KAJIAN HISTOPATOLOGI DAN IMUNOLOGI AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN NEWCASTLE DISEASE STRAIN LA SOTA DAN DITANTANG DENGAN VIRUS NEWCASTLE DISEASE STRAIN VELOGENIK INDONESIA (VND/Tasik/M13/2009) NURYANTO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Histopatologi dan Imunologi Ayam Pedaging yang divaksin Newcastle Disease strain La Sota dan ditantang dengan Virus Newcastle Disease strain Velogenik Indonesia (VND/Tasik/M13/2009) adalah benar-benar karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Semua informasi yang berasal dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2012 Nuryanto NRP. B-351100011 ABSTRACT NURYANTO. Histopathology and Immunology Studies of Broiler Obtained La Sota Strain of Newcastle Disease Vaccine that Being Challenged with the Velogenic Indonesian Strain Newcastle Disease Virus (VND/Tasik/M13/2009). Under the supervision of AGUS SETIYONO and EKOWATI HANDHARYANI Newcastle Disease (ND) is a highly contagious and very virulent avian disease in all age of poultry. The aims of this study were to investigate the protective level of antibody, clinical signs, histopathology, and immunohistochemistry analyses of selected internal organs of broiler which obtained La Sota Strain of ND Vaccine and then being challenged with local strain of velogenic ND virus. Eighty birds used and divided into 4 groups @ 20 birds. The treatment birds were vaccinated with live and killed ND vaccine on 4th days old. Two groups were challenged at 25th days of age intramuscularly with 104 EID50 /0.1 ml/bird of velogenic virulent ND virus. Sera were collected at 1, 18, 22, 28, 30, and 32 days of age. Three birds from each group were examined for protective antibody level using Hemaglutination inhibition (HI) test and enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) at 3, 5, and 7 days post inoculation with virulent ND virus. The HI test result at 28th and 32nd days old showed that antibody level of birds obtained vaccination and followed by virus challenging were higher than those the vaccinated birds but not be challenged. The unvaccinated group showed clinical signs such as anorexia, sleepy, weakness, greenish diarrhea, and death on 3rd days onward after infection. Histopathological lesions indicated hyperemia, haemorrhages, hyperplasia, mononuclear cells infiltration, oedema, and necrosis of proventriculus and intestines. Neuronal necrosis, gliosis, vasculitis, perivascular infiltration with mononuclear cells, and endothelial hypertrophy were also observed in the brain. Immunohistochemically, ND virus antigen was detected in the endothelial cells of brain, lung, kidney, and cryptae of duodenum, but negative immunoreactivities in proventriculus. All unvaccinated birds and then challenged with ND virus were died within 7 days post challenge. Key word: histopathology, immunology, Newcastle Disease, local isolate. RINGKASAN NURYANTO. Kajian Histopatologi dan Imunologi Ayam pedaging yang Divaksin Newcastle Disease Strain La Sota dan Ditantang dengan Virus Newcastle Disease Strain Velogenik Indonesia (VND/Tasik/M13/2009). Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan EKOWATI HANDHARYANI Newcastle disease (ND) merupakan penyakit unggas dan sangat menular yang menyerang unggas berbagai umur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat protektivitas, gejala klinis dan histopatologi; dengan metode imunohistokimia pada beberapa organ interna pada ayam pedaging yang divaksinasi dengan vaksin ND strain La Sota dan ditantang dengan virus ND strain velogenik Indonesia. Delapan puluh ekor ayam dibagi menjadi 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 20 ekor. Dua kelompok ditantang pada umur 25 hari secara intra muskular virus ND velogenik lapangan dengan dosis 104 EID50/0.1 ml/ekor. Kelompok perlakuan divaksinasi dengan vaksin live dan killed strain La Sota pada umur 4 hari. Serum diambil pada hari 1, 18, 22, 28, 30 dan 32 hari. Tiga ekor ayam dari masing-masing kelompok dievaluasi tingkat kekebalan dengan metode HI dan ELISA. Paruparu, proventrikulus, usus, ginjal dan otak dievaluasi secara histopatologi pada 3, 5 dan 7 hari pasca infeksi, dilanjutkan dengan pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia. Hasil menunjukkan bahwa titer antibodi dengan uji HI pada kelompok yang divaksinasi dan ditantang mempunyai tingkat kekebalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang divaksinasi tidak ditantang pada 3 dan 7 hari pasca infeksi. Kelompok yang tidak divaksinasi menunjukkan gejala klinis berupa anoreksia, lemah, diare hijau keputihan serta kematian mulai 3 hari pasca infeksi. Lesi histopatologi yang diperoleh berupa hiperemi, hemoragi, hiperplasia, infiltrasi sel radang mononuklear, edema serta nekrosis pada proventrikulus dan duodenum. Nekrosis neuron, gliosis, vaskulitis, perivascular cuffing dengan sel mononuklear dan hipertrofi endotel juga ditemukan pada otak. Pemeriksaan imunohistokimia mampu mendeteksi antigen virus NDV pada otak, paru-paru, ginjal, dan kripta duodenum tetapi tidak ditemukan di proventrikulus.Semua unggas kontrol yang tidak divaksinasi dan ditantang, mati pada 7 hari pasca uji tantang. Kata kunci : histopatologi, imunologi, Newcastle Disease, isolat lokal. © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis : Kajian Histopatologi dan Imunologi Ayam pedaging yang Divaksin Newcastle Disease Strain La Sota dan Ditantang dengan Virus Newcastle Disease Strain Velogenik Indonesia (VND/Tasik/M13/2009) Nama : Nuryanto NRP : B-351100011/IBH Mayor : Ilmu Biomedis Hewan Disetujui, Komisi Pembimbing drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Ketua drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D, APVet Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Dekan Sekolah Pascasarjana drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet DR. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 13 Maret 2012 Tanggal Lulus : 12 Juni 2012 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Histopatologi dan Imunologi Ayam Pedaging yang divaksin Newcastle Disease strain La Sota dan ditantang dengan Virus Newcastle Disease strain Velogenik Indonesia (VND/Tasik/M13/2009) ini dilaksanakan sejak Juni 2011 hingga Januari 2012. Dalam menyelesaikan tesis ini tidak lepas dorongan, bantuan dan bimbingan dari semua pihak. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D, APVet selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan saran serta bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Effendy Kusmawijaya selaku pimpinan Satwa Utama Group yang telah memberikan kesempatan berharga kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan Program Magister, serta Bapak Jonas Jahja dan Bapak Peter Yan sebagai pimpinan PT Medion yang banyak memberikan support dan bantuan fasilitas selama penelitian. Penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh staf Research and Development PT Medion, dosen dan tenaga kependidikan Bagian Patologi FKH IPB serta seluruh rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Pascasarjana Mayor Ilmu Biomedis Hewan dan Biologi Reproduksi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Teguh Prajitno, Ph.D atas diskusi dan masukan selama penulisan. Ungkapan rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada orangtua, istri serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Mei 2012 Penulis, Nuryanto RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 23 November 1976. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Prawira Sumarta dan Ibu Sumirah. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA tahun 1994 di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan Tamansiswa, Yogyakarta dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 2001 penulis menyelesaikan program profesi di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada Mayor Ilmu Biomedis Hewan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tahun 1997 hingga 1998 penulis pernah bekerja di PT Kertanegara Group di Jogjakarta. Sejak tahun 2001 penulis bekerja di PT. Agrinusa Unggul Jaya hingga tahun 2002 dan setelahnya bekerja di Satwa Utama Group hingga saat ini. Penulis saat ini anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan Perhimpunan Dokter Perunggasan Indonesia (PDHPI). Hewan DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................ Tujuan Penelitian ............................................................................................. Manfaat Penelitian ........................................................................................... Kerangka pemikiran ......................................................................................... Hipotesis .......................................................................................................... 1 3 3 3 4 TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease ............................................................................................ Etiologi .............................................................................................................. Gejala Klinis ..................................................................................................... Penularan ........................................................................................................... Patologi Anatomi dan Histopatologi ................................................................. Pencegahan dan Pengobatan ............................................................................. Vaksinasi ............................................................................................................ 5 5 7 8 8 11 12 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................ Materi Penelitian ............................................................................................... Hewan Percobaan ......................................................................................... Bahan Penelitian .......................................................................................... 17 17 17 17 Metoda Penelitian Pembuatan Antibodi Poliklonal .................................................................... Karakterisasi Protein dengan metoda Western Blot ..................................... Pemeliharaan Ayam ...................................................................................... Infeksi Virus Tantang ................................................................................... Pengamatan Gejala Klinis, Penghitungan asupan feed intake, Body weight dan Feed Conversion Rate ...................................................... Pemeriksaan Patologi Anatomi otak, duodenum, proventrikulus dan Pembuatan Preparat Histopatologi ................................................................ Pewarnaan Imunohistokimia ......................................................................... Analisa Statistika ........................................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Proteksi .................................................................................................. Pertumbuhan bobot badan, feed intake dan FCR ................................................ Perubahan Klinis ................................................................................................. Perubahan Patologi Anatomi dan histopatologi .................................................. 17 18 19 19 20 20 21 21 22 28 30 33 Halaman KESIMPULAN ...................................................................................................... 41 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 43 DAFTAR TABEL Halaman 1 Beberapa contoh strain virus yang dipakai sebagai seed vaksin aktif ............... 14 2 Contoh aplikasi program vaksinasi ND pada ayam broiler ............................... 14 3 Data perbandingan titer antibodi (GMT) ND dengan HI test dan ELISA ......... 24 4 Data rerata feed intake (FI), body weight (BW) dan FCR (Feed Conversion Rate) ayam broiler per minggu tiap kelompok .................... 29 5 Pengamatan gejala klinis yang muncul per hari pasca uji tantang tiap kelompok ........................................................................................................... 30 6 Pembagian virus ND berdasar patotipe ............................................................. 32 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Gambar penampang virus ND yang mengandung protein F dan HN ….. 5 2 Siklus hidup virus ND dan tahapan infeksi virus ND ke dalam sel hospes ……………………………………………………………….. 6 3 Grafik perbandingan pola titer antibodi pada pengujian dengan metoda HI dan ELISA ………………………………………………… 26 4 Hasil karakterisasi protein dengan SDS PAGE dan Western Blot 27 5 Gejala klinis ayam kelompok K2 ………………………………………. 