Pengaruh Konsumsi Minuman Bubuk Kakao

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Eritrosit
Eritrosit/sel darah merah adalah suatu sel yang berisi hemoglobin dan
membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Sel ini berbentuk lempeng
bikonkaf yang meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi
oksigen dan karbon dioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton
yang terdiri atas beberapa protein. Diameter eritrosit kira-kira 7,8 mikrometer,
dengan ketebalan 2,5 mikrometer pada bagian yang paling tebal dan kurang lebih
1 mikrometer pada bagian tengah. Volume rata-rata eritrosit adalah 90 sampai 95
mikrometer kubik. Bentuk eritrosit dapat berubah-ubah ketika sel berjalan
melewati kapiler. Sesungguhnya, eritrosit merupakan suatu “kantong” yang dapat
diubah menjadi berbagai bentuk. Selanjutnya, karena sel normal mempunyai
membran yang sangat kuat untuk menampung banyak bahan material di
dalamnya, maka perubahan bentuk tersebut tidak akan meregangkan membran
secara hebat, dan sebagai akibatnya tidak akan memecahkan sel seperti yang
terjadi pada sel lainnya. Pada pria normal, jumlah rata-rata sel darah merah per
mililiter kubik adalah 5.200.000 (± 300.000) dan pada wanita normal 4.700.000 (±
300.000) (Guyton dan Hall 1997).
Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut hemoglobin dan seterusnya
mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan. Jika hemoglobin ini terbebas
dalam plasma manusia, kurang lebih 3 persennya bocor melalui membran kapiler
masuk ke dalam ruang jaringan atau melalui membran glomerulus pada ginjal
terus masuk ke dalam saringan glomerulus setiap kali darah melewati kapiler.
Oleh karena itu, agar hemoglobin tetap berada dalam aliran darah, maka ia harus
tetap berada dalam eritrosit. Selain mengangkut hemoglobin, eritrosit juga
mempunyai fungsi lain. Contohnya, ia mengandung banyak sekali karbonik
anhidrase, yang mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air, sehingga
meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya
reaksi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali karbon
dioksida, dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru
dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-). Hemoglobin yang terdapat dalam sel juga
5
merupakan dapar asam-basa (seperti juga pada kebanyakan protein), sehingga
eritrosit bertanggung jawab untuk sebagian daya pendaparan sel darah (Guyton
dan Hall 1997).
Hemoglobin, pigmen merah yang membawa oksigen dalam eritrosit,
merupakan suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450, dan terdiri dari 4
subunit, dimana masing-masing subunit mengandung satu bagian heme yang
berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin yang
mengandung Fe2+ yang dapat mengikat O2. Eritrosit mengandung sekitar 270 juta
molekul hemoglobin dimana tiap sel mengandung tepat 29 pg hemoglobin dengan
masing-masing membawa empat kelompok heme. Dengan demikian didapatkan
sekitar 3x1013 sel darah merah dan sekitar 900 g hemoglobin di dalam peredaran
darah seorang laki-laki dewasa (Ganong 1999).
Proses pembentukan dan penghancuran eritrosit diilustrasikan pada Gambar
1. Eritrosit dibentuk di sumsum tulang dan sangat fleksibel sehingga dapat
berubah bentuk saat mengalir di dalam kapiler. Pada mamalia sel ini kehilangan
inti, mitokondria dan organel sel lainnya sebelum memasuki peredaran darah, dan
selama proses tersebut terjadi pembentukan hemoglobin. Eritrosit berada dalam
sirkulasi selama lebih kurang 120 hari. Proses pembentukan eritrosit dihambat
oleh meningkatnya kadar eritrosit dalam sirkulasi hingga melebihi batas normal,
dan diransang oleh keadaan anemia (Ganong 1999).
1 x 1010 eritrosit
0,3 g hemoglobin
per jam
Sumsum
tulang
Sirkulasi
3 x 1013 eritrosit
900 g hemoglobin
Zat besi
Diet
Asam amino
1 x 1010 eritrosit
0,3 g hemoglobin
per jam
Sistem
makrofag
jaringan
Pigmen empedu
dalam tinja, urin
Sejumlah kecil
zat besi
Gambar 1 Pembentukan dan penghancuran eritrosit (Ganong 1999)
6
Seperti sel-sel lainnya, eritrosit diselubungi oleh membran sel yang terutama
terdiri dari lipid dan protein. Walaupun eritrosit tidak mempunyai inti,
mitokondria, atau retikulum endoplasma, namun sebenarnya mempunyai enzimenzim sitoplasmik yang mampu mengadakan metabolisme glukosa dan
membentuk adenosin trifosfat (ATP) dan sedikit nikotinamid-adenin dinukleotida
fosfat (NADPH).
