Albino Pada Manusia

advertisement
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Avena Athalia Alim
102011031
[email protected]
FAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA
Kampus II Ukrida Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510
Pendahuluan
Setiap manusia mulai mengalami pertumbuhan dan perkembangan mulai
dari lahir sampai dewasa bahkan menjadi tua. Pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat terjadi ketika manusia dalam usia anak-anak. Kecepatan
pertumbuhan dan perkembangan pada setiap anak berbeda-beda. Ada yang cepat
dan ada juga yang lambat. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan anak
tersebut dapat diukur dengan berbagai tes. Selain untuk mengukur kecepatan, tes
tersebut juga dapat menyatakan apakah pertumbuhan dan perkembangan anak
tersebut normal atau tidak.
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis selalu dimulai dengan menanyakan keluhan utama pasien.
Setelah menyusun daftar masalah yang dikeluhkan pasien, kemudian kita harus
mengembangkan dan menetapkan setiap masalah, serta menanyakan masalahmasalah yang berhubungan. Informasi tertentu tentang latar belakang penyakit
merupakan hal yang penting pada sebagian besar masalah kesehatan.1
Beberapa informasi tentang kehidupan anak yang harus ditanyakan1 :
1.
Bagaimana riwayat kehamilan, persalinan, dan kelahirannya normal?
2.
Berapa berat badan saat lahir?
3.
Bagaimana keadaan anak pada hari-hari pertama kehidupannya?
1
4.
Bagaimana riwayat tumbuh-kembang anak?
5.
Apakah anak mendapat ASI atau susu formula dan kapan anak tersebut
disapih?
6.
Bagaimana riwayat nutrisi anak? Apakah asupan sudah memenuhi
kebutuhan sehari-hari?
7.
Apakah anak sudah diimunisasi? Jika sudah, imunisasi apa saja yang anak
dapatkan?
Selain itu perlu ditanyakan riwayat penyakit sekarang dan riwayat
penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga untuk memaksimalkan
anamnesis.1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan ada antropometri, denver II, dan
pemeriksaan fisik umum anak.
1.
Antropometri
Tujuan dari pengukuran kesehatan adalah untuk mengetahui kondisi
pertumbuhan dan gizi anak. Penilaian pertumbuhan pada anak sebaiknya
dilakukan dengan jarak yang teratur disertai dengan pemeriksaan serta
pengamatan fisik. Pengukuran berat badan digunakan untuk mengukur
pertumbuhan secara umum atau menyeluruh. Sedangkan tinggi badan digunakan
untuk mengukur pertumbuhan linier. Pengukuran antropometri (berat badan,
tinggi badan dan lingkar lengan) sebenarnya sangat mudah dilakukan namun juga
sekaligus rawan terhadap bias dan error data. Untuk menghindari bias dan error
data maka hal yang perlu diperhatikan adalah kualitas alat yang digunakan dan
ketelitian pewawancara dalam melakukan pengukuran.2
1.1.
Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang terpenting
karena dipakai untuk memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur.
Penilaian hasil penimbangan memiliki tiga kategori yaitu normal jika 2500-3500
gram, prematur jika <2500 gram, dan makrosomia jika >3500 gram.2,3
2
Cara pengukuran berat badan anak kurang dari 2 tahun adalah2,3 :
1.1.1
Lepas pakaian yang tebal pada bayi dan anak saat pengukuran. Apabila
perlu, cukup pakaian dalam saja.
1.1.2
Tidurkan bayi pada meja timbangan. Apabila menggunakan timbangan
dacin, masukkan anak dalam gendongan, lalu kaitkan gendongan ke
timbangan. Sedangkan apabila dengan berdiri, ajak anak untuk berdiri
diatas timbangan injak tanpa dipegangi. Jangan lupa untuk mengkalibrasi
timbangan sebelum digunakan.
1.1.3
Ketika menimbang berat badan bayi, tempatkan tangan petugas diatas
tubuh bayi (tidak menempel) untuk mencegah bayi jatuh saat ditimbang.
1.1.4
Apabila anak tidak mau ditimbang, ibu disarankan untuk menimbang berat
badannya lebih dulu, kemudian anak digendong oleh ibu dan ditimbang.
Selisih antara berat badan ibu bersama anak dan berat badan ibu sendiri
menjadi berat badan anak.
