PDF ERNI

advertisement
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Soil-Transmitted Helminths (STH)
STH adalah cacing yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah
yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Ukuