- KontraS

advertisement
KontraS
Salam dari Borobudur
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan)
Salam dari Borobudur
dibentuk untuk menangani persoalan
Pada akhir tahun 2006, tepatnya tanggal 7 Desember, Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi (MK) kembali membuat putusan mengejutkan. Putusan itu ialah pembatalan
diduga berhubungan dengan kegiatan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
atau KKR.
politik yang mereka lakukan. Dalam
penculikan beberapa aktivis yang
perjalanannya KontraS tidak hanya
Putusan MK ini menutup salah satu peluang legal penyelesaian pelanggaran berat HAM
menangani masalah penculikan dan diluar mekanisme pengadilan. Artinya korban dan keluarganya atas pelanggaran HAM
tersebut kembali hanya dapat berharap dengan mekanisme pengadilan HAM ad hoc
penghilangan orang secara paksa tapi
sebagaimana yang diatur UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, mekanisme
juga diminta oleh masyarakat korban hukum ini bukan suatu yang mudah. Hambatan politik di parlemen dan keengganan
pemerintah (Jaksa Agung) membuat mimpi tentang proses hukum selalu terpinggirkan.
untuk menangani berbagai bentuk
Artikel lengkap tentang putusan ini menjadi berita utama edisi akhir tahun 2006 ini.
kekerasan yang terjadi baik secara
vertikal di Aceh dan Papua maupun
secara horizontal seperti di Maluku,
Sambas, Sampit dan Poso.
Selanjutnya, ia berkembang menjadi
Pada edisi ini, kami menyajikan secara ringkas catatan akhir tahun 2006 KontraS. Sedang
berita daerah, masih tentang konflik Poso yang seakan tak berujung, agenda HAM di
Aceh paska pilkada, kasus perebutan tanah di Rumpin dan Runtu, serta pembubaran
paksa sejumlah pertemuan dan diskusi yang diadakan di Bandung, Surabaya oleh ormas
yang didukung sikap pembiaran polisi.
organisasi yang independen dan
banyak berpartisipasi dalam
membongkar praktek kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia
sebagai akibat dari penyalahgunaan
Sementara berita perkembangan kasus penghilangan paksa, peringatan hari HAM, kasus
Semanggi menjadi bagian dari beberapa artikel yang kami tuang di rubrik rempahrempah. Pada bagian Kabar dari Seberang, kami menyajikan mengenai hukuman mati
Saddam Husain, dan kematian Pinochet mantan penguasa Cile yang masih dalam status
tersangka atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan selama berkuasa.
kekuasaan.
Tahun 2006 menjadi tahun yang begitu kelabu bagi perkembangan kasus sang pejuang
hak asasi manusia Munir. Dengan remisi yang diberikan kepada Polly terkait perayaan
KontraS diprakarsai oleh beberapa
Natal oleh Menteri Hukum dan HAM, Polly-pun melenggang bebas. Perjuangan untuk
organisasi non pemerintah dan satu
mengungkap kasus ini kian berat. Tapi, siapapun dia dan dimanapun dia, kebenaran
organisasi mahasiswa, yakni: AJI,
dan keadilan itu pasti menang. Namun kita masih akan terus berutang untuk keadilan.
CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, Karenanya, kita akan tetap menuntut dituntaskannya konspirasi pembunuhan ini.
YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri,
Ndrie, Gian, Nining, Abu, Victor, Sinung,
Ori, Haris, Harits, Papang, Helmi,
Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati,
Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri,
Daud.
Federasi Kontras: Mouvty dan Bustami.
Asiyah (Aceh), Oslan Purba (Sumatera
Utara), Pieter Ell (Papua).
Edmond LS (Kontras Sulawesi)
Badan Pekerja Kontras dibantu oleh
relawan-relawan yang tersebar
di seluruh Indonesia
Redaksi Berita KontraS menerima
kritik, saran dan tulisan untuk Berita
KontraS
Berita KontraS
Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
Penanggung Jawab: Usman Hamid
Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi
Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati.
Sidang Redaksi: Haris Azhar,Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits
dan Mufti Makaarim.
Design layout: BHOR_14
Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia.
Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821
Email: [email protected]. website: www.kontras.org
KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia
dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat
tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat,
mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan
misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab.
Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau
[email protected]
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
2
BERITA UTAMA
Pembatalan UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kembali membuat putusan mengejutkan dengan
membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) pada Kamis (7/12). Dalam putusan sidang uji materi (judicial review)
terhadap undang-undang itu, hanya ada satu pendapat berbeda (dissenting opinion) yang
diajukan dari delapan hakim MK.
Sebelumnya pihak pemohon hanya meminta Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk menguji sejumlah pasal dari UU tadi,
yang dinilai bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang
Dasar 1945.
berdamai. Padahal, dalam Pasal 29 Ayat 1, KKR dikatakan
“wajib” memutuskan rekomendasi amnesti. UU KKR juga
dinilai melanggar aturan hukum internasional, dimana
pemberian amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM
berat tidak diperbolehkan.
Para pemohon yang terdiri dari Kontras, Elsam, SNB,
Imparsial, LPKROB, LPKP serta sejumlah korban pelanggaran Lebih lanjut Majelis hakim MK mengatakan, semua fakta
HAM meminta MK menguji Pasal 27 dan Pasal 1 Ayat 9, dan keadaan, menyebabkan tidak adanya kepastian
keduanya soal pemberian amnesti, serta Pasal 44 tentang hak hukum, baik dalam rumusan normanya maupun
korban menempuh jalur hukum. Sementara Pemohon kedua, kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan untuk
mencapai tujuan rekonsiliasi yang
Arukat Djaswadi dan KH, M Yusuf Hasyim
diharapkan. “Mahkamah berpendapat,
dengan kuasa hukum Sumali, meminta MK
asas dan tujuan KKR sebagaimana
Dalam
menguji Pasal 1 ayat 1, 2, dan Ayat 5 terkait
termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 UU
cara rekonsiliasi.
pertimbangannya,
KKR, secara keseluruhan bertentangan
kedelapan anggota
dengan UUD 1945 sehingga harus
“Dari putusan itu kita bisa lihat betapa
Majelis Hakim MK
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
buruknya kualitas DPR membuat UU.
menilai telah terjadi
hukum mengikat, “ kata Ketua MK Jimly
Mereka, DPR dan juga pemerintah,
kontradiksi dan
Asshidiqie.
seharusnya malu, dan harus minta maaf
pencampuradukan
kepada masyarakat yang juga pembayar
Dikatakan Jimly, dengan dinyatakan UU
pajak karena mereka telah menghabiskan
aturan pasal-pasal
KKR tidak memiliki kekuatan hukum
uang puluhan miliar untuk membuat UU,
dalam UU itu
mengikat secara keseluruhan, tidak
yang belakangan dibatalkan karena
berarti mahkamah menutup upaya
dianggap bertentangan dengan UUD 1945
penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui
seperti sekarang, “ ujar Asmara Nababan.
upaya rekonsiliasi. Menurut majelis hakim MK, banyak
Menurut Asmara, putusan MK tersebut tetap akan cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan
berdampak mengecewakan bagi para korban pelanggaran mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum
HAM masa lalu. Dengan dibatalkannya aturan UU tentang yang lebih serasi dengan instrumen HAM yang berlaku
KKR, mereka terpaksa kembali menunggu aturan baru secara universal atau dengan melakukan rekonsiliasi
terbentuk. Akan tetapi, tidak sepenuhnya membuat pelaku melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan
amnesti secara umum.
pelanggaran HAM berpesta pora.
Sebab, pelaku pelanggaran HAM bisa diadili dengan UU
Peradilan HAM. Selain itu, kata Asmara, Tap MPR Nomor V
Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional mewajibkan DPR dan pemerintah untuk membuat
UU untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM, sesuai dengan
UUD 1945. “Apalagi dalam amar putusan MK, mewajibkan
DPR dan pemerintah untuk membuat UU baru yang lebih
sesuai, “ kata Asmara.
Dalam pertimbangannya, kedelapan anggota Majelis Hakim
MK menilai telah terjadi kontradiksi dan pencampuradukan
aturan pasal-pasal dalam UU itu. Ketidakpastian dan ketidakkosistenan hukum itu terjadi salah satunya terkait Pasal 28
Ayat 1, yang menyebutkan KKR “dapat” memberi
rekomendasi kepada Presiden untuk memberi amnesti ketika
di antara para pelaku dan korban saling memaafkan dan
3
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Pendapat berbeda
Dari sembilan hakim MK itu, salah satu hakim memberikan
pendapat berbeda (disseting opinion) dalam putusan
tersebut, yakni I Dewa Gede Palguna. Ia berpendapat,
konstitusionalitas Pasal 1 angka 9 UU KKR tidak
bertentangan dengan UUD 1945, bukan saja karena
wewenang untuk memberikan amnesti, melainkan juga
karena pemberian amnesti dalam konteks keseluruhan
ketentuan UU KKR adalah dimaksudkan untuk mencapai
tujuan yang lebih besar, yakni persatuan nasional.
Menurut Palguna, Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan
UUD 1945 namun bukan sepenuhnya karena alasan
sebagaimana didalilkan pemohon, melainkan karena
ketentuan Pasal 27 UU KKR dimaksud tidak memberikan
BERITA UTAMA
kepastian hukum dan keadilan baik kepada korban
maupun pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.
metode penyelesaian di Afrika Selatan semacam islah di
Indonesia. Dengan pembatalan UU KKR, islah tersebut harus
melewati pengadilan.
Ketentuan Pasal 27 UU KKR, tambah Palguna, tidak
memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada
korban karena pemberian kompensasi dan rehabilitasi
digantungkan kepada sesuatu yang belum pasti sebab
amnesti adalah jelas kewenangan presiden setelah
mendengar keputusan DPR.
Hal senada dikatakan oleh anggota DPR dari Partai Golkar,
Andi Mattalata, bahwa sebagai konsekuensi pencabutan UU
KKR, semua penanganan masalah pelanggaran hak asasi
manusia berat dan keputusannya akan lewat pengadilan.
“Jika kasusnya berlaku surut keputusannya kembali ke DPR,
“ ujarnya.
Putusan MK itu diambil berdasarkan permohonan uji
materiil UU KKR terhadap pasal 27, pasal 44 dan pasal 1
angka 9 UU KKR. Pasal 27 UU KKR berbunyi, “Kompensasi
dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. “ Pasal 1 angka
UU KKR berbunyi, “Amnesti adalah pengampunan yang
diberikan oleh Presiden kepada pelaku
pelanggaran HAM yang berat dengan
memperhatikan pertimbangan DPR.”
Sedangkan Pasal 44 KKR berbunyi
“Pelanggaran HAM yang berat yang telah
diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi,
perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada
pengadilan HAM.”
Sedang Wakil ketua Komisi Hukum DPR Almuzamil Yusuf
mengusulkan DPR segera meninjau kembali kewenangan MK.
Sebab menurutnya, jangan sampai undang-undang yang
dihasilkan DPR bisa dibatalkan begitu saja oleh MK.
Menurut pemohon, pasal-pasal
tersebut bertentangan dengan UUD
1945, yakni pasal 1 angka 9 UU KKR
bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat
(1) UUD 1945 yang memberikan
pengakuan, jaminan perlindungan
dan kepastian hukum yang adil dan
pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yang
menyatakan untuk menegakkan dan
melindungi HAM sesuai dengan
prinsip negara hukum yang
demokratis sehingga pelaksanaan
HAM harus dijamin UU yang sesuai
dengan UUD 1945.
Negara tetap bertanggung jawab
Sementara itu, untuk kembali
mengingatkan,
penyusunan
mekanisme KKR ini memang sudah
menunjukkan upaya-upaya untuk
memangkas hak-hak korban dan
keluarga korban serta lebih
menitikberatkan pada proses
rekonsiliasi. Karenanya, sejak awal
dengan tegas korban pelanggaran
HAM menolak UU ini, seperti yang
disampaikan kepada Pansus RUU
maupun kepada publik.
Alasan lainnya, karena bagian
terpenting dari upaya penyelesaian
masa lalu adalah pengungkapan
kebenaran (truth), perwujudan
keadilan (justice) yang bermakna
Dok.Kontras
menghentikan praktek impunitas
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H
dan pemulihan hak-hak korban
(reparation)
yang
meliputi
rehabilitasi,
restitusi
dan
kompensasi dan jaminan tidak berulangnya kembali
peristiwa tersebut di masa depan. Hak-hak fundamental ini
Pasal 27 UU KKR, kata pemohon, bertentangan dengan bersifat mutlak dan harus dijamin oleh Negara, dalam bentuk
Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal 28 1 atau mekanisme apapun.
ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4). Sedangkan Pasal 44 UU
KKR dinilai oleh pemohon bertentangan dengan pasal 28 Terlebih kondisi tersebut juga didukung sepenuhnya oleh
D ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 1 Ayat (2) dan pasal 28 1 mekanisme hukum internasional dan universal, hak-hak
Ayat (4) UUD 1945.
korban ini bersifat mutlak. Tak bisa ditawar-tawar apalagi
dipertukarkan. Tanpa adanya jaminan dan pemenuhan hakPenanganan lewat pengadilan
hak korban ini maka rekonsiliasi hanya menjadi rekonsiliasi
semu dan hanya menjadi alat politik kekuasaan yang
Menanggapi pencabutan UU KKR ini, Wakil Presiden Jusuf ditegakkan diatas genangan darah korban.
Kalla, mengatakan, bahwa hal tersebut secara otomatis
mengubah cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM Karenanya, meski UU KKR ini dibatalkan MK, tak berarti
berat. “Penyelesaianya lewat pengadilan, “ ujar Wapres mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
tertutup. Negara tetap harus bertanggungjawab atas
(14/12).
pemenuhan hak-hak korban. Tidak ada lagi alasan bagi
Menurut Wapres, KKR adalah upaya meniru metode seluruh aparat negara untuk mengalihkan kasus ini melalui
penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Afrika Selatan. mekanisme KKR maupun menunda-nunda proses
“to forgive not to forget.” Wapres lebih lanjut mengatakan, penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM ini.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
4
BERITA UTAMA
Pembatalan itu merupakan peluang bagi munculnya
mekanisme luar biasa. Misalnya, negara harus segera
membentuk komisi reparasi untuk korban pelanggaran HAM.
Pemerintah juga harus segera melakukan terobosanterobosan yang dapat menjamin keadilan dan pemenuhan
hak-hak korban. Penuntasan kasus-kasus ini harus dilakukan
secara khusus dan luar biasa. Pengalaman pengadilan HAM
Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura yang
membebaskan para pelaku serta tidak memberikan reparasi
bagi korban harus menjadi alat koreksi mekanisme
pengadilan HAM agar ke depan dapat bekerja secara efektif
dengan didukung dengan komitmen politik yang penuh dari
seluruh aparatus negara. Selain itu, tidak ada alasan lain
bagi Kejaksaan Agung untuk tidak melakukan penyidikan
atas kasus Trisakti Semanggi I dan II, Mei 1998, Penculikan
Aktivis 97/98, Wasior dan Wamena. Sementara Komnas
HAM harus membuka kebenaran atas apa yang terjadi
sesungguhnya pada peristiwa 65.
Korban pelanggaran HAM juga menggugat komitmen
politik Presiden RI dan pemerintah atas penyelesaian
kasus-kasus HAM sesuai janjinya. Pemerintah harus
menjadikan hal ini sebagai agenda penting bagi proses
pelurusan sejarah. Maka keterlibatan masyarakat luas,
akademisi, kelompok agama menjadi hal yang penting.***
Jangan Tunda Pengadilan HAM Ad Hoc
Pembatalan UU KKR Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR
oleh Mahkamah Konstitusi, malah mendorong keluarga
korban kekerasan politik dan penghilangan paska serta
korban kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Semanggi menuntut
pemerintah membentuk pengadilan ad hoc.
Apalagi, pengungkapan kebenaran, pemulihan hak korban,
dan keadilan adalah bentuk yang mutlak diberikan kepada
korban dan keluarganya. “Selain itu, pemenuhan hak korban
itu tak bisa ditawar-tawar, apalagi dipertukarkan, “ tutur
Sumarsih, ibu Wawan, korban tragedi Semanggi.
Sedang bagi Ruminah, yang kehilangan Gunawan anak
ketiganya pada kerusuhan di kawasan Klender, Jakarta
Timur pada 14 Mei 1998, mengungkapkan, hadirnya
pengadilan ad hoc menjadi penting bagi mereka. Apalagi
hingga saat ini berbagai kasus pelanggaran HAM yang sudah
disidik dan diperiksa justru macet di Kejaksaan Agung.
Keluarga korban juga mengatakan bahwa prosedur
penanganan pelanggaran HAM di negara ini dinilai belum
berpihak kepada korban dan keluarganya. Ho Kim Ngo,
ibunda Yun Hap yang tewas pada kerusuhan di Semanggi,
menuturkan, DPR dan Jaksa Agung selalu saling melempar
tanggung jawab kasus pelanggaran HAM itu.
“ Jaksa Agung tampak tak berpihak pada perjuangan
pembelaan HAM. Saat peringatan hari HAM, ia tak ikut
turun ke jalan, tetapi saat kampanye antikorupsi ia turun
ke jalan. Jaksa Agung tidak pernah fokus pada perkara
pelanggaran HAM, “ungkap Ho Kim Ngo.
Keinginan korban atau keluarga korban pelanggaran HAm
agar pemerintah membentuk pengadilan ad hoc untuk
menangani kasus pelanggaran HAM, menurut Enny
Soeparto adalah wajar. Bahkan, langkah itu menurut UU
No.26/200 tentang Pengadilan HAM adalah yang paling
sesuai. “Apalagi, setelah mekanisme ekstrajudisial tak bisa
dilakukan dan pengadilan umum biasa tidak bisa
melakukanya, “ kata Enny.
Sementara menurut Komisioner Komnas HAM Roeswiyati
Surya Saputra, tidak terlalu sulit menyelesaikan
pelanggaran HAM melalui pengadilan ad hoc HAM.
5
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Kejaksaan Agung tinggal membentuk tim penyidik
menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM. Sedangkan
DPR merekomendasikan pembentukan peradilan ad hoc
HAM.
Peraturan Pengganti
Kontras menilai, untuk mengatasi kekosongan hukum ini,
penting dibentuk peraturan untuk mengganti UU nomor
27/2004 tentang KKR yang telah dibatalkan tersebut.
Pengantinya bisa berupa peraturan pemerintah
pengganti undang-undang atau peraturan presiden.
Perpu harus dibuat untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM di masa lalu yang lebih komprehensif. Namun
peraturan itu tidak boleh melanggar konstitusi.
Bila tidak segera dikeluarkan Perpu atau Perpres, jelas
bahwa pemerintah saat ini adalah bagian dari
pemerintah masa lalu yang justru melindungi para
pelaku pelanggaran HAM. Bahkan pemerintahan ini
diduga sebagai bagian dari para pelaku pelanggaran HAM
itu sendiri.
Putusan MK yang membatalkan UU tentang KKR
menunjukkan bahwa tidak ada sinkronisasi di antara
institusi negara di Indonesia. Karena ada sejumlah UU
yang mendapat imbas dari putusan MK tersebut yaitu
UU No.22/200 tentang Pengadilan HAM, UU No 21/2001
tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, dan UU
No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dampaknya juga
akan berpengaruh pada perkembangan penuntasan
pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dan Papua yang
menggantungkan pembentukannya pada mekanisme
nasional.
Sehingga apapun bentuk aturannya, hal itu tetap
harus disandarkan pada prinsip internasional
dan konsitusi yang mengharuskan negara
menjamin
dan
menjalankan
kewajiban
konsitusionalnya untuk memenuhi hak-hak
korban pelanggaran Hak Asasi Manusia berupa
kebenaran, keadilan dan pemuliha, terhadap apa
yang telah dialami ***
OPINI
Agenda Keadilan Paska
Putusan MK, Lalu Apa?
Oleh: Haris Azhar*
Banyak kalangan sibuk menempatkan dirinya dalam
posisi menolak atau menerima putusan pembatalan UU
KKR oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Terutama pihak DPR
yang menyayangkan putusan MK atas pembatalan UU
KKR. Bahkan sebagaian dari kalangan DPR,
mempertanyakan kewenangan MK dimasa depan.
Sesungguhnya, apa yang menjadi masalah dinegeri ini?
Lalu bagiamana menjawab tantangan ini paska putusan
Mahkamah Konstitusi?
Kegagalan atau Tantangan
penyidikan atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM, sudah
sepatutnya Presiden mengeluarkan ide-ide yang mampu
menjawab kebutuhan para korban dan hutang atas
kebenaran terhadap bangsa ini.
Munculnya komitmen politik Presiden bisa memunculkan
sikap atau respon dari kekuatan-kekuatan politik dinegeri
ini terhadap penuntasan kejahatan rezim represif. Sekaligus
bisa memperlihatkan sejauhmana keterlibatan kekuatankekuatan politik tersebut. Atau,
sejauhmana relasi-relasi para
kelompok yang merespon dengan
rezim lama yang represif. Sebaliknya,
KKR hanyalah cara untuk
jika Presiden pasif membiarkan
mengupayakan keadilan
kejahatan masa lalu sama artinya
dimasa transisi politik
bahwa Presiden membiarkan korban
paska konflik atau paska
dan keluarga korban hidup dengan
rezim represif disebuah
luka dan ketidak jelasan serta meninak
bobokan pelaku ditengah angin puyuh
Negara. KKR bukan tujuan
keresahan bangsa akan kebenaran.
utama. Yang menjadi
Seperti apa komitmen politik
tujuan utama adalah
pemerintah harus dibangun?
Secara konstitusional, putusan MK
menunjukkan bahwa UU KKR tidak
memenuhi standar HAM sebagaimana
yang telah dijamin dalam UU D 1945.
Selain itu, kekecewaan DPR atas putusan
MK menunjukkan bahwa seolah
perumusan UU KKR hanya menjadi
domain kerja kalangan politisi di DPR.
Pula, menunjukkan bahwa proses
perumusan UU KKR tidak melibatkan
mengupayakan keadilan,
para korban secara egaliter. Terbukti
mengungkap kebenaran
Keadilan Transitional
hanya kelompok-kelompok korban yang
terorganisir yang bisa diundang ke
KKR
hanyalah
cara
untuk
senayan. Itupun hanya 1 kali. Artinya,
mengupayakan keadilan dimasa
Perumusan penyelesaian kejahatan
transisi politik paska konflik atau
rezim represif masa lalu di Indonesia direduksi dalam
paska rezim represif disebuah Negara. KKR bukan tujuan
sebuah mekanisme pembuatan UU semata.
utama. Yang menjadi tujuan utama adalah mengupayakan
Terlepas dari kegagalan sistem negara untuk mewujudkan keadilan, mengungkap kebenaran pelurusan sejarah bangsa
hak-hak korban atas keadilan dan hak masyarakat secara dan perbaikan kondisi bangsa, terutama para korban
luas atas kebenaran sejarah bangsa, faktanya kasus-kasus kejahatan rezim penguasa serta jaminan tidak berulangnya
pelanggaran berat HAM masih belum tuntas. Bahkan kejahatan-kejahatan tersebut saat ini dan dimasa depan. Oleh
kejahatan dan kekerasan masih terjadi dimana-mana karenanya, mekanisme dalam perwujudan keadilan dimasa
dimuka bumi negeri ini. Oleh karenanya dibutuhkan transisi dianggap sebagai sebuah tindakan ekstra judisial.
moralitas politik dimana masyarakat dan kebutuhannya Hal ini tidak semata-mata sebagai tindakan politis, akan
tetapi sebagai harapan akan hasil yang luar biasa, yang
diutamakan.
mampu menggambarkan pola-pola kejahatan dan dampakTidak penting untuk terus menerus mempermasalahkan dampaknya terhadap korban, keluarga korban pelanggaran
putusan MK. Yang penting segera dilakukan adalah HAM serta bagi bangsa. Lalu bagaimana mengupayakannya?
meminta Presiden menunjukkan komitmen politiknya
untuk menuntaskan pelanggaran berat HAM masa lalu. Pertama, melalui dasar moral politik. Harus ada kesadaran
Ketika DPR gagal mengaspirasikan tuntutan keadilan dan dan kemauan politik dari penguasa dimasa transisi. Hal ini
kebenaran bagi korban dalam rumusan UU KKR yang harus ditunjukkan dengan menjadikan penuntasan problem
sesuai UUD 1945, seharusnya Presiden menunjukkan sikap masa lalu sebagai agenda utama sebuah pemerintahan.
negarawan-nya. Setelah MK membatalkan UU KKR, Aceh Alasannya, sederhana saja, jika dimasa depan kita sebagai
melakukan Pilkada, Papua makin terakumulasi dengan bangsa tidak mau terjerumus dalam kekerasan, sebagaimana
kekerasan dan para korban peristiwa 1965 makin tua, dan dimasa lalu, maka wajib hukumnya untuk mengetahui
Kejaksaan Agung menolak melaksanakan tugas kesalahan sistem berbangsa di masa lalu.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
6
OPINI
Kedua, melalui upaya yang egaliterian. Pemerintahan transisi
harus melibatkan masyarakat seluas mungkin, terutama
para korban dan keluarga korban kejahatan rezim represif,
dalam perumusan mengupayakan keadilan, pengungkapan
kebenaran dan pelurusan sejarah bangsa. Oleh karenanya
dibutuhkan sensitifitas penguasa terhadap kebutuhan dan
tuntutan masyarakat. Selain itu, mengajak masyarakat untuk
berbicara merupakan bagian dari healing kewarganegaraan
terhadap mereka yang trauma dan dipaksa bungkam
terhadap penguasa.