33 6 Perubahan Patologi Anatomi organ kelompok K2 yang ditantang dengan virus velogenik isolat lokal …………………………………….. 34 7 Perubahan histopatologi proventrikulus dengan pewarnaan HE ………. 36 8 Perubahan histopatologi duodenum dan otak dengan pewarnaan HE … 37 9 Perubahan histopatologi duodenum dengan pewarnaan Imunohistokimia ……………………………………………………….. 40 10 Perubahan histopatologi paru-paru, ginjal dan otak dengan pewarnaan Imunohistokimia ……………………………………………………….. 41 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Standard performa broiler strain Lohmann ………………………………….. 47 PENDAHULUAN Latar Belakang Newcastle Disease (ND) adalah penyakit viral yang sangat menular dan menyerang unggas segala umur. Virus ND menyebabkan penyakit pada lebih dari 250 jenis unggas dan endemik di banyak negara. Spesies yang biasa terinfeksi antara lain ayam, kalkun, merpati dan bebek. Newcastle Disease bersifat zoonosis dan menyebabkan konjungtivitis pada manusia (Alexander & Senne 2008). Nama Newcastle Disease pertama kali menjadi perhatian internasional karena kejadian penyakit pertama kali dilaporkan di Jawa Barat, Indonesia dan diidentifikasi oleh Prof. Kranevelt di laboratorium yang sekarang dikenal sebagai Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor pada tahun 1926 dan di daerah Newcastle, Inggris oleh Doyle tahun 1927. Nama Newcastle Disease sendiri baru digunakan oleh Doyle setelah tahun 1935 (Samal 1997). Di Inggris, ND dapat menyebabkan angka kematian unggas yang terkena lebih dari 90 %. Wabah ND terbaru di California, Nevada dan Texas, Amerika Serikat menyerang lebih dari 3,4 juta ekor unggas dan memerlukan biaya lebih dari US $ 5 Milyar untuk pengendalian penyakit. Kejadian lain di Australia, pada beberapa tahun terakhir ini juga membuat panik kalangan industri perunggasan, karena dampak secara ekonomi sangat tinggi. Kerugian berupa kematian, pengendalian penyakit serta penghentian import dari negara-negara yang terserang wabah ND (Brown et al. 1999). Kegagalan program vaksinasi di peternakan ayam (pembibitan, petelur dan pedaging) menunjukkan frekuensi yang meningkat. Penampilan fenotip ayam akibat perbaikan genetika secara progresif, akan menyebabkan peningkatan stress fisiologis dalam tubuh ayam (internal physiological stress). Akibatnya respon imunitas terhadap program vaksinasi menurun dan reaksi pasca vaksinasi (post reaction vaccination) terutama vaksinasi aktif akan meningkat. Pemanasan global juga berperan dengan mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan secara signifikan, dimana suhu dan kelembaban menjadi sangat fluktuatif. Fluktuasi suhu dan kelembaban yang tinggi menyebabkan perubahan kondisi fisiologi virus, stress eksternal dan penurunan respon terhadap vaksinasi. (Hsiang-Jung Tsai et al. 2004). Program vaksinasi yang pelaksanaannya sangat ketat, terutama di peternakan petelur maupun pembibitan (breeding farm) dapat menjadi faktor predisposisi perubahan karakterisasi virus ND di lapangan. Paramyxovirus tergolong dalam 1 serotipe, namun virus ND mempunyai kemampuan untuk menerobos level antibodi yang marginal dan mempunyai kecepatan tinggi untuk bereplikasi pada tubuh ayam. Hidden immunosuppressive akibat mikotoksikosis juga dapat menyebabkan penurunan respon terhadap vaksinasi (Henning et al. 2008). Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah penyangga produksi ternak ayam pedaging nasional. Sentra produksi ternak ayam pedaging di Provinsi Jawa Barat antara lain di Kabupaten Bogor dan Bandung disamping beberapa kabupaten yang lain seperti Tasikmalaya, Ciamis, Purwakarta serta Subang. Sebagai sentra produksi peternakan, maka provinsi Jawa Barat bertanggung jawab terhadap penyediaan hasil produksi yang sehat dan aman untuk dikonsumsi. Kesehatan ayam yang terjaga menjadi kunci dari hal tersebut. Banyak kasus-kasus penyakit menular pada unggas yang studi kasusnya dilakukan di Jawa Barat. Upaya pemantauan penyakit, pencegahan serta penanganan dilakukan untuk tujuan yang lebih luas. Sebagai pendukung maka sistem produksi, sistem pemeliharaan serta sistem pemasarannya akan sangat menentukan kualitas hasil produk yang sampai ke konsumen. Merebaknya kasus ND selama dua tahun terakhir ini sangat mengagetkan kalangan praktisi perunggasan, karena selama ini vaksin yang ada dianggap cukup protektif melindungi ayam, pada kenyataannya banyak peternakan mulai dari sektor peternakan komersial hingga peternakan pembibitan terserang ND. Kejadian ini sangat mempengaruhi jumlah day old chick (DOC) yang dihasilkan hingga menjadi sangat berkurang dan berimbas pada harga DOC yang membumbung tinggi. Di sisi lain pemeliharaan di peternakan komersial yang terindikasi ND meningkat angka mortalitasnya hingga penurunan kualitas produk yang dihasilkan. Berbagai jenis vaksin ND yang beredar di Jawa Barat baik yang berasal dari produsen lokal maupun import mengklaim bahwa jenis vaksin yang digunakan adalah yang paling tepat. Pemanasan global (global warming) serta perubahan micro environment yang terjadi pada individu ayam menyebabkan variasi hasil dalam pelaksanannya. Penggunaan teknologi sequencing maupun antibodi monoklonal berhasil menunjukkan variasi genetik virus ND di lapangan dan dapat dibuat phylogenetic tree untuk melihat kekerabatan isolat virus tersebut (Alexander & Senne 2008). Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kualitas kesehatan produk yang dihasilkan akhir-akhir ini, membuat masyarakat menginginkan produk yang dikonsumsinya aman serta menyehatkan. Studi khusus harus dilakukan untuk mengamati perubahan lesi patologi maupun genetik virus ND dilapangan guna mengevaluasi daya perlindungan terhadap ayam pedaging. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui tingkat proteksi ayam yang divaksinasi strain La Sota dan ditantang dengan isolat virus ND velogenik isolat lokal 2. Mengetahui perbedaan performa bobot badan, feed intake serta feed conversion rate (FCR) 3. Mengetahui gejala klinis ayam pedaging yang ditantang dengan isolat virus ND velogenik isolat lokal 4. Mengetahui perubahan patologi anatomi dan histopatologi organ otak, usus halus dan proventrikulus ayam pedaging yang divaksin strain La Sota dan ditantang dengan virus ND velogenik isolat lokal, diidentifikasi dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE) dan imunohistokimia. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk mengevaluasi program vaksinasi ND yang dilakukan di lapangan; dengan mengetahui relevansi dan daya protektif vaksin terhadap isolat lapangan. Kerangka Pemikiran Beberapa kesamaan serologik telah dibuktikan antara virus ND dan serotipe Paramyxovirus lainnya, yang paling mirip adalah PMV-3. Selama ini galur virus ND dan berbagai isolatnya disimpulkan mempunyai grup serologik yang homogen dan kenyataan ini dijadikan sebagai dasar pelaksanaan program vaksinasi pada ayam pedaging di berbagai negara di dunia. Dengan asumsi tersebut, beberapa strain vaksin yang dipakai di lapangan akan memberikan tingkat proteksi yang relatif baik dan sama dengan strain virus yang lain (Henning et al. 2008). Akhir-akhir ini praktisi perunggasan sering kali dihadapkan pada kasus ND di lapangan baik di sektor komersial maupun breeding farm. Timbul pertanyaan mendasar, apakah program vaksinasi yang selama ini dijalankan di lapangan masih relevan dan masih memberikan proteksi yang cukup bagi ayam. Ada beberapa pertanyaan yang muncul sebagai konsekuensi kejadian-kejadian ND di lapangan; yang pertama adalah kecocokan vaksin yang digunakan dengan isolat lapangan. Yang kedua adalah kemungkinan telah terjadi perubahan genetik virus ND di lapangan, sehingga berubah juga sifat antigenik dan virulensinya. Hal ini semakin menarik setelah dikembangkannya antibodi monoklonal, maka dapat dibuktikan adanya suatu variasi antigenik diantara galur virus ND yang berbeda. Teknik ini tidak hanya dapat membedakan antar galur virus ND, tetapi juga antar subpopulasi dari virus tersebut. Uji serologik dengan metode netralisasi virus ataupun Agar Gel Presipitasi (AGP) juga menunjukkan adanya variasi yang bersifat minor dari isolat virus ND (Alexander &Senne 2008). Hipotesis Ayam yang divaksin dengan vaksin ND strain La Sota mampu melindungi ayam dari tantangan virus ND velogenik isolat lokal. TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease Etiologi Newcastle Disease (ND) atau disebut juga penyakit tetelo, pseudofowl pest, avian distemper, avian pneumo encephalitis, pseudo poultry plague dan ranikhet disease. ND merupakan penyakit viral yang sangat menular pada unggas, bersifat sistemik yang melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam serta burung-burung liar dengan angka mortalitas yang tinggi antara 80-100% (Alexander 1991). Newcastle Disease disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili Paramyxoviridae, genus Paramyxovirus. Paramyxovirus mempunyai genom virus ssRNA berpolaritas negatif, panjangnya 15-16 kb dan mempunyai kapsid simetris heliks tidak bersegmen, berdiameter 13-18 nm (Fenner et al. 1995). Genom virus ND total berjumlah 16.000 nukleotida dan menyimpan kode-kode genetik (codon) 6 buah protein penting dari partikel virus ND yaitu L (large RNA-directed RNA polymerase), HN (hemaglutinin neuraminidase), F (fusion protein), NP (nucleocapsid protein), P (phospoprotein), dan M (matrix) (Beard &Hanson 1984). Replikasi virus berlangsung di dalam sitoplasma sel inang (Alexander 1991). Masa inkubasi penyakit ini antara 2-15 hari, rata-rata 5-6 hari. Kejadian infeksi oleh virus ND terutama terjadi secara inhalasi (Alexander 1991). Gambar 1 Gambar penampang virus ND, permukaan protein F (Fusion) dan HN (Hemaglutinin Neuraminidase) (Samal, 1997). Pada penelitian karakteristik biologis virus ND, ternyata protein F0 (prekusor F glycoprotein) dapat terpecah menjadi ‘trypsin-like enzyme’ yang dapat memediasi fusi antara virus dengan membran sel inang target. Enzim ini membantu virus masuk ke dalam sel induk semang tersebut (Samal 1997). Hal itulah yang menyebabkan protein F mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan keganasan atau patogenisitas vvNDV saat proses infeksi terjadi. Bila membandingkan susunan asam amino protein F dan atau mencermati hasil data perbandingan material genetik melalui ‘DNA sequencing’ antara virus La Sota (strain lentogenik) dan isolat lapangan (strain velogenik) yang virulen tentu akan berbeda. Protein HN berperan penting sebagai immunoprotective glycoprotein (immunogenic determinant) yang merupakan antigen permukaan pada permukaan amplop partikel virus ND (Samal 1997). Protein HN juga bertanggung jawab pada beberapa fungsi esensial partikel virus ND dalam mekanisme infeksi antara lain : 1. Merupakan sisi perlekatan partikel virus dengan reseptor asam sialat pada sel induk semang (attachment phase) 2. Bertindak sebagai fasilitator saat aktifitas fusi dari protein F terhadap membran sel target induk semang (entry phase) 3. Bertanggung jawab untuk menghilangkan asam sialat pada saat terjadinya pelepasan progeny partikel virus dari sel induk semang yang terinfeksi (release phase) Gambar 2 Siklus hidup virus ND dan tahapan infeksi virus ND ke dalam sel hospes (Samal 1997). Dengan demikian protein HN selain bertanggung jawab untuk menentukan sel tropisma dari jaringan yang akan diinfeksi, juga berkontribusi untuk menentukan keganasan virus tersebut (Feener 1995). Tekanan penggunaan vaksin ND yang sangat intensif dalam industri perunggasan modern terbukti dapat mengakibatkan pergeseran codon pada material genetik virus vvND di lapangan. Akibatnya terjadi perubahan manifestasi pada susunan asam amino protein virus ganas yang ada di lapangan. Sifat-sifat fisik virus ND antara lain virus ND mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi dan melisiskan eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus ND juga mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan reptilia (Beard dan Hanson 1984). Virus ND bila dipanaskan pada suhu 56°C akan kehilangan kemampuan untuk mengaglutinasi eritrosit, karena protein HN (hemaglutinin) rusak, sehingga daya infeksi dan imunogenitasnya juga menurun (Samal 1997). Sebuah vaksin baru untuk ND pada unggas telah dikembangkan oleh Departemen Pertanian AS (USDA) menggunakan teknologi reverse genetic, vaksin baru dibuat dari bagian dari virus yang mirip dengan virus Newcastle Disease (NDV) tipe lapangan yang beredar di lingkungan saat ini. Hal ini akan mengurangi angka kematian, gejala serta jumlah penyebaran virus. Para peneliti menemukan bahwa teknologi reverse genetic memungkinkan untuk menghasilkan vaksin baru dengan mempertukarkan gen dari vaksin asli dengan gen serupa dengan virus yang beredar saat ini. Vaksin untuk ND kini digunakan secara luas pada unggas komersial dan melindungi unggas yang divaksinasi dari penyakit (Aldous & Alexander 2008). Gejala Klinis