1.1.5
Tentukan hasil timbangan sesuai dengan jarum penunjuk pada timbangan.
1.2.
Tinggi Badan (Panjang Badan)
Tinggi badan untuk anak kurang dari 2 tahun sering disebut dengan
panjang badan. Pada bayi baru lahir, panjang badan rata-rata adalah sebesar 45-50
cm.3
Cara pengukuran tinggi badan anak kurang dari 2 tahun adalah2,3 :
1.2.1
Siapkan papan atau meja pengukur (infantometer). Alat pengukur harus
diletakkan di tempat yang rata dan keras.
1.2.2
Baringkan anak telentang tanpa bantal. Pastikan anak tidak menggunakan
penutup kepala dan alas kaki.
3
1.2.3
Bagian atas kepala anak (vertex) bersentuhan dengan bagian bidang yang
statis/tidak dapat digerakkan. Sedangkan kaki diluruskan dan telapak kaki
menyentuh bagian bidang yang dapat digerakkan.
1.2.4
Baca hasilnya.
1.3.
Lingkar kepala
Secara normal, pertambahan ukuran lingkar pada setiap tahap relatif
konstan dan tidak dipengaruhi oleh faktor ras, bangsa dan letak geografis. Saat
lahir, ukuran lingkar kepala normalnya adalah 34-35 cm.3
Cara pengukuran lingkar kepala adalah2,3 :
1.3.1
Siapkan pita pengukur (meteran).
1.3.2
Lingkarkan pita pengukur pada daerah glabella (frontalis) atau dahi
menuju bagian belakang kepala anak yang paling menonjol yaitu
protuberansia oksipitalis.
1.3.3
Kemudian tentukan hasilnya.
1.4.
Lingkar Lengan Atas (Lila)
Pertambahan lingkar lengan atas ini relatif lambat. Saat lahir, lingkar
lengan atas sekitar 11 cm dan pada tahun pertama, lingkar lengan atas menjadi 16
cm. Selanjutnya ukuran tersebut tidak banyak berubah sampai usia 3 tahun.
Ukuran lingkar lengan atas mencerminkan pertumbuhan jaringan lemak dan otot
yang tidak berpengaruh oleh keadaan cairan tubuh dan berguna untuk menilai
keadaan gizi dan pertumbuhan anak prasekolah.2,3
Cara pengukuran lingkar lengan atas sebagai berikut2,3 :
1.4.1
Pastikan lengan anak bebas dari baju. Siapkan pita pengukur.
4
1.4.2
Cari bagian akromion danolekranon, lalu ukur panjang dari akromion
sampai olekranon. Cari titik tengah dari hasil pengukuran.
1.4.3
Pada titik tengah yang sudah ditentukan, lingkarkan pita pengukur. Pita
pengukur harus menempel pada kulit, namun tidak terlalu ketat.
1.4.4
Baca hasil pengukuran.
2.
Denver II
Denver Development Screening Test (DDTS) adalah sebuah metode
pengkajian yang digunakan secara luas untuk menilai kemajuan perkembangan
anak usia 0-6 tahun. DDTS yang umumnya dikenal dengan Denver Scale adalah
tes skrining untuk masalah kognitif dan perilaku pada anak prasekolah. Tes ini
dapat dilakukan oleh dokter spesialis anak, tenaga professional kesehatan lainnya,
atau tenaga professional dalam layanan sosial.4
Dalam perkembangannya, DDTS mengalami beberapa kali revisi. Revisi
terakhir adalah Denver II. Denver II dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara
lain4:
2.1
Menilai tingkat perkembangan anak sesuai dengan usianya.
2.2
Menilai tingkat perkembangan anak yang tampak sehat.
2.3
Menilai tingkat perkembangan anak yang tidak menunjukkan gejala,
kemungkinan adanya kelainan perkembangan.
2.4
Memastikan anak yang diduga mengalami kelainan perkembangan.
2.5
Memantau anak yang berisiko mengalami kelainan perkembangan.