Ketiga, melalui upaya yang konstitutional. Karena sifatnya
yang mendasar, sebuah konstitusi biasanya tidak bisa
merekomendasikan secara eksplisit penuntasan sebuah
kejahatan rezim represif. Akan tetapi konstitusi, baik dimasa
rezim yang represif maupun sesudahnya, harusnya
menjamin HAM setiap warganegara dan setiap penduduk
yang ada diyurisdiksi konstitusi tersebut. Dan, selanjutnya
konstitusi ini digunakan dalam pembentukan penyusunan
aturan-aturan hukum guna penuntasan kejahatan rezim
represif.
Pada akhirnya upaya penuntasan kejahatan dimasa lalu
dan upaya menghadirkan keadilan bagi para korban dan
kebenaran bagi bangsa menjadi keharusan. Baik secara
politis, sosial dan konstitusional. Disisi lain, setelah
tindakan-tindakan diatas dilakukan, akan menempatkan
pelaku pada posisi yang terpojok. Akan tetapi juga tidak
semena-mena karena semua elemen bangsa, baik korban
dan pelaku serta negara dalam posisi sejajar dihadapan
hukum. Kebenaran yang didapat secara akuntabel melalui
hukum yang menghormati HAM akan menjadi hakim atas
kesalahan para pelaku.
* Ka.Div. Pemantauan Impunitas dan Reformasi Institusi
Bila anda tertarik soal kasus kasus pelanggaran
HAM termasuk perkembangan kasus
pembunuhan Munir anda dapat mengunjungi
www.kontras.org
Anda juga dapat mendownload terbitan kami
seperti buletin, buku-buku, serta sejumlah data
dan peraturan nasional, internasional terkait
dengan Hak Asasi Manusia
Web ini juga bisa dimanfaatkan untuk para
peneliti yang tengah mendalami isue seputar
HAM dan demokrasi di Indonesia
Bagi mereka yang suka "nakal" atau
memantau kami, melalui web ini
akan memudahkan anda mengenal
lebih dalam tentang KontraS
Selamat berkunjung!
7
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
JEJAK SANG PEJUANG
Pollycarpus Bebas!
Akhir Desember 2006, tepatnya pada (25/12), Pollycarpus bebas setelah mendapat
remisi sejumlah tiga bulan. Pollycarpus-pun segera meninggalkan LP Cipinang
pada pukul 09.00 WIB setelah surat remisi untuknya diterima 45 menit sebelumnya.
Ia ditahan di LP Cipinang sejak 3 November lalu.
Pada 3 Oktober lalu, Pollycarpus dinyatakan tidak
terbukti terlibat dalam pembunuhan Munir oleh MA.
Padahal, sebelumnya ia dinyatakan terbukti ikut
membunuh Munir dan dihukum 14 tahun penjara oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (20/12/2005). Akan tetapi,
MA kemudian menyatakan ia hanya terbukti
menggunakan surat palsu sehingga hukumannya diubah
menjadi dua tahun. Dan kini ia dapat melenggang bebas
sebelum masa hukumnya selesai lantaran remisi yang ia
terima.
“Pollycarpus sebenarnya baru akan bebas 19 Maret 2007.
Dia bisa bebas pada tanggal 25 ini karena mendapat dua
kali remisi, remisi Natal selama satu bulan dan remisi
umum susulan selama dua bulan,” ujar Kepala Bidang
Pembinaan Narapidana Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang, Abdul Aris.
Kepala Humas Dirjen Pemasyarakatan Akbar
Hadiprabowo menjelaskan, remisi umum susulan
didasarkan pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM
tanggal 22 Mei 2006. Remisi ini diberikan kepada
narapidana yang perkaranya pertanggal 17 Agustus sudah
mendapat putusan pengadilan dan sudah menjalani masa
penahanan, tetapi belum menerima keputusan hukum.
“Ini sudah bukan dadakan, “ ujar Aris.
Pemberian remisi ini tentu membuahkan kekecewaan
Suciwati serta KASUM. Suci dan KASUM menilai
pemerintah sangat tidak peka terhadap rasa keadilan
masyarakat, sekaligus memicu pertanyaan terhadap
komitmen pemerintah menangani kasus ini. “Sejak awal
dia (Pollycarpus) dijatuhi hukuman akibat pemalsuan
dokumen saja saya sudah sangat kecewa. Sekarang
Menteri Hukum dan HAM malah memberinya remisi. Saya
menilai Presiden memang akal-akalan saja menuntaskan
kasus ini. Walaupun demikian saya tidak putus asa, “ tegas
Suciwati.
Sementara Romo Sandyawan mengungkapkan pemberian
remisi terhadap Pollycarpus terkait dengan Perayaan
Natal adalah bentuk pelecehan terhadap subtansi
perayaan kelahiran Isa Al Masih. “Pengampunan adalah
untuk kemanusiaan, bukan dalam bentuk impunitas yang
justru merendahkan pesan Natal,” tambahnya. Dengan
pemberian impunitas tersebut justru terlihat jelas peran
negara yang berusaha menenggelamkan kasus Munir
dalam kompleksitas permasalahan.
Sedang menurut Usman Hamid, dirinya sangat
menyesalkan sikap pemerintah yang tidak serius
menangani perkara pembunuhan Munir. “Kalau Pollycarpus
bebas saat ini, maka pemerintah harus dengan serius
membuktikan bahwa ada pihak lain yang berperan dalam
pembunuhan Munir. Jadi, buktikan itu siapa, “ ucap Usman.
Usman menuturkan, pemberian remisi yang berujung pada
pembebasan Pollycarpus kian menunjukkan politik HAM
Yudhoyono masih sebatas retorika dan belum merujuk pada
aksi. “Presiden berkali-kali menyatakan akan mengusut
tuntas pembunuhan Munir, tetapi di sisi lain Pollycarpus
diberi remisi tiga bulan. Padahal, perilaku Pollycarpus
selama penyidikan dan penyelidikan tak koopratif. Kebijakan
yang tidak jelas ini memperburuk upaya penegakan HAM di
masa mendatang serta akan menguatkan serangan pada
korban HAM yang menuntut pada keadilan” ucapnya.
Usman Hamid juga mendesak Kepala Kepolisian Jenderal
(Pol) Sutanto untuk menjelaskan secara rinci kepada publik
dan DPR tentang perkembangan penyelidikan kasus
pembunuhan Munir. Penjelasan itu untuk meyakinkan
bahwa saat ini proses penyelidikan masih terus berjalan.
Bagi Usman, penjelasan itu langkah mutlak sebagai prasyarat
menuju langkah baru pasca remisi Pollycarpus. “Pernyataan
Kepala Polri, bahwa polisi masih jalan-jalan menyelidiki
kasus itu, biasa-biasa saja. Padahal, yang diperlukan bukan
sekadar rencana atau penjelasan normatif, tapi harus
menyodorkan kerja Polri yang signifikan, “ kata Usman.
Usman juga menyinggung kinerja Kejaksaan Agung. Ia
menyatakan memang memalukan bila sampai dua tahun
kasus Minur tetap tidak jelas. Untuk itu Jaksa Agung memang
punya kewajiban untuk segera membuka misteri kasus ini.
“Yang perlu dilakukan Jaksa Agung adalah menjelaskan siapa
dan atas perintah siapa orang yang membunuh Munir itu.
Ini yang samapai sekarang tidak ketemu. Kami terus bertanya
kenapa tidak ada kemajuan berarti sampai saat ini, “ ujar
Usman.
Di sebuah harian Ibukota, secara terpisah, Kepala Polri
Jenderal (Pol) Sutanto memastikan bahwa kasus Munir tidak
akan diabaikan begitu saja meski Pollycarpus telah benarbenar bebas dari lembaga pemasyarakat. “Polisi tidak akan
pernah membiarkan kasus ini. Kita lanjutkan terus
penyelidikannya, “ ujar Sutanto.
Sedang menurut Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigadir
Jenderal (Pol) Anton Bahrul Alam, beberapa penyidik masih
ada yang di Belanda dan Singapura. Sebagian telah kembali
ke Jakarta, tetapi masih ada yang belum kembali. “Jadi belum
bisa disampaikan. Tunggu yang lain (penyidik) kembali, “
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
8
JEJAK SANG PEJUANG
kata Anton saat ditanya apakah penyidik sudah berhasil
menemukan perkembangan yang signifikan. Selain mencari
bukti-bukti baru, penyidik juga berusaha mencari saksi-saksi
tambahan baru.
Jaksa Agung yakin Munir dibunuh
Sementara itu Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yakin
bahwa Munir memang benar dibunuh. “Pollycarpus boleh
saja bilang ia yakin Munir tidak dibunuh. Kejaksaan Agung
yakin sebaliknya. Munir dibunuh, dia diracun, “ ujar Jaksa
Agung. Dirinya menyatakan keyakinan bahwa Munir
dibunuh itu didasarkan hasil forensik dokter di Belanda. Data
tersebut menyatakan ada racun dalam tubuh yang dapat
mengakibatkan kematian.
Dalam kasus Munir, Jaksa Agung menilai banyak hal-hal yang
tidak logis. Untuk itu pihaknya bersama Kepolisian telah
memiliki komitmen yang sama untuk menyelesaikan perkara
tersebut. “Kita akan kejar terus. Sekarang tim sedang di
Amerika meneliti SMS-SMS yang berjalan, “ katanya.
Sebagai contoh kejanggalan itu, Jaksa Agung menyebutkan
diantaranya pada kasus telepon Pollycarpus kepada isteri
Munir, Suciwati, yang menanyakan jadwal penerbangan
Munir. Tawaran Pollycarpus untuk bertukar tempat duduk
ini jelas butir pertanyaan tersendiri. Tempat penginapan
yang diaku sebagai tempat Pollycarpus menginap pun setelah
di cek ternyata juga tak tercantum nama Pollycarpus.
“Banyak cerita dengan big question. Perkara Munir ini adalah
perkara besar yang memalukan kalau tidak terbongkar, “
tegas Abdul Rahman.
Di tempat terpisah, Wakapolri Komjen Makbul Padmanegara
juga melemparkan pernyataan serupa. Ia menegaskan, di
depan polisi ketika penyelidikan berlangsung Pollycarpus
adalah tersangka. Dengan status tersebut, maka Pollycarpus
memang bisa berkata apa saja. Ini berbeda jika posisinya
sebagai saksi, yang di muka pengadilan harus mengatakan
hal sebenarnya.
Meski tak mau berpolemik tentang putusan MA, Makbul
menolak keyakinan Pollycarpus. “Polisi berkeyakinan Munir
dibunuh. Keyakinan itu berdasarkan hasil investigasi
kriminal secara ilmiah, termasuk penelitian hasil forensik
yang melibatkan beberapa negara, “ ujarnya.
Penangangan kasus tetap jalan
Pollycarpus boleh saja bebas, namun penanganan kasus
terbunuhnya Munir tetap harus jalan. “Lepasnya
Pollycarpus tidak menghilangkan kewajiban negara untuk
mengungkap kasus Munir. Bahkan remisi itu merupakan
pelecut bagi MA untuk mengungkap kasus yang ada, “ ungkap
Direktur LBH Jakarta, Asfinawati.
Remisi yang diberikan kepada Pollycarpus, menurut Asfin
adalah subjektif. Karena syarat-syarat pemberian remisi,
seperti berkelakuan baik, sangat normatif bagi mereka yang
dipenjara. remisi itu dapat diberikan kepada siapa saja.
9
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
“Bagaimana mungkin mereka dipenjara tidak berkelakuan
baik? Mereka berada dalam pengawasan. Apakah mereka
yang memberi sumbangan dapat dinilai sebagai
berkelakuan baik? Jika seperti itu, maka mereka yang kaya
yang akan dinilai berkelakuan baik, “ ujarnya.
Namun, Asfin menegaskan bahwa proses hukum kasus
Munir harus terus jalan karena hal tersebut merupakan
kewajiban dari pihak kepolisian. Jika tugas tersebut tidak
dilaksanakan, maka dapat mengurangi tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan
hukum.
Pengungkapan kasus Munir tetap harus terus dilakukan,
karena dari penemuan TPF kasus Munir, Pollycarpus
hanyalah salah satu dari pelaku lapangan yang
menghilangkan nyawa Munir. “Masih ada pelaku lain serta
dalang kasus itu, dimana kalau Polri serius pasti diseret
semuanya ke muka hukum, “ ujar Direktur Eksekutif
Demos Asmara Nababan.
Menurut Asmara, kunci untuk menuntaskan kasus Munir,
tergantung dari komitmen politik dari Presiden SBY.
“Saudara Presiden pada bulan Oktober 2006
merevitalisasi tim kasus Munir di Mabes Polri. Mana kerja
tim itu? “ ujar Asmara.
Bagi Asmara, tim baru yang dibentuk dan disebut Presiden
sebagai tim yang sudah direvitalisasi merupakan tim yang
kerjanya buruk. Dikatakan buruk karena tim tersebut
dipimpin oleh Brigjen Polisi Surya Dharma yang
sebelumnya memang telah terbukti kegagalannya dalam
menangani kasus Munir.
Asmara juga mengakui, dengan bebasnya Pollycarpus
pengusutan kasus Munir agak sulit, namun bukan berarti
tidak bisa. Banyak sekali bukti, fakta, arah atau petunjuk
untuk bisa mengungkap tuntas kasus Munir. “Kalau Polri
benar-benar menggunakan data yang dimilki TPF, maka
kasus ini cepat terungkap, “ kata Asmara.
Namun Asmara menegaskan, ia dan teman-teman aktifis
penegak HAM, baik yang berada di Indonesia maupun
yang berada di negara-negara lain, akan terus menagih
janji pemerintah untuk menuntaskan kasus ini. “Presiden
jangan main-main, kita tidak tinggal diam, “ ujarnya.
Pollycarpus dipecat
Sementara ditengah berita bebasnya Pollycarpus,
Manajemen PT Garuda Indonesia memecat Pollycarpus
BP sebagai pilot. “Dia (Pollycarpus) per-1 November
dikenai PHK, “ujar pelaksana Harian juru bicara Garuda,
Singgih Handoyo.
Menurut Singgih, alasan pemecatan itu berdasarkan
Undang-undang Ketenagakerjaan dan Perjanjian Kerja
Bersama antara Manajemen Garuda dan Serikat
Karyawan Garuda. Dia menjelaskan pasal 160 Undangundang Ketenagakerjaan yang ditegaskan dalam Pasal 38
Perjanjian Kerja Bersama menyatakan bahwa seorang
JEJAK SANG PEJUANG
karyawan bisa dipecat jika ditahan lebih dari enam bulan
karena tersangkut kasus.
melakukan tindakan efektif dalam menuntaskan kasus
kematian pejuang HAM Munir.
Mungkin Pollycarpus bisa bebas “dulu” kini. Tapi
perjuangan untuk tetap meneruskan kasus terbunuhnya
Munir dan menyeret semua pihak yang terlibat dalam
konspirasi pembunuhan ini tak bisa dihentikan. Karena
bila tidak, sampai kapanpun kita akan masih terus
“berhutang” pada Munir dan “berhutang” pada hukum
dan kebenaran itu sendiri.
ltu belum termasuk dukungan organisasi non pemerintah
dunia, seperti perwakilan LSM perempuan sedunia (15/12/
05), Yayasan Northcote Parkinson Fund (4/10/05) berupa
penghargaan “Civil Courage Prize” atau Keberanian Sipil, yang
juga diberikan pada Min Ko Naing (aktifis oposisi Birma) dan
Anna Politkovskaya (jumalis Rusia yang diduga keras diracun
oleh Agen Rahasia Rusia) dan Times Asia Magazine kepada
Suciwati, istri Munir melalui penghargaan sebagai salah satu
Asia’s Heroes 2005 (5/10/05). Dan terakhir, penerimaan
penghargaan HAM untuk Almarhum Munir dan Suciwati
oleh organisasi HAM AS (Human Rights First) di New York (16/
10/06).
Dukungan Internasional
Ketidakseriusan pemerintah, khususnya Presiden SBY
juga tampak dalam ketidakseriusan menanggapi tawaran
bantuan dari pihak lain untuk membantu menuntaskan
kasus ini. Padahal, penghormatan, dukungan hingga pada
tawaran untuk membantu penegakan keadilan atas kasus
ini begitu kasat mata. Delegasi Parlemen Eropa yang
berkunjung ke Indonesia, mempertanyakan kelambanan
pengusutan kasus Munir pada Komisi I DPR, 26 Juli 2005.
Kongres AS, termasuk mantan kandidat Presiden AS Denis
Kucinich dan Patrick J. Kennedy (keponakan Mantan
Presiden AS John F . Kennedy) melalui surat bersama,
mendesak Presiden SBY segera menuntaskan kasus Munir
(27/10/05). Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM
Mrs. Hina Jilani dan Pelapor Khusus PBB untuk
Kemandirian Pengacara dan Hakim Mr. Leandro Despouy
menyurati Pemerintah Indonesia, pada 23 November
2005.
Dukungan Uni Eropa secara langsung disampaikan oleh
Presiden Komisi UE Jose Manuel Barroso yang
menanyakan langsung perkembangan penuntasan kasus
Munir pada Presiden SBY pada 11 September 2006.
Sebelumnya, pada 28 Juni-5 Juli 2006, masyarakat Eropa
kembali menegaskan komitmennya. Saat itu pemerintah
dan parlemen Belanda menjanjikan keterbukaan dalam
tawaran kerjasama penyelidikan maupun konsistensi
untuk memantau perkembangan kasus. Sementara,
Parlemen Eropa menjanjikan berkunjung kembali ke
Indonesia. Dukungan masyarakat ASEAN juga penuh,
terutama saat kampanye perlindungan pembela HAM
bersama yang diwakili oleh kunjungan Kun Angkhana,
istri mendiang aktivis Thailand Selatan yang hilang,
Somchai Neelaphaichit ke Jakarta (24-26/7/06).
Pada 16-20 Oktober 2006, perhatian masyarakat,
pemerintah dan kongres AS bahkan PBB tetap mengalir.
Seperti kesediaan para anggota Kongres dan Senator AS
untuk kembali menyurati pemerintah RI mengenai
pentingnya penuntasan kasus Munir bagi kedua negara.
Kesediaan Pemerintah AS yang ditegaskan oleh Acting
Secretary of State AS Scott Marciel untuk mendesak
Pemerintah RI mengusut kasus Munir sampai tuntas.
Kesediaan Special Rapporteur PBB untuk Extra Judicial
Executions Profesor Philips Alston di New York, (20/10)
untuk dilibatkan dalam investigasi kasus Munir, termasuk
berkunjung ke Indonesia. Hal ini akan diawali dengan
menyurati pemerintah Republik Indobesia untuk segera
Harusnya semua penghormatan dan simpati dunia terhadap
Almarhum Munir serta perjuangan untuk menuntaskan
kasusnya merupakan investasi moral bagi penegakan hukum
di Indonesia. Dan seharusnya pula perhatian ini
menumbuhan kesadaran dan komitmen penegakan hukum
di Indonesia, untuk memastikan Indonesia sebagai bangsa
yang beradab dan bermartabat diantara bangsa-bangsa di
dunia. Namun, mengapa hingga kini pemerintah terkesan
memang tak peduli meski dukungan internasional tersebut
terus mengalair?
Internasionalisasi kasus Munir sah
Sementara itu, meski Pemerintah seakan tak serius
menangani kasus ini, namun perjuangan yang tak henti
dalam mengungkap kasus terbunuhnya perjuang HAM ini
terus dilakukan, termasuk dengan mencari dukungan dari
pihak luar yang sedari awal memang telah memberikan
simpati dan perhatian yang besar terhadap kasus ini.
Direktur Eksekutif Human Right Watch Group Rafendi Djamin
menilai upaya kalangan aktivis hukum dan hak asasi manusia
meminta bantuan internasional untuk mengungkap
pembunuhan pejuang HAM Munir merupakan hal yang sah
dari segi hukum dan hubungan internasional. Hal itu sama
sekali tidak melanggar kedaulatan hukum sebagaimana
digembar-gemborkan sejumlah pejabat.
“Logika berpikirnya jangan dibalik. Justru ketika aparat
pemerintah sendiri tidak mampu mengungkap kasus tersebut,
maka pemerintah harus membuka diri terhadap bantuan
dari negara lain. Tidak ada kedaulatan yang dilanggar karena
kita juga sudah meratifikasi kovenan hak sipil dan politik.
Apalagi kita juga menjadi anggota Dewan HAM PBB, “tegas
Rafendi, Rabu (8/11).
Mandeknya, penuntasan kasus ini justru menjadikan
Indonesia terpuruk di mata internasional sebagai negara
pelanggar HAM berat. Ia meminta pemerintah tidak picik,
melihat upaya internasional-memberikan bantuan maupun
tekanan kepada Indonesia untuk menuntaskan kasus tersebut.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertema
“Kasus Munir dalam Hukum Internasional” yang digelar pada
(8/11) oleh Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM)
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
10
JEJAK SANG PEJUANG
dan Human Rights Working Group (HRWG). Diskusi ini
mengungkapkan bahwa pemerintah dan sejumlah pihak
diminta tidak bersifat “arlegi” terhadap upaya yang
dilakukan keluarga korban bersama sejumlah lembaga
swadaya masyarakat atau LSM untuk terus menjajaki upaya
lain di luar mekanisme dan sistem hukum Indonesia dalam
menuntaskan dan mengungkap kasus pembunuhan aktivis
hak asasi manusia Munir.
Upaya menempuh jalur internasional, seperti melalui
mekanisme pelapor khusus (spesial rapporteur) Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Mahkamah Pidana Internasional, justru
disebabkan berbagai faktor internal dalam negeri yang
selama ini dirasakan menghambat penegakan hukum.
“Mengapa sampai perlu mengupayakan jalur hukum
internasional? Hal itu karena seluruh upaya hukum yang
kami tempuh di dalam negeri sudah mentok, “ujar Usman
Hamid.
DPR. Meski kini sudah ada wacana agar DPR menggunakan
hak interpelasinya, namun saya meragukan hak tersebut
mampu mendorong pengusutan kasus ini, “ujar Benny.
Sikap yang sama, juga ditunjukkan oleh Presiden SBY.
Menurutnya, pemerintah bukannya tidak mampu
mengusut kasus itu, melainkan memang tidak ada
keinginan. “Kepolisian kita memiliki kemampuan. Bagi
saya, sudah sangat jelas jejak-jejak kasus ini mengarah
kepada siapa saja. Tapi memang tidak ada political will
untuk menyelidiki orang-orang yang terindikasi terlibat
sesuai dengan jejak yang sudah ada, “ungkap Benny.
Demokrat Menang
Kabar lainnya dari di akhir tahun 2006 ini, kemenangan
Partai Demokrat dalam pemilihan anggota DPR, Senat dan
gubernur
negara
bagian di Amerika
Serikat,
akan
membawa pengaruh
yang positif kepada
dunia. Karena partai ini
dikenal mempunyai
konsentrasi lebih pada
soal HAM.
Hal itu, menurut
Usman, menjadi tanda
Dok. Kontras
tanya besar karena di
dalam dakwaan kasus
pembunuhan
itu
disebut sebagai tindak
pidana pembunuhan
berencana, namun
“ S e k a r a n g
pengadilan dan aparat
pelanggaran HAM
penegak hukum tidak
terjadi dimana-mana,
pernah mengungkap
karena
kebijakan
siapa
perencana,
Partai
Republik
pembunuh, dan pihakbersama
Presiden
AS
pihak yang terlibat.
George
W
Bush,
“
tegas
Usman menambahkan,
Usman, yang baru saja
upaya
mencari
kembali dari AS untuk
keadilan
lewat
bertemu
anggota
mekanisme hukum
Kongres
AS.
internasional yang
dilakukannya tidak
Usman Hamid juga
Aksi mengenang mendiang Munir di Bunderan HI
bermaksud
untuk
m e n g a t a k a n ,
mendiskreditkan
kemenangan Partai
Indonesia
dengan
Demokrat juga membawa dampak yang positif kepada
mengundang campur tangan asing dalam penegakan hukum
Indonesia, yakni AS akan terus meminta pemerintah
ataupun alasan politis lain.
Indonesia untuk menegakkan HAM. “Kita boleh menaruh
Sementara itu, Benny K Harman mengatakan, Indonesia tidak harapan ke depan, AS akan terus mendukung dalam
bisa dan tidak boleh menolak adanya upaya hukum menegakkan HAM terutama penuntasan kasus Munir, “
internasional atas kasus-kasus di Indonesia. Penolakan seperti ujar Usman. Yang terpenting, Kongres Amerika Serikat
itu menunjukkan sikap kontradiktif komitmen pemerintahan juga telah melayangkan surat kepada Presiden SBY terkait
untuk menegakkan HAM. “Saya ingat pernyataan Kepala dengan kasus pembunuhan Munir. Surat tersebut sudah
Polri bahwa kasus Munir masuk kategori kasus gelap (dark dikirim pada 3 November lalu.
case). Harusnya ini bisa menjadi pintu masuk bagi upaya
hukum internasional untuk membantu, “ ujar Benny.