Tanda-tanda klinis yang muncul secara umum meliputi gangguan pada sistem saraf, sistem pernafasan, sistem gastrointestinal dan juga sistem reproduksi. Morbiditas biasanya tinggi dan mortalitas bervariasi antara 0-100 %. Mortalitas yang lebih tinggi terlihat pada bentuk yang velogenik pada ayam-ayam yang tidak divaksinasi (Calnek et al. 1997). Empat manifestasi klinis ND menurut Beard dan Hanson (1984), diidentifikasikan sebagai berikut : Velogenic Viscerotropic ND (VVND) - kadang disebut tipe 'asiatic' atau eksotis. Jenis ini sangat virulen untuk ayam, dan kurang virulen pada kalkun. Tipe ini menyebabkan tanda-tanda gangguan pernafasan parah, penyebaran cepat dan menyebabkan kematian sampai 90 %. Neurotropik Velogenic ND (NVND) - bersifat akut dan fatal pada ayam segala usia, menyebabkan gangguan neurologis dan gangguan pernafasan, serta adanya lesi pada usus. Mesogenic ND- menyebabkan kematian mendadak dan tanda-tanda gangguan syaraf pada unggas dewasa. Virus ini kadang-kadang digunakan sebagai vaksin pada unggas. Tipe ini menyebabkan batuk, mempengaruhi kualitas dan produksi mengakibatkan kematian sampai 10 %. telur serta Lentogenic ND –bersifat ringan, kadang-kadang subklinis. Dapat mempengaruhi hewan pada segala usia. Strain ini dapat dikembangkan sebagai vaksin, menghasilkan tanda-tanda ringan dengan mortalitas diabaikan. Tanda-tanda yang sangat bervariasi akan tergantung pada sifat dari virus yang menginfeksi, dosis infektif dan tingkat imunitas dari paparan sebelumnya atau vaksinasi. Gejala pertama biasanya terdiri dari gangguan pernapasan dan serak diikuti 1 atau 2 hari berikutnya dengan kelumpuhan kaki, sayap dan tortikolis leher (Kommers et al. 2002). Pada unggas dewasa, penurunan produksi yang bersamaan dengan gangguan pernapasan serta kelumpuhan terjadi 4 sampai 6 hari pasca infeksi. Tanda-tanda lain mencakup tanda-tanda gangguan pernapasan (terengah-engah, batuk), tanda-tanda syaraf (depresi, tremor otot, sayap terkulai, torsi kepala dan leher, berputar-putar serta kelumpuhan), pembengkakan jaringan sekitar mata dan leher, diare berair kehijauan, kualitas telur yang kasar atau tipis dan berisi albumen encer serta produksi telur berkurang (Charlton 2006). Dalam kasus akut, kematian sangat mendadak pada awal wabah, namun tanda-tanda gangguan pernafasan dan pencernaan adalah ringan dan progresif, diikuti setelah 7 hari dengan gejala saraf khususnya tortikolis. Penularan Penyebaran ND secara umum bisa melalui kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi atau melalui sekresi khususnya tinja unggas yang terinfeksi, pakan yang terkontaminasi, air, alat serta pakaian pekerja yang terkontaminasi (Charles 2000). Selain itu juga bisa melalui aerosol (virus diekskresikan dalam pupuk dan bertiup keluar ke udara), burung, fomites, serta pembawa lainnya. Secara umum penularan bersifat horizontal tapi anak ayam dapat terinfeksi pada tempat penetasan yang tertular dari cangkang yang terkontaminasi (Fenner et al. 1995). Pada suhu 23-29 ºC, APMV-1 mampu bertahan hidup selama 10-14 hari, dan pada suhu 20 ºC mampu bertahan hingga 18 hari dalam tanah. Patologi Anatomi dan Histopatologi Beberapa lesi post-mortem antara lain : airsacculitis, tracheitis, nekrotik plak di proventrikulus, petechiae di proventrikulus dan submukosa gizzard, nekrotik-hemoragi usus, enteritis parah di duodenum, sekum dan perdarahan di proventrikulus. Lesio pada usus terutama terjadi pada bentuk ND tipe viscerotropic (Jordan 1990). Diagnosis dapat dilakukan berdasarkan dugaan pada gejala klinisnya yaitu dengan lesio post-mortem, peningkatan titer pada pengujian serologi yaitu dengan Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA), PCR, serta teknologi sequence (Alexander and Senne 2008). Sebagai diagnosa pembanding antara lain : infectious bronchitis, infectious laryngotracheitis, coryza menular, Avian Influenza, EDS-76, encephalomyelitis, encephalomalacia serta intoksikasi. Lesio mikroskopik utama ND adalah encephalomyelitis nonpurulent, vaskulitis, nekrosis limfoid (bursa, limpa, timus dan jaringan limfoid mukosa usus), trakheitis, pneumonia, salpingitis, nekrosis hati, infiltrasi selular pankreas, dan konjungtivitis. Beberapa kajian melaporkan tentang pembentukan encephalomalacia dan pankreatitis nekrotik pada ND. Menurut Nakamura et al. (2008), infeksi virus velogenik ND pada kasus ayam pedaging yang divaksinasi di Jepang memiliki lesio karakteristik: ensefalitis nonpurulen dengan malasia dan pankreatitis nekrotik. Mereka mengevaluasi perubahan patologi dan pewarnaan imunohistokimia dalam rangka untuk mengevaluasi patogenesis ensefalitis nonpurulen dengan malasia serta pankreatitis nekrotik diamati pada ayam pedaging yang menderita ND. Gambaran histopatologi yang ditemukan antara lain ensefalitis nonpurulen di otak besar, otak kecil, dan medula oblongata, tetapi tidak pada lobus optikus. Ditemukan pula malasia dalam parenkim otak yang terkena dampak parah, perivascular cuffing, proliferasi glial, infiltrasi sel radang dan degenerasi neuronal. Ditemukan juga degenerasi yang luas, nekrosis, dan menipisnya sel-sel asinar di pankreas. Proliferasi makrofag di paruparu teramati selain nefritis tubulointerstitial, nekrosis hepatosit dengan trombi dalam sinusoid, fokus nekrosis miokardium, limfositik deplesi degenerasi dan nekrosis epitel kelenjar ampela, trakheitis, nekrosis fibrinoid pembuluh darah, nekrosis jaringan limfoid di proventrikulus, proliferasi makrofag dalam lamina propria usus, dan epikarditis. Antigen virus ND terdeteksi dalam lesion pada berbagai organ, terutama di sitoplasma, dan jarang dalam inti sel. Virus ND berada pada sel-sel di dalam wilayah malasia medula dan sel saraf di otak nekrotik, sel-sel asinar mengalami nekrotik pada pankreas, folikel nekrotik dari bursa kloaka, sel epitel dan makrofag bronchiolar lapisan dan dinding atrium di paru-paru, sel epitel trakhea, sel-sel epitel kantung udara, nekrosis sel epitel ginjal dan jaringan limfoid nekrotik dari lamina propria usus. Kadang-kadang juga ditemukan sel mesotel dari epikardium itu positif untuk antigen ND, serta saraf perifer lapisan otot usus dan proventrikulus, atau dalam jaringan ikat di sekitar trakhea tanpa lesi histologis jelas dalam organ. Antigen virus ND terlihat juga pada sel-sel epitel skuamosa esofagus berdekatan dengan proventrikulus (Nakamura et al. 2008). Menurut Mohammadamin dan Qubih (2011), perubahan pada proventrikulus pada 3 hari pasca infeksi akan menunjukkan infiltrasi limfositik pada jaringan limfoid, pemendekan papila proventrikular, dan difusi infiltrasi dari limfosit di mukosa. Pada hari ke-7 pasca infeksi terlihat infiltrasi limfositik pada folikel limfoid dan pemendekan papilla proventrikular. Sedangkan perubahan pada usus pada 3 dan 7 hari pasca infeksi pada duodenum teramati penipisan dan penumpukan villi usus. Menurut Rahaju dkk (1991), serum antibodi terhadap virus ND pada uji haemaglutination inhibition (HI) yang rendah ditemukan pada unggas yang terinfeksi. Dalam percobaannya semua ayam specific pathogenic free (SPF) diinokulasi dengan virus ND mati pada 3 hari setelah pasca inokulasi.Secara klinis, ayam-ayam menunjukkan tanda-tanda klinis yang jelas kecuali depresi. Perubahan secara makroskopik, ayam-ayam menunjukkan perdarahan di konjungtiva. Secara histologi, ayam mengalami nekrosis limpa, trombi sinusoidal hepatosit, nekrosis limfositik serta deplesi dalam jaringan limfoid (bursa, timus, dan seka tonsil), serta perdarahan dan nekrosis pembuluh darah pada konjungtiva. Tidak ditemukan lesio pada sistem saraf pusat atau pancreas (Gohm et al. 2011). Bhaiyat et al. (1994), melaporkan lesi yang paling sering diamati pada kasus ND adalah pada organ otak. Perubahan yang sering diamati adalah encephalomyelitis nonpurulent dengan degenerasi neuronal, perivascular cuffing, dan hipertrofi sel endotel otak. Lesi pada otak selalu diamati pada ayam-ayam yang terinfeksi dengan patotipe velogenikneurotropik walaupun kadang juga ditemukan pada tipe viserotropik dan patotipe mesogenik. Pada umumnya, lesi histologi dari sistem saraf pusat ditemukan pada medula, otak kecil, otak tengah, dan sumsum tulang belakang dan jarang ditemukan dalam otak besar. Menurutnya, pada ayam yang telah divaksinasi dengan vaksin ND sulit untuk mendeteksi adanya antigen virus ND dalam setiap lesi dengan metode imunohistokimia dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap protein hemaglutinin-neuramidase dari virus ND. Lokalisasi antigen virus ND pada sel saraf nekrotik dalam malacia menunjukkan bahwa malacia dapat disebabkan oleh infeksi virus langsung pada sel-sel saraf.Selain itu, malasia mungkin juga disebabkan karena gangguan sirkulasi darah dengan kerusakan vaskular parah pada otak ayam yang terinfeksi virus ND, secara umum virus ND dapat menyebabkan kerusakan vaskular (pembuluh darah). Deteksi dengan menggunakan imunohistokimia untuk antigen virus ND pada saraf tepi belum pernah dilaporkan. Lokalisasi antigen ND virus di saraf berkorelasi dengan lesi dan antigen dalam jaringan limfoid dari usus dan dalam sel epitel trakea (Gohm et al. 2011). Oleh karena itu, antigen virus ND di saraf mungkin dari jaringan-jaringan limfoid mukosa atau sel epitel. Hal ini merupakan temuan menarik dan harus dipelajari secara detail di masa depan. ND dan avian influenza (HPAI) menunjukkan kondisi patologis yang berupa nekrosis fokal pada sistem saraf pusat dengan nodul glial dan pankreatitis nekrosis ringan yang diamati dalam HPAI dari ayam. Namun, ensefalitis non purulent parah dan necrotizing pancreatitis yang diamati lebih sering di HPAI. Ayam dari kasus yang sekarang menjadi resisten terhadap virus ND velogenik karena vaksinasi, dan kemudian mengalami ensefalitis berat dan pankreatitis. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit ini tidak dapat diobati, antibiotik hanya dipakai untuk mengendalikan infeksi sekunder bakteri. Pencegahan dilakukan dengan cara biosekuriti ketat, pemeliharaan allin/all-out, serta pelaksanaan vaksinasi. Oleh karena itu ayam yang sudah terserang sebaiknya cepat dimusnahkan karena dapat menulari ayam yang lain. Pengendalian terbaik adalah dengan vaksinasi seperti vaksin strain F, K dan La Sota. Hal ini umum untuk memantau respon terhadap vaksinasi, terutama di peternakan unggas dengan menggunakan pemantauan serologis rutin. HI dan ELISA telah digunakan secara luas. Program vaksinasi harus menggunakan vaksin dengan potensi tinggi, yang secara memadai disimpan dan memperhatikan kondisi lokal setempat (Mitruka 1981). Penggunaan aplikasi spray dianjurkan tetapi perlu diterapkan dengan hati-hati untuk mencapai perlindungan yang baik dengan reaksi minimal. Untuk mencegah atau mengurangi reaksi pasca vaksin di ayam muda penting agar ayam memiliki titer antibodi maternal yang seragam. Reaksi pasca vaksin dapat berupa konjungtivitis, snicking, dan kadang-kadang terengah-engah atau gasping. Di beberapa negara telah rutin dilakukan pemberian preparat antibiotik propilaktik untuk menekan gangguan Mycoplasma gallisepticum yang dapat mengurangi efektifitas vaksinasi, dan mengurangi resiko reaksi pasca vaksinasi (King 2008). Indonesia sebagai salah satu daerah endemik ND, program vaksinasi ND pada ayam broiler yang dilakukan sedikitnya dilakukan 2 kali. Pada program klasik ayam pedaging dilakukan pada umur 4-5 hari dan boosting pada umur 17-18 hari, sedangkan pada program inovatif dilakukan aplikasi vaksin aktif dan inaktif pada umur 4-5 hari saja ataupun dilakukan boosting lagi pada umur 17-18 hari. Vaksinasi dinyatakan berhasil apabila tidak muncul tanda-tanda klinis ND seperti muyung (tidak aktif, bulu sekitar kepala berdiri, leher memendek), pilek, mata berair, diare, tortikolis dan berujung kematian. Apabila virus ND lapang bersifat ganas, mungkin saja organ dalam ayam tidak rusak, akan tetapi ayam akan mengekskresikan virus melalui feses dan virus sempat berkembang dalam tubuh ayam tersebut. Strain La Sota merupakan salah satu strain vaksin lentogenik yang dipakai di banyak negara, tidak saja di Asia. Aplikasinya dapat diberikan secara intra okular atau lewat air minum. Strain La Sota sangat baik diberikan saat kekebalan induk mulai menurun dan kekebalan internal mulai berkembang (Shafqat 1996). Untuk isolasi rutin NDV dari ayam, kalkun, dan burung lainnya, sampel diperoleh dengan swabbing trakea dan kloaka.Virus ini juga dapat diisolasi dari paru-paru, otak, limpa, hati dan ginjal. Sebelum pengiriman sampel harus disimpan pada 4°C (kulkas) dan dikirim dalam kontainer khusus. Kejadian infeksi virus ND pada manusia sangat langka dan biasanya terjadi hanya pada orang yang memiliki kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi, misalnya pekerja pengolahan unggas, dokter hewan atau staf laboratorium. Virus hanya menyebabkan gangguan ringan, konjungtivitis jangka pendek atau gejala