BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan dan Emosi Berdasarkan kemampuan pengertian membaca, tradisional, menulis, dan kecerdasan berhitung yang meliputi: merupakan keterampilan kata dan angka yang menjadi fokus di dalam pendidikan formal, dan mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang akademis. Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak hanya sebatas itu saja. Pandangan baru yang berkembang mengatakan bahwa ada kecerdasan lain di luar kecerdasan intelektual, seperti: bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dan lain-lain yang harus juga dikembangkan. Temuan David Wechsler (1958) dalam Trisnawati dan Suryaningsum (2003) mendefinisikan kecerdasan sebagai “keseluruhan kemampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan tujuan, untuk berfikir rasional, dan untuk berhubungan dengan lingkungannya secara efektif.” Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) dalam Yuniani (2010) mendefinisikan emosi sebagai “suatu luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat, serta keadaan dan reaksi psikologi dan fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, dan kecintaan.” 8 9 Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecenderungan atau dorongan untuk bertindak (Goleman, 2003). Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia karena emosi dapat menjadi motivator perilaku, dalam arti meningkatkan tetapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari, 1995 dalam Wahyuningsih, 2004). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. 2. Pengertian Kecerdasan Emosional Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire Amerika Serikat untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas itu antara lain: empati (kepedulian), mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, bisa memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat (Shapiro, 2003 dalam Yuniani, 2010). 10 Menurut Salovey dan Mayer dalam Melandy dan Aziza (2006), mendefinisikan kecerdasan emosional adalah sebagai berikut: Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Pada orang-orang yang hanya memiliki kecerdasan akademis yang tinggi tetapi taraf kecerdasan emosionalnya rendah dapat ditandai dengan hal-hal berikut: mempunyai emosi yang tinggi, cepat bertindak berdasarkan emosinya, tidak sensitif dengan perasaan orang lain, cenderung terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan, memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, cenderung menarik diri, terkesan dingin, cenderung putus asa bila mengalami stres, cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat, dan biasanya mempunyai kecenderungan untuk menyakiti dan memusuhi orang lain. Kondisi sebaliknya dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ ratarata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia. 11 3. Unsur Kecerdasan Emosional Menurut Dameria (2005), seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik akan dapat dikenali melalui lima unsur dasar, yaitu: pengenalan diri, penguasaan diri, motivasi diri, empati, dan hubungan yang efektif. Steiner (1997) dalam Trisnawati dan Suryaningsum (2003) menyatakan bahwa kecerdasan emosional mencakup 5 unsur, yaitu: mengetahui perasaan sendiri, memiliki empati, belajar mengatur emosiemosi sendiri, memperbaiki kerusakan sosial, dan interaktivitas emosional. Goleman (2003) yang mengadaptasi model Salovey dan Mayer secara garis besar mengelompokkan kecerdasan emosional ke dalam dua kecakapan (kompetensi), yaitu: a. Kecakapan (kompetensi) pribadi, yang meliputi: pengenalan diri (kesadaran diri), pengendalian diri (pengaturan diri), dan motivasi diri. b. Kecakapan (kompetensi) sosial yang terdiri dari: empati dan keterampilan sosial. Dalam penelitian ini, unsur kecerdasan emosional yang dipakai adalah unsur kecerdasan emosional menurut Goleman, yaitu sebagai berikut: 12 a. Pengenalan Diri / Kesadaran Diri (Self Awareness) Kesadaran diri merupakan kemampuan merasakan emosi tepat pada waktunya dan kemampuan dalam memahami kecenderungan di dalam situasi tersebut. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Goleman (2003) menyatakan bahwa kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan suatu masalah. Gea et al. (2002) dalam Melandy dan Aziza (2006) menyatakan bahwa mengenal diri berarti memahami kekhasan fisiknya, kepribadian, watak dan temperamennya, mengenal bakat-bakat alamiah yang dimilikinya, serta mempunyai gambaran atau konsep yang jelas tentang diri sendiri dengan segala kesulitan dan kelemahannya. Dengan mengenal diri, seseorang dapat mengenal kenyataan dirinya dan sekaligus kemungkinan-kemungkinannya, serta (diharapkan) mengetahui peran apa yang harus dimainkan untuk mewujudkannya. 