TINJAUAN PUSTAKA Eritrosit Eritrosit/sel darah merah adalah suatu sel yang berisi hemoglobin dan membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Sel ini berbentuk lempeng bikonkaf yang meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi oksigen dan karbon dioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton yang terdiri atas beberapa protein. Diameter eritrosit kira-kira 7,8 mikrometer, dengan ketebalan 2,5 mikrometer pada bagian yang paling tebal dan kurang lebih 1 mikrometer pada bagian tengah. Volume rata-rata eritrosit adalah 90 sampai 95 mikrometer kubik. Bentuk eritrosit dapat berubah-ubah ketika sel berjalan melewati kapiler. Sesungguhnya, eritrosit merupakan suatu “kantong” yang dapat diubah menjadi berbagai bentuk. Selanjutnya, karena sel normal mempunyai membran yang sangat kuat untuk menampung banyak bahan material di dalamnya, maka perubahan bentuk tersebut tidak akan meregangkan membran secara hebat, dan sebagai akibatnya tidak akan memecahkan sel seperti yang terjadi pada sel lainnya. Pada pria normal, jumlah rata-rata sel darah merah per mililiter kubik adalah 5.200.000 (± 300.000) dan pada wanita normal 4.700.000 (± 300.000) (Guyton dan Hall 1997). Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut hemoglobin dan seterusnya mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan. Jika hemoglobin ini terbebas dalam plasma manusia, kurang lebih 3 persennya bocor melalui membran kapiler masuk ke dalam ruang jaringan atau melalui membran glomerulus pada ginjal terus masuk ke dalam saringan glomerulus setiap kali darah melewati kapiler. Oleh karena itu, agar hemoglobin tetap berada dalam aliran darah, maka ia harus tetap berada dalam eritrosit. Selain mengangkut hemoglobin, eritrosit juga mempunyai fungsi lain. Contohnya, ia mengandung banyak sekali karbonik anhidrase, yang mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air, sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida, dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-). Hemoglobin yang terdapat dalam sel juga 5 merupakan dapar asam-basa (seperti juga pada kebanyakan protein), sehingga eritrosit bertanggung jawab untuk sebagian daya pendaparan sel darah (Guyton dan Hall 1997). Hemoglobin, pigmen merah yang membawa oksigen dalam eritrosit, merupakan suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450, dan terdiri dari 4 subunit, dimana masing-masing subunit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengandung Fe2+ yang dapat mengikat O2. Eritrosit mengandung sekitar 270 juta molekul hemoglobin dimana tiap sel mengandung tepat 29 pg hemoglobin dengan masing-masing membawa empat kelompok heme. Dengan demikian didapatkan sekitar 3x1013 sel darah merah dan sekitar 900 g hemoglobin di dalam peredaran darah seorang laki-laki dewasa (Ganong 1999). Proses pembentukan dan penghancuran eritrosit diilustrasikan pada Gambar 1. Eritrosit dibentuk di sumsum tulang dan sangat fleksibel sehingga dapat berubah bentuk saat mengalir di dalam kapiler. Pada mamalia sel ini kehilangan inti, mitokondria dan organel sel lainnya sebelum memasuki peredaran darah, dan selama proses tersebut terjadi pembentukan hemoglobin. Eritrosit berada dalam sirkulasi selama lebih kurang 120 hari. Proses pembentukan eritrosit dihambat oleh meningkatnya kadar eritrosit dalam sirkulasi hingga melebihi batas normal, dan diransang oleh keadaan anemia (Ganong 1999). 1 x 1010 eritrosit 0,3 g hemoglobin per jam Sumsum tulang Sirkulasi 3 x 1013 eritrosit 900 g hemoglobin Zat besi Diet Asam amino 1 x 1010 eritrosit 0,3 g hemoglobin per jam Sistem makrofag jaringan Pigmen empedu dalam tinja, urin Sejumlah kecil zat besi Gambar 1 Pembentukan dan penghancuran eritrosit (Ganong 1999) 6 Seperti sel-sel lainnya, eritrosit diselubungi oleh membran sel yang terutama terdiri dari lipid dan protein. Walaupun eritrosit tidak mempunyai inti, mitokondria, atau retikulum endoplasma, namun sebenarnya mempunyai enzimenzim sitoplasmik yang mampu mengadakan metabolisme glukosa dan membentuk adenosin trifosfat (ATP) dan sedikit nikotinamid-adenin dinukleotida fosfat (NADPH). Eritrosit