Eritrosit mudah mengalami oksidasi disebabkan oleh kandungan asam
lemak tak jenuh gandanya yang tinggi. Senyawa oksigen reaktif yang terdapat
pada plasma, sitosol dan membran sel dapat bereaksi membran eritrosit,
mempengaruhi integritas membran dan menyebabkan terjadinya oksidasi lipid dan
protein, dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya hemolisis (Delmas-Beauvieux
et al 1995). Kerusakan oksidatif pada eritrosit dapat dicegah oleh enzim
antioksidan seperti superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase
yang terdapat pada eritrosit, selain itu juga tersedianya vitamin E dan senyawa
antioksidan lainnya di dalam plasma mengurangi terjadinya kerusakan oksidatif
pada eritrosit (Kelle et al 1999).
Eritrosit, seperti sel-sel lainnya, mengerut di dalam larutan yang mempunyai
tekanan osmotik lebih besar dari tekanan osmotik plasma normal. Dalam larutan
yang mempunyai tekanan osmotik lebih rendah, eritrosit akan membengkak,
berbentuk
bulat,
tidak
berbentuk
cakram
lagi,
kemudian
kehilangan
hemoglobinnya /hemolisis. Larutan natrium klorida 0,9% merupakan larutan yang
isotonik dengan plasma. Pada kondisi fragilitas osmotik normal, eritrosit mulai
mengalami hemolisis jika disuspensikan dalam larutan garam 0,5%, 50% lisis
terjadi pada larutan garam 0,40-0,42%, dan lisis seluruhnya terjadi pada larutan
garam 0,35%. Eritrosit juga dapat mengalami lisis karena pengaruh obat dan
infeksi (Ganong 1999). Menurut Kato et al (2007) hemolisis intravaskular dapat
menyebabkan hipertensi paru-paru, priapism, koreng pada kaki, dan mungkin
stroke.
Karena fungsinya yang sangat penting di dalam tubuh dan kerentanannya
terhadap oksidasi, banyak sekali penelitian yang menggunakan eritrosit sebagai
model untuk mempelajari kerusakan oksidatif biomembran dan pengaruh berbagai
senyawa yang terdapat pada makanan, dalam menghambat terjadinya kerusakan
7
pada membran. Pada umumnya parameter yang digunakan untuk mengetahui
terjadinya kerusakan pada membran adalah persentase hemolisis yang terjadi pada
eritrosit. Semakin tinggi persentase hemolisis yang terjadi menandakan semakin
parahnya kerusakan yang terjadi pada membran eritrosit, begitu pula sebaliknya,
semakin rendah persentase hemolisis yang terjadi menandakan semakin tahan
membran sel terhadap kerusakan. Seperti yang dilakukan oleh Zhu et al (2002)
yang mempelajari efek penghambatan ekstrak kakao dan flavanol kakao yaitu
katekin, epikatekin dan prosianidin terhadap hemolisis eritrosit pada tikus.
Hasilnya ekstrak kakao dapat menghambat terjadinya hemolisis pada eritrosit
tikus baik secara in vitro maupun in vivo. Eder et al (2002) menyatakan bahwa
kelebihan konsumsi vitamin E yang dikombinasikan dengan konsumsi mminyak
ikan salmon tidak berpengaruh terhadap hemolisis eritrosit. Kaviarasan et al
(2004) menyatakan bahwa biji fenugreek yang kaya akan polifenol dapat
meningkatkan ketahanan membran eritrosit terhadap hidrogen peroksida, yang
ditandai dengan lebih lamanya hemolisis mencapai 50 % pada eritrosit yang
diinkubasi dengan ekstrak biji fenugreek secara in vitro dibandingkan eritrosit
yang tidak diinkubasi dengan ekstrak biji fenugreek, baik pada darah manusia
normal maupun yang mempunyai penyakit diabetes. Penelitian yang dilakukan
Zhu et al (2005) menyimpulkan bahwa dengan mengonsumsi minuman yang
mengandung flavanol dan prosianidin kakao dapat memperlambat laju hemolisis
yang terjadi pada eritrosit manusia.
Parameter lain yang sering diukur untuk mengetahui terjadinya kerusakan
pada membran sel eritrosit adalah aktivitas antioksidan pada sel eritrosit dan
peroksidasi yang terjadi pada eritrosit. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Kelle et al (1999) yang menyimpulkan bahwa latihan lari yang dilakukan oleh
tikus albino Wistar menyebabkan peningkatan kerentanan terjadinya peroksidasi
secara in vitro pada eritrosit, tetapi dengan penambahan suplemen vitamin E pada
ransumnya dapat mengurangi kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh latihan.
Parameter yang diuji pada penelitian tersebut adalah aktivitas enzim antioksidan
eritrosit yaitu superoksida dismutase, katalase dan glutation. Ankan et al (2001)
mempelajari hubungan antara peroksidasi lipid (dengan mengukur kadar MDA),
glutation dan glutation peroksidase eritrosit dengan penyakit hipertiroid. Hasilnya
8
kadar MDA pada penderita hipertiroid lebih tinggi debandingkan manusia normal
sedangkan glutation dan glutation dan glutation peroksidase lebih rendah
dibandingkan manusia normal. Jung et al (2003) menyatakan bahwa konsumsi
suplemen naringin oleh penderita hiperkolesterolemia dapat meningkatkan
aktivitas superoksida dismutase dan katalase eritrosit.