Denver II bukan merupakan tes IQ dan bukan alat peramal kemampuan
adaptif atau intelektual (perkembangan) pada masa yang akan datang. Denver II
tidak digunakan untuk menetapkan diagnosis, seperti kesukaran belajar, gangguan
bahasa, gangguan emosional, dan sebagainya. Denver II diarahkan untuk
membandingkan kemampuan perkembangan anak dengan anak lain yang seusia,
bukan sebagai pengganti evaluasi diagnostic atau pemeriksaan fisik. Tes ini tidak
memiliki kriteria kesimpulan hasil perkembangan anak “abnormal”, yang ada
hanyalah “normal”, “tersangka”, “menolak”, dan “tidak dapat diuji”.4
5
Denver II terdiri atas 125 item tugas perkembangan yang sesuai dengan
usia anak, mulai dari usia 0-6 tahun. Item-item tersebut tersusun dalam formulir
khusus dan terbagi menjadi 4 sektor yaitu4 :
2.1
Sektor Personal-Sosial, yaitu penyesuaian diri di masyarakat dan
kebutuhan pribadi.
2.2
Sektor Motorik Halus-Adaptif, yaitu koordinasi mata-tangan, kemampuan
memainkan dan menggunakan benda-benda kecil, serta pemecahan
masalah.
2.3
Sektor Bahasa, yaitu mendengar, mengerti, dan menggunakan bahasa.
2.4
Sektor Motorik Kasar, yaitu duduk, berjalan, dan melakukan gerakan
umum otot besar lainnya.
Melakukan tes Denver II, memerlukan beberapa alat-alat pokok. Alat-alat
tersebut adalah benang wol merah, icik-icik dengan gagang kecil, boneka kecil
dengan botol susu, cangkir kecil dengan pegangan, kubus (dengan rusuk 2,5 cm)
berjumlah 8 buah, berwarna merah, biru, kuning, dan hijau masing-masing 2
buah, botol kecil berwarna bening dengan tutup berdiameter 2 cm, manik-manik,
lonceng kecil, bola tenis, pensil merah, dan kertas folio berwarna putih.4
Formulir Denver II berupa selembar kertas yang berisikan 125 tugas
perkembangan menurut usia pada halaman depan dan pedoman tes untuk
item0item tertentu pada halaman belakang. Pada garis horizontal teratas dan
terbawah terdapat skala usia dalam bulan dan tahun. Pada kotak persegi panjang
terdapat tulisn 25%, 50%, 75%, dan 90%. Persen tersebut menunjukkan bahwa
berapa persen (25%/50%/75%/90%) dari seluruh sampel anak sudah dapat
melakukan kegiatan yang tertulis pada kotak persegi panjang tersebut dengan
ukuran umur tertentu. Pada sejumlah kotak juga terdapat huruf “L” yang
menandakan bahwa item tersebut dapat dinilai LULUS/LEWAT berdasarkan
laporan dari orang tua atau pengasuh anak.4 (Lihat Gambar 1)
6
Gambar 1. Denver II
Sumber : Internet, web Google Images dengan kata kunci Denver II
7
3.
Pemeriksaan Fisik Umum Anak
Sebelum memulai pemeriksaan, ada baiknya melakukan pendekatan
kepada anak terlebih dahulu agar anak mau bekerja sama sehingga pemeriksaan
dapat berjalan dengan lancar. Bila perlu, pendekatan dapat dilakukan dengan
memberikan beberapa permainan.1
Pemeriksaan fisik diawali dengan melakukan inspeksi, memperhatikan
apakah ada ruam, benjolan tidak wajar, atau bentuk tubuh yang tidak wajar pada
anak. Kemudian melakukan palpasi untuk memeriksa benjolan atau massa yang
tidak terlihat dengan mata. Selanjutnya pemeriksaan lebih tertuju terhadap
gangguan pernapasan dengan cara memeriksa frekuensi napas, pergerakan
diafragma dan dinding dada pada pernapasan normal. Selain itu, dapat juga
dilakukan perkusi dan auskultasi untuk memeriksa ada atau tidaknya kelainan
pada paru-paru.1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium
darah, pemeriksaan mantoux tuberkulin, rontgen tulang belakang, foto thorax, dan
pemeriksaan serologi.
1.