13 Kesadaran diri yang tinggi dapat memungkinkan seseorang untuk memonitor dan meneliti tindakan yang dilakukannya. Dengan tidak mempunyai kesadaran tinggi, seseorang tidak memiliki informasi yang memadai untuk dapat mengambil keputusan yang efektif. Untuk menghadapi masa depan para mahasiswa diharapkan mampu mengenal diri mereka sendiri sesuai dengan karakteristik kepribadiannya serta keterampilan dasar dari kecakapan emosinya masing-masing. Dengan demikian diharapkan mereka dapat belajar dengan sungguh-sungguh dan menyadari kemampuan yang dimilikinya, menjalankan semua kewajiban yang diembannya, serta mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Sehingga mereka akan belajar dengan maksimal, dalam hal ini akan lebih paham tentang apa yang mereka pelajari sehingga mendapatkan prestasi yang lebih baik dengan kualitas tinggi. b. Pengendalian Diri / Pengaturan Diri (Self Regulation) Menurut Goleman (2000) dalam Maslahah (2007) pengendalian diri merupakan sikap hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan kebijakan yang terkendali, dan tujuannya adalah untuk keseimbangan emosi, bukan menekan emosi, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Mengelola emosi berarti memahaminya, lalu menggunakan pemahaman tersebut untuk menghadapi situasi secara produktif bukannya menekan emosi dan menghilangkan informasi berharga yang disampaikan oleh emosi kepada diri sendiri. 14 Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri sendiri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan, dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan diri (Goleman, 2000). Di lingkungan kampus mahasiswa harus dapat mengendalikan suasana hati diri sendiri. Suasana hati bisa sangat berkuasa atas pikiran, ingatan, dan wawasan. Diharapkan mahasiswa dapat mengendalikan emosinya secara tepat dalam keadaan apapun agar memberikan ketenangan suasana hati yang lebih baik sehingga dapat menjadi lebih fokus pada saat melakukan suatu kegiatan. c. Motivasi (Motivation) Menurut Goleman (2000) dalam Maslahah (2007) motivasi didefinisikan sebagai berikut: Motivasi adalah suatu konsep yang digunakan dalam menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku atau segala sikap yang menjadi pendorong timbulnya suatu perilaku. Motivasi dapat bersumber dari dalam diri seseorang (motivasi internal atau motivasi intrinsik), akan tetapi dapat pula bersumber dari luar diri orang yang bersangkutan (motivasi eksternal atau motivasi ekstrinsik). Motivator yang paling berdaya guna adalah motivator dari dalam diri seseorang. 15 Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu: antusianisme, gairah, optimis, dan keyakinan diri. Mahasiswa yang memiliki upaya untuk meningkatkan diri menunjukkan semangat juang ke arah penyempurnaan diri yang merupakan inti dari motivasi untuk meraih prestasi. Seorang mahasiswa yang termotivasi untuk berprestasi akan lebih jeli menemukan cara-cara untuk belajar lebih baik, untuk berusaha, dan untuk membuat inovasi atau menemukan keunggulan kompetitif. d. Empati (Empathy) Menurut Goleman (2003) empati adalah “kecerdasan terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.” Pada tingkat yang paling rendah, empati mempersyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain. Pada tataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan kita mengindra dan menanggapi kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Pada tataran yang paling tinggi empati adalah menghayati masalah-masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang. 16 Menurut Goleman (2000), kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Goleman dalam Mu’tadin (2002) berpendapat bahwa empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain. Empati yang lebih tinggi memberi lebih banyak informasi, dan semakin banyak informasi yang didapat mengenai sesuatu, maka akan semakin memahaminya. Sensitivitas emosional dan kesadaran yang lebih tinggi meningkatkan tingkat empati yang kemudian akan memimpin kepada tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Sebenarnya empati membuat seseorang lebih tegas dan sadar diri, karena empati memberi informasi yang kaya tentang orang lain dan hubungannya dengan orang lain. Mengetahui perasaan orang lain membantu seseorang menghargai individualitasnya. Empati juga 17 memotivasi dan mengilhami tindakan, menjadikannya sumber daya yang memberdayakan bagi kehidupan pribadi dan sosial. Di kalangan mahasiswa yang paling efektif dari empati adalah mempunyai kemampuan paling tinggi dalam mengelola emosi tubuh diri sendiri mulai dari mendengar, memahami, dan bersosialisasi dalam pergaulan di lingkungan kampus. e. Keterampilan Sosial (Social Skill) Keterampilan sosial bisa diperoleh dengan banyak berlatih. Salah satu kunci keterampilan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri. Oleh sebab itu, untuk dapat menguasai keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain (keterampilan sosial) dibutuhkan kematangan dua keterampilan emosional yang lain, yaitu: pengendalian diri dan empati. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Tanpa komunikasi, entah itu bahasa isyarat, bahasa tubuh, atau percakapan tatap muka, tidak akan ada pertalian sehingga tidak ada hubungan interpersonal yang terjadi. Komunikasi membentuk koneksi, dan koneksi menghasilkan hubungan. Menurut Jones (1996) dalam Melandy dan Aziza (2006), kemampuan membina hubungan dengan orang lain adalah serangkaian pilihan yang dapat membuat seseorang mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. 18 Dalam hubungannya dengan dunia kampus, keterampilan sosial mahasiswa dapat dilihat dari bagaimana cara bersosialisasi dengan mahasiswa lain. Sinkronisasi antar mahasiswa menunjukkan seberapa jauh hubungan yang dirasakan. Dengan menjalin komunikasi antar mahasiswa akan menciptakan sebuah interaksi yang efektif dalam rangka meningkatkan pengetahuan (wawasan) dan pemahaman di bidang akuntansi. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Walgito (1993) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional menjadi dua faktor, yaitu: a. Faktor Internal Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber, yaitu: segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan individu. Apabila fisik dan kesehatan seseorang dapat terganggu dapat dimungkinkan mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi psikologis mencakup pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, dan motivasi. di dalamnya 19 b. Faktor Eksternal Faktor ekstemal adalah stimulus dan lingkungan di mana kecerdasan emosi berlangsung. Faktor ekstemal meliputi: 1) Stimulus itu sendiri. Kejenuhan stimulus merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa distorsi. 2) Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses kecerdasan emosi. Objek lingkungan yang melatarbelakangi merupakan kebulatan yang sangat sulit dipisahkan. B. Pemahaman Akuntansi 1. Pengertian Akuntansi Warren, dkk. (2005:10) menjelaskan bahwa secara umum, akuntansi didefinisikan sebagai “sistem informasi yang menghasilkan laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai aktivitas ekonomi dan kondisi perusahaan”. Suwardjono (1991) dalam Trisnawati dan Suryaningsum (2003) menyatakan akuntansi merupakan seperangkat pengetahuan yang luas dan kompleks. Akuntansi sering diartikan terlalu sempit sebagai proses pencatatan yang bersifat teknis dan prosedural dan bukan sebagai perangkat pengetahuan yang melibatkan penalaran dalam menciptakan prinsip, prosedur, teknis, dan metode tertentu. 20 2. Pemahaman Akuntansi Tingkat pemahaman akuntansi mahasiswa dinyatakan dengan seberapa mengerti seorang mahasiswa terhadap apa yang sudah dipelajari, yang dalam konteks ini mengacu pada mata kuliah akuntansi. Tanda seorang mahasiswa memahami akuntansi tidak hanya ditunjukkan dari nilai-nilai yang didapatkannya dalam mata kuliah, tetapi juga mengerti dan dapat menguasai konsep-konsep yang terkait. Mahasiswa dapat dikatakan menguasai atau memahami akuntansi apabila ilmu akuntansi yang sudah diperolehnya selama ini dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat atau dengan kata lain dapat dipraktekkan di dunia kerja. Tingkat pemahaman akuntansi ini dapat diukur berdasarkan nilai rata-rata dari total nilai bobot mata kuliah inti akuntansi yang meliputi: Pengantar Akuntansi I, Pengantar Akuntansi II, Akuntansi Keuangan Menengah I, Akuntansi Keuangan Menengah II, Auditing I, Auditing II, Akuntansi Keuangan Lanjutan I, Akuntansi Keuangan Lanjutan II, dan Teori Akuntansi. Mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang menggambarkan akuntansi secara keseluruhan. 21 C. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya sangat penting untuk diungkapkan karena dapat dipakai sebagai sumber informasi dan bahan acuan yang sangat berguna bagi penulis. Trisnawati dan Suryaningsum (2003), telah melakukan penelitian tentang Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi dengan sampel mahasiswa akuntansi tingkat akhir yang telah menempuh 120 SKS pada STIE YKPN, Universitas Pembangunan Nasional, dan Universitas Islam Indonesia dengan menggunakan alat analisis regresi linear berganda. Hasil pengujian Trisnawati dan Suryaningsum (2003) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pemahaman akuntansi, hal ini disebabkan karena banyaknya faktor-faktor di luar faktor kecerdasan emosional yang berpengaruh dalam kehidupan individual, dalam hal ini mahasiswa. Suryaningsum, dkk. (2004), telah melakukan penelitian tentang Pengaruh Pendidikan Tinggi Akuntansi Terhadap Kecerdasan Emosional dengan sampel mahasiswa akuntansi junior dan mahasiswa akuntansi tingkat akhir pada Universitas Gajah Mada, Universitas Pembangunan Nasional, Universitas Islam Indonesia, STIE YKPN, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta serta karyawan muda yang bekerja pada perusahaan percetakan, fotocopy, pramuniaga toko dan wartel dengan menggunakan alat analisis uji beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional mahasiswa junior dan mahasiswa tingkat akhir jurusan akuntansi berbeda secara signifikan, namun perbedaan itu lebih dipengaruhi oleh faktor usia semata. 22 D. Model Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan maksud meneliti ulang dari penelitian yang telah dilakukan oleh Trisnawati dan Suryaningsum (2003) mengenai pengaruh kecerdasan emosional terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Dalam penelitian ini, kecerdasan emosional dibagi menjadi lima unsur, yaitu: pengenalan diri (kesadaran diri), pengendalian diri (pengaturan diri), motivasi, empati, dan keterampilan sosial yang semuanya merupakan variabel independen. Sedangkan untuk variabel dependennya adalah tingkat pemahaman akuntansi. Model penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut: Simultan (Keseluruhan) Pengenalan Diri (X1) Pengendalian Diri (X2) Tingkat Pemahaman Akuntansi (Y) Motivasi (X3) Empati (X4) Empati (X4) Simultan (Keseluruhan) Variabel Independen Variabel Dependen Gambar 2.1 Model Penelitian