Benny juga mengakui bahwa menurutnya anggota DPR tidak
menaruh perhatian terhadap kasus kematian aktifis hak asasi
manusia (HAM) Munir. Dia juga persimistis kasus tersebut
akan ditanggapi serius. “Setelah melihat konfigurasi di DPR,
saya melihat tidak ada anggota DPR yang betul-betul peduli
dengan kasus Munir karena kasus ini tidak eye catching buat
11
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Dalam surat yang ditandatangani empat anggota Kongres
itu, mereka meminta Pemerintah Indonesia melakukan
investigasi atas kasus pembunuhan Munir. Selain itu,
mereka meminta kesediaan untuk menuntaskan kasus
tersebut. Dalam surat dua lembar itu, mereka juga menagih
janji Presiden yang menyatakan kasus Munir merupakan
salah satu indikator perubahan Indonesia menjadi lebih
JEJAK SANG PEJUANG
demokratis serta menyebutkan hukum tidak bisa
diintervensi oleh politik dan kekuasaan.
rekomendasi yang dihasilkan oleh TPF. Rekomendasi ini
kemudian ditindaklanjuti oleh tim berikutnya.
Keempat anggota Kongres yang menandatangani surat
tersebut adalah Tom Lantos, Frank R.Wolf, Jim McDermott,
dan Mark Steven Kirk. Surat itu juga ditembuskan ke Duta
Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Sudjadnan
Parnohadiningrat. “Ini bukti pemerintah tidak bisa mainmain dengan kasus Munir, “ ujar Usman.
Sedang Wakil Ketua Komisi III DPR Al Muzzammil Yusuf dari
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera juga mempertanyakan
mengapa Polri memilih bekerja sama dengan FBI, bukan
Interpol negara lain, misalnya Belanda. “Itu kan lebih efektif,
“ katanya.
Surat ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan
anggota Kongres Amerika dengan Suciwati dan Usman
pada tanggal 14-20 Oktober lalu, saat mereka berdua
berkunjung ke Amerika untuk
bertemu dengan Dewan HAM
PBB dan Kongres Amerika.
Tujuannya untuk membicarakan
penanganan kasus Munir. Upaya
ini dilakukan setelah MA dalam
putusan kasasi 3 Oktober lalu
membebaskan Pollycarpus dari
dakwaan
pembunuhan
berencana terhadap Munir.
Bantuan dari FBI
Niat baik, atau sebuah keinginan
baik akhirnya datang dari pihak
kepolisian kita. Polisi berencana
mengandeng pasukan kepolisian
federal Amerika Serikat, Federal
Bureau of Investigation (FBI), untuk
membantu menuntaskan kasus
kematian Munir. Sebelumnya
menurut Kapolri Jenderal
Sutanto kerjasama dengan FBI
kerap dilakukan Mabes Polri atas
berbagai kasus. Hasil kerja sama
terakhir adalah penangkapan
buron pengemplang bantuan
likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Davis Nusa Wijaya.
Sementara itu, diluar kerjasama dengan pihak AS yang akan
dilakukan, pihak Polri optimistis kasus pembunuhan Munir
akan terungkap. “Optimistis sekali. Sebab, teorinya, tidak ada
satu kejahatan yang terjadi sempurna. Pasti ada tidak
sempurnanya. Dari titik tidak
sempurnanya kejahatan inilah
polisi masuk, “ kata Kepala Divisi
Dok. Kontras
Humas Polri Irjen Sisno Adi
Winoto.
Selain meminta bantuan FBI
dalam upaya menemukan
novum sebagai pijakan baru
penyidikan, menyusul putusan
Mahkamah
Agung
yang
menyatakan Pollycarpus tidak
terbukti ikut membunuh Munir,
Kapolri Jenderal Susanto
mengaku, Polri terus berupaya
mencari kesaksian-kesaksian
lain. Ia menjanjikan upaya
maksimal untuk mengungkap
kasus yang masih gelap ini.
Kepala Kepolisian Republik
Indonesia(Kapolri) mengakui,
satu petunjuk penting terkait
dengan kematian Munir yang
sejauh ini belum diungkap secara
menyeluruh, yakni pembicaraan
via telepon seluler antara
Pollycarpus dengan salah
seorang penting di BIN.
Aksi menuntut penuntasan kasus Munir
Komunikasi via telepon itu
Anggota Komisi III (tiga) dari
penting untuk ditelusuri secara
Fraksi Kebangkitan Bangsa, Nursyahbani Katjasungkana, menyeluruh karena hal itu terjadi sebelum kematian Munir.
mempertanyakan fokus dari kerja sama Polri-FBI dalam
mengungkap kasus Munir. Pasalnya, dalam rapat kerja “Makanya kita minta bantuan FBI yang memiliki peralatan
Komisi III dengan Polri beberapa bulan lalu, pihak Polri yang lebih canggih untuk membuka seluruh isi pembicaraan
pun pernah mengatakan telah bekerja sama dengan FBI itu. Karena yang kita dapat selama ini baru sepotong-potong,
guna mengusut pesan pendek (SMS) antara penjabat BIN belum utuh, “ ucap Kapolri.
dan Pollycarpus. “Jadi kalau Polri akan kerja sama lagi
Penjelasan Kapolri itu sejalan dengan harapan Suciwati. Ia
dengan FBI dari segi apa,” ucapnya.
berharap kerja sama itu tidak perlu mulai dari nol lagi, tinggal
Meski demikian ia menyetujui kerjasama Polri-FBI, melanjutkan rekomendasi TPF. “Jika mulai dari nol lagi akan
asalkan bisa mengungkap kasus tersebut. Menurutnya, sia-sia atas penanganan yang telah dilakukan sebelumnya
tak ada masalah legalitas dalam bantuan FBI. Bahkan oleh Tim Pencari Fakta, “ ucap Suciwati.
bantuan tadi tak bisa dianggap sebagai intervensi karena
sudah ada ratifikasi undang-undang tentang hak sipil. Menurut dia, langkah yang harus dilakukan untuk
Tapi menurut Nursyahbani, yang terpenting saat ini melanjutkan rekomendasi TPF itu berupa pemeriksaan
adalah Presiden mengumumkan secara terbuka terhadap saksi-saksi yang telah diajukan sebelumnya. Berita
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
12
JEJAK SANG PEJUANG
acara pemeriksaan (BAP) dan masalah forensiknya tidak
perlu dilakukan kembali hasilnya karena sudah jelas. “Saat
ini, Polri tinggal melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi
yang direkomendasikan oleh TFP,” kata Suciwati.
Presiden mengumumkan temuan Tim Pencari Fakta Kasus
Munir untuk menunjukkan keseriusan Presiden
mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam
pengungkapan kasus kematian almarhum Munir.
Tidak terbuka
Tim Kasus Munir DPR juga merekomendasikan kepada
Presiden agar menjadikan temuan TPF sebagai bukti awal
mengungkap para pembunuh dan motifnya; untuk
memperlihatkan komitmen, kesungguhan, serta keseriusan
pemerintah dan penegak hukum. Pemerintah juga diminta
membentuk Tim Penyidik Independen yang berada di
bawah supervisi Kepala Kepolisian Negara RI dan
bertanggung jawab penuh kepada Presiden.
Di awal Desember, Direktur Eksekutif Imparsial Rachland
Nashidik bersama dengan Todung Mulya Lubis
mendampingi para ahli hukum dari Internasional Commission of
Jurists (ICJ) seperti ahli hukum dari Thailand Vitit
Muntarbhorn dan Hakim Agung dari Argetina E.Raul
Zaffaroni, setelah menemui Wapres Jusuf Kalla (6/12)
menyatakan bahwa Presiden SBY tidak serius dalam
pengungkapan kasus Munir. Hal itu terlihat lantaran
Indonesia tidak mengundang pelapor khusus HAM
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) hadir dalam acara public
hearing di Indonesia untuk masalah HAM. Kalau pemerintah
serius, menurutnya, pemerintah harus
terbuka kepada lembaga yang lebih
profesional dan kredibel seperti PBB.
Lebih lanjut menurut Rachland, kita
dapat melaporkan kasus pembunuhan
Munir ke Komisi HAM PBB karena
pemerintah tidak mengundang
pelapor khusus HAM PBB. Lagipula,
acara public hearing itu tidak secara
khusus membicarakan kematian
Munir. Pelapor khusus HAM PBB, tidak
bisa datang sendiri ke Indonesia tanpa
diundang secara resmi Pemerintah
Indonesia.
“Kita tdapat melaporkan
kasus pembunuhan Munir ke
Komisi HAM PBB karena
pemerintah tidak
mengundang pelapor khusus
HAM PBB. Lagipula, acara
public hearing itu tidak
secara khusus membicarakan
kematian Munir. Pelapor
khusus HAM PBB, tidak bisa
datang sendiri ke Indonesia
tanpa diundang secara resmi
Pemerintah Indonesia”, ujar
Rachland Nasidhik.
Rachland juga melihat pemerintah
Indonesia khawatir kasus Munir ini
diinternasionalisasi.
Padahal,
keterlibatan lembaga internasional
dan profesional seperti PBB sangat
penting untuk mengungkapkan tabir
kegelapan kasus pembunuhan Munir.
Kalau mengandalkan pemerintah
Indonesia sendiri dan tanpa keterlibatan lembaga seperti itu,
kasus kematian Munir sulit terungkap.
Meskipun Presiden SBY sering mengatakan bahwa dia serius
mengungkapkan kasus Munir, tetapi komitmen itu sama
sekali belum terbukti. Karena Presiden SBY justru
menyerahkan kembali pengusutan kasus ini kepada aparat
kepolisian. Padahal, lembaga itu terbukti tidak serius
membongkar kasus tersebut. “Tetapi ini harus dicermati,
apakah ini merupakan pelimpahan tugas ataukah upaya
untuk tidak mau menyelesaikan kasus ini,” ujarnya.
Paripurna DPR desak Presiden
Sementara itu, setelah mendengarkan laporan Tim Kasus
Munir yang dibacakan Ketua Tim Taufiqurrahman Saleh
(Fraksi Kebangkitan Bangsa), rapat Paripurna DPR (7/12)
mendukung rekomendasi Tim Kasus Munir. DPR meminta
13
Bila ditemukan hambatan teknis terkait dengan hal-hal
bersifat internasional, DPR meminta Kepala Polri
berkoordinasi dengan menteri terkait dan meminta
bantuan lembaga hak asasi manusia internasional sebagai
wujud komitmen Presiden memajukan HAM baik pada
level
nasional
maupun
internasional.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Keterlibatan lembaga HAM
internasional, dinilainya bukan
merupakan
intervensi.
“Perspektifnya harus dipahami. Ini
bukan intervensi, tapi masalah
kemanusiaan adalah universal,
melewati batas-batas negara, “
ujarnya.
Paripurna DPR juga mendukung
kesimpulan dan rekomendasi Tim
Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir
DPR yang meminta Presiden
mengumumkan
kepada
masyarakat hasil temuan TPF
Kasus Munir. Pengumuman ini,
lanjut Taufik, menjadi indikator
komitmen
dan
keseriusan
pemerintah untuk mewujudkan
prinsip-prinsip yang transparan
dan akuntable dalam pengungkapan kasus ini.
Sementara Pastor Saut Hasibuan dari Fraksi Partai Damai
Sejahtera juga mengusulkan ke Rapat Paripurna agar
menyiapkan tanda jasa bagi Munir yang banyak berjuang
untuk HAM.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Demos Asmara Nababan
menyambut baik rekomendasi sidang paripurna DPR itu.
Namun, Asmara menilai isi rekomendasi tersebut
sebenarnya bukan hal baru mengingat TPF kasus
pembunuhan Munir terdahulu juga mengeluarkan
rekomendasi serupa, membentuk satu tim supervisi bagi
penyelidikan Polri.
Asmara mengatakan, rekomendasi itu cukup bagus
diberikan sepanjang mandat yang diberikan tidak seperti
pada TPF Munir yang dibentuk beberapa waktu lalu. Pada
JEJAK SANG PEJUANG
Tim Pencari Fakta (TPF) Munir sebelumnya tim sekadar
diberi wewenang untuk membantu kepolisian.
dilaksanakan atau tidak oleh Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono , “ ujar Usman.
Sedangkan Isteri Munir, Suciwati yang didampingi Usman
Hamid menyambut baik rekomendasi resmi Dewan
Perwakilan Rakyat ini. Mereka meminta pemerintah
menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Usman
mengharapkan DPR mengawasi dan mendesak
pemerintah segera menjalankan semua rekomendasi itu.
Baik berupa pembentukan tim penyidik independen
maupun cara kerja lembaga internasionak lain demi
terungkapnya kasus tersebut. “Kita mengapresikan kerja
Tim Kasus Munir DPR , namum kita berharap ada langkah
lebih lanjut untuk memastikan rekomendasi itu
“Optimisme kami sebenarnya sulit untuk dibangun, bila
melihat kinerja kepolisian saat ini. Kami mendukung
rekomendasi ini yang mendorong dibentuknya tim
investigasi independen. Tapi kita berharap ada keseriusan
yang lebih kongkret dari anggota dewan, “ tambah Usman.
Usman menyebut optimisme atas sikap politik DPR, terganjal
oleh sikap para anggota DPR itu sendiri. “Kita lihat pada
paripurna ini, belum terlihat ada antusiasme yang sangat
besar dari anggota dewan dari sisi kehadiran, juga apresiasi
terhadap rekomendasi tim itu sendiri, “ tutur Usman.
Sidang Gugatan Suciwati kepada Garuda : Upaya Mediasi Gagal
Sementara itu pengacara Suciwati saat menghadiri
sidang mediasi gugatan perdata terhadap Garuda
Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (8/11),
memutuskan untuk terus berupaya mencari keadilan.
Suciwati menggugat
secara
perdata
manajemen Garuda
serta sebelas pejabat
dan karyawannya,
serta enam awak
pesawat Garuda
GA-974 rute JakartaSingapura
yang
ditumpangi Munir
(06/08/2004).
poin itu adalah ganti rugi uang, permohonan maaf, dan
audit kerja PT Garuda Indonesia. Dalam persidangan yang
berlangsung tertutup selama lima menit PT Garuda
mengelak bertanggung jawab terhadap kematian Munir.
Asfin menjelaskan, penolakan
yang disampaikan pengacara
Garuda terhadap poin tawaran
mediasi
merupakan
representasi sikap PT GI yang
tidak
beriktikad
untuk
menyelesaikan masalah dan
tidak bertanggung jawab atas
keselamatan penumpangnya.
Titik tekan pihak Suciwati
adalah audit kerja PT GI secara
Para
tergugat
keseluruhan, terutama audit
diminta membayar
kerja saat kejadian. Itu ditujukan
kerugian
yang
agar kasus tersebut bisa terkuak.
dialami Suciwati
“Ini sebenarnya tidak sulit. Tapi,
sebesar Rp.14 miliar,
Dok. Kontras
ternyata mereka tidak mau,
yang terdiri atas
“tambahnya.
Karena
kerugian immaterial
Sidang Gugatan terhadap Garuda
tawarannya
ditolak
PT
GI,
tidak
sebesar
Rp.9,07
ada
jalan
lain
bagi
pihak
miliar sesuai nomor
penerbangan GA-974. Kerugian materiil sebesar Rp 4,028 Suciwati untuk tetap meneruskan kasus tersebut.
miliar, serta jasa pengacara sebesar Rp1,3 miliar.
Meski demikian dalam gugatan terbarunya, para pengacara
Asfinawati, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mengajukan satu tergugat baru yaitu Sabur M Taufik, pilot
Jakarta, mengemukakan bahwa gugatan perdata pesawat GA-974 rute Jakarta-Singapura pada 6 Septemebr
terhadap manajemen Garuda Indonesia ditujukan untuk 2004 yang ditumpangi Munir yang saat itu akan menuju
membongkar dugaan keterlibatan para pejabat Garuda Amstredam, Belanda. Menurut Asfinawati, ada konspirasi
dalam konspirasi pembunuhan Munir. “Mekanisme dari pihak Garuda. Hal ini terlihat dari retentan peristiwa
gugatan ini sebenarnya ditujukan sebagai cara untuk sebelum terbunuhnya Munir. Misalnya, pemindahan
membongkar dugaan konspirasi dari penjabat senior tempat duduk Munir dari kelas ekonomi ke kelas bisnis yang
Garuda yang belum tersentuh oleh pihak kepolisian, “ dapat digolongkan sebagai kesengajaan.
tuturnya.
Selain itu, ada kelalaian Garuda yang lebih mendekati
Sedang dalam sidang mediasi di Pengadilan Negeri (PN) kesengajaan yaitu memberikan makanan atau minuman
Jakarta Pusat (20/11) PT Garuda Indonesia menolak yang mengandung racun arsenik yang oleh Institut Forensik
tawaran damai dari pihak Suci. Tawaran yang berisi tiga Belanda disebutkan menjadi sebab tewasnya Munir..***.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
14
TUTUR
“Ibu, Jangan Diam Saja. Tolong Ibu Cari Keadilan”
Nama saya Sumartini, ibunda Sigit Prasetyo yang
meninggal ditembak TNI tanggal 13 November 1998 jam
04.45 WIB. Sigit lahir pada 16 Juli 1980. Inilah curahan hati
saya.
Saya mendengar kabar dari tetangga lewat telepon kalau Sigit
ada (mendapat) kecelakaan. Saya tidak langsung pergi
ketempat Sigit dirawat di RSCM, tapi mampir ketempat Sigit
kuliah yaitu di Jurusan Teknik Sipil, YAI (Yayasan
Administrasi Indonesia).
Disana saya diterima dan ketemu teman-teman, dosen dan
Pureknya (Pembantu Rektor) juga. Mereka bilang saya
disuruh sabar, tenang dan saya dikasih minum sama mereka.
Saya merasa sudah nggak sabar untuk melihat Sigit. “Lukanya
serius apa nggak?” Kok Perasaan
saya nggak enak banget.
senjata, boro-boro senjata, pentungan saja nggak ada. Semua
mahasiswa menyuarakan minta perubahan negara.
Sampai detik ini tentara nggak ada jenuhnya menembaki
bangsanya sendiri. Terakhir, setelah Susilo Bambang
Yudhoyono menjadi Presiden di Aceh ada dipentungin,
ditembakin juga.
Saya bisa bicara begini karena dulunya saya sangat nggak
suka nonton berita, tapi membaca sangat suka. Tetapi
setelah Sigit tidak ada, saya tidak mau ketinggalan untuk
nonton berita apapun.
Setelah Sigit meninggal, 2
bulan kemudian orang
KontraS datang ke rumah.
Namanya Viktor (Viktor Da
Costa), bersama temannya.
Seminggu kemudian ada
orang-orang dari TRK (Tim
Relawan Kemanusiaan)
juga pada datang untuk
bergabung
mencari
keadilan, pengakuan dan
kebenaran
termasuk
mengupayakan pengadilan
internasional. Ternyata
Aksi memperingati tragedi Semanggi I
pertemuan-pertemuan
tersebut terus berlanjut dan
terus banyak keluarga
Pada waktu itu Soeharto sudah lengser, Habibie naik menjadi korban yang lainnya bergabung. Dari kasus 65, sampai
Presiden. Pangab pada saat itu adalah Wiranto, maka-nya penggusuran.
(menurut saya) dia punya tanggung jawab untuk
menyelesaikan kasus Semanggi I dan II ini, harusnya diakui Banyak sudah yang didatangi untuk mencari keadilan.
oleh Wiranto.
Partai-partai semuanya menjanjikan, mereka bilang, “Iya,
akan saya tampung dan saya sampaikan.” Semua instansi
Saya sebagai ibunya Sigit, korban kejahatan kemanusiaan, sudah kami datangi. Ternyata mereka hanya mengatakan,
sangat sedih karena nyawa tidak bisa dibeli dengan apapun. “Ya, saya ikut berduka cita dan prihatin.” Bahkan Megawti
Bayangkan, mengandung selama 9 bulan, kesana-kemari dan Gus Dur juga didatangi, DPR sampai membentuk
dibawa-bawa, melahirkan, meyusui selama dua tahun. Pansus. Ternyata anggota DPR dari Golkar seolah-olah dia
Sangat susah payah membesarkan sampai menyekolahkan yang menentukan Kasus Semanggi merupakan
ke perguruan tinggi, lah kok malah ditembak sama tentara. pelanggaran HAM atau bukan. Padahal jelas-jelas bukan
Kalau anak saya lagi nyolong itu mungkin masuk akal-lah., ini DPR yang menentukan itu pelanggaran HAM atau bukan.
kan lagi minta perubahan negara.
Saya sangat sedih sekali kalau sedang ingat kenangan Sigit
Pada waktu itu tepatnya tahun 1998 sedang rame-ramenya masih hidup. Anaknya baik, sopan, tidak pernah bikin
mahasiswa se-Indonesia berdemontrasi. Kalau nggak salah onar, rendah hati, ramah, supel banget. Teman-teman
itu tentara kerjaannya kan untuk mengurusi perang, eh malah sampai sekarang masih selalu mengunjungi saya dan
perang sama bangsanya sendiri. Anak-anak lagi nggak bawa makamnya.
Maka saya langsung bertanya,
“Ngomong-ngomong
sebetulnya ada apa sih nyuruh
sabar-tenang.
Ada
apa
sebenarnya?” Lalu ada yang
menjawab, “Ibu tenang, ya. Ibu
maafkan kami. Kami tidak bisa
menjaga anak ibu.” Saya kembali
bicara, “Sekali lagi, ini ada apa?”
Mereka menjelaskan, “Ibu, anak
ibu telah meninggal di depan
Atmajaya tepatnya (di jalan)
Semanggi, saat dia sedang
demontrasi meminta perubahan
negara.”
15
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Dok.Kontras
TUTUR
Kalau saya sedang sendirian saya ingat Sigit. Seandainya
Sigit nggak ditembak tentara, pasti sudah punya gelar
insinyur, mungkin juga sudah kerja. Ya, gitu saya suka
berkhayal. Senang rasanya apalagi kalau lihat temantemannya yang seumurnya sudah ada yang kawin, punya
anak, saya ketawa sendirian jadinya. Saya buru-buru ke
makam ngobrol sama Sigit, tapi yang diajak ngobrol diam
saja, rasanya Sigit sedang sakit ditembak sama tentara.
Kadang saya mendengar, “Ibu, jangan diam saja. Tolong
Ibu cari keadilan.” Hal ini membuat saya semangat
mencari keadilan bersama-sama dengan korban yang
lain. Saya yakin jika korban
bersatu tidak bisa dikalahkan.
Yang saya heran adalah Jaksa
Agung dan Komnas HAM saling
lempar, mereka tidak punya naluri
atau takut nggak punya kerjaan.
“Takut dipecat sama Presiden, apa
ya? Nggak di DPR, nggak
penjabatnya, semuanya pada
takut sama Presiden.” Padahal
Presiden itu kan manusia seperti
kita.
masih punya saudara, makanya saya tidak mau terulang
kembali pelanggaran HAM terhadap siapapun. Sayangnya
perjuangan ini masih belum diakui, termasuk belum diakui
oleh Wiranto.
Sebaiknya Wiranto matanya dibuka lebar-lebar dan
kupingnya dipasang baik-baik dan dengarkan, “Kalau tidak
ada rencana penembakan mahasiswa, mana mungkin anakku
bisa mati?” Bahkan bukan hanya Sigit, tapi juga Wawan,
Engkus dan masih banyak yang lainnya yang jadi korban
kekerasan negara. Dan Wiranto, dengan seenaknya ngomong
bukan pelanggaran berat HAM. Yah, saya hanya manusia
biasa, cuma berdoa semoga pengadilan
akherat yang menentukan.
Kalau dipikir saya berbuat begini
untuk apa sih? Saya cuma masih
punya hati untuk lingkungan kecil
saya. Saya masih punya saudara,
makanya saya tidak mau terulang
kembali pelanggaran HAM
terhadap siapapun. Sayangnya
perjuangan ini masih belum
diakui, termasuk belum diakui
oleh Wiranto.
Apa memang negeri kita tidak mau
tentram, saya ini nggak pernah
minta sumbangan sama orang-orang itu. Tapi kenapa
rakyatnya yang dibikin susah. Sudah harga semakin
mahal-mahal, saya mau makan kudu ‘meras keringat’ dulu,
kalau sudah capai baru bisa makan. Itupun Senin-Kamis.
Tapi, fasilitas-fasilitas para penjabat-penjabat, Presiden,
waduh enaknya. Semua gratis, listrik, telepon, semua tetekbengeknya gratis. Sementara rakyat kecil semua harus
bekerja. Pendidikan mahal, apa-apa mahal. Sementara
orang-orang yang diatas menari diatas penderitaan
rakyat kecil, seperti saya.
Mana sekarang, makamnya Sigit naik pajaknya. Kadangkadang saya kesal dengan kondisi ini. Punya Presiden
cuma diam dan memperkaya diri sendiri. Enaknya nggak
usah punya Presiden aja kali ya? Karena semua orang
hanya mementingkan diri-sendiri. Bahkan orang-orang
seperti saya nggak pernah digubris untuk mencari
keadilan.
Dengan adanya Presiden baru karena dia dari tentara juga,
jadi jangan ge-er (gede rasa) dulu-lah. Ipar saya juga tentara,
tetapi tidak berlaku demikian. Tetapi sejak 1998 sampai
2004 kalau saya lihat tentara sama polisi rasanya marah
banget. Maunya saya tentara sama polisi untuk
mengamankan negara atau berani dengan Amerika,
jangan nembakin bangsa sendiri. Malu dilihat negara lain,
kayaknya nyawa manusia di Indonesia tidak ada harganya.