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
infeksi di dalam tubuh. Pada pemeriksaan darah lengkap, yang diperiksa adalah
hemoglobin, hematocrit, leukosit (White Blood Cell / WBC), trombosit (platelet),
eritrosit (Red Blood Cell / RBC), indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Laju
Endap Darah (LED) atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR), hitung jenis
leukosit (Diff Count), Platelet Disribution Width (PDW), Red Cell Distribution
Width (RDW).5
Penurunan kadar leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi
virus, penyakit sumsum tulang, dan lain-lain. Sedangkan peningkatannya bisa
ditemukan pada penyakit infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut,
8
leukemia, gagal ginjal, dan lain-lain. LED dijumpai meningkat selama proses
inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit
kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan). 5
2.
Pemeriksaan Mantoux Tuberkulin
Uji tuberkulin dilakukan berdasarkan timbulnya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein karena adanya infeksi. Tes ini merupakan suatu injeksi
intradermal, biasanya pada permukaan volar lengan bawah. 5 TU (tuberculin
units) (kekuatan uji pertengahan) antigen tuberculosis yang dimurnikan yang
distabilisasi-Tween (purified protein derivated - standard [PPD-S]) merupakan
standar untuk skrining populasi risiko tinggi dan untuk diagnosis penyakit
tuberkulosis pada semua pasien sakit atau kontak.6
Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas eritrema karena
vasodilatasi primer, edema karena reaksi antara antigen yang disuntikkan dengan
antibodi, dan indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus. Pembacaan uji
tuberkulin dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
melintang dari indurasi yang terjadi. Jika terjadi indurasi diatas 5 mm, diragukan
positif tuberkulosis dan sudah pasti positif ketika indurasi yang terjadi diatas 10
mm. Positif biasanya 2-6 minggu sesudah onset infeksi dan pada saat penyakit
bergejala.6,7
3.
Rontgen Tulang Belakang
Rontgen tulang belakang dilakukan untuk mendeksi adanya kelainan pada
tulang belakang yang dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit tertentu seperti
distrofi muskuler. Selain rontgen tulang belakang, dapat juga dilakukan rontgen
pada kaki agar jika ada kelainan yang berarti, dapat segera terdeteksi.
4.
Foto Rontgen Thorax
Pada anak dengan uji tuberkulin positif, dilakukan pemeriksaan radiologis.
Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru ialah
9
kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran, pembesaran kelenjar paratrakeal,
penyebaran milier, penyebaran bronkogen, atelektasis, dan pleuritis dengan efusi.7
5.
Pemeriksaan Serologi
Untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap penyakit tertentu, dapat
dilakukan tes serologi atau isolasi virus. Tes serologi yang dilakukan untuk
mendeteksi adanya IgM. Salah satu tes yang dapat dilakukan adalah ICT TB
(Immunochromatographic Test Tuberculosis) untuk mendeteksi antibodi M.
tuberculosis.6,7
Differential Diagnosis
Pada kasus anak perempuan berusia 7 bulan belum bias tengkurap,
differential diagnosisnya adalah polio, rakitis, distrofia muskuler, dan kelainan
paru khronik. Untuk kelainan paru khronik, yang akan dibahas adalah tuberkulosis
paru.
A.
Polio / Poliomielitis
Etiologi
Virus polio termasuk virus RNA golongan Picornaviridae genus
Enterovirus. Genom polio berupa single stranded RNA. Terdapat tiga jenis
serotype virus polio yaitu virus polio-1, polio-2, dan polio-3. Infeksi virus ini
dapat menyerang susunan saraf pusat, khususnya kornu anterior medulla spinalis
dan nukleus batang otak. Akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat tersebut
akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot. Poliovirus menginfeksi melalui jalur
fekal-oral (dari tangan ke mulut) tetapi dapat juga melalui kontak langsung.8,9
Poliomielitis
poliomeningitis
dibagi
aseptic
menjadi
non-paralitik,
asimtomatik,
dan
poliomielitis
poliomielitis
paralitik
abortif,
spinal.