Senyawa Oksigen Reaktif dan Kerusakan Sel
Senyawa oksigen reaktif/reactive oxygen species (ROS) merupakan molekul
yang mengandung oksigen yang lebih reaktif dibandingkan dengan molekul triplet
oksigen yang terdapat di udara. Superoksida (O2˙), hidrogen peroksida (H2O2),
radikal hidroksil (HO˙) dan singlet oksigen (1O2) termasuk spesies oksigen aktif.
Selain itu senyawa lainnya seperti alkoksi radikal, peroksil radikal (LO2˙),
nitrogen dioksida (NO2˙), lipid hidroperoksida (LOOH), protein hidroperoksida
dan hipoklorit (HOCl) juga dianggap sebagai senyawa oksigen aktif. Beberapa
diantaranya mempunyai elektron yang tidak berpasangan dan merupakan radikal
bebas, tetapi yang lainnya tidak. Senyawa oksigen aktif ini sangat berperan pada
fungsi fisiologis, namun pada saat yang sama senyawa oksigen aktif ini bisa
bersifat toksik bagi sel. Tabel 1 merangkum senyawa oksigen aktif yang
berhubungan dengan peroksidasi lipid dan stres oksidatif in vivo (Noguchi dan
Niki 1998).
Tabel 1 Oksigen aktif dan senyawa yang berhubungan
O 2˙
HO˙
HO2˙
L˙
LO2˙
LO˙
NO2˙
˙NO
P˙
Radikal
Superoksida
Radikal hidroksil
Hidroperoksil radikal
Radikal lipid
Lipid peroksil radikal
Lipid alkoksi radikal
Nitrogen dioksida
Nitrit oksida
Radikal protein
H2O2
O2
LOOH
Fe=O
HOCl
1
Non Radikal
Hidrogen peroksida
Singlet oksigen
Lipid hidroperoksida
Besi-oksigen kompleks
Hipoklorit
Sumber: Naguchi dan Niki 1998, Vanishlieva-Maslavora 2001
Radikal bebas adalah molekul atau senyawa yang tidak mampu berdiri
sendiri dan mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada
9
orbital terluarnya (Noguchi dan Niki 1998, Halliwell dan Gutteridge 1999).
Elektron yang tidak berpasangan biasanya akan mencari elektron di sekitarnya
supaya berpasangan. Oleh karena itu, radikal bebas menjadi reaktif dan
menyerang molekul lain, meskipun beberapa radikal tidak reaktif, tetap stabil
pada waktu yang cukup lama. Contoh radikal bebas yang reaktif adalah radikal
hidroksil (HO˙) dan alkoksil (LO˙), sedangkan radikal nitrit oksida (˙NO), vitamin
E (tokoferol) dan vitamin C (dehidroaskorbat) adalah contoh radikal yang stabil
(Noguchi dan Niki 1998).
Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara yaitu secara endogen dan
eksogen. Secara endogen, radikal bebas dibentuk sebagai respon normal dari
peristiwa biokimia dalam tubuh. Secara eksogen, radikal bebas berasal dari polusi,
makanan, injeksi atau melalui penyerapan kulit (Prangdimurti 1999, Damayanthi
2002).
Menurut Halliwell dan Gutteridge (1999), beberapa jenis radikal bebas yang
terdapat dalam tubuh antara lain:
1.
Anion superoksida radikal (O2˙)
Radikal ini merupakan hasil reduksi satu elektron oksigen dan dapat
terjadi pada hampir semua sel aerobik yang menjalankan rantai transpor
elektron pada mitokondria. Mekanisme terbentuknya anion superoksida pada
rantai transpor elektron disebabkan oleh adanya 1-3% elektron yang terlepas
selama proses rantai transpor elektron (Halliwell dan Aruoma 1991).
Menurut McCord (1993), anion superoksida diproduksi oleh mitokondria
pada dua sisi dari rantai transpor elektron. Sisi pertama terjadi pada
perpindahan elektron dari ubiquinon (CoQ) ke sitokrom C melalui senyawa
intermediate ubisemiquinon. Senyawa ubisemiquinon mampu mereduksi
oksigen menjadi anion superoksida, yang selanjutnya akan berdismutasi
membentuk hidrogen peroksida (H2O2).
Sisi kedua dari pembentukan anion superoksida pada rantai transpor
elektron adalah pada NADH dehidrogenase yang merupakan katalis dari
pelepasan ion hidrogen dari substrat ke molekul NAD+, yang selanjutnya
akan masuk ke reaksi kimia oksidatif untuk membentuk ATP.