seperti influenza. Upaya pemberantasan penyakit dalam praktek internasional berupa : depopulasi semua unggas yang kemungkinan terpapar virus secepat mungkin, membuang setiap produk yang terinfeksi, kontrol karantina yang ketat, dekontaminasi virus yang tersisa, pelacakan dan pengawasan untuk menentukan tahapan infeksi serta zonasi daerah berisiko dan daerah bebas penyakit (Alexander 1991). Pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya penanggulangan ND, antara lain: a. Depopulasi b. Stamping out, langkah yang efektif dan cepat untuk menghilangkan agen penyebab penyakit secara tuntas. c. Biosekuriti dan desinfeksi yang ketat d. Pengawasan lalu lintas atau tindakan karantina yang ketat untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit dari daerah yang terkena e. Surveilans dan pelacakan untuk memantau penyebaran penyakit ND f. Vaksinasi serta monitoring pasca vaksinasi g. Public awareness untuk membangun kepercayaan masyarakat melalui edukasi, informasi dini dan komunikasi melalui media h. Restrukturisasi dan konsolidasi stake holder peternakan i. Penguatan peraturan perundang-undangan Vaksinasi Vaksinasi adalah suatu proses kegiatan memasukkan bibit penyakit ke dalam tubuh hewan baik berupa material hidup maupun mati dengan harapan agar menggertak antibodi hewan tersebut dalam kadar yang protektif dan mampu melindungi hewan dari ancaman infeksi agen penyakit lapangan. Ayam pedaging yang dipelihara secara intensif rentan sekali terkena infeksi menular. Salah satu penyakit infeksi yang paling penting adalah ND. Penyakit ini menyebabkan kerugian bukan hanya performa produksinya yang menurun, akan tetapi juga mempunyai dampak politis dan ekonomi dimana biaya penanggulangannya sangat tinggi. Penyakit ND dapat dikendalikan dengan pelaksanaan vaksinasi yang teratur dan termonitor dengan baik. Ada banyak strain virus ND yang dapat dipergunakan sebagai seed vaksin. Macam-macam sistem kekebalan yang ada di dalam tubuh dapat berupa : 1. Circulating antibodies (antibodi yang beredar dalam sirkulasi darah atau antibodi humoral) 2. Secreted antibody producing mucosal immunity (kekebalan mukosa) 3. Cell mediated immunity (sel imunitas atau antibodi seluler) Secara umum vaksin ada dua jenis, yaitu vaksin live (aktif atau hidup) dan vaksin killed (inaktif atau mati). Vaksin live (aktif) ini dibuat dari virus yang masih hidup dan mampu menginfeksi sel. Strain virus yang digunakan biasanya strain yang mempunyai virulensi rendah. Vaksin killed (inaktif) adalah vaksin yang berisi virus yang telah mati. Kemampuan virus untuk menginfeksi sel telah dihilangkan dengan kimiawi, radiasi atau panas. Vaksin ini hanya dapat menggertak respon proses circulating antibodies (Alexander 1991). Strain virus ND telah diklasifikasikan menjadi empat pathotypes sebagai berikut: 1. Avirulen 2. Lentogenic (virulensi rendah) 3. Mesogenic (virulensi sedang) 4. Velogenic (virulensi tinggi dengan mortalitas tinggi) Vaksinasi dilakukan dengan harapan replikasi virus tantang menjadi tidak leluasa dalam tubuh ayam yang kebal. Dengan demikian kuantitas cemaran virus ND yang ganas di lapangan akibat adanya viral shedding dari ayam yang terinfeksi akan menjadi minimal. Hasil titer antibodi yang didapat pada pemeriksaan HI maupun ELISA terhadap ND bukan hanya membaca angka demi angka saja, akan lebih bermakna apabila dikaitkan dengan umur ayam, jenis vaksin dan program vaksinasi yang digunakan serta riwayat kasus di peternakan tersebut. Titer antibodi yang terbaca merupakan penjumlahan dari titer antibodi maternal ditambah dengan titer vaksinasi dan titer yang didapatkan dari lapangan (Susan et al. 1998). Tabel 1 Beberapa contoh strain virus yang dipakai sebagai seed vaksin aktif Strain F B1 La Sota V4 V4-HR I-2 Mukteswar Komarov Penjelasan Lentogenik. Digunakan pada ayam muda tapi juga cocok untuk digunakan sebagai vaksin pada ayam dari semua umur Lentogenik. Digunakan sebagai vaksin pada ayam untuk semua umur Lentogenik. Sering menyebabkan reaksi pasca vaksinasi tanda-tanda pernapasan, sering digunakan sebagai vaksin booster Avirulen. Digunakan pada ayam untuk semua umur Avirulen. Termostabil, yang digunakan pada ayam semua usia Avirulen. Termostabil, digunakan pada ayam dari semua umur. Mesogenik. bersifat invasif, digunakan sebagai vaksin booster. Dapat menyebabkan reaksi post vaksinal (pernapasan terganggu, kehilangan berat badan, penurunan produksi telur dan kematian) . Biasanya diberikan melalui suntikan Mesogenik. Kurang patogen dibanding Mukteswar, digunakan sebagai vaksin booster. Biasanya aplikasi secara injeksi. Sumber : Munner et al. 2006 Tabel 2 Contoh Aplikasi Program Vaksinasi ND pada Ayam Broiler Program Umur Vaksin Strain Aplikasi Klasik 4 hari 16-18 hari ND live ND live La Sota La Sota Tetes mata Air minum Inovatif 4 hari 4 hari ND live ND Kill La Sota La Sota Tetes mata Inj. Sub cutan 4 hari 4 hari 16-18 hari ND live ND Kill ND live La Sota La Sota La Sota Tetes mata Inj. Sub cutan Air minum 1 hari 1 hari 1 hari ND live ND Kill IBD live Apathogenic Enterotropic La Sota IBD Immune Complex Spray Inj. Sub cutan Inj. Sub cutan Sumber : Shafqat 1996 Hatchaery Strain La Sota adalah salah satu strain vaksin klasik yang sudah dipakai oleh kalangan praktisi perunggasan dalam kurun waktu yang lama. Strain ini dipilih karena sifatnya yang lentogenik dan mempunyai daya imunologik yang cukup tinggi. Dalam aplikasinya strain ini bisa diberikan secara aktif melalui tetes mata, tetes mulut, tetes hidung, melalui air minum (per oral) maupun secara inaktif dengan cara injeksi sistemik ke dalam tubuh ayam. Selama ini strain ini dipakai sebagai pilihan di lapangan dan hasil titer yang didapat masih memberikan hasil protektif (Fred et al. 2008). Beberapa contoh aplikasi program vaksinasi ND pada ayam broiler dapat dilihat pada tabel 2. Program kontrol terhadap penyakit ND merupakan interaksi antara 3 hal yaitu status kekebalan, bibit penyakit dan lingkungan ayam. Meminimalkan konsentrasi dan keganasan bibit penyakit dengan meningkatkan biosecurity dan meminimalkan stress eksternal akan memberikan rasa nyaman bagi ayam terutama pada saat rawan seperti kualitas litter yang turun, kepadatan serta ventilasi yang kurang baik. Syarat keberhasilan suatu program vaksinasi adalah status ayam harus optimal dan diikuti dengan penerapan program yang tepat dan aplikasi yang baik. Menurut Dawson et al. (2006), ada 3 hal utama yang berhubungan dengan efektifitas program vaksinasi pada ayam pedaging, yaitu : 1. Kekebalan dari Induk Antibodi maternal peranannya sangat penting terutama pada awal kehidupan ayam, untuk memaksimalkannya diperlukan pemberian vaksin ND live sesegera mungkin untuk menggertak kekebalan lokal karena kekebalan ini tidak diturunkan secara vertikal dari induk ke DOC. Adanya kekebalan induk menyebabkan tingkat proteksi yang digertak oleh vaksin ND live di awal pemeliharaan akan lebih cepat turun akibat adanya proses netralisasi, karenanya kadang diperlukan program booster ataupun vaksinasi dengan vaksin in aktif. Kekebalan induk juga menyebabkan vaksin inaktif bekerja lebih lambat, sehingga diperlukan konsentrasi yang tinggi dan kemampuan pelepasan antigen yang lambat (slow release) untuk meminimalkan efek interferensi tersebut. 2. Aplikasi Vaksinasi Ada beberapa pilihan aplikasi program vaksinasi dengan vaksin live (aktif) yaitu secara spray, tetes mata dan air minum. Saat pemberian dengan air minum harus dikontrol kualitas air minum yang dipakai, antara lain kandungan logam. Hal ini dapat mengganggu efikasi penggunaan vaksin aktif. 3. Reaksi Pasca Vaksinasi Reaksi pasca vaksinasi seringkali menjadi masalah tersendiri dalam aplikasi vaksinasi aktif, baik sebagai priming maupun boosting. Pemilihan vaksin strain La Sota diperlukan karena kemampuan spreading strain ini yang baik terutama melalui tetes mata maupun air minum, walaupun strain ini mempunyai efek post vaksinal yang tinggi. Untuk meminimalkan efek negatif akibat reaksi pasca vaksinasi tersebut, status kesehatan ayam pada saat vaksinasi harus baik.Ayam dipastikan bebas dari penyakit pernafasan dan immunosuppresi. Kualitas udara harus lebih diperhatikan baik kadar amonia, debu dan kualitas litter dalam kandang tersebut. Mengoptimalkan ventilasi udara terutama setelah vaksinasi atau pada saat sheeding virus terjadi (3-7 hari pasca vaksinasi). Keseragaman asupan partikel vaksin antar individu pada saat vaksinasi dengan memaksimalkan kontrol pada saat aplikasi vaksinasi. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2011 hingga Januari 2012. Pemeliharaan ayam, vaksinasi dan pelaksanaan uji tantang serta pengamatan gejala klinis pasca uji tantang dilakukan di kandang Biosafety Level-2 (BSL-2) milik PT Medion, Bandung, Indonesia. Pembuatan preparat histopatologi, pewarnaan HE dan imunohistokimia dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Materi Penelitian Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan 80 ekor day old chick (DOC) ayam pedaging strain Lohmann sebagai obyek penelitian, dipelihara dalam 4 lokal kandang SPF dengan diberikan pakan standard two feed system, pakan starter dan grower (SMS 1 dan SMS 2; SUG), air diberikan secara ad libitum dan menggunakan program medikasi standard. Selain itu digunakan 3 ekor kelinci strain White New Zealand yang berumur 2 bulan yang dipelihara dengan pemberian pakan dan minum secara ad libitum. Bahan Penelitian Beberapa bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : Vaksin strain La Sota (MEDIVAC ND® dan MEDIVAC ND EMULSION ®) Material pewarnaan organ dengan HE atau imunohistokimia (IHK) Material uji titer antibodi dengan uji HI dan ELISA Isolat virus velogenik lokal Indonesia (VND/Tasik/M13/2009) Consumable pembuatan poliklonal antibodi, Complete Freund Adjuvant (CFA), Incomplete Freund Adjuvant (ICFA) Metoda Penelitian Pembuatan Antibodi Poliklonal Pertama-tama kita siapkan kelinci strain New Zealand White yang berumur 2 bulan sebanyak 3 ekor. Masing-masing dilakukan pemeliharaan dengan program feeding yang standard dan dilakukan program aklimatisasi, adaptasi selama 7 hari dan pemberantasan parasit dengan pemberian anti parasit. Setelah melewati masa adaptasi kelinci tersebut dibagi menjadi 2 kelompok. ekor.Kelompok perlakuan Kelompok perlakuan masing-masing 2 ekor, dan kelompok kontrol 1 kelompok diinjeksi virus ND lapang (VND/Tasik/M13/2009) dosis tunggal secara sub cutan (1 dosis mengandung virus dengan konsentrasi 106 EID50 (Egg Infectious Dose50). Injeksi antigen ND pada hari ke-7 menggunakan antigen ND yang telah dicampur dengan adjuvant CFA. Kelinci tersebut dipelihara hingga 3 minggu berikutnya dan dilakukan boosting dengan cara menginjeksikan virus ND lapang (VND/Tasik/M13/2009) tersebut sesuai dengan kelompoknya. Injeksi antigen hari ke-28 dilakukan dengan menginjeksi antigen ND yang telah dicampur dalam adjuvant secara intra muscular. Setelah 3 minggu pasca boosting kemudian dilakukan pengambilan serum darah guna pemeriksaan antibodi terhadap ND dengan metoda Bradford serta dilakukan boosting berikutnya dengan menginjeksikan virus ND lapang yang sama yang telah dicampur dengan adjuvant PBS secara intra muskular. Setelah boosting kedua, maka dapat dilakukan pemanenan antibodi poliklonal dari kelinci tersebut. Pemanenan dilakukan setelah hasil screening antibodi dalam serum diukur tingkat konsentrasinya dengan metoda Bradford menggunakan alat spektrofotometer. Bila hasil konsentrasi yang didapat cukup tinggi maka dapat dilakukan pemanenan dan tidak diperlukan boosting berikutnya. Pemanenan serum dilakukan melalui vena marginalis telinga. Sebelumnya hewan dihandling dan dipreparir sehingga telinga terlihat jelas dan mudah untuk dilakukan pengambilan darah. Darah diambil seperlunya dan disimpan dalam kontainer khusus dan ditempatkan dalam refrigerator hingga terbentuk serum. Untuk Kelompok kontrol pada hari ke-7 hanya diinjeksi dengan PBS. Karakterisasi protein dengan metoda Western Blot Secara umum ada 3 tahapan utama dalam proses karakterisasi dengan metoda ini yaitu preparasi sampel, elektroforesis dan transfer protein serta pewarnaan. Dalam preparasi sampel beberapa tahapan yang dilalui antara lain lysis buffer, penghambatan enzim protease dan phosphatase, persiapan lisat, penentuan konsentrasi protein serta persiapan sampel untuk loading ke dalam gel. Tahapan elektroforesis meliputi preparasi SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis), kontrol positif, penentuan bobot molekul, loading sample dan running gel, serta penggunaan loading control. Tahapan yang terakhir dari metoda ini yaitu transfer protein dan pewarnaan meliputi visualisai protein dalam gel, transfer, visualisasi membran protein dilanjutkan dengan blocking membran, inkubasi antibodi primer dan dilanjutkan dengan inkubasi antibodi sekunder. Dari hasil yang ada dapat dilihat berapa