UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN KEJANG DEMAM DI RSUP FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR NERS FAHMITA A’YUNI, S.Kep 0806333890 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM NERS ILMU KEPERAWATAN DEPOK, JAWA BARAT JULI 2013 i Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN KEJANG DEMAM DI RSUP FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ners Ilmu Keperawatan FAHMITA A’YUNI, S.Kep 0806333890 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM NERS ILMU KEPERAWATAN DEPOK, JAWA BARAT JULI 2013 ii Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Fahmita A'Yllni, S.Kep NPM Tanda Tangan Tanggal : 24 Juli 2013 Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 III LEMBAR PENGESAHAN Karya Ilmiah ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Karya Ilmiah : : Fahmita A‟yuni : 0806333890 : Profesi Ilmu Keperawatan : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien Kejang Demam di RSUP Fatmawati Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners pada Program Studi Profesi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Pembimbing: Happy Hayati, S.Kp. M.Kep. ( ) Penguji : Siti Chodidjah, S.Kp., M.N. ( ) Penguji : Ns. Ngatmi, S.Kp. ( ) Ditetapkan di: Depok Tanggal: 24 Juli 2013 iv Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta memberikan kekuatan dan pengetahuan selama penerapan, pengamatan, dan penulisan karya ilmiah akhir ini. Penulis menemui kesulitan-kesulitan dalam menyusun karya ilmiah ini yang kemudian dapat penulis selesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu selama pelaksanaan dan penulisan karya ilmiah akhir ini, di antaranya: 1. Ibu Fajar Triwaluyanti, S.Kp., M.Kep., Sp. Kep. An. selaku Koordinator mata ajar peminatan anak dan Ketua Kelompok Keilmuan Keperawatan Anak FIK UI yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini sampai tuntas. 2. Ibu Happy Hayati, S.Kp. M.Kep selaku pembimbing yang telah memberikan waktu untuk membimbing dan mengarahkan serta memberikan dukungan, semangat, dan nasihat kepada penulis selama pelaksanaan penelitian sampai berakhirnya proses penulisan karya ilmiah akhir. 3. Ibu Siti Chodidjah, S.Kp., M.N. selaku penguji atas saran dan kritik yang membangun bagi penulis. 4. Ibu Ns. Ngatmi, S.Kp selaku pembimbing lahan klinik (clinical instructor) atas arahan, perhatian, dukungan, saran, kritik, dan motivasi yang diberikan selama praktik profesi di stase Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masalah Perkotaan (PKKKMP) di ruang rawat inap anak RSUP Fatmawati. 5. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 6. Kakak-kakak perawat yang bertugas di ruang rawat anak RSUP Fatmawati atas penerimaan, pembelajaran, dan keteladanan yang positif yang diberikan semasa praktik, yang tidak dapat penulis temukan selama menuntut ilmu di kampus. 7. Bapak dan Ibu yang selalu mendukung, memberikan kasih sayang, bimbingan, nasihat, semangat, dan do‟a yang tiada putus-putusnya serta pelajaran- v Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 pelajaran berharga bagi penulis. Kakakku Lutfi dan adik-adikku Giri dan Nisa atas keceriaan dan dukungannya kepada penulis. 8. Sahabat-sahabat tersayang atas pertemanan, do‟a, canda, dan semangat yang senantiasa dilakukan sampai saat ini. 9. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah akhir ini. Oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat berarti bagi penulis untuk menjadi lebih baik di masa mendatang. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak. Semoga penulisan karya ilmiah akhir ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan dan peningkatan ilmu keperawatan. Depok, 24 Juli 2013 Penulis vi Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI KARYA ILMIAH AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis Karya : Fahmita A 'yuni, S.Kep : 0806333890 : Sarjana Ilmu Keperawatan : Ilnlu Keperawatan : Karya Ilmiah Akhir Ners Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas RoyaIti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: "Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Pasien Kejang Demam Di Rsup Fatmawati" Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan., mengalihmedia/formatkan, mengelola dalanl bentuk pangkalan data (data base)~ merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa lneminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Depok Pada tanggal: 24 Juli 2013 Yang Menyatakan (Fahmita A'yuni, S.Kep) Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 vii ABSTRAK Nama : Fahmita A‟yuni, S.Kep Program Studi : S1 Program Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Pasien Kejang Demam di RSUP Fatmawati Karya ilmiah ini membahas asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien anak di RSUP Fatmawati dengan kasus yang cukup sering terjadi pada masyarakat perkotaan, yaitu kejang demam. Satu anak berusia 18 bulan, yang didiagnosis menderita kejang demam, menjadi pasien kelolaan selama hari pertama sampai terakhir perawatan di ruang rawat inap dengan penerapan pemberian tepid sponge disertai obat antipiretik saat anak demam yang menjadi salah satu intervensi dari asuhan keperawatan yang diberikan. Meminimalkan risiko infeksi dan mencegah demam timbul kembali menjadi fokus utama dalam asuhan keperawatan pada pasien kelolaan. Kombinasi pemberian tepid sponge dan obat antipiretik memperlihatkan penurunan suhu sebesar 2oC dalam waktu 60 menit. Tidak terlihat ketidaknyamanan anak selama tepid sponge dilakukan. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui tingkat pengetahuan orang tua tentang pemberian terapi tepid sponge untuk mencegah demam Kata kunci: anak, demam, kejang demam, perawatan viii Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 ABSTRACT Name : Fahmita A'yuni, S.Kep Study program : Graduate of Program Ners of Nursing Science, Faculty of Nursing Title : Analysis Clinical Practice of Urban Health Nursing in Patient with Febrile Convulsion at RSUP Fatmawati This paper was discussed about the nursing care given to one patient of children in Fatmawati‟s Hospital who had febrile convulsion as a fairly common case in urban communities. One child in the range of 6 months to 5 years who were diagnosed febrile seizures were being managed patients during the first until the last day of inpatient care with application of the provision tepid sponge and antipyretic drugs when the child had fever. It became one of nursing care interventions given. Minimize the risk of infection and prevent the fever comes back were the main focus in nursing intervention on that managed patient. The other child in the same range of age and diagnosis became an individual control with antipyretic administration only when the child had a fever. The combination giving tepid sponge and antipyretic drug showed a drop in temperature of 2 ° C within 60 minutes. Not visible discomfort in children during tepid sponge done. Further research is needed to determine the level of parental knowledge about therapy tepid sponge to prevent fever. Keywords: child, febrile convulsion, fever, treatment ix Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………….. iii LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………… iv KATA PENGANTAR…………………………………………………………… v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………………….. vii ABSTRAK………………………………………………………………………. viii DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. x DAFTAR TABEL……………………………………………………………….. xi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………. xii 1. PENDAHULUAN……………………………………………………………. 1 1.1 Latar Belakang………………………………………………………………... 1 1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………………... 3 1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………………4 1.4 Manfaat Penulisan……………………………………………………………..4 2. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………….. 6 2.1 Kejang Demam……………………………………………………………….. 6 2.2 Klasifikasi Kejang……………………………………………………………. 7 2.3 Manifestasi Klinis Kejang Demam…………………………………………... 9 2.4 WOC Kejang Demam………………………………………………………... 11 2.5 Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kejang Demam…………………… 11 2.6 Cara Penurunan Panas Tubuh……………………………………………….. 13 2.7 Hasil Penelitian Terkait Pemberian tepid Water Sponge pada Anak dengan Kejang Demam………………………………………………… 15 3. Laporan kasus Kelolaan Utama……………………………………………... 17 3.1 Gambaran Kasus……………………………………………………………... 17 3.2 Asuhan Keperawatan pada Anak A………………………………………….. 17 3.2.1 Pengkajian……………………………………………………………… 17 3.2.2 Analisis Data dan Diagnosa keperawatan……………………………… 20 3.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan………………………………………… 22 3.2.4 Implementasi…………………………………………………………… 23 3.2.5 Evaluasi………………………………………………………………… 25 4. Analisis Situasi……………………………………………………………….. 26 4.1 Profil Lahan Praktik………………………………………………………….. 26 4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep Kejang Demam………………………………………… 27 4.3 Analisis Intervensi Tepid Water Sponge dengan Konsep Terkait…………… 30 4.4 Alternatif Pemecahan yang dapat dilakukan………………………………… 31 5. Penutup………………………………………………………………………. 33 5.1 Kesimpulan…………………………………………………………………... 33 5.2 Saran…………………………………………………………………………. 33 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 34 x Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Kejang Demam…………………………………... 