Kalau dipikir saya berbuat begini untuk apa sih? Saya
cuma masih punya hati untuk lingkungan kecil saya. Saya
Untungnya, walaupun dalam konvensi
Partai Golkar Wiranto menang tapi dalam
pemilihan presiden dia kalah. Sebab
seandainya dia menang maak dunia akan
kiamat. Syukurlah Wiranto nggak jadi
apa-apa. Harusnya, hal ini disadari oleh
Wiranto bahwa orang dzalim pasti
terkalahkan.
Demikian juga dengan SBY, selama tidak
mau peduli dengan pelanggaran HAM
berat yang ada di Indonesia yang harus
diadili dan diselesaikan secara tuntas,
secara ksatria, SBY belum tentu akan lama jadi Presiden.
Kalau negara merasa mengakui kebenarannya dan mengadili
orang-orang yang terlibat pelanggaran HAM berat tak perlu
takut-takut dengan jenderal atau bekas presiden karena
mereka juga manusia biasa seperti kita.
Jadi untuk ini mari kita secara bersama bergandeng tangan
untuk mencari keadilan demi keutuhan korban dan stop
kekerasan. Oleh karena itu, meskipun selama ini saya
keluarga korban belum pernah meminta apapun pada
pemerintah baik yang bersifat moril maupun meteril. Tapi
kali ini saya keluarga korban khususnya almarhum Sigit
meminta kepada pemerintah supaya kasus ini diusut tuntas
sesuai prosedur hukum yang berlaku. Saya tidak meminta
banyak, bagi kami pemberian hukuman yang adil kepada
pelaku itu merupakan sebuah bentuk keberpihakan
pemerintahan SBY-JK kepada rakyat kecil. Padahal kami
keluarga korban menaruh harapan besar pada rezim SBY
untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM sesuai
apa yang dijanjikan ketika berkampanye.
Yang pasti, saya sebagai ibunya merasa berdosa sekali kalau
tidak berbuat sesuatu untuk ketenangan arwah anak saya.
Saya sering mengucap dalam hati, “Semoga Sigit diterima
Allah dan diterima di surga yang terbaik untukmu, Git. Ibu
tetap akan mencari keadilan sampai titik darah penghabisan.”
Ditulis dan diringkas dari Buku “Melawan Pengingkaran”,
Terbitan Kontras, 2006
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
16
BERITA DAERAH
Komunisme Dalih Larangan Kebebasan Berekspresi
Polisi membiarkan sejumlah massa melampiaskan kehendak membubarkan paksa
sejumlah kegiatan diskusi mahasiswa di Bandung dan Surabaya. Dengan dalil
ketakutannya terhadap penyebaran ajaran komunime sejumlah massa merasa
berhak meneror dan merampas kebebasan orang lain. Sedang aparat kepolisian
berdiri di belakang dengan dalil dan ketakutan yang sama
Diskusi ini digelar dan digagas oleh Toko Buku Ultimus
Bandung, Komunitas Rumah Kiri Bandung dan Himpunan
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pasundan
Bandung, yang bertema “Gerakan Marxist Internasional
Kontemporer, Perkembangan dan Masa Depan Gerakan
Marxist di Dunia, dan Sekilas Tentang Organisasi dan Gerakan
Buruh di Kanada”, dengan menghadirkan Marhaen Soeprato
(WNI Tinggal di Kanada). Acara yang dihadiri oleh sekitar 50
orang yang sebagian besar adalah mahasiswa. Acara ini
berlangsung pada 14 Desember lalu.
mengaku dari bagian “Urusan Imigrasi” menanyakan
tentang status kewarganegaraan Marhaen Soeprapto.
Acara baru berlangsung sekitar 20 menit sejak pukul 19.00
WIB. Tiba-tiba sekitar 30 orang berbaju loreng dan kuning,
yang menamakan diri Persatuan Masyarakat Antikomunis
(Permak) memasuki ruangan. Mereka memaksa panitia untuk
membubarkan diskusi tersebut.
Semenjak Minggu, (10/12) Ultimus juga menerima banyak
telepon gelap yang menanyakan tentang diskusi tersebut,
padahal sosialisasi diskusi tersebut baru dilakukan Selasa,
(12/12) secara terbuka, sebelumnya hanya melalui milist.
Beberapa kali ULTIMUS didatangi oleh orang bertubuh
tegap, dengan usia separuh baya, mendatangi ULTIMUS
dengan menanyakan bagian buku-buku berbau kiri
dimana ULTIMUS memproduksi dan menjual buku-buku
tersebut.
Para peserta diskusi tidak mau membubarkan diri, sementara
Massa Permak tetap memaksakan kehendaknya. Kemudian
terjadilah aksi kejar-kejarlah. Massa mengejar pembicara dan
peserta diskusi yang lari menyelamatkan diri ke arah kampus
Universitas Pasundan yang berada di depan Toko Buku
Ultimus. Massa menangkap ketua panitia dan pembicara.
Kedua orang ini setelah dipukuli, dipaksa masuk ke kendaraan
milik Permak dan dibawa ke Satuan Intelijen Polwiltabes
Bandung.
Terlihat jelas bahwa polisi membiarkan peristiwa itu terjadi.
Sejumlah peserta diskusi juga digelandang ke kantor polisi,
sebanyak 11 orang dari mereka terus diperiksa. Pada
akhirnya, setelah menjalani sejumlah pemeriksaan, Kapolwil
Bandung Kombes Edmon Ilyas mengakui pihaknya belum
menemukan adanya indikasi pengajaran komunis dalam
diskusi itu. Pembubaran diskusi oleh ormas dan polisi hanya
didasari oleh laporan ormas yang tidak suka dengan kegiatan
tersebut.
“Ini adalah temuan masyarakat. Ada sekelompok masyarakat
yang tidak suka, maka Polsek Bandung Tengah membubarkan
diskusi itu, “ ujar Edmon Ilyas.
Sebelumnya, pihak Intel Polwiltabes Bandung (11/12) telah
mendatangi toko buku Ultimus dan menanyakan izin
kegiatan tersebut. Selanjutnya untuk mengantisipasi maka
pihak panitia memasukkan surat pemberitahuan yang
dialamatkan kepada KaPolwiltabes Bandung mengenai
diadakannya acara tersebut. Esoknya, kembali pihak Intel
Polwiltabes Bandung mendatangi Toko Buku Ultimus. Mereka
17
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Esok harinya (13/12) kembali pihak Intel Polwiltabes
Bandung mendatangi Toko Buku Ultimus dan meminta
Sadikin (ketua panitia) untuk menemui Waka Intel
Polwiltabes Bandung untuk dimintai keterangan
berkaitan dengan diskusi tersebut. Pihak Intel Polwiltabes
juga melakukan kontak telepon ke Kantor ULTIMUS, ke
telpon gengam Bilven (Dir. Ultimus) dan Sadikin.
Pembubaran dan intimadasi hari HAM dan Anti
Traficking di Surabaya
Acara ini digagas oleh Jaringan HAM di Surabaya (KPI
Jatim, Pusham UNAIR, FA Jatim, LBH Surabaya, LSKBH,
Wahana Visi Indonesia, LPMGKJW, Damar Alit, KTPDHAM
Jatim, Pekerja Budaya Surabaya, Indonesia ACT, GB
Senopati dll) melakukan kegiatan lomba majalah dinding
dan poster, pemutaran film dokemunter HAM (Marsinah,
Shadow Play, Batas Panggung, Garuda Deadly Upgrade, Mimpi
yang Terkoyak) dan pentas seni. Pada saat acara
berlangsung (15/12) sekitar 100 orang massa Front Anti
Komunis yang membawa atribut Front Pembela Islam
berteriak-teriak dan membubarkan acara, mengambil
secara paksa film-film HAM yang akan diputar karena
diduga akan mendeskriditkan TNI dan Islam serta
mengancam membunuh panitia jika permintaannya tidak
dituruti.
Menyikapi hal tersebut, panitia mengajukan negosiasi,
namun negosiasi berlangsung alot karena massa sangat
banyak dan tetap pada pendiriannya. Massa tetap
meminta panitia untuk tidak memutarkan film Shadow Play
dan Stage Limit. Akibatnya peserta peringatan Hari HAM
pulang karena ketakutan.
Pagi saat dimulainya acara, aparat kepolisian Polsek
Genteng hanya memberitahukan kepada panitia bahwa
BERITA DAERAH
ada massa aksi dari Forum Ulama yang sedang
melakukan aksi di DPRD dengan mengusung issue Tolak
Komunisme dan Pembubaran Film Shadow play. Namun
polisi tidak melakukan tindakan pencegahan serta tidak
melakukan tindakan apa-apa saat pembubaran
berlangsung.
Terjebak isu komunisme
Kasus-kasus di atas memperlihatkan bagaimana aparat
polisi maupun ormas-ormas dan kelompok terorganisir
masih terjebak dengan isu-isu komunisme, di tengah arus
kebebasan dan keterbukaan atas segala informasi. Namun,
dapat muncul juga pertanyaan lain, adakah aksi-aksi
serupa merupakan
agenda tersembunyi
dari aparat TNI/Polri
atau intelejen sendiri,
untuk menghadaphadapkan
antar
kelompok masyarakat.
Hal
ini
jelas
mengancam proses
demokratisasi.
Pembiaran dan tidak adanya tindakan yang tegas dari aparat
kepolisian semakin menguatkan fenomena kesewenangwenangan kelompok terorganisir dalam melakukan aksi-aksi
kekerasannya. Pada tahun 2006 ini, fenomena kekerasan oleh
kelompok-kelompok terorganisir atas nama agama maupun
nasionalisme yang melakukan tindakan kekerasan di
berbagai daerah semakin menguat.
Hal itu tampak pada pembubaran pertemuan korban 65 di
Bandung, penyegelan kantor Fahmina di Cirebon
pembubaran peringatan HARI HAM di Surabaya, serta
beredarnya spanduk-spanduk ancaman komunis dan
marxisme di sudut-sudut kota. Hingga saat ini tidak ada
penyelidikan terhadap berbagai tindak pidana yang terjadi.
Dok. Veronica
Aparat juga membiarkan
beredarnya
anjuran
untuk
berhati-hati
terhadap
ancaman
komunisme, bahkan ikut
terjebak dengan melarang
kegiatan-kegiatan yang
dianggap
berbau
komunis. Tindakan ini
sungguh
sangat
meresahkan, karena sama
sekali tidak berdasar
serta mengancam rasa
saling percaya antar
masyarakat.
Negara semestinya
menjamin hak-hak
warganegaranya
untuk
bebas
mengeluarkan
pendapat
dan
KontraS juga sangat
menyesalkan dengan
berekspresi yang jelas
lambannya
proses
mendapat jaminan
penanganan
kepolisian
konstitusi. Sementara
Spanduk tentang ancaman komunisme
kepada pihak Ultimus
aparat penegak hukum
yang tengah menjadi
harus menjalankan
korban dari intimidasi
tugasnya
secara
kelompok-kelompok
yang
terorganisir
atas dalih penyebaran
profesional dengan melindungi hak-hak warga negara
ajaran komunis tersebut. Apalagi, kepolisian sempat
serta menindak kelompok-kelompok terorganisir yang
menetapkan beberapa orang sebagai tersangka, dengan
meresahkan masyarakat.
tuduhan berdasarkan UU No. 27 tahun 1999 tentang
Dalam hal ini Kontras mendesak aparat penegak hukum perubahan KUHP tentang kejahatan terhadap keamanan
negara. Sementara itu, tidak ada proses hukum atas Pemuda
untuk mengambil langkah-langkah aktif dalam
Panca Marga dan Forum Masyarakat Anti Komunis yang
menghentikan perlakuan sewenang-wenang dari
melakukan yang melakukan kekerasan pada aktivis Ultimus.
berbagai kelompok terorganisir yang melakukan
tindakan-tindakan premanisme. Akhir-akhir ini, perilaku Kontras mendapatkan pengaduan terhadap kasus-kasus
ini semakin mengkhawatirkan dengan dalih komunisme, semacam ini, baik di Jakarta, Surabaya maupun Bandung.
sebuah alasan usang yang digunakan pemerintah Orde Korban-korban dituduh menyebarkan paham-paham
Baru dalam meredam dan membungkam kebebasan komunisme dan marxisme dalam menjalankan
aktivitasnya.***
berekspresi masyarakat.
“Setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat: hak ini meliputi kebebasan untuk
mencari menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran, terlepas dari pembatasanpembatasan secara lisan, tertulis atau cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain
yang dipilihnya”.
(Pasal 19 (2) Konvensi Hak Sipil dan Politik )
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
18
BERITA DAERAH
Komnas HAM Kembali Ke Poso
Komnas HAM membentuk tim untuk ketiga kalinya bagi konflik Poso, sementara
pemerintah juga membentuk Tim Pencari Fakta Poso. Khusus untuk 29 DPOKomnas
meminta polisi tidak melanggar hukum dalam melakukan penangkapan. Nyatanya
sejumlah pelanggaran masih terjadi.
Pada akhirnya, setelah menuaikan kritik atas kinerja Komisi kasus kekerasan yang berpotensi melanggar HAM di bekas
Nasional Hak Asasi Manusia pada kasus Poso, (Komnas HAM) daerah konflik Poso. “yang jelas respon Komnas HAM
melakukan penyidikan atas rentetan konflik yang telah dalam bnetuk rekomendasi harus melalui penyelidikan
terjadi selama di Poso. Tim yang di pimpin oleh Zumrotin K terlebih dahulu. Komnas HAM tidak mungkin bersikap
Susilo bertugas menyelidiki kasus bentrok anggota Brimob tanpa penyelidikan, “ Kata Zumrotin menegaskan.
Polri dengan warga tanah Runtu, kelurahan Gebangrejo, Kota
menurut Zumrotin, selain payung
Poso, 22-23 Oktober 2006. Bentrokan itu
hukum yang mengatur Komnas HAM
mengakibatkan seorang warga sipil
belum memberi ruang untuk bekerja
tewas tertembak dan beberapa lainnya
maksimal, apresiasi pemerintah
cedera.
Tim bentukan Komnas
khususnya
kejaksaan
dalam
HAM kali ini merupakan
Tim bentukan Komnas HAM kali ini
menindaklanjuti rekomendasi Komnas
tim ketiga yang
merupakan
tim
ketiga
yang
HAM juga rendah.
diterjunkan ke Poso
diterjunkan ke Poso pescakonflik 1998.
Saat ini, lanjutnya ada tujuh kasus
Sebelumnya, tim yang dipimpin BN
pescakonflik 1998.
yang direkomendasikan Komnas HAM
Marbun (2000) dan tim pimpinan
Sebelumnya, tim yang
ke
Kejaksaan
Agung
tidak
Ahmad Ali (2004)
dipimpin BN Marbun
ditindaklanjuti. Kasus tersebut yakni;
(2000) dan tim pimpinan
Sementara itu, TPF Poso bentukan
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II,
Ahmad Ali (2004)
pemerintah yang dipimpin Deputi
Waimenas dan Wasior (Papua),
Keamanan Nasional Budi Utomo sudah
Tragedi Mei 98, dan kasus orang hilang.
menyelidiki kasus Tanah Runtuh, Poso.
Zumrotin dan timnya akan menemui
Meski demikian Komnas HAM tidak
langsung saksi dari warga sipil dan
akan terusik dengan temuan TPF kasus
Poso bentukan Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik, polisi yang berada di lokasi kejadian, termasuk sejumlah
pemuka agama dan tokoh masyarakat setempat.
Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
“Sekalipun terjadi perbedaan dari hasil penyelidikan masingmasing tidak ada masalah. Apa pun hasil yang dikeluarkan
Komnas HAM berangkat dari fakta lapangan yang ada, “kata
Zumrotin.
Lebih lanjut Zumrotin menjelaskan produk akhir dari hasil
penyelidikan Komnas HAM hanya dalam bentuk
rekomendasi yang akan diteruskan kepada pemerintah guna
ditindaklanjuti. “Memang aturannya baru sebatas itu
kewenangan Komnas HAM, “ujarnya.
Selain menyelidiki kasus Tanah Runtu, Zumrotin dan tim
Komnas HAM juga akan mengumpulkan informasi kasus
kekerasan lain, seperti penembakan Pendeta Irianto serta
penanganan kasus keperdataan para korban kerusuhan di
Poso. Dimana, hak keperdataan warga Poso dari kedua
kelompok, muslim dan kristiani, banyak yang hilang setelah
konflik. Contohnya, kebun, rumah, dan sawah yang tak
kembali kepada pemiliknya.
Respon lamban
Zumrotin tidak menampik adanya penilaian sebagian
masyarakat bahwa Komnas HAM lamban merpon kasus-
19
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Tim ini baru sebatas melakukan penyelidikan biasa, dan
jika ditemukan fakta adanya pelanggaran HAM berat
dalam bentrokan tersebut, Komnas HAM akan
meningkatkan penyelidikan projustisia. Menurut dia,
pemantauan dilakukan mulai dari prose penangkapan
hingga pemeriksaan penyidik. Polisi mesti
memperlihatkan surat penangkapan saat membekuk
tersangka, serta menjamin hak-hak asasi mereka selama
dalam proses pemeriksaan.
“Komnas HAM mendukung penegakan hukum, tapi tidak
menoleransi adanya pelanggaran hak asasi manusia
dengan mengatasnamakan penegakan hukum, “ ujarnya.
Penyataan ini terkait dengan penangkapan terhadap 29
orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Empat orang menyerahkan diri
Menurutnya, Komnas HAM bakal melindungi hak 29 orang
tersangka kasus Poso yang menjadi buron. Jangan sampai
polisi melawan hukum dalam penangkapan. “Boleh
menangkap, tapi hak-hak tersangka harus dihormati, “
tegas Zumrotin.
BERITA DAERAH
Sementara itu Iskandar alias
Marjo dan Nasir, dua di antara
29 orang pada DPO Sulawesi
Tengah,
Selasa
(28/11)
menyerahkan diri ke Kepolisian
Resor Poso. Keduanya diduga
perampokan dan peledakan bom
di Poso. Ateng dan Nasir yang
didampingi keluarga langsung
diterbangkan ke Palu dengan
pesawat milik Polri dan dalam
penjagaan ketat. Penjagaan ketat
dilakukan di Bandara Mutiara
Palu. Wartawan dilarang masuk
ke halaman ruang VIP.
sebuah jaket ia langsung dibawa ke ruang
pemeriksaan didampingi Ketua TPM
Sulteg Asludin Latjani.
Dok.Kontras
Menurut Wakadiv Humas Polri Bridjen
Anton Bachrul Alam, Sahrir Lakita diduga
terkait dengan kasus perampokan uang
kas milik Pemerintah Kabupaten Poso
bernilai ratusan pada April 2005 lalu.
Hasil perampokan diduga untuk
membiayai aksi kekerasan di Poso.
Dengan penyerahan diri Sahris, sudah
empat orang dari 29 DPO yang
menyerahkan diri. ketiga DPO sebelumnya
yang menyerahkan diri yakni Andi Bocor
alias Andi Lalu, Ateng Marjo dan Muhammad Nasir.
Aksi menuntut penuntasan konflik Poso
Setiba di Palu, mereka langsung dibawa ke Markas Polda
Sulteg, ke ruangan Direktur Reserse Kriminal Polda Sulteg
Komisaris Besar I Nyoman Suryasta. Wartawan dilarang
mewawancarai mereka.
Sementara, seorang DPO lain yakni Sahrir Lakita (21), juga
menyerahkan diri ke Polres Poso(06/12), Ia didampingi
pengacaranya dari Tim Pembela Muslim (TPM) Abdul
Manan Abbas. Ia kemudian di bawa ke Polda Sulteng di
Jalan Sam Ratulangi, Kota Palu. Dengan wajah ditutup
Penahanan ketiganya ditangguhkan karena selama
pemeriksaan dianggap menunjukkan sikap kooperatif. Sahrir
Lakita terdaftar nomor 19 DPO Poso. Ateng Marjo nomor 15
dan Nasir nomor 14 DPO Poso. Pemulangan terhadap mereka
yang telah di masukkan dalam DPO ini, dapat menimbulkan
pertanyaan soal standar penetapan seseorang sebagai DPO
atau ada agenda tersembunyi yang hendak dimainkan oleh
polisi? ***
Pelaku Mutilasi Poso Bertemu Keluarga Korban
Pelaku mutilasi tiga siswi Poso mengaku aksi yang
mereka lakukan di Poso, murni sebagai bentuk
akumulasi kekecewaan, karena belum terungkapnya
dalang kerusuhan di Poso. mereka mengaku tidak
memiliki pemimpin yang meminta melakukan
pembunuhan tersebut.
analisisnya peristiwa yang satu dengan yang lainnya
saling memiliki keterkaitan. Ia juga ingin mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi di Poso sehingga mengakibatkan
konflik yang berkepanjangan. Masyarakat Poso pastinya
memiliki tuntutan yang sama dengan dirinya, yaitu
mengetahui siapa dalang kerusuhan Poso.
Demikian dikatakan salah seorang pelaku pembunuhan
mutilasi tiga siswi Poso pada Oktober 2005 silam,
Hasunuddin, kepada wartawan usai meminta maaf
terhadap keluarga almarhum tiga siswi Poso di
Bareskrim Mabes Polri, Jakarta (19/11). Pertemuan yang
difasilitasi pihak kepolisian tersebut bertujuan untuk
meredakan konflik di Poso, yang sudah berlangsung
delapan tahun ini. Meski berat, pihak keluarga mengaku
bisa menerima permintaan maaf para tersangka.
“Ini bukan sebuah strukturisasi atau terencana. namun
merupakan sebagaimana yang saya sampaikan dalam
eksepsi saya, yaitu sebuah akmulasi kekecewaan yang
sudah menumpuk luar biasa, “ ujar Hasanuddin.
Karenanya, ia berharap kepada Polri dapat bekerja secara
profesional untuk mengungkap dalang konflik Poso.
Karena jika dibiarkan maka masyarakat Poso akan selalu
mengalami ketakutan dan konflik dapat terjadi lagi.
Hasanuddin menjelaskan, apa yang mereka lakukan
sama sekali tidak terencana dan tidak memiliki
strukturisasi. Menurutnya, apa yang ia lakukan bersama
dua rekannya, yaitu Irwanto Irano dan Haris murni
sebagai bentuk kekecewaan yang menumpuk. Karena
dalang atau otak kerusuhan Poso yang berlangsung
sejak delapan tahun lalu hingga kini belum terungkap.
Hasanuddin memandang kerusuhan atau konflik di Poso
tidak terjadi secara tiba-tiba. Karena menurut
Sementara itu, Hasanuddin sendiri kasusnya tengah
disidangkan di pengadilan Negeri Jakarta Pusat bersama
dengan dua orang rekan lainnya, yaitu Haris dan Irwanto
Irano. Mereka didakwa karena membunuh dan
memutilasi tiga siswi Poso pada Oktober 2005 silam di
mesjid Al Firdaus Tanah Runtuh Gebangrejo, Poso. Tiga
siswi Poso tersebut antara lain, Alm. Alfita Poliwo,
Theresia Morangki, Yarni Sambue dan salah seorang siswi
lainnya, yaitu Noviana Malewa menderita bacokan di pipi
sebelah kanan.***
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
20
BERITA DAERAH
Penuntasan Kasus Runtu Digantung
Keperpihakan pemda yang didukung oleh aparat keamanan terhadap pihak pengusaha
menjadi sisi lain wajah ketidakadilan negeri ini. Atas nama pembangunan, pemerintah
kerap “menutup mata dan telinganya” atas derita dan suara rakyat kecil. Getiran ini
juga dirasakan oleh masyarakat Runtu, Kalimantan Tengah.
Hingga kini tidak ada niat baik Pemerintah Daerah Kalimantan
Tengah, khususnya Kabupaten Kotawaringin Barat untuk
menyelesaikan kasus sengketa tanah antara PT.MMS (Mitra
Mendawai Sejahtera), dengan masyarakat Runtu Kecamatan Arut
Selatan Kota Waringin Barat. Di sisi lain, penyelesaian kasus
yang terus terkatung-katung ini memperihatkan pula upaya
sistematis pengusaha yang melibatkan aparat keamanan dan
aparat pemerintah lokal dalam mempertahankan penguasaan
sumber ekonomi.
Kasus ini sendiri terjadi sejak tahun 2004
bermula saat PT. MMS melakukan usaha
pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa
sawit. Pihak perusahaan melakukan okupasi
terhadap lahan perkebunan yang dimiliki
masyarakat tanpa adanya proses yang jelas
utamanya tentang
pengalihan
hak
kepemilikan yang dikuasai oleh masyarakat
tersebut.
Pada Juni 2005, salah seorang anggota DPD RI utusan
Kalimantan Tengah yang ditugaskan memantau kasus ini telah
mencoba menyuap salah seorang petani yang juga ketua
Badan Perwakilan Desa, Bapak H. Hamihan dengan tujuan agar
para petani tidak melanjutkan kasus ini.
Para petani dan pendamping telah melaporkan kasus ini ke
Kapolri, DPRD Propinsi Kalteng dan Komnas
HAM pada periode Mei-Juni 2005. Mabes Polri
telah mengeluarkan surat kepada Polda
Kasus ini sendiri
Kalteng untuk melakukan penyelidikan atas
keterlibatan aparat. Namun, hingga saat ini
terjadi sejak tahun
penyelesaian kasus ini seakan terhenti.