berat molekul (kDa) dan konsentrasi protein (mg/ml) dalam serum tersebut untuk menentukan apakah antigen yang digunakan benar benar murni virus ND. Pemeliharaan Ayam Sebanyak 80 ekor DOC dipelihara secara berkelompok dalam beberapa area terpisah di kandang BSL-2 milik PT Medion, Bandung. Secara umum dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu ayam yang divaksinasi pada umur 4 hari dan ayam yang tidak dilakukan vaksinasi. Pada kelompok ayam yang dilakukan vaksinasi, pada umur 4 hari, ayam-ayam tersebut dilakukan vaksinasi dengan memberikan vaksin live dan killed strain La Sota secara tetes mata sebanyak 1 tetes dan injeksi vaksin inaktif Medivac Emultion® secara sub cutan sebanyak 0.2 ml/ekor. Kemudian ayam-ayam tersebut dipelihara dengan program pemeliharaan yang standard secara terpisah sesuai kelompok masing-masing perlakuan hingga umur 22 hari.Pakan yang digunakan adalah pakan starter dan grower (SMS 1 dan SMS 2; SUG), two feed system, dan menggunakan program medikasi standard yang diterapkan di Satwa Utama Group (SUG). Guna pemeriksaan titer, maka dilakukan pengambilan darah pada umur 1, 18, dan 22 hari. Sampel darah tersebut diuji dengan metoda Hemagglutination inhibition (HI). Infeksi Virus Tantang Setelah ayam berumur 20 hari maka ayam dikelompokkan ke dalam 4 kelompok yaitu: Kelompok ayam yang tidak divaksin dan tidak ditantang sebagai kontrol negatif (K1) Kelompok ayam yang tidak divaksin tapi ditantang dengan virus lapang, sebagai kontrol positif (K2) Kelompok ayam yang divaksinasi dan ditantang dengan virus lapangan (P1) Kelompok ayam yang divaksinasi tapi tidak ditantang (P2) Masing-masing kelompok ayam dipelihara dalam area yang terpisah. Pada umur 25 hari ayam dalam kelompok yang ditantang, dilakukan infeksi dengan menginjeksikan virus ND velogenik isolat lokal (VND/Tasik/M13/2009) secara intra muscular (Tran Dinh Tu et al. 1998) dengan dosis 104 EID50 (sesuai standard BPMSOH dan FOHI). Setelah diinfeksi, maka dilakukan pengamatan dan pencatatan gejala klinis hingga 7 hari pasca infeksi (Loke et al. 2005). Pengamatan Gejala Klinis, Penghitungan Asupan Feed Intake (FI), Penentuan Body weight (BW) dan Feed Conversion Rate (FCR) Pengamatan gejala klinis dilakukan selama penelitian, yang meliputi perubahan tingkah laku, penurunan nafsu makan, kesiagaan (alert) dan kematian. Setiap pukul 06.00 pagi dilakukan pemberian pakan sesuai standard, dan pada jam yang sama dilakukan penimbangan sisa pakan yang masih terdapat di dalam tempat pakan. Dari perlakuan tersebut dapat diketahui asupan pakan harian masing masing individu dalam satu kelompok perlakuan. Penimbangan bobot badan dilakukan rutin setiap minggunya. Penimbangan bobot badan juga dilakukan terhadap masing-masing individu ayam sehingga didapatkan data bobot badan mingguan. Data yang ada kemudian dikumpulkan dan dihitung secara statistik sehingga didapatkan data rata-rata dalam setiap kelompok. Konversi pakan dapat dihitung apabila data bobot badan dan asupan pakan sudah tersedia. FCR merupakan nilai perbandingan konversi pakan yang diperlukan untuk menghasilkan 1 kg daging. Pemeriksaan Patologi Anatomi Otak, Duodenum dan Proventrikulus dan Pembuatan Preparat Histopatologi Selama penelitian dilakukan pencatatan perubahan gejala klinis dan apabila terdapat ayam yang mati maka segera dilakukan nekropsi guna mengetahui perubahan patologi anatomi dari ayam tersebut dan mengambil beberapa organ guna pemeriksaan lebih lanjut (Bell et al. 1995). Apabila ayam masih dalam keadaan hidup maka dilakukan nekropsi pada hari ke 3, 5 dan 7 pasca infeksi masing-masing 3 ekor tiap kelompok guna dilihat perubahan patologi anatomi serta pengambilan organ guna pemeriksaan lebih lanjut. Organ yang diambil dimasukkan dalam kontainer khusus dan difiksasi dengan larutan buffer neutral formalin (BNF) 10 %, kemudian dilakukan dehidrasi menggunakan alkohol tissue processor melalui alkohol dan xylene bertingkat (Mohammadamin & Qubih 2011). Setelah itu preparat direndam dalam media parafin cair sebelum dibuat blok parafin. Proses selanjutnya adalah embedding dalam parafin serta didinginkan pada suhu kamar, sehingga menjadi blok parafin. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom setebal 3-4 µm. Potongan organ diletakkan pada gelas obyek yang sebelumnya telah dilapisi gelatin dan CrK(SO)4. Selanjutnya dilakukan proses deparafinasi dan rehidrasi untuk proses pewarnaan HE dan imunohistokimia. Pewarnaan Imunohistokimia Sesuai dengan metoda yang dianjurkan oleh perusahaan pembuat kit imunohistokimia, maka dilakukan unmasking antigen retrieval dan kemudian dilanjutkan dengan mengunakan DAB (3,3-diamino benzidine) kit. Blocking aktifitas endogenous dengan preparat H2O2 3 % selama 20 menit. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan PBS tween dan kemudian direndam dalam susu skim 0.1 % selama 30 menit, kemudian dicuci kembali dengan PBS tween. Antibodi primer yang digunakan adalah antibodi poliklonal yang dipanen dari kelinci yang diinjeksi dengan virus ND isolat lokal (VND/Tasik/M13/2009). Inkubasi selama 24 jam pada suhu 4º C, kemudian preparat dibilas dengan PBS tween dan ditambahkan antibodi sekunder. Preparat diinkubasi selama 1 jam. Setelah antibodi sekunder dibilas dengan distillated water (DW), dilakukan pewarnaan dengan DAB sebagai kromogen. Sebagai counterstain digunakan Lillie Mayer hematoksilin agar mendapatkan wara kebiruan sebagai latar belakang serta antigen yang telah terwarnai dengan kromogen akan berwarna kecoklatan. Hasil preparat yang telah terwarnai kemudian diamati di bawah mikroskop. Pemeriksaan dinyatakan positif apabila dalam pembacaan preparat ditemukan antigen yang terwarnai kecoklatan dan dinyatakan negatif apabila preparat semua penampang tampak kebiruan dan tidak ditemukan antigen yang terwarnai kecoklatan sama sekali. Analisa Statistika Data data tentang perbedaan bobot badan, FCR, titer antibodi akan ditabulasikan dalam bentuk rataan, standard deviasi, koefisien variasi dan disajikan dalam bentuk tabel. Data hasil pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan HE dan immunohistokimia dianalisa secara deskriptif dan kualitatif. Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan untuk mengetahui signifikasi perbedaankadar titer antibodi, FCR, feed intake dan bobot badan (Steel & Torrie 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Proteksi Antibodi maternal pada saat DOC umur 1 hari memperlihatkan hasil yang seragam. Antibodi maternal merupakan kekebalan yang diturunkan oleh induk kepada keturunannya sebagai bekal awal masa perkembangan. Hasil koefisien variasi yang hanya 13.3% menunjukkan keseragaman antibodi yang baik, karena koefisien variasi yang kecil (dibawah 35%) menunjukkan masing-masing individu seragam dan variasinya kecil. Selain itu menunjukkan bahwa kekebalan yang didapat dari induk juga baik dan seragam. Vaksinasi rutin pada induk dilakukan guna menjaga titer antibodi berada dalam tahap protektif (Liang et al. 2002). Kekebalan maternal 35.2 (GMT) yang didapatkan dalam penelitian ini, masih cukup baik dan protektif. Mayoritas DOC komersial di Indonesia mempunyai titer antibodi dengan uji HI terhadap ND dari induk umumnya berkisar antara 20-25 (Rahaju dkk 1991). Titer antibodi induk yang bersirkulasi dalam darah DOC tersebut sangat bergantung kepada tiga faktor utama, yaitu status kekebalan induk (parent stock), kondisi umum DOC sendiri serta manajemen pemeliharaan. Pada kasus stress hebat, maka absorbsi antibodi induk dalam sisa kuning telur menjadi tidak optimal. Penanganan brooding yang kurang baik akan menyebabkan terjadi persistensi kuning telur akibat penyerapan yang kurang sempurna sehingga menyebabkan antibodi induk yang terdapat pada sisa kuning telur tidak akan terserap sempurna. Jika DOC tidak divaksinasi setelah menetas, maka titer antibodi dari induk akan berangsur-angsur menurun dan mendekati titer nol pada saat ayam berumur 14-21 hari tergantung status kekebalan ayam tersebut. Waktu paruh titer antibodi terhadap ND pada ayam kurang lebih 4.5 hari (Brown et al. 1999). Ini berarti setiap 4.5 hari titer antibodi yang ada akan turun menjadi separuhnya. Titer antibodi induk yang cukup selama minggu pertama akan memberikan proteksi terhadap kasus ND di lapangan. Pada umur 18 hari hasil titer menunjukkan bahwa kelompok kontrol yang tidak divaksinasi (K1 dan K2) mempunyai kadar titer yang rendah, sedangkan pada kelompok perlakuan yang divaksinasi (P1 dan P2) titer meningkat. Antibodi yang terukur lebih merupakan reaksi dari vaksin aktif yang diberikan mampu menggertak kekebalan lokal di glandulla harderian mata dan sekitar mulut dan hidung yang menyebabkan pembentukan antibodi dengan cepat (Rauw et al. 2010). Aplikasi vaksinasi menurut Loke (2005), sangat menentukan penurunan titer antibodi pasca boosting. Vaksinasi yang diberikan secara tetes mata akan menggertak kekebalan lokal untuk memproduksi antibodi di saluran respirasi bagian atas dan organ pencernakan serta mencegah infeksi pada permukaan mukosa dan mereduksi replikasi virus pada bagian tersebut, sedangkan secara parenteral akan mengiduksi kekebalan humoral, produksi antibodi lokal dan sedikit atau tanpa adanya respon seluler (Rauw et al. 2010). Vaksin killed mulai bekerja setelah 18 hari ketika antibodi yang dihasilkan oleh vaksin aktif mulai menurun, kemudian diganti dengan pelepasan secara perlahan lahan vaksin in aktif akibat material vaksin yang terlarut dalam oil adjuvant. Pada Tabel 3, teramati kadar titer antibodi antara kelompok perlakuan (P1 dan P2) sebelum dilakukan uji tantang yaitu pada pemeriksaaaan titer 22 hari, hasilnya tidak berbeda signifikan. Hal ini diakibatkan belum ada perbedaan perlakuan antar kelompok tersebut. Perbedaan terlihat pasca uji tantang umur 25 hari, dimana pada pemeriksaan titer antibodi antara kelompok P1 dan P2 hasilnya berbeda signifikan. Kelompok P1 pada umur 25 hari dilakukan uji tantang dan pada pemeriksaan titer antibodi umur 28 hari mempunyai kadar yang lebih tinggi dibanding P2. Pemeriksaan 3 hari pasca uji tantang (umur 28 hari) titer kelompok P1yang ditantang dengan virus velogenik ND jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P2. Hal ini karena inisiasi antigen virus tantang mampu memberikan respon yang dapat menggertak pembentukan antibodi yang lebih tinggi dan terbaca pada pemeriksaan uji HI (Roy &Venugopalan 1999). Menurut Shafqat (1996), titer tertinggi akan didapatkan 3-5 mingu pasca vaksinasi, dimana makrofag-makrofag yang ada akan bekerja menangkap antigen virus tantang. Kadar titer humoral pada pemeriksaan HI test kelompok P1 mulai menurun bila dibandingkan dengan P2 pada 5 hari pasca uji tantang. Turunnya kadar titer 5 hari pasca uji tantang kelompok P1 kemungkinan karena turunnya antibodi humoral akibat multiplikasi virus tantang dan dibawa secara sistemik ke semua organ (Brown 1999), sedangkan kelompok P2 lebih tinggi menunjukkan penyerapan material vaksin yang lebih lambat akibat tidak adanya virus tantang. Vaksin inaktif yang terlarut dalam emulsi dengan minyak mineral yang diberikan secara intra muscular ataupun sub cutan akan menginduksi kekebalan humoral dan sedikit atau tanpa respon seluler (Rauw et al. 2010). Pemeriksaan antibodi humoral kelompok P1 pada 7 hari pasca uji tantang didapatkan titer yang turun hingga mencapai 18, begitu pula dengan kelompok P2 yang titer antibodinya juga menurun (12). Hal ini menunjukkan pada pengujian dengan HI test model aplikasi vaksinasi yang digunakan mempunyai masa rawan setelah umur 32 hari, dimana titer antibodi sangat rendah dan rentan terinfeksi virus ND lapangan. Unggas dikatakan protektif menurut Henning et al. (2008), bila titer HI di atas log 23 dan ini akan melindungi unggas dari infeksi NDV dan bila titer HI di atas log 21 dinyatakan sebagai seropositif. Vaksinasi pada umur 4 hari menurut Shafqat (1996) sangat penting mengingat beberapa alasan antara lain : a. Kekebalan permukaan (surface immunity) sistem pernafasan pada saat menetas tidak ada, padahal saluran pernafasan pada ayam menjadi pintu masuk (port d’ entry) virus ND ke dalam jaringan tubuh yang lain b. Proses pembentukan antibodi terhadap ND yang aktif dan cukup memerlukan waktu beberapa hari. Sebagai contoh untuk vaksin ND aktif antara 1-2 minggu pasca vaksinasi, sedangkan vaksin in aktif memerlukan waktu 2-4 minggu pasca vaksinasi. c. Maternal antibody yang masih beredar dalam jaringan tubuh ayam, sehingga apabila diberikan vaksinasi sedini mungkin akan menyebabkan reaksi pasca vaksinasi yang lebih ringan dan perkembangan organ tubuh serta pertumbuhan ayam tidak terganggu. Pada pengujian ELISA (Tabel 3) pola titer antibodi hampir sama dengan uji HI sampai pemeriksaan 3 hari pasca uji tantang dimana didapatkan data kelompok Kontrol (K1 dan K2) memiliki titer yang rendah selama pemeriksaan. Kelompok