10
2.
Hidrogen peroksida (H2O2)
Hidrogen peroksida merupakan oksidan lemah yang relatif stabil tetapi
dengan adanya ion logam transisi, senyawa ini dapat membentuk radikal
yang reaktif. Senyawa ini larut dalam air dan berdifusi dengan cepat di
dalam dan di antara sel.
Hidrogen peroksida yang tidak dikehendaki di dalam sel, baik yang
berasal dari reaksi yang terjadi di dalam tubuh maupun yang berasal dari
makanan, dihilangkan dengan bantuan enzim katalase, glutation peroksidase,
dan peroksidase lainnya. Stress oksidatif yang disebabkan oleh H2O2 terjadi
secara tidak langsung dan dibantu oleh beberapa ion logam. Reaksi yang
terjadi di dalam tubuh yang melibatkan H2O2 adalah reaksi Fenton yaitu:
Fe (III) + O2˙ → Fe (II) + O2
Fe (II) + H2O2 → OH˙ + OHֿ + Fe (III)
Hidrogen peroksida yang masuk ke dalam membran akan bereaksi dengan
ion Fe dan Cu dan membentuk molekul yang lebih reaktif seperti OH˙.
Hidroksil radikal banyak merusak DNA di dalam sel.
3.
Hidroksil radikal (OH˙)
Hidroksil radikal adalah oksigen radikal yang paling reaktif dengan
potensi reduksi yang tinggi. Senyawa ini dapat terbentuk dari H2O2 yang
dikatalisis oleh ion Fe.
H2O2 + Fe2+ → OH˙ + Fe3+ + OH˙
Hidroksil radikal bereaksi dengan molekul dalam sel hidup, seperti gula,
asam amino, fosfolipid, basa DNA, dan asam organik.
Radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif. Menurut Halliwell dan
Aruoma (1991), stres oksidatif merupakan suatu keadaan yang timbul jika radikal
bebas tidak sepenuhnya dihilangkan atau dinetralkan dari dalam tubuh. Stres
oksidatif juga bisa dikatakan sebagai keadaan ketidakseimbangan antara senyawa
oksigen reaktif (ROS) dan antioksidan (Halliwell dan Gutteridge 2001). Hal ini
dapat terjadi jika jumlah antioksidan tidak mencukupi atau jumlah radikal
meningkat sehingga antioksidan tidak mampu untuk menahannya. Radikal bebas
dan senyawa oksigen aktif bisa menyebabkan terjadinya oksidasi lipid, gula,
protein dan DNA, sehingga menimbulkan kerusakan oksidatif seperti disfungsi
11
membran, modifikasi protein, inaktivasi enzim dan modifikasi pada basa DNA
(Noguchi dan Niki 1998).
Stres oksidatif dapat menyebabkan kematian sel secara apoptosis dan
nekrosis. Kematian sel secara apoptosis mencakup proses otodestruksi seluler
aktif yang ditandai dengan penyusutan sel, kerusakan membran dan fragmentasi
DNA inti. Sementara itu, nekrosis merupakan kematian sel akibat kerusakan berat
yang ditandai oleh kerusakan struktur seluler secara menyeluruh yang diikuti
dengan lisisnya sel dan peradangan jaringan. Nekrosis merupakan kematian suatu
sel atau kelompok sel yang masih merupakan bagian dari organisme hidup.
Racun-racun kimiawi bisa mempengaruhi sel secara non selektif dengan cara
menyebabkan denaturasi protein atau dengan pemecahan fosfolipid membran
plasma atau bereaksi dengan molekul target lainnya (Arafah 2005).
Radikal bebas dalam sistem biologi dapat diukur secara langsung dan tidak
langsung. Dasar teknik pengukuran radikal bebas secara langsung yaitu RPEresonan paramagnetik elektronik dan proton nuclear magnetik resonansi resolusi
tinggi dengan menggunakan senyawa yang dapat menangkap sinyal radikal bebas
pada sistem in vitro. Pengukuran secara langsung sangat sulit dilakukan karena
radikal bebas bereaksi sangat cepat, sehingga metode pengukuran tidak langsung,
melalui pengukuran produk turunan yang dihasilkan dalam sel akibat reaksi
radikal bebas lipid, seperti malondialdehida, dan 4-hidroksinonenal yang
umumnya dipilih untuk dilakukan dalam mengukur reaksi radikal bebas lipid
(Nabet 1996).
Malondialdehida atau MDA (C3H4O2) merupakan salah satu hasil
peroksidasi asam lemak tidak jenuh (ALTJ) terutama asam arakhidonat. MDA
dijumpai juga sebagai produk samping biosintesis prostaglandin. Pengukuran
MDA telah digunakan sebagai indikator kerusakan oksidatif asam lemak tidak
jenuh pada sel yang menyebabkan perubahan struktur dan fungsi. Kadar MDA
dapat digunakan sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif yang
disebabkan oleh peroksidasi lipid (Aruoma 1997).
