BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan hingga kini masih menjadi hal yang memprihatinkan bagi sebagian besar masyarakat di dunia, apalagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Ellis (dalam Suharto, 2008), kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok individu. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya menyangkut aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Menurut Bagong (2001) kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua terpaksa memobilisasi anakanaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama. Selain itu, kemiskinan yang lekat dengan golongan lapisan bawah oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dijadikan sebagai sebuah alasan pembenaran terhadap praktek-praktek mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, baik oleh orang tuanya sendiri maupun oleh pihak pengusaha (Achdian dan Aminudin, 1995). Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara umum adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau Universitas Sumatera Utara untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Menurut karakteristik pekerjaan yang dilakukannya, pekerja anak adalah anak-anak yang kurang lebih seperti pekerja umumnya yang bertujuan untuk membiayai kehidupan ekonomi untuk dirinya dan keluarganya (Bagong, 2001). Hal lain yang dapat mempengaruhi anak bekerja selain faktor ekonomi adalah keluarga itu sendiri, dimana keluarga yang merupakan unit ekonomi atau konsumsi dipengaruhi oleh kondisi eksternal maupun internal termasuk dalam menentukan besarnya tenaga kerja yang dicurahkan untuk bekerja. Keadaan internal keluarga (besarnya tanggungan, tenaga yang dimiliki, pendapatan kepala keluarga, kebutuhan konsumsi dan lain-lain), merupakan faktor yang mempengaruhi keterlibatan anggota keluarga ke dalam usaha mencari nafkah, dengan demikian faktor penyebab anak ikut bekerja juga ditentukan oleh keadaan rumah tangganya (Prijono, 1992). Seperti kutipan wawancara dengan pekerja anak yang berinisial U (13 tahun) berikut: “Mamak sama bapak kerja juga, tapi nggak cukup uangnya makanya aku disuruh kerja juga, karena biar bisa tetap sekolah dan cukup buat makan kami, kalau aku ngga kerja yah aku ngga bisa sekolah karena uangnya nggak cukup” (Sumber: Komunikasi Personal, 3 Mei 2011) Bila merujuk pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun. UU No. 4 (1974) menyatakan seorang anak haruslah dipandang sebagai makhluk yang harus dilindungi, dikembangkan, dan dijamin kelangsungan hidupnya, selain itu setiap anak memiliki hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan Universitas Sumatera Utara berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bukan sebaliknya, malah anak dijadikan sebagai alat pencari nafkah, sehingga semakin meningkat pesat jumlah pekerja anak di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) data tahun 2010 diperoleh dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyebutkan, jumlah pekerja anak di dunia mencapai 200 juta, bahkan Indonesia merupakan salah satu penyumbang pekerja anak terbesar di dunia. Indonesia berada di urutan ketiga setelah India dan Brazil. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 2,5 juta anak bekerja, kategori pekerja anak yang dipakai BPS (Badan Pusat Statistik) adalah mereka yang berumur 1014 tahun yang aktif melakukan aktivitas secara ekonomi, sudah pasti jumlah pekerja anak akan lebih besar jika kategorisasi yang dipergunakan lebih luas, yaitu anak-anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk keperluan mencari upah, apalagi kategorisasi umur dinaikkan hingga kurang dari 18 tahun, sebagaimana rujukan umur anak menurut Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No 23, 2002). Berdasarkan rentang usia yang disebutkan para pekerja anak dapat tergolong kedalam rentang usia anakanak akhir dan juga remaja. Remaja itu sendiri mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Selain itu masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum (Hurlock, 1999). Menurut Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia Universitas Sumatera Utara antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Pelanggaran terhadap hak-hak remaja yang harus bekerja tentu sangat beresiko mengalami abuse, eksploitasi dan diskriminasi. Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi, banyak ahli perkembangan yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock, 2002). Child maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, baik itu secara fisik, seksual dan emosional, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak (Papalia, 2004). Kenyataan yang ditemukan dilapangan bahwa para pekerja anak mendapatkan kekerasan tidak hanya dilingkungan ia bekerja, melainkan juga dari keluarganya sendiri. Masalah pekerja anak ini merupakan isu sosial yang sukar dipecahkan dan cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, dimana pekerjaan tersebut tentu saja akan menimbulkan permasalahan pada hubungan antara remaja dengan orang lain, selain itu perlindungan keluarga terhadap remaja akan semakin menurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap orang tua yang mengharuskan anak-anaknya untuk bekerja baik itu di jalanan maupun pekerja rumah tangga anak (PRTA) yang sering berhubungan dengan tindak kekerasan. Untuk permasalahan pembantu rumah tangga sendiri terdapat fakta-fakta kekerasan