analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN
MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN KEJANG DEMAM DI
RSUP FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
FAHMITA A’YUNI, S.Kep
0806333890
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM NERS ILMU KEPERAWATAN
DEPOK, JAWA BARAT
JULI 2013
i
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN
MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN KEJANG DEMAM DI
RSUP FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Ners Ilmu Keperawatan
FAHMITA A’YUNI, S.Kep
0806333890
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM NERS ILMU KEPERAWATAN
DEPOK, JAWA BARAT
JULI 2013
ii
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Fahmita A'Yllni, S.Kep
NPM
Tanda Tangan
Tanggal
: 24 Juli 2013
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
III
LEMBAR PENGESAHAN
Karya Ilmiah ini diajukan oleh
Nama
NPM
Program Studi
Judul Karya Ilmiah
:
: Fahmita A‟yuni
: 0806333890
: Profesi Ilmu Keperawatan
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan pada Pasien Kejang
Demam di RSUP Fatmawati
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners pada Program
Studi Profesi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas
Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing: Happy Hayati, S.Kp. M.Kep.
(
)
Penguji
: Siti Chodidjah, S.Kp., M.N.
(
)
Penguji
: Ns. Ngatmi, S.Kp.
(
)
Ditetapkan di: Depok
Tanggal: 24 Juli 2013
iv
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta
memberikan kekuatan dan pengetahuan selama penerapan, pengamatan, dan
penulisan karya ilmiah akhir ini. Penulis menemui kesulitan-kesulitan dalam
menyusun karya ilmiah ini yang kemudian dapat penulis selesaikan berkat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu selama
pelaksanaan dan penulisan karya ilmiah akhir ini, di antaranya:
1. Ibu Fajar Triwaluyanti, S.Kp., M.Kep., Sp. Kep. An. selaku Koordinator mata
ajar peminatan anak dan Ketua Kelompok Keilmuan Keperawatan Anak FIK
UI yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan
karya ilmiah ini sampai tuntas.
2. Ibu Happy Hayati, S.Kp. M.Kep selaku pembimbing yang telah memberikan
waktu untuk membimbing dan mengarahkan serta memberikan dukungan,
semangat, dan nasihat kepada penulis selama pelaksanaan penelitian sampai
berakhirnya proses penulisan karya ilmiah akhir.
3. Ibu Siti Chodidjah, S.Kp., M.N. selaku penguji atas saran dan kritik yang
membangun bagi penulis.
4. Ibu Ns. Ngatmi, S.Kp selaku pembimbing lahan klinik (clinical instructor)
atas arahan, perhatian, dukungan, saran, kritik, dan motivasi yang diberikan
selama praktik profesi di stase Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masalah Perkotaan (PKKKMP) di ruang rawat inap anak RSUP Fatmawati.
5. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
6. Kakak-kakak perawat yang bertugas di ruang rawat anak RSUP Fatmawati
atas penerimaan, pembelajaran, dan keteladanan yang positif yang diberikan
semasa praktik, yang tidak dapat penulis temukan selama menuntut ilmu di
kampus.
7. Bapak dan Ibu yang selalu mendukung, memberikan kasih sayang, bimbingan,
nasihat, semangat, dan do‟a yang tiada putus-putusnya serta pelajaran-
v
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
pelajaran berharga bagi penulis. Kakakku Lutfi dan adik-adikku Giri dan Nisa
atas keceriaan dan dukungannya kepada penulis.
8. Sahabat-sahabat tersayang atas pertemanan, do‟a, canda, dan semangat yang
senantiasa dilakukan sampai saat ini.
9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
karya ilmiah akhir ini. Oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat
berarti bagi penulis untuk menjadi lebih baik di masa mendatang. Akhir kata,
penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak. Semoga penulisan karya
ilmiah akhir ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan dan peningkatan
ilmu keperawatan.
Depok, 24 Juli 2013
Penulis
vi
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI
KARYA ILMIAH AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama
NPM
Program Studi
Fakultas
Jenis Karya
: Fahmita A 'yuni, S.Kep
: 0806333890
: Sarjana Ilmu Keperawatan
: Ilnlu Keperawatan
: Karya Ilmiah Akhir Ners
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas RoyaIti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
"Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada
Pasien Kejang Demam Di Rsup Fatmawati"
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan.,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalanl bentuk pangkalan data (data base)~
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa lneminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok
Pada tanggal: 24 Juli 2013
Yang Menyatakan
(Fahmita A'yuni, S.Kep)
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
vii
ABSTRAK
Nama
: Fahmita A‟yuni, S.Kep
Program Studi : S1 Program Ners Fakultas Ilmu Keperawatan
Judul
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan Pada Pasien Kejang Demam di RSUP Fatmawati
Karya ilmiah ini membahas asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien anak
di RSUP Fatmawati dengan kasus yang cukup sering terjadi pada masyarakat
perkotaan, yaitu kejang demam. Satu anak berusia 18 bulan, yang didiagnosis
menderita kejang demam, menjadi pasien kelolaan selama hari pertama sampai
terakhir perawatan di ruang rawat inap dengan penerapan pemberian tepid sponge
disertai obat antipiretik saat anak demam yang menjadi salah satu intervensi dari
asuhan keperawatan yang diberikan. Meminimalkan risiko infeksi dan mencegah
demam timbul kembali menjadi fokus utama dalam asuhan keperawatan pada
pasien kelolaan. Kombinasi pemberian tepid sponge dan obat antipiretik
memperlihatkan penurunan suhu sebesar 2oC dalam waktu 60 menit. Tidak
terlihat ketidaknyamanan anak selama tepid sponge dilakukan. Penelitian lebih
lanjut dibutuhkan untuk mengetahui tingkat pengetahuan orang tua tentang
pemberian terapi tepid sponge untuk mencegah demam
Kata kunci: anak, demam, kejang demam, perawatan
viii
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
ABSTRACT
Name
: Fahmita A'yuni, S.Kep
Study program : Graduate of Program Ners of Nursing Science, Faculty of
Nursing
Title
: Analysis Clinical Practice of Urban Health Nursing in Patient
with Febrile Convulsion at RSUP Fatmawati
This paper was discussed about the nursing care given to one patient of children in
Fatmawati‟s Hospital who had febrile convulsion as a fairly common case in
urban communities. One child in the range of 6 months to 5 years who were
diagnosed febrile seizures were being managed patients during the first until the
last day of inpatient care with application of the provision tepid sponge and
antipyretic drugs when the child had fever. It became one of nursing care
interventions given. Minimize the risk of infection and prevent the fever comes
back were the main focus in nursing intervention on that managed patient. The
other child in the same range of age and diagnosis became an individual control
with antipyretic administration only when the child had a fever. The combination
giving tepid sponge and antipyretic drug showed a drop in temperature of 2 ° C
within 60 minutes. Not visible discomfort in children during tepid sponge done.
Further research is needed to determine the level of parental knowledge about
therapy tepid sponge to prevent fever.
Keywords: child, febrile convulsion, fever, treatment
ix
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………….. iii
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………… iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………………….. vii
ABSTRAK………………………………………………………………………. viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. x
DAFTAR TABEL……………………………………………………………….. xi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………. xii
1. PENDAHULUAN……………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………... 1
1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………………... 3
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………………4
1.4 Manfaat Penulisan……………………………………………………………..4
2. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………….. 6
2.1 Kejang Demam……………………………………………………………….. 6
2.2 Klasifikasi Kejang……………………………………………………………. 7
2.3 Manifestasi Klinis Kejang Demam…………………………………………... 9
2.4 WOC Kejang Demam………………………………………………………... 11
2.5 Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kejang Demam…………………… 11
2.6 Cara Penurunan Panas Tubuh……………………………………………….. 13
2.7 Hasil Penelitian Terkait Pemberian tepid Water Sponge pada
Anak dengan Kejang Demam………………………………………………… 15
3. Laporan kasus Kelolaan Utama……………………………………………... 17
3.1 Gambaran Kasus……………………………………………………………... 17
3.2 Asuhan Keperawatan pada Anak A………………………………………….. 17
3.2.1 Pengkajian……………………………………………………………… 17
3.2.2 Analisis Data dan Diagnosa keperawatan……………………………… 20
3.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan………………………………………… 22
3.2.4 Implementasi…………………………………………………………… 23
3.2.5 Evaluasi………………………………………………………………… 25
4. Analisis Situasi……………………………………………………………….. 26
4.1 Profil Lahan Praktik………………………………………………………….. 26
4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait
KKMP dan Konsep Kejang Demam………………………………………… 27
4.3 Analisis Intervensi Tepid Water Sponge dengan Konsep Terkait…………… 30
4.4 Alternatif Pemecahan yang dapat dilakukan………………………………… 31
5. Penutup………………………………………………………………………. 33
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………………... 33
5.2 Saran…………………………………………………………………………. 33
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 34
x
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Kejang Demam…………………………………... 10
Tabel 3.1 Analisis Data Hasil Pengkajian………………………………………. 20
xi
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 WOC Kejang Demam……………………………………………... 11
xii
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kejang demam selama ini merupakan tipe kejang yang umumnya sering
ditemukan pada anak-anak terutama pada usia balita. Di Amerika Serikat,
Amerika Selatan, dan Eropa Barat sekitar 2-5% anak-anak menderita kejang
demam di bawah usia 5 tahun (Shinnar & Glauser (2002) dalam David, 2009).
Di Denmark, Eropa Utara, angka kematian akibat kejang demam mencapai 132
dari 100.000 anak (Vestergaard et al., 2008). Penulis belum menemukan
penelitian atau riset baik nasional maupun lokal mengenai prevalensi atau
insiden kejang demam di Indonesia. Namun di RS Fatmawati, tercatat 36 kasus
kejang demam yang didiagnosis dalam periode bulan April sampai Mei 2013,
jumlah terbesar dibandingkan kasus lainnya (RSUP Fatmawati, 2013). Sebuah
penelitian di Cina tahun 2006 menyatakan bahwa 103 dari 565 anak usia 1-6
tahun yang menderita kejang demam memiliki kekambuhan yang cukup tinggi
pada usia 1, 2, dan 3 tahun dengan jumlah persentase masing-masing 12,7%,
18,7%, dan 20,5% (Chung, Wat, dan Wong, 2006).