mudah mengalami oksidasi disebabkan oleh kandungan asam lemak tak jenuh gandanya yang tinggi. Senyawa oksigen reaktif yang terdapat pada plasma, sitosol dan membran sel dapat bereaksi membran eritrosit, mempengaruhi integritas membran dan menyebabkan terjadinya oksidasi lipid dan protein, dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya hemolisis (Delmas-Beauvieux et al 1995). Kerusakan oksidatif pada eritrosit dapat dicegah oleh enzim antioksidan seperti superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase yang terdapat pada eritrosit, selain itu juga tersedianya vitamin E dan senyawa antioksidan lainnya di dalam plasma mengurangi terjadinya kerusakan oksidatif pada eritrosit (Kelle et al 1999). Eritrosit, seperti sel-sel lainnya, mengerut di dalam larutan yang mempunyai tekanan osmotik lebih besar dari tekanan osmotik plasma normal. Dalam larutan yang mempunyai tekanan osmotik lebih rendah, eritrosit akan membengkak, berbentuk bulat, tidak berbentuk cakram lagi, kemudian kehilangan hemoglobinnya /hemolisis. Larutan natrium klorida 0,9% merupakan larutan yang isotonik dengan plasma. Pada kondisi fragilitas osmotik normal, eritrosit mulai mengalami hemolisis jika disuspensikan dalam larutan garam 0,5%, 50% lisis terjadi pada larutan garam 0,40-0,42%, dan lisis seluruhnya terjadi pada larutan garam 0,35%. Eritrosit juga dapat mengalami lisis karena pengaruh obat dan infeksi (Ganong 1999). Menurut Kato et al (2007) hemolisis intravaskular dapat menyebabkan hipertensi paru-paru, priapism, koreng pada kaki, dan mungkin stroke. Karena fungsinya yang sangat penting di dalam tubuh dan kerentanannya terhadap oksidasi, banyak sekali penelitian yang menggunakan eritrosit sebagai model untuk mempelajari kerusakan oksidatif biomembran dan pengaruh berbagai senyawa yang terdapat pada makanan, dalam menghambat terjadinya kerusakan 7 pada membran. Pada umumnya parameter yang digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan pada membran adalah persentase hemolisis yang terjadi pada eritrosit. Semakin tinggi persentase hemolisis yang terjadi menandakan semakin parahnya kerusakan yang terjadi pada membran eritrosit, begitu pula sebaliknya, semakin rendah persentase hemolisis yang terjadi menandakan semakin tahan membran sel terhadap kerusakan. Seperti yang dilakukan oleh Zhu et al (2002) yang mempelajari efek penghambatan ekstrak kakao dan flavanol kakao yaitu katekin, epikatekin dan prosianidin terhadap hemolisis eritrosit pada tikus. Hasilnya ekstrak kakao dapat menghambat terjadinya hemolisis pada eritrosit tikus baik secara in vitro maupun in vivo. Eder et al (2002) menyatakan bahwa kelebihan konsumsi vitamin E yang dikombinasikan dengan konsumsi mminyak ikan salmon tidak berpengaruh terhadap hemolisis eritrosit. Kaviarasan et al (2004) menyatakan bahwa biji fenugreek yang kaya akan polifenol dapat meningkatkan ketahanan membran eritrosit terhadap hidrogen peroksida, yang ditandai dengan lebih lamanya hemolisis mencapai 50 % pada eritrosit yang diinkubasi dengan ekstrak biji fenugreek secara in vitro dibandingkan eritrosit yang tidak diinkubasi dengan ekstrak biji fenugreek, baik pada darah manusia normal maupun yang mempunyai penyakit diabetes. Penelitian yang dilakukan Zhu et al (2005) menyimpulkan bahwa dengan mengonsumsi minuman yang mengandung flavanol dan prosianidin kakao dapat memperlambat laju hemolisis yang terjadi pada eritrosit manusia. Parameter lain yang sering diukur untuk mengetahui terjadinya kerusakan pada membran sel eritrosit adalah aktivitas antioksidan pada sel eritrosit dan peroksidasi yang terjadi pada eritrosit. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kelle et al (1999) yang menyimpulkan bahwa latihan lari yang dilakukan oleh tikus albino Wistar menyebabkan peningkatan kerentanan terjadinya peroksidasi secara in vitro pada eritrosit, tetapi dengan penambahan suplemen vitamin E pada ransumnya dapat mengurangi kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh latihan. Parameter yang diuji pada penelitian tersebut adalah aktivitas enzim antioksidan eritrosit yaitu superoksida dismutase, katalase dan glutation. Ankan et al (2001) mempelajari hubungan antara peroksidasi lipid (dengan mengukur kadar MDA), glutation dan glutation peroksidase eritrosit dengan penyakit hipertiroid. Hasilnya 8 kadar MDA pada penderita hipertiroid lebih tinggi debandingkan manusia normal sedangkan glutation dan glutation dan glutation peroksidase lebih rendah dibandingkan manusia normal. Jung et al (2003) menyatakan bahwa konsumsi suplemen naringin oleh penderita hiperkolesterolemia dapat meningkatkan aktivitas superoksida dismutase dan katalase eritrosit. Senyawa Oksigen Reaktif dan Kerusakan Sel Senyawa oksigen reaktif/reactive oxygen species (ROS) merupakan molekul yang mengandung oksigen yang lebih reaktif dibandingkan dengan molekul triplet oksigen yang terdapat di udara. Superoksida (O2˙), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (HO˙) dan singlet oksigen (1O2) termasuk spesies oksigen aktif. Selain itu senyawa lainnya seperti alkoksi radikal, peroksil radikal (LO2˙), nitrogen dioksida (NO2˙), lipid hidroperoksida (LOOH), protein hidroperoksida dan hipoklorit (HOCl) juga dianggap sebagai senyawa oksigen aktif. Beberapa diantaranya mempunyai elektron yang tidak berpasangan dan merupakan radikal bebas, tetapi yang lainnya tidak. Senyawa oksigen aktif ini sangat berperan pada fungsi fisiologis, namun pada saat yang sama senyawa oksigen aktif ini bisa bersifat toksik bagi sel. Tabel 1 merangkum senyawa oksigen aktif yang berhubungan dengan peroksidasi lipid dan stres oksidatif in vivo (Noguchi dan Niki 1998). Tabel 1 Oksigen aktif dan senyawa yang berhubungan O 2˙ HO˙ HO2˙ L˙ LO2˙ LO˙ NO2˙ ˙NO P˙ Radikal Superoksida Radikal hidroksil Hidroperoksil radikal Radikal lipid Lipid peroksil radikal Lipid alkoksi radikal Nitrogen dioksida Nitrit oksida Radikal protein H2O2 O2 LOOH Fe=O HOCl 1 Non Radikal Hidrogen peroksida Singlet oksigen Lipid hidroperoksida Besi-oksigen kompleks Hipoklorit Sumber: Naguchi dan Niki 1998, Vanishlieva-Maslavora 2001 Radikal bebas adalah molekul atau senyawa yang tidak mampu berdiri sendiri dan mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada 9 orbital terluarnya (Noguchi dan Niki 1998, Halliwell dan Gutteridge 1999). Elektron yang tidak berpasangan biasanya akan mencari elektron di sekitarnya supaya berpasangan. Oleh karena itu, radikal bebas menjadi reaktif dan menyerang molekul lain, meskipun beberapa radikal tidak reaktif, tetap stabil pada waktu yang cukup lama. Contoh radikal bebas yang reaktif adalah radikal hidroksil (HO˙) dan alkoksil (LO˙), sedangkan radikal nitrit oksida (˙NO), vitamin E (tokoferol) dan vitamin C (dehidroaskorbat) adalah contoh radikal yang stabil (Noguchi dan Niki 1998). Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara yaitu secara endogen dan eksogen. Secara endogen, radikal bebas dibentuk sebagai respon normal dari peristiwa biokimia dalam tubuh. Secara eksogen, radikal bebas berasal dari polusi, makanan, injeksi atau melalui penyerapan kulit (Prangdimurti 1999, Damayanthi 2002). Menurut Halliwell dan Gutteridge (1999), beberapa jenis radikal bebas yang terdapat dalam tubuh antara lain: 1. Anion superoksida radikal (O2˙) Radikal ini merupakan hasil reduksi satu elektron oksigen dan dapat terjadi pada hampir semua sel aerobik yang menjalankan rantai transpor elektron pada mitokondria. Mekanisme terbentuknya anion superoksida pada rantai transpor elektron disebabkan oleh adanya 1-3% elektron yang terlepas selama proses rantai transpor elektron (Halliwell dan Aruoma 1991). Menurut McCord (1993), anion superoksida diproduksi oleh mitokondria pada dua sisi dari rantai transpor elektron. Sisi pertama terjadi pada perpindahan elektron dari ubiquinon (CoQ) ke sitokrom C melalui senyawa intermediate ubisemiquinon. Senyawa ubisemiquinon mampu mereduksi oksigen menjadi anion superoksida, yang selanjutnya akan berdismutasi membentuk hidrogen peroksida (H2O2). Sisi kedua dari pembentukan anion superoksida pada rantai transpor elektron adalah pada NADH dehidrogenase yang merupakan katalis dari pelepasan ion hidrogen dari substrat ke molekul NAD+, yang selanjutnya akan