P1 mempunyai hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P2 yang tidak dilakukan uji tantang pada pemeriksaan 3 dan 7 hari pasca uji tantang. Hal ini memberikan gambaran bahwa antigen virus tantang juga ikut menggertak peningkatan antibodi kelompok ayam perlakuan. Kelompok P2 pada 5 hari pasca uji tantang mempunyai kadar antibodi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan P1. Hal ini bisa disebabkan karena aktifitas sistem imun dan makrofag pada kelompok P2 tidak terganggu oleh adanya infeksi dan memberi gambaran pelepasan partikel vaksin secara pelan-pelan akibat adjuvant minyak (Panshin et al. 2002). Perbedaan pola terlihat pada Gambar 3, dimana pemeriksaan titer antibodi umur 30 dan 32 hari pada pengujian dengan HI test berbeda dengan hasil titer antibodi pada pengujian dengan metode ELISA. Pada pengujian HI test teramati titer antibodi menurun drastis setelah 30 hari, akan tetapi pada pemeriksaan ELISA titer antibodi justeru meningkat. Hal ini menurut Tiwari et al. (2003) kemungkinan disebabkan sensitivitas yang tinggi pada pengujian ELISA yang dapat mengamplifikasi beberapa komponen protein yang mirip sehingga terbaca positif (positif palsu). Menurut Tiwari et al. (2003), pemeriksaan titer antibodi terhadap ND, metode HI lebih baik dibandingkan ELISA karena respon antibodi pada pengujian HI lebih spesifik terhadap protein HN. Variabilitas NDV berkaitan bukan hanya dengan glikoprotein eksternal tetapi juga glikoprotein internal. Kejadian mutasi secara spontan lebih bertanggung jawab dalam perubahan variasi antigenik NDV dibanding tekanan imunologi (Panshin et al, 1997). Berbeda dengan hal itu, menurut Henning et al. (2008), uji ELISA memberikan gambaran hasil yang lebih mendekati kenyataan, karena sifat uji ini yang lebih spesifik dan bersifat mikromolekuler atas dasar ikatan antigen-antibodi dan diukur derajat warnanya dengan intensitas warna kromogen. Gambar 3 Grafik perbandingan pola titer antibodi pada pengujian dengan metoda HI dan ELISA Keseragaman titer masing-masing individu yang diperiksa sangatlah penting untuk menghasilkan respon yang seragam. Beberapa faktor yang dapat membuat penyimpangan hasil titer antara lain efikasi strain vaksin yang dipilih, faktor penghambat seperti tingginya maternal antibodi dan kemampuan vaksin aktif ND untuk menghasilkan stress serta infeksi sekunder (Shafqat 1996). Uji ELISA terhadap ND sangat jarang diaplikasikan baik di lapangan maupun di laboratorium. Pemeriksaan titer antibodi dalam penelitian ini dilakukan dengan dua metode pengujian untuk melihat pola hasil titer antibodi masingmasing metode. Guna menentukan konsentrasi antigen atau antibodi dapat digunakan metoda Bradford, dimana dilakukan elektroforesis selama 15 menit, kemudian dipanaskan dan dibaca pada spectrophotometer pada panjang gelombang (λ) 595. Kombinasi karakterisasi antigenik dengan analisa phylogenetic akan memberi gambaran banyaknya strainvirus ND velogenik (Tsai et al. 2004). Antibodi poliklonal yang didapat, diukur konsentrasinya dengan spectrophotometer dan dihasilkan rataannya yang kemudian dengan rumus tabel linear didapatkan angka konsentrasi sebesar 60.1 mg/ml. Hal ini dipandang sudah cukup tinggi untuk segera dilakukan pemanenan serum sesegera mungkin. Pada pemeriksaan berat molekul protein antigen virus tantang yang digunakan didapatkan hasil berat molekul antara 70-75 kDa (Gambar 4). Hal ini bermakna bahwa antigen virus yang dipakai dan diperiksa dalam pengujian ini adalah benar-benar virus ND dan mempunyai tingkat kemurnian yang baik. M SDS PAGE Gambar 4 M WESTERN BLOT Hasil karakterisasi protein dengan SDS PAGE dan Western Blot. Berat molekul pada SDS PAGE dan Western blot menunjukkan angka kisaran 70-75 kDa (panah hitam) dan konsentrasi 60.1 mg/ml. Fenomena munculnya kasus ND di beberapa daerah, menimbulkan spekulasi apakah memang vaksin ND strain La Sota sudah tidak cocok lagi dengan strain lapangan yang ada di Indonesia. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini terlihat bahwa ayam yang divaksin dengan vaksin strain La Sota masih mampu dan protektif memberikan kekebalan terhadap ayam broiler sebagai obyek penelitian. Hal ini terlihat dari hasil titer antibodi di atas standard baik pada pengujian HI maupun ELISA. Virus ND yang menyerang di seluruh dunia masih tergolong ke dalam satu serotipe yaitu Paramyxovirus tipe I (PMV-1), dimana penggolongan ini didasarkan pada kesamaan antigenik pada uji HI (Henning et al. 2008). Pendapat yang lain tentang wacana penggunaan strain velogenik lokal sebagai seed vaksin dengan asumsi bahwa vaksin semakin efektif apabila strain yang digunakan homolog dengan strain virus lapangan yang ada. Hal ini tidaklah salah, akan tetapi perlu diperhatikan tentang aturan yang tertuang dalam panduan OIE (Office International de Epizooties) bahwa hanya strain virus ND lentogenik dan mesogenik saja yang boleh digunakan sebagai vaksin aktif, karena apabila strain velogenik dipakai sebagai vaksin dikhawatirkan sifat virulensinya masih tinggi sehingga malah akan membahayakan bagi ayam dan lingkungan. Solusinya adalah penggunaan strain velogenik lokal sebagai strain vaksin inaktif (killed-vaccine). Hal ini masih dapat diijinkan sesuai aturan OIE. Pada pemeriksaan laboratorium, titer antibodi dengan uji HI mulai menurun 5 hari pasca infeksi, sehingga perlu diperhatikan masa rawan apabila ayam pedaging tersebut akan dibesarkan, mengingat titer antibodi mulai menurun dan beresiko tinggi terserang ND dari lapangan. Selain itu perlu ada penelitian lebih lanjut untuk mengukur luasan shedding virus tantang tersebut secara rinci pada ayam yang diaplikasikan vaksin. Sangat mungkin ayam tidak menunjukkan tanda-tanda klinis ataupun kematian tetapi shedding virus terus berjalan, dan virus tetap mengalami replikasi di dalam tubuh ayam tersebut, sehingga ayam tersebut bertindak sebagai seeder. Hal ini menjadi penting apabila diimplementasikan di kandangkandang maupun sifat penularan virus ND yang mayoritas melalui aerosol. Pertumbuhan Berat Badan, Feed Intake dan Feed Conversion Rate Perbedaan bobot badan antar kelompok perlakuan seperti tertera dalam tabel 4 menggambarkan bahwa pada minggu pertama dan kedua antar kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. DOC yang dipakai adalah DOC platinum jantan dengan berat awal minimal 40 gram. Aplikasi vaksinasi yang baik dan tidak menimbulkan stress pada ayam perlakuan bisa juga dilihat dari data tersebut. Setelah pemeliharaan 21 hari mulai terlihat berbeda signifikan kelompok P2 mempunyai bobot rata-rata yang lebih tinggi bila dibandingkan kelompok yang lain dan hal ini berlanjut hingga akhir panen. Bobot badan kelompok K2 pada 28 hari paling rendah dan berbeda signifikan dibanding kelompok yang lain karena ayam mulai sakit pasca uji tantang dengan virus lapang. Menurut Kuiken et al. (1999) salah satu efek klinis dari infeksi NDV adalah menyebabkan anorexia dan usus kosong tidak berisi makanan, akibatnya pertumbuhan bobot juga terganggu. Ayam kelompok P1 yang divaksinasi dan ditantang, bobot badannya lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang divaksinasi dan tidak ditantang. Kelompok kontrol yang tidak divaksinasi dan tidak ditantang (K1) mempunyai bobot akhir yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang divaksinasi dan tidak ditantang (P2). Hal ini menunjukkan vaksin yang dimasukkan pada umur 4 hari memberikan reaksi positif terhadap sistem pertahanan tubuh, karena ayam memiliki tingkat proteksi yang lebih baik, sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh tantangan virus sejenis dari luar. Asupan pakan (feed intake) dan konversi pakan untuk dirubah menjadi daging sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan ayam. Asupan pakan yang tinggi belum tentu akan dikonversikan menjadi daging apabila kondisi metabolisme dalam tubuh ayam terganggu. Dari data yang ada terlihat asupan pakan hingga minggu ke-3 semua kelompok relatif tidak berbeda signifikan. Asupan pakan masing-masing kelompok mulai berbeda signifikan setelah umur 28 hari. Kelompok K2 dengan asupan pakan hanya 2.01 kg/ekor hingga umur 28 hari karena kondisi kesehatan yang kurang maka pertumbuhan dan asupan pakannya menjadi menurun, akibatnya FCR menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan pengamatan Gohm et al. (2000) dimana pada ayam yang terkena ND mulai 3 hari pasca infeksi ditemukan gejala klinis seperti depresi dan diare. Setelah dilakukan bedah bangkai teramati adanya fokus hemoragi di mukosa proventrikulus dan usus halus (duodenum dan jejunum) serta usus kosong tidak berisi makanan. Berbeda dengan kelompok P2 dimana dengan asupan pakan rataan 2.15 kg/ekor mampu menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang tinggi sehingga FCR yang dihasilkan menjadi efisien. Program vaksinasi yang diberikan pada kelompok P2 terbukti signifikan mampu memberikan perbaikan konversi pakan yang dimakan ayam guna menjadi daging. Perubahan Klinis Pada pengamatan gejala klinis yang diamati adalah ayam kelompok ayam K2 (tidak divaksinasi, ditantang) dan P1 (Kelompok ayam yang divaksinasi dan ditantang). Terlihat pada tabel bahwa pada kelompok K2 mulai hari ketiga pasca infeksi teramati gejala klinis berupa ngantuk, lesu, bulu kusam serta diare kehijauan. Pada hari keempat selain gejala tersebut juga nafsu makan mulai menurun serta mulai timbul kematian hingga hari ke-7 pasca uji tantang (Tabel 5). Tabel 5 Hari ke3 4 5 6 7 * K2 P1 Pengamatan Gejala Klinis yang muncul per hari pasca uji tantang tiap kelompok (*) Jumlah Ayam Dalam Kelompok Nafsu makan Lesu, mengantuk dan bulu Diare kehijauan Mati turun kusam K2 P1 K2 P1 K2 P1 K2 P1 4 6 10 10 10 4 7 7 7 4 1 1 1 6 1 1 1 1 Jumlah ekor ayam dalam kelompok yang menunjukkan gejala klinis pasca uji tantang : Kelompok yang dilakukan uji tantang tanpa vaksinasi : Kelompok yang dilakukan uji tantang dan dilakukan vaksinasi Menurut Oladele et al. (2008), gejala klinis biasanya muncul setelah 3-4 hari pasca infeksi antara lain demam, anorexia, anemia, diare, dehidrasi, paralisa alat gerak (kaki dan sayap), kejang-kejang dan berakhir kematian. Menurutnya anemia terjadi karena lisisnya sel darah merah (eritrosit) dan hemoragi pada dinding usus dan proventrikulus akibat replikasi virus ND dan kematian mulai terlihat 4 hari pasca infeksi dan puncaknya pada hari ke-7. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ada dimana pada hari ke-7 pasca uji tantang semua ayam kelompok K2 sudah mati. Selain itu terdapat juga perubahan antara lain : hiperemi dan oedema konjungtiva, depresi dan sianosis pada bagian pial (Gohm et al. 2010). Virus strain velogenik menurut Alexander (1991), mampu menyebabkan morbiditas dan mortalitas hingga 100% pada ayam yang tidak divaksinasi. Unggas yang divaksinasi cenderung memiliki infeksi yang lebih ringan. Menurut King (2008), bahwa masa inkubasi ND ratarata 5-6 hari tergantung dosis virus, spesies inang, umur, status imunitas serta stress fisiologi. Menurutnya 2-3 hari pasca uji tantang unggas akan terlihat depresi, diare kehijauan dan daerah kepala yang menghitam. Hari kelima pasca infeksi beberapa unggas mulai mati serta timbul gejala syaraf. Gejala syaraf pada percobaan ini tidak muncul selain dikarenakan strain virus yang dipakai sebagai uji tantang adalah tipe VVND dan menurut King (2008) gejala syaraf merupakan kompensasi pertahanan terhadap infeksi dalam waktu yang lama. Perbedaan gejala klinis antara velogenicviscerotropic ND (VVND) dan velogenic neurotropic ND (VNND) adalah pada VVND menghasilkan bentuk klinis yang bersifat akut dengan ditandai depresi, dan kematian 5 hari pasca infeksi. Sedangkan pada VNND menghasilkan gejala khusus paresis dan paralisa.Kelompok P1 tidak ditemukan gejala klinis tersebut. Hal ini menunjukkan secara umum bahwa vaksinasi terbukti protektif secara klinis melindungi ayam dari serangan virus tantang. Hanya perlu dilakukan pengamatan lebih jauh tentang besaran dan luasan shedding virus yang diinfeksikan ke dalam tubuh ayam tersebut (Miller 2008). Di Mesir, ND yang didiagnosa selama 2005 awalnya menunjukkan tanda tanda klinis depresi, diare kehijauan, paresis dan kematian 2-3 hari pasca infeksi. Gejala lain yang muncul antara lain konjungtivitis, unggas berdiri dengan sayap menggantung (Abdel-Moneim et al. 2006). Perbedaan utama infeksi strain lain menurut Brown (1999), unggas yang diinokulasi dengan isolat mesogenik dan lentogenik tidak menunjukkan gejala klinis yang menciri. Sedangkan pada unggas yang diinfeksi dengan isolat velogenik NDV akan muncul gejala klinis berupa inkoordinasi gerak, depresi, diare hijau keputihan, head shaking, penurunan nafsu makan dan berakhir kematian (Aldous 2008). Virus tantang yang digunakan dalam penelitian ini adalah virus strain velogenik ND yang diisolasi dari lapangan di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat itu, terjadi wabah ND pada ayam pedaging di daerah tersebut. Setelah dilakukan isolasi dan pemurnian maka didapatkan isolat murni lapangan, yang selanjutnya diidentifikasi guna mengetahui tipe virus baik secara genotipe maupun patotipe. Patotipe NDV juga dapat dilakukan dengan menggunakan fluorogenic probes PCR (Aldous et al. 2001). Dari pemeriksaan lanjutan didapatkan virus VND/Tasik/M13/2009 termasuk tipe velogenik dan golongan genotipe VII. Menurut Liang (2002) patogenitas isolat bisa diukur dengan beberapa parameter antara lain : a. Mean Death Time (MDT) pada telur SPF bertunas umur 9-11 hari b. Intra Cerebral Pathogenicity Index (ICPI) pada ayam SPF umur 1 hari c. Intra Venous Pathogenicity Index (IVPI) pada ayam umur 6 minggu dengan masa observasi selama 7-8 hari Tabel 6 Pembagian virus ND berdasar Patotipe Patotipe ICPI IVPI MDT(hours) Plaqueformation Velogenik Mesogenik 1.5 - 2.0 1.0 - 1.5 2.0 - 3.0 0.0 - 0.5 < 60 60 - 90 Yes Yes Lentogenik Asimptomatik 0.2 - 0.5 0.0 - 0.2 0.0 0.0 > 90 > 90 No No Sumber : OIE 2009 Menurut Alexander (1991), infeksi strain velogenik bersifat fatal dengan tanda-tanda klinis berupa lesu, tremor, paresis, bulu kusam, konjungtiva mata kemerahan dengan edema sebagai gejala awal. Edema di sekitar mata akan terlihat jelas 2-3 hari pasca infeksi, tidak disertai perubahan pada jengger dan pial (seperti HPAI). Sebuah cincin gelap kadang terbentuk di sekitar mata, diakibatkan sianosis dan sirkulasi darah yang buruk pada jaringan edema. Beberapa unggas terlihat diare, putih kehijauan disertai gangguan pernafasan hingga berujung kematian. Diare kehijauan gelap biasanya ditemukan 2-3 hari pasca infeksi. Unggas yang mampu bertahan selama 2 minggu sejak terinfeksi biasanya akan hidup, tetapi mengalami kerusakan neurologis yang permanen. Strain velogenik memilki MDT kurang dari 60 jam, IVPI 2.0-3.0 dan, ICPI 1.5-2.0 (Tabel 6). A Gambar 5 B Gejala klinis ayam kelompok K2 terlihat lesu, mengantuk, nafsu makan menurun, bulu kusam (A) serta diare kehijauan (B). Perubahan Patologi Anatomi dan Histopatologi Perubahan patologi anatomi pada ayam kelompok K2 dimulai pada 3 hari pasca uji tantang dimana pada organ proventrikulus terlihat lapisan epithel yang mudah terkelupas, hiperemi, hemoragi di dalam kelenjar dan produksi mukus berlebih. Mohammadamin dan Qubin (2011) pernah melakukan hal serupa dan didapatkan perubahan pada proventrikulus antara lain : pemendekan papillae dan infiltrasi limfosit yang meluas di mukosa. Pada usus halus terlihat hiperemi, vaskularisasi meningkat, ceca tonsil bengkak dan terjadi perdarahan. Hal ini bisa terjadi akibat suhu tubuh yang sangat tinggi akibat viremia akan menyebabkan rusaknya struktur pembuluh darah sehingga sel darah akan keluar dari pembuluh darah. Anemia terjadi karena replikasi virus yang menyebabkan lisisnya eritrosit dan kejadian hemoragi pada dinding usus dan mukosa proventrikulus (Cheville et al. 1972). Pada organ otak tidak ditemukan perubahan. Pada ayam kelompok P1 hanya ditemukan perubahan hiperemi pada usus halus saja, sedang organ proventrikulus dan otak tidak mengalami perubahan. Walaupun kelompok P1 dilakukan vaksinasi tapi tetap ada perubahan lesion walaupun lesionya jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi. Menurut Alexander, seorang virolog Inggris mengatakan bahwa virus ND yang ganas (virulen) tetap dapat menginfeksi dan melakukan perbanyakan serta diekskresikan dari ayam yang mempunyai status kekebalan terhadap ND yang baik. Selama masa inkubasi di daerah limfoid usus terjadi kerusakan yang sifatnya masif termasuk pada caeca tonsil dimana jaringan limfoid akan diganti dengan fibrin dan karyorrectic debris dan juga ulserasi pada epithel usus (Brown et al. 1999). Kelompok K1 dan P2 yang tidak dilakukan uji tantang tidak mengalami perubahan di semua organ. Sedangkan pada usus perubahannya terjadi pemendekan dan penggabungan villi-villi usus. Sesuai dengan pendapat King (2008), bahwa dalam infeksi VVND sering diketemukan lesi hemoragik pada mukosaproventrikulus, ceca tonsil dan usus halus, dimana lesi akan terkonsentrasi di jaringan limfoid seperti seka tonsil dan Peyer’s patches. A F Gambar 6 B C E D Perubahan patologi anatomi organ kelompok K2 yang ditantang dengan virus velogenik isolat lokal. Proventrikulus hemoragi difus (A; panah hitam), ptekia (B; panah orange), nekrotik-hemoragika duodenum (E dan F; panah hijau) serta nekrotik-hemoragika seka tonsil (D; panah ungu). Sedangkan kelompok P1 yang divaksinasi dan ditantang tidak ada perubahan lesio spesifik ND (C; panah biru). Pada usus halus hemoragi akan menyebabkan nekrosis dinding usus dan ditemukan juga perubahan berupa respon hiperplasia pada jaringan epitel, infiltrasi sel radang mononuklear terutama di lapisan sub mukosa, oedema, denaturasi protein, vasodilatasi pembuluh darah serta adanya nekrosis, walaupun superficial granulomatous proventriculitis juga bisa ditemukan (Kuiken et al. 1998). Limpa kadang terlihat membesar, berwarna gelap kemerahan atau berbintik, pankreas mengalami nekrosis dan edema paru-paru kadang ditemukan pada beberapa kasus (Alexander 1981). Pada hari ke-4 pasca uji tantang ditemukan perdarahan yang berupa petechiae sampai hemoragi di mukosa proventrikulus, serta nekrotik hemoragika pada duodenum dan ceca tonsil. Sel sel kelenjar proventrikulus mengalami nekrosis dan lumen kelenjar meluas dan berisi sel radang bersama runtuhan sel. Kapiler antar kelenjar proventrikulus mengalami hiperemi ataupun hemoragi ringan. Hal ini sesuai dengan pendapat Oladele et al. (2008), dimana ayam yang terinfeksi akan mengalami perubahan hemoragi pada mukosa proventrikulus. Menurut Brown (1999), lesi menciri pada 4 hari pasca infeksi adalah hemoragi nekrotik di seka tonsil dan usus halus. Pada usus halus lesi nekrotik hemoragi bersifat multifokal.Secara histopatologi ditemukan lesi nekrosis fokal maupun difus serta infiltrasi sel mononuklear pada jaringan limpa, hati, ginjal, paru-paru, usus, sekum, proventrikulus dan otak (Oladele et al. 2008). Pada hari ke-5 hingga hari ke-6 pasca uji tantang semua sampel ayam kelompok K2 selalu ditemukan perdarahan yang meluas di proventrikulus dan di organ usus halus ditemukan nekrotik-hemoragika. Jaringan epitel mengalami nekrosis. Lumen kelenjar proventrikulus terlihat membesar dan berisi sel-sel runtuhan. Pada kelompok P1 hari ke-4 hingga ke-6 pasca uji tantang tidak menunjukkan perubahan patologis, hanya pada hari ke-7 pasca uji tantang pada usus halus ditemukan lesi nekrotik ringan. Tingginya populasi virus ND ganas di lapangan akan memperbesar peluang terjadinya wabah. Selain program vaksinasi, pelaksanaan konsep biosekuriti secara konsisten sangat diperlukan, misalnya istirahat kandang yang cukup, sanitasi yang baik dan kontinyu, lalu lintas pekerja, peralatan serta kendaraan di area peternakan. Keseragaman titer antibodi terhadap ND dalam suatu unit peternakan menjadi unsur penting, karena virus ND ganas akan berpeluang lebih besar melakukan replikasi dalam tubuh ayam dengan titer antibodi yang marginal dan melakukan viral shedding secara intensif. Ayam-ayam yang bersangkutan akan menjadi seeder birds bagi ayam-ayam yang lain dalam populasi dan bertindak sebagai perantara untuk meningkatkan jumlah inokulum (jumlah virus ND ganas lapangan). Untuk antisipasinya sangat disarankan meningkatkan frekuensi penggunaan vaksin inaktif selama masa grower (pada ayam petelur dan breeder) dan masa produksi (Kinde et al. 2004). A D Gambar 7 B C Perubahan histopatologi proventrikulus dengan pewarnaan HE. Proventrikulus terlihat normal dengan kelenjar yang normal (A; K1-2), infiltrasi sel radang dalam jumlah wajar dan kelenjar normal (B; P1-13), infiltrasi sel radang, hiperplasia lumen, nekrosis (C; K2-17) dan nekrosis luas, hiperemi dan hemoragi (D; K2-21). Tingginya populasi virus ND ganas di lapangan akan memperbesar peluang terjadinya wabah. Selain program vaksinasi, pelaksanaan konsep biosekuriti secara konsisten sangat diperlukan, misalnya istirahat kandang yang cukup, sanitasi yang baik dan kontinyu, lalu lintas pekerja, peralatan serta kendaraan di area peternakan. Keseragaman titer antibodi terhadap ND dalam suatu unit peternakan menjadi unsur penting, karena virus ND ganas akan berpeluang lebih besar melakukan replikasi dalam tubuh ayam dengan titer antibodi yang marginal dan melakukan viral shedding secara intensif. Ayam-ayam yang bersangkutan akan menjadi seeder birds bagi ayam-ayam yang lain dalam populasi dan bertindak sebagai perantara untuk meningkatkan jumlah inokulum (jumlah virus ND ganas lapangan). Untuk antisipasinya sangat disarankan meningkatkan frekuensi penggunaan vaksin inaktif selama masa grower (pada ayam petelur dan breeder) dan masa produksi (Kinde et al. 2004). A B D C E Gambar 8 Perubahan histopatologi duodenum dan otak dengan pewarnaan HE. Kelompok P1 struktur sel masih baik, sedikit ada infiltrasi sel radang pada duodenum (A; panah biru) sedangkan kelompok K2 struktur sel sudah kurang jelas, nekrosa luas, hiperemi dan hemoragi (B; panah hijau). Kelompok P1 hanya mengalami oedema vaskulitis ringan (D; panah ungu), degenerasi neuron, infiltrasi sel radang pada kelompok K2 (C; panah hitam) dan perivascular cuffing (E; panah oranye). Beberapa peternakan yang ada masih menerapkan sistem multi age dalam pemeliharaannya. Hal ini akan menghasilkan status kekebalan yang sangat variatif. Apabila ada tantangan virus ND ganas lapangan yang virulen, maka flok ayam yang mempunyai kekebalan yang baik akan menjadi sumber kontaminasi dan replikasi partikel virus ganas dalam area peternakan tersebut. Flok lain yang mempunyai derajat kekebalan yang lebih rendah akan sangat rentan terjadi wabah. Karenanya model pemeliharaan all-in all-out sangat direkomendasikan sebagai model pemeliharaan yang baik. Pada pemeriksaan histopatologi, lumen kelenjar proventrikulus terlihat membesar dan berisi sel-sel runtuhan pada hari ke-6 pasca uji tantang, selain adanya hiperemi hingga hemoragi, nekrosis parah, oedema serta endotel yang rusak. Pada usus halus terlihat nekrosa luas, inti yang mengalami reksis dan pignotik.Ini sesuai dengan pendapat Alexander & Senne (2008), yang mengatakan bahwa lesi yang sering dijumpai di epitel usus adalah ulserasi secara ekstensif. Kelenjar proventrikulus mengalami hemoragi dari tingkat sedang hingga berat (Abdel-Moneim et al. 2006). Otak terlihat hiperemi, degenerasi neuron serta encephalitis. Kelompok P1 pada pemeriksaan yang sama ditemukan adanya infiltrasi sel radang mononuklear terutama limfosit di proventrikulus. Dalam jumlah yang terbatas hal ini dianggap masih normal karena sel radang ini berperan dalam keseimbangan sistem imunitas sebagai kesiapan bila ada proses peradangan. Fungsi lainproventrikulus sebagai lambung mekanis dimana organ ini sering berhubungan dengan bahan makanan dari luar, juga menyebabkan keberadaan sel radang tersebut bersifat normal. Pada organ otak kelompok K2 pada hari ke-3 hingga ke-7 pasca uji tantang terlihat perubahan edema vaskulitis dan infiltrasi sel radang. Selain itu juga ditemukan gliosis, perivascular cuffing serta perdarahan. Menurut Kuiken et al. (1999), beberapa karakteristik perubahan akibat infeksi NDV pada otak antara lain : nekrosis, limfoplasmasitik vaskulitis, perivascular cuffing, gliosis serta focal neuronal degeneration (Brown 1999). Menurutnya organ otak dan usus merupakan organ terbaik untuk isolasi virus. Neuron sering terlihat mengkerut dengan warna lebih eosinofilik dan tak berinti. Inti mengalami central kromatolisis, peripheral displacement serta piknotik. Spongy change terlihat sebagai bagian kosong di parenkim dan kemungkinan akibat nekrosis dan kehilangan neuron atau axon. Gliosis muncul dengan bentuk multifokal hingga difus dan peningkatan sel radang pada parenkim biasanya mengelilingi necrotic neurons. Infiltrasi perivaskular dengan sel mononuklear pada parenkim otak dan spinal cord selalu muncul dengan bentuk kompak yang berisi limfosit ukuran medium, plasma sel serta kadang berisi heterofil. Endothelial hypertrophy biasanya ditemukan pada pembuluh darah kecil dengan karakterisasi inti endotel yang membesar dengan vesiculated chromatin hingga ke lumen vaskuler. Kejadian wabah kasus ND akhir-akhir ini bukan semata-mata terkait dengan interaksi antara faktor perubahan keganasan virus ND yang ada saat ini dengan faktor homologi kandungan virus dalam vaksin yang ada (faktor status kekebalan) saja akan tetapi juga ditentukan oleh faktor status umum dan faktor densitas patogen. Faktor status umum yang mempengaruhi antara lain : status nutrisi, stress tambahan yang terkait dengan buruknya tata laksana pemeliharaan ayam di lapangan serta cemaran mikotoksin dalam pakan. Faktor status imunitas sendiri perlu dievaluasi antara lain : potensi, sampai berapa tinggi level titer