Berdasarkan pada kasus, akan dibahas mengenai poliomielitis paralitik spinal
dengan gejala-gejala nyeri kepala dan demam, terjadi nyeri otot hebat, kelemahan
otot
skeletal
yang
kebanyakan
terjadi
di
ekstremitas
bawah,
10
paresis/paralisis/kelemahan asimetrik dan flasid pada spinal, bulbar, dan bentukbentuk ensefalitis.8,9
Epidemiologi
Secara keseluruhan, sejak Global Polio Eradication Initiative diluncurkan,
jumlah kasus telah menurun lebih dari 99%. Pada tahun 2011, hanya empat negara
di dunia tetap endemik polio. Pada tahun 1994, WHO Wilayah Amerika (36
negara) telah disertifikasi bebas polio, diikuti oleh WHO Wilayah Pasifik Barat
(37 negara dan daerah termasuk Cina) pada tahun 2000 dan WHO Wilayah Eropa
(51 negara) pada bulan Juni 2002.7
Kasus polio di Indonesia pada tahun 2005 terjadi pertama kali di Cidahu,
Sukabumi, Jawa Barat yang dengan cepat menyebar ke provinsi Banten, DKI
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah , dan Lampung. Data terakhir melaporkan
secara total terdapat 295 kasus polio 1 tersebar di 10 provinsi dan 22
kabupaten/kota di Indonesia. Kasus polio liar yang terakhir dilaporkan pada
seorang anak di Aceh Tenggara pada 16 Februari 2006. Sejak saat itu sampai
sekarang tidak terdapat laporan KLB Polio di Indonesia.9,10
Patofisiologi dan Patogenesis
Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring, berkembang
biak dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem
retikuloendotelial. Dalam hal ini timbul perkembangan virus dan terbentuknya
antibodi spesifik sebagai bentuk reaksi dari tubuh terhadap virus tersebut. Bila
proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat antibodi, maka akan
timbul viremia dan gejala klinis.9
Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan spesifik untuk polio. Kompres hangat dan pemijatan
dapat mengurangi gejala nyeri dan spasme otot. Terapi rehabilitasi dapat
membantu pasien yang mengalami kelemahan otot permanen.11
11
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Hampir seluruh infeksi virus polio dapat dicegah dengan vaksinasi
(preparat oral hidup atau preparat inaktif yang diinjeksikan). Karena terdapat
kekhawatiran terjadinya polio paralitik akibat vaksin, American Academy of
Pediatrics menyarankan agar vaksin polio inaktif (IPV) digunakan sebagai satusatunya vaksin polio. OPV (Oral Polio Vaccine)/vaksin sabin direkomendasikan
pada daerah-daerah lain di dunia tempat poliomielitis belum terberantas, untuk
mengendalikan wabah polio paralitik karena pemberiannya yang mudah, biaya
yang rendah, dan manfaat ekskresi virus hidup untuk perkembangan imunitas
bersama jelas manfaatnya.6
Prognosis
Prognosis polio bergantung pada derajat penyakitnya. Pada polio ringan
dan sedang, kebanyakan pasien sembuh sempurna dalam waktu singkat. Penderita
polio spinal 50% akan sembuh sempurna, 25% mengalami disabilitas ringan, 25%
disabilitas serius dan permanen. Sebanyak 1% penderita polio berat akan
mengalami kematian yang biasanya diakibatkan karena kegagalan fungsi pusat
pernapasan atau infeksi sekunder pada jalan napas.8
B.
Rakitis
Etiologi
Rakitis didefinisikan sebagai penurunan atau gangguan mineralisasi tulang
pada anak yang sedang tumbuh. Osteomalasia merupakan keadaan yang sama
pada dewasa. Rakitis/osteomalasia dapat disebabkan oleh defisiensi gizi vitamin
D, kalsium, atau fosfor, ketidakmampuan untuk menahan kalsium dan fosfor.
Akibat defisiensi kalsium/fosfor tersebut, tulang melemah dan mudah mengalami
deformitas dan fraktur.6,11
Epidemiologi
12
Diperkirakan di negara berkembang penyakit rakitis masih cukup tinggi.
Hal ini dapat terjadi karena kurang gizi sehingga tubuh kekurangan mineralmineral yang diperlukan tubuh terutama tulang. Selain itu, yang memiliki berat
badan rendah, factor sosial dan ekonomi, adanya malabsorpsi, dan penggunaan
obat anti kejang dapat memicu penyakit rakitis.