Kejang demam adalah peristiwa neurologis umum di antara anak-anak di
seluruh dunia, tetapi lebih banyak ditemukan pada daerah tropis (Birbeck,
2010). Di negara berkembang, penduduk perkotaan sering tinggal di
permukiman kumuh besar yang kekurangan sanitasi dasar dan utilitas seperti
air dan listrik (Unit For Sight, 2013). Kurangnya infrastruktur dasar tersebut
dapat memperburuk tingkat penyakit menular atau infeksi yang merupakan
pencetus timbulnya kejang demam. Kesadaran untuk menerapkan kebiasaan
mencuci tangan dengan sabun juga masih tergolong rendah pada masyarakat
perkotaan (Mikail, 2011). Hal ini turut menjadi penyebab balita di perkotaan
memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi sehingga lebih berisiko menderita
kejang demam.
Epilepsy Foundation of America menyatakan 3-4% dari semua anak
mengalami setidaknya satu kali kejang demam dalam hidupnya (Epilepsy
Foundation of America, 2012). Tiga puluh sampai 40% dari mereka yang
1
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
2
mengalami kejang ini akan memiliki kekambuhan, namun, sebagian besar pulih
pada usia 5 tahun dan dapat berkembang secara normal. Kasus kejang demam
tersebut relatif sedikit untuk selanjutnya berkembang menjadi epilepsi. Hanya
9% anak-anak yang mengalami tiga kali atau lebih kejang demam dengan
faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi (Epilepsy Foundation of America,
2012). Beberapa faktor tersebut yaitu kejang pertama yang terjadi sebelum usia
18 bulan, kejang terjadi dalam beberapa jam, demam yang mencapai 38oC39oC, dan riwayat kejang demam keluarga dekat.
National Health Service (NHS) di UK menyatakan bahwa kejang demam
umumnya disebabkan oleh penyakit umum seperti infeksi saluran pernapasan
atas virus seperti flu, infeksi telinga atau roseola (virus yang menyebabkan
suhu dan ruam). Kondisi lain yang dapat menyebabkan suhu tinggi misalnya
tonsillitis dan infeksi ginjal atau infeksi saluran kemih (National Health
Service/NHS, 2012). Manifestasi klinis kejang demam meliputi kejadian yang
tiba-tiba seperti kekakuan tubuh, kehilangan kesadaran yang cepat, gerakangerakan otot tangan, kaki, dan wajah menyentak, nafas dapat ireguler, dan
tidak ada kemampuan mengunyah (White, 2005). Kejang demam biasanya
terjadi pada awal saat terjadi demam tinggi dan biasanya kejang terjadi hanya
sekali dalam waktu kurang dari 3 menit. Kejang
dapat menyebabkan
kerusakan sel-sel otak apabila kejang terjadi lebih dari 5 menit (Nursewian,
2012).
Kejang demam pada anak membutuhkan penanganan yang tepat dan segera
untuk mencegah terjadinya kejang berulang. Pencegahan infeksi, demam, dan
cedera menjadi fokus utama dalam pemberian asuhan keperawatan kejang
demam pada anak (Sara, 2002; Wong, 2004). Edukasi parental merupakan hal
penting untuk diberikan karena mayoritas orang tua umumnya percaya bahwa
kejang demam adalah peristiwa yang mengancam jiwa, dan sebagian orang tua
tidak tahu apa yang harus dilakukan selama episode kejang demam (Kayserili
et al., 2008).
Penulis menemukan masalah yang terdapat pada anak yang mengalami kejang
demam yaitu demam yang hilang timbul. Demam disebabkan oleh antigen
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
3
atau mikoroorganisme yang menyebabkan peradangan dan pelepasan pirogen
yang merupakan zat yang menginduksi demam (Vera, 2013). Demam terjadi
pada anak dengan kejang demam akibat infeksi. Demam akan dialami anak
selama penanganan infeksi belum tuntas. Penanganan demam saat ini
dilakukan dengan pemberian terapi obat antipiretik, manajemen cairan,
pemakaian baju yang tipis, dan pemberian tepid sponge.
Tepid sponge adalah adalah proses sponging dengan air hangat untuk
mengurangi suhu tubuh dengan evaporasi atau penguapan (Clement, 2007).
Suhu air yang digunakan untuk tepid sponge adalah 26oC-32oC. Sebuah
penelitian di India menunjukkan bahwa pemberian antipiretik yang disertai
tindakan tepid sponge menurunkan suhu tubuh lebih cepat dibandingkan
dengan pemberian antipiretik saja (Thomas, Vijaykumar, Naik, Moses, &
Antonisamy, 2009). Penelitian Tia Setiawati, 2009 menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna antara suhu tubuh sebelum dan setelah diberikan
antipiretik disertai tepid sponge pada kelompok intervensi.
Penulis
bermaksud
menyampaikan
hasil
praktik
pemberian
asuhan
keperawatan pada pasien anak dengan kejang demam yang mengalami masalah
kesehatan demam yang hilang timbul. Aplikasi metode tepid sponge disertai
terapi obat antipiretik termasuk dalam asuhan keperawatan yang diberikan
untuk mengatasi masalah demam anak.
1.2 Perumusan masalah
Kejang demam, sebagai kasus yang memiliki angka kejadian yang cukup
tinggi setiap tahunnya, membutuhkan penanganan yang tepat. Tindakan yang
utama adalah mencegah kejadian kejang berulang dengan cara mengurangi
timbulnya demam. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan di rumah
sakit bertanggung jawab terhadap tindakan baik mandiri maupun kolaboratif
yang dapat mendukung proses penyembuhan anak dengan kejang demam.
Salah satu tindakan mandiri perawat yang dapat diberikan adalah dengan
melakukan kompres hangat atau tepid water sponge untuk membantu proses
penurunan suhu tubuh anak saat demam.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
4
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada anak dengan kejang
demam dengan pemberian tepid sponge disertai pemberian antipiretik
untuk mengatasi demam.
1.3.2 Tujuan khusus:
1. Mengetahui gambaran umum anak dengan kejang demam.
2. Mengetahui gambaran masalah keperawatan yang terjadi pada anak
dengan kejang demam.
3. Mengetahui gambaran rencana asuhan keperawatan pada anak dengan
kejang demam.
4. Mengetahui gambaran implementasi keperawatan dan evaluasi pada
anak dengan kejang demam.
5. Mengetahui efek pemberian tepid sponge disertai pemberian antipiretik
pada anak yang mengalami demam.
1.4 Manfaat penulisan
Hasil penulisan karya ilmiah ini kelak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
dalam ruang lingkup keperawatan. Karya ilmiah ini dapat dipergunakan untuk
mahasiswa, instansi pendidikan keperawatan, dan perkembangan ilmu
keperawatan.
1.4.1 Bagi mahasiswa
Karya ilmiah ini dapat menambah wacana bagi mahasiswa kesehatan
khususnya mahasiswa keperawatan dalam mempelajari konsep maupun
praktik asuhan keperawatan pada anak dengan kejang demam.
Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu
mempraktikkan asuhan
keperawatan dengan tepat pada anak dengan kejang demam saat praktik
di lapangan dengan pemahaman yang baik terhadap asuhan keperawatan
tersebut.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
5
1.4.2 Bagi Instansi Pendidikan Keperawatan
Informasi dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi instansi
pendidikan FIK UI sebagai laporan hasil asuhan keperawatan mahasiswa
profesi ners pada anak dengan kejang demam. Instansi juga dapat
menggunakan karya ilmiah ini sebagai sumber referensi bagi peserta
didik, terutama yang sedang mengikuti mata kuliah keperawatan anak.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Karya ilmiah ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi yang dapat
disebarluaskan
kepada
masyarakat
agar
masyarakat
mengetahui
penanganan terhadap anak dengan kejang demam. Masyarakat juga
diharapkan dapat mengerti dan mampu menerapkan tepid sponge sebagai
salah satu upaya yang cepat, praktis, dan dapat dilakukan secara mandiri
untuk meredakan demam anak.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejang Demam
Kejang demam adalah kejang yang muncul akibat demam pada bayi atau anak
kecil (National Institute of neurological Disorders and Stroke/ NINDS, 2013).
Anak sering kehilangan kesadaran selama kejang demam, dan tampak
bergetar, bergerak kaki di kedua sisi tubuh. Anak mungkin menjadi kaku atau
bergetar hanya sebagian dari tubuh, seperti tangan atau kaki, atau di sebelah
kanan atau sisi kiri saja, tetapi ini lebih jarang terjadi. Kejang demam yang
paling terakhir satu atau dua menit, meskipun beberapa dapat sesingkat
beberapa detik sementara yang lain berlangsung selama lebih dari 15 menit
(NINDS, 2013).
Kejang demam diklasifikasi menjadi dua jenis utama, yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah
jenis yang paling umum dari kejang demam, terhitung sekitar 8 dari 10 kasus
(NHS, 2012). Kejang yang kurang umum terjadi adalah kejang demam
kompleks dengan angka kejadian 2 dari 10 kasus. Masing-masing tipe kejang
tersebut memiliki ciri khas atau manifestasi klinis yang berbeda.
Patofisiologi dari kejang demam sampai saat ini masih belum sepenuhnya
dipahami (Shellhaas, et al., 2011). Faktor genetik diperkirakan menjadi
penyebab pada sebagian besar kasus kejang demam. Kejang ini dipicu oleh
kenaikan suhu yang drastis yang disebabkan oleh infeksi viral atau bakterial.
Kenaikan suhu 1º C pada keadaan demam akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%
sehingga pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan
dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion K dan Na
melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian
besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitar
dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Kejang dapat terjadi
pada kenaikan suhu sampai 38 C, ini terjadi pada anak yang memiliki ambang
6
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
7
kejang yang rendah, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi,
kejang baru terjadi pada suhu diatas 39oC (Elsevier, 2012).
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa, tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15
menit) biasanya disertai dengan apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang mengakibatkan hipoksemia,
hiperkapnea, dan asidosis laktat. Faktor yang terpenting adalah gangguan
peredaran
darah
yang
mengakibatkan
hipoksia
sehingga
berakibat
meningkatnya permeabilitas vaskular dan udem otak serta kerusakan sel
neuron.