antibodi protektif rata-rata dalam suatu flok ayam yang ada dengan menggunakan program vaksinasi ND tertentu. Potensi suatu program vaksinasi ND yang sama seringkali memberikan variasi yang nyata pada farm yang berbeda. Keseragaman antibodi memberikan gambaran keseragaman respon ayam terhadap program vaksinasi yang diberikan pada level antibodi yang protektif sesuai dengan kondisi tantangan virus setempat. Jika keseragamannya titer yang diperoleh buruk, maka virus ganas lapangan mempunyai kesempatan untuk memperbanyak diri dalam populasi ayam yang ada. Faktor persintensi (kesinambungan titer antibodi) yang menggambarkan stabilitas level titer antibodi protektif dalam suatu populasi ayam dari waktu ke waktu (Liang et al. 2002). Selain dua faktor di atas, faktor densitas patogen atau total inokulum juga berperan penting dalam kejadian ND. Pada level titer antibodi tertentu yang diperoleh dari suatu aplikasi program vaksinasi yang ada, ternyata virus ND ganas lapangan (vvNDV) tetap saja dapat menginfeksinya, walaupun tidak nampak gejala klinisnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya viral sheeding yang terjadi lebih progresif dalam kondisi lapangan bila dibandingkan dalam pengujian laboratorium. Hal ini terjadi karena dalam fasilitas komersial lapangan, densitas ayam sangat tinggi dan ayam selalu dalam terpaan stress yang terus menerus (Liang et al. 2002). Pada pemeriksaan imunohistokimia kelompok K2 pada hari ke-3 post infeksi, antigen virus ND dapat terdeteksi di beberapa organ yaitu usus halus, ginjal, paru-paru dan otak. Pada usus halus antigen terwarnai dan terlihat jelas terutama di kripta, Payer patches dan tunika muskularis. Sesuai dengan penemuan Kuiken et al. (1999), pada organ ginjal antigen terlihat pada sel epitel tubuli berbentuk granul pada bagian sitoplasmanya, sedangkan di otak dan paru-paru antigen terdeteksi di sekitar pembuluh darah. Hal ini sangat mungkin karena rute infeksi yang dilakukan adalah lewat sistemik sehingga virus menyebar melalui peredaran darah. Menurutnya antigen juga dapat dideteksi pada bagian sitoplasma sel Purkinje cerebellum dan berbentuk granul. Antigen tidak terdeteksi pada pemeriksaan imunohistokimia organ proventrikulus. Hal ini menurut Shuaib et al. (1985) diakibatkan adanya faktor penghambat dan penghancur antigenisitas dan infektif dalam organ tersebut akibat suasana pH yang rendah dan enzim proteolitik. Penyebaran makrofag dan replikasi virus lebih banyak keorgan limpa dan jaringan limfoid di usus, sehingga makrofag di limpa dan jaringan limfoid yang tersebar akan terwarnai (Brown 1999). Enterocyte pada usus halus terdapat reseptor yang mampu menangkap residual virus NDV, sedangkan di proventrikulus tidak ada (Shafqat and Spradbrow 1995). A Gambar 9 B Perubahan histopatologi duodenum dengan pewarnaan imunohistokimia. Kelompok K1 antigen virus tidak terdeteksi (B), sedangkan kelompok K2 antigen terdeteksi pada kripta, Payer’s patches dan tunika muskularis (A; panah hitam). Gambar 10 A B D C Perubahan histopatologi paru-paru, ginjal dan otak dengan pewarnaan imunohistokimia pada kelompok K2. Antigen terdeteksi pada parabronkus paru-paru (A; panah hijau), antigen terdeteksi pada sel epitel tubuli ginjal (B; panah biru), antigen terdeteksi pada para endothel pembuluh darah otak (C dan D; panah hitam). KESIMPULAN 1. Vaksin ND strain La Sota masih mampu menginduksi antibodi yang protektif hingga 5 hari pasca infeksi dengan uji HI dan 7 hari pasca infeksi dengan uji ELISA terhadap tantangan virus isolat lokal velogenik (VND/Tasik/M13/2009) 2. Ayam yang divaksinasi dengan vaksin strain La Sota menunjukkan bobot badan yang lebih tinggi, asupan pakan yang lebih tinggi dan FCR yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam yang tidak divaksinasi dan ditantang dengan virus tantang 3. Ayam yang tidak divaksinasi vaksin strain La Sota dan ditantang virus pada pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan antigen virus di organ usus halus, ginjal, paru-paru , otak dan menunjukkan gejala klinis berupa nafsu makan turun, mengantuk, bulu kusam, diare hijau keputihan serta kematian, sedangkan yang divaksinasi dan ditantang virus tidak menunjukkan perubahan tersebut 4. Histopatologi ayam yang tidak divaksinasi dan ditantang virus menunjukkan perubahan berupa hiperemi, vaskulitis, gliosis, perivascular cuffing, degenerasi neuron serta infiltrasi sel radang mononuklear pada otak. Pada usus terdapat hiperemi, hemoragi, hiperplasia di epitel, denaturasi protein serta nekrosis. Proventrikulus terdapat hiperemi, hemoragi pada kelenjar dan infiltrasi sel radang mononuklear yang meluas. Vaksinasi dengan strain La Sota mampu menurunkan lesio histopatologi DAFTAR PUSTAKA Abdel-Moneim AS, Azza A El-Sawah, Kandil MA. 2006. Characterization of Variant Strain of NDV in Egypt. B.S Veterinary Medical Journal. 16:12-17. Aldous EW &Alexander DJ. 2008. Newcastle Disease in Pheasants (Phasianus colchicus): a review, Science Direct. The Veterinary Journal.75: 181-185. Aldous EW, Collins MS, McGoldrick A and Alexander DJ. 2001. Rapid pathotyping of Newcastle disease virus (NDV) using fluorogenic probes in a PCR assay, Veterinary Microbiology Journal 80 : 201-212. Alexander,D.J. 1991. ND and Other Paramyxovirus Injection in Disease of Poultry, 9th ed. Edited by Calnek, B. J., dkk.Iowa State University Press, Armes, Iowa. USA. Alexander DJ & DA Senne. 2008. Newcastle Disease Virus and Other Avian Paramyxoviruses. In A Laboratory Manual for the Isolation and Identification of Avian Pathogens.5th ed. L. Dufour-Zavala Louise et al. (ed.) Omni Press, Inc., Madison, Wisconsin. Anonimus. 2007. Farmakope Obat Hewan Indonesia (Sediaan Biologik), Jilid I, Edisi ke-3, Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia, p 79-80 Beard, C.W& Hanson. 1984. Newcastle Disease in Disease of Poultry, 8th ed. Iowa State University Press, Armes Iowa. USA. Bell JG, Fotzo TM, Amara A, Agbede G. 1995. A Field Trial of the Heat Resistant V4 Vaccine Against ND by Eye-drop Inoculation in Village Poultry in Cameroon. Preventive Veterinary Medicine.25: 19-25. Bhaiyat MI, Ochiai K, Itakura C, Islam MA, Kida H. 1994. Brain lesions in young broiler chickens naturally infected with a mesogenic strain of Newcastle disease virus. Avian Pathology 23:693–708. Brown C, King DJ & Seal BS. 1999. Pathogenesis of Newcastle disease in chickens experimentally infected with viruses of different virulence, Veterinary Pathology 36:125-132. Calnek BW, Barnes JH, Beard WC, McDougald RL, Saif MY. 1997. Disease of Poultry, 10th ed. Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA. Charles R.T. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume I, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Charlton, B. R. (ed). 2006. Avian Disease Manual, 6 th ed. American Association of Avian Pathologists (AAAP), 953 College Station Road, Athens, Georgia 306024875Cheville NF, H Stone, J Riley dan AE Ritchie. 1972. Pathogenesis of Virulent ND in Chickens, Journal of Veterinary Medical Assosiation. 161: 169-179. Dawson F, Kaspers B & Schat KA (ed). 2008. Avian Immunology, Elsevier Ltd. San Diego, CA, USA. Fenner et al., 1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. Academic Press INC. California Gohm, Daniela S, Thür, Barbara, Hofmann MA. 2000. Detection of Newcastle Disease Virus in Organs and Faeces of Experimentally Infected Chickens Using RT-PCR. Avian Pathology. 29:143-152. Henning J, Morton, J, Hla, T and Meers J. 2008. Mortality rates adjusted for unobserved deaths and associations with Newcastle disease virus serology among unvaccinated village chickens in Myanmar, Preventive Veterinary Medicine 85: 241-252. Hsiang-Jung Tsai, et al., 2004. Antigenic and genotypical characterization of Newcastle disease viruses isolated in Taiwan between 1969 and 1996, Veterinary Microbiology Journal 104: 19-30. Jordan, FTW. 1990. Poultry Diseases. Third Edition. Baillere Tindall. London. Kinde H, Utterback W, Takeshita K and McFarland M. 2004. Survival of exotic Newcastle disease virus in commercial poultry environment following removal of infected chickens, Avian disease Journal 48: 669-674. King DJ. 2008. ND In Foreign Animal Diseases. 7th ed. U S Animal Health Assoc; Brown, C. and A. Torres (ed.). Boca Publications Group, Inc. Boca Raton. Kommers, D. J. King, B. S. Seal, K. P. Carmichael and C. C. Brown. 2002. Pathogenesis of Six Pigeon-Origin Isolates of Newcastle Disease Virus for Domestic Chickens, Veterinary Pathology Online, 39: 353, http://vet.sagepub.com/content/39/3/35. Kuiken Thijs, Gary Wobeser, Frederick A, Leighton, Deborah M Haines, Brian Chelack, Jaret Bogdan, Lori Hassard, Robert A Heckert, and Jose Riva. 1999. Pathology of ND in Double-Crested Cormorants From Saskatchewan, With Comparison of Diagnostic Methods. Journal of Wildlife Disease.Wildlife Disease Assosiation. 8-23. Liang R et al. 2002. Newcastle disease outbreak in western China were caused by the genotype VIIa and VIII, Veterinary Microbiology Journal87 :193-203. Loke CF, Omar AR, Raha AR, Yusoff K. 2005. Improved Protection from Velogenic NDV Challenge Following Multiple Immunization with Plasmid DNA Encoding for F and HN genes. Veterinary Immunology and Immunopathology.106: 259-267. Miller PJ. 2008. The Poultry Informed Professional, Issue 101. University of Georgia, Athens, GA. Mitruka BM. 1981. Clinical biochemical and Hematological Reference Values Normal Experimental Animals and Normal Humans. MASSON Publishing USA. New York. Mohammadamin & Qubih, 2011. Histopathology of Virulent NDV in immune broiler chickens treated with IMBO®. Iraqi Journal of Veterinary Science.Vol 25: 9-13. Munner MA, Ahmed MD, Khan MA, Younus M and Khan I. 2006. Comparative efficacy of five different brands of commercial ND La Sota virus vaccine in broilers, Pakistan Veterinary Journal 26 (2):55-58. Nakamura K, Ohtsu N, Nakamura T, Yamamoto Y, Yamada M, Mase M and Imai K. 2008. Pathologic and Immunohistochemical Studies of ND in Broiler Chickens Vaccinated with ND; Severe Nonpurulent Encephalitis and Necrotizing Pancreatitis. Veterinary Pathology. 45: 928. Oladele SB, Abdu P, Nok AJ, Ibrahim and Esievo. 200. 8 pathogenesis of Newcastle disease virus Kudu 113 strains in relation to neuraminidase production in chickens, Veterinary Research Journal 2:3-8. Panshin A et al. 2002. Antigenic heterogeneity amongst the field isolates of Newcastle disease virus (NDV) in relation to the vaccine strain. Part II : Studies on viruses isolated from domestic birds in Israel, Comparative Immunology, Microbiology and Infectious Disease Journal 25 : 173-185. Panshin A et al. 1997. Antigenic epitope characterization of matrix protein of Newcastle disease virus using monoclonal antibody approach : contrasting variability amongst NDV strains, Comparative Immunology, Microbiology and Infectious Disease Journal 20 : 177-189. Rahaju Ernawati; Wahju Tjahjaningsih; Nanik Sianita; Yola, Rahmahani;Suwarno. 1991. Pengaruh Pemberian Vaksin Kombinasi ND dan IB dengan Vaksin Tunggal ND Terhadap Titer Antibodi pada Ayam serta Pertumbuhan dan Perubahan Histopatologis Pada Telur Ayam Bertunas, FKH-UNAIR, Surabaya. Rauw Fabienne et al. 2010. The Positive Adjuvant Effect of Chitosan on Antigen-spesific Cell-mediated Immunity After Chickens Vaccination with Live ND Vaccine. Veterinary Immunology and Immunopathology.134; 249-258. Roy Parimal & Venugopalan AT. 1999. Dot-enzyme linked immunosorbent assay for demonstration of Newcastle disease virus infection, Comparative Immunology, Microbiology and Infectious Disease Journal 22 : 27-31. Samal Siba. Newcastle Disease Virus, 1997, Virginia-Maryland Regional college of Veterinary Medicine University of Maryland, College Park Shafqat F Rehmani, PB Spradbrow. 1995. Receptor for the V4 strain of NDV in the digestive track of chickens. Veterinary Microbiology. 46:43-46. Shafqat F Rehmani. 1996. Newcastle DiseaseVaccination : a Comparison of Vaccine and Routes of Administration in Pakistan. Preventive Veterinary Medicine.25: 241-248. Shuaib MA, Spalatin J, McMillan B, and hanson RP. 1985. Studies on the development of pelleted Newcastle disease virus (NDV) vaccine, Vaccine Journal, 3:385-388. Steel RGD, Torrie JH, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik, Alih Bahasa; B. Sumantri. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Susan E et al. 1998. Merc Veterinary Manual, 8th ed, Merc and Co., Inc, Whitehouse Station, N.J, USA. Tiwari AK et al. 2004. Differential detection of Newcastle disease virus strains by degenerate primers based RT-PCR, Comparative Immunology, Microbiology and Infectious Disease Journal27:163-169. Tran Dinh Tu et al. 1998. Vietnamese trials with a thermostable Newcastle disease vaccine (strain I2) in experimental and village chickens, Preventive Veterinary Medicine 34:205-214.