10 Tabel 3.1 Analisis Data Hasil Pengkajian………………………………………. 20 xi Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 WOC Kejang Demam……………………………………………... 11 xii Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kejang demam selama ini merupakan tipe kejang yang umumnya sering ditemukan pada anak-anak terutama pada usia balita. Di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat sekitar 2-5% anak-anak menderita kejang demam di bawah usia 5 tahun (Shinnar & Glauser (2002) dalam David, 2009). Di Denmark, Eropa Utara, angka kematian akibat kejang demam mencapai 132 dari 100.000 anak (Vestergaard et al., 2008). Penulis belum menemukan penelitian atau riset baik nasional maupun lokal mengenai prevalensi atau insiden kejang demam di Indonesia. Namun di RS Fatmawati, tercatat 36 kasus kejang demam yang didiagnosis dalam periode bulan April sampai Mei 2013, jumlah terbesar dibandingkan kasus lainnya (RSUP Fatmawati, 2013). Sebuah penelitian di Cina tahun 2006 menyatakan bahwa 103 dari 565 anak usia 1-6 tahun yang menderita kejang demam memiliki kekambuhan yang cukup tinggi pada usia 1, 2, dan 3 tahun dengan jumlah persentase masing-masing 12,7%, 18,7%, dan 20,5% (Chung, Wat, dan Wong, 2006). Kejang demam adalah peristiwa neurologis umum di antara anak-anak di seluruh dunia, tetapi lebih banyak ditemukan pada daerah tropis (Birbeck, 2010). Di negara berkembang, penduduk perkotaan sering tinggal di permukiman kumuh besar yang kekurangan sanitasi dasar dan utilitas seperti air dan listrik (Unit For Sight, 2013). Kurangnya infrastruktur dasar tersebut dapat memperburuk tingkat penyakit menular atau infeksi yang merupakan pencetus timbulnya kejang demam. Kesadaran untuk menerapkan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun juga masih tergolong rendah pada masyarakat perkotaan (Mikail, 2011). Hal ini turut menjadi penyebab balita di perkotaan memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi sehingga lebih berisiko menderita kejang demam. Epilepsy Foundation of America menyatakan 3-4% dari semua anak mengalami setidaknya satu kali kejang demam dalam hidupnya (Epilepsy Foundation of America, 2012). Tiga puluh sampai 40% dari mereka yang 1 Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 2 mengalami kejang ini akan memiliki kekambuhan, namun, sebagian besar pulih pada usia 5 tahun dan dapat berkembang secara normal. Kasus kejang demam tersebut relatif sedikit untuk selanjutnya berkembang menjadi epilepsi. Hanya 9% anak-anak yang mengalami tiga kali atau lebih kejang demam dengan faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi (Epilepsy Foundation of America, 2012). Beberapa faktor tersebut yaitu kejang pertama yang terjadi sebelum usia 18 bulan, kejang terjadi dalam beberapa jam, demam yang mencapai 38oC39oC, dan riwayat kejang demam keluarga dekat. National Health Service (NHS) di UK menyatakan bahwa kejang demam umumnya disebabkan oleh penyakit umum seperti infeksi saluran pernapasan atas virus seperti flu, infeksi telinga atau roseola (virus yang menyebabkan suhu dan ruam). Kondisi lain yang dapat menyebabkan suhu tinggi misalnya tonsillitis dan infeksi ginjal atau infeksi saluran kemih (National Health Service/NHS, 2012). Manifestasi klinis kejang demam meliputi kejadian yang tiba-tiba seperti kekakuan tubuh, kehilangan kesadaran yang cepat, gerakangerakan otot tangan, kaki, dan wajah menyentak, nafas dapat ireguler, dan tidak ada kemampuan mengunyah (White, 2005). Kejang demam biasanya terjadi pada awal saat terjadi demam tinggi dan biasanya kejang terjadi hanya sekali dalam waktu kurang dari 3 menit. Kejang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak apabila kejang terjadi lebih dari 5 menit (Nursewian, 2012). Kejang demam pada anak membutuhkan penanganan yang tepat dan segera untuk mencegah terjadinya kejang berulang. Pencegahan infeksi, demam, dan cedera menjadi fokus utama dalam pemberian asuhan keperawatan kejang demam pada anak (Sara, 2002; Wong, 2004). Edukasi parental merupakan hal penting untuk diberikan karena mayoritas orang tua umumnya percaya bahwa kejang demam adalah peristiwa yang mengancam jiwa, dan sebagian orang tua tidak tahu apa yang harus dilakukan selama episode kejang demam (Kayserili et al., 2008). Penulis menemukan masalah yang terdapat pada anak yang mengalami kejang demam yaitu demam yang hilang timbul. Demam disebabkan oleh antigen Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 3 atau mikoroorganisme yang menyebabkan peradangan dan pelepasan pirogen yang merupakan zat yang menginduksi demam (Vera, 2013). Demam terjadi pada anak dengan kejang demam akibat infeksi. Demam akan dialami anak selama penanganan infeksi belum tuntas. Penanganan demam saat ini dilakukan dengan pemberian terapi obat antipiretik, manajemen cairan, pemakaian baju yang tipis, dan pemberian tepid sponge. Tepid sponge adalah adalah proses sponging dengan air hangat untuk mengurangi suhu tubuh dengan evaporasi atau penguapan (Clement, 2007). Suhu air yang digunakan untuk tepid sponge adalah 26oC-32oC. Sebuah penelitian di India menunjukkan bahwa pemberian antipiretik yang disertai tindakan tepid sponge menurunkan suhu tubuh lebih cepat dibandingkan dengan pemberian antipiretik saja (Thomas, Vijaykumar, Naik, Moses, & Antonisamy, 2009). Penelitian Tia Setiawati, 2009 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara suhu tubuh sebelum dan setelah diberikan antipiretik disertai tepid sponge pada kelompok intervensi. Penulis bermaksud menyampaikan hasil praktik pemberian asuhan keperawatan pada pasien anak dengan kejang demam yang mengalami masalah kesehatan demam yang hilang timbul. Aplikasi metode tepid sponge disertai terapi obat antipiretik termasuk dalam asuhan keperawatan yang diberikan untuk mengatasi masalah demam anak. 1.2 Perumusan masalah Kejang demam, sebagai kasus yang memiliki angka kejadian yang cukup tinggi setiap tahunnya, membutuhkan penanganan yang tepat. Tindakan yang utama adalah mencegah kejadian kejang berulang dengan cara mengurangi timbulnya demam. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan di rumah sakit bertanggung jawab terhadap tindakan baik mandiri maupun kolaboratif yang dapat mendukung proses penyembuhan anak dengan kejang demam. Salah satu tindakan mandiri perawat yang dapat diberikan adalah dengan melakukan kompres hangat atau tepid water sponge untuk membantu proses penurunan suhu tubuh anak saat demam. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 4 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada anak dengan kejang demam dengan pemberian tepid sponge disertai pemberian antipiretik untuk mengatasi demam. 1.3.2 Tujuan khusus: 1. Mengetahui gambaran umum anak dengan kejang demam. 2. Mengetahui gambaran masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan kejang demam. 3. Mengetahui gambaran rencana asuhan keperawatan pada anak dengan kejang demam. 4. Mengetahui gambaran implementasi keperawatan dan evaluasi pada anak dengan kejang demam. 5. Mengetahui efek pemberian tepid sponge disertai pemberian antipiretik pada anak yang mengalami demam. 1.4 Manfaat penulisan Hasil penulisan karya ilmiah ini kelak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam ruang lingkup keperawatan. Karya ilmiah ini dapat dipergunakan untuk mahasiswa, instansi pendidikan keperawatan, dan perkembangan ilmu keperawatan. 1.4.1 Bagi mahasiswa Karya ilmiah ini dapat menambah wacana bagi mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa keperawatan dalam mempelajari konsep maupun praktik asuhan keperawatan pada anak dengan kejang demam. Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu mempraktikkan asuhan keperawatan dengan tepat pada anak dengan kejang demam saat praktik di lapangan dengan pemahaman yang baik terhadap asuhan keperawatan tersebut. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 5 1.4.2 Bagi Instansi Pendidikan Keperawatan Informasi dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi instansi pendidikan FIK UI sebagai laporan hasil asuhan keperawatan mahasiswa profesi ners pada anak dengan kejang demam. Instansi juga dapat menggunakan karya ilmiah ini sebagai sumber referensi bagi peserta didik, terutama yang sedang mengikuti mata kuliah keperawatan anak. 1.4.3 Bagi Masyarakat Karya ilmiah ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi yang dapat disebarluaskan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui penanganan terhadap anak dengan kejang demam. Masyarakat juga diharapkan dapat mengerti dan mampu menerapkan tepid sponge sebagai salah satu upaya yang cepat, praktis, dan dapat dilakukan secara mandiri untuk meredakan demam anak. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kejang Demam Kejang demam adalah kejang yang muncul akibat demam pada bayi atau anak kecil (National Institute of neurological Disorders and Stroke/ NINDS, 2013). Anak sering kehilangan kesadaran selama kejang demam, dan tampak bergetar, bergerak kaki di kedua sisi tubuh. Anak mungkin menjadi kaku atau bergetar hanya sebagian dari tubuh, seperti tangan atau kaki, atau di sebelah kanan atau sisi kiri saja, tetapi ini lebih jarang terjadi. Kejang demam yang paling terakhir satu atau dua menit, meskipun beberapa dapat sesingkat beberapa detik sementara yang lain berlangsung selama lebih dari 15 menit (NINDS, 2013). Kejang demam diklasifikasi menjadi dua jenis utama, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah jenis yang paling umum dari kejang demam, terhitung sekitar 8 dari 10 kasus (NHS, 2012). Kejang yang kurang umum terjadi adalah kejang demam kompleks dengan angka kejadian 2 dari 10 kasus. Masing-masing tipe kejang tersebut memiliki ciri khas atau manifestasi klinis yang berbeda. Patofisiologi dari kejang demam sampai saat ini masih belum sepenuhnya dipahami (Shellhaas, et al., 2011). Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab pada sebagian besar kasus kejang demam. Kejang ini dipicu oleh kenaikan suhu yang drastis yang disebabkan oleh infeksi viral atau bakterial. Kenaikan suhu 1º C pada keadaan demam akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20% sehingga pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion K dan Na melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitar dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Kejang dapat terjadi pada kenaikan suhu sampai 38 C, ini terjadi pada anak yang memiliki ambang 6 Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 7 kejang yang rendah, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 39oC (Elsevier, 2012). Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa, tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis laktat. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vaskular dan udem otak serta kerusakan sel neuron. 2.2 Klasifikasi Kejang Kejang adalah malfungsi singkat dari sistem listrik otak yang terjadi karena muatan neuron kortikal (Wong, 2004). Kejang diklasifikasikan menjadi dua yaitu kejang parsial dan kejang umum. 2.2.1 Kejang Parsial Kejang parsial dimulai dengan pelepasan listrik di satu daerah tertentu dari otak. Beberapa hal berbeda dapat menyebabkan kejang parsial, misalnya cedera kepala, infeksi otak, stroke, tumor, atau perubahan dalam cara daerah otak dibentuk sebelum lahir (disebut displasia kortikal). Penyebab kejang parsial masih belum jelas tetapi faktor genetik mungkin berperan (Schachter, 2013). Kejang parsial diklasifikasikan lagi menjadi tiga yaitu kejang parsial sederhana, kejang sensori khusus, dan kejang parsial kompleks (Wong, 2004). Kejang parsial sederhana ditandai dengan kondisi yang tetap sadar dan waspada, gejala motorik terlokalisasi pada salah satu sisi tubuh. Manifestasi lain yang tampak yaitu kedua mata saling menjauh dari sisi fokus, gerakan tonik-klonik yang melibatkan wajah, salivasi, bicara berhenti, gerakan klonik terjadi secara berurutan dari mulai kaki, tangan, atau wajah (Wong, 2004). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 8 Kejang sensori khusus dicirikan dengan berbagai sensasi. Kebas, kesemutan, rasa tertusuk, atau nyeri yang berasal dari satu lokasi (misalnya wajah atau ekstremitas) dan menyebar ke bagian tubuh lainnya merupakan beberapa manifestasi kejang ini. Pengelihatan dapat membentuk gambaran yang tidak nyata. Kejang ini tidak umum pada anak-anak di bawah usia 8 tahun (Wong, 2004). Kejang parsial kompleks lebih sering terjadi pada anak-anak dari usia 3 tahun sampai remaja. Kejang ini dicirikan dengan timbulnya perasaan kuat padadasar lambung yang naik ke tenggorokan, adanya halusinasi rasa, pendengaran, atau penglihatan. Individu juga sering mengalami perasaan deja-vu. Penurunan kesadaran terjadi dengan tanda-tanda individu tampak linglung dan bingung, dan tidak mampu berespons atau mengikuti instruksi. Aktivitas berulang tanpa tujuan dilakukan dalam keadaan bermimpi, seperti mengulang kata-kata, menarik-narik pakaian, mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, atau bertindak agresif (kurang umum pada anak-anak). Anak dapat merasa disorientasi, konfusi, dan tidak mengingat fase kejang pada saat pasca kejang (Wong, 2004). 2.2.2 Kejang Umum Kejang umum terbagi menjadi kejang tonik-klonik, kejang atonik, kejang akinetik, dan kejang mioklonik (Wong, 2004). Kejang tonik-klonik merupakan kejang yang paling umum dan paling dramatis dari semua manifestasi kejang dan terjadi tiba-tiba. Fase tonik dicirikan dengan mata tampak ke atas, kesadaran hilang dengan segera, dan bila berdiri langsung terjatuh. Kekakuan terjadi pada kontraksi tonik simetrik pada seluruh otot tubuh yaitu lengan biasanya fleksi, kaki, kepala, dan leher ekstensi. Tangisan melengking terdengar dan tampak adanya hipersalivasi. Fase klonik ditunjukkan dengan gerakan menyentak kasar pada saat tubuh dan ekstremitas berada pada kontraksi dan relaksasi yang berirama. Hipersalivasi menyebabkan mulut tampak Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 9 berbusa. Anak juga dapat mengalami inkontinensia urin dan feses. Gerakan berkurang saat kejang berakhir, terjadi pada interval yang lebih panjang, lalu berhenti secara keseluruhan (Wong, 2004). Kejang atonik disebut juga serangan drop dan biasa terjadi antara usia 2 dan 5 tahun. Kejang ini terjadi tiba-tiba dan ditandai dengan kehilangan tonus otot sementara dan kontrol postur. Anak dapat jatuh ke lantai dengan keras dan tidak dapat mencegah jatuh dengan menyangga tangan, sering terjadi kulai kepala, sehingga dapat menimbulkan cedera serius pada wajah, kepala, atau bahu. Anak tidak atau dapat mengalami kehilangan kesadaran sementara (Wong, 2004). Kejang akinetik ditandai dengan adanya gerakan lemah tanpa kehilangan tonus otot. Anak tampak kaku pada posisi tertentu dan tidak jatuh. Anak biasanya mengalami gangguan atau kehilangan kesadaran (Wong, 2004). Kejang mioklonik dapat terjadi dalam hubungannya dengan bentuk kejang lain. Kejang ini dicirikan dengan kontraktur tonik singkat dan tiba-tiba dari suatu otot atau sekelompok otot. Kejang terjadi sekali atau berulang tanpa kehilangan kesadaran dengan jenis simetrik atau asimetrik (Wong, 2004). 2.3 Manifestasi Klinis Kejang Demam Kejang yang dialami anak diawali dan disertai dengan suhu tubuh yang tinggi. Mayoritas anak-anak dengan kejang demam memiliki suhu rektal lebih dari 38,9oC (NINDS, 2013). Kejang demam pada anak umumnya terjadi selama hari pertama demam. Anak-anak yang rentan terhadap kejang demam tidak dianggap memiliki epilepsi, karena epilepsi ditandai dengan kejang berulang yang tidak dipicu oleh demam. Seorang anak dikatakan mengalami demam saat suhu tubuh mencapai atau di atas salah satu dari level: a) 100.4 ° F (38 ° C) diukur dalam bagian bawah (dubur), b) 99,5 ° F (37,5 ° C) diukur dalam mulut (per oral), c) 99 ° F (37,2 ° C) diukur di bawah lengan (aksila). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 10 Sekitar satu dari 25 anak akan mengalami minimal satu kali kejang demam, dan lebih dari sepertiga anak-anak tersebut akan mengalami kejang demam berikutnya apabila belum mendapatkan penanganan (NINDS, 2013). Kejang demam biasanya terjadi pada anak-anak antara usia 6 bulan dan 5 tahun (60 bulan) dan sangat umum pada balita. Anak-anak jarang menampakkan kejang demam pertama mereka sebelum usia 6 bulan atau setelah 3 tahun. Semakin tua usia seorang anak saat kejang demam pertama terjadi, semakin kecil kemungkinan anak mengalami kejang demam berulang. Perbedaan manifestasi klinis pada kejang demam sederhana dan kompleks dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Kejang Demam Kejang Demam Sederhana Kejang Demam Kompleks 1. Kejang terjadi selama < 15 menit 1. 2. Gejala motorik terlokalisasi pada salah 2. Gejala motorik dapat terlokalisasi atau satu sisi tubuh Kejang terjadi selama > 15 menit terjadi pada seluruh tubuh, atau kejang umum didahului kejang parsial 3. Tidak berulang dalam periode 24 jam 3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam periode 24 jam Sumber: Mick & Cummings (2006) Adapun perubahan fisik yang tampak ketika anak mengalami kejang demam yaitu anak teraba panas dengan suhu 39,8oC (Mick & Cummings, 2006). Anak tampak tidak sadar dan tampak kaku atau bergetar pada tangan dan kaki pada salah satu sisi atau seluruh tubuhnya. Mata anak tampak berputar atau melihat ke arah atas selama kejang berlangsung (Appleton & Marson, 2009). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 11 2.4 WOC Kejang Demam Faktor risiko: Infeksi virus atau bakteri pada saluran pernapasan atas, telinga, ISK, kandung kemih, cacar air, atau tonsilitis Masalah keperawatan: ketidakefektifan termoregulasi Intervensi keperawatan: 1. kolaborasi pemberian antipiretik 2. melakukan tepid water sponge 3. meningkatkan sirkulasi udara 4. memantau suhu tubuh anak 5. mengenakan pakaian yang tipis pada anak saat demam Inflamasi Hipertermia Konsentrasi Na intrasel dan K ekstrasel ↑ Masalah keperawatan: risiko infeksi Intervensi keperawatan: 1. kolaborasi pemberian antibiotik sesuai dosis 2. memantau kadar leukosit setiap hari 3. menjaga kebersihan pasien dan lingkungan tempat tidur pasien Potensial membran ↓ Gangguan fungsi astrosit Eksitabilitas otak ↑ Kejang: spasme otot involunter Spasme otot-otot respirasi Apnea Suplai O2 ke otak menurun Masalah keperawatan: gangguan perfusi jaringan serebral Masalah keperawatan: risiko jatuh Intervensi keperawatan: 1. Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikovulsan. 