruh variabel jenis kelamin terhadap variabel intensitas komunikasi keluarga. 100 Berdasarkan hasil diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat pengaruh faktor jenis kelamin terhadap penyesuaian sosial dan intensitas komunikasi keluarga kelas XI Program Akselerasi SMA N 3 Surakarta. E. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis one way anova yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini diperoleh bahwa F hitung lebih besar dari F tabel (34,402>4,010) dan taraf signifikansi 5%. Berdasarkan hasil tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima yaitu terdapat perbedaan penyesuaian sosial siswa akselerasi ditinjau dari intensitas komunikasi keluarga. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Ali dan Asrori (2004) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial anak adalah lingkungan keluarga. Pendapat ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Bhanot dan Deepshika (2009), yang menjelaskan bahwa penyesuaian sosial seorang anak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Iklim kondusif yang terjadi dalam keluarga dan berbagai pengalaman-pengalaman sosial yang terjadi saat individu melakukan interaksi turut membantu anak dalam mempelajari keterampilan-keterampilan sosial yang dibutuhkan anak dalam melakukan penyesuaian sosial. Dalam melakukan interaksi dengan keluarga, komunikasi memainkan peran penting dalam perkembangan psikososial anak. Komunikasi keluarga yang dilakukan secara intens sangat penting karena memungkinkan anggota untuk mengekspresikan kebutuhan, keinginan, dan kekhawatiran satu sama lain. Selain hal itu, fungsi komunikasi dalam keluarga ialah meningkatkan hubungan antara anggota keluarga, menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi dalam keluarga, mengurangi ketidak pastian sesuatu, berusaha memahami dan dipahami orang lain dalam keluarga serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain. Dalam hal ini individu dapat saling memahami satu sama lain. Komunikasi dalam keluarga dapat meningkatkan hubungan kemanusiaan diantara pihak-pihak yang berkomunikasi serta membangun pengalaman-pengalaman sosial yang dapat membantu dan mengarahakan individu dalam mempelajari keterampilan-keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam perkembangan psikososial anak. Dari tanggapan-tanggapan yang diberikan anggota keluarga individu akan belajar mengenal banyak informasi dan pengetahuan, mendengar sesuatu yang berbeda dari yang dipikirkannya selama ini, melihat alternatif yang lain, menilai pendapat dan tindakannya sendiri, menilai posisi dirinya di mata orang lain, melihat bagaimana orang dewasa memandang dirinya, belajar memahami akan dirinya, 101 perasaannya, pendapat, pikiran dan keinginan – keinginannya dan menarik kesimpulan apa yang harus dilakukan olehnya dan pada akhirnya individu akan belajar berbagai keterampilan sosial yang dibutuhkan. Dari berbagai proses tersebut individu dapat terlatih untuk memahami berbagai proses sosial yang terjadi. Semakin intens komunikasi keluarga terjadi maka individu akan semakin banyak mengalami proses-proses sosial yang dapat membantu dan melatih individu dalam mempelajari ketermpilan-keterampilan sosial yang dibutuhkan sehingga individu terampil dalam melakukan penyesuaian sosial. Menurut Faturochman (2001), intensitas komunikasi dalam keluarga akan memiliki dampak psikologis pada perkembangan kepribadian dan psikosial pada anak. Kebiasan untuk saling mendengarkan, kebebasan untuk saling mengungkapkan pikiran, pemahaman dan penerimaan akan membantu mengarahkan anak dalam memahami realita yang terjadi di lingkungan sekitar. Berdasarkan hasil kategorisasi penyesuaian sosial siswa akselerasi SMA Negeri 3 kelas XI diperoleh bahwa penyesuaian sosial siswa memiliki tingkat tinggi dengan rata-rata empirik sebesar 109,02 berada pada rentang nilai x≥108 sebesar 52,54%. Hal ini diasumsikan rata-rata sampel dapat memunculkan penyesuaian dalam tingkat tinggi. Hal ini dimungkinkan karena kesiapan siswa dan kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan psikososial anak. Kondisi lingkungan sosial yang mendukung dapat membantu siswa program akselerasi untuk melakukan penyesuaian sosial dimana pada saat mengikuti program akselerasi yang menyajikan kurikulum yang padat, menekan dan penuh tuntutan mengakibatkan waktu siswa untuk melakukan interaksi dan sosialisasi dengan lingkungan sosialnya menjadi berkurang. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa intensitas komunikasi keluarga siswa akselerasi berada pada tingkat sedang dan tinggi. Intensitas komunikasi keluarga tersebut berbanding lurus dengan tingkat penyesuaian sosial yang dimiliki oleh siswa. Rata-rata komunikasi keluarga yang dimiliki oleh siswa tersebut memberikan pengalaman sosial yang cukup bagi dalam proses belajar sosial. Siswa dapat mempelajari berbagai keterampilan sosial yang dibutuhkan pada saat melakukan komunikasi dengan anggota keluarga sehingga mereka terampil dalam melakukan penyesuaian sosialnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Darwanti (2009) menjelaskan bahwa banyak program yang dilakukan oleh SMA N 3 Surakarta dalam mengatasi permasalahan yang dilakukan dialami siswa. Program tersebut seperti layanan psikologi, sharing program tiap kenaikan kelas, outbond keluar dan berbagai program lain yang dapat membantu siswa dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi selama mengikuti program akselerasi. 102 Kesiapan SMA N 3 Surakarta dengan berbagai program yang dijalankan memberikan suasana lingkungan yang kondusif bagi siswa sehingga dapat membantu perkembangan sosial siswa. Berdasarkan hasil kategorisasi skala intensitas komunikasi keluarga diketahui bahwa rata-rata sampel penelitian memiliki tingkat intensitas komunikasi keluarga yang tinggi dengan nilai rata-rata empirik sebesar 112,19 berada pada rentang nilai antara x≥99 sebanyak 74,58%. Hal ini diasumsikan rata-rata sampel merasa bahwa komunikasi keluarga yang intens itu penting untuk dilakukan mengingat komuikasi merupakan kebutuhan dasar (basic need) yang menuntut untuk selalu dipenuhi. Menurut Achir (dalam Hawadi, 2004) menjelaskan peran keluarga terutama orangtua menduduki posisi sentral dalam proses tumbuh kembang anak berbakat. Keluarga merupakan tempat yang paling nyaman dan aman bagi anak berbakat untuk mengekspresikan dengan jujur apa yang dialami. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Winarno (2006), bahwa intensitas komunikasi keluarga tinggi yang terjadi dalam keluarga maka keluarga dapat memahami secara jelas persoalan-persoalan yang dihadapi anak sehingga menjadikan keluarga dapat mengusahakan suatu lingkungan yang kaya akan rangsangan mental dan suasana di mana anak merasa tertarik dan tertantang untuk mewujudkan bakat-bakat dan kreativitasnya. Anak berbakat yang memiliki perkembangan kognitif dan sosial yang berbeda dengan teman sebaya memerlukan perhatian khusus dari keluarga. Mengingat pentingya peran keluarga maka dibutuhkan komunikasi keluarga yang efektif yang dilakukan secara intens agar dapat memantau setiap perkembangan yang dilalui oleh anak. Dengan melihat hal tersebut maka keluarga akan memberikan perhatian khusus bagi anak berbakat yang mengikuti program akselerasi. Berdasarkan hasil analis deskriptif diperoleh bahwa, Rata-rata penyesuaian sosial dengan intensitas komunikasi sedang lebih rendah dari rata-rata penyesuaian sosial dengan intensitas komunikasi tinggi (97<113,11). Kesimpulan yang dapat diambil dari data tersebut adalah semakin tinggi intensitas komunikasi keluarga siswa maka semakin tinggi tingkat penyesuaian sosial yang dimiliki. Berdasarkan hasil analisis data sekunder yang diperoleh F hitung pada penyesuaian sosial ditinjau dari jenis kelamin (0,001) < F tabel (4,010). Sedangkan untuk intensitas komunikasi keluarga diperoleh F hitung pada intensitas komunikasi keluarga ditinjau dari jenis kelamin (0,182) < F tabel (4,010). Berdasarkan hasil tersebut karena F hitung kurang dari F tabel, dengan taraf signifikansi 5% maka tidak ditemukan perbedaan penyesuaian sosial dan intensitas komunikasi keluarga ditinjau dari jenis kelamin siswa. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa rata-rata intensitas komunikasi keluarga pada siswa pria (110,82) tidak 103 berbeda jauh dengan siswa perempuan (113). Menurut Hurlock (2004), pada usia menginjak remaja baik pria maupun wanita akan melakukan sosialisasi dengan teman sebaya guna untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Remaja mulai melakukan penyesuaian guna mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa. Pengaruh teman sebaya sangatlah kuat, baik pria maupun wanita akan membentuk suatu kelompok teman sebaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tavris dan Offir (dalam Hawadi, 2004) menjelaskan bahwa mobilitas sosial anak berbakat baik pria dan wanita menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Mereka cenderung membentuk kelompok sosial untuk melakukan interaksi sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor jenis kelamin tidak berpengaruh pada penyesuaian sosial anak. Selain itu dilihat bahwa rata-rata intensitas komunikasi keluarga baik siswa wanita maupun pria hampir sama. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian sosial seorang anak diantaranya menurut Schneiders (1985) yaitu hubungan yang sehat di antara keluarga. Hubungan ini ditandai dengan adanya penyesuaian yang baik antara anggota keluarga yang satu dengan anggota keluarga yang lainnya, sehingga ada rasa kasih sayang antara anggota keluarga. Lingkungan keluarga yang kondusif tidak membeda-bedakan jenis kelamin maka dapat berpengaruh pada perkembangan aspek psikososial anak. F. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan tehnik one way anova diperoleh F hitung 34,402 dan F tabel 4,010, (p = 0,05), hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan penyesuaian sosial siswa akselerasi ditinjau dari intensitas komunikasi keluarga. b. Penyesuaian sosial siswa akselerasi kelas XI SMA N 3 Surakarta berada pada tingkat sedang yakni sejumlah 47, 46 % dan pada tingkat tinggi yakni sejumlah 52,54% c. Intensitas komunikasi keluarga pada siswa akselerasi kelas XI SMA N 3 Surakarta tingkat sedang yakni sejumlah 25,42% dan berada pada intensitas tingkat tinggi yakni sejumlah 74,58% d. Rata-rata penyesuaian sosial siswa berdasarkan tinjauan intensitas komunikasi keluarga sedang lebih rendah daripada rata-rata penyesuaian sosial siswa berdasarkan tinjauan intensitas komunikasi tinggi (97<113,11). 104 e. Berdasarkan analisis data sekunder diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan penyesuaian sosial siswa akselerasi dan intensitas komunikasi keluarga ditinjau dari jenis kelamin siswa. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: a. Kepada siswa akselerasi Siswa sebaiknya lebih meningkatkan intensitas komunikasi dengan anggota keluarga seperti dengan ikut terlibat aktif pada saat berdiskusi dengan keluarga, sering menanyakan permasalahan yang dihadapi dengan keluarga, menjalin komunikasi dengan penuh keterbukaan, empati dan rasa jujur sehingga banyak pengalaman sosial banyak didapat oleh siswa. Semakin banyak pengalaman sosial yang didapat maka semakin banyak proses belajar sosial yang dialami sehingga dapat melatih individu dalam mempelajari keterampilan-keterampilan sosial yang dibutuhkan. Proses tersebut dapat membantu siswa dalam memahami realitas sosial yang terjadi sehingga anak terampil dalam melakukan penyesuaian sosial. b. Kepada orang tua Orangtua dapat membangun komunikasi yang efektif secara intens dengan anak seperti memperbanyak sharing dan berdiskusi dengan anak, menanyakan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi anak di sekolah, lebih menjalin komunikasi yang intens dengan memperbanyak kegiatan bersama dengan anak serta menciptakan lingkungan yang mendukung bagi perkembangan psikososial anak. Kebiasan untuk saling mendengarkan, kebebasan untuk saling mengungkapkan pikiran, pemahaman dan penerimaan akan membantu mengarahkan anak dalam memahami realita yang terjadi yang dapat membantu anak dalam melakukan penyesuaian sosial. Komunikasi keluarga yang intens dapat membangun pengalaman-pengalaman sosial yang membantu dan mengarahkan anak dalam mempelajari keterampilan-keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. c. Bagi sekolah Pihak sekolah dapat menyusun program atau langkah-langkah yang melibatkan orang tua dan guru dalam membangun komunikasi yang intens dan efektif dengan para siswa untuk lebih memahami kararkteristik remaja sehingga tercipta hubungan yang intens dengan remaja. Program tersebut seperti sharing dengan orangtua dan guru mengenai 105 perkembangan akademik anak, program meningkatkan kompetensi guru dengan berbagai pelatihan, serta meningkatkan penelitian terkait dengan pentingnya peran orang tua dan guru pada perkembangan psikososial anak. Dengan demikian dapat tercipta lingkungan dan susana yang kondusif yang dialami anak. Suasana lingkungan yang kondusif ini dapat berpengaruh pada aspek perkembangan psikososial anak. Dengan program yang dilakukan sekolah diharapkan anak lebih siap dalam mengikuti program akselerasi yang padat dan menekan. d. Bagi pihak-pihak terkait Dinas Pendidikan maupun praktisi ilmu pendidikan dan sosial dapat menyusun suatu program atau atau langkah-langkah yang melibatkan peran aktif orang tua dan keluarga terkait permasalahan sosial yang dihadapi. Program itu seperti seminar, penyuluhan, penelitian mengenai permasalahan sosial yang dihadapi siswa akselerasi serta kebijakan pemerintah yang mendukung program pengembangan kelas akselerasi. Dengan program tersebut diharapkan orang tua dapat membangun komunikasi yang intens dengan anak. Komunikasi yang intens tersebut diharapkan dapat membantu permasalahan yang dialami siswa program akselerasi yang menyajikan kurikulum yang padat, menekan dan penuh tuntutan serta menyita waktu mereka untuk melakukan sosialisasi dengan lingkungan sosial. e. Bagi Peneliti lain Penelitian ini hanya mengkaji penyesuaian sosial siswa akseleresi ditinjau dari intensitas komunikasi keluarga sehingga bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mengadakan penelitian sejenis dapat menggunakan aspek-aspek komunikasi keluarga yang lain serta memperhatikan faktor-faktor lain yang turut berpengaruh pada penyesuaian sosial individu untuk lebih memperdalam dan memperluas isi penelitian. Selain itu peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas populasi dan memperbanyak sampel, agar ruang lingkup dan generalisasi penelitian menjadi lebih luas dan mencapai proporsi yang seimbang sehingga kesimpulan yang diperoleh lebih komprehensif. 106 Daftar Pustaka Alsa, A. 200. Keunggulan dan kelemahan program akselerasi di SMA : Tinjauan Psikologi pendidikan. Anima Indonesian Psychological Journal. 22, 4, 309-318. Ali, M., dan Asrori, M. 2004. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara. Bhanot.S., dan Deepshikha. 2009. Role of family Environment in Social Adjustment of Adolescent Girls in Rural Areas of Eastern U. P. Indian Journal of Social Science Researches. 6, 2, 109-112. Daradjat,Z. 1985. Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung. Darwanti.2009. Implementasi Program Percepatan Kelas (Akselerasi) di SMA Negeri 3 Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009. Skripsi.Tidak diterbitkan. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Devito, J.A. 2001. The Interpersonal Communication Books. New york : Harper Collins Publishers. Faturochman. 2001. Revitalisasi Peran Keluarga. Buletin Psikologi. 9,2, 39-47 Gunarsa, S. 2004. Bunga rampai psikologi perkembangan: Dari anak – usia lanjut. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Gunawan 2009. Efektivitas Pesan Dalam Komunikasi. Jurnal Komunikasi Massa . 5, 1, 27-32. Hawadi, R.A. 2004. Akselerasi (A-Z Informasi Program Percepatan dan Anak Berbakat Intelektual). Jakarta : Gramedia. Hidayah, N., dan Rachmawati, M A .2009. Efektifitas pelatihan keterampilan sosial terhadap penyesuaian diri sosial pada anak berbakat intelektual di program akselerasi.Gifted Review : Jurnal Keterbakatan dan Kreativitas HIMPSI vol 3, 2, 1-22 . Hurlock, E.B.2004. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.. Maghviroh, S. 2009. Pengaruh Pembelajaran Akselerasi Siswa Berbakat Intelektual terhadap Aspek Perkembangan Sosial (Penelitian terhadap Siswa Kelas V di Sekolah Dasar Negeri Mangkubumen Lor No.15 Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009). Skripsi. Tidak diterbitkankan. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Mu’tadin, Z. 2002. Penyesuaian Diri Remaja. http://www.e-psikologi.com. Diakses tanggal 30 Desember 2010. Semiun, Y .2006.Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Kanisius 107 Schneiders, A. A. 1985. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt, Rinehart and Winston. Shochib, Moh. 1998. Pola Asuh Orang Tua. Jakarta : PT. Rineka Cipta.. Tuasikal, R F.2008. Hubungan antara intensitas komunikasi interpersonal dengan agresivitas. Psikologika. 13, 25, 73-83. Vangelisti, Anita L..2004. Handbook of Family Communication. New jersey : University of Texas at Austin. Widodo, S. W. 2006. Optimalisasi Akselerasi Pendidikan. http://www.suaramerdekaonline/wacana/aksel.htm. Diakses tanggal 22 desember 2010. 108