2004 bermula saat PT.
Mitra Mendawai
Sejahtera melakukan
usaha pembukaan
lahan untuk
perkebunan kelapa
sawit.
Puncaknya, pada 26 Mei 2005 masyarakat
menuntut pihak perusahaan menarik
buldoser yang menghancurkan lahan
perkebunan dan menggarap lahan mereka.
Sebelum melakukan aksi, masyarakat
sempat meminta restu dari Ujang Iskandar
(saat ini Bupati Kota Waringin Barat) dan
Camat Arut Selatan, Praptiniwati tentang tindakan apa yang harus
dilakukan terhadap buldoser milik perusahaan yang menggarap
lahan tersebut. Atas restu kedua orang tersebut, masyarakat
lalu menyandera kedua buldoser tersebut. Aparat Brimob dan
preman perusahaan melakukan penyerangan kepada masyarakat
dengan masyarakat setempat. Akibatnya, satu orang warga
meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka terkena tembakan
dan pemukulan yang dilakukan aparat Brimob sehingga harus
dibawa ke rumah sakit. 50 orang warga ditahan tanpa melalui
proses hukum di Polres Kobar. Seluruh akses keluarga untuk
menjenguk ke rumah sakit maupun tahanan tidak didapat.
Keluarga baru dapat bertemu setelah korban keluar dari rumah
sakit dan dibebaskan dari tahanan.
Esoknya, Muspida Kotawaringin Barat dan masyarakat
menyepakati agar warga yang ditahan dilepaskan. Muspida juga
harus memberikan peringatan pada PT MMS untuk tidak
mengintimidasi warga serta tidak melakukan kegiatan atau
menggarap lahan yang dipertahankan oleh warga sampai ada
kesepakatan dari warga serta mengeluarkan semua alat-alat PT
MMS dari tanah warga. Namun, kesepakatan itu tidak dijalankan
sepenuhnya. Aktivitas perusahaan terus berlangsung. Bahkan
perusahaan kembali melakukan cara-cara kekerasan dan tidak
menghargai hak asasi manusia berupa pembakaran, intimidasi
dan pengambil alihan tanah milik masyarakat secara paksa.
Termasuk mengintimidasi dan meneror aktivis yang giat
melakukan pendampingan terhadap kasus ini.
21
Mencoba menyuap
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Para petani dan pendamping dari Walhi, Betang
Borneo, Solidamor 26 dan Kontras telah
melakukan pertemuan dengan Divpropam
Mabes Polri dan Komnas HAM pada 14
Nopember dan ke Dewan Perwakilan Daearah
(DPD) pada 15 Nopember 2006 lalu.
Dari pertemuan tersebut, Divpropam
menginformasikan bahwa telah melimpahkan
penanganan kasus dari Mabes Polri ke Polda
Kalteng, sebagaimana tertuang dalam Surat
Kadiv propam Polri No Pol : R/YD-408/VII/2005/Divpropam.
Mereka menjanjikan akan mengirimkan tim supervisi pada 612 Desember 2006 ke Polda Kalteng. Komnas HAM akan
memberikan jaminan perlindungan kepada para pelapor, akan
membuat surat kepada instansi yang terkait dan akan turun
ke lapangan. DPD juga menjanjikan hal serupa.
Namun, Kontras menengarai bahwa terkatung-katungnya
kasus ini merupakan upaya yang sistematis yang juga
melibatkan aparat keamanan dan aparat pemerintahan lokal.
Polda Kalimantan Tengah melakukan pembangkangan kepada
Mabes Polri dengan belum melaporkan hasil penyelidikannya.
Ujang Iskandar yang yang awalnya mendukung petani dan
saat ini menjadi Bupati tidak mendukung penuntasan kasus
ini. Sementara Utusan Dewan Perwakilan Daerah yang
seharusnya membantu masyarakat untuk menyelesaikan
kasus ini, juga ikut bermain dan memihak kepada perusahaan.
Untuk itu, Kontras mendesak pemerintah pusat mengambil
alih penyelesaian kasus ini, serta menghentikan kekerasan
berupa intimidasi dan pencaplokan lahan yang masih terus
berlanjut hingga saat ini. Sementara , Kapolri dan Komnas
HAM harus segera menindaklanjuti laporan yang telah
disampaikan. Para petani tidak dapat lagi menggantungkan
harapan kepada pemerintah daerah karena keberpihakan
aparat pemerintah daerah maupun aparat keamanan dengan
pengusaha dalam kasus ini sudah semakin dalam.***
BERITA DAERAH
TNI-AU Caplok Tanah Warga Rumpin
Dengan dalih membangun Water Traning, TNI-AU dari Landasan Udara Atang Sandjaja
(Lanud ATS) mengambil paksa tanah warga kampung Cibitung, Desa Sukamulya kecamatan
Rumpin Kabupaten Bogor. Warga yang sebagian besar petani dan hidup miskin ini harus
kehilangan sawah produktifnya dengan alasan kepentingan negara.
Dulu dirampas penjajah, kini TNI AU
Klaim atas tanah warga ini bukanlah cerita baru bagi warga
desa Sukamulya. Cerita bermula saat Belanda di kalahkan
oleh tentara Jepang, maka di tahun 1943 di Desa Sukamulya,
Bogor, Jawa Barat, tentara Jepang membuat lapangan terbang
Nordin diatas tanah warga dari 19 orang pemilik penggarap
yang luasnya mencapai 7 Ha dari sebelah barat dari
perkebunan karet, dan lebih kurang 11 Ha dari sebelah timur.
Panjang landasan 1.800 Meter dan Lebar 100 Meter. Saat itu
pembuatan landasan kapal menggunakan tenaga sekitar
(Romusha).
Tanah warga yang dipakai lapangan oleh tentara Jepang di
bayar dengan menggunakan cek yang harus di cairkan di
kantor pos pusat Gambir Betawi (Jakarta). Namun cek ini
ternyata tidak berlaku. Dari sinilah cerita tentang bagaimana
warga ingin mempertahankan hak milik dan hak hidupnya
terus diperjuangkan hingga hampir 50 tahun lamanya.
Pada tahun 1960 diadakan musyawarah oleh Bupati Bogor,
Departemen Agraria, DPRD, Kodim, Polres, Korem, TNI AU
dan Dan Lanud Atang Sanjaya Kol. Soetoepo dengan tokoh
masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dari pertemuan ini
dihasilkan keputusan, yang dikatakan langsung oleh Kolonel
Soetoepo bahwa tanah yang menjadi hak TNI AU hanya
lapangan terbang Nordin yang panjangnya 1800 meter dan
lebar 100 m, serta minta tanah eks perkebunan karet PT.
Cikoleang selebar 50 meter sepanjang landasan lapangan
terbang Nordin. Total luasnya 27 Ha. Selebihnya dan diluar
dari itu silahkan di miliki oleh masyarakat.
Namun tahun 1991 dengan gencar TNI Angkatan Udara
kembali mengklaim tanah seluas 1000 Ha tersebut. Di Pendopo
PEMDA Kabupaten Bogor (02/05/1991) diadakan pembahasan
masalah tersebut, yang dihadiri oleh Bupati Bogor, Edi Yoso
Martadipura, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bogor,
WADAN LANUD Atang Sanjaya Kolonel Tatang. Pada
pertemuan tersebut kepala desa H. Amsari menunjukan tanda
bukti kepemilikan tanah masyarakat berupa kikitir/girik dan
surat hak milik (sertifikat) dari Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Bogor. Di tahun 2003, turunlah SK Bupati Bogor Nomor
591/194/KPTS/HUK/2003 (12/Juni/2003) tentang penetapan
pembagian/pengalokasian atas tanah Eks HGU PT. Cikoleang
seluas 90 Ha dan seterusnya. Namun SK Bupati tersebut
dimohonkan oleh TNI AU Atang Sanjaya agar di cabut. SK
Tersebut diatas di tolak oleh Bupati Bogor.
4 helikopter halau demo warga
Di awal September 2005 TNI AU mendatangi tanah lokasi
PEMDA, Desa dan Kavling Masyarakat dan merusak patok
batas tanah, kemudian TNI AU memasang plang yang
bertuliskan ini tanah milik TNI AU.
Pada (14/11) warga melakukan aksi lagi berupa penutupan
(pemblokiran) jalan yang menuju lokasi TNI AU dengan patok
dan besi Cor. Aksi ini dikawal
ketat oleh TNI AU yang
datang dengan senjata laras
panjang mereka.
Pada 25 Nopember 2006,
ratusan warga datang
memprotes proyek tersebut
dan meminta TNI AU untuk
keluar dari lokasi. Demo
tersebut disaksikan pula oleh
Pjs Kepala Desa Sukamulya,
Ketua BPD Sukamulya,
Sumber: id.wikipedia.org
Camat Rumpin, Koramil, dan
Kapolsek Rumpin. Namun,
demo warga ini malah di halau oleh 4 helikopter TNI AU yang
terbang pendek (kl. 4m) diatas warga. Pada sore harinya, datang
pasukan baret kuning sebanyak 130 aparat TNI AU.
Pada 5 Desember 2006 Warga kembali berdemo menuntut hak
miliknya dan mereka melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPRD
Bogor. Saat itu warga meminta Bupati dan DPRD menghentikan
pembangunan proyek Water Training oleh TNI AU yang
merampas sawah milik warga yang merupakan lahan produktif.
Memang tak peduli dengan jeritan warga, TNI AU terus menggali
tanah warga setiap harinya hingga mencapai luas 2 Ha. Sedang
warga-pun terus berjuang, pada (14/12) Wakil warga mendatangi
Badan Pertanahan Nasional Pusat. Di akhir bulan Desember TNI
AU semakin menjadi-jadi dengan menurunkan Beko ke sawah
warga, dengan tujuan membuat galian baru dengan dikawal oleh
TNI AU bersenjatakan laras panjang yang ditodongkan kedepan.
Dengan spontan ibu-ibu warga masyarakat turun untuk
menghalau beko yang sudah turun kesawah, sambil menangis,
dan mengejar memburu beko yang sedang menggali tanah
sawah.
Bagaimana rakyat tidak menjerit karena tanah sawah warga yang
di gali TNI AU adalah tanah pertanian produktif atau. Setahunnya
3 kali panen padi. Setiap panen per hektar menghasilkan sekitar
6 ton gabah kering giling. Dalam setahun berarti sawah tersebut
menghasilkan 18 ton gabah. Selain padi selingan ditanami
tanaman lain seperti palawija, ketimun yang sangat dibutuhkan
demi kelangsungan kehidupan warga.
Untuk itulah Persatuan Warga Tani Sukamulya Desa Sukamulya
Kecamatan Rumpin menuntut Presiden Republik Indonesia agar
memerintahkan TNI AU Untuk menarik pasukan TNI AU dari
lokasi proyek di Desa Sukamulya Kecamatan Rumpin Bogor.
Menuntun untuk menghentikan pengerukan tanah milik petani
untuk dijadikan lahan Water Training dengan pola pengerjaan
galian pasir. Menuntut agar mencabut Pernyataan TNI AU atas
klaimnya seluas 1000 Ha atas tanah milik masyarakat. Warga
juga ingin kebenaran dan keadilan ditegakkan dengan mengusut
sampai tuntas sekandal yang memotori kasus penyerobotan/
perampasan tanah sawah Masyarakat.***
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
22
BERITA DAERAH
Motor Terserempet, Anggota TNI Pukul Warga
“Merasa paling berkuasa”. Barangkali inilah ungkapan yang
paling pantas diberikan atas perilaku anggota TNI yang
menganiaya warga sipil, Emung (28) sampai korban
mengalami pendarahan dan luka serius pada bagian kepala
dan wajahnya. Bukan kali ini saja kita mengetahui peristiwa
tersebut. Sebuah perilaku diri yang merasa paling benar dan
merasa berhak menggunakan jalan kekerasan.
Peristiwa ini terjadi pada hari ini, Rabu, tanggal 22 November
2005 sekitar pukul 08.00 Wib. Bermula ketika sepeda motor
yang dikendarai sdr. Emung (28) secara tidak sengaja
menyenggol sepeda motor yang dikendarai pelaku. Pelaku
yang merupakan aparat TNI seketika marah dan turun dari
sepeda motor. Hanya sesaat setelah memarahi korban, pelaku
memukuli korban bertubi-tubi, dengan menggunakan
tangan dan helm. Akibatnya korban mengalami luka-luka
pada bagian kepala dan wajah.
Korban berusaha mengajak pelaku menyelesaikan
permasalahan ini secara baik-baik di kantor kepolisian. Tapi
pelaku menolak dan malah menunjukkan jaket dan pangkat
yang melekat di seragam TNI yang dikenakannya. Korban
berusaha membela diri, namun kesulitan karena postur
badan korban yang tak sebanding.
Peristiwa pemukulan ini baru berakhir setelah dilerai oleh
seorang aktivis Kontras bemama Irta Sumirta yang kebetulan
sedang melintas di Jalan Pramuka menuju kantor Kontras
di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat.
Setelah kejadian tersebut, Irta Sumirta mendampingi
korban melaporkan kejadian ini ke kantor Polsek
Matraman Jakarta Timur. Namun petugas polsek menolak
untuk menerima laporan tersebut. Alasannya, masalah
itu berada di luar kewenangan institusi Polri.
Selanjutnya korban bersama Irta Sumirta meninggalkan
kantor polisi. Tiba di kantor Kontras pada pukul 08.38 Wib
menemui Usman Hamid dan Ori Rahman untuk membuat
kronologis peristiwa secara tertulis. Staf Kontras memotret
Iuka-Iuka kondisi korban yang luka-Iuka sebagai bukti
yang diperIukan.
Usai membuat kronoIogis di kantor Kontras, aktivis
Kontras membawa korban ke rumah sakit untuk
pembuatan catatan medis (medical records). Setelah dari
rumah sakit, korban masih didampingi aktivis Kontras
melaporkan peristiwa ini ke Polisi Militer.
KontraS mendesak aparat penegak hukum segera
mengusut kasus ini, menangkap pelaku dan mengambil
tindakan tegas terhadap pelaku. Perilaku arogan dan
militeristik seperti ini harus segera dihentikan dan tidak
boleh dibiarkan, apalagi ditoleransi. Terlebih berlindung
dibalik baju dan posisinya sebagai aparat militer.***
Kematian Hardi Yang Misterius
Seorang terdakwa kasus penembakan yang menewaskan
dua warga negara Amerika Serikat di Timika, Hardi
Tsugumol (26 thn) meningal dunia di dalam tahanan Mabes
Polri (01/12). Hardi yang yang merupakan warga Timika
menjadi salah satu terdakwa dalam kasus yang terkenal
dengan istilah Mile 62-63 Timika (2002), ditangkap dan
ditahan di rutan Bareskrim Mabes Polri sejak 10 Januari
2006.
Hardi Tsugumol didakwa turut serta dalam pembunuhan
warga Amerika bersama terdakwa lainnya yakni Ishak
Onawame, Esau Onamawe, dan Yairus Kiwak, telah divonis
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 1,5 tahun
penjara. Mereka berempat dinilai memberi sarana bahan
makanan dan tenda dalam pembunuhan berencana dan
pembiayaan. Dimana dalam perkara yang sama, Antonius
Wamang divonis penjara seumur hidup, dan Agustinus
Anggaibak dan Julianmus Deikme divonis tujuh tahun
penjara.
Pengacara para terpidana kasus penembakan warga AS di
Papua, Johson Panjaitan menduga jaksa dalam kasus
tersebut melalaikan penetapan hakim yang berujung
kematian Hardi, karena sakit yang dideritanya. Padahal
sebelumnya, ketika proses persidangan masih berlangsung,
ketua majelis hakim, Andriani Nurdin, menetapkan agar
23
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
perawatan Hardi dipindah dari Rumah Sakit Polri
Kramat Jati ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Keluarga almarhum Hardi dan Warga Papua yang
sebagian besar berasal dari Front Persatuan Perjuangan
Rakyat Papua Barat Eksekutif Nasional Konsulat
Indonesia menuntut negara bertanggungjawab atas
meninggalnya Hardi, lewat penyataan sikap yang
dilakukan di depan Kejaksaan Agung, Jakarta (13/12).
Massa juga menuntut Kejari Jakarta Pusat mengotopsi
jenazah Hardi untuk mengetahui penyebab kematiannya.
Sebelumnya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
Abdul Hakim Ritonga menyatakan bahwa kematian
Hardi bukan tanggungjawab kejaksaan. pasalnya, ia
meninggal saat mejelis hakim sudah memutuskan
perkaranya. “Kalau perkaranya sudah dilimpahkan ke
pengadilan menjadi tanggung jawab pengadilan. Hardi
meninggal kan sesudah putusan, “ ujar Rintongga.
Rintongga juga membantah penyataan keluarga bahwa
jaksa mengabaikan surat perintah hakim agar membawa
Hardi Ke RS Harapan Kita, Jakarta. Menurut dia, tidak
pernah ada surat perintah hakim yang memerintahkan
jaksa membawa Hardi Ke RS Harapan Kita.***
BERITA DAERAH
Pengadilan HAM untuk Aceh
Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Nanggroe Aceh
Darussalam langsung menempatkan pasangan Irwandi YusufMuhammad Nazar sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh.
Sementara Persiden SBY memberi suara positif, menerima
hasil pemilihan Aceh sebagai komitmennya atas perdamaian.
Sedang di sebuah acara Partai Golkar, Wakil Presiden Yusuf
Kalla juga menyambut positif dan menggarisbawahi
pentingnya pemimpin baru Aceh melanjutkan pembangunan.
partisipasi korban di tingkat pengambilan kebijakan maupun
pelaksanaan di lapangan.
Ketiga, melakukan perubahan dan pembenahan BRA, di antaranya
mencakup aspek legalitas mandat yang kuat, program reparasi,
restrukturisasi Forum Bersama dan Badan pelaksana BRA dengan
melibatkan pihak-pihak yang memiliki intergritas HAM dan
partisipasi korban, serta menjamin akuntabilitas dan transparansi
keuangan BRA.
Respons positif kedua petinggi pemerintahan itu sangat
diperlukan. Selain meredam suara-suara minor yang paranoid
akan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), juga menyatakan
kesiapan untuk bekerja sama dengan pemimpin baru Aceh
guna melanjutkan nota perdamaian, memperbaiki nasib rakyat
Aceh agar sejahtera.
Keempat, akan menolak semua kebijakan militeristik atau kebijakan
darurat apa pun yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM
pada masa mendatang. Kelima, mendorong reformasi kepolisian,
sebagai polisi sipil yang profesional dan tanpa pandang bulu dalam
menjalankan fungsinya. Keenam, mendorong reformasi TNI yang
berfungsi sebagai alat pertahanan negara
semata dan tunduk di bawah otoritas
pemerintahan sipil.
teori,
Tanggal 29 November lalu, saat Usman
Hamid Koordinator KontraS menghadiri
pertemuan para korban konflik Aceh.
Seorang korban, Hasan, bercerita bahwa
anaknya telah hilang diculik (20/10/2000).
Saat kejadian, tempat berjualannya-pun
digerebek. Kini, Hasan tak punya modal
untuk membiayai hidup keluarga. PaskaNota Kesepahaman Damai RI-GAM,
Hasan
membuat
proposal
dan
mengirimnya ke Badan Reintegrasi Aceh
(BRA). Ia berusaha mencari tahu apakah
proposalnya disetujui dan dicairkan agar
bisa berjualan kembali. Akan tetapi, entah
mengapa, hingga kini BRA tidak
meresponnya.
“Secara
penyelidikan bisa
saja dilakukan.
tetapi, kapan akan
selesai karena
kasusnya banyak
dan sebagian
barang bukti sudah
hilang, “ kata
Saafroedin
Dari cerita itu, Usman menuturkan bahwa pengungkapan
pelanggaran HAM masa lalu masih relevan. Apalagi Hasan
tidak sendirian. Ia berkumpul dengan para perwakilan korban
dari Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh
Besar, Lhok Seumawe, Aceh Barat Daya, Bener Meriah, Aceh
Tengah, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Gayoe Lues, dan
Pidie.
Hari itu, para kandidat yang semula berjanji hadir, ternyata
tak muncul. Gazali Abbas mencoba untuk berbicara lewat
telepon, sementara pasangan Irwandi dan Nazar mengirim
utusan.
Enam butir kontrak
Meskipun demikian, korban bersepakat untuk bisa bertemu
para calon kepala pemerintahan Aceh. Ada 6 butir kontrak
politik yang ingin diajukan. Menurut Usman, yang pertama
adalah, kepala pemerintahan Aceh memastikan terbentuknya
lembaga-lembaga negara yang menjamin penghormatan dan
perlindungan terhadap HAM di Aceh, yaitu membentuk
Pengadilan HAM di Aceh untuk mengadili pelanggaran HAM
masa lalu membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) dan memperkuat keberadaan Komnas HAM perwakilan
Aceh dengan mandat setingkat Komisi Nasional HAM.
Kedua, melaksanakan program pemulihan (reparasi) terhadap
masyarakat korban pelanggaran HAM atas seluruh
penderitaan yang mereka alami, dengan melibatkan
Untuk tuntutan pertama dan kedua, korban
memberi bats waktu selama dua tahun.
Sementara untuk tuntutan ketiga, diberi batas
waktu selama dua tahun.
Perlu KKR
Pada akhirnya Usman mengusulkan kepala
pemerintahan Aceh perlu mencari terobosan,
khususnya untuk mengusut kasus-kasus masa
lalu. “Misalnya, bila ingin menempuh pengadilan
HAM, ia harus mampu menyakinkan DPR untuk
mengusulkan pengadilan ad hoc. Sesuai UUPA,
DPR tidak bisa menolak begitu saja, tetapi diwajibkan UUPA
berkonsultasi dengan legeslatif Aceh, “ ungkap Usman.
Sedang bila ingin membentuk KKR Aceh pasca putusan MK,
mereka ditantang mampu merumuskan formula yang tepat sesuai
dengan perangkat hukum yang ada. Mulai dari UUPA, regulasi
Qanun, hingga Keputusan Presiden. Di Negeria, Chad, dan Cile,
yang membentuk KKR adalah presiden, tidak lewat undangundang.
Hal senada diungkapkan oleh anggota Komnas HAM, Saafroedin
Bahar, mengakui, lembaganya kesulitan menyelidiki sejumlah
pelanggaran HAM di Aceh. Padahal, penyelidikan dibutuhkan jika
kasus akan diselesaikan di pengadilan HAM.
“Secara teori, penyelidikan bisa saja dilakukan. tetapi, kapan akan
selesai karena kasusnya banyak dan sebagian barang bukti sudah
hilang, “ kata Saafroedin. Dirinya menuturkan, penyelesaian
pelanggaran HAM di Aceh rencananya akan diselesaikan melalui
KKR. Namun, rencana ini kini sulit terlaksana karena MK
membatalkan UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR. Sesuai dengan
UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, jalan yang tersisa
hanya Pengadilan HAM.
Namun tetap ada jalan lain, menurut Usman, bisa merujuk
pengalaman Sierra Leone dan El Salvador yang membentuk KKR
sebagai hasil perundingan damai. Ini semua mensyaratkan
adanya kemauan kedua pihak, tanpa melupakan korban sebagai
pihak ketiga, Karena, korban telah menjadikan pengalaman masa
lalu yang traumatik sebagai guru yang berharga. mereka tak ingin
ada lagi pelanggaran HAM.***
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
24
BERITA DAERAH
Gusur dan Pukul, Itulah Satpol PP
Hak asasi manusia bagi wong cilik kini terus digilas
kepentingan modal. Lihat saja, beberapa pemerintah daerah
dalam mengatasi masalah kemiskinan di kotanya kerap kali
kini melakukannya dengan pendekatan represif. Permukiman
kaum miskin yang kumuh dianggap penyakit dan merusak
gemerlapnya kota. Dengan dasar Peraturan Daerah Nomor
11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, pemerintah daerah
Ibukota Jakarta mengusir kaum miskin. Terbitnya Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
semakin melegalkan penggusuran paksa.
Di sisi lain, persoalan pokok rakyat (terutama rakyat kecil),
yakni kebutuhan hak atas tempat tinggal dan akses ekonomi,
tidak pernah menjadi persoalan yang diperhatikan serius.
Justru sebaliknya, penggusuran paksa di Indonesia,
khususnya Jakarta, telah mencapai level cukup gawat. Dari
catatan bulan September- Desember 2006, tercatat tujuh
tempat penggusuran dilakukan. Dengan ratusan korban
keluarga yang tidak bisa lagi mendapatkan akses ekonomi
dan tempat tinggal.
Kewenangan Pol PP
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,
khususnya Pasal 120 yaitu yang mengatur tentang
keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Adapun
penjabaran tugas dari Satpol PP ini adalah, pertama,
membina
ketenteraman
ketertiban
masyarakat
(tramtibmas), kedua, memberi peringatan dini dan
penanggulangan pemeliharaan tramtibmas. Sedangkan yang
terakhir adalah tugas yang disandang Satpol PP adalah
penegakan peraturan daerah (perda) yang harus ditaati oleh
semua pihak dengan kewenangan prosedural.
Dari ketiga tugas tersebut terlihat jelas bahwa Satpol PP
memiliki wilayah tugas dari mulai pendekatan pengayoman,
pencegahan hingga penindakan bagi pelanggaran perda.