terhadap PRT, menunjukkan 30% Universitas Sumatera Utara terjadi pada PRT Anak (JALA, 2010). Seperti salah satu kasus yang didapatkan dari artikel YLBH- Apik berikut : “ada kasus PRTA bernama Siti Saumah (14 Tahun) mengalami kekerasan fisik selama 2 tahun bekerja sering mengalami penganiayaan, terakhir disiram air panas dan mengalami pemukulan dan dicambuk 200 kali, selain itu juga dijanjikan upah Rp. 300.000/bln namun selama 2 tahun tidak dibayar” (Rubrik Jaringan nasional advokasi Pekerja Rumah Tangga, 2010) Remaja yang bekerja memperoleh pengaruh atau perlakuan yang buruk, seperti diperas, dipukuli, dimarahi ataupun tindak kekerasan lainnya baik itu dilakukan oleh keluarganya sendiri maupun orang lain (Robinson dkk, 2003). Seperti kutipan wawancara dengan seorang pekerja anak berinisial T (12 tahun): “Sering dimarahin sama mamak kalo cuma dapet dikit, dibilangnya aku bukan jual-jualin korannya tapi asyik main sama temenku aja, padahal emang lagi sepi, kan aku jualannya siang pulang sekolah kak, terus waktu aku lagi jualan juga sering dipalakin sama abang-abang preman, daripada takut nanti aku dipukul atau ditampar terpaksa aku kasih aja sedikit, aku bilang aja baru dikit yang laku, hehehe..” (Sumber: Wawancara Personal, 23 April 2011) Pekerja anak juga rentan untuk menjadi korban tindak kriminal dari orangorang dewasa. Pekerja anak sering kali mendapatkan bentuk kekerasan seperti tamparan, pemukulan, lemparan benda keras, disundutkan rokok ke salah satu anggota tubuh, dijewer, bahkan sampai ditendang. Seperti kutipan wawancara dengan anak penjual koran yg berinisial T (12 tahun) berikut: “Kadang-kadang lagi jualan ada juga dipukulin ma abang-abang disana, dijewer, ditampar, bahkan pernah waktu aku jawab dia dilempar kaleng minum dia ke aku kak, terus kalau korannya ga laku, aku belum boleh pulang, aku baru bisa pulang kalau udah laku semua, kalau tetap ngga laku juga tepaksa bawa pulang kerumah, nyampe rumah kena marah lagi sama mamak aku, pening kali lah aku kak, borong lah semua koran aku kak? biar nggak kena marah lagi nanti waktu aku pulang” (Sumber: Komunikasi Personal, 23 April 2011) Universitas Sumatera Utara Kekerasan pada remaja ini tentu akan membawa dampak negatif bagi mereka yaitu mereka kehilangan haknya untuk menikmati masa remajanya seperti bermain bersama teman sebayanya, anak menjadi korban dari perlakuan orang tuanya, sering menjadi korban perdagangan anak serta penindasan dari manusia dewasa. Jika kehidupan mereka tumbuh dari penyiksaan dan tindak kekerasan, sangat besar kemungkinan membawa dampak psikologis untuk masa mendatang berupa ketakutan, stress, kecemasan, hilang rasa percaya diri, kemampuan untuk bertindak pun kurang dan menunjukkan bahwa yang memperoleh tindak kekerasan pada masa anak-anak banyak mengalami berbagai hambatan dalam penyesuaian diri, menarik diri dari pergaulan atau dengan lawan jenis (jika mengalami sexual abuse), sulit berkomunikasi, canggung dan kaku dalam membina hubungan. Remaja cenderung anti sosial dan mengatasi dampak dengan melakukan keinginan untuk sering memukul dan membalasnya dengan cara itu semua persoalan lebih mudah terselesaikan (Huraerah, 2006). Para pekerja anak atau remaja yang sudah harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga yang juga mendapatka perlakuan kasar dari keluarga dan lingkungannya tentu memungkinkan mereka untuk menimbulkan trauma, sehingga mereka pun menggunakan berbagai macam pilihan, untuk mengatasi trauma yang dialaminya. Ada remaja yang mampu bertahan kemudian pulih dari situasi traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula remaja lain yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade & Fredrikson (2007) mengungkapkan kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah Universitas Sumatera Utara mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi. Menurut Grotberg (2000), resiliensi individu muncul ketika individu berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Tindak kekerasan maupun kerasnya kehidupan yang dijalani oleh para pekerja anak ini tentu sangat membutuhkan kemampuan untuk dapat berhasil dalam mengatasi atau bangkit kembali dari pengalaman hidup yang menyakitkan ataupun segala kepahitan hidup yang mereka alami yang mana kemampuan tersebut biasa disebut dengan resiliensi, sebagaimana hasil penelitian dari Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang remaja yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan remaja yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan. Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat, artinya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, dan bahkan dengan tekanan hebat yang melekat dalam dunia sekarang sekalipun (Desmita, 2005). Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti Universitas Sumatera Utara mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 2000). Menurut Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk mandiri; I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak orang, bangga dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang lain; I can (Aku dapat) termasuk didalamnya berkomunikasi, memecahkan masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga faktor tersebut juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang, dimana jika hanya salah satu faktor saja yang terpenuhi, seseorang belum dapat dikatakan resilien jika tidak memiliki ketiga faktor tersebut. Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi anak), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi). Selain itu, hal senada juga diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi itu merupakan kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika Universitas Sumatera Utara menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective factors) dan faktor resiko (risk factors). Dimana faktor pelindung terdiri dari faktor individual, keluarga dan juga masyarakat sekitar, yang dapat melindunginya terhadap dampak negatif, sedangkan Faktor resiko mencakup halhal yang dapat menyebabkan dampak buruk atau menyebabkan individu beresiko untuk mengalami gangguan perkembangan atau gangguan psikologis (Garmezy, dalam Davis, 1999). Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya resiliensi individu (Sulistyaningsih, 2009). Pengembangan resiliensi menurut Grotberg (2000) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan mendasarkan pada lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry. Beratnya tekanan hidup yang harus dialami oleh pekerja anak ini, selain kurang mendapat kasih sayang dari keluarga dan pelanggaran terhadap haknya sebagai anak yang memang selayaknya masih bergelut dengan dunia remaja seperti remaja lainnya, dia juga harus merasakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya, sehingga dengan adanya resiliensi lebih memungkinkan bagi mereka untuk dapat bertahan dari keterpurukan hidup. Universitas Sumatera Utara Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama kelamaan dapat membaik (akibat adanya penyesuaian individu dengan masalah yang dihadapi). Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi yang diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya perubahan pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009). Selain itu, Benard (1991) juga menjelaskan lebih jauh bahwa kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan. Fenomena di atas memperlihatkan bahwa pekerja anak merupakan suatu pilihan pekerjaan di tengah himpitan perekonomian dan tuntutan hidup yang begitu tinggi serta sangat rentan untuk mengalami kekerasan. Oleh karena itu peneliti sangat tertarik untuk meneliti tentang resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse ini yang mana hal ini tidak hanya merupakan permasalahan nasional, melainkan juga merupakan masalah dunia, dimana tuntutan pemenuhan kebutuhan perekonomian keluarga membuat remaja harus bekerja walaupun penuh dengan berbagai tindakan kekerasan yang mungkin sering di alami dan tidak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Universitas Sumatera Utara B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas timbul suatu permasalahan yang menarik untuk diteliti yaitu : 1. Bagaimanakah gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse? 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse C. Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah peneliti ingin melihat gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse. D. Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pada psikologi khususnya pada bidang psikologi perkembangan, untuk memperkaya teori-teori psikologi yang berkaitan dengan resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse 2. Manfaat Praktis a. Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi mengenai resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse kepada peneliti selanjutnya agar lebih dapat memahami resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse Universitas Sumatera Utara b. Remaja (pekerja Anak) Hasil dari penelitian ini diharapkan agar remaja dapat hidup dengan selayaknya dan dapat mengetahui hak-hak yang dimilikinya serta dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan oleh orang tua maupun lingkungan terhadapnya. c. Orangtua Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuat para orangtua agar lebih memperhatikan kesejahteraan anak mereka, memahami hak-hak remaja dan tidak memaksakan/memanfaatkan anaknya untuk bekerja memenuhu kebutuhan keluarga yang merupakan kewajiban mereka sebagai orang tua. d. Praktisi/Pemerhati Masalah Pekerja Anak Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi praktisi/pemerhati masalah pekerja anak untuk dapat lebih mengetahui, dan memperhatikan dan dapat menanggulangi masalah para pekerja anak yang mengalami abuse. e. Pemerintah Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuat pemerintah lebih peduli dan lebih memperhatikan kesejahteraan remaja yang menjadi pekerja anak dengan menindak lanjuti segala bentuk pelanggaran terhadap hak-hak remaja yang menjadi pekerja anak. Universitas Sumatera Utara E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam penelitian ini antara lain: BAB I : Pendahuluan Berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Berisi tinjuan teoritis yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini BAB III : Metode Penelitian Berisi tentang pendekatan kualitatif yang digunakan, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, partisipan dan prosedur penelitian. BAB IV : Hasil Analisa Data Bab ini menguraikan tentang deskrispsi identitas diri, data hasil wawancara dan observasi, dan analisa data masing-masing responden. BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini menguraikan kesimpulan penelitian serta saran praktis dan metodologis. Universitas Sumatera Utara