2. Menghitung durasi dan frekuensi kejang 3. Menjauhkan anak dari benda yang dapat mencederai 4. Menjaga suara dan sikat tenang saat melakukan tindakan pada anak. Gambar Bagan 2.1 WOC Kejang Demam Sumber: Sherwood (2001), Wong (2004), Appleton & Marson (2009) 2.5 Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kejang Demam Pengkajian keperawatan pada anak dengan kejang demam, selain identitas pasien, berfokus pada riwayat kesehatan anak, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Perawat perlu mengetahui riwayat kesehatan anak terutama yang berkaitan dengan kejadian prenatal, perinatal, dan nenonatal (Wong, 2004). Adanya infeksi virus menjadi penyebab utama yang sering dialami anak dengan kejang demam (Ricci dan Kyle, 2009). Demam tinggi dapat menandakan anak sedang terinfeksi namun dibutuhkan pemeriksaan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 12 laboratorium darah untuk memastikannya. Kadar leukosit yang tinggi (>17500 sel/L) menunjukkan bahwa tubuh anak terkena infeksi. Penurunan kadar Hb dan eritrosit perlu menjadi perhatian perawat. Kadar Hb di bawah rentang normal (11-16 g/dl) menunjukkan adanya masalah dalam pemenuhan kebutuhan O2 pada anak yang dapat memperburuk kejang anak. Pemeriksaan diagnostik seperti pungsi lumbal, CT Scan, atau MRI, diperlukan untuk memastikan tidak ada infeksi yang berasal dari sistem saraf pusat. Perawat kemudian mengidentifikasi data hasil pengkajian untuk menentukan masalah yang muncul dan menegakkan diagnosa keperawatan pada anak dengan kejang demam. Perawat menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan keadaan klinis anak secara aktual untuk merencanakan asuhan keperawatan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan pasien. Beberapa diagnosa keperawatan utama yang dapat ditegakkan pada anak dengan kejang demam antara lain risiko infeksi, ketidakefektifan termoregulasi, risiko tinggi cedera, dan perubahan proses keluarga (Ricci dan Kyle, 2009; Wong, 2004). Intervensi-intervensi keperawatan diutamakan untuk meminimalkan risiko infeksi dan mencegah kenaikan suhu tubuh yang ekstrim pada anak, salah satunya dengan memberikan tepid water sponge saat anak demam. Penelitian Tia Setiawati, 2009 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara suhu tubuh sebelum dan setelah diberikan antipiretik disertai tepid sponge pada kelompok intervensi pada menit ke 10 setelah periode tepid sponge (menit ke 30 setelah pemberian antipiretik) dan pada menit ke 30 setelah pengukuran pertama (menit ke 60 setelah pemberian antipiretik). Tujuan intervensi ini juga penting untuk disampaikan kepada orang tua. Dukungan dan edukasi parental tentang kejang demam dapat membantu menurunkan ansietas orang tua terhadap penyakit yang sebenarnya tidak berbahaya tetapi sangat mengkhawatirkan mayoritas orang tua tersebut (Ricci dan Kyle, 2009). Pemahaman yang tepat tentang penyakit anak membuat orang tua menjadi lebih tenang dan lebih mudah dilibatkan dalam membantu proses perawatan anak di rumah sakit terutama untuk meminimalkan efek Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 13 hospitalisasi. Perawat secara berkelanjutan mengevaluasi perkembangan kesehatan pasien terhadap terapi medis (misal antikonvulsan, antipiretik, dan antibiotik) dan keperawatan (misal kompres hangat, perawatan selang infus, atau edukasi hand hygiene) yang diberikan. 2.6 Cara Penurunan Panas Tubuh Suhu tubuh yang stabil diperoleh dari pemasukan dan pengeluaran panas tubuh yang seimbang. Apabila suhu mulai meningkat di atas normal, maka dapat dikoreksi dengan meningkatkan pengurangan panas, sementara produksi panas juga dikurangi. Hipotalamus bekerja sebagai pusat termoregulasi tubuh yang mampu berespon terhadap perubahan suhu darah sekecil 0,01oC (Sherwood, 2001). Hipotalamus secara terus menerus mendapat informasi mengenai suhu tubuh melalui termoreseptor untuk membuat penyesuaianpenyesuaian hingga terjadi keseimbangan antara mekanisme pengurangan panas dan mekanisme penambahan panas. Peningkatan suhu tubuh di atas normal menimbulkan pengaturan regio anterior di hipotalamus yang diaktifkan oleh rasa hangat, sehingga memicu refleks-refleks yang memperantarai pengurangan panas. Refleks yang pertama adalah dengan penurunan aktivitas sismpatis melalui respons vasomotor kulit. Vasodilatasi pembuluh darah kulit menyebabkan peningkatan aliran darah ke kulit sehingga dapat meningkatkan pengurangan panas. Apabila vasodilatasi kulit yang sudah maksimum gagal mengurangi kelebihan panas tubuh, mekanisme berkeringat diaktifkan, sehingga pengeluaran panas dapat berlanjut melalui proses evaporasi. Terdapat 4 mekanisme perpindahan panas yang digunakan tubuh yaitu radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi (Sherwood, 2001). Radiasi adalah emisi energi panas dari permukaan tubuh yang hangat dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau gelombang panas, yang berjalan melalui ruang. Tubuh mengalami penurunan panas melalui radiasi ke benda-benda di lingkungan yang permukaannya lebih dingin daripada permukaan kulit misalnya dinding, meja-kursi, atau pohon. Rata-rata manusia kehilangan hampir separuh energi panasnya melalui radiasi (Sherwood, 2001). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 14 Konduksi adalah perpindahan panas antara benda-benda yang berbeda suhunya yang berkontak langsung satu sama lain. Panas tubuh dapat berkurang melalui konduksi apabila kulit berkontak dengan suatu konduktor yang baik seperti air (Sherwood, 2001). Konveksi adalah perpindahan energi panas melalui arus udara. Udara dingin dihangatkan oleh tubuh, lalu bergerak ke atas dan digantikan oleh udara yang lebih dingin. Kombinasi proses pengeluaran panas melalui konduksi-konveksi dari tubuh diperkuat oleh gerakan paksa udara melintasi permukaan tubuh seperti gerakan angin atau kipas, atau misalnya saat mengendarai sepeda. Kejadian ini membuat tubuh terasa lebih dingin karena gerakan paksa udara menyapu udara yang dihangatkan saat konduksi dan lebih cepat menggantikannya dengan udara yang lebih dingin (Sherwood, 2001). Metode terakhir pemindahan panas yang digunakan tubuh adalah evaporasi, yaitu pemindahan panas dari permukaan kulit ke udara melalui proses penguapan (Sherwood, 2001). Pengurangan panas evaporatif terus berlangsung melalui dinding saluran pernapasan, dan dari permukaan kulit. Proses ini tidak berada di bawah kontrol fisiologis dan terus berlangsung. Berkeringat menjadi proses evaporatif aktif (di bawah kontrol saraf simpatis) ketika suhu lingkungan melebihi suhu kulit. Keringat secara aktif dikeluarkan ke permukaan kulit oleh kelenjar-kelenjar keringat yang tersebar di seluruh permukaan tubuh, kemudian menguap sehingga terjadi pengurangan panas (Sherwood, 2001). Tepid sponge merupakan salah satu tindakan yang dianjurkan untuk menurunkan suhu tubuh. Tepid sponge merupakan salah satu metode pendinginan yang digunakan untuk menurunkan suhu tubuh pada anak dengan menggunakan kompres hangat (Sheiber, 1997). Suhu air hangat yang digunakan yaitu suhu air 30-35°C. Sebuah penelitian di India menunjukkan bahwa pemberian antipiretik yang disertai tindakan tepid sponge menurunkan suhu tubuh lebih cepat dibandingkan dengan pemberian antipiretik saja (Thomas, Vijaykumar, Naik, Moses, & Antonisamy, 2009). Penelitian Tia Setiawati 2009 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 15 kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang diberikan terapi tepid sponge dan disertai pemberian antipiretik. Tindakan ini diberikan pada pasien dengan suhu tubuh lebih dari 38oC per aksila. 2.7 Hasil Penelitian Terkait Pemberian Tepid Water Sponge pada Anak dengan Kejang Demam Suatu studi komparatif dilakukan untuk membandingkan efektifitas antara pemberian tepid sponge dan parasetamol, dan parasetamol saja. Studi ini melibatkan 150 anak berusia 6 bulan sampai 12 tahun dengan suhu aksila 101oF (38,3oC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan suhu tubuh pada kelompok yang diberikan tepid sponge dan antipiretik secara signifikan lebih cepat daripada kelompok yang hanya diberikan antipiretik. Namun kedua kelompok mencapai tingkat suhu yang sama pada 2 jam terakhir. Anakanak dalam kelompok tepid sponge dan obat antipiretik memiliki ketidaknyamanan yang signifikan lebih tinggi daripada kelompok antipiretik, tapi ketidaknyamanan itu sebagian besar dalam tingkat ringan (Thomas, et al., 2009). Penelitian di India tahun 2011 juga mendukung hasil studi di atas. Penelitian dilakukan pada 150 anak berusia 6 bulan - 14 tahun dengan suhu rektal lebih dari 39ºC untuk membandingkan efektivitas antara pemberian tepid sponge dan parasetamol, parasetamol saja, dan tepid sponge saja pada anak-anak yang demam dan mempelajari tingkat ketidaknyamanan yang berhubungan dengan itu. Hasil penelitian menunjukkan penurunan suhu tubuh dalam kelompok tepid sponge dan obat antipiretik secara signifikan lebih cepat daripada kelompok antipiretik saja dan parasetamol saja. Meskipun pada akhir 1 jam semua tiga kelompok telah mencapai derajat suhu yang sama, terapi kombinasi memiliki penurunan klinis suhu yang signifikan (Edbor et al., 2011). Penelitian tahun 2012, yang melibatkan 986 anak-anak secara total, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepid sponge saja dapat mengakibatkan penurunan langsung Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 16 terhadap suhu, namun respon ini berdurasi pendek (Watts & Robertson, 2012). Pemberian antipiretik saja atau antipiretik yang disertai tepid sponge memiliki efek lebih tahan lama dalam penurunan suhu. Selain itu, tingkat ketidaknyamanan anak-anak yang diberikan tepid sponge lebih tinggi daripada kelompok lain. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 17 BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 3.1 Gambaran Kasus An. A usia 1 tahun 6 bulan dirawat di ruang rawat inap anak (IRNA) RSUP Fatmawati. Anak masuk dari ruang IGD dengan keluhan demam sejak 2 hari yang lalu, kejang ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang berlangsung selama kurang dari 5 menit, mata mendelik ke atas dan seluruh tubuh kaku. Keluar cairan buih dari mulut saat anak kejang. Tidak ada kelemahan pada salah satu sisi tubuh setelah anak sadar. Demam tidak turun dengan obat penurun panas. An. A didiagnosis menderita kejang demam kompleks (KDK). An. A memiliki riwayat kejang demam saat usia 11 bulan. An. A lahir dengan bantuan alat vacuum. 3.2 Asuhan Keperawatan pada An. A Asuhan keperawatan pada An. A dengan kejang demam kompleks meliputi pengkajian, penegakan diagnosa keperawatan, penentuan intervensi keperawatan, implementasi, dan evaluasi dari setiap tindakan keperawatan. Tahap-tahap asuhan keperawatan, yang dilakukan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi, dijelaskan pada pemaparan di bawah ini. 3.2.1 Pengkajian Pengkajian dilakukan pada tanggal 4 Juni 2013 saat hari rawat pertama An. A pukul 14.30 WIB. Perawat pertama kali mengkaji identitas pasien, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga. Perawat kemudian melakukan pemeriksaan fisik, dan mengidentifikasi hasil pemeriksaan laboratorium pasien. Identitas pasien yang diperoleh berdasarkan pengkajian yaitu An. A (inisial) berusia 1 tahun 6 bulan, lahir tanggal 31 Mei 2011, berjenis kelamin perempuan, beragama islam, bertempat tinggal di Jl. Pondok Cabe, Tangerang Selatan bersama ayah dan ibunya. Pergelangan tangan klien dipasang gelang identitas pasien yang tertera nama lengkap, usia, 17 Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 18 dan nomor rekam medis pasien. An. A adalah anak pertama dari Tn. S dan Ny. F (orang tua). Ny. F mengatakan An. A pernah mengalami kejang disertai demam saat berusia 11 bulan. Ny. F tidak pernah merokok begitu juga selama mengandung An. A, tetapi kebiasaan minum kopi tidak bisa ditinggalkan. Ny. F berusaha mengurangi minum kopi semasa hamil. Ny. F mengalami kesulitan saat proses melahirkan An. A sehingga harus dibantu dengan alat vacuum. Keluarga dekat An. A tidak ada yang pernah menderita kejang baik dari garis keturunan Tn. S maupun Ny. F, serta tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit keturunan seperti jantung, diabetes, hipertensi, dan asma. Perawat melanjutkan pemeriksaan fisik setelah melakukan pengkajian identitas pasien, riwayat keluarga, dan riwayat kesehatannya. Perawat melakukan penimbangan dan pungukuran tinggi badan terlebih dahulu kemudian pemeriksaan fisik head to toe. An. A memiliki berat badan 8,5kg dan tinggi badan 38cm. Adapun hasil pemeriksaan fisik lainnya pada An. A adalah sebagai berikut: 1. Kepala Bentuk kepala tampak simetris dan normal dengan ukuran lingkar kepala 43cm. Tidak tampak lesi atau ruam kemerahan pada kepala. Rambut berwarna hitam, tampak agak tebal, dan tidak rontok. Ubun-ubun rata. Wajah, kedua mata, hidung, dan mulut tampak simetris. Sklera tidak ikterik, konjungtiva anemis, dan refleks pupil dan penglihatan normal. Tidak ada sekret atau hambatan pada hidung. Daun telinga tampak bersih, sedikit serumen kuning di dalam lubang telinga. Membran mukosa bibir tampak lembab, merah muda terang, halus, tidak ada kandidiasis pada lidah maupun rongga mulut,lidah dapat bergerak bebas, tidak ada lesi atau massa di bawah lidah jumlah gigi 12 dan tampak bersih. 2. Leher Leher tampak simetris, tidak teraba adanya massa dan tidak tampak bengkak. Tidak ada kesulitan untuk menelan makanan atau minuman. 3. Dada Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 19 Inspeksi: Dada tampak normal , saat dilakukan inspeksi tidak ditemukan lesi maupun ruam kemerahan. Pergerakan dada simetris dan regular. Selama inspirasi dada mengembang dan sebaliknya saat ekspirasi. Puting susu dengan pigmentasi lebih gelap terletak pada garis midklavikula iga keempat dan kelima. Ukuran lingkar dada 44cm. Frekuensi napas normal 28 kali per menit, reguler, tenang, tanpa bantuan otot-otot bantu napas. Auskultasi: Terdengar bunyi vesikuler pada seluruh lapang paru, dan bronkial pada atas trakea. Tidak ada ronchii ataupun wheezing. Palpasi: Teraba vibrasi simetris pada torakal sinistra dan dekstra Perkusi: Terdengar bunyi resonans pada interkosta ketiga dan keempat, dan bunyi pekak pada interkosta kelima sejajar midklavikula sinistra dan dekstra. Jantung: Dinding dada tampak simetris, pengisian kapiler 1 detik, suara jantung 1 dan 2 jernih, regular, frekuensi sama dengan nadi radialis yaitu 112 kali per menit, tidak terdengar suara murmur atau gallop. 4. Abdomen Umbilikus tampak menonjol pada posisi tegak dan datar saat berbaring. Ukuran lingkar perut 39cm. Gerakan perut seirama dengan gerakan dada. Bising usus terdengar sekali setiap 12 detik. Hepar teraba 1cm di bawah marjin kostal dekstra. Tidak ada distensi abdomen. 5. Genitalia Tampak bersih, tidak teraba adanya massa pada labia, tampak meatus uretra, klitoris, dan perineum. Tidak ada lesi di sekitar meatus. Bokong tampak padat, lipatan gluteal simetris, refleks anal positif. Tidak tampak dermatitis di daerah sekitar genitalia. 6. Punggung dan Ekstremitas Vertebra tampak lordosis. Bahu, skapula dan ilium tampak simetris. Panjang tangan dan kaki simetris dengan ukuran yang sama. Kedua tangan dan kaki fleksibel, rentang gerak penuh, tidak ada rasa nyeri atau kekakuan. Jumlah jari kedua tangan dan kaki lengkap. Kuku tampak merah muda. Tidak tampak deformitas pada keempat ekstremitas. Refleks Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 20 plantar ada (ibu jari kaki fleksi). Ukuran lingkar lengan atas (LILA) 14cm. Suhu tubuh 37,8oC (aksila). Adapun pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah lengkap pada saat dirawat di IGD (3 Juni 2013) dan urinalisa pada hari rawat kedua (5 Juni 2013). Hasil pemeriksaan darah lengkap memperlihatkan kadar normal pada serum darah, glukosa darah, dan elektrolit serum. Kadar Hb 11,8g/dl, Ht 36%, eritrosit 4,42 juta/uI, leukosit 17.200/uI, trombosit 257.000/uI, GDS 103mg/dl, Na 135 mmol/L, K 4,18 mmol/L, dan Cl 108 mmol/L. Hasil urinalisa An. A yaitu keton 1+, leukosit trace, warna kuning jernih, leukosit 3-6/LPB (lapang pandang besar). Terapi medis yang didapatkan An. A sejak hari rawat pertama adalah pemberian antipiretik (paracetamol 4x5cc peroral), antikonvulsan (diazepam 4x0,85mg), antikonvulsan (stesolid 1x5mg jika kejang), dan antibiotik (cefixime 2x1,5cc peroral). 3.2.2 Analisis Data dan Diagnosa Keperawatan Hasil pengkajian kemudian dianalisis dan diidentifikasi untuk menegakkan diagnosa keperawatan pada An. A. Analisis data hasil pengkajian dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.1 Analisis Data Hasil Pengkajian No. Data Analisis Masalah Keperawatan 1. Objektif: -An. A berusia kurang dari 2 Anak usia tahun (18 bulan) mampu berdiri dan berjalan -An. A dirawat di tempat tetapi tidur mengkoordinasikan box dengan jarak 18 belum bulan sudah mampu untuk gerakan cukup tinggi ke lantai dengan lingkungan sekitarnya. -An. A menderita penyakit Penyakit kejang demam yang akut (kejang demam) dialami -Skala humpty dumpty: 17 berulang. mungkin menyebabkan terjadi Kejang spasme Risiko jatuh ini otot involunter. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 21 2. Subjektif: Ibu mengatakan Leukosit sedimen urin An. A An. A demam sejak 2 hari lebih dari rentang normal (0- SMRS 5/LPB). Hasil ini menujukkan Objektif: lekosit sedimen adanya infeksi saluran kemih urin 3-6/LPB, suhu aksila: atau o 37,8 C kontaminasi urogenital Risiko infeksi saluran seperti vagina, serviks. Suhu tubuh meningkat akibat infeksi Pelepasan pirogen tersebut. endogen, sebagai respon terhadap invasi mikroba, memicu pengeluaran prostaglandin sehingga menaikkan termostat hipotalamus. 3. Subjektif: ibu mengatakan Suhu tubuh anak fluktuatif dan Ketidakefektifan anak masih demam, demam cenderung demam akibat adanya termoregulasi muncul infeksi yang dibuktikan dengan beberapa jam setelah minum obat penurun peningkatan leukosit panas. pemeriksaan sedimen urin. pada Objektif: suhu anak saat pengkajian awal masuk: o 37,4 C, jam 14.00 suhu meningkat menjadi 37,8oC, kulit teraba hangat. 4. Subjektif: Ibu mengatakan Ibu menunjukkan sikap yang Ketidakmampuan dirinya kurang tepat dalam merawat koping keluarga sangat cemas dengan kejang yang diderita anak An. melakukan kompres dingin pada A, ibu biasa dengan mengompres kening anak kening dengan air dingin untuk menurunkan demam anak. membantu untuk demam yaitu membantu menurunkan demam anak. 5. Subjektif: ibu mengatakan Kejang yang dialami An. A anak dapat terjadi berulang dan dapat pernah mengalami Risiko cedera Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 22 kejang demam saat usia 11 menyebabkan bulan dan kejang terjadi kesadaran atau automatisme. Hal berulang, anak kejang 2 kali ini meningkatkan risiko cedera saat 6 jam SMRS. Anak pada An. A karena An. A cukup sadar dan sering bolak-balik aktif saat kejang tidak muncul. merangkak saat penurunan tidak kejang. Objektif: An. A berusia 18 bulan dan dirawat di tempat tidur box Berdasarkan analisis data hasil pengkajian maka ditegakkan tiga diagnosa keperawatan utama yaitu risiko infeksi, ketidakefektifan termoregulasi, dan risiko cedera. Pembuatan rencana asuhan keperawatan disesuaikan dengan ketiga diagnosa tersebut. Rencana asuhan keperawatan pada An. A meliputi intervensi disertai tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan. 3.