2.2 Klasifikasi Kejang
Kejang adalah malfungsi singkat dari sistem listrik otak yang terjadi karena
muatan neuron kortikal (Wong, 2004). Kejang diklasifikasikan menjadi dua
yaitu kejang parsial dan kejang umum.
2.2.1 Kejang Parsial
Kejang parsial dimulai dengan pelepasan listrik di satu daerah tertentu
dari otak. Beberapa hal berbeda dapat menyebabkan kejang parsial,
misalnya cedera kepala, infeksi otak, stroke, tumor, atau perubahan
dalam cara daerah otak dibentuk sebelum lahir (disebut displasia
kortikal). Penyebab kejang parsial masih belum jelas tetapi faktor
genetik
mungkin
berperan
(Schachter,
2013).
Kejang
parsial
diklasifikasikan lagi menjadi tiga yaitu kejang parsial sederhana, kejang
sensori khusus, dan kejang parsial kompleks (Wong, 2004).
Kejang parsial sederhana ditandai dengan kondisi yang tetap sadar dan
waspada, gejala motorik terlokalisasi pada salah satu sisi tubuh.
Manifestasi lain yang tampak yaitu kedua mata saling menjauh dari sisi
fokus, gerakan tonik-klonik yang melibatkan wajah, salivasi, bicara
berhenti, gerakan klonik terjadi secara berurutan dari mulai kaki,
tangan, atau wajah (Wong, 2004).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
8
Kejang sensori khusus dicirikan dengan berbagai sensasi. Kebas,
kesemutan, rasa tertusuk, atau nyeri yang berasal dari satu lokasi
(misalnya wajah atau ekstremitas) dan menyebar ke bagian tubuh
lainnya merupakan beberapa manifestasi kejang ini. Pengelihatan dapat
membentuk gambaran yang tidak nyata. Kejang ini tidak umum pada
anak-anak di bawah usia 8 tahun (Wong, 2004).
Kejang parsial kompleks lebih sering terjadi pada anak-anak dari usia 3
tahun sampai remaja. Kejang ini dicirikan dengan timbulnya perasaan
kuat padadasar lambung yang naik ke tenggorokan, adanya halusinasi
rasa, pendengaran, atau penglihatan. Individu juga sering mengalami
perasaan deja-vu. Penurunan kesadaran terjadi dengan tanda-tanda
individu tampak linglung dan bingung, dan tidak mampu berespons atau
mengikuti instruksi. Aktivitas berulang tanpa tujuan dilakukan dalam
keadaan bermimpi, seperti mengulang kata-kata, menarik-narik
pakaian, mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, atau bertindak agresif
(kurang umum pada anak-anak). Anak dapat merasa disorientasi,
konfusi, dan tidak mengingat fase kejang pada saat pasca kejang
(Wong, 2004).
2.2.2 Kejang Umum
Kejang umum terbagi menjadi kejang tonik-klonik, kejang atonik,
kejang akinetik, dan kejang mioklonik (Wong, 2004).
Kejang tonik-klonik merupakan kejang yang paling umum dan paling
dramatis dari semua manifestasi kejang dan terjadi tiba-tiba. Fase tonik
dicirikan dengan mata tampak ke atas, kesadaran hilang dengan segera,
dan bila berdiri langsung terjatuh. Kekakuan terjadi pada kontraksi
tonik simetrik pada seluruh otot tubuh yaitu lengan biasanya fleksi,
kaki, kepala, dan leher ekstensi. Tangisan melengking terdengar dan
tampak adanya hipersalivasi. Fase klonik ditunjukkan dengan gerakan
menyentak kasar pada saat tubuh dan ekstremitas berada pada kontraksi
dan relaksasi yang berirama. Hipersalivasi menyebabkan mulut tampak
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
9
berbusa. Anak juga dapat mengalami inkontinensia urin dan feses.
Gerakan berkurang saat kejang berakhir, terjadi pada interval yang lebih
panjang, lalu berhenti secara keseluruhan (Wong, 2004).
Kejang atonik disebut juga serangan drop dan biasa terjadi antara usia 2
dan 5 tahun. Kejang ini terjadi tiba-tiba dan ditandai dengan kehilangan
tonus otot sementara dan kontrol postur. Anak dapat jatuh ke lantai
dengan keras dan tidak dapat mencegah jatuh dengan menyangga
tangan, sering terjadi kulai kepala, sehingga dapat menimbulkan cedera
serius pada wajah, kepala, atau bahu. Anak tidak atau dapat mengalami
kehilangan kesadaran sementara (Wong, 2004).
Kejang akinetik ditandai dengan adanya gerakan lemah tanpa
kehilangan tonus otot. Anak tampak kaku pada posisi tertentu dan tidak
jatuh. Anak biasanya mengalami gangguan atau kehilangan kesadaran
(Wong, 2004).
Kejang mioklonik dapat terjadi dalam hubungannya dengan bentuk
kejang lain. Kejang ini dicirikan dengan kontraktur tonik singkat dan
tiba-tiba dari suatu otot atau sekelompok otot. Kejang terjadi sekali atau
berulang tanpa kehilangan kesadaran dengan jenis simetrik atau
asimetrik (Wong, 2004).
2.3 Manifestasi Klinis Kejang Demam
Kejang yang dialami anak diawali dan disertai dengan suhu tubuh yang tinggi.
Mayoritas anak-anak dengan kejang demam memiliki suhu rektal lebih dari
38,9oC (NINDS, 2013). Kejang demam pada anak umumnya terjadi selama
hari pertama demam. Anak-anak yang rentan terhadap kejang demam tidak
dianggap memiliki epilepsi, karena epilepsi ditandai dengan kejang berulang
yang tidak dipicu oleh demam. Seorang anak dikatakan mengalami demam
saat suhu tubuh mencapai atau di atas salah satu dari level: a) 100.4 ° F (38 °
C) diukur dalam bagian bawah (dubur), b) 99,5 ° F (37,5 ° C) diukur dalam
mulut (per oral), c) 99 ° F (37,2 ° C) diukur di bawah lengan (aksila).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
10
Sekitar satu dari 25 anak akan mengalami minimal satu kali kejang demam,
dan lebih dari sepertiga anak-anak tersebut akan mengalami kejang demam
berikutnya apabila belum mendapatkan penanganan (NINDS, 2013). Kejang
demam biasanya terjadi pada anak-anak antara usia 6 bulan dan 5 tahun (60
bulan) dan sangat umum pada balita. Anak-anak jarang menampakkan kejang
demam pertama mereka sebelum usia 6 bulan atau setelah 3 tahun. Semakin
tua usia seorang anak saat kejang demam pertama terjadi, semakin kecil
kemungkinan anak mengalami kejang demam berulang.
Perbedaan manifestasi klinis pada kejang demam sederhana dan kompleks
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Kejang Demam
Kejang Demam Sederhana
Kejang Demam Kompleks
1.
Kejang terjadi selama < 15 menit
1.
2.
Gejala motorik terlokalisasi pada salah
2. Gejala motorik dapat terlokalisasi atau
satu sisi tubuh
Kejang terjadi selama > 15 menit
terjadi pada seluruh tubuh, atau kejang
umum didahului kejang parsial
3.
Tidak berulang dalam periode 24 jam
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam
periode 24 jam
Sumber: Mick & Cummings (2006)
Adapun perubahan fisik yang tampak ketika anak mengalami kejang demam
yaitu anak teraba panas dengan suhu 39,8oC (Mick & Cummings, 2006).
Anak tampak tidak sadar dan tampak kaku atau bergetar pada tangan dan kaki
pada salah satu sisi atau seluruh tubuhnya. Mata anak tampak berputar atau
melihat ke arah atas selama kejang berlangsung (Appleton & Marson, 2009).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
11
2.4 WOC Kejang Demam
Faktor risiko:
Infeksi virus atau bakteri pada
saluran pernapasan atas, telinga,
ISK, kandung kemih, cacar air,
atau tonsilitis
Masalah keperawatan:
ketidakefektifan
termoregulasi
Intervensi keperawatan:
1. kolaborasi pemberian
antipiretik
2. melakukan tepid water
sponge
3. meningkatkan sirkulasi
udara
4. memantau suhu tubuh
anak
5. mengenakan pakaian
yang tipis pada anak saat
demam
Inflamasi
Hipertermia
Konsentrasi Na intrasel dan
K ekstrasel ↑
Masalah keperawatan: risiko infeksi
Intervensi keperawatan:
1. kolaborasi pemberian antibiotik
sesuai dosis
2. memantau kadar leukosit setiap
hari
3. menjaga kebersihan pasien dan
lingkungan tempat tidur pasien
Potensial membran ↓
Gangguan fungsi astrosit
Eksitabilitas otak ↑
Kejang: spasme otot involunter
Spasme otot-otot respirasi
Apnea
Suplai O2 ke otak menurun
Masalah keperawatan: gangguan
perfusi jaringan serebral
Masalah keperawatan: risiko jatuh
Intervensi keperawatan:
1. Pengobatan profilaksis intermittent
dengan antikovulsan.
2. Menghitung durasi dan frekuensi
kejang
3. Menjauhkan anak dari benda yang
dapat mencederai
4. Menjaga suara dan sikat tenang
saat melakukan tindakan pada
anak.
Gambar Bagan 2.1 WOC Kejang Demam
Sumber: Sherwood (2001), Wong (2004), Appleton & Marson (2009)
2.5 Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kejang Demam
Pengkajian keperawatan pada anak dengan kejang demam, selain identitas
pasien, berfokus pada riwayat kesehatan anak, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Perawat perlu mengetahui riwayat kesehatan anak
terutama yang berkaitan dengan kejadian prenatal, perinatal, dan nenonatal
(Wong, 2004). Adanya infeksi virus menjadi penyebab utama yang sering
dialami anak dengan kejang demam (Ricci dan Kyle, 2009). Demam tinggi
dapat menandakan anak sedang terinfeksi namun dibutuhkan pemeriksaan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
12
laboratorium darah untuk memastikannya. Kadar leukosit yang tinggi (>17500
sel/L) menunjukkan bahwa tubuh anak terkena infeksi. Penurunan kadar Hb
dan eritrosit perlu menjadi perhatian perawat. Kadar Hb di bawah rentang
normal (11-16 g/dl) menunjukkan adanya masalah dalam pemenuhan
kebutuhan O2 pada anak yang dapat memperburuk kejang anak. Pemeriksaan
diagnostik seperti pungsi lumbal, CT Scan, atau MRI, diperlukan untuk
memastikan tidak ada infeksi yang berasal dari sistem saraf pusat. Perawat
kemudian mengidentifikasi data hasil pengkajian untuk menentukan masalah
yang muncul dan menegakkan
diagnosa keperawatan pada anak dengan
kejang demam.