masuk ke reaksi kimia oksidatif untuk membentuk ATP. 10 2. Hidrogen peroksida (H2O2) Hidrogen peroksida merupakan oksidan lemah yang relatif stabil tetapi dengan adanya ion logam transisi, senyawa ini dapat membentuk radikal yang reaktif. Senyawa ini larut dalam air dan berdifusi dengan cepat di dalam dan di antara sel. Hidrogen peroksida yang tidak dikehendaki di dalam sel, baik yang berasal dari reaksi yang terjadi di dalam tubuh maupun yang berasal dari makanan, dihilangkan dengan bantuan enzim katalase, glutation peroksidase, dan peroksidase lainnya. Stress oksidatif yang disebabkan oleh H2O2 terjadi secara tidak langsung dan dibantu oleh beberapa ion logam. Reaksi yang terjadi di dalam tubuh yang melibatkan H2O2 adalah reaksi Fenton yaitu: Fe (III) + O2˙ → Fe (II) + O2 Fe (II) + H2O2 → OH˙ + OHֿ + Fe (III) Hidrogen peroksida yang masuk ke dalam membran akan bereaksi dengan ion Fe dan Cu dan membentuk molekul yang lebih reaktif seperti OH˙. Hidroksil radikal banyak merusak DNA di dalam sel. 3. Hidroksil radikal (OH˙) Hidroksil radikal adalah oksigen radikal yang paling reaktif dengan potensi reduksi yang tinggi. Senyawa ini dapat terbentuk dari H2O2 yang dikatalisis oleh ion Fe. H2O2 + Fe2+ → OH˙ + Fe3+ + OH˙ Hidroksil radikal bereaksi dengan molekul dalam sel hidup, seperti gula, asam amino, fosfolipid, basa DNA, dan asam organik. Radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif. Menurut Halliwell dan Aruoma (1991), stres oksidatif merupakan suatu keadaan yang timbul jika radikal bebas tidak sepenuhnya dihilangkan atau dinetralkan dari dalam tubuh. Stres oksidatif juga bisa dikatakan sebagai keadaan ketidakseimbangan antara senyawa oksigen reaktif (ROS) dan antioksidan (Halliwell dan Gutteridge 2001). Hal ini dapat terjadi jika jumlah antioksidan tidak mencukupi atau jumlah radikal meningkat sehingga antioksidan tidak mampu untuk menahannya. Radikal bebas dan senyawa oksigen aktif bisa menyebabkan terjadinya oksidasi lipid, gula, protein dan DNA, sehingga menimbulkan kerusakan oksidatif seperti disfungsi 11 membran, modifikasi protein, inaktivasi enzim dan modifikasi pada basa DNA (Noguchi dan Niki 1998). Stres oksidatif dapat menyebabkan kematian sel secara apoptosis dan nekrosis. Kematian sel secara apoptosis mencakup proses otodestruksi seluler aktif yang ditandai dengan penyusutan sel, kerusakan membran dan fragmentasi DNA inti. Sementara itu, nekrosis merupakan kematian sel akibat kerusakan berat yang ditandai oleh kerusakan struktur seluler secara menyeluruh yang diikuti dengan lisisnya sel dan peradangan jaringan. Nekrosis merupakan kematian suatu sel atau kelompok sel yang masih merupakan bagian dari organisme hidup. Racun-racun kimiawi bisa mempengaruhi sel secara non selektif dengan cara menyebabkan denaturasi protein atau dengan pemecahan fosfolipid membran plasma atau bereaksi dengan molekul target lainnya (Arafah 2005). Radikal bebas dalam sistem biologi dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. Dasar teknik pengukuran radikal bebas secara langsung yaitu RPEresonan paramagnetik elektronik dan proton nuclear magnetik resonansi resolusi tinggi dengan menggunakan senyawa yang dapat menangkap sinyal radikal bebas pada sistem in vitro. Pengukuran secara langsung sangat sulit dilakukan karena radikal bebas bereaksi sangat cepat, sehingga metode pengukuran tidak langsung, melalui pengukuran produk turunan yang dihasilkan dalam sel akibat reaksi radikal bebas lipid, seperti malondialdehida, dan 4-hidroksinonenal yang umumnya dipilih untuk dilakukan dalam mengukur reaksi radikal bebas lipid (Nabet 1996). Malondialdehida atau MDA (C3H4O2) merupakan salah satu hasil peroksidasi asam lemak tidak jenuh (ALTJ) terutama asam arakhidonat. MDA dijumpai juga sebagai produk samping biosintesis prostaglandin. Pengukuran MDA telah digunakan sebagai indikator kerusakan oksidatif asam lemak tidak jenuh pada sel yang menyebabkan perubahan struktur dan fungsi. Kadar MDA dapat digunakan sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid (Aruoma 1997). Organisme aerob pada dasarnya dilindungi oleh serangkaian sistem pertahanan tubuh terhadap stres oksidatif yang terjadi akibat reaksi radikal bebas. Reaksi pembentukan radikal bebas berlangsung terus dari satu bentuk ke bentuk 12 radikal lain secara berantai. Pengakhiran reaksi berantai radikal bebas (terminasi) terjadi karena adanya inaktivasi radikal tersebut melalui mekanisme antioksidan. Antioksidan dapat dihasilkan oleh tubuh sendiri seperti enzim superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH) dan katalase. Antioksidan dapat juga diperoleh dari makanan, tanaman, vitamin dan mineral (Gutteridge dan Halliwell 1996). Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitasnya dapat merusak seluruh tipe makro molekul seluler termasuk protein, lipida, DNA dan molekul lainnya, sehingga dapat memicu terjadinya kanker, penyakit kardiovaskular dan mungkin penyakit neurodegeneratif. (Haliwel dan Aruoma 1997). Pada eritrosit terdapat enzim superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH) dan katalase yang dapat mencegah terjadinya kerusakan oksidatif pada sel. Selain itu, senyawa flavonoid dari makanan yang masuk ke darah juga dapat melindungi sel eritrosit dari kerusakan oksidatif. Formaldehida dan Kerusakan Sel Formaldehida (CH2O) juga dikenal dengan nama metanal, metilen oksida, oksimetilen, metilaldehida, oksometan dan aldehida format. Formaldehida merupakan senyawa kimia golongan aldehida yang berbentuk gas tidak berwarna pada suhu ruang. Formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan-bahan yang mengandung karbon, sehingga formaldehida terdapat pada asap dari kebakaran hutan, knalpot mobil dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi, formaldehida dihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana dan hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Selain itu formaldehida juga dihasilkan dalam jumlah yang sangat sedikit sebagai metabolit pada kebanyakan organisme, termasuk manusia. Secara alami, formaldehida terdapat pada beberapa buah dan ikan laut dalam kadar yang tinggi. Formaldehida dan beberapa senyawa turunannya juga banyak digunakan pada produk pangan untuk menjaga agar produk tidak mudah rusak oleh kontaminasi bakteri pembusuk (Liteplo et al 2002). Di dalam tubuh formaldehida terdapat di dalam jaringan sebanyak 3-12 ng/g, dan berguna pada sintesis protein, sedangkan di dalam darah 2,375 mg/m3. Formaldehida dikonversi oleh enzim yang terdapat pada eritrosit dan hati, secara cepat mengalami metabolisme menjadi format dan asam format. Asam format 13 kemudian mengalami oksidasi menjadi CO2 dan air, sedangkan format dikonversi menjadi garam natrium dan diekskresikan atau digunakan pada biosintesis. Gambar 2 Struktur molekul formaldehida (Hart 1990) Formaldehida larut dalam air, alkohol dan pelarut polar lainnya. Secara komersial formaldehida dijual dalam kadar larutan 37% dengan merk dagang formalin atau formol. Meskipun mempunyai sifat kimia seperti aldehida pada umumnya, formaldehida lebih reaktif daripada aldehida lainnya. Formaldehida sangat cepat bereaksi dengan makromolekul biologi dan segera menimbulkan kerusakan pada saat terjadi kontak langsung untuk pertama kalinya. Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversi jadi asam format yang meningkatkan keasaman darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering, hipotermia, juga koma, atau sampai kepada kematiannya. Selain itu, formaldehida bisa menyebabkan terikatnya DNA oleh protein, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal (Liteplo et al 2002). Antioksidan Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi (Pokorný 2001). Menurut Guttridge dan Halliwell (1996) antioksidan merupakan suatu substansi yang menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif terhadap suatu molekul target. Sementara itu, menurut Cillard et al (1980) dan Schluler (1990) antioksidan adalah zat dengan kadar lebih rendah dari zat yang mudah teroksidasi, secara nyata mampu menghambat atau memperlambat oksidasi zat tersebut. Sebaliknya pada kadar tinggi zat antioksidan bersifat prooksidan atau meningkatkan oksidasi. Antioksidan biologis adalah zat yang mampu melindungi sistem biologis dari kerusakan akibat kelebihan oksidasi (Krinsky 1992). Tubuh kita dijaga dari stres oksidasi oleh berbagai antioksidan yang mempunyai fungsi yang berbeda. Beberapa diantaranya disintesis di dalam tubuh 14 berupa enzim, protein tertentu dan molekul antioksidan dengan berat molekul rendah. Contoh antioksidan yang ada di dalam tubuh antara lain superoksida dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan lain sebagainya (Halliwell dan Aruoma 1997, Shi et al 2001). Mekanisme kerja antioksidan di dalam tubuh dapat melalui beberapa cara, antara lain: (1) menghambat terbentuknya radikal bebas, (2) menjadi perantara dalam netralisasi radikal bebas yang telah terbentuk (scavenger), (3) menurunkan kemampuan radikal bebas dalam reaksi oksidasi, dan (4) menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom P-450 (Charpentier dan Cateora 1996). Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai tahap oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen, menangkap singlet oksigen, pencegahan tahap inisiasi reaksi rantai melalui penangkapan radikal hidroksil, pengikatan ion logam katalisator, dekomposisi produk utama menjadi senyawa non radikal dan pemutusan reaksi rantai untuk mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat. Menurut Nabet (1996) terdapat tiga kelompok antioksidan dalam tubuh: 1. Antioksidan Primer Antioksidan ini bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas baru. Contoh antioksidan primer adalah enzim superoksida dismutase (SOD) yang merubah O2˙- menjadi hidrogen peroksida (2O2˙- + 2H+ → H2O2 + O2) dan glutation peroksidase (GPx) yang mengubah hidrogen peroksida dan lipid peroksida menjadi molekul yang kurang berbahaya sebelum membentuk radikal bebas. 2. Antioksidan Sekunder Antioksidan ini menengkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Contohnya: vitamin E (α-tokogerol), vitamin C, β-karoten, asam urat, bilirubin dan albumin, serta berbagai antioksidan alami yang sudah banyak ditemukan sekarang. 3. Antioksidan Tersier Antioksidan jenis ini akan memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan radikal bebas. Contohnya enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan metionin sulfoksida reduktase. 15 Menurut Papas (1999), antioksidan seperti katalase, glutathione peroksidase, superokside dismutase, dan peroksidase merupakan lini pertama dari sistem pertahanan tubuh yang menahan pembentukan radikal bebas. Pada lini pertahanan kedua, antioksidan yang menangkap radikal seperti vitamin C, vitamin E, karotenoid dan flavonoid berfungsi untuk menghambat rantai inisiasi dan atau memecah rantai propagasi. Lini pertahanan ketiga dipegang oleh enzim fosfolipase, protease, transferase, dan DNA repair enzyme yang berfungsi untuk memperbaiki kerusakan membran. Lini terakhir dari sistem pertahanan tubuh adalah proses adaptasi, dimana tubuh akan memproduksi enzim antioksidan yang sesuai untuk ditransfer ke sisi tertentu pada waktu dan konsentrasi yang tepat. Antioksidan dapat berasal dari bahan alami dan sintetik. Sumber antioksidan alami telah banyak dilaporkan berasal dari tanaman. Tanaman sayuran dan buahbuahan mengandung banyak antioksidan alami seperti vitamin C, karotenoid dan senyawa fenolik. Senyawa fenolik meliputi fenol sederhana, asam ferulat, turunan asam hidroksinamat dan flavonoid (Shahidi 1997). Penelitian tentang antioksidan pada tanaman telah banyak dilakukan. Chipault et al (1952) menguji aktivitas antioksidan dari 32 jenis rempah-rempah dan Puspita-Nienaber et al (1992) menguji aktivitas antioksidan dari 23 jenis ekstrak rempah-rempah asal Indonesia. Nakatani (1997) meringkas hasil penelitian tentang aktivitas antioksidan senyawa fenolik dari berbagai tanaman, antara lain: rosmaridifenol, rosmarikuinon, epirosmanol, dan isorosmanol dari rosemary; karnosol dari sage; asam hidroksibenzoat dan hidroksinamat dari oregano; thymol dan karvarol dari thyme; kapsaicin dan hidrokapcaisin dari cabe; sesamol dan lignan dari wijen; katekin dari teh hijau; dan kurkuminoid dari kunyit. Zhu et al (2005) menyatakan bahwa katekin, epikatekin, yang