Organisme aerob pada dasarnya dilindungi oleh serangkaian sistem
pertahanan tubuh terhadap stres oksidatif yang terjadi akibat reaksi radikal bebas.
Reaksi pembentukan radikal bebas berlangsung terus dari satu bentuk ke bentuk
12
radikal lain secara berantai. Pengakhiran reaksi berantai radikal bebas (terminasi)
terjadi karena adanya inaktivasi radikal tersebut melalui mekanisme antioksidan.
Antioksidan dapat dihasilkan oleh tubuh sendiri seperti enzim superoksida
dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH) dan katalase. Antioksidan dapat
juga diperoleh dari makanan, tanaman, vitamin dan mineral (Gutteridge dan
Halliwell 1996). Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitasnya dapat
merusak seluruh tipe makro molekul seluler termasuk protein, lipida, DNA dan
molekul
lainnya,
sehingga
dapat
memicu
terjadinya
kanker,
penyakit
kardiovaskular dan mungkin penyakit neurodegeneratif. (Haliwel dan Aruoma
1997). Pada eritrosit terdapat enzim superoksida dismutase (SOD), glutation
peroksidase (GSH) dan katalase yang dapat mencegah terjadinya kerusakan
oksidatif pada sel. Selain itu, senyawa flavonoid dari makanan yang masuk ke
darah juga dapat melindungi sel eritrosit dari kerusakan oksidatif.
Formaldehida dan Kerusakan Sel
Formaldehida (CH2O) juga dikenal dengan nama metanal, metilen oksida,
oksimetilen, metilaldehida, oksometan dan aldehida format. Formaldehida
merupakan senyawa kimia golongan aldehida yang berbentuk gas tidak berwarna
pada suhu ruang. Formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan-bahan
yang mengandung karbon, sehingga formaldehida terdapat pada asap dari
kebakaran hutan, knalpot mobil dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi,
formaldehida dihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana
dan hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Selain itu formaldehida juga
dihasilkan dalam jumlah yang sangat sedikit sebagai metabolit pada kebanyakan
organisme, termasuk manusia. Secara alami, formaldehida terdapat pada beberapa
buah dan ikan laut dalam kadar yang tinggi. Formaldehida dan beberapa senyawa
turunannya juga banyak digunakan pada produk pangan untuk menjaga agar
produk tidak mudah rusak oleh kontaminasi bakteri pembusuk (Liteplo et al
2002). Di dalam tubuh formaldehida terdapat di dalam jaringan sebanyak 3-12
ng/g, dan berguna pada sintesis protein, sedangkan di dalam darah 2,375 mg/m3.
Formaldehida dikonversi oleh enzim yang terdapat pada eritrosit dan hati, secara
cepat mengalami metabolisme menjadi format dan asam format. Asam format
13
kemudian mengalami oksidasi menjadi CO2 dan air, sedangkan format dikonversi
menjadi garam natrium dan diekskresikan atau digunakan pada biosintesis.
Gambar 2 Struktur molekul formaldehida (Hart 1990)
Formaldehida larut dalam air, alkohol dan pelarut polar lainnya. Secara
komersial formaldehida dijual dalam kadar larutan 37% dengan merk dagang
formalin atau formol. Meskipun mempunyai sifat kimia seperti aldehida pada
umumnya, formaldehida lebih reaktif daripada aldehida lainnya. Formaldehida
sangat cepat bereaksi dengan makromolekul biologi dan segera menimbulkan
kerusakan pada saat terjadi kontak langsung untuk pertama kalinya. Dalam tubuh
manusia, formaldehida dikonversi jadi asam format yang meningkatkan keasaman
darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering, hipotermia, juga koma, atau
sampai kepada kematiannya. Selain itu, formaldehida bisa menyebabkan
terikatnya DNA oleh protein, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal
(Liteplo et al 2002).
Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses
oksidasi (Pokorný 2001). Menurut Guttridge dan Halliwell (1996) antioksidan
merupakan suatu substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan
oksidatif terhadap suatu molekul target. Sementara itu, menurut Cillard et al
(1980) dan Schluler (1990) antioksidan adalah zat dengan kadar lebih rendah dari
zat
yang
mudah
teroksidasi,
secara
nyata
mampu
menghambat
atau
memperlambat oksidasi zat tersebut. Sebaliknya pada kadar tinggi zat antioksidan
bersifat prooksidan atau meningkatkan oksidasi. Antioksidan biologis adalah zat
yang mampu melindungi sistem biologis dari kerusakan akibat kelebihan oksidasi
(Krinsky 1992).
Tubuh kita dijaga dari stres oksidasi oleh berbagai antioksidan yang
mempunyai fungsi yang berbeda. Beberapa diantaranya disintesis di dalam tubuh
14
berupa enzim, protein tertentu dan molekul antioksidan dengan berat molekul
rendah. Contoh antioksidan yang ada di dalam tubuh antara lain superoksida
dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan lain sebagainya (Halliwell dan
Aruoma 1997, Shi et al 2001). Mekanisme kerja antioksidan di dalam tubuh dapat
melalui beberapa cara, antara lain: (1) menghambat terbentuknya radikal bebas,
(2) menjadi perantara dalam netralisasi radikal bebas yang telah terbentuk
(scavenger), (3) menurunkan kemampuan radikal bebas dalam reaksi oksidasi,
dan (4) menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom P-450 (Charpentier dan
Cateora 1996). Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada
berbagai tahap oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar
oksigen, menangkap singlet oksigen, pencegahan tahap inisiasi reaksi rantai
melalui penangkapan radikal hidroksil, pengikatan ion logam katalisator,
dekomposisi produk utama menjadi senyawa non radikal dan pemutusan reaksi
rantai untuk mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat.
Menurut Nabet (1996) terdapat tiga kelompok antioksidan dalam tubuh:
1.
Antioksidan Primer
Antioksidan ini bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas
baru. Contoh antioksidan primer adalah enzim superoksida dismutase (SOD)
yang merubah O2˙- menjadi hidrogen peroksida (2O2˙- + 2H+ → H2O2 + O2)
dan glutation peroksidase (GPx) yang mengubah hidrogen peroksida dan
lipid peroksida menjadi molekul yang kurang berbahaya sebelum
membentuk radikal bebas.
2.
Antioksidan Sekunder
Antioksidan ini menengkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai.
Contohnya: vitamin E (α-tokogerol), vitamin C, β-karoten, asam urat,
bilirubin dan albumin, serta berbagai antioksidan alami yang sudah banyak
ditemukan sekarang.
3.
Antioksidan Tersier
Antioksidan jenis ini akan memperbaiki kerusakan biomolekuler yang
disebabkan radikal bebas. Contohnya enzim-enzim yang memperbaiki DNA
dan metionin sulfoksida reduktase.
15
Menurut Papas (1999), antioksidan seperti katalase, glutathione peroksidase,
superokside dismutase, dan peroksidase merupakan lini pertama dari sistem
pertahanan tubuh yang menahan pembentukan radikal bebas. Pada lini pertahanan
kedua, antioksidan yang menangkap radikal seperti vitamin C, vitamin E,
karotenoid dan flavonoid berfungsi untuk menghambat rantai inisiasi dan atau
memecah rantai propagasi. Lini pertahanan ketiga dipegang oleh enzim
fosfolipase, protease, transferase, dan DNA repair enzyme yang berfungsi untuk
memperbaiki kerusakan membran. Lini terakhir dari sistem pertahanan tubuh
adalah proses adaptasi, dimana tubuh akan memproduksi enzim antioksidan yang
sesuai untuk ditransfer ke sisi tertentu pada waktu dan konsentrasi yang tepat.
Antioksidan dapat berasal dari bahan alami dan sintetik. Sumber antioksidan
alami telah banyak dilaporkan berasal dari tanaman. Tanaman sayuran dan buahbuahan mengandung banyak antioksidan alami seperti vitamin C, karotenoid dan
senyawa fenolik. Senyawa fenolik meliputi fenol sederhana, asam ferulat, turunan
asam hidroksinamat dan flavonoid (Shahidi 1997).
Penelitian tentang antioksidan pada tanaman telah banyak dilakukan.
Chipault et al (1952) menguji aktivitas antioksidan dari 32 jenis rempah-rempah
dan Puspita-Nienaber et al (1992) menguji aktivitas antioksidan dari 23 jenis
ekstrak rempah-rempah asal Indonesia. Nakatani (1997) meringkas hasil
penelitian tentang aktivitas antioksidan senyawa fenolik dari berbagai tanaman,
antara lain: rosmaridifenol, rosmarikuinon, epirosmanol, dan isorosmanol dari
rosemary; karnosol dari sage; asam hidroksibenzoat dan hidroksinamat dari
oregano; thymol dan karvarol dari thyme; kapsaicin dan hidrokapcaisin dari cabe;
sesamol dan lignan dari wijen; katekin dari teh hijau; dan kurkuminoid dari
kunyit. Zhu et al (2005) menyatakan bahwa katekin, epikatekin, yang diisolasi
dari kakao dapat mengurangi kerentanan eritrosit terhadap radikal bebas penyebab
hemolisis.
Menurut Gordon (2001) dan Molyneux (2004) pengukuran aktivitas
antioksidan dapat dilakukan dengan menggunakan metode penangkapan radikal
sintetis pada pelarut organik seperti metanol pada suhu ruang. Radikal sintetis
yang sering digunakan antara lain radikal 2,2-diphenil-1-picrylhydrazyl (DPPH),
dan 2,2’-azobis(3-ethylbenzthiazoline-sulphonic acid) (ABTS). Pada metode
16
DPPH, penangkapan radikal DPPH diikuti dengan pengukuran penurunan
absorbansi pada panjang gelombang 515 nm, dimana pengukuran berdasarkan
reduksi oleh antioksidan (AH).