Perawat menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan keadaan klinis anak
secara aktual untuk merencanakan asuhan keperawatan yang tepat, sesuai
dengan kebutuhan pasien. Beberapa diagnosa keperawatan utama yang dapat
ditegakkan pada anak dengan kejang demam antara lain risiko infeksi,
ketidakefektifan termoregulasi, risiko tinggi cedera, dan perubahan proses
keluarga (Ricci dan Kyle, 2009; Wong, 2004). Intervensi-intervensi
keperawatan diutamakan untuk meminimalkan risiko infeksi dan mencegah
kenaikan suhu tubuh yang ekstrim pada anak, salah satunya dengan
memberikan tepid water sponge saat anak demam. Penelitian Tia Setiawati,
2009 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara suhu tubuh
sebelum dan setelah diberikan antipiretik disertai tepid sponge pada kelompok
intervensi pada menit ke 10 setelah periode tepid sponge (menit ke 30 setelah
pemberian antipiretik) dan pada menit ke 30 setelah pengukuran pertama
(menit ke 60 setelah pemberian antipiretik). Tujuan intervensi ini juga penting
untuk disampaikan kepada orang tua.
Dukungan dan edukasi parental tentang kejang demam dapat membantu
menurunkan ansietas orang tua terhadap penyakit yang sebenarnya tidak
berbahaya tetapi sangat mengkhawatirkan mayoritas orang tua tersebut (Ricci
dan Kyle, 2009). Pemahaman yang tepat tentang penyakit anak membuat
orang tua menjadi lebih tenang dan lebih mudah dilibatkan dalam membantu
proses perawatan anak di rumah sakit terutama untuk meminimalkan efek
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
13
hospitalisasi. Perawat secara berkelanjutan mengevaluasi perkembangan
kesehatan pasien terhadap terapi medis (misal antikonvulsan, antipiretik, dan
antibiotik) dan keperawatan (misal kompres hangat, perawatan selang infus,
atau edukasi hand hygiene) yang diberikan.
2.6 Cara Penurunan Panas Tubuh
Suhu tubuh yang stabil diperoleh dari pemasukan dan pengeluaran panas
tubuh yang seimbang. Apabila suhu mulai meningkat di atas normal, maka
dapat dikoreksi dengan meningkatkan pengurangan panas, sementara produksi
panas juga dikurangi. Hipotalamus bekerja sebagai pusat termoregulasi tubuh
yang mampu berespon terhadap perubahan suhu darah sekecil 0,01oC
(Sherwood, 2001). Hipotalamus secara terus menerus mendapat informasi
mengenai suhu tubuh melalui termoreseptor untuk membuat penyesuaianpenyesuaian hingga terjadi keseimbangan antara mekanisme pengurangan
panas dan mekanisme penambahan panas. Peningkatan suhu tubuh di atas
normal menimbulkan pengaturan regio anterior di hipotalamus yang
diaktifkan oleh rasa hangat, sehingga memicu refleks-refleks yang
memperantarai pengurangan panas. Refleks yang pertama adalah dengan
penurunan aktivitas sismpatis melalui respons vasomotor kulit. Vasodilatasi
pembuluh darah kulit menyebabkan peningkatan aliran darah ke kulit sehingga
dapat meningkatkan pengurangan panas. Apabila vasodilatasi kulit yang sudah
maksimum gagal mengurangi kelebihan panas tubuh, mekanisme berkeringat
diaktifkan, sehingga pengeluaran panas dapat berlanjut melalui proses
evaporasi.
Terdapat 4 mekanisme perpindahan panas yang digunakan tubuh yaitu radiasi,
konduksi, konveksi, dan evaporasi (Sherwood, 2001). Radiasi adalah emisi
energi panas dari permukaan tubuh yang hangat dalam bentuk gelombang
elektromagnetik atau gelombang panas, yang berjalan melalui ruang. Tubuh
mengalami penurunan panas melalui radiasi ke benda-benda di lingkungan
yang permukaannya lebih dingin daripada permukaan kulit misalnya dinding,
meja-kursi, atau pohon. Rata-rata manusia kehilangan hampir separuh energi
panasnya melalui radiasi (Sherwood, 2001).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
14
Konduksi adalah perpindahan panas antara benda-benda yang berbeda
suhunya yang berkontak langsung satu sama lain. Panas tubuh dapat
berkurang melalui konduksi apabila kulit berkontak dengan suatu konduktor
yang baik seperti air (Sherwood, 2001). Konveksi adalah perpindahan energi
panas melalui arus udara. Udara dingin dihangatkan oleh tubuh, lalu bergerak
ke atas dan digantikan oleh udara yang lebih dingin. Kombinasi proses
pengeluaran panas melalui konduksi-konveksi
dari tubuh diperkuat oleh
gerakan paksa udara melintasi permukaan tubuh seperti gerakan angin atau
kipas, atau misalnya saat mengendarai sepeda. Kejadian ini membuat tubuh
terasa lebih dingin karena gerakan paksa udara menyapu udara yang
dihangatkan saat konduksi dan lebih cepat menggantikannya dengan udara
yang lebih dingin (Sherwood, 2001).
Metode terakhir pemindahan panas yang digunakan tubuh adalah evaporasi,
yaitu pemindahan panas dari permukaan kulit ke udara melalui proses
penguapan
(Sherwood,
2001).
Pengurangan
panas
evaporatif
terus
berlangsung melalui dinding saluran pernapasan, dan dari permukaan kulit.
Proses ini tidak berada di bawah kontrol fisiologis dan terus berlangsung.
Berkeringat menjadi proses evaporatif aktif (di bawah kontrol saraf simpatis)
ketika suhu lingkungan melebihi suhu kulit. Keringat secara aktif dikeluarkan
ke permukaan kulit oleh kelenjar-kelenjar keringat yang tersebar di seluruh
permukaan tubuh, kemudian menguap sehingga terjadi pengurangan panas
(Sherwood, 2001).
Tepid sponge merupakan salah satu tindakan yang dianjurkan untuk
menurunkan suhu tubuh. Tepid sponge merupakan salah satu metode
pendinginan yang digunakan untuk menurunkan suhu tubuh pada anak dengan
menggunakan kompres hangat (Sheiber, 1997). Suhu air hangat yang
digunakan yaitu suhu air 30-35°C. Sebuah penelitian di India menunjukkan
bahwa pemberian antipiretik yang disertai tindakan tepid sponge menurunkan
suhu tubuh lebih cepat dibandingkan dengan pemberian antipiretik saja
(Thomas, Vijaykumar, Naik, Moses, & Antonisamy, 2009). Penelitian Tia
Setiawati 2009 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
15
kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang diberikan terapi tepid sponge
dan disertai pemberian antipiretik. Tindakan ini diberikan pada pasien dengan
suhu tubuh lebih dari 38oC per aksila.
2.7 Hasil Penelitian Terkait Pemberian Tepid Water Sponge pada Anak
dengan Kejang Demam
Suatu studi komparatif dilakukan untuk membandingkan efektifitas antara
pemberian tepid sponge dan parasetamol, dan parasetamol saja. Studi ini
melibatkan 150 anak berusia 6 bulan sampai 12 tahun dengan suhu aksila
101oF (38,3oC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan suhu tubuh
pada kelompok yang diberikan tepid sponge dan antipiretik secara signifikan
lebih cepat daripada kelompok yang hanya diberikan antipiretik. Namun
kedua kelompok mencapai tingkat suhu yang sama pada 2 jam terakhir. Anakanak dalam kelompok tepid sponge dan obat antipiretik memiliki
ketidaknyamanan yang signifikan lebih tinggi daripada kelompok antipiretik,
tapi ketidaknyamanan itu sebagian besar dalam tingkat ringan (Thomas, et al.,
2009).
Penelitian di India tahun 2011 juga mendukung hasil studi di atas. Penelitian
dilakukan pada 150 anak berusia 6 bulan - 14 tahun dengan suhu rektal lebih
dari 39ºC untuk membandingkan efektivitas antara pemberian tepid sponge
dan parasetamol, parasetamol saja, dan tepid sponge saja pada anak-anak yang
demam dan mempelajari tingkat ketidaknyamanan yang berhubungan dengan
itu. Hasil penelitian menunjukkan penurunan suhu tubuh dalam kelompok
tepid sponge dan obat antipiretik secara signifikan lebih cepat daripada
kelompok antipiretik saja dan parasetamol saja. Meskipun pada akhir 1 jam
semua tiga kelompok telah mencapai derajat suhu yang sama, terapi
kombinasi memiliki penurunan klinis suhu yang signifikan (Edbor et al.,
2011).
Penelitian tahun 2012, yang melibatkan 986 anak-anak secara total,
menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian tepid sponge saja dapat mengakibatkan penurunan langsung
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
16
terhadap suhu, namun respon ini berdurasi pendek (Watts & Robertson, 2012).
Pemberian antipiretik saja atau antipiretik yang disertai tepid sponge memiliki
efek lebih tahan lama dalam penurunan suhu. Selain itu, tingkat
ketidaknyamanan anak-anak yang diberikan tepid sponge lebih tinggi daripada
kelompok lain.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
17
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1 Gambaran Kasus
An. A usia 1 tahun 6 bulan dirawat di ruang rawat inap anak (IRNA) RSUP
Fatmawati. Anak masuk dari ruang IGD dengan keluhan demam sejak 2 hari
yang lalu, kejang ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang berlangsung
selama kurang dari 5 menit, mata mendelik ke atas dan seluruh tubuh kaku.
Keluar cairan buih dari mulut saat anak kejang. Tidak ada kelemahan pada
salah satu sisi tubuh setelah anak sadar. Demam tidak turun dengan obat
penurun panas. An. A didiagnosis menderita kejang demam kompleks (KDK).