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan Risiko infeksi menjadi diagnosa keperawatan utama yang ditegakkan pada An. A karena berhubungan dengan organisme infektif yang merupakan etiologi utama dari kejang demam yang diderita An. A. Tanda-tanda infeksi diharapkan tidak ada setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 72 jam. Intervensi-intervensi yang akan diberikan diutamakan untuk mendukung imunitas tubuh An. A seperti mempertahankan nutrisi yang adekuat, melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik sesuai dosis yang dibutuhkan, mengajarkan dan mengevaluasi penerapan teknik hand hygiene yang benar, menjaga daerah genitalia An. A tetap kering, dan menganjurkan ibu untuk memandikan An. A 2 kali sehari dengan sabun (Wong, 2003). Diagnosa keperawatan kedua yang diangkat adalah ketidakefektifan termoregulasi. Diagnosa ini dikaitkan dengan suhu tubuh An. A yang fluktuatif dan cenderung demam. Kenaikan suhu yang ekstrim harus segera Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 23 ditangani karena dapat memicu kambuhnya kejang. Intervensi keperawatan diberikan untuk menjaga suhu tubuh anak dalam batas normal. Intervensi tersebut meliputi tindakan kolaborasi pemberian antipiretik dalam dosis yang sesuai berat badan anak, melakukan tepid water sponge, meningkatkan sirkulasi udara, memantau suhu tubuh anak setiap 30 menit saat demam, menganjurkan ibu untuk mengenakan pakaian yang tipis pada anak saat demam (Wong, 2003). Risiko cedera dapat terjadi sewaktu-waktu ketika suhu tubuh anak masih tidak stabil. Peningkatan suhu tubuh yang terjadi dengan cepat dapat memungkinkan kambuhnya kejang. Pasien diharapkan tidak mengalami cedera dan tetap tenang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 72 jam. Intervensi yang akan diberikan yaitu menghitung durasi kejang apabila anak kembali menyingkirkan kejang, barang melindungi berbahaya anak di selama sekitar kejang tempat tidur dengan anak, menempatkan anak pada daerah yang aman (jauh dari jendela, alat pemanas, dll.), dan tidak membuat anak teragitasi dengan bersuara lembut dan bersikap tenang (Wong, 2003). Perawat melindungi anak setelah periode kejang (postiktal) dengan tetap bersama anak dan menenangkan anak sampai tersadar. Orang tua sebagai orang terdekat dan memiliki ikatan batin yang kuat dengan anak dapat dilibatkan untuk menenangkan anak. Perawat juga berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antikovulsan dengan dosis tepat sesuai berat badan anak. 3.2.4 Implementasi An. A dirawat selama empat hari di ruang rawat inap RSUP Fatmawati. Perawat memberikan tindakan keperawatan sesuai asuhan keperawatan yang sudah direncanakan. Implementasi keperawatan pada An. A selama empat hari perawatan akan dijelaskan lebih lanjut pada pemaparan di bawah ini. An. A mendapatkan terapi pengobatan antibiotik yaitu cefixime dengan dosis 7mg/kg berat badan per hari. Dosis total per hari yaitu 60mg yang Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 24 diberikan sekali setiap 12 jam. Tindakan kolaborasi ini dilakukan karena kadar leukosit pada pemeriksaan sedimen urin melebihi rentang normal yang menandakan adanya infeksi pada An. A. Perawat menjelaskan, mendemonstrasikan, dan memberikan kesempatan melakukan redemonstrasi kepada orang tua cara mencuci tangan dengan benar menggunakan hands rub yang sudah disediakan di ruang rawat untuk meminimalkan paparan infeksi nosokomial pada An. A. Perawat menjaga kebersihan pasien dan lingkungan sekitarnya dengan menganjurkan orang tua untuk memperhatikan kebersihan diri, pakaian, peralatan makan dan minum, dan tempat tidur pasien. Perawat juga melakukan teknik aseptik pada setiap tindakan yang bersentuhan dengan pasien seperti mengganti laken, memberikan obat oral, dan melakukan pemeriksaan fisik. Obat antipiretik yaitu parasetamol sirup dengan dosis 120mg (5ml) diberikan 6 jam sekali saat suhu tubuh An. A melebihi 38oC. Perawat menjelaskan tujuan tindakan pencegahan demam dan melibatkan orang tua dalam pelaksanaannya. Kompres hangat (tapid water sponge) dilakukan bersamaan atau sesaat setelah pemberian parasetamol guna mempercepat penurunan suhu tubuh anak. Perawat menganjurkan orang tua untuk tidak menutup tubuh An. A dengan selimut karena dapat meningkatkan suhu tubuh anak, dan menyarankan untuk mengenakan pakaian yang tipis dan menyerap keringat pada An. A. Asupan cairan An. A juga diperhatikan karena saat demam anak rentan mengalami dehidrasi. Perawat memantau tanda-tanda dehidrasi pada An. A terutama saat An. A demam dan menganjurkan ibu lebih sering memberikan ASI dan air putih selama An. A tidak menolak dan tidak ada kesulitan menelan. Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikovulsan dibutuhkan selama An. A masih demam dan untuk mencegah kejang demam berulang yang dapat menyebabkan cedera pada An. A. Antikonvulsan yang diberikan yaitu diazepam oral dengan dosis 0,4mg/kg berat badan per hari, 0,85mg setiap 6 jam. An. A kejang satu kali selama dirawat yaitu pada hari rawat pertama jam 23.00 dengan suhu tubuh 38,6oC. Perawat menghitung durasi kejang anak yaitu kejang terjadi satu kali selama 1 menit, kemudian anak Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 25 sadar dan menangis. Perawat tidak melihat adanya benda berbahaya di dekat pasien dan kemudian memberitahu orang tua agar meletakkan benda yang dapat mencederai jauh dari jangkauan An. A. Perawat menjaga suara dan sikap tetap tenang saat melakukan tindakan sehingga tidak mengejutkan An. A. Perawat melibatkan ibu untuk menenangkan An. A yang menangis setelah tersadar dari kejang. 3.2.5 Evaluasi Kondisi An. A tampak membaik setelah 3 hari dirawat. Pemberian antibiotik dan antipiretik dihentikan pada hari rawat ketiga karena kadar leukosit sedimen urin An. A sudah dalam rentang normal (0-5/LPB) dan An. A sudah tidak demam. Nafsu makan An. A sempat menurun saat hari rawat pertama dan kedua, tetapi masih mau meminum ASI dan air putih. Tidak tampak tanda-tanda dehidrasi selama anak demam. Kompres hangat dengan teknik tapid sponge disertai pemberian antipiretik lebih cepat meredakan demam. Ibu sudah mampu melakukan teknik tapid water sponge dengan benar, tidak hanya di kening, tetapi kompres hangat pada seluruh tubuh anak. Ibu juga mengikuti anjuran perawat untuk mengenakan pakaian yang tipis dan menyerap keringat pada An. A. An. A termasuk anak yang terbuka dan mudah akrab dengan orang baru sehingga perawat tidak sulit melakukan pendekatan saat memberikan intervensi pada An. A. Orang tua terutama ibu An. A mampu bekerja sama dengan baik dalam proses perawatan An. A. Perawat berusaha untuk memberikan reinforcement positif terhadap respon positif yang diberikan An. A dan orang tua. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 26 BAB 4 ANALISIS SITUASI 4.1 Profil Lahan Praktek Ruang rawat anak gedung teratai lantai III selatan merupakan salah satu ruang rawat penyakit dalam anak di RSUP Fatmawati yang terdiri dari ruang rawat inap kelas III, ruang immunocompromised, dan ruang isolasi. Ruang ini memiliki kapasitas kamar untuk untuk kelas III sebanyak 5 kamar, 2 kamar immunocompromised, dan 2 kamar isolasi. Kapasitas tempat tidur yang ada di ruang III selatan yaitu 40 tempat tidur. Tingkat ketergantungan pasien di ruangan ini sebagian besar total care karena pasien yang dirawat rata-rata adalah balita. Penyakit yang cukup sering didiagnosis pada pasien di ruangan ini salah satunya adalah kejang demam dengan jumlah 36 kasus dalam rentang periode April-Juni di RSUP Fatwawati. Sebagian besar pasien berusia 1-2 tahun dengan lama hari rawat 3-5 hari. Kejang demam merupakan penyakit yang berkaitan dengan proses radang akibat infeksi pada tubuh selain infeksi pada sistem saraf pusat. Panas tubuh dapat meningkat di atas normal karena infeksi yang belum tertangani. Tes hematologi dilakukan untuk melihat nilai leukosit yang tinggi sebagai tanda adanya infeksi. Tes urinalisa juga dapat dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi pada saluran kemih atau urogenital. Hasil dari pemeriksaanpemeriksaan tersebut penting untuk menandakan bahwa infeksi bukan berasal dari sistem saraf pusat. Terapi antibiotik dan antikonvulsan diberikan dengan dosis sesuai dengan berat badan anak. Terapi cairan infus hanya diberikan apabila anak tidak mampu minum dengan adekuat melalui oral. Pencegahan infeksi juga dilakukan perawat di ruangan dengan menjaga kebersihan tangan, melakukan edukasi hand hygiene, mengganti laken dengan rutin atau jika tampak kotor. Perawat juga menyarankan orang tua atau pendamping pasien untuk menjaga kebersihan tempat tidur dan lingkungan kamar pasien. Hal ini terlihat sederhana tetapi fatal apabila tidak diperhatikan dan dilakukan dengan benar. 