Dalam praktiknya, Satpol PP justru melakukan aksi-aksinya
dengan menampakkan brutalitasnya. Berbagai aksi
kekerasan semacam pemukulan, intimidasi, bahkan peristiwa
ini juga kadang memakan korban jiwa.
Sementara itu, dalam hal tugas penindakan ternyata tidak
ada “kewenangan prosedural” yang jelas dan terukur. Banyak
terjadi distorsi kewenangan serta benturan dengan
masyarakat. kebijakan tentang Satpol PP cenderung tidak
“manusiawi”, dimana dia dibenturkan dengan
masyarakat tanpa dibekali dengan pengaturan tehnis
maupun wawasan tentang hukum dan HAM. Akibatnya,
demi tugas, mereka akan melakukan tugasnya sewenangwenang tanpa menyadari bahwa apa yang dilakukannya
telah melanggar HAM dan hukum.
Bentrokan di sejumlah daerah
Pada (22/11), bentrokan terjadi antara warga kapal sandar
(lorong eks bank Pinaesaan) Jl Samratulangi- Manado
dengan petugas Polisi Pamong Praja. Bentrokan ini dipicu
karena penertiban yg dilakukan Pol PP terhadap salah satu
grobak. Akibat tindakan yang sewenang-wenang ini,
membuat warga emosi. Warga merasa bahwa Pol PP
terlihat sangat arogan, meski grobak tersebut berada di
halaman (dalam kintal) tapi Pol PP tetap terus mengobrakabrik barang tersebut.
Saat ditegur salah seorang warga agar lebih arif bertindak,
namun, Pol PP menanggapi teguran dengan emosi.
Akibatanya bentrokan tak terhindari. Terjadi lempar batu
antara warga dan Pol PP.
Di Medan, Sumatera Utara. Sekitar 50 orang Satpol PP
menyerang kantor Pos Medan (8/12). Peristiwa berawal
ketika anggota satpol PP menertibkan pedagang kaki lima
yang berjualan di depan kantor pos. Bukan hanya
menertibkan, namun Pol PP juga memukuli para pedagang
tersebut. Kemudian, para pedagang yang dipukuli lari ke
kantor pos. Meski pegawai kantor pos berusaha melerai,
namun para pendagang ini malah kembali dipukuli.
Akibat peristiwa ini Sri Wahyuni, (25) pejaga stan kantor
pos dan Pardi, (35) satpam mengalami luka. Sementara
itu satu mobil milik kantor pos besar Medan rusak serta
kaca-kaca kantor pos hancur.
Atas nama ketertiban umum dan entah atas nama apa
lagi, Satpol PP bertindak diluar kewenangannya. Mereka
kerap melakukan tindakan keras bahkan penganiayaan
bila melakukan tugasnya. Sebaliknya rakyat kecil
disalahkan dan dituding sebab dari persoalan.
Kekerasan Sat Pol PP
Periode Januari - Desember 2006
Sumber:Litbang Kontras
25
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
REMPAH-REMPAH
Jaksa Agung Tolak Sidik Penghilangan Aktifis
Setelah menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM atas kasus Trisakti dan
Semanggi serta Tragedi Mei 1998, sikap serupa kembali ditunjukkan Jaksa Agung
dalam kasus penghilangan orang secara paksa yang terjadi 1997-1998 (18/11). Dalihnya
sama harus ada keputusan politik DPR RI.
Sebelumnya (8/11/2006), rapat pleno Komnas HAM
menyimpulkan adanya bukti yang cukup terjadinya
pelanggaran HAM yang berat, khususnya kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam kasus Penghilangan Paksa
1997/1998. Komnas HAM menyatakan, terjadi tindak
kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk
perampasan kemerdekaan, penyiksaan, penganiayaan,
penghilangan orang secara paksa dan pembunuhan atas
24 orang yang diduga melibatkan 27 orang pelaku.
Komnas HAM meminta agar laporan ini ditindaklanjuti
oleh Jaksa Agung, DPR RI dan Presiden ke Pengadilan HAM
dan kepada korban dan keluarga korban diupayakan
rehabilitasi, kompensasi dan restitusi.
Keppres
hanya
bermakna bila ada
konfirmasi
dari
penyidikan Kejagung
atas
bukti-bukti
pelanggaran HAM
hasil penyelidikan
Komnas HAM.
Baik putusan DPR
ataupun
Keppres
harus mengatur suatu
kenyataan, fakta dan
Sumber: www.physorg.com
persoalan yang sedang
dan akan dihadapi,
bukan untuk mengatur sesuatu yang diandaikan ada.
Apalagi, DPR berada dalam domain politik dan tidak memiliki
wewenang dalam wilayah hukum.
Kesimpulan Komnas HAM jelaslah bukan sekedar kertas
laporan yang tak memiliki makna dan konsekuensi.
Maknanya jelas, aparat negara telah menghilangkan
sejumlah warganya dengan cara paksa, untuk tujuan
politik. Ini melanggar hukum universal HAM dan hukum
positif nasional, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan Jangan jadikan hambatan hukum
(crimes against humanity). Konsekuensinya negara harus
Dalam kasus TSS, putusan DPR memang
bertanggungjawab, mengakui adanya
lebih dahulu dari penyelidikan. Hal ini bisa
warganegara yang telah dihilangkan
Kesimpulan Komnas HAM
terjadi karena Panitia Khusus DPR
sekaligus menjelaskan nasib dan
jelaslah bukan sekedar kertas
dibentuk sebelum lahirnya UU 26/2000.
keberadaan mereka saat ini.
laporan yang tak memiliki
Yakni pada pertengahan 2000. Sehingga
makna dan konsekuensi.
Ironisnya, Jaksa Agung bersikeras tidak
yang seharusnya dilakukan adalah
Maknanya jelas, aparat
akan menindaklanjuti laporan dari
pencabutan rekomendasi DPR tersebut atas
negara telah menghilangkan
Komnas HAM dengan argumen belum
dasar tertib hukum, bukan kemudian
sejumlah warganya dengan
ada pengadilan HAM ad hoc. Kondisi ini
dijadikan seolah-olah hambatan hukum.
cara paksa, untuk tujuan
merupakan penafsiran sepihak yang
politik.
Saat ini, meski mentok di tingkat pimpinan
keliru dan tidak masuk akal. Jaksa Agung
dan baru dalam skala fraksi, DPR periode
merujuk Pasal 43 ayat 2 UU Pengadilan
HAM No. 26/2000. Yakni, Pengadilan HAM ad hoc dibentuk 2004-2009 telah menyetujui agenda pencabutan rekomendasi
atas usul DPR dan dengan Keputusan Presiden. Interpretasi DPR periode 1999-2004 yang menyatakan kasus TSS bukan
atas pasal tersebut mengandaikan rekomendasi DPR lebih pelanggaran HAM berat (15/06/06). Terakhir kali, urgensi
penyidikan oleh Kejagung ditegaskan oleh anggota Komisi III
dulu ketimbang penyidikan Kejagung.
DPR RI, Gayus Lumbuun (21/11/06).
Padahal, jika putusan DPR lahir sebelum penyelidikan
atau Keppres tentang pembentukan pengadilan HAM itu Malah, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh semasa menjadi
ada sebelum penyidikan, maka putusan DPR maupun Hakim Agung pernah menegaskan betapa powerless-nya
Keppres tersebut menjadi sangat pretensius karena telah rekomendasi DPR tanpa penyidikan Kejagung. Sementara
mendahului proses hukum (penyelidikan, penyidikan dan pada (4/9/2001) keluarga korban kasus TSS beraudiensi ke
Mahkamah Agung dan diterima oleh beberapa Hakim Agung.
penuntutan). Sehingga, proses penyelidikan dan
Saat itu, bersama dengan M. Taufik, Laica Marzuki dan Said
penyidikan menjadi tidak bermakna.
Harahap, Hakim Agung menyatakan rekomendasi DPR atas
kasus TSS tidak mengikat, tidak berkekuatan hukum, karena
Harusnya, penafsiran yang ideal untuk Pasal 43 ayat 2
itu diabaikan saja.
UU 26/2000 adalah usulan tersebut diajukan oleh DPR
setelah didahului penyelidikan (oleh Komnas HAM) dan Jika demikian, ada apa dengan Jaksa Agung saat ini? Mengapa
penyidikan (oleh Kejagung). Putusan DPR maupun terus menerus menolak?
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
26
REMPAH-REMPAH
Konvensi Anti Penghilangan Paksa
Mandat Negara untuk Ungkap Kasus Penculikan
Tepat pukul 10.00 waktu New York, tanggal 20 Desember
2006, Konvensi Internasional untuk Perlindungan Setiap
Orang dari tindakan Penghilangan Secara Paksa disahkan
oleh Sidang Majelis Umum PBB. Sebelumnya Konvensi ini
telah disahkan oleh Dewan HAM PBB pada bulan Juni 2006.
Selanjutnya, Konvesi ini akan terbuka untuk ratifikasi, dan
berlaku secara aktif (enter into force) 30 hari setelah 20 negara
meratifikasinya. Paling tidak 20 negara akan melakukan
ratifikasi secara terbuka pada tanggal 7 Pebruari 2007 di
Paris, Perancis.
Sebagai anggota AFAD (Asian Federation and Enforced or
Involuntary Disappearance), KontraS dan IKOHI telah cukup
lama terlibat dan melakukan lobby-lobby baik ditingkat
nasional dan internasional atas proses pembahasan draft
Konvensi hingga Konvensi disahkan.
Konvensi ini merupakan mekanisme hukum internasional
yang mengikat setiap negara yang telah meratifikasinya
untuk penyelidikan dan penuntutan atas terjadinya kasus
penghilangan paksa. Upaya ini bisa dilakukan oleh Badan
Pelaksana Konvensi yang bernama Komite Penghilangan
Paksa yang terdiri dari 10 orang. Komite inilah yang akan
memastikan bahwa setiap negara peratifikasi (state parties)
patuh pada aturan-aturan yang disebutkan dalam
Konvensi. Keluarga korban juga memiliki akses langsung
ke Komite ini dengan melaporkan kasus yang telah terjadi
pada anggota keluarga mereka.
Ditingkat nasional, Konvensi ini menjadi sangat relevan
karena pemerintah memiliki hutang pada keluarga
korban dalam bentuk proses penyelidikan dan
penuntutan oleh Jaksa Agung melalui Pengadilan HAM
atas kasus Penghilangan Paksa 1997-1998. Pengesahan
Konvensi harus dijadikan momentum bagi pemerintah
untuk tidak mementahkan hasil penyelidikan Komnas
HAM.
Sikap positif delegasi Indonesia di PBB dalam
memberikan dukungan pada pengesahan Rancangan
Konvensi di Sidang Dewan HAM bulan Juni 2006 lalu,
dan pada Sidang Komite III Majelis Umum PBB harus
segera direalisasikan oleh instansi Jaksa Agung dengan
melakukan penyelidikan dan penuntutan atas kasus
penghilangan paksa 1997-1998.
Untuk membuktikan komitmennya, Pemerintah
Indonesia juga harus menjadi bagian dari negara-negara
yang akan melakukan ratifikasi terbuka pada tanggal 7
Pebruari di Paris. Semua ini penting dilakukan karena
seruan internasional yang muncul dari Konvensi
tersebut adalah untuk melindungi hak semua orang
untuk tidak dihilangkan secara paksa. ***
“ Setiap tindakan penghilangan orang dengan paksa merupakan suatu tindak pidana terhadap
martabat manusia. Tindakan ini dinyatakan sebagai pengingkaran terhadap tujuan-tujuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sebagai suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kebebasankebebasan dasar yang serius dan nyata, yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan ditegaskan kembali dan dikembangkan dalam instrumen-instrumen internasional
dalam bidang ini”.
Pasal 1 (1) Deklarasi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan secara Paksa
“Tidak satu pun negara dapat melaksanakan, mengijinkan, atau mentolerir penghilangan orang
dengan paksa”.
Pasal 2 (1) Deklarasi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan secara Paksa
“ Setiap negara harus menjamin dilarangnya setiap perintah atau instruksi yang mengarahkan,
memberi wewenang, atau menyarankan penghilangan orang dengan paksa”.
Pasal 6 (2) Deklarasi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan secara Paksa
27
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
REMPAH-REMPAH
Peringatan Semanggi I
DPR Harus Berani Buat Terobosan Kasus TSS
Keluarga Korban Trisakti, Semanggi I dan II, korban dan
keluarga korban kekerasan orde baru, aktivis mahasiswa
dan sejumlah LSM dalam momentum peringatan
peristiwa Semanggi I,
kembali meminta DPR
menggunakan
kewenangannya
mengeluarkan
rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk
Pengadilan HAM ad hoc atas kasus TSS.
pula pemasangan/pameran photo-photo dari tragedi ini. Tak
lupa dilakukan tabur bunga tepat di lokasi terbunuhnya
Wawan. Yang dilanjutkan dengan mimbar bebas dan
pernyataan sikap bersama dari jaringan yang terlibat dalam
penuntasan kasus TSS. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan
ziarah ke makam BR Norma Irmawan (Wawan) di TPU Joglo
dan makam Sigit Presatyo di TPU Tanah Kusir.
Tuntutan ini kembali digulirkan, karena hingga kini DPR
masih setengah hati, penuh keraguan dan cenderung
mengabaikan penuntasan kasus TSS. Sikap DPR ini jelas
terlihat dari tidak
adanya
kemajuan
langkah politis yang
ditempuh
setelah
Komisi III (Juni 2005),
meminta DPR agar
dalam
sidang
Paripurnanya mereka
mencabut rekomendasi
DPR periode 1999-2004
yang menyatakan kasus
Trisakti Semanggi I dan
II (TSS) sebagai bukan
pelanggaran
HAM
berat.
Saat malam menjelang, acara dilanjutkan dengan kegiatan
misa di rumah ibu Sumarsih. Setelah itu korban dan keluarga
korban mengisi acara
“Republik Mimpi” di
stasiun Metro TV.
Dok. Kontras
Kegiatan-kegiatan ini
dimaksudkan untuk
bersama menjaga agar
memory
colletive
mahasiswa
dan
masyarakat luas bahwa
kasus Trisakti Semanggi
belum dituntaskan.
Termasuk merangkul
masyarakat luas agar
m e m b e r i k a n
dukungannya
bagi
penuntasan kasus ini.
Yang
terpenting
menjaga konsistensi
gerakan mahasiswa dan
pemuda untuk terus
memperjuangkan
keadilan bagi peristiwa
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Keengganan DPR untuk
membahas kasus ini
juga terlihat dari
Aksi Peringatan Semanggi I
pernyataan
yang
berulangkali,
disampaikan
oleh
Ketua DPR Agung Laksono (Fraksi Golkar) yang
mengatakan DPR tidak akan membahas kasus TSS. Pada
akhirnya bola panas kasus ini dikembalikan lagi ke Komisi
III DPR (akhir Februari 2006).
Perjalanan kasus ini di DPR menggambarkan dimensi
politis kasus ini yang begitu kental bagi kalangan elit
politik. Dipimpongnya kasus TSS ini lebih
menggambarkan bagaimana elit partai, pemerintah dan
para pelaku (TNI/Polri) masih memiliki relasi yang kuat
untuk mempertahankan impunity.
Momentum peringatan
Sementara itu, momentum peringatan Semanggi I (13/11)
diperingati dengan serangkaian acara. Persis di depan
Kampus Universitas Atmajaya, yang menjadi saksi bisu
peristiwa ini, dilakukan pembukaan posko TSS,
pemasangan spanduk dukungan tandatangan. Diadakan
Keesokan harinya (14/11), kegiatan dilanjutkan dengan aksi
ke DPR, MA, dan Istana Presiden. Aksi diikuti sekitar 200-an
orang dari jaringan penuntasan kasus TSS. Dalam aksinya di
gedung DPR disuarakan agar DPR segera mencabut
rekomendasi Pansus 2001 yang menyatakan kasus TSS bukan
pelanggaran berat HAM dan segera membawa hasil kajian
komisi III ke sidang paripurna DPR. Sedangkan di MA, peserta
aksi meminta MA mengeluarkan fatwa bahwa putusan
Paripurna DPR pada pertengahan 2001 yang mengatakan
tidak adanya pelanggaran berat HAM pada kasus TSS
bukanlah putusan hukum karena DPR bukanlah lembaga
yudikatif. Sedang saat melakukan aksinya di depan Istana
Merdeka, mereka menuntut Presiden mengeluarkan Keppres
pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk TSS, termasuk
meminta Kejagung melakukan penyidikan. Aksi diakhiri
dengan pembacaan statement bersama yang berisi tuntutan
penuntasan kasus TSS, dan pemenuhan hak-hak korban.***
“ Takutlah pada rasa takut itu sendiri, karena rasa takut itu bisa membunuh inteligensi dan kecerdasan kita”
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
28
REMPAH-REMPAH
Peradilan Umum Berlaku Bagi Militer
Setelah sekian lama mengalami kebuntuan akibat silang pendapat mengenai yurisdiksi Peradilan
Militer, pembahasan RUU Peradilan Militer agaknya akan bisa dilanjutkan oleh Pansus Peradilan
Militer setelah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan setuju bahwa prajurit TNI yang
melakukan tindak pidana umum akan diadili di peradilan umum.
Peryataan SBY yang disampaikan melalui Menteri Hukum
dan HAM Hamid Awaludin tersebut mencairkan kebuntuan
pembahasan RUU ini. Karena sebelumnya oleh Menteri
Pertahanan Yuwono Sudarsono, yang ngotot menolak
jurisdiksi peradilan umum
amanat UU no.34 tahun
2004 tentang TNI.
Juwono
menawarkan
keberadaan Hakim dan
Jaksa sipil dalam Peradilan
Militer sudah cukup
sebagai implementasi UU
No 34 Tentang TNI perihal
jurisdiksi peradilan umum
untuk TNI. Lebih jauh,
Juwono
menyatakan
perlunya
dilakukan
perubahan
KUHAPM
sebagai konsekwensi untuk
melakukan perubahan
kewenangan Peradilan
Militer.
Suasana peradilan umum
Pernyataan
ini
juga
menjadi sebuah langkah
mundur terkait dengan reformasi TNI sebagai bagian dari
agenda transisi demokrasi di Indonesia, dan merupakan
counter terhadap prinsip peradilan dan penegakan hukum
yang akuntabel bagi anggota TNI berbasis yurisdiksi
kejahatan. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
praktek impunitas dan upaya untuk mempertahan
keistimewaan TNI. Padahal, seharusnya TNI memiliki status
yang sama dengan warga sipil di muka hukum.
Karenanya Pernyatan SBY sekaligus menjadi klarifikasi dari
pemerintah bahwa pemerintah tetap menghormati substansi
yang ada dalam TAP MPR VII/MPR tahun 2000 tentang TNI
dan Polri serta UU nomor 34 tentang TNI yang secara tegas
menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk pada kekuasaan
peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan
tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum.
Reformasi sektor keamanan
Dengan demikian sesuai dengan harapan banyak orang,
dalam waktu dekat RUU tersebut sudah bisa diselesaikan
dan diundangkan, sehingga kita bisa memasuki satu babak
baru dalam proses demokratisasi dan reformasi sektor
keamanan di Indonesia. Karena bagaimanapun juga,
substansi dari RUU Peradilan Militer ini merupakan salah
satu ukuran sejauh
mana kita sebagai
bangsa mampu dan
Dok. Kontras
berkehendak untuk
menjunjung tinggi
prinsip equality before
the
law,
serta
k o n s i s t e n
m e m b a n g u n
supremasi
sipil
dalam kehidupan
politik dan hukum
kita.
Berkaitan dengan
hal-hal
tersebut,
maka Pokja RUU
Peradilan Militer
m e n y a t a k a n
menyambut
baik
sikap pemerintah,
dalam
hal
ini
Presiden SBY untuk mempertegas jurisdiksi peradilan
militer terbatas pada tindak pidana militer. Sikap tersebut
harus dimanifestasikan secara tertulis sebagai sebuah
kebijakan resmi dari pemerintah, sehingga segera dapat
ditindaklanjuti oleh semua pihak yang berkaitan dengan
proses reformasi sektor keamanan umumya, dan reformasi
peradilan militer khususnya.
Sementara itu DPR harus segera beranjak pada
pembahasan substansi-substansi berikutnya dalam RUU
ini, seperti hubungan dengan peradilan umum, jenis-jenis
tindak pidana/kejahatan militer, eksistensi peradilan
militer di masa damai, dan lain-lain.
Disamping itu harus segera disusun langkah-langkah
persiapan bagi proses transisi perubahan jurisdiksi
peradilan militer ini. Baik persiapan aparat peradilan
umum untuk mengadili prajurit TNI yang melakukan
tindak pidana umum, maupun persiapan prajurit TNI
untuk diadili di peradilan umum ketika melakukan tindak
pidana umum.***
“ Semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi apapun”
(Pasal 26 Kovenan Hak Sipil dan Politik)
29
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
REMPAH-REMPAH
DPR Harus Prioritaskan RUU KMIP
Proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Sementara pasal 24-27 mengatur kewenangan Dewan rahasia
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) Negara antara lain untuk memperpanjang masa retensi,
terkesan berjalan lambat dan tanpa target jelas. Padahal menolak memberikan informasi yang dikategorikan rahasia
sudah 6 tahun RUU KMIP dinantikan oleh publik guna dan menyatakan bocornya rahasia negara.
mendorong reformaasi birokrasi, pemberdayaan
masyarakat sipil, peningkatan kinerja pemberantasan Hal lainya, pemerintah mulai serius memperjuangkan RUU
korupsi dan peningkatan pelayanan publik. Dengan kata Rahasia Negara setelah ke1uarnya Amanat Presiden tentang
RUU KMIP bulan Februari 2006. Ini
lain, RUU KMIP merupakan perangkat
menunjukkan bahwa pemerintah phobia dan
penting untuk menuntaskan agenda
tidak paham tentang keterbukaan informasi,
Informasi publik
demokratisasi
dan
perwujudan
serta menonjolkan dalil-dalil keamanan
kekuasaan yang bersih dan akuntabel.
memperkuat partisipasi
nasional sebagai kedok untuk menutuppublik dalam pembuatan
Sayangnya, kesadaran publik akan
nutupi wajah birokrasi yang korup.
keputusan. Tanpa
pentingnya keterbukaan informasi
informasi tidak ada
tersebut tidak mendapat tanggapan
Salah kaprah
komunikasi. dan
positif dari DPR dan pemerintah. Proses
kebebasan informasi
Hal senanda terungkap dalam diskusi di
pembahasan RUU KMIP tidak
membangun tingkat
DPR, Dr. Edy Prasetyono dari CSIS
memperlihatkan adanya keseriusan dan
kepercayaan publik
menyatakan bahwa ada salah kaprah dalam
terkesan berjalan tanpa arah. Banyak
memahami kebebasan memperoleh
kepada pemerintah.
kesempatan yang diagendakan untuk
informasi.
Hal
tersebut
sangat
pembahasan RUU KMIP dibatalkan
memprihatinkan. Ini terutama yang
tanpa alasan jelas. Akibatnya,
pembahasan RUU KMIP yang dimulai sejak bulan Mei 2006 dikatakan Wapres Jusuf Kalla bahwa kebebasan informasi
hingga kini baru memasuki Daftar Isian Masalah no.134. mendorong kebebasan dari Barat, lalu kebebasan informasi
Itu berarti, masih tersisa 200 DIM yang harus dibahas oleh menjadikan negara telanjang dan bahkan keutuhan NKRI
terancam. “Sekarang kita tidak banyak tahu apa yang
DPR dan pemerintah.
dilakukan oleh pemimpin kita. Lalu ada juga pandangan
Pembahasan DIM yang tersisa membutuhkan keseriusan bahwa kebebasan informasi berpotensi menganggu
DPR dan pemerintah. Apalagi masih banyak persoalan ketertiban dan keamanan masyarakat,” ujar Prasetyono.
krusial yang akan diperdebatkan dalam Panitia Kerja
antara DPR dan pemerintah. Itu berarti, tanpa ada Sementara Roman Lendong dari Visi Anak Bangsa
keseriusan
DPR
dan
pemerintah
dengan mengatakan, harusnya pemerintah menyadari bahwa yang
menempatkannya RUU KMIP sebagai prioritas, maka didorong dalam RUU KMIP ini adalah masalah informasi
pengesahan RUU KMIP masih belum pasti dan publik. UU KMIP diperlukan antara lain karena sebagai
tuntutan demokrasi bahwa informasi bagian dari kebebasan
memerlukan waktu panjang.
HAM.
Persoalan lain yang menghadang RUU KMIP adalah
kemunculan RUU Rahasia Negara (RN). Meski RUU RN Informasi publik memperkuat partisipasi publik dalam
baru masuk ke DPR, namun sudah tersiar kabar bahwa pembuatan keputusan. Tanpa informasi tidak ada
DPR akan segera membahasnya. Hal ini memperlihatkan komunikasi. dan kebebasan informasi membangun tingkat
bahwa DPR setengah hati atau bersikap standar ganda kepercayaan publik kepada pemerintah.
terhadap RUU KMIP. Di satu sisi DPR memberi perhatian
terhadap legislasi RUU KMIP, namun di sisi lain DPR Terkait persoalan tersebut, Yayasan Visi Anak Bangsa,
KontraS dan Koalisi Kebebasan Informasi menuntut DPR dan
memperjuangkan RUU Rahasia Negara.
pemerintah harus memprioritaskan pembahasan RUU KMIP
Jika dicermati, kemunculan RUU Rahasia Negara agar bisa segera disahkan menjadi UU KMIP sebagai
merupakan bentuk resistensi negara terhadap RUU KMIP. pedoman penting dalam mewujudkan demokrasi dan good
Hal itu bisa dilihat dari dua hal. Yakni, secara substansi, governance.