An. A memiliki riwayat kejang demam saat usia 11 bulan. An. A lahir dengan
bantuan alat vacuum.
3.2 Asuhan Keperawatan pada An. A
Asuhan keperawatan pada An. A dengan kejang demam kompleks meliputi
pengkajian,
penegakan
diagnosa
keperawatan,
penentuan
intervensi
keperawatan, implementasi, dan evaluasi dari setiap tindakan keperawatan.
Tahap-tahap asuhan keperawatan, yang dilakukan mulai dari pengkajian
sampai dengan evaluasi, dijelaskan pada pemaparan di bawah ini.
3.2.1 Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 4 Juni 2013 saat hari rawat pertama
An. A pukul 14.30 WIB. Perawat pertama kali mengkaji identitas pasien,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit
keluarga. Perawat kemudian melakukan pemeriksaan fisik, dan
mengidentifikasi hasil pemeriksaan laboratorium pasien.
Identitas pasien yang diperoleh berdasarkan pengkajian yaitu An. A
(inisial) berusia 1 tahun 6 bulan, lahir tanggal 31 Mei 2011, berjenis
kelamin perempuan, beragama islam, bertempat tinggal di Jl. Pondok
Cabe, Tangerang Selatan bersama ayah dan ibunya. Pergelangan tangan
klien dipasang gelang identitas pasien yang tertera nama lengkap, usia,
17
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
18
dan nomor rekam medis pasien. An. A adalah anak pertama dari Tn. S
dan Ny. F (orang tua). Ny. F mengatakan An. A pernah mengalami
kejang disertai demam saat berusia 11 bulan. Ny. F tidak pernah merokok
begitu juga selama mengandung An. A, tetapi kebiasaan minum kopi
tidak bisa ditinggalkan. Ny. F berusaha mengurangi minum kopi semasa
hamil. Ny. F mengalami kesulitan saat proses melahirkan An. A sehingga
harus dibantu dengan alat vacuum. Keluarga dekat An. A tidak ada yang
pernah menderita kejang baik dari garis keturunan Tn. S maupun Ny. F,
serta tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit keturunan
seperti jantung, diabetes, hipertensi, dan asma.
Perawat melanjutkan pemeriksaan fisik setelah melakukan pengkajian
identitas pasien, riwayat keluarga, dan riwayat kesehatannya. Perawat
melakukan penimbangan dan pungukuran tinggi badan terlebih dahulu
kemudian pemeriksaan fisik head to toe. An. A memiliki berat badan
8,5kg dan tinggi badan 38cm. Adapun hasil pemeriksaan fisik lainnya
pada An. A adalah sebagai berikut:
1. Kepala
Bentuk kepala tampak simetris dan normal dengan ukuran lingkar kepala
43cm. Tidak tampak lesi atau ruam kemerahan pada kepala. Rambut
berwarna hitam, tampak agak tebal, dan tidak rontok. Ubun-ubun rata.
Wajah, kedua mata, hidung, dan mulut tampak simetris. Sklera tidak
ikterik, konjungtiva anemis, dan refleks pupil dan penglihatan normal.
Tidak ada sekret
atau hambatan pada hidung. Daun telinga tampak
bersih, sedikit serumen kuning di dalam lubang telinga. Membran mukosa
bibir tampak lembab, merah muda terang, halus, tidak ada kandidiasis
pada lidah maupun rongga mulut,lidah dapat bergerak bebas, tidak ada
lesi atau massa di bawah lidah jumlah gigi 12 dan tampak bersih.
2. Leher
Leher tampak simetris, tidak teraba adanya massa dan tidak tampak
bengkak. Tidak ada kesulitan untuk menelan makanan atau minuman.
3. Dada
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
19
Inspeksi: Dada tampak normal , saat dilakukan inspeksi tidak ditemukan
lesi maupun ruam kemerahan. Pergerakan dada simetris dan regular.
Selama inspirasi dada mengembang dan sebaliknya saat ekspirasi. Puting
susu dengan pigmentasi lebih gelap terletak pada garis midklavikula iga
keempat dan kelima. Ukuran lingkar dada 44cm. Frekuensi napas normal
28 kali per menit, reguler, tenang, tanpa bantuan otot-otot bantu napas.
Auskultasi: Terdengar bunyi vesikuler pada seluruh lapang paru, dan
bronkial pada atas trakea. Tidak ada ronchii ataupun wheezing.
Palpasi: Teraba vibrasi simetris pada torakal sinistra dan dekstra
Perkusi: Terdengar bunyi resonans pada interkosta ketiga dan keempat,
dan bunyi pekak pada interkosta kelima sejajar midklavikula sinistra dan
dekstra.
Jantung: Dinding dada tampak simetris, pengisian kapiler 1 detik, suara
jantung 1 dan 2 jernih, regular, frekuensi sama dengan nadi radialis yaitu
112 kali per menit, tidak terdengar suara murmur atau gallop.
4. Abdomen
Umbilikus tampak menonjol pada posisi tegak dan datar saat berbaring.
Ukuran lingkar perut 39cm. Gerakan perut seirama dengan gerakan dada.
Bising usus terdengar sekali setiap 12 detik. Hepar teraba 1cm di bawah
marjin kostal dekstra. Tidak ada distensi abdomen.
5. Genitalia
Tampak bersih, tidak teraba adanya massa pada labia, tampak meatus
uretra, klitoris, dan perineum. Tidak ada lesi di sekitar meatus. Bokong
tampak padat, lipatan gluteal simetris, refleks anal positif. Tidak tampak
dermatitis di daerah sekitar genitalia.
6. Punggung dan Ekstremitas
Vertebra tampak lordosis. Bahu, skapula dan ilium tampak simetris.
Panjang tangan dan kaki simetris dengan ukuran yang sama. Kedua
tangan dan kaki fleksibel, rentang gerak penuh, tidak ada rasa nyeri atau
kekakuan. Jumlah jari kedua tangan dan kaki lengkap. Kuku tampak
merah muda. Tidak tampak deformitas pada keempat ekstremitas. Refleks
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
20
plantar ada (ibu jari kaki fleksi). Ukuran lingkar lengan atas (LILA)
14cm. Suhu tubuh 37,8oC (aksila).
Adapun pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan
darah lengkap pada saat dirawat di IGD (3 Juni 2013) dan urinalisa pada
hari rawat kedua (5 Juni 2013). Hasil pemeriksaan darah lengkap
memperlihatkan kadar normal pada serum darah, glukosa darah, dan
elektrolit serum. Kadar Hb 11,8g/dl, Ht 36%, eritrosit 4,42 juta/uI, leukosit
17.200/uI, trombosit 257.000/uI, GDS 103mg/dl, Na 135 mmol/L, K 4,18
mmol/L, dan Cl 108 mmol/L. Hasil urinalisa An. A yaitu keton 1+,
leukosit trace, warna kuning jernih, leukosit 3-6/LPB (lapang pandang
besar). Terapi medis yang didapatkan An. A sejak hari rawat pertama
adalah pemberian antipiretik (paracetamol 4x5cc peroral), antikonvulsan
(diazepam 4x0,85mg), antikonvulsan (stesolid 1x5mg jika kejang), dan
antibiotik (cefixime 2x1,5cc peroral).
3.2.2 Analisis Data dan Diagnosa Keperawatan
Hasil pengkajian kemudian dianalisis dan diidentifikasi untuk menegakkan
diagnosa keperawatan pada An. A. Analisis data hasil pengkajian dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.1 Analisis Data Hasil Pengkajian
No.
Data
Analisis
Masalah
Keperawatan
1.
Objektif:
-An. A berusia kurang dari 2
Anak usia
tahun (18 bulan)
mampu berdiri dan berjalan
-An. A dirawat di tempat
tetapi
tidur
mengkoordinasikan
box
dengan
jarak
18
belum
bulan sudah
mampu
untuk
gerakan
cukup tinggi ke lantai
dengan lingkungan sekitarnya.
-An. A menderita penyakit
Penyakit kejang demam yang
akut (kejang demam)
dialami
-Skala humpty dumpty: 17
berulang.
mungkin
menyebabkan
terjadi
Kejang
spasme
Risiko jatuh
ini
otot
involunter.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
21
2.
Subjektif: Ibu mengatakan
Leukosit sedimen urin An. A
An. A demam sejak 2 hari
lebih dari rentang normal (0-
SMRS
5/LPB). Hasil ini menujukkan
Objektif: lekosit sedimen
adanya infeksi saluran kemih
urin 3-6/LPB, suhu aksila:
atau
o
37,8 C
kontaminasi
urogenital
Risiko infeksi
saluran
seperti
vagina,
serviks. Suhu tubuh meningkat
akibat
infeksi
Pelepasan
pirogen
tersebut.
endogen,
sebagai respon terhadap invasi
mikroba, memicu pengeluaran
prostaglandin
sehingga
menaikkan
termostat
hipotalamus.
3.
Subjektif: ibu mengatakan
Suhu tubuh anak fluktuatif dan
Ketidakefektifan
anak masih demam, demam
cenderung demam akibat adanya
termoregulasi
muncul
infeksi yang dibuktikan dengan
beberapa
jam
setelah minum obat penurun
peningkatan
leukosit
panas.
pemeriksaan sedimen urin.
pada
Objektif: suhu anak saat
pengkajian
awal
masuk:
o
37,4 C, jam 14.00 suhu
meningkat menjadi 37,8oC,
kulit teraba hangat.
4.
Subjektif: Ibu mengatakan
Ibu menunjukkan sikap yang
Ketidakmampuan
dirinya
kurang tepat dalam merawat
koping keluarga
sangat
cemas
dengan kejang yang diderita
anak
An.
melakukan kompres dingin pada
A,
ibu
biasa
dengan
mengompres kening anak
kening
dengan air dingin untuk
menurunkan demam anak.
membantu
untuk
demam
yaitu
membantu
menurunkan
demam anak.
5.
Subjektif: ibu mengatakan
Kejang yang dialami An. A
anak
dapat terjadi berulang dan dapat
pernah
mengalami
Risiko cedera
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
22
kejang demam saat usia 11
menyebabkan
bulan dan kejang terjadi
kesadaran atau automatisme. Hal
berulang, anak kejang 2 kali
ini meningkatkan risiko cedera
saat 6 jam SMRS. Anak
pada An. A karena An. A cukup
sadar dan sering bolak-balik
aktif saat kejang tidak muncul.
merangkak
saat
penurunan
tidak
kejang.