DPPH˙ + AH → DPPH-H + A˙
Radikal DPPH banyak digunakan untuk mengukur aktivitas senyawa antioksidan
karena lebih stabil dibandingkan radikal bebas oksigen (Tominaga et al 2005).
Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa yang mempunyai ciri
konfigurasi C6-C3-C6 (Gambar 3) dan berperan dalam mekanisme donor
hidrogen, penangkapan radikal dan reaksi kelat pada logam (Hall 2001).
Flavonoid umumnya dikenal karena aktivitas antioksidannya di dalam tubuh
sehingga sering juga disebut bioflavonoid. Komponen antioksidan ini dapat
menetralisir reaktivitas dari (ROS), yang merupakan senyawa reaktif yang dapat
bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh yang merupakan penyusun membran,
RNA dan DNA (Hammerstone et al 2000).
Flavonoid merupakan salah satu sub kelas dari polifenol yang mempunyai 7
kelas utama yaitu antochyanin, proantochyanin, isoflavone, flavanone, flavonol,
flavanol, dan flavone (Gambar 4). Murphy et al (2003) menyatakan bahwa
mengonsumsi flavonoid dan prosianidin secara teratur dapat meningkatkan
konsentrasi epikatekin dan katekin di dalam plasma tetapi tidak menyebabkan
oksidasi, dan juga dapat mengurangi agregasi dan aktivasi platelet penyebab
peradangan.
Flavonoid yang terkandung di dalam kakao antara lain monomer katekin
yang termasuk ke dalam kelas flavanol, dan oligomer prosianidin (Hammerstone
et al 2000). Prosianidin kakao bermanfaat dalam modulasi respon imun dan
inflamasi pada mamalia. Prosianidin kakao dan kakao cair ataupun kering bisa
terdapat dalam makanan, suplemen dan obat-obatan untuk modulasi produk gen
sitokin dan kadar protein dan memberikan efek menguntungkan pada penderita
penyakit asma, peradangan akibat virus atau resiko peradangan virus (Schmitz et
al 2001).
17
Gambar 3 Struktur kimia flavonoid (CIC 2001, Hall 2001)
POLIFENOL
ASAM FENOLAT
LAIN-LAIN
FLAVONOID
Antochyanin
Proantochyanin
Isoflavone
Flavanone
Flavonol
Flavanol
Flavone
Hesperetin
Tangertin
Quercetin
Kaemferol
Epicatechin
Catechin
Luteolin
Apigenin
Delphinidin
Cyanidin
Polymeric
Flavanols
Genistein
Daidzein
Gambar 4 Pembagian kelas flavonoid (CIC 2001, Murphy et al 2003)
Kakao dan Produk Olahan
Tanaman kakao telah dimanfaatkan oleh bangsa Indian suku Maya di
Amerika Tengah sejak beberapa abad sebelum masehi, tetapi baru pada abad ke15 biji kakao diperkenalkan di bagian dunia lainnya. Kakao merupakan tanaman
yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang. Oleh karena itu tanaman ini
digolongkan ke dalam kelompok tanaman caulifloris (Siregar et al 2007).
18
Klasifikasi ilmiah kakao antara lain:
dunia
: Plantae
divisi
: Spermatophyta
sub divisi : Angiospermae
kelas
: Dicotyledoneae
sub kelas
: Dialypetaleae
bangsa
: Malvales
suku
: Sterculiaceae
marga
: Theobroma
Species
: Theobroma cacao.
Pohon kakao dapat tumbuh pada daerah-daerah yang berada pada 10º LU
sampai dengan bercurah 10º LS, dengan curah hujan 1-5 liter/mm2 per tahun,
temperatur 18-32ºC. Tinggi pohon kakao dapat mencapai 8-10 m dari pangkal
batangnya pada permukaan tanah (Siregar et al 2007).
Kakao dibedakan menjadi 3 jenis yaitu Criollo (fine/flavour cocoa),
Forastero (bulk cocoa) dan Trinitario. Buah kakao jenis Criollo memiliki ciri
tekstur yang lunak, berkerut dan berwarna kemerahan. Kakao jenis Forastero
memiliki ciri tekstur buah yang keras, licin dan berwarna hijau. Sedangkan kakao
jenis Trinitario yang merupakan hasil persilangan kakao Criollo dan Forastero
memiliki tekstur buah yang sedikit keras dan warna yang bervariasi (Lass 1999).