Patofisiologi dan Patogenesis
Dalam tulang, osteoblas terus membentuk jaringan osteoid (rangka tempat
garam kalsium diletakkan untuk membentuk tulang). Tetapi kadar kalsium serum
yang rendah dan kerja vitamin D yang tak aktif pada tulang tak memungkinkan
terjadinya mineralisasi. Jaringan osteoid akhirnya menggantikan tulang normal,
sehingga terjadi rakitis. Osteoid secara struktural lemah dan dapat mengalami
fraktur atau perubahan bentuk bila mendapat tekanan.12
Rakitis dapat terjadi karena berbagai hal6 :
B.1.
Tulang mengalami penurunan atau gangguan mineralisasi.
B.2.
Defisiensi 1,25-dihidroksikolekalsiferol atau kalsitriol, bentuk paling aktif
vitamin D. Defisiensi ini dapat terjadi karena kalsium tidak diserap secara
adekuat dari usus dan karena asupan vitamin D yang kurang.
B.4.
Menghindari cahaya matahari.
B.5.
Malabsorpsi lemak akibat penyakit hepatobiliaris karena jika lemak sulit
diabsorpsi, maka vitamin D yang merupakan vitamin larut lemak akan
sulit diproses dalam tubuh.
B.6.
Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah mengalami peningkatan
insidens rakitis.
Penatalaksanaan
Rakitis biasanya diobati dengan 1,25-hidoksivitamin D dan tambahan
kalsium. Dosis vitamin D 1000 unit per hari akan mengembalikan kadar kalsium
dan fosfat plasma menjadi normal setelah kurang lebih 10 hari. Untuk
mempercepat penyembuhan kdang-kadang digunakan dosis 3000-4000 unit per
hari. Pada rakitis nutrisional, dapat diobati dengan vitamin D pada satu dosis besar
13
(20.000-60.000 unit per hari, vitamin D dependent). Selain itu, dapat dilakukan
terapi yang cukup dengan tujuan mengembalikan pertumbuhan skeletal normal
dan menyebabkan penyembuhan tanda-tanda rakitis. Pembedahan dapat
diperlukan untuk meluruskan kaki pada pasien yang ditangani dalam jangka
lama.6,13
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Pencegahan dan penanggulanggan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi
makanan yang banyak mengandung vitamin D dan kalsium seperti susu, telur,
ikan salmon, minyak ikan, yoghurt, keju, bayam. Selain itu, menjemur anak di
bawah matahari pada jam-jam tertentu sangat baik karena sinar matahari
membantu pembentukan vitamin D dalam tubuh.
Prognosis
Prognosis rakitis bergantung pada derajat penyakitnya. Jika penderita
belum lama terkena rakitis dan segera diobati, maka prognosisnya sembuh.
Namun bila penyakit rakitis tersebut sudah dalam jangka waktu lama, maka
penderita tidak bisa sembuh total.
C.
Distrofia Muskuler
Etiologi
Distrofi muskularis merupakan sekelompok penyakit yang tidak saling
terkait, masing-masing dipindahkan oleh ciri genetik yang berbeda dan masingmasing berbeda dalam perjalanan dan gambaran klinis. Distrofi muskularis
dibedakan dari semua penyakit neuromuskular lain oleh empat kriteria pokok,
yaitu (1) penyakit ini adalah miopati primer; (2) terdapat dasar genetik pada
penyakit ini; (3) perjalanannya progresif; (4) degenerasi dan kematian serabut otot
terjadi pada beberapa stadium penyakit ini. Dari sekian banyak jenis distrofi
muskular, yang akan dibahas adalah distrofi muskular Duchenne dan distrofi
muskular Becker.6
14
Distrofi muskular Duchenne merupakan tipe yang paling banyak dari
distrofi muskular. Kelainan ini disebabkan oleh gen resesif terkait X sehingga
hanya mengenai anak laki-laki. Abnormalitas genetik yang terjadi adalah delesi
pada gen nomor 21 lengan pendek kromosom X untuk distrofin, suatu protein
yang penting untuk fungsi otot. Kondisi ini timbul sebagai keterlambatan berjalan
(lebih dari 18 bulan) dengan kelainan gaya berjalan seperti bergoyang-goyang
atau dengan kesulitan menaiki tangga. Pada pemeriksaan fisik postur tampak
lordotik dengan cara jalan seperti bebek akibat kelemahan otot-otot gelang
panggul dan bagian proksimal ekstermitas bawah. Kemampuan berjalan hilang
pada usia sekitar 10 tahun dan kematian terjadi pada awal masa dewasa akibat
pneumonia atau keterlibatan miokard. Sedangkan distrofi muskular Becker adalah
merupakan penyakit yang mempunyai dasar yang sama seperti distrofi muskular
Duchenne, tetapi secara klinis lebih ringan dan lebih lama.6,14,15
Beberapa merupakan penyakit berat pada saat lahir atau mengakibatkan
kematian dini, lainnya mengikuti perjalana progresif yang sangat lambat selama
beberapa dekade, mungkin sama dengan lama hidup normal, atau bahkan
mungkin tidak bergejala sampai akhir.6
Epidemiologi
Duchenne
distrofi
otot
terjadi
pada
anak
laki-laki
muda.