Objektif: An. A berusia 18
bulan dan dirawat di tempat
tidur box
Berdasarkan analisis data hasil pengkajian maka ditegakkan tiga diagnosa
keperawatan utama yaitu risiko infeksi, ketidakefektifan termoregulasi, dan
risiko cedera. Pembuatan rencana asuhan keperawatan disesuaikan dengan
ketiga diagnosa tersebut. Rencana asuhan keperawatan pada An. A meliputi
intervensi disertai tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan.
3.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan
Risiko infeksi menjadi diagnosa keperawatan utama yang ditegakkan pada
An. A karena berhubungan dengan organisme infektif yang merupakan
etiologi utama dari kejang demam yang diderita An. A. Tanda-tanda infeksi
diharapkan tidak ada setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 72
jam. Intervensi-intervensi yang akan diberikan diutamakan untuk
mendukung imunitas tubuh An. A seperti mempertahankan nutrisi yang
adekuat, melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik
sesuai dosis yang dibutuhkan, mengajarkan dan mengevaluasi penerapan
teknik hand hygiene yang benar, menjaga daerah genitalia An. A tetap
kering, dan menganjurkan ibu untuk memandikan An. A 2 kali sehari
dengan sabun (Wong, 2003).
Diagnosa keperawatan kedua yang diangkat adalah ketidakefektifan
termoregulasi. Diagnosa ini dikaitkan dengan suhu tubuh An. A yang
fluktuatif dan cenderung demam. Kenaikan suhu yang ekstrim harus segera
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
23
ditangani karena dapat memicu kambuhnya kejang. Intervensi keperawatan
diberikan untuk menjaga suhu tubuh anak dalam batas normal. Intervensi
tersebut meliputi tindakan kolaborasi pemberian antipiretik dalam dosis
yang sesuai berat badan anak, melakukan tepid water sponge,
meningkatkan sirkulasi udara, memantau suhu tubuh anak setiap 30 menit
saat demam, menganjurkan ibu untuk mengenakan pakaian yang tipis pada
anak saat demam (Wong, 2003).
Risiko cedera dapat terjadi sewaktu-waktu ketika suhu tubuh anak masih
tidak stabil. Peningkatan suhu tubuh yang terjadi dengan cepat dapat
memungkinkan kambuhnya kejang. Pasien diharapkan tidak mengalami
cedera dan tetap tenang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 72
jam. Intervensi yang akan diberikan yaitu menghitung durasi kejang apabila
anak
kembali
menyingkirkan
kejang,
barang
melindungi
berbahaya
anak
di
selama
sekitar
kejang
tempat
tidur
dengan
anak,
menempatkan anak pada daerah yang aman (jauh dari jendela, alat
pemanas, dll.), dan tidak membuat anak teragitasi dengan bersuara lembut
dan bersikap tenang (Wong, 2003). Perawat melindungi anak setelah
periode kejang (postiktal) dengan tetap bersama anak dan menenangkan
anak sampai tersadar. Orang tua sebagai orang terdekat dan memiliki ikatan
batin yang kuat dengan anak dapat dilibatkan untuk menenangkan anak.
Perawat juga berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
antikovulsan dengan dosis tepat sesuai berat badan anak.
3.2.4 Implementasi
An. A dirawat selama empat hari di ruang rawat inap RSUP Fatmawati.
Perawat memberikan tindakan keperawatan sesuai asuhan keperawatan
yang sudah direncanakan. Implementasi keperawatan pada An. A selama
empat hari perawatan akan dijelaskan lebih lanjut pada pemaparan di
bawah ini.
An. A mendapatkan terapi pengobatan antibiotik yaitu cefixime dengan
dosis 7mg/kg berat badan per hari. Dosis total per hari yaitu 60mg yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
24
diberikan sekali setiap 12 jam. Tindakan kolaborasi ini dilakukan karena
kadar leukosit pada pemeriksaan sedimen urin melebihi rentang normal
yang menandakan adanya infeksi pada An. A. Perawat menjelaskan,
mendemonstrasikan,
dan
memberikan
kesempatan
melakukan
redemonstrasi kepada orang tua cara mencuci tangan dengan benar
menggunakan hands rub yang sudah disediakan di ruang rawat untuk
meminimalkan paparan infeksi nosokomial pada An. A. Perawat menjaga
kebersihan pasien dan lingkungan sekitarnya dengan menganjurkan orang
tua untuk memperhatikan kebersihan diri, pakaian, peralatan makan dan
minum, dan tempat tidur pasien. Perawat juga melakukan teknik aseptik
pada setiap tindakan yang bersentuhan dengan pasien seperti mengganti
laken, memberikan obat oral, dan melakukan pemeriksaan fisik.
Obat antipiretik yaitu parasetamol sirup dengan dosis 120mg (5ml)
diberikan 6 jam sekali saat suhu tubuh An. A melebihi 38oC. Perawat
menjelaskan tujuan tindakan pencegahan demam dan melibatkan orang tua
dalam pelaksanaannya. Kompres hangat (tapid water sponge) dilakukan
bersamaan atau sesaat setelah pemberian parasetamol guna mempercepat
penurunan suhu tubuh anak. Perawat menganjurkan orang tua untuk tidak
menutup tubuh An. A dengan selimut karena dapat meningkatkan suhu
tubuh anak, dan menyarankan untuk mengenakan pakaian yang tipis dan
menyerap keringat pada An. A. Asupan cairan An. A juga diperhatikan
karena saat demam anak rentan mengalami dehidrasi. Perawat memantau
tanda-tanda dehidrasi pada An. A terutama saat An. A demam dan
menganjurkan ibu lebih sering memberikan ASI dan air putih selama An. A
tidak menolak dan tidak ada kesulitan menelan.
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikovulsan dibutuhkan selama
An. A masih demam dan untuk mencegah kejang demam berulang yang
dapat menyebabkan cedera pada An. A. Antikonvulsan yang diberikan
yaitu diazepam oral dengan dosis 0,4mg/kg berat badan per hari, 0,85mg
setiap 6 jam. An. A kejang satu kali selama dirawat yaitu pada hari rawat
pertama jam 23.00 dengan suhu tubuh 38,6oC. Perawat menghitung durasi
kejang anak yaitu kejang terjadi satu kali selama 1 menit, kemudian anak
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
25
sadar dan menangis. Perawat tidak melihat adanya benda berbahaya di
dekat pasien dan kemudian memberitahu orang tua agar meletakkan benda
yang dapat mencederai jauh dari jangkauan An. A. Perawat menjaga suara
dan sikap tetap tenang saat melakukan tindakan sehingga tidak
mengejutkan An. A. Perawat melibatkan ibu untuk menenangkan An. A
yang menangis setelah tersadar dari kejang.
3.2.5 Evaluasi
Kondisi An. A tampak membaik setelah 3 hari dirawat. Pemberian
antibiotik dan antipiretik dihentikan pada hari rawat ketiga karena kadar
leukosit sedimen urin An. A sudah dalam rentang normal (0-5/LPB) dan
An. A sudah tidak demam. Nafsu makan An. A sempat menurun saat hari
rawat pertama dan kedua, tetapi masih mau meminum ASI dan air putih.
Tidak tampak tanda-tanda dehidrasi selama anak demam. Kompres hangat
dengan teknik tapid sponge disertai pemberian antipiretik lebih cepat
meredakan demam. Ibu sudah mampu melakukan teknik tapid water
sponge dengan benar, tidak hanya di kening, tetapi kompres hangat pada
seluruh tubuh anak. Ibu juga mengikuti anjuran perawat untuk mengenakan
pakaian yang tipis dan menyerap keringat pada An. A.
An. A termasuk anak yang terbuka dan mudah akrab dengan orang baru
sehingga perawat tidak sulit melakukan pendekatan saat memberikan
intervensi pada An. A. Orang tua terutama ibu An. A mampu bekerja sama
dengan baik dalam proses perawatan An. A. Perawat berusaha untuk
memberikan reinforcement positif terhadap respon positif yang diberikan
An. A dan orang tua.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
26
BAB 4
ANALISIS SITUASI
4.1 Profil Lahan Praktek
Ruang rawat anak gedung teratai lantai III selatan merupakan salah satu ruang
rawat penyakit dalam anak di RSUP Fatmawati yang terdiri dari ruang rawat
inap kelas III, ruang immunocompromised, dan ruang isolasi. Ruang ini
memiliki kapasitas kamar untuk untuk kelas III sebanyak 5 kamar, 2 kamar
immunocompromised, dan 2 kamar isolasi. Kapasitas tempat tidur yang ada di
ruang III selatan yaitu 40 tempat tidur. Tingkat ketergantungan pasien di
ruangan ini sebagian besar total care karena pasien yang dirawat rata-rata
adalah balita. Penyakit yang cukup sering didiagnosis pada pasien di ruangan
ini salah satunya adalah kejang demam dengan jumlah 36 kasus dalam rentang
periode April-Juni di RSUP Fatwawati. Sebagian besar pasien berusia 1-2
tahun dengan lama hari rawat 3-5 hari.
Kejang demam merupakan penyakit yang berkaitan dengan proses radang
akibat infeksi pada tubuh selain infeksi pada sistem saraf pusat. Panas tubuh
dapat meningkat di atas normal karena infeksi yang belum tertangani. Tes
hematologi dilakukan untuk melihat nilai leukosit yang tinggi sebagai tanda
adanya infeksi. Tes urinalisa juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
infeksi pada saluran kemih atau urogenital. Hasil dari pemeriksaanpemeriksaan tersebut penting untuk menandakan bahwa infeksi bukan berasal
dari sistem saraf pusat. Terapi antibiotik dan antikonvulsan diberikan dengan
dosis sesuai dengan berat badan anak. Terapi cairan infus hanya diberikan
apabila anak tidak mampu minum dengan adekuat melalui oral.