RUU RN mengandung pasal-pasal yang berpotensi
mengabaikan kebebasan infomasi. Pasal 1 ayat 10 RUU DPR hendaknya menolak RUU RN karena karakternya yang
RN menegaskan bahwa instansi adalah pemilik dan cenderung mengabaikan kebebasan informasi dan
pembuat rahasia negara. Demikian pula pasal 4 mengancam keselamatan masyarakat sipil. Sedangkan
menyebutkan 7 ruang lingkup rahasia negara meliputi masayarakat sipil yang pro-demokrasi hendaknya
hubungan luar negeri, pertahanan, intelijen, ketahanan mengambil inisiatif untuk memobilisasi kekuatan
ekonomi nasional, proses penegakan hukum, persandian perlawanan terhadap agenda-agenda yang dimaksud
dan pengamanan aset vital negara.
memperkuat negara dengan mengorbankan masyarakat.***
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
30
REMPAH-REMPAH
Seleksi Hakim Agung
Peraturan dan Standar Yang Tak Jelas
M a h k a m a h
Konstitusi (MK)
dalam
putusan
perkara No. 005/
PUU-IV/2006 yang
diajukan oleh 39
Hakim
Agung,
pasal-pasal yang
berkenaan dengan
ketentuan prosedur
pengawasan hakim.
Aksi depan gedung Mahkamah Agung
Dalam putusan ini,
obyek pengawasan
Komisi Yudisial
terhadap Hakim Agung dinilai tidak bertentangan dengan
pasal 24B (1) UUD 1945. Namun bagi hakim konstitusi, MK
membatalkan ketentuan (pasal 1 angka 5 UU KY) yang
menyatakan hakim konstitusi sebagai obyek pengawasan
dari Komisi Yudisial.
Dalam pertimbangan putusan tersebut MK beralasan bahwa
hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai
profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hal ini
berbeda dengan hakim hakim agung yang pada dasarnya
adalah hakim. Disamping itu, agar tidak menimbulkan conflict
of interest dalam menyelesaikan sengketa kewenangan, maka
hakim konstitusi diawasi oleh Majelis Kehormatan;
Dalam konsep cheks and balances yang lebih tepat KY hanya
lembaga supporling element dari lembaga (tinggi). Oleh karena
itu, tugas dan fungsi KY adalah untuk menunjang peran
Mahkamah Agung dalam hubungan yang bersifat kemitraan
(parlnership); KY tidak bisa mengawasi hal-hal yang bersifat
teknis administratif dan judicial (putusan).
UU KY tidak rinci mengatur prosedur pengawasan, tidak jelas
dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa
objek yang diawasi, instrument apa yang digunakan serta
bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Sehingga
ketentuan menjadi kabur dan menimbulkan ketidakpastian
hukum. Selanjutnya MK merekomendasikan agar dilakukan
revisi secara menyeluruh terhadap UU KY, UU MA, UU KK
dan UU MK.
Lantaran kondisi tersebut diatas Kontras meminta
pemerintah segara mengeluarkan Peraturan Pengganti
Undang-Undang (Perpu) tentang Komisi Yudisial, dengan
mendasarkan perumusannya, utamanya pertimbangan
hukum yang telah dimuat dalam Putusan MK.
Standar Penilaian KY diragukan
Sementara itu, sebelumnya (6 /11) KY telah meloloskan enam
nama calon hakim Agung yang telah diajukan ke DPR RI.
Proses seleksi ini sendiri berlangsung panjang dan memakan
biaya sekitar Rp 2 miliar. Namun yang sangat disayangkan,
31
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
temyata KY masih meloloskan calon-calon yang secara
kualitas, integritas, dan visi dan misi dalam melakukan
reformasi di MA masih diragukan.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa standar penilaian
yang dilakukan oleh KY menjadi patut dipertanyakan.
Masih lolosnya calon-calon yang antara lain berstatus
tersangka korupsi, menggunakan fasilitas negara untuk
kepentingan pribadi, menerima dana muspida, dan
melakukan perbuatan tercela menunjukkan bahwa KY
menerapkan standar yang rendah untuk menilai integritas
seorang calon. Hal lain juga menunjukkan bahwa KY telah
bersikap kompromis terhadap tidak berintegritasnya dan
tidak bermartabatnya seorang calon.
Untuk memilih hakim yang benar-benar agung maka
penilaian mengenai integritas dari calon haruslah menjadi
prioritas utama. Karena yang dibutuhkan untuk
melakukan perubahan MA termasuk membersihkan mafia
peradilan saat ini adalah hakim agung yang tidak memiliki
cacat dari sisi integritas. Bagaimana mungkin bisa
berharap agar calon hakim agung mampu melakukan
perubahan di MA jika dari sisi integritasnya sendiri
diragukan.
Tidak hanya dari soal integritas, patut juga dipertanyakan
mengenai standar penilaian KY terhadap kualitas dari
calon. Dari hasil proses seleksi wawancara yang dilakukan
oleh KY juga terlihat bahwa sebagian besar dari calon
memiliki persoalan secara kualitas. Sebagian besar calon
hakim agung temyata tidak cukup menguasai secara baik
mengenai teori dan atau praktek hukum. Namun lagi-Iagi
kelemahan ini tetap ditolerir oleh KY dan selanjutnya
meloloskan para calon.
Bagimana mungkin orang-orang tersebut diharapkan
mampu memberikan putusan yang berkualitas jika orang
tersebut tidak memillik kualitas. Sebab putusan
pengadilan yang berkualitas hanya lahir dari seorang
hakim yang berkualitas.
Oleh karena itu, maka KontraS mendesak KY melakukan
evaluasi dan memperbaiki seleksi calon hakim agung
dengan menetapkan standar penilaian yang tinggi,
khususnya terhadap aspek integritas, kualitas,
profesionalitas seorang hakim agung.
Sementara untuk DPR RI khususnya Komis III DPR RI
harus secara aktif melakukan investigasi terhadap calon
hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial dan
mendorong masyarakat untuk aktif memberikan masukan
mengenai track record calon. Disamping menerapkan
standar penilaian yang tinggi dan hanya memilih calon
hakim agung yang benar-benar bersih, berintegritas,
berkualitas, profesional, serta memiliki visi dan misi
melakukan reformasi di MA. ***
REMPAH-REMPAH
Respon Pembentukan UPK3R
Perdebatan tentang keberadaan Unit kerja Presiden untuk Pengelolan Program
dan Reformasi (UPK3R) terus berjalan. Meski demikian pada akhirnya Presiden
SBY tetap mempertahankan pembentukan UPK3R melalui keputusan Presiden
Nomor 17 Tahun 2006.
Sikap untuk mempertahankan UKP3R itu dijelaskan oleh
Presiden SBY (9/11). Presiden mengatakan, pembentukan
UKP3R dengan lima tugasnya adalah bagian dari
tanggung jawabnya sebagai Kepala Pemerintahan untuk
memenuhi janji perubahan kepada rakyat. Lima tugas
UPK3R adalah pembaikan iklim usaha/investasi dan
sistem pendukungnya, pelaksanaan reformasi adminitrasi
pemerintahan, peningkatan kinerja BUMN, perluasan
peranan usaha kecil menengah, dan perbaikan penegakan
hukum.
Atas kondisi diatas, sejumlah lembaga masyarakat dan
individu yang bergerak di lapangan hukum dan hak-hak
asasi manusia, diantaranya yang mewakili mereka, Teten
Masduki (Indonesian Corruption Watch), Gadis Arivia
Effendi (Jurnal Perempuan), Usman Hamid (Kontras),
Rachland Nashidik (Imparsial), Bambang Widodo Umar
(dosen UI), Asvi Warman Adam (LIPI), dan Raffendi
Djamin (HRWG), mengajak masyarakat dan semua pihak,
terutama partai politik untuk memberikan kesempatan
kepada sejumlah orang yang tergabung dalam UPK3R
untuk bekerja.
“Kami memandang setiap inisiatif untuk mengatasi
kemacetan reformasi, khususnya dalam bidang hukum,
sebagai hal yang positif. Dengan perspektif inilah kami
menilai pembentukan UKP3R, yang salah satu tugasnya
membantu kelancaran penegakan hukum, dapat
dilaksanakan terlebih dulu, “ ujar Hendardi (PBHI).
Sikap bersama ini dinyatakan secara tertulis oleh mereka
karena reformasi hukum sebagai bagian fundamental dari
mandat reformasi demokratik di Indonesia masih
mengalami kemacetan substansial, lantaran terus
menerus mengalami ganjalan dan tantangan. Kondisi ini
menunjukkan kesenjangan yang lebar di antara komitmen
penegakan hukum yang berkali-kali disampaikan
Presiden dengan hasil-hasil yang dicapai pada tingkat
implementasi. “Pengungkapan kasus Munir yang berjalan
ke arah yang berbalikan dari kehendak Presiden adalah
contohnya, “tegas Usman.
Mereka juga menghargai polemik yang menanggapi
pembentukan UKP3R sebagai salah satu bentuk merayakan
kebebasan berpendapat. Namun mereka menentang keras
penggunaan isu-isu keagamaan dan sentimen kulural yang
picik di dalamnya, yang ditujukan untuk menghalangi atau
menyeleksi figur-figur yang ditunjuk oleh presiden bagi unit
kerja kepresidenan tersebut.
Terhadap wakil Presiden, mereka mengingatkan, etika politik
konstitusional mengharuskannya menghargai dan
melaksanakan keputusan yang telah diambil Presiden. Bukan
justru sebaliknya Presiden berkewajiban mendapatkan
persetujuan wakil Presiden terlebih dahulu.
Hiruk pikuk suara Golkar-Jusuf Kalla yang menentang
inisiatif presiden mempercepat pelaksanaan reformasi lewat
pembentukan UKP3R mengingatkan publik pada tindak
tanduk Golkar-lama yang anti reformasi dan haus kekuasaan.
Ini adalah suatu ironi yang luar biasa bagi partai Golkar
sendiri, yang di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung telah
bersusah payah membentuk Partai Golkar baru yang
menyatakan komitmen pada reformasi. Transformasi dari
Golkar lama ke Partai Golkar ini hanya berarti Golkar lama
telah dibubarkan dan adalah kewajiban bagi setiap anggota
Partai Golkar baru untuk mengubur ciri dan tradisi Golkar
lama yang haus kekuasaan semata.
Kita memandang setiap inisiatif untuk mengatasi kemacetan
reformasi demokratik, khususnya dalam bidang hukum,
sebagai hal yang positif. Dengan perspektif inilah
pembentukan UKP3R yang salah satu tugasnya adalah
membantu kelancaran penegakan hukum, perlu diberikan
kesempatan untuk bekerja lebih dahulu.***
Buku ini merupakan kumpulan cerita di sekitar
perjuangan gerakan mahasiswa tahun 1998-1999,
khususnya berisi perasaan dan kesaksian orang tua yang
kehilangan anak-anaknya akibat serangan pasukan
bersenjata dalam tragedi Trisakti Mei 1998, Semanggi I
November 1998 dan semanggi II September 1999.
Buku ini bisa di dapatkan di Kontras
Jalan Borobudur No. 14 Menteng
Jakarta Pusat. 10320
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
32
REMPAH-REMPAH
Dari Peringatan Hari HAM Sedunia Ke -58
Tahun Dimana Pemerintah Harus Malu!
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun ini kembali
diperingati dalam usia yang ke-58, tepatnya pada 10
Desember 2006 lalu. Hari ini tidak hanya orang-orang
mengulang-ngulang ritual tahunan, namun di hari ini setiap
manusia yang merdeka akan terus mengulang-ngulang
seruan kecaman bagi negara-negara yang masih juga
mengabaikan hak-hak rakyatnya. Di
hari ini pula korban pelanggaran
HAM mempertanyakan komitmen
setiap pejabat negaranya atas
penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan HAM bagi setiap warga
manusia yang hidup di tanah
Indonesia ini.
negara mengusung prinsip penegakan hukum tanpa
menghukum pelaku penjahat. Keenganan negara ini mulai
dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif, jelas nampak pada
kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan mereka
yang berkuasa. Kasus pembunuhan Munir, penembakan
mahasiswa TSS, tragedi Mei ’98, Penghilangan Paksa Para
Aktivis, kasus Talang Sari Lampung,
Tanjung Priok, Timor Timur ’99, kasus
pelanggaran HAM ’65, kasus-kasus
Dok. Kontras
pelanggaran HAM di Aceh, Papua,
hingga yang saat ini semakin parah
terjadi di Poso-Palu. Satu-satunya
obat yang negara tawarkan kepada
korban adalah melupakan masa lalu.
Sesuatu yang mustahil!
Peringatan Hari HAM Sedunia hari ini
merupakan momentum paling cocok
Mempermanis diri
bagi rakyat Indonesia untuk
mengingatkan kembali tanggung
Kita juga mempertanyakan motif
Aksi memperingati hari HAM
jawab negara terhadap pemenuhan
ratifikasi Kovenan Sipol dan Kovenan
hak-hak asasi warganya. Di awal
Ekosob, apakah untuk mempermanis
tahun ini Pemerintah RI telah
diri di muka komunitas internasional
meratifikasi dua instrumen HAM induk; Kovenan Hak-Hak atau menjadi komitmen politik negara kepada rakyatnya.
Sipil-Politik dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Sungguh janggal pada saat bersamaan Pemerintah RI
Budaya. Di tahun ini pula Indonesia menjadi anggota Dewan meratifikasinya, ribuan jemaat Ahmadiyah dan kelompokHAM dan Dewan Keamanan PBB. Dua posisi ini tidak bisa kelompok agama, kepercayaan, atau minoritas lainnya
menjadi sekedar kebanggaan negara, tapi juga menjadi beban dieksekusi di mana-mana. Mereka tidak hanya gagal
lebih tanggung jawabnya terhadap publik domestik. Suatu dilindungi negara namun juga menjadi sasaran empuk
kontradiksi bila suatu negara yang mau aktif dalam persoalan premanisme kelompok sipil. Ini adalah cermin bagaimana
internasional tetapi tidak becus mengatasi persoalan fundamen berbangsa di negeri ini mulai dilupakan negara.
domestiknya.
Prinsip dan norma pluralitas dan kebangsaan segera
Sungguh suatu keprihatian, merayakan Hari HAM Sedunia hanya ditemui di teks-teks buku sekolah ketika sentimendengan masih melihat bagaimana negara tidak juga sentimen agama, etnis menjadi entitas kebijakan politik.
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak
warganya. Reformasi berjalan saat ini hanya membawa
perubahan sangat minim bagi urusan HAM, itu pun hanya
ditingkat formalitas belaka. Norma-norma HAM hanya
sekedar tertulis dalam dokumen-dokumen negara, namun
rakyat biasa tidak juga bisa menikmatinya.
Sekian daftar panjang masalah pelanggaran hak asasi
manusia hingga kini tidak juga bisa dijawab oleh negara.
Persoalan kesejahteraan dan kualitas hidup tidak juga bisa
secara meyakinkan ditingkatkan oleh negara; pendidikan dan
kesehatan masih jadi kemewahan bagi orang miskin,
pengangguran dan PHK jadi gejala lazim keseharian, petani
kecil masih juga menghadapi persoalan klasik mereka, biaya
produksi yang mahal. Pemerintah masih juga menerapkan
kebijakan neo-liberalisme yang tidak pernah sukses
diterapkan oleh negara-negara berkembang.
Sementara itu di sektor lingkungan hidup kita menyaksikan
dampak besar yang ditimbulkan dari Kasus Lapindo, yang
jelas bencana karena ulah manusia, membuat kita berfikir
apakah benar negara adalah pelayan publik. Di bidang lain,
33
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Karena itu seluruh komponen bangsa yang merdeka
kembali menyerukan negara untuk segera memenuhi
konstitusionalnya sebagaimana yang sudah menjadi
komitmennya di hadapan komunitas internasional.
Merombak secara radikal kebijakan ekonomi dari yang
pro-pasar menjadi pro-publik dengan penguatan ekonomi
kelompok bawah, khususnya para pengangguran, petani
miskin dan para buruh.
Sementara penegakan hukum tidak boleh diskriminatif,
pandang bulu, dan selektif. Dimana, kasus-kasus
pelanggaran HAM berat harus segera dituntaskan. Negara
juga harus segera memberikan keadilan bagi para korban
dan keluarga korban, dan menghukum siapapun
pelakunya.
Terakhir, dan ada kata lain, negara harus kembali kepada
cita-cita mulia yang jadi pilar negara ini, pengakuan atas
pluralisme dan keberagaman Indonesia. Negara juga harus
menghapus segera kebijakan negara yang masih berlawan
arah atas prinsip ini.***
REMPAH-REMPAH
Kilas Balik Kondisi HAM 2006
Hak Asasi Manusia Belum Jadi Etika & Peradaban Politik
Tahun ini menjadi tahun yang kelabu bagi korban. Hari
ini kita berduka dan harus rela kehilangan satu lagi
kerabat tercinta, Bapak Enus Yunus, orangtua Hafidhin
Royan, mahasiswa yang tewas dalam unjuk rasa damai
di Trisakti, 12 Mei 1998. Kita juga kian prihatin dengan
kondisi hukum dan keadilan di tanah air, yang gagal
menghukum pelaku-pelaku pembunuh Munir.
Menyedihkan.
Pada tahun ini, ada beberapa arena HAM yang mengalami
kemajuan. Di tingkat PBB, setelah Dewan HAM, Indonesia
kini meduduki Dewan Keamanan. Indonesia mendukung
Pengesahan Konvensi Orang Hilang dan Deklarasi
Indigenous People. Di ASEAN, Indonesia cukup aktif
mempromosi demokratisasi di Burma, dan pembentukan
mekanisme HAM regional.
Pada di tingkat nasional,
perdamaian Aceh bahkan
berhasil menggelar pemilihan
kepala daerah langsung.
Pelanggaran HAM menurun,
dengan pengawasan Aceh
Monitoring Mission (AMM).
Keadaan
ini
membuat
terjadinya trust building antara
RI dan GAM. Namun hingga
kini, Pemerintah dan AMM belum
mampu menangani kasuskasus
kekerasan
dan
pelanggaran HAM pasca MoU.
konflik Aceh guna memperoleh keadilan. Penanganan
masalah Papua masih berputar-putar di permukaan. Polemik
PT Freeport dalam kasus-kasus pembayaran jasa keamanan
ilegal, pencemaran lingkungan hingga penembakan warga
sipil luput dari perhatian. Rencana Pemerintah merevisi
Otsus malah mengundang kecurigaan untuk menghapuskan
pasal-pasal krusial dalam UU Otsus, mulai dari soal
pembentukan partai lokal yang tak kunjung terealisasi,
Pengadilan HAM dan KKR.
Tahun Impunitas & Hilangnya Wibawa Hukum.
Tahun ini menjadi tahun gagalnya Pemerintah SBY untuk
mengadili mantan Presiden Soeharto atas dugaan kasus
korupsi yayasan dan kejahatan lainnya. Keputusan Jaksa
Agung mengeluarkan SKP3 dan dalih
kemanusiaan elite politik yang
mendukungnya, telah menihilkan
seluruh nilai moral dan politik dari
reformasi
mahasiswa.
Negara
membuat kejahatan masa lalu tak
memiliki arti, hilang dan tak
terdefinisikan. Agenda reformasi untuk
adili Soeharto dimatikan.
Penghentian
kasus
Soeharto
menyempurnakan ketiadaan hukuman
atas sejumlah kasus pelanggaran HAM
Dok. Kontras
masa lalu, antara lain peristiwa 1965Aksi menuntut penuntasan
1968, peristiwa Tanjung Priok 1984,
kasus pelanggaran HAM
Talangsari 1989, lalu penculikan aktivis,
penembakan mahasiswa, kerusuhan
Untuk keamanan dan penegakan hukum, Polri mulai mau politik, dan lain-lain. Jaksa Agung bersikap konservatif dan
menertibkan senjata api. RUU Anti Pornoaksi dan tidak berpihak pada korban. Mahkamah Agung
Pornografi batal disahkan pada Juni 2006. Presiden menggugurkan semua harapan korban akan keadilan dan
bersikap atas merebaknya kekerasan di masyarakat resisten terhadap upaya pembaharuan peradilan.
melalui pewacanaan nilai instrinsik Pancasila. Hubungan
antar agama membaik, berkat dialog lintas agama dari Di akhir tahun, Presiden SBY memberi remisi untuk
sejumlah organisasi sosial keagamaan, dan juga organisasi Pollycarpus (bebas) pada 25 Desember. Sebelumnya (3/11),
perempuan yang mempromosikan kebhinekaan bangsa Mahkamah Agung (MA) membatalkan vonis bersalah
Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan Pengadilan Negeri (PN) atas Pollycarpus pada pembunuhan
Munir, menghukumnya dua tahun penjara atas penggunaan
pasal karet soal penghinaan presiden.
surat palsu. Tak satupun pelaku diadili atas tewasnya aktivis
Meskipun ada kemajuan, ada banyak yang belum berubah, HAM Munir.
malah mengalami kemunduran. Refleksi akhir tahun
KontraS menyimpulkan, HAM telah memasuki tahap Institusi Reformasi Penopang HAM diserang
genting. HAM diserang dari segala penjuru. Bukan hanya
nilai, norma dan aturannya, tapi juga institusi penopang Tahun ini juga tahun pembusukan institusi-institusi
tegaknya HAM. HAM seharusnya memiliki peran utama reformasi. Berbagai komisi independen diserang wibawa dan
dalam politik, ekonomi dan hukum; tapi pada tahun ini keberadaaannya. Komisi HAM terus didelegitimasi dan
HAM dipinggirkan oleh cara pandang dan kepentingan makin tidak efektif, terakhir saat Jaksa Agung menolak
penyelidikan kasus penculikan aktivis 1997-1998. Komisi
elite penguasa.
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diaborsi. Komisi
Politik Presiden bukan politik HAM sejati. Proses Penyiaran Independen (KPI) dibayangi Depkominfo. Komisi
perdamaian Aceh cenderung menolak partisipasi korban Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lagi punya Pengadilan
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
34
REMPAH-REMPAH
Tipikor. Kewenangan Komisi Yudisial (KY) dipangkas. Komisi
Ombudsman (KON) diacuhkan. Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan diabaikan. Komisi
Pemilihan Umum (KPU) jadi sasaran tembak. Terakhir,
pembentukan UKP3R “diendapkan”.
DPR gagal membahas RUU KMIP. Presiden tak tegas menarik
RUU Rahasia Negara, termasuk RUU Intelijen Negara.
Presiden juga ragu-ragu RUU Revisi UU Peradilan Militer.
Hampir semua legislasi yang telah ada maupun akan
disahkan, lemah dari segi legitimasi korban. Keberpihakan
Mahkamah Konstitusi pada UUD 1945 seperti tampak pada
putusan pembatalan UU Tipikor dan KKR.
HAM diserang Wacana Anti Komunis
Banyak petinggi militer militer dan intelijen melemparkan
wacana bahaya komunisme, menuding/mencurigai aktifitas
korban, buruh dan masyarakat miskin kota sebagai
kebangkitan PKI. Tudingan ini dilakukan dengan cara
membuat deklarasi /posko, demonstrasi hingga aksi sepihak
membubarkan pertemuan korban-korban diskriminasi Orde
Baru sebagai kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ini menodai kebebasan, memicu prasangka bahkan
pertikaian horizontal. Bukan lagi melukai integritas personal
warga, tetapi ingin merusak fundamen kenegarankewargaan.
Terjadi juga serangan atas kebebasan sipil lainnya. Contoh,
serangan terhadap rumah ibadah jemaah Ahmadiyah di Loe
Ujung Bulukumba atau contoh lainnya, kriminalisasi
terhadap pers. Termasuk, pembubaran paksa acara-acara
seminar, diskusi, dan pemutaran film tentang HAM yang
terjadi pada kasus diskusi toko buku Ultimus di Bandung,
atau acara Pusham UNAIR di Balai Pemuda Surabaya.
Kelompok-kelompok ini mengatasnamakan ormas, para
militer dan front anti komunis. Negara bukan hanya
membiarkan kekerasan ini terjadi, bahkan terlibat langsung
di dalamnya. Pelaku yang menjadi korban umumnya adalah
para jurnalis, aktivis HAM, atau korban pelanggaran HAM
yang sedang menjalankan hak-haknya tersebut secara damai.
Padahal kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan
salah satu modal mendasar dalam reformasi.
Tahun Kemunduran Intelijen
Sementara, Badan Intelijen semakin mengalami kemunduran.
Badan intelijen gagal mencegah dan mendeteksi aksi teror
secara dini. Di tengah kegagalan itu, intelijen menjadikan isu
terorisme dan komunisme sebagai komoditas politik untuk
mendapat exesive power dan sebagai pemasung kebebasan.
Intelijen hanya bisa menuding tanpa bukti kongkrit,
melakukan propaganda untuk pengalihan perhatian. Intelijen
gagal bertindak secara profesional dengan tetap
mengedepankan HAM.