diisolasi dari kakao dapat mengurangi kerentanan eritrosit terhadap radikal bebas penyebab hemolisis. Menurut Gordon (2001) dan Molyneux (2004) pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan menggunakan metode penangkapan radikal sintetis pada pelarut organik seperti metanol pada suhu ruang. Radikal sintetis yang sering digunakan antara lain radikal 2,2-diphenil-1-picrylhydrazyl (DPPH), dan 2,2’-azobis(3-ethylbenzthiazoline-sulphonic acid) (ABTS). Pada metode 16 DPPH, penangkapan radikal DPPH diikuti dengan pengukuran penurunan absorbansi pada panjang gelombang 515 nm, dimana pengukuran berdasarkan reduksi oleh antioksidan (AH). DPPH˙ + AH → DPPH-H + A˙ Radikal DPPH banyak digunakan untuk mengukur aktivitas senyawa antioksidan karena lebih stabil dibandingkan radikal bebas oksigen (Tominaga et al 2005). Flavonoid Flavonoid merupakan kelompok senyawa yang mempunyai ciri konfigurasi C6-C3-C6 (Gambar 3) dan berperan dalam mekanisme donor hidrogen, penangkapan radikal dan reaksi kelat pada logam (Hall 2001). Flavonoid umumnya dikenal karena aktivitas antioksidannya di dalam tubuh sehingga sering juga disebut bioflavonoid. Komponen antioksidan ini dapat menetralisir reaktivitas dari (ROS), yang merupakan senyawa reaktif yang dapat bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh yang merupakan penyusun membran, RNA dan DNA (Hammerstone et al 2000). Flavonoid merupakan salah satu sub kelas dari polifenol yang mempunyai 7 kelas utama yaitu antochyanin, proantochyanin, isoflavone, flavanone, flavonol, flavanol, dan flavone (Gambar 4). Murphy et al (2003) menyatakan bahwa mengonsumsi flavonoid dan prosianidin secara teratur dapat meningkatkan konsentrasi epikatekin dan katekin di dalam plasma tetapi tidak menyebabkan oksidasi, dan juga dapat mengurangi agregasi dan aktivasi platelet penyebab peradangan. Flavonoid yang terkandung di dalam kakao antara lain monomer katekin yang termasuk ke dalam kelas flavanol, dan oligomer prosianidin (Hammerstone et al 2000). Prosianidin kakao bermanfaat dalam modulasi respon imun dan inflamasi pada mamalia. Prosianidin kakao dan kakao cair ataupun kering bisa terdapat dalam makanan, suplemen dan obat-obatan untuk modulasi produk gen sitokin dan kadar protein dan memberikan efek menguntungkan pada penderita penyakit asma, peradangan akibat virus atau resiko peradangan virus (Schmitz et al 2001). 17 Gambar 3 Struktur kimia flavonoid (CIC 2001, Hall 2001) POLIFENOL ASAM FENOLAT LAIN-LAIN FLAVONOID Antochyanin Proantochyanin Isoflavone Flavanone Flavonol Flavanol Flavone Hesperetin Tangertin Quercetin Kaemferol Epicatechin Catechin Luteolin Apigenin Delphinidin Cyanidin Polymeric Flavanols Genistein Daidzein Gambar 4 Pembagian kelas flavonoid (CIC 2001, Murphy et al 2003) Kakao dan Produk Olahan Tanaman kakao telah dimanfaatkan oleh bangsa Indian suku Maya di Amerika Tengah sejak beberapa abad sebelum masehi, tetapi baru pada abad ke15 biji kakao diperkenalkan di bagian dunia lainnya. Kakao merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang. Oleh karena itu tanaman ini digolongkan ke dalam kelompok tanaman caulifloris (Siregar et al 2007). 18 Klasifikasi ilmiah kakao antara lain: dunia : Plantae divisi : Spermatophyta sub divisi : Angiospermae kelas : Dicotyledoneae sub kelas : Dialypetaleae bangsa : Malvales suku : Sterculiaceae marga : Theobroma Species : Theobroma cacao. Pohon kakao dapat tumbuh pada daerah-daerah yang berada pada 10º LU sampai dengan bercurah 10º LS, dengan curah hujan 1-5 liter/mm2 per tahun, temperatur 18-32ºC. Tinggi pohon kakao dapat mencapai 8-10 m dari pangkal batangnya pada permukaan tanah (Siregar et al 2007). Kakao dibedakan menjadi 3 jenis yaitu Criollo (fine/flavour cocoa), Forastero (bulk cocoa) dan Trinitario. Buah kakao jenis Criollo memiliki ciri tekstur yang lunak, berkerut dan berwarna kemerahan. Kakao jenis Forastero memiliki ciri tekstur buah yang keras, licin dan berwarna hijau. Sedangkan kakao jenis Trinitario yang merupakan hasil persilangan kakao Criollo dan Forastero memiliki tekstur buah yang sedikit keras dan warna yang bervariasi (Lass 1999). Jenis kakao yang terdapat di Indonesia adalah kakao mulia/edel (fine/flavour cocoa) dan kakao lindak (bulk cocoa). Kakao lindak merupakan kakao kualitas kedua yang digunakan sebagai komplementer (pelengkap) dalam mengolah kakao mulia, tetapi jenis kakao ini lebih banyak dikembangkan seluruh perkebunan kakao di Indonesia karena relatif lebih tahan terhadap hama dan penyakit, dan tingkat produksinya lebih tinggi dibanding kakao mulia (Zairisman 2006, Siregar et al 2007). Bagian tanaman kakao yang mempunyai nilai ekonomis dan digunakan sebagai bahan pangan adalah bijinya. Terdapat berbagai macam produk olahan dari biji kakao antara lain: cokelat cair, susu cokelat, mentega cokelat, cokelat bubuk, dan cokelat batang dengan kandungan polifenol total yang berbeda (Vinson et al 1999, Wollgast dan Anklam 2000). Secara umum biji kakao diolah 19 menjadi bahan pangan yang dapat dikonsumsi melalui beberapa tahap, antara lain: pencucian, sortasi, pengeringan, penghalusan (refining), penyempurnaan cita rasa (conching) dan pengkristalan (tempering) (Bixler dan Morgan 1999, Siregar et al 2007). Cita rasa yang baik dapat diperoleh bila kakao difermentasi dengan baik, namun proses fermentasi menyebabkan kandungan polifenol dalam biji kakao menurun hingga 50% (Misnawi dan Selamat 2003). Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember berusaha mengembangkan produk minuman bubuk kakao bebas lemak dari biji kakao nonfermentasi yang merupakan hasil samping produksi lemak kakao. Bubuk kakao bebas lemak dibuat melalui proses sebagai berikut: 1. Biji kakao basah dicuci bersih dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50ºC hingga kadar air 7,5%. 2. Kulit ari dipisahkan. Keping biji yang diperoleh dihaluskan dengan blender (penghancur biji). 3. Pasta kakao yang diperoleh kemudian dipisahkan lemaknya (defatting) dalam sochlet apparatus menggunakan pelarut petroleum benzene (titik didih 40-60ºC). 4. Bubuk kakao yang diperoleh kemudian dihaluskan sampai kehalusan < 40 mesh dan disimpan dalam kemasan kedap udara. (Misnawi 2005) Pada biji kakao terdapat berbagai macam zat gizi dan senyawa bioaktif. Komposisi kimia bubuk kakao disajikan dalam Tabel 2 dan Tabel 3. Biji kakao dinyatakan sebagai bahan yang kaya akan flavonoid, yang mempunyai sifat antioksidan bagi tubuh. Menurut Lee et al. (2003), kakao mengandung senyawa fitokimia fenolik dan kapasitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan anggur, teh hijau dan teh hitam. Kandungan total polifenol pada beberapa produk kakao disajikan pada Tabel 4. Terlihat bahwa bubuk kakao mengandung senyawa polifenol yang paling tinggi dibandingkan produk kakao lainnya. Misnawi et al (2003) menyatakan bahwa biji kakao mengandung polifenol 12-18 g/100 g. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zairisman (2006) terhadap beberapa jenis kakao, diketahui bahwa kandungan polifenol total pada bubuk kakao lindak bebas lemak nonfermentasi dari varietas bulk masak lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya yaitu sekitar 4,43 g/100 g. 20 Tabel 2 Komposisi kimia bubuk kakao per 100 gram Komposisi Energi Lemak Karbohidrat Protein Kalium Natrium Kalsium Besi Seng Tembaga Mangan Air Kadar abu Jumlah 228,49 Kcal 13,50 g 53,35 g 19,59 g 1,50 g 8,99 mg 169,45 mg 13,86 mg 7,93 mg 4,61 mg 4,73 mg 2,58 g 6,33 g Sumber: Cheney (1999) Tabel 3 Komposisi kimia bubuk kakao lindak bebas lemak per 100 gram Komposisi Jumlah Lemak 2,59 g Karbohidrat 51,40 g Protein 28,08 g Air 10,42 g Kadar abu 7,51 g Tabel 4 Kandungan total polifenol produk kakao Produk kakao Bubuk kakao Cokelat Susu cokelat Jumlah polifenol total (g/100g) 2,00 0,84 0,50 Sumber: Wollgast dan Anklam (2000) Manfaat produk olahan kakao terhadap kesehatan sudah banyak dilaporkan. Kakao berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi epikatekin dan penurunan produk oksidasi di dalam plasma (Rein et al 2000a), menekan aktivasi platelet, sehingga dapat mencegah penyakit aterosklerosis dan jantung koroner (Rein et al 2000b, Murphy et al 2002), mengurangi kerentanan oksidatif pada low density lipoprotein (LDL) plasma (Mathur et al 2002).