Pencegahan infeksi juga dilakukan perawat di ruangan dengan menjaga
kebersihan tangan, melakukan edukasi hand hygiene, mengganti laken dengan
rutin atau jika tampak kotor. Perawat juga menyarankan orang tua atau
pendamping pasien untuk menjaga kebersihan tempat tidur dan lingkungan
kamar pasien. Hal ini terlihat sederhana tetapi fatal apabila tidak diperhatikan
dan dilakukan dengan benar.
26
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
27
Pemantauan tanda-tanda vital terutama suhu tubuh merupakan hal yang turut
diutamakan dalam perawatan pada pasien kejang demam di ruangan lantai III
selatan. Pengukuran suhu tubuh dilakukan pada saat awal shift pagi, sore, dan
malam, dan pada waktu pemberian obat. Perawat-perawat di ruangan
menyarankan kepada orang tua pasien untuk melakukan kompres hangat dan
memberikan minum ketika anak demam. Perawat ruangan juga menganjurkan
ibu untuk memakaikan baju atau celana yang longgar dan tipis, bukan
menutupi anak dengan selimut. Suhu di kamar-kamar rawat pasien terasa lebih
hangat terutama jika pintu kamar dan jendela tidak dibuka lebar-lebar. Hal ini
dapat menghambat pengurangan panas tubuh melalui udara dan cukup
mengganggu tidur pasien. Parasetamol diberikan apabila suhu aksila anak
mencapai 38oC.
Penyakit kejang demam menimbulkan kecemasan yang tinggi pada sebagian
besar orang tua. Edukasi terkait penyakit ini merupakan hal yang tentunya
sangat berharga bagi orang tua pasien. Pemberian edukasi mengenai penyakit
kejang demam pada pasien dan orang tua di ruangan adalah kewajiban dokter.
Namun perawat juga bertanggung jawab untuk secara kontinyu mengevaluasi
hasil dari edukasi yang diberikan. Perilaku orang tua atau pendamping pasien
seringkali tidak mendukung perawatan pada pasien. Kurangnya tenaga
perawat yang berimbas pada overload beban kerja menyebabkan perawat tidak
memiliki cukup waktu untuk melakukan edukasi sesuai kebutuhan pasien dan
orang tua.
4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan
Konsep Kejang Demam
Anak dalam rentang usia balita yaitu usia 6 bulan sampai 5 tahun rentan
mengalami kejang demam, begitu pula An. A yang usianya baru mencapai 18
bulan. Beberapa faktor, selain usia, mempengaruhi terjadinya kejang demam
pada An. A. Adapun faktor eksternal yang terlibat meliputi tempat tinggal,
gaya hidup maternal, dan proses intranatal, sedangkan faktor internal antara
lain sistem imun dan lama menyusu.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
28
Kejang demam merupakan kasus penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak
di seluruh dunia, tetapi paling banyak ditemukan di negara-negara tropis,
termasuk di Indonesia (Birbeck et al., 2010). Penulis belum menemukan
penelitian atau riset baik nasional maupun lokal mengenai prevalensi atau
insiden kejang demam di Indonesia. Kasus kejang demam di RSUP Fatmawati
dalam periode 3 bulan yaitu Maret sampai Juni 2013 tercatat sejumlah 36
kasus yang mayoritas adalah kejang demam kompleks (RSUP Fatmawati,
2013). Jumlah yang dominan dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya
seperti diare, bronkhitis, pneumonia, sindrom nefrotik, dll. Mayoritas anakanak yang menderita kejang demam ini bertempat tinggal di kota-kota padat
penduduk seperti Jakarta, Tangerang, dan Bekasi.
An. A bersama orang tuanya bertempat tinggal di Tangerang Selatan. Wilayah
ini merupakan kota urban dengan angka kepadatan penduduk yang tinggi
(Riani, 2013). Kondisi pelayanan yang kurang efisien di lingkungan perkotaan
dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan banyak limbah
menumpuk dan akhirnya mencemarkan kebersihan tanah dan air (Alirol, et al.,
2010).
Air
yang
tercemar
dapat
menjadi
sumber
berkembangnya
mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia yang
menggunakannya. Tercemarnya sumber air minum di wilayah Jakarta dan
sekitarnya, menyebabkan angka kejadian penyakit infeksi di wilayah ini terus
meningkat (Ermawati, 2011). Kota Tangerang sebagai salah satu kota urban
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi yang menjadi
faktor presipitasi terjadinya kejang demam pada An. A.
Infeksi pada An. A adalah infeksi saluran kemih yang dibuktikan dengan
adanya peningkatan kadar leukosit per lapang pandang besar (LPB) pada
pemeriksaan sedimen urin. Infeksi ini dapat terjadi akibat perineal hygiene
yang buruk, yang dapat disebabkan oleh penggunaan sumber air yang kurang
bersih untuk mandi, membersihkan daerah perineum setelah mikturisi atau
defekasi, atau mencuci pakaian sehingga mikroorganisme dari air tersebut
dapat mengkontaminasi bagian-bagian tubuh yang mudah terpapar seperti
fekal atau saluran urinaria.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
29
Kejang demam pada An. A terjadi karena infeksi saluran kemih. Demam
timbul akibat stimulasi leukosit (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen
eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun (Sherwood,
2001). Leukosit kemudian mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan
pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen
endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk
prostaglandin yang kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat
termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang
lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanismemekanisme untuk meningkatkan panas yang akhirnya menyebabkan suhu
tubuh naik ke patokan yang baru tersebut. Suhu tubuh An. A saat mengalami
kejang pada hari rawat pertama yaitu 38,6oC (aksila), yang berarti terjadi
kenaikan metabolisme basal sebesar 14% dan kebutuhan oksigen 28%.
Peningkatan tersebut menyebabkan perubahan keseimbangan dari membran
sel otak dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion K maupun ion Na
melalui membran tersebut sehingga terjadi lepasnya muatan listrik yang cukup
besar. Neurotransmiter membantu memperluas lepasnya muatan listrik ke
seluruh sel/membran sel di dekatnya, sehingga menyebabkan An. A
mengalami kejang.
Kejang pada An. A kambuh satu kali saja, yaitu pada hari rawat pertama di
ruang rawat inap. Kejang terjadi selama kurang lebih 1 menit disertai demam
(38,6oC). Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis menurut Wong pada anak
dengan kejang demam sederhana, yaitu kejang terjadi hanya sekali dalam
periode 24 jam dengan durasi kurang dari 15 menit. Terjadinya kejang pada
An. A kemungkinan besar dipengaruhi oleh proses infeksi yang belum
tertangani sempurna dengan terapi antibiotik yang baru diberikan 2 kali pada
hari rawat pertama. Selain itu, peningkatan suhu yang cepat pada An. A yang
mencetuskan kejangnya dapat disebabkan oleh suhu yang cukup hangat dan
sirkulasi udara yang kurang memadai di ruang rawat An. A. Selimut kain yang
ditutupkan ibu ke tubuh An. A semakin menghambat pengeluaran panas tubuh
sehingga mempercepat kenaikan suhu An. A. Hal ini disebabkan kurangnya
pengetahuan orang tua tentang cara yang tepat menurunkan demam anak.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
30
Pemberian edukasi merupakan hal yang penting dan sangat berharga bagi
orang tua anak yang sering mengalami kekhawatiran yang sangat, terutama
saat kejang anak timbul. Ibu An. A, sebagai orang tua yang sering menemani
An. A selama perawatan di rumah sakit, tampak lebih tenang dan mampu
melakukan tindakan penurunan demam sederhana setelah diberikan edukasi
tentang cara tepat menurunkan demam anak. Ibu memakaikan An. A pakaian
yang longgar dan tipis, menyusui An. A lebih sering selama An. A mau, dan
tidak menutupi tubuh An. A dengan kain saat tidur. Ibu tampak semakin
percaya diri melakukan hal tersebut karena merasa saat suhu An. A ternyata
dapat dikontrol dengan parasetamol dan tindakan-tindakan tersebut, kejang
An. A sudah tidak timbul lagi.
4.3 Analisis Intervensi Tepid Sponge dengan Konsep Terkait
Pemberian tepid water sponge pada An. A terbukti efektif disertai dengan
pemberian parasetamol. Suhu tubuh An. A mencapai 37,5oC (dari 38,6oC)
pada menit ke 30 dan 36,6oC pada menit ke 60 setelah diberikan parasetamol
dan tepid sponge. Hal sesuai dengan penelitian pada tahun 2009 yang
menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara suhu tubuh sebelum dan
setelah diberikan antipiretik disertai tepid sponge
dan pada menit ke 30
setelah pengukuran suhu pertama (60 menit setelah pemberian antipiretik).
Penurunan suhu tubuh ini terjadi karena teknik tepid sponge memanfaatkan
mekanisme umpan balik (feed back) yang diperankan oleh pusat termoregulasi
di hipotalamus.
Pemberian antipiretik saja pada salah satu pasien anak dengan kejang demam,
yaitu Anak R berusia 2 tahun 3 bulan, memberikan penurunan suhu dengan
rentang penurunan yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang disertai
pemberian tepid sponge. Anak R mengalami penurunan suhu sebesar 0,6oC,
dari 38,1oC menjadi 37,5oC. Hal ini sesuai dengan studi komparatif tahun
2009 yang memaparkan bahwa penurunan suhu tubuh pada kelompok yang
diberikan tepid sponge dan antipiretik secara signifikan lebih cepat daripada
kelompok yang hanya diberikan antipiretik (Edborr, Arora, & Mukhrejee,
2011).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
31
Kejang An. A sudah tidak muncul lagi sejak hari rawat kedua sampai keempat
(terakhir). Selain pengaruh pemberian antibiotik yang rutin, faktor yang
mendukung adalah terapi kombinasi penanganan demam nonfarmakologis,
yaitu tepid sponge, dan farmakologis, yaitu parasetamol sebagai obat
antipiretik. Keterlibatan orang tua sebagai bagian integral dari perawatan anak
selama di rumah sakit juga sangat berpengaruh terlebih setelah diberikan
edukasi. Ibu An. A mudah memahami dan mampu meredemonstrasikan
pemberian tepid sponge yang diajarkan sehingga mampu melakukan tepid
sponge secara mandiri saat tubuh An. A teraba panas, dan melakukan hal-hal
yang telah diinformasikan dan diajarkan guna membantu menurunkan suhu
tubuh anak saat demam.
4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan
Aplikasi terapi tepid sponge disertai pemberian antipiretik pada klien kelolaan
utama memperlihatkan hasil yang positif yaitu mampu menurunkan suhu
tubuh dengan efektif. Namun perawat di ruangan dalam melaksanaan terapi ini
mempunyai beberapa kendala yang dihadapi. Pertama, durasi pemberian tepid
sponge yang tidak sebentar sulit dilakukan dengan jumlah tenaga perawat
yang kurang memadai. Perawat tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan
terapi ini sehingga hanya dapat berfokus pada terapi medis saja yaitu
pemberian obat antipiretik. Kedua, jumlah tenaga perawat yang minim juga
menyebabkan kurangnya edukasi demonstrasi yang diberikan oleh perawat
pada orang tua terkait pemberian tepid sponge pada anak. Keterlibatan orang
tua selama proses perawatan anak yang sangat tinggi kurang mendapat
dukungan dari sisi edukasi.
Kedua permasalahan di atas dapat diatasi dengan cara perawat melibatkan
orang tua atau pendamping pasien dalam perawatan demam anak. Perawat
dapat melakukan sekaligus mengajarkan kepada orang tua prosedur atau cara
memberikan tepid sponge pada anak. Tujuan pemberian terapi tepid sponge
dapat dijelaskan diawal oleh perawat sebelum tindakan dilakukan agar orang
tua memiliki pemahaman yang benar dan akhirnya mau terlibat untuk
memberikan terapi ini pada anaknya. Pelibatan orang tua dalam perawatan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
32
anak sesuai dengan konsep family centered care (FCC) yang mendukung
adanya pendekatan kemitraan untuk pengambilan keputusan dalam perawatan
kesehatan antara keluarga dan penyedia layanan kesehatan. FCC ini dianggap
sebagai standar perawatan kesehatan anak-anak baik dalam praktek klinis,
rumah sakit, maupun kelompok kesehatan (Kuo et al, 2011).
Penerapan FCC dalam perawatan anak dapat memberikan efek positif bagi
kedua belah pihak baik perawat maupun keluarga pasien. Pemberian edukasi
yang tepat oleh perawat terkait tepid sponge menjadikan orang tua memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang lebih untuk merawat anak mereka saat
demam. Pemberian tepid sponge yang selanjutnya dilakukan oleh orang tua
tetap dievaluasi oleh perawat. Alternatif ini mungkin dapat menjadi solusi bagi
perawat-perawat yang bertugas di ruangan.
Asuhan keperawatan tetap
terlaksana dengan optimal meskipun di tengah kondisi jumlah tenaga yang
kurang.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
33
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Gambaran umum anak dengan kejang demam diperoleh data, anak memiliki
riwayat kejang, spasme otot saat kejang, suhu tubuh fluktuatif dan cenderung
demam, anak tampak lemas, dan nafsu makan berkurang. Proses infeksi
menjadi penyebab timbulnya kejang demam. Peningkatan suhu di atas normal
yang terjadi dengan cepat menjadi pencetus timbulnya kejang. Asuhan
keperawatan kejang demam telah diberikan pada An. A untuk mengatasi
masalah keperawatan risiko infeksi, ketidakefektifan termoregulasi, dan risiko
cedera. Ketiga masalah keperawatan tersebut telah teratasi. Penerapan aplikasi
tepid sponge terbukti lebih cepat dalam menurunkan suhu tubuh anak. Suhu
sebelum diberi terapi yaitu 38,6oC dan setelah diberi terapi tepid sponge dan
antipiretik mengalami penurunan sebanyak 2oC dalam 60 menit pertama.
Selama hari perawatan telah dilakukan pemantauan tanda-tanda vital terutama
suhu dan mencegah penyebaran infeksi. An. A diberikan terapi antibiotik
untuk perawatan dirumah dan dianjurkan untuk datang mengikuti rawat jalan
di rumah sakit.
5.2 Saran
Infeksi yang menjadi penyebab kejang demam sering kali diakibatkan oleh
sistem imun tubuh anak yang lemah. Asupan nutrisi hendaknya tidak luput
dari perhatian perawat, karena asupan nutrisi yang adekuat penting untuk
proses metabolisme sel-sel tubuh termasuk antibodi yang berperan penting
bagi pertahanan tubuh.
Penting bagi perawat untuk mengevaluasi pencegahan infeksi nosokomial
yang dilakukan orang tua setelah diberikan edukasi seperti ketepatan cara
melakukan hand hygiene dan waktu-waktu penerapan hand hygiene.
33
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
34
DAFTAR PUSTAKA
Alirol,E., et al. (2010). Urbanisation and infectious diseases in a globalised
world. http://www2.uah.es/salud-yenfermedad/pdf/Urbanisation%20and%20infectious%20diseases%20in%20a
%20globalised%20world.pdf
Appleton, R., Marson, A. (2009). Epilepsy: the facts, 3rd Ed. Oxford, UK: Oxford
University Press
Birbeck, G. L., et al. (2010). Febrile seizures in the tropics. Epilepsies, Vol.22,
Number 2, 103-9. doi: 10.1684/epi.2010.0303. http://www.jle.com/edocs/00/04/59/28/article.phtml
Chung, B., Wat, L. C. Y., Wong, V. (2006). Febrile seizures in southern chinese
children: incidence and recurrence. Pediatric Neurology , volume 34, Issue 2,
Page 121-126. doi:10.1016/j.pediatrneurol.2005.08.007
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0887899405004662
Clement, I. (2007). Basic concepts on nursing procedures. New Delhi: Replika
Press Pvt. Ltd.
David, R. B. (2009). Clinical pediatric neurology, 3rd Ed. USA: Demos Medical
Publishing
Edbor, A. J., Arora, A. K, Mukherje, P. S. (2011). Early management of fever:
benefits of combination therapy. Bombay Hospital Journal, Vol. 53, No. 4,
2011. http://www.bhj.org.in/journal/2011-5304-oct/download/702705.pdfWatts Robertson 2012
Epilepsy Foundation of America. (2012). Febrile convulsions (3 months to 5
years).
http://www.epilepsyfoundation.org/livingwithepilepsy/parentsandcaregivers/
parents/infants/febrileconvulsions.cfm
Elsevier. (2012). Febrile seizures.
https://www.clinicalkey.com/topics/pediatrics/febrile-seizures.html
34
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
35
Kaneshiro. (2010). Fever.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003090.htm
Kayserili, et al. (2008). Parental knowledge and practices regarding febrile. Turk J
Med Sci 2008; 38 (4): 343-350.
http://journals.tubitak.gov.tr/medical/issues/sag-08-38-4/sag-38-4-9-07084.pdf
34
Mick, N. W., Cummings, B. M. (2006). Emergency
management of the pediatric
patient: cases, algorithms, evidence. USA: Lippincott Williams & Wilkins
Mikail, B. (2011). Kebiasaan cuci tangan masih rendah.
http://health.kompas.com/read/2011/09/29/17324045/Kebiasaan.Cuci.Tangan
.Masih.Rendah.
National Institute of neurological Disorders and Stroke. (2013). Febrile Seizures
Fact Sheet.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.ht
m
National Health Service. (2012). Febrile
seizures.http://www.nhs.uk/conditions/Febrileconvulsions/Pages/Introduction.aspx
Nursewian. (2012).Bahaya kejang demam pada anak dan langkah-langkah yang
harus dilakukan saat anak kejang. http://buletinkesehatan.com/bahayakejang-demam-pada-anak-dan-langkah-langkah-yang-harus-dilakukan-saatanak-kejang-1/#sthash.aXfzfcje.dpuf
Preidt, R. (2008). Death from febrile seizure rare in children.
http://abcnews.go.com/Health/Healthday/story?id=5537620&page=1#.UdvD
0Mn43cg
Riani. (2013). Penduduk Tangsel berpotensi padat seperti DKI.
http://www.bantenhits.com/metropolitan/1237-penduduk-tangsel-berpotensipadat-seperti-dki.html
Ricci, S. S., Kyle, T. (2009). Maternity and pediatric nursing. Philadelphia:
Wolters Kluwer Health
Sara, R. (2002). Paediatrics - febrile convulsions assessment, treatment and
education. http://www.inmo.ie/Article/PrintArticle/2661
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
36
Schachter. (2013). Types of seizures.
https://www.epilepsy.com/epilepsy/types_seizures
Setiawati,T.(2009). Pengaruh tepid sponge terhadap penurunan suhu tubuh dan
kenyamanan pada anak usia pra sekolah dan sekolah yang mengalai demam
di ruang perawatan anak Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Tesis
Fakultas Ilmu Keperawatan, UI. Depok
Sharber, J. (1997). The efficacy of tepid sponge bathing to reduce fever in young
children. American Journal Emergency Medical, 188-192.
Shellhaas, R., Camfield, C.S., Camfield, P. (2011). Febrile seizures.
http://www.medmerits.com/index.php/article/febrile_seizures/P3
Sherwood, L. (1996). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. (Penerjemah, Brahm,
U & Pendil, 2001). Edisi 2. Cetakan I. Jakarta: EGC.
Thomas, S., Vijaykumar, C., Naik, R., Moses, P.D., & Antonisamy, B. (2009).
Comparative effectiveness of tepid sponge and antipyretic drug versus
only antipyretic drug in the management of fever among children: a
randomized control trial. Indian Pediatrics, 46 (2), 133-136.
Unit For Sight. (2013). Urban versus rural health.
http://www.uniteforsight.org/global-health-university/urban-rural-health
Vera, M. (2012). 5 benign febrile convulsions nursing care plans.
http://nurseslabs.com/5-benign-febrile-convulsions-nursing-care-plans/#_
Vestergaard, et al. (2008). Death in children with febrile seizures: a populationbased cohort study. Lancet, 2008 Aug 9;372(9637):457-63. doi:
10.1016/S0140-6736(08)61198-8.
White, L. (2005). Foundations of maternal and pediatric nursing. 2nd Ed. USA:
Thomson Delmar Learning
Wong, D. L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik, alih bahasa, Monica
Ester; editor edisi bahasa Indonesia. Jakarta: EGC
Watts, R., Robertson, J. (2012). Non-pharmacological management of fever in
otherwise healthy children. JBI, Vol 10, No 28, ISSN 1838-2142.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013
Download