Gejala ini merupakan pola lama, yakni propoganda intelijen
untuk mengalihkan perhatian, dengan selubung ideologi dan
doktrin kedaulatan negara sebagai tameng perlindungan. Hal
35
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
ini jelas ingin mengembalikan perilaku rezim Orde Baru,
untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingan politik
tertentu. Ideologi komunis dijadikan sarana untuk
melancarkan tujuan, termasuk membenarkan proyek
pembentukan komunitas intelijen daerah (Kominda).
Apalagi dengan kondisi saat ini, ormas mudah
terprovokasi tentang bahaya komunis.
Tahun Kegagalan Polri Bangun Kepercayaan
Kinerja Polri belum berubah. Penanganan Polri dalam
menyelidiki dan menyidik kasus-kasus pidana juga jauh
dari maksimal. Faktor penyebabnya beragam, dari
ketidakjelasan penyidikan di tingkat kepemimpinan,
pengaruh eksternal hingga minimnya anggaran untuk
Penyelidikan dan Penyidikan. Contoh mengenai buruknya
kinerja Polri terlihat dalam penanganan kasus Munir, yang
jelas terkesan lambat, dan mencari-cari alasan teknis
untuk menunda penyidikan. Parahnya lagi, ketika hasil
kerja Polri berakhir dengan putusan Mahkamah Agung
dan pemberian remisi bagi Pollycarpus, yang diyakini
POLRI terlibat.
Sepanjang tahun 2006, Kontras mencatat 92 kasus yang
melibatkan aparat Polri. Keterlibatannya dari pelaku
tunggal hingga berkelompok. Kasus menonjol adalah
penganiayaan 36 Kasus dan penembakan 18 kasus.
Penembakan terhadap pelaku kriminal sejumlah 26 kasus.
Kasus lainnya adalah perkelahian antara aparat Polri dan
TNI. Sepanjang tahun 2006, terdapat 12 kasus. Sebab
terjadinya aksi ini adalah ada pihak merasa intitusinya
lebih tinggi dari institusi lain, atau terkadang masalah
pribadi melibatkan intitusi, rasa bangga yang berlebihan
terhadap intitusi.
Kultur militerisme juga belum hilang. Kontras mencatat
tindak
kekerasan,
pemukulan,
penembakan,
penyalahgunaan senjata api, penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang hingga penggunaan metode
penyiksaan oleh aparat Polri. Perilaku ini muncul saat
menghadapi pelaku kriminal, warga sipil, rekan sesama
Polri dan TNI. Perkelahian antar satuan Polri dan TNI
masih terjadi di tahun 2006.
Keadaan ini mencerminkan bahwa Polri belum
membangun jati dirinya, apalagi membangun “trust”.
Polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan dalam
negeri belum optimal mengelola potensi keamanan yang
yang ada. Akuntabilitas Polri tidak jelas. Disamping
sentralisasi masih dipertahankan. Koordinasi kerja antar
kesatuan Polri (Mabes, Polda, Polres) dalam operasi rutin
juga tidak jelas.
HAM rakyat bawah diserang kepentingan
ekonomi elite
Penguasaan akses ekonomi memicu militerisme aparat
pemerintah daerah. Aksi-aksi ini dilakukan saat
menggusur pasar tradisional, para pengusaha informal,
REMPAH-REMPAH
pemukim marjinal di perkotaan, hingga merampas tanah
milik penduduk. Pemerintah gagal menggunakan patokan
prosedur damai dan masih mempertahankan metode
represif. Tindakan ini merupakan hilangnya akal
pemerintah dalam mengidentifikasi akar persoalannya,
yaitu masalah kemiskinan. Penyelesaiannya, bukan
dengan cara menaikkan upah buruh, menyediakan tempat
untuk pedukung kaki lima, menyediakan rumah murah
bagi penduduk, tapi justru dengan pendekatan kekerasan
yang membawa mereka semakin terjerembab dalam
jurang kemiskinan.
penembakan, peledakan dan penemuan bom, ancaman atau
hasutan, penangkapan atau penahanan, serta penganiayaan
meningkat.Ketegangan konflik terus berupa dipicu, dengan
menunjukkan simbol-simbol agama atau hasutan dan
ancaman mengatasnamakan agama, walau jelas terlihat
bahwa yang terjadi bukanlah konflik agama. Negara telah
membiarkan keterlibatan aparat semakin dalam.
Telah terjadi 19 kali pemboman serta 6 buah bom ditemukan
walau tidak meledak. Ancaman dan hasutan serta
pembakaran dan pengrusakan fasilitas publik juga menguat.
Korban meninggal mencapai 7 orang, akibat pemboman,
TNI Otonom dari Kontrol Politik dan Hukum penembakan maupun pembunuhan. Salah seorang pendeta
dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah ditembak orang tak
dikenal di tempat publik. Sedangkan
Tahun 2006 profesionalitas TNI tidak
bentrok massa dengan aparat Polisi/TNI
menunjukkan perubahan signifikan. Selain tetap
sebanyak
6
peristiwa,
yang
Di samping itu,
tak tersentuh oleh akuntabilitas HAM dalam
menyebabkan 2 orang meninggal dan 1
keterlibatan aparat
kasus pelanggaran HAM, anggota TNI kerap
orang luka-luka.
militer tampak dalam
terlibat sejumlah kasus penembakan,
kasus yang cukup
penganiayaan, penculikan dan penangkapan
Sementara,
pemerintah
masih
menyita
perhatian,
sewenang-wenang. Pada kasus kriminalitas
menggunakan cara-cara parsial untuk
yaitu penggunaan
banyak didapati anggota TNI terlibat narkoba
menyelesaikan konflik yang terjadi sejak
dan skandal senjata. Catatan buruk ini
senjata api untuk
1998. Dilalui dengan pro dan kontra,
mempersulit reformasi TNI.
perampasan, pencurian hukuman mati terhadap Fabianus Tibo,
Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu –
secara kasar.
Dalam catatan KontraS, terdapat 27 peristiwa
yang dianggap dalang dari konflik 1998dengan rincian sekitar 45 bentuk kasus
akhirnya dilaksanakan. Padahal, selain
kekerasan yang dilakukan aparat TNI. Kasus ini tersebar melanggar hak mendasar manusia, hukuman mati terhadap
di 11 provinsi di Indonesia. Bentuk-bentuk kekerasan yang Tibo dkk justru menutup kemungkinan diadakannya
paling sering terjadi adalah penganiayaan dan penyelidikan atas aktor-aktor yang terlibat saat awal konflik
penembakan, beberapa diantaranya berakibat kematian 1998. Seperti yang tampak dari terhentinya proses
pada korban, termasuk perempuan dan anak-anak. Aparat pemeriksaan atas 11 nama yang dinsebutkan Tibo dkk dalam
militer juga terlibat dalam 36 peristiwa kriminal di persidangan. Hukuman mati terhadap Tibo juga terbukti
berbagai wilayah. Bentuk yang paling menonjol adalah tidak menghentikan teror dan kekerasan di Poso.
Narkoba, pencurian, perampokan atau perampasan.
Isu terorisme menjadi komoditas politik. Minimnya gagasan
Di samping itu, keterlibatan aparat militer tampak dalam komprehensif bagi penyelesaian Poso juga dilakukan melalui
kasus yang cukup menyita perhatian, yaitu penggunaan penangkapan-penangkapan secara sembarangan terhadap
senjata api untuk perampasan, pencurian secara kasar. pihak-pihak yang dituduh, melalui penggunaan UU Anti
Aparat militer juga terlibat dalam jaringan pencurian Terorisme. Tercatat telah terjadi 3 peristiwa penangkapan
mobil, illegal logging serta penggunaan narkoba dan miras sewenang-wenang yang menyebabkan 7 orang luka-luka.
Namun pelaku dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
yang memicu anggota TNI melakukan kekerasan.
Pelanggengan isu teroris ini terus dikembangkan dengan
Bentrokan atau permusuhan sesaat dengan satuan-satuan pengumuman 29 orang nama sebagai DPO. Penyederhanaan
Polri masih terus terjadi. Tercatat 12 kali peristiwa isu Poso menjadi isu teroris ini menjadi model bagi wilayah
bentrokan ini terjadi mengakibatkan 4 korban meninggal pemberantasan teroris di Indonesia.
dunia dan 13 orang luka-luka. Tahun ini ditandai pula
dengan penyimpanan senjata api diluar batas normal.
Dalam catatan KontraS sepanjang 2006 terdapat kasuskasus terkait kepemilikan senjata api. Baik itu yang
dimiliki secara illegal, diperjualbelikan secara tidak sah,
atau setidak-tidaknya ditemukan dan tidak diketahui
kepemilikannya.
Tahun Penuh Teror bagi masyarakat Poso
Tahun 2006 merupakan tahun yang terberat bagi
masyarakat Poso. Teror terus menghantui dalam berbagai
bentuk. Berbagai peristiwa kekerasan seperti
Sepanjang tahun 2006, isu-isu HAM berkembang pada ruang
publik yang terbatas. Pada bidang kehidupan institusiinstitusi formal, HAM dibatasi pada wacana dan retorika
institusi politik negara yang formalistik. HAM gagal
dijalankan sebagai agenda politik kenegaraan. Akibatnya,
politik negara dikalahkan oleh kekuasaan ekonomi modal,
dan dirusak oleh tindakan sekelompok orang yang ingin
membangun klaim kekuasaan ideologis sektarian. Sementara
itu, relasi-relasi kuasa masa lalu menghasilkan situasi
impunitas de facto dan de jure. Karena itu, Kontras menuntut
lembaga-lembaga tinggi negara untuk menghentikan
praktek-praktek politik yang dapat menghambat penegakan
HAM.
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
36
KABAR DARI SEBERANG
Eksekusi Saddam Hussein
Di penghujung tutup tahun 2006 ini, ditandai sebuah eksekusi mati terhadap seorang tokoh
internasional penting. Saddam Hussein, mantan penguasa Irak, dieksekusi dengan digantung
pada sekitar pukul enam pagi waktu Baghdad, 30 Desember 2006, di saat umat Muslim
merayakan Idul Adha.
Saddam Hussein divonis mati
pada tanggal 5 November 2006
setelah pengadilan (the Supreme
Iraqi Criminal Tribunal/SICT)
menyatakan ia bersalah atas
pembunuhan terhadap 148
orang dari desa al-Dujail setelah
upaya percobaan pembunuhan
yang gagal terhadap dirinya di
tahun 1982.
menemukan banyak cacat prinsipil dan prosedural. Sejak
awal proses persidangan bagi Saddam Hussein yang
dituduh bertanggung jawab atas praktek kejahatan
terhadap kemanusiaan/crimes against humanity sudah
menimbulkan kontroversi yang pekat. Mantan ditaktor
Irak ini dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan
massal 148 orang dari Kota al-Dujail pada tahun 1982
setelah ada upaya percobaan pembunuhan terhadap
dirinya. Sejak awal badan-badan PBB sudah menyatakan
bahwa invasi pimpinan Amerika Serikat ke Irak pada
tahun 2003 merupakan tindakan yang ilegal. Pembentukan
SICT juga merupakan tindakan sepihak yang melanggar
standar HAM universal. Seharusnya untuk dakwaan
seserius yang dituduhkan terhadap Saddam Hussein harus
diadili oleh mekanisme Tribunal HAM internasional, sama
seperti untuk kasus bekas negara-negara di Yugoslavia
(ICTY) dan di Rwanda (ICTR).
Persidangan terhadap Saddam
Hussein dimulai pada Oktober 2005, hampir dua tahun
setelah ia ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat dan
persidangan tersebut berakhir pada Juli 2006. Pengadilan
Banding/Tinggi Irak kemudian memperkuat putusan
pertama pada 26 Desember 2006
dan memerintahkan pelaksanaan
eksekusi dalam kurun waktu 30
Penyimpangan lainnya adalah
hari. Dua rekan Saddam Hussein
meskipun SICT didisain mirip
lainnya, Barzan Ibrahim al-Tikriti,
saudara tirinya yang pernah
dengan Tribunal HAM
menjabat sebagai Kepala Badan
internasional namun SICT
Intelejen Irak, dan Awad al Bandar,
menerapkan hukuman mati,
mantan Hakim Ketua pada
sementara ICTY dan ICTR -yang
Pengadilan Revolusioner Irak.
dibentuk atas resolusi Dewan
Mereka divonis mati dengan
dakwaan yang sama dengan
Keamanan PBB 808 (1993) dan
Saddam. Eksekusi mereka belum
955 (1994)- sudah tidak
ditentukan secara pasti, namun
memperbolehkannya. Sejak awal
tenggatnya tetap 30 hari setelah
SICT penuh dengan intervensi
putusan banding, 26 Desember
dari lawan politk Saddam
2006.
Unfair trial dari SICT terlihat dari
kegagalannya untuk menunjuk
perangkat pengadilan yang
imparsial dan independen.
Pemerintah AS mendukung pihak
penuntut dengan mengeluarkan ratusan ribu dollar AS
untuk mencari bukti yang memberatkan, sementara tim
pembela Saddam Hussein bekerja secara voluntaristik dan
sering mendapat tekanan. Kegagalan lainnya adalah
ketiadaan perlindungan terhadap saksi dan pembela
hukum. Sejak dimulainya persidangan sudah tiga pembela
hukum Saddam Hussein yang dibunuh. Monitoring
organisasi HAM internasional juga menunjukkan bahwa
Saddam Hussein tidak mendapatkan akses yang penuh
terhadap pembela hukumnya pada tahun pertama setelah
ia ditangkap. Praktek persidangan yang tidak independen
dan jujur ini merupakan preseden yang buruk bagi
reformasi institusi peradilan di Irak yang sedang
menjalani proses transisi.***
Hussein dan kepentingan
Pemerintahan Bush.
Eksekusi Saddam Hussein ini
menimbulkan berbagai reaksi keras
dari banyak perwakilan negara,
khususnya dari komunitas Uni
Eropa, beberapa Pelapor Khusus PBB, dan organisasiorganisasi HAM internasional. Eksekusi Saddam tidak hanya
melanggar prinsip hak atas hidup yang tidak mentolerir
praktek hukuman mati, namun juga eksekusi ini lahir lewat
sebuah proses peradilan yang tidak jujur dan mandiri (unfair
trial). Pelapor Khusus PBB tentang Kemandirian Pengadilan,
Leandro Despouy menilai persidangan Saddam Hussein dan
terdakwa lainnya tidak memenuhi standar dan prinsip
universal akan pengadilan yang independen/mandiri dan
mereka tidak mendapatkan hak-haknya sebagai terdakwa
secara memadai.
Beberapa organisasi HAM internasional –seperti Human Rights
Watch- yang memantau pengadilan Saddam Hussein
37
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
Penyimpangan lainnya adalah
meskipun SICT didisain mirip
dengan
Tribunal
HAM
internasional namun SICT
menerapkan hukuman mati,
sementara ICTY dan ICTR -yang
dibentuk atas resolusi Dewan
Keamanan PBB 808 (1993) dan 955
(1994)sudah
tidak
memperbolehkannya. Sejak awal
SICT penuh dengan intervensi dari
lawan politk Saddam Hussein dan
kepentingan Pemerintahan Bush.
KABAR DARI SEBERANG
Organisasi Regional Melawan
Penghilangan Orang secara Paksa
Asian Federation against enforced or involuntary
disappearance (AFAD) hadir ketika maraknya kasus
pengilangan secara paksa terjadi di beberapa wilayah Asia
seperti Indonesia, Philipina, Srilanka, Thailand, Khasmir,
Pakistan, India, Nepal dan lainnya. sebagai sebuah
organisasi yang berpayung federasi, AFAD membangun
komunikasi
dengan
beberapa
organisasi
keluarga
korban
penghilangan paksa di
Amerika Latin-FEDEFAM,
di Uni Eropa-Belarus
serta Afrika-RADIF.
bagi perjuangan AFAD khususnya korban dan keluarga
korban orang hilang.
Perjuangan AFAD kemudian tidak hanya untuk menuntut
penyelesaian
pertanggungjawaban
kasus-kasus
penghilangan Paksa tetapi juga upaya untuk mencegah
terjadi
berulangulangnya atas kasuskasus serupa (repetance).
Dok. Veronica
Upaya
tersebut
tercermin lewat agenda
AFAD yang sejak awal
mengusung perjuangan
draft
Konvensi
Perlindungan Setiap
Orang
terhadap
Tindakan Penghilangan
secara Paksa, sejak awal
draft itu muncul.
Seperti halnya beberapa
organisasi
korban
penghilangan paksa di
beberapa
wilayah
lainnya, AFAD memiliki
fokus keanggotaan di
wilayah
Asia
Dalam prakteknya,
diantaranya Indonesia,
agenda draft Konvensi
Srilanka,
Thailand,
itu diperjuangkan AFAD
Khasmir, Pakistan dan
di dua level, national
Nepal (yang baru saja
maupun internasional.
bergabung
menjadi
Lobby-lobby
yang
anggota pada pertemuan
sangat
intens
dan
massif
Peserta Seminar Konvensi
AFAD bulan Desember
dilakukan oleh masingPenghilangan orang secara paksa di Manila, 2006
2006 lalu di Khatmandumasing jaringan yang
Nepal). Awalnya AFAD
konsern dengan isu
terdiri dari organisasi kumpulan keluarga korban penghilangan paksa seperti FEDEFAM, FIDH, Linking
penghilangan paksa, tetapi berjalan kemudian kelompok Solidarity, RADIF. Lobby nasional masing-masing dilakukan
korban didampingi oleh para pendampingnya dalam di perwakilan anggota AFAD dengan mengunjungi beberapa
melakukan penuntutan kepada institusi negara. Akhirnya kedutaan.
anggota AFAD juga terdiri dari organisasi yang bukan saja
kumpulan keluarga korban penghilangan paksa tetapi juga Akhirnya, draft tersebut disahkan menjadi Konvensi oleh
organisasi pendamping dari keluarga korban seperti Sidang Majelis Umum PBB pada 20 Desember 2006 setelah
kontraS (Indonesia) dan Advocacy Forum (Nepal).
melalui proses yang cukup panjang. Tetapi, perjuangan belum
selesai, masih ada PR yang harus dilanjutkan yaitu
Dalam perjalanannya, AFAD mencoba berperan lebih jauh implementasi isi konvensi untuk masuk dalam ranah hukum
untuk memperjuangkan kasus penghilangan paksa yang nasional dengan proses ratifikasi lebih dahulu.
terjadi di Asia untuk dibawa ke tingkat internasional
diantaranya melalui Sidang Umum PBB setiap tahunnya, Keberadaan AFAD sebagai organisasi yang mesinergiskan
Kelompok kerja PBB untuk Penghilangan secara paksa dan menyatukan perjuangan korban dan keluarga korban
(UNWGEID). Berbagi pengalaman serta membangun penghilangan paksa telah membuka mata hati keluarga
solidaritas dengan beberapa organisasi orang hilang di korban khususnya bahwa fenomena penghilangan paksa
negara lain menjadi satu motivasi yang cukup penting merupakan fenomena dunia.
Tidak seorang pun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman keji. tidak manusiawi
atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek
eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.
(Pasal 7 Konvensi Hak Sipil dan Politik)
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
38
KABAR DARI SEBERANG
Augusto Jose Ramon Pinochet Ugarte
Setelah berpuluh-puluhan tahun menjadi subjek
perbincangan, diskusi, dan perdebatan di tingkat
internasional, mantan penguasa Cile, Augusto Jose Ramon
Pinochet Ugarte meninggal pada usia 91 tahun. Kematian
Pinochet sendiri kemudian masih mewarisi diskusi dan debat
tersebut, tidak hanya untuk publik Cile, namun juga bagi
publik Amerika Latin dan bahkan di tingkat dunia. Paling
tidak bagi masyarakat dunia ketiga yang memiliki
pengalaman peradaban yang mirip dengan problem
eksperimentasi model Cile-Pinochet.
Pinochet sebenarnya tidak lebih kejam dibanding para
diktator terkenal dunia ketiga lainnya yang berkuasa
dalam kurun waktu cukup lama; Soeharto, Marcos, Idi
Amin, dan lainnya. Di lihat dari jumlah korban, kejahatan
Pinochet tidak melebihi penjahat besar HAM lainnya.
Namun, Pinochet menyumbang suatu metode pelanggaran
HAM keji baru pasca era Hitler, yaitu penghilangan paksa
dan penyiksaan. Uniknya cerita kekejaman Pinochet juga
mewarisi pelajaran yang sangat berharga bagi
perkembangan mekanisme perlindungan HAM yang baru.
Model ini merepresentasikan karakter rezim militerotoritarian-represif yang berorientasi pada patronase
kebijakan pasar bebas yang inisiatif awalnya sangat ditopang
oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam konteks
era Perang Dingin. Kudeta Pinochet pada 11 September 1973
–lewat operasi militer bernama Operasi Jakarta- tidak hanya
membuka periode teror bagi rakyat Cile, namun juga menjadi
perintis bagi kudeta-kudeta berdarah –disponsori
pemerintah Amerika Serikat- lainnya di seantero kawasan
Amerika Latin, yang dikenal sebagai periode “Perang Kotor/
Dirty War”.
Berkat pengakuan, dokumentasi narasi para korbannya
(termasuk juga di negeri-negeri lain), dan advokasi yang
tak kenal lelah, berbagai ahli HAM internasional
menyusun instrumen-instrumen dan institusi HAM baru
yang lebih maju. Konvensi Anti Penyiksaan, PrinsipPrinsip Hak-hak Korban, Komisi Kebenaran, dan yang
terakhir baru saja disahkan PBB, Konvensi Konvensi
Internasional Perlindungan Semua Orang dari
Penghilangan Paksa.
Pinochet sendiri selama berkuasa (1973-1990) bertanggung
jawab atas 2.600 orang yang tewas atau ‘menghilang’ dan
28.000 korban penyiksaan, termasuk Michelle Bachelet,
Presiden Cile saat ini. Pasca jatuhnya Pinochet dari struktur
politik tertinggi di Cile, ia masih menikmati serangkaian
status istimewa, termasuk imunitas/kekebalan dari segala
tuntutan hukum.
Pengumuman kematian Pinochet direspon secara beragam
oleh rakyat Cile. Sebagian kecil –dari strata kelas atas yang
diuntungkan oleh proyek neoliberalisme Pinochet- menangis
meratapi patronnya, sementara sebagian besar rakyat Cile
berpesta pora hingga ada laporan toko-toko kehabisan
champagne. Ada juga sebagian komunitas korban yang merasa
tidak puas melihat Pinochet mati sebelum dihukum. Hingga
detik akhir hidupnya, Pinochet masih berstatus tersangka –
dan menjalani penahanan rumah- atas berbagai kasus
korupsi dan pelanggaran HAM. Imunitasnya sudah dilucuti
oleh institusi peradilan dan pengadilan menilai Pinochet
masih cukup sehat untuk bisa duduk di kursi terdakwa.
Pemakamannya juga tidak disertai upacara resmi kenegaraan
dan hanya ditandai pengibaran bendera setengah tiang di
setiap barak dan gedung militer, menandai hanya institusi
inilah yang paling konservatif di Cile.
Sebagian dari mereka yang berpesta pora mungkin
menganggap Chile sudah berada dalam jalur yang benar
dalam meruntuhkan tembok impunitas. Pengadilan Chile
telah memvonis 109 mantan personil militer dan polisi atas
pelanggaran HAM yang terjadi di masa rezim Pinochet
berkuasa. Tiga puluh lima mantan jendral dari angkatan
darat, laut, udara, dan kepolisian telah dihukum atau sedang
proses persidangan terhadap pelanggaran HAM di masa lalu.
39
Berita KontraS No. 06/XI-XII/2006
‘Sumbangan berharga’ Pinochet lainnya terjadi pada tahun
1998. Pada saat itu, Pinochet ditahan di London oleh
perintah Pengadilan Inggris, setelah ada permintaan
ekstradisi dari Pengadilan Spanyol untuk mengadili
Pinochet di sana. Permintaan ekstradisi ini berasal dari
pengaduan para korban Pinochet yang memiliki
kewarganegaraan Spanyol. Pinochet dituduh melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
selama berkuasa.
Putusan Pengadilan Inggris ini menandai suatu terobosan
bagi penanganan pelanggaran berat HAM di dunia. Prinsip
juridiksi universal ini memperbolehkan suatu negara
untuk melakukan penuntutan atau peradilan tanpa
mempertimbangkan tempat kejadian dan status
kewarganegaraan si pelaku. Meski akhirnya Pinochet tidak
jadi dideportasi ke Spanyol, namun putusan Pengadilan
Inggris menjadi preseden bagi suatu alternatif strategi
hukum bagi para penjahat HAM yang sulit dituntut di
kandang sendiri.
Sejak saat itu prinsip juridiksi universal mulai
dikembangkan dengan satu target, tidak ada surga di muka
bumi (no safe heaven) bagi pelaku kejahatan serius HAM.
Preseden Pinochet menjadi pintu pembuka bagi upaya
penuntutan atas penjahat kelas kakap HAM lainnya:
Hissène Habré, mantan diktator Chad yang dikenal sebagai
“Pinochet Afrika” sedang diburu di seluruh Afrika; Charles
Taylor, mantan diktator Liberia telah diserahkan oleh
pemerintah Nigeria kepada Pengadilan HAM Hibrid Sierra
Leone; dan mekanisme ini semakin menakutkan bagi
penjahat HAM ketika Mahkamah Pidana Internasional/ICC
(International Criminal Court) segera mulai bekerja, untuk
menyelesaikan semua kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang telah terjadi pada masa lalu.
Download