26 Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 27 Pemantauan tanda-tanda vital terutama suhu tubuh merupakan hal yang turut diutamakan dalam perawatan pada pasien kejang demam di ruangan lantai III selatan. Pengukuran suhu tubuh dilakukan pada saat awal shift pagi, sore, dan malam, dan pada waktu pemberian obat. Perawat-perawat di ruangan menyarankan kepada orang tua pasien untuk melakukan kompres hangat dan memberikan minum ketika anak demam. Perawat ruangan juga menganjurkan ibu untuk memakaikan baju atau celana yang longgar dan tipis, bukan menutupi anak dengan selimut. Suhu di kamar-kamar rawat pasien terasa lebih hangat terutama jika pintu kamar dan jendela tidak dibuka lebar-lebar. Hal ini dapat menghambat pengurangan panas tubuh melalui udara dan cukup mengganggu tidur pasien. Parasetamol diberikan apabila suhu aksila anak mencapai 38oC. Penyakit kejang demam menimbulkan kecemasan yang tinggi pada sebagian besar orang tua. Edukasi terkait penyakit ini merupakan hal yang tentunya sangat berharga bagi orang tua pasien. Pemberian edukasi mengenai penyakit kejang demam pada pasien dan orang tua di ruangan adalah kewajiban dokter. Namun perawat juga bertanggung jawab untuk secara kontinyu mengevaluasi hasil dari edukasi yang diberikan. Perilaku orang tua atau pendamping pasien seringkali tidak mendukung perawatan pada pasien. Kurangnya tenaga perawat yang berimbas pada overload beban kerja menyebabkan perawat tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan edukasi sesuai kebutuhan pasien dan orang tua. 4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep Kejang Demam Anak dalam rentang usia balita yaitu usia 6 bulan sampai 5 tahun rentan mengalami kejang demam, begitu pula An. A yang usianya baru mencapai 18 bulan. Beberapa faktor, selain usia, mempengaruhi terjadinya kejang demam pada An. A. Adapun faktor eksternal yang terlibat meliputi tempat tinggal, gaya hidup maternal, dan proses intranatal, sedangkan faktor internal antara lain sistem imun dan lama menyusu. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 28 Kejang demam merupakan kasus penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak di seluruh dunia, tetapi paling banyak ditemukan di negara-negara tropis, termasuk di Indonesia (Birbeck et al., 2010). Penulis belum menemukan penelitian atau riset baik nasional maupun lokal mengenai prevalensi atau insiden kejang demam di Indonesia. Kasus kejang demam di RSUP Fatmawati dalam periode 3 bulan yaitu Maret sampai Juni 2013 tercatat sejumlah 36 kasus yang mayoritas adalah kejang demam kompleks (RSUP Fatmawati, 2013). Jumlah yang dominan dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya seperti diare, bronkhitis, pneumonia, sindrom nefrotik, dll. Mayoritas anakanak yang menderita kejang demam ini bertempat tinggal di kota-kota padat penduduk seperti Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. An. A bersama orang tuanya bertempat tinggal di Tangerang Selatan. Wilayah ini merupakan kota urban dengan angka kepadatan penduduk yang tinggi (Riani, 2013). Kondisi pelayanan yang kurang efisien di lingkungan perkotaan dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan banyak limbah menumpuk dan akhirnya mencemarkan kebersihan tanah dan air (Alirol, et al., 2010). Air yang tercemar dapat menjadi sumber berkembangnya mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia yang menggunakannya. Tercemarnya sumber air minum di wilayah Jakarta dan sekitarnya, menyebabkan angka kejadian penyakit infeksi di wilayah ini terus meningkat (Ermawati, 2011). Kota Tangerang sebagai salah satu kota urban menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi yang menjadi faktor presipitasi terjadinya kejang demam pada An. A. Infeksi pada An. A adalah infeksi saluran kemih yang dibuktikan dengan adanya peningkatan kadar leukosit per lapang pandang besar (LPB) pada pemeriksaan sedimen urin. Infeksi ini dapat terjadi akibat perineal hygiene yang buruk, yang dapat disebabkan oleh penggunaan sumber air yang kurang bersih untuk mandi, membersihkan daerah perineum setelah mikturisi atau defekasi, atau mencuci pakaian sehingga mikroorganisme dari air tersebut dapat mengkontaminasi bagian-bagian tubuh yang mudah terpapar seperti fekal atau saluran urinaria. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 29 Kejang demam pada An. A terjadi karena infeksi saluran kemih. Demam timbul akibat stimulasi leukosit (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun (Sherwood, 2001). Leukosit kemudian mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin yang kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanismemekanisme untuk meningkatkan panas yang akhirnya menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut. Suhu tubuh An. A saat mengalami kejang pada hari rawat pertama yaitu 38,6oC (aksila), yang berarti terjadi kenaikan metabolisme basal sebesar 14% dan kebutuhan oksigen 28%. Peningkatan tersebut menyebabkan perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion K maupun ion Na melalui membran tersebut sehingga terjadi lepasnya muatan listrik yang cukup besar. Neurotransmiter membantu memperluas lepasnya muatan listrik ke seluruh sel/membran sel di dekatnya, sehingga menyebabkan An. A mengalami kejang. Kejang pada An. A kambuh satu kali saja, yaitu pada hari rawat pertama di ruang rawat inap. Kejang terjadi selama kurang lebih 1 menit disertai demam (38,6oC). Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis menurut Wong pada anak dengan kejang demam sederhana, yaitu kejang terjadi hanya sekali dalam periode 24 jam dengan durasi kurang dari 15 menit. Terjadinya kejang pada An. A kemungkinan besar dipengaruhi oleh proses infeksi yang belum tertangani sempurna dengan terapi antibiotik yang baru diberikan 2 kali pada hari rawat pertama. Selain itu, peningkatan suhu yang cepat pada An. A yang mencetuskan kejangnya dapat disebabkan oleh suhu yang cukup hangat dan sirkulasi udara yang kurang memadai di ruang rawat An. A. Selimut kain yang ditutupkan ibu ke tubuh An. A semakin menghambat pengeluaran panas tubuh sehingga mempercepat kenaikan suhu An. A. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua tentang cara yang tepat menurunkan demam anak. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 30 Pemberian edukasi merupakan hal yang penting dan sangat berharga bagi orang tua anak yang sering mengalami kekhawatiran yang sangat, terutama saat kejang anak timbul. Ibu An. A, sebagai orang tua yang sering menemani An. A selama perawatan di rumah sakit, tampak lebih tenang dan mampu melakukan tindakan penurunan demam sederhana setelah diberikan edukasi tentang cara tepat menurunkan demam anak. Ibu memakaikan An. A pakaian yang longgar dan tipis, menyusui An. A lebih sering selama An. A mau, dan tidak menutupi tubuh An. A dengan kain saat tidur. Ibu tampak semakin percaya diri melakukan hal tersebut karena merasa saat suhu An. A ternyata dapat dikontrol dengan parasetamol dan tindakan-tindakan tersebut, kejang An. A sudah tidak timbul lagi. 4.3 Analisis Intervensi Tepid Sponge dengan Konsep Terkait Pemberian tepid water sponge pada An. A terbukti efektif disertai dengan pemberian parasetamol. Suhu tubuh An. A mencapai 37,5oC (dari 38,6oC) pada menit ke 30 dan 36,6oC pada menit ke 60 setelah diberikan parasetamol dan tepid sponge. Hal sesuai dengan penelitian pada tahun 2009 yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara suhu tubuh sebelum dan setelah diberikan antipiretik disertai tepid sponge dan pada menit ke 30 setelah pengukuran suhu pertama (60 menit setelah pemberian antipiretik). Penurunan suhu tubuh ini terjadi karena teknik tepid sponge memanfaatkan mekanisme umpan balik (feed back) yang diperankan oleh pusat termoregulasi di hipotalamus. Pemberian antipiretik saja pada salah satu pasien anak dengan kejang demam, yaitu Anak R berusia 2 tahun 3 bulan, memberikan penurunan suhu dengan rentang penurunan yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang disertai pemberian tepid sponge. Anak R mengalami penurunan suhu sebesar 0,6oC, dari 38,1oC menjadi 37,5oC. Hal ini sesuai dengan studi komparatif tahun 2009 yang memaparkan bahwa penurunan suhu tubuh pada kelompok yang diberikan tepid sponge dan antipiretik secara signifikan lebih cepat daripada kelompok yang hanya diberikan antipiretik (Edborr, Arora, & Mukhrejee, 2011). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 31 Kejang An. A sudah tidak muncul lagi sejak hari rawat kedua sampai keempat (terakhir). Selain pengaruh pemberian antibiotik yang rutin, faktor yang mendukung adalah terapi kombinasi penanganan demam nonfarmakologis, yaitu tepid sponge, dan farmakologis, yaitu parasetamol sebagai obat antipiretik. Keterlibatan orang tua sebagai bagian integral dari perawatan anak selama di rumah sakit juga sangat berpengaruh terlebih setelah diberikan edukasi. Ibu An. A mudah memahami dan mampu meredemonstrasikan pemberian tepid sponge yang diajarkan sehingga mampu melakukan tepid sponge secara mandiri saat tubuh An. A teraba panas, dan melakukan hal-hal yang telah diinformasikan dan diajarkan guna membantu menurunkan suhu tubuh anak saat demam. 