Duchenne distrofi otot terjadi pada 1 dari 3.500 kelahiran hidup laki-laki.15
Patofisiologi dan Patogenesis
Tidak adanya distrofin (protein pada otot rangka) menyebabkan degenerasi
serat otot. Terjadinya degenarasi serat otot ini bertahap dengan karakteristik
kelemahan progresif dan pengecilan otot.6
Penatalaksanaan
Tidak ada yang dapat menyembuhkan distrofi muskular, pengobatan
supportif. Terapi bersifat suportif dan harus dilakukan fisioterapi aktif. Obesitas
harus dihindari. Perhatikan nutrisi. Beri penyangga untuk mengurangi skoliosis.14
15
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Diagnosis klinis dan genetik yang tepat penting untuk memberikan
konseling genetik yang baik dan melakukan diagnosis antenatal pada kehamilan
berikutnya.14
Prognosis
Hampir semua anak laki-laki dengan distrofi Duchenne tidak dapat
berjalan sampai usia 8-11 tahun dan terbatas pada sebuah kursi roda. Mereka
sering mengalami skoliosis dan juga deformitas kaki karena kelemahan otot dan
ketidakseimbangan. Infeksi saluran napas akan mempercepat kematian menjelang
usia 15-25 tahun.6
D.
Kelainan Paru Khronik (Tuberkulosis Paru)
Etiologi
Tuberkulosis
disebabkan
oleh
Mycobacterium
tuberculosis,
suatu
organisme aerob yang tumbuh lambat. M. tuberculosis dapat dibedakan dari
mikrobakteri lain dengan tidak adanya pigmentasi dengan angka pertumbuhan
yang lambat. Infeksi pada anak terjadi sesudah inhalasi droplet pernapasan yang
terkontaminasi (dari batuk atau bersin) dari sekresi saluran napas yang terinfeksi
berat. Infeksi pada anak khususnya merupakan akibat dari kontak erat yang lama
dengan individu yang memiliki sputum positif, aktif, berkaverna, dan tidak
diobati. Masa inkubasi dari infeksi sampai terjadinya uji kulit tuberkulin positif
adalah 2-6 minggu.6
Epidemiologi
Di seluruh dunia, TB merupakan penyebab utama morbiditas dan
diperkirakan oleh WHO menyebabkan sekitar 3 juta kematian per tahun, terutama
pada negara berkembang dan pada populasi yang umumnya terdapat infeksi HIV.6
Patofisiologi dan Patogenesis
16
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang
lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan
tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya di
bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada
tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme
tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut. Pneumonia
selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang
tertinggal, atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel.12
Selain itu, basil tuberkulosis dapat masuk ke dalam aliran darah secara
langsung atau melalui kelenjar getah bening. Basil tuberkulosis dalam aliran darah
dapat mati, tetapi dapat pula berkembang terus. Hal ini bergantung kepada
keadaan penderita dan virulensi kuman. Melalui aliran darah, basil tuberculosis
dapat mencapai alat tubuh lain seperti selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal, dan
lain-lain. Dalam alat tubuh tersebut, basil tuberculosis dapat segera menimbulkan
penyakit, tetapi dapat pula menjadi tenang dulu dan setelah beberapa waktu
menimbulkan penyakit atau dapat pula tidak pernah menimbulkan penyakit sama
sekali.7
Tuberkulosis paru primer pada bayi yang lebih tua dan anak biasanya
merupakan infeksi yang tidak bergejala. Namun jika sudah berkembang, maka
dapat terjadi perburukan paru yang ditandai dengan adanya obstruksi jalan napas
dan mengi, suara serak. Untuk lebih memastikan terjangkit atau tidak
tuberkulosis, dapat dilakukan tes tuberkulin.6
Penatalaksanaan
Agen
lini
pertama
untuk
tuberkulosis
adalah
isoniazid
(10-20
mg/kgbb/hari, peroral, selama 18-24 bulan), rifampin (10-15 mg/kgbb/hari,
peroral, saat lambung kosong, 6-9 bulan), pirazinamid (30-35 mg/kgbb/hari,
17
peroral 2 kali sehari, selama 4-6 bulan), etambutol (20 mg/kgbb/hari, peroral saat
lambung kosong seklai sehari, selama 1 tahun), dan streptomisin (30-50
mg/kgbb/hari, selama 1-3 bulan). Kombinasi obat-obat ini dipilih untuk memulai
terapi. Untuk mutan yang resisten, dengan pemakaian 2 obat atau lebih, dapat
dicegah terjadinya resisten yang berarti.6,7