Jenis kakao yang terdapat di Indonesia adalah kakao mulia/edel (fine/flavour
cocoa) dan kakao lindak (bulk cocoa). Kakao lindak merupakan kakao kualitas
kedua yang digunakan sebagai komplementer (pelengkap) dalam mengolah kakao
mulia, tetapi jenis kakao ini lebih banyak dikembangkan seluruh perkebunan
kakao di Indonesia karena relatif lebih tahan terhadap hama dan penyakit, dan
tingkat produksinya lebih tinggi dibanding kakao mulia (Zairisman 2006, Siregar
et al 2007).
Bagian tanaman kakao yang mempunyai nilai ekonomis dan digunakan
sebagai bahan pangan adalah bijinya. Terdapat berbagai macam produk olahan
dari biji kakao antara lain: cokelat cair, susu cokelat, mentega cokelat, cokelat
bubuk, dan cokelat batang dengan kandungan polifenol total yang berbeda
(Vinson et al 1999, Wollgast dan Anklam 2000). Secara umum biji kakao diolah
19
menjadi bahan pangan yang dapat dikonsumsi melalui beberapa tahap, antara lain:
pencucian, sortasi, pengeringan, penghalusan (refining), penyempurnaan cita rasa
(conching) dan pengkristalan (tempering) (Bixler dan Morgan 1999, Siregar et al
2007). Cita rasa yang baik dapat diperoleh bila kakao difermentasi dengan baik,
namun proses fermentasi menyebabkan kandungan polifenol dalam biji kakao
menurun hingga 50% (Misnawi dan Selamat 2003).
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember berusaha
mengembangkan produk minuman bubuk kakao bebas lemak dari biji kakao
nonfermentasi yang merupakan hasil samping produksi lemak kakao.
Bubuk kakao bebas lemak dibuat melalui proses sebagai berikut:
1.
Biji kakao basah dicuci bersih dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50ºC
hingga kadar air 7,5%.
2.
Kulit ari dipisahkan. Keping biji yang diperoleh dihaluskan dengan blender
(penghancur biji).
3.
Pasta kakao yang diperoleh kemudian dipisahkan lemaknya (defatting)
dalam sochlet apparatus menggunakan pelarut petroleum benzene (titik
didih 40-60ºC).
4.
Bubuk kakao yang diperoleh kemudian dihaluskan sampai kehalusan < 40
mesh dan disimpan dalam kemasan kedap udara. (Misnawi 2005)
Pada biji kakao terdapat berbagai macam zat gizi dan senyawa bioaktif.
Komposisi kimia bubuk kakao disajikan dalam Tabel 2 dan Tabel 3. Biji kakao
dinyatakan sebagai bahan yang kaya akan flavonoid, yang mempunyai sifat
antioksidan bagi tubuh. Menurut Lee et al. (2003), kakao mengandung senyawa
fitokimia fenolik dan kapasitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan
anggur, teh hijau dan teh hitam. Kandungan total polifenol pada beberapa produk
kakao disajikan pada Tabel 4. Terlihat bahwa bubuk kakao mengandung senyawa
polifenol yang paling tinggi dibandingkan produk kakao lainnya.
Misnawi et al (2003) menyatakan bahwa biji kakao mengandung polifenol
12-18 g/100 g. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zairisman (2006)
terhadap beberapa jenis kakao, diketahui bahwa kandungan polifenol total pada
bubuk kakao lindak bebas lemak nonfermentasi dari varietas bulk masak lebih
tinggi dibandingkan jenis lainnya yaitu sekitar 4,43 g/100 g.
20
Tabel 2 Komposisi kimia bubuk kakao per 100 gram
Komposisi
Energi
Lemak
Karbohidrat
Protein
Kalium
Natrium
Kalsium
Besi
Seng
Tembaga
Mangan
Air
Kadar abu
Jumlah
228,49 Kcal
13,50 g
53,35 g
19,59 g
1,50 g
8,99 mg
169,45 mg
13,86 mg
7,93 mg
4,61 mg
4,73 mg
2,58 g
6,33 g
Sumber: Cheney (1999)
Tabel 3 Komposisi kimia bubuk kakao lindak bebas lemak per 100 gram
Komposisi
Jumlah
Lemak
2,59 g
Karbohidrat
51,40 g
Protein
28,08 g
Air
10,42 g
Kadar abu
7,51 g
Tabel 4 Kandungan total polifenol produk kakao
Produk kakao
Bubuk kakao
Cokelat
Susu cokelat
Jumlah polifenol total
(g/100g)
2,00
0,84
0,50
Sumber: Wollgast dan Anklam (2000)
Manfaat produk olahan kakao terhadap kesehatan sudah banyak dilaporkan.
Kakao berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi epikatekin dan penurunan
produk oksidasi di dalam plasma (Rein et al 2000a), menekan aktivasi platelet,
sehingga dapat mencegah penyakit aterosklerosis dan jantung koroner (Rein et al
2000b, Murphy et al 2002), mengurangi kerentanan oksidatif pada low density
lipoprotein (LDL) plasma (Mathur et al 2002).
Download