4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan Aplikasi terapi tepid sponge disertai pemberian antipiretik pada klien kelolaan utama memperlihatkan hasil yang positif yaitu mampu menurunkan suhu tubuh dengan efektif. Namun perawat di ruangan dalam melaksanaan terapi ini mempunyai beberapa kendala yang dihadapi. Pertama, durasi pemberian tepid sponge yang tidak sebentar sulit dilakukan dengan jumlah tenaga perawat yang kurang memadai. Perawat tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan terapi ini sehingga hanya dapat berfokus pada terapi medis saja yaitu pemberian obat antipiretik. Kedua, jumlah tenaga perawat yang minim juga menyebabkan kurangnya edukasi demonstrasi yang diberikan oleh perawat pada orang tua terkait pemberian tepid sponge pada anak. Keterlibatan orang tua selama proses perawatan anak yang sangat tinggi kurang mendapat dukungan dari sisi edukasi. Kedua permasalahan di atas dapat diatasi dengan cara perawat melibatkan orang tua atau pendamping pasien dalam perawatan demam anak. Perawat dapat melakukan sekaligus mengajarkan kepada orang tua prosedur atau cara memberikan tepid sponge pada anak. Tujuan pemberian terapi tepid sponge dapat dijelaskan diawal oleh perawat sebelum tindakan dilakukan agar orang tua memiliki pemahaman yang benar dan akhirnya mau terlibat untuk memberikan terapi ini pada anaknya. Pelibatan orang tua dalam perawatan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 32 anak sesuai dengan konsep family centered care (FCC) yang mendukung adanya pendekatan kemitraan untuk pengambilan keputusan dalam perawatan kesehatan antara keluarga dan penyedia layanan kesehatan. FCC ini dianggap sebagai standar perawatan kesehatan anak-anak baik dalam praktek klinis, rumah sakit, maupun kelompok kesehatan (Kuo et al, 2011). Penerapan FCC dalam perawatan anak dapat memberikan efek positif bagi kedua belah pihak baik perawat maupun keluarga pasien. Pemberian edukasi yang tepat oleh perawat terkait tepid sponge menjadikan orang tua memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih untuk merawat anak mereka saat demam. Pemberian tepid sponge yang selanjutnya dilakukan oleh orang tua tetap dievaluasi oleh perawat. Alternatif ini mungkin dapat menjadi solusi bagi perawat-perawat yang bertugas di ruangan. Asuhan keperawatan tetap terlaksana dengan optimal meskipun di tengah kondisi jumlah tenaga yang kurang. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 33 BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Gambaran umum anak dengan kejang demam diperoleh data, anak memiliki riwayat kejang, spasme otot saat kejang, suhu tubuh fluktuatif dan cenderung demam, anak tampak lemas, dan nafsu makan berkurang. Proses infeksi menjadi penyebab timbulnya kejang demam. Peningkatan suhu di atas normal yang terjadi dengan cepat menjadi pencetus timbulnya kejang. Asuhan keperawatan kejang demam telah diberikan pada An. A untuk mengatasi masalah keperawatan risiko infeksi, ketidakefektifan termoregulasi, dan risiko cedera. Ketiga masalah keperawatan tersebut telah teratasi. Penerapan aplikasi tepid sponge terbukti lebih cepat dalam menurunkan suhu tubuh anak. Suhu sebelum diberi terapi yaitu 38,6oC dan setelah diberi terapi tepid sponge dan antipiretik mengalami penurunan sebanyak 2oC dalam 60 menit pertama. Selama hari perawatan telah dilakukan pemantauan tanda-tanda vital terutama suhu dan mencegah penyebaran infeksi. An. A diberikan terapi antibiotik untuk perawatan dirumah dan dianjurkan untuk datang mengikuti rawat jalan di rumah sakit. 5.2 Saran Infeksi yang menjadi penyebab kejang demam sering kali diakibatkan oleh sistem imun tubuh anak yang lemah. Asupan nutrisi hendaknya tidak luput dari perhatian perawat, karena asupan nutrisi yang adekuat penting untuk proses metabolisme sel-sel tubuh termasuk antibodi yang berperan penting bagi pertahanan tubuh. Penting bagi perawat untuk mengevaluasi pencegahan infeksi nosokomial yang dilakukan orang tua setelah diberikan edukasi seperti ketepatan cara melakukan hand hygiene dan waktu-waktu penerapan hand hygiene. 33 Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 34 DAFTAR PUSTAKA Alirol,E., et al. (2010). Urbanisation and infectious diseases in a globalised world. http://www2.uah.es/salud-yenfermedad/pdf/Urbanisation%20and%20infectious%20diseases%20in%20a %20globalised%20world.pdf Appleton, R., Marson, A. (2009). Epilepsy: the facts, 3rd Ed. Oxford, UK: Oxford University Press Birbeck, G. L., et al. (2010). Febrile seizures in the tropics. Epilepsies, Vol.22, Number 2, 103-9. doi: 10.1684/epi.2010.0303. http://www.jle.com/edocs/00/04/59/28/article.phtml Chung, B., Wat, L. C. Y., Wong, V. (2006). Febrile seizures in southern chinese children: incidence and recurrence. Pediatric Neurology , volume 34, Issue 2, Page 121-126. doi:10.1016/j.pediatrneurol.2005.08.007 http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0887899405004662 Clement, I. (2007). Basic concepts on nursing procedures. New Delhi: Replika Press Pvt. Ltd. David, R. B. (2009). Clinical pediatric neurology, 3rd Ed. USA: Demos Medical Publishing Edbor, A. J., Arora, A. K, Mukherje, P. S. (2011). Early management of fever: benefits of combination therapy. Bombay Hospital Journal, Vol. 53, No. 4, 2011. http://www.bhj.org.in/journal/2011-5304-oct/download/702705.pdfWatts Robertson 2012 Epilepsy Foundation of America. (2012). Febrile convulsions (3 months to 5 years). http://www.epilepsyfoundation.org/livingwithepilepsy/parentsandcaregivers/ parents/infants/febrileconvulsions.cfm Elsevier. (2012). Febrile seizures. https://www.clinicalkey.com/topics/pediatrics/febrile-seizures.html 34 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 35 Kaneshiro. (2010). Fever. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003090.htm Kayserili, et al. (2008). Parental knowledge and practices regarding febrile. Turk J Med Sci 2008; 38 (4): 343-350. http://journals.tubitak.gov.tr/medical/issues/sag-08-38-4/sag-38-4-9-07084.pdf 34 Mick, N. W., Cummings, B. M. (2006). Emergency management of the pediatric patient: cases, algorithms, evidence. USA: Lippincott Williams & Wilkins Mikail, B. (2011). Kebiasaan cuci tangan masih rendah. http://health.kompas.com/read/2011/09/29/17324045/Kebiasaan.Cuci.Tangan .Masih.Rendah. National Institute of neurological Disorders and Stroke. (2013). Febrile Seizures Fact Sheet. http://www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.ht m National Health Service. (2012). Febrile seizures.http://www.nhs.uk/conditions/Febrileconvulsions/Pages/Introduction.aspx Nursewian. (2012).Bahaya kejang demam pada anak dan langkah-langkah yang harus dilakukan saat anak kejang. http://buletinkesehatan.com/bahayakejang-demam-pada-anak-dan-langkah-langkah-yang-harus-dilakukan-saatanak-kejang-1/#sthash.aXfzfcje.dpuf Preidt, R. (2008). Death from febrile seizure rare in children. http://abcnews.go.com/Health/Healthday/story?id=5537620&page=1#.UdvD 0Mn43cg Riani. (2013). Penduduk Tangsel berpotensi padat seperti DKI. http://www.bantenhits.com/metropolitan/1237-penduduk-tangsel-berpotensipadat-seperti-dki.html Ricci, S. S., Kyle, T. (2009). Maternity and pediatric nursing. Philadelphia: Wolters Kluwer Health Sara, R. (2002). Paediatrics - febrile convulsions assessment, treatment and education. http://www.inmo.ie/Article/PrintArticle/2661 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013 36 Schachter. (2013). Types of seizures. https://www.epilepsy.com/epilepsy/types_seizures Setiawati,T.(2009). Pengaruh tepid sponge terhadap penurunan suhu tubuh dan kenyamanan pada anak usia pra sekolah dan sekolah yang mengalai demam di ruang perawatan anak Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan, UI. Depok Sharber, J. (1997). The efficacy of tepid sponge bathing to reduce fever in young children. American Journal Emergency Medical, 188-192. Shellhaas, R., Camfield, C.S., Camfield, P. (2011). Febrile seizures. http://www.medmerits.com/index.php/article/febrile_seizures/P3 Sherwood, L. (1996). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. (Penerjemah, Brahm, U & Pendil, 2001). Edisi 2. Cetakan I. Jakarta: EGC. Thomas, S., Vijaykumar, C., Naik, R., Moses, P.D., & Antonisamy, B. (2009). Comparative effectiveness of tepid sponge and antipyretic drug versus only antipyretic drug in the management of fever among children: a randomized control trial. Indian Pediatrics, 46 (2), 133-136. Unit For Sight. (2013). Urban versus rural health. http://www.uniteforsight.org/global-health-university/urban-rural-health Vera, M. (2012). 5 benign febrile convulsions nursing care plans. http://nurseslabs.com/5-benign-febrile-convulsions-nursing-care-plans/#_ Vestergaard, et al. (2008). Death in children with febrile seizures: a populationbased cohort study. Lancet, 2008 Aug 9;372(9637):457-63. doi: 10.1016/S0140-6736(08)61198-8. White, L. (2005). Foundations of maternal and pediatric nursing. 2nd Ed. USA: Thomson Delmar Learning Wong, D. L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik, alih bahasa, Monica Ester; editor edisi bahasa Indonesia. Jakarta: EGC Watts, R., Robertson, J. (2012). Non-pharmacological management of fever in otherwise healthy children. JBI, Vol 10, No 28, ISSN 1838-2142. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Fahmita Ayuni, FIK UI, 2013