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Pencegahan dan penanggulangan dapat dilakukan dengan pemberian
vaksin BCG dan kemoprofilaksis. Pemberian vaksin BCG meninggikan daya
tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberculosis yang virulen. Imunitas timbul
6-8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap
sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak progresif
dan tidak menimbulkan komplikasi yang berat.7
Sedangkan sebagai kemoprofilaksis, biasanya dipakai INH dengan dosis
10 mg/kgbb/hari selama 1 tahun. Kemoprofilaksis primer diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi pada anak dengan kontak tuberculosis dan uji
tuberkulin masih negatif yang berarti masih belum kena infeksi atau masih dalam
masa
inkubasi.
Kemoprofilaksis
sekunder
diberikan
untuk
mencegah
berkembangnya infeksi menjadi penyakit, misalnya pada anak berumur kurang
dari 5 tahun dengan uji tuberkulin positif tanpa kelainan radiologis paru.7
Prognosis
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama telah
mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga,
diagnosis dini, pengobatan adekuat, dan adanya infeksi lain seperti morbili,
pertussis, diare yang berulang, dan lain-lain.6,7
Penutup
Pada kasus, kemungkinan anak perempuan berusia 7 bulan tersebut tidak
dapat tengkurap karena mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
18
atau karena mengalami penyakit tertentu seperti penyakit tulang dan paru yang
berdampak pada kakinya.
Untuk itu, perlu dilihat hasil pemeriksaan fisiknya. Jika hasil pemeriksaan
fisiknya normal, maka anak tersebut tidak mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan sehingga perlu dilaksanakan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang ini dilakukan untuk mendeteksi adanya penyakit tertentu seperti
penyakit tulang dan paru atau tidak.
Tapi jika hasil pemeriksaan fisiknya tidak normal, maka kemungkinan
anak tersebut mengalami kelainan pertumbuhan dan perkembangan yang
mengakibatkan ia tidak dapat tengkurap. Jika dari pemeriksaan fisik dirasa bantuk
kaki anak tersebut tidak normal, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
lebih memastikan.
Daftar Pustaka
1.
Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2008.h.1-8.
2.
Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L. Gizi kesehatan
masyarakat. Edisi 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.h.94-7.
3.
Hidayat AA. Asuhan neonates, bayi, dan balita. Edisi 1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2007.h.19-20.
4.
Nugroho HS. Denver developmental asreening test: petunjuk praktis. Edisi
1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.3-17.
5.
Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007.h.408-10.
6.
Behrman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatri. Edisi 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.433-69, 808-76.
19
7.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Ilmu kesehatan anak. Edisi 1. Jakarta: Infomedika; 2007.h.57383, 632-7.
8.
Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis
& tata laksana penyakit saraf. Edisi 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2007.h.58-61.
9.
Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman imunisasi di
Indonesia. Edisi 4. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2011.h.264-72, 632-7.
10.
Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan &
pemberantasannya. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2011.h.22-4.
11.
Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar Pediatri Rudolph.
Edisi 20. Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.2031191.
12.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi 6. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002.h.852-3,
957.
13.
Gunawan SG, editor. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen
farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2007.h.785.
14.
Meadow SR, Newell SJ. Lecture notes : pediatrika. Edisi 1. Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2005.h.125.
15.
Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes : kedokteran klinis.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h.134-5.
20
Download