BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era kompetitif, semua negara berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, karena kualitas pendidikan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat pada suatu negara. Melalui pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas yang mampu mengelola sumber daya alam (SDA) secara efektif dan efisien. Dengan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, produtivitas negara akan meningkat, dan pada akhirnya diharapkan akan mampu meningkatkan daya saing dan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan bukan melulu penerapan teori belajar dan pembelajaran di ruang kelas. Pendidikan merupakan ikhtiar yang komplek untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebuah bangsa (Baharidin &Esa, 2010) . Sistem pendidikan Indonesia lebih memfokuskan profesionalisme di semua aspek dunia pendidikan, agar terjadi peningkatan kualitas pendidikan yang berkelanjutan dan terus dipertahankan. Akan tetapi kondisi di era kompetitif dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi berjalan cepat sehingga tidak sebanding dengan percepatan ketersediaan Sumber Daya Manusia (Isjoni,2008). Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas diperlukan sistem pembelajaran yang berkualitas pula. Kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia akan meningkat jika sistem pendidikan di negeri ini dijalankan dengan 1 2 baik. Terciptanya undang-undang sistem pendidikan nasional No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal I menyatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual., keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, kepribadaian, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa keberhasilan pendidikan terkait erat dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan sistem pembelajaran yang ditunjang dengan suasana pembelajaran yang menyenangkan yaitu salah satunya dengan memilih model- model pembelajaran inovatif yang tepat sesuai dengan potensi diri siswa. Situasi masyarakat yang berubah, idealnya pendidikan tidak hanya berorientasi pada masa lalu dan masa kini akan tetapi seharusnya merupakan proses yang mengantisipasi dan membicarakan masa depan. Menurut Buchori (2001) bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan para siswanya untuk suatu profesi atau jabatan , tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia pendidikan terdapat suatu masalah, salah satu masalah pokok pada pendidikan formal dewasa ini adalah daya serap peserta didik. Hal ini tampak rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih memprihatinkan. Prestasi ini tentunya adalah hasil dari kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri. (Trianto, 2007). 3 Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan sejarah maka harus didukung oleh iklim pembelajaran yang kondusif. Tidak mudah mengajarkan sejarah kepada siswa. Banyak pendidik yang menemukan berbagai masalah saat mengajar di dalam kelas khususnya dalam mengajarkan mata pelajaran sejarah. Siswa masih mengalami kesulitan memahami dan menguasai materi sejarah, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik sehingga siswa merasa jenuh saat mengikuti proses belajar mengajar di dalam kelas, alhasil evaluasipun kurang maksimal. Kenyataan dari hal ini dapat dilihat dari hasil belajar siswa yang masih banyak siswa yang nilainya di bawah KKM (Kriteria Kelulusan Minimal) . Memperhatikan tujuan dan esensi pendidikan sejarah, sebaiknya penyelenggaraan pembelajaran sejarah mampu mempersiapkan, membina, dan membentuk kemampuan peserta didik yang menguasai pengetahuan, sikap, nilai, dan kecakapan dasar yang diperlukan bagi kehidupan masyarakat. Berdasarkan analisis konseptual dan kondisi pendidikan sejarah, ternyata tidak sedikit dari para siswa kesulitan dalam mengikuti mata pelajaran karena model yang dipilih dan digunakan oleh guru dirasakan kurang tepat (Sholihatin & Raharjo,2008:1). Dengan demikian potensi siswa dalam belajar kurang terlatih dan proses belajar mengajar akan berlangsung kaku sehingga kurang mendukung pengembangan pengetahuann, sikap, moral, dan keterampilan siswanya. Pemilihan model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kurikulum dan potensi siswa harus dimiliki oleh seorang guru. Dewasa ini kondisi proses belajar-mengajar di kalangan sekolah masih berpusat pada guru. Masih 4 sedikit yang mengacu pada keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar itu sendiri. Kondisi seperti ini juga ditemukan pada pembelajaran sejarah yaitu pembelajaran hanya menekankan pada aspek kognitif saja, Kurang melibatkan siswa sehingga siswa kurang mandiri dalam belajar bahkan cenderung pasif di ruang kelas (di ruang kelas siswa hanya diam, mendengarkan dan catat). Bagaimana mungkin guru dapat mengajar muridnya untuk aktif dalam pembelajaran sedangkan sebagian guru sendiri terpola pada pembelajaran yang kurang melibatkan siswa secara aktif. Selain itu rendahnya pemahaman siswa dalam pembelajaran sejarah juga mempengaruhi hasil belajar. Pemahaman dalam pembelajaran sejarah tidak hanya sekedar menghafal nama dan peristiwa dalam materi pembelajaran. Tapi juga memahami bagaimana peristiwa itu terjadi dan apa pesan yang bisa diambil dari peristiwa sejarah tersebut. Melihat fenomena tersebut, maka Sholihatin & Raharjo (2008) berpendapat bahwa : Isu yang sering diangkat oleh media cetak dan elektronik tentang rendahnya mutu pendidikan kita dewasa ini secara kualitatif diduga disebabkan model pembelajaran yang dianut didasarkan atas asumsi tersembunyi bahwa pelajaran IPS adalah suatu pengetahuan yang bisa dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa(hlm.2). Memilih dan menetapkan prosedur, model, dan teknik belajar-mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif merupakan masalah pokok dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Model atau teknik penyajian untuk memotivasikan anak didik agar mampu menetapkan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, berbeda dengan cara atau model supaya anak didik terdorong dan mampu berpikir bebas dan cukup keberanian 5 untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Perlu dipahami bahwa suatu model mungkin hanya cocok dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi dengan sasaran yang berbeda, guru hendaknya jangan menggunakan teknik penyajian yang sama. Bila beberapa tujuan ingin diperoleh, maka guru dituntut untuk memiliki kemampuan tentang penggunanan berbagai model yang relevan. Cara penyajian yang satu mungkin lebih menekankan kepada peranan peserta didik, sementara teknik penyajian yang lain lebih berfokus kepada peranan guru atau alat-alat pengajaran seperti buku, ataupun mesin komputer (Syaiful B.D, 1995) Sesuai dengan simpulan Hanun (2004) bahwa pada pengajaran konvensional guru lebih mendominasi aktivitas pengajaran. Guru adalah penyampai materi pelajaranan yang berdiri di depan kelas, sehingga pada saat keadaan ramai siswa menjadi pendengar yang pasif. Atau guru yang menyampaikan tujuan pelajaran, kemudian disertai dengan belajar kelompok atau perbincangan kelas yang didominasi oleh siswa yang cerdas saja. Siswa yang lemah kurang aktivitas dalam kelas ((Isjoni, mohd.arif & ismail ,2008). Atas dasar asumsi tersebut di atas, mungkin guru sudah merasa mengajar dengan baik tetapi siswanya tidak belajar sehingga terjadi salah konsep antara guru dalam mengajar dengan target dan misi dari pembelajaran sejarah .Sehubungan dengan permasalahan yang terjadi tersebut, maka upaya peningkatan mutu pendidikan dalam proses belajar mengajar dalam pembelajaran sejarah harus dilakukan. Salah satu model pembelajaran yang sedang buming saat ini adalah model Cooperative Learning. Model pembelajaran cooperative learning ini berangkat dari dasar pemikiran getting better toghether yang menekankan pada 6 pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif kepada mahasiswa untuk memperoleh serta mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai dan keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupan di masyarakat. Di dalam pembelajaran mengunakan model cooperative learning, siswa bukan hanya belajar dan menerima apa saja yang disajikan oleh guru dalam pembelajaran melainkan dapat belajar dari siswa lainnya serta mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa lain. Di samping itu kemampuan siswa untuk belajar mandiri dapat lebih ditingkatkan (Sholihatin &Raharjo ,2008). Salah satu tipe model pembelajaran Cooperative Learning adalah TGT (Team Game Tournament) dan Jigsaw. Mengenai model pembelajaran TGT pada mulanya dikembangkan oleh David De Vries dan Keith Edwards, ini merupakan model pembelajaran pertama dari John Hopkins. Model ini menggunakan pelajaran yang sama yang disampaikan guru dan tim kerja yang sama seperti STAD, tetapi menggantikan kuis turnamen mingguan, dimana siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan game ini bersama tiga orang pada “mejaturnamen”, dimana ketiga peserta dalam satu meja turnamen ini adalah para siswa yang memiliki rekor nilai terakhir yang sama. Model pembelajaran yang kooperatif merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang interaksi antara guru dengan siswa, juga antara siswa dengan guru. Kondisi seperti inilah yang sangat diharapkan agar interaksi berjalan baik demi kelancaran pembelajaran. TGT dan Jigsaw merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang mana melatih interaksi siswa dengan siswa yang 7 lainnya melalui jalan diskusi. Melalui kelompok diskusi yang terbentuk dari masing-masing kelompok belajar ini nantinya akan terjadi antar siswa yang mana setiap anggota kelompok saling mempengaruhi. Oleh sebab itu pentingnya pembelajaran model TGT dan Jigsaw ini diharapkan mampu mengatasi kejenuhan yang terjadi dikelas selama KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) berlangsung. Karena model pembelajaran kooperatif akan mampu membuat suasana yang atraktif diantara siswa dan guru. Menurut Kagan (1989) “ Model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan pencapaian belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran yang individualistik”. Pembelajaran kooperatif akan berhasil apabila masing-masing siswa telah menguasai ketrampilan-ketrampilan kooperatif yang merupakan aktifitas belajar dalam kerja kelompok. Tingkat keberhasilan siswa dalam belajar juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, Selain faktor teknik, metode, model pembelajaran juga dipengaruhi oleh konsep diri siswa tersebut. Siswa yang cenderung berprestasi rendah pada suatu mata pembelajaran akan mengakibatkan siswa yang bersangkutan merasa minder dan kurang percaya diri atau memiliki perasaan tidak mampu. Khususnya dalam mata pelajaran sejarah, pemahaman materi yang mana nantinya akan mempengaruhi prestasi belajar siswa juga merupakan salah satu hal yang sangat penting. Pemahaman sejarah tentunya merupakan tujuan dari pembelajaran sejarah, karena itu maka dalam pembelajaran sejarah yang dilakukan juga mengacu kepada tingkat pemahaman sejarah siswa tersebut. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa konsep diri akademis memiliki pengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa. Konsep diri akademis 8 berkaitan erat dalam bidang psikologi dan pendidikan yang memengaruhi prestasi akademis, fungsi sosial, dan keadaan emosi seseorang. Konsep diri akademis juga memengaruhi persepsi mengenai kemampuan diri dalam setiap mata pelajaran, juga akan mempengaruhi kemampuan berfikir kritis siswa tersebut. Mengingat pentingnya kemampuan berfikir kritis siswa, maka dalam kegiatan belajar mengajar lebih banyak terpengaruh oleh kemampuan berfikir kritis. Sedangkan siswa tersebut hendaknya bisa memotivasi dirinya sendiri untuk lebih bisa menumbuhkan minat dalam pembelajaran. Dengan adanya kemampuan berfikir kritis dalam belajar tentunya akan menambah hasil prestasi belajar yang memuaskan. Berfikir kritis merupakan salah satu hal yang penting dalam proses pembelajaran siswa. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan mengangkatnya ke dalam Tesis yang berjudul : Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Jigsaw Dan Teams Games Tournament (TGT) Terhadap Pemahaman Sejarah Ditinjau Dari Kemampuan Berfikir Kritis Siswa Dalam Pembelajaran Sejarah Pada Siswa Kelas XI SMA Negeri Di Kecamatan Kota Wonogiri Tahun Ajaran 20152016 B. Identifikasi masalah Identifikasi masalah merupakan uraian tentang beberapa persoalan yang berhubungan tentang variabel yang akan diteliti. Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan di atas maka identifikasi masalah dalam penelitian ini, adalah : 9 1. Apakah ada pengaruh penggunaan model Jigsaw dan TGT dapat melatih pemahaman sejarah siswa 2. Apakah penggunaan model pembelajaran dapat melatih pemahaman sejarah siswa 3. Apakah perlu penggunaan model Jigsaw dan TGT untuk melatih pemahaman sejarah siswa 4. Apakah model Jigsaw dan TGT merupakan model yang paling efektif 5. Apakah pemilihan dan penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat melatih pemahaman sejarah siswa? C. Pembatasan Masalah Dari beberapa masalah yang diidentifikasi maka penelitian ini perlu dibatasi agar memperoleh hasil yang maksimal. Oleh karena itu, pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model Jigsaw, TGT, dan berfikir kritis. 2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pemahaman sejarah siswa pada pembelajaran sejarah. D. Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya masingmasing sebagai berikut : 10 1. Adakah perbedaan pengaruh penggunaan model pembelajaran Jigsaw dan TGT, terhadap pemahaman sejarah siswa dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri di Kecamatan Kota Wonogiri? 2. Apakah ada perbedaan pengaruh kemampuan berfikir kritis siswa yang tinggi dan rendah terhadap pemahaman sejarah siswa dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri di Kecamatan Kota Wonogiri? 3. Apakah ada interaksi pengaruh antara model pembelajaran dan tingkat kemampuan berfikir kritis siswa terhadap pemahaman sejarah siswa dalam pembelajaran sejarah SMA Negeri di Kecamatan Kota Wonogiri? E. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan-rumusan diatas, maka tujuan penelitian pendidikan ini adalah untuk: 1. Untuk menganalisis perbedaan pengaruh model pembelajaran Jigsaw dan TGT, terhadap pemahaman sejarah siswa dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri di Kecamatan Kota Wonogiri. 2. Untuk menganalisis perbedaan pengaruh kemampuan berfikir kritis terhadap pemahaman sejarah siswa dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri di Kecamatan Kota Wonogiri. 3. Untuk menganalisis pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan tingkat berfikir kritis terhadap pemahaman sejarah siswa dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri di Kecamatan Kota Wonogiri. 11 F. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: a. Manfaat teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna untuk perkembangan ilmu pendidikan. 2. Penelitian ini juga diharapkan agar dapat dijadikan acuan bagi penelitipeneliti selanjutnya. b. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti, untuk memperoleh gambaran penggunaan model pembelajaran Jigsaw, TGT, dan kemampuan berfikir kritis untuk melatih pemahaman sejarah siswa dalam pembelajaran sejarah berdasarkan permasalahan dan merupakan saran belajar yang baik. b. Bagi guru 1. Sebagai bahan masukan bagi guru sejarah dalam memilih model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan prestasi belajar sejarah. 2. Sebagai bahan masukan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan dan pembelajaran sejarah. 3. Guru dapat mengetahui pembelajaran yang bervariatif, efektif, dan efisien sehingga dapat memperbaiki system pembelajaran di kelas. 4. Guru akan terbiasa menggunakan model pembelajaran dalam proses pembelajaranna 12 c. Bagi siswa 1. Memberi suasana yang menyenangkan 2. Meningkatkan kreatifitas siswa d. Bagi sekolah 1. Memajukan kualitas pendidikan di sekolah tersebut dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi. 2. Mampu menjadi bahan evaluasi bagi pelaksanaan belajar mengajar untuk guru-guru mata pelajaran lainnya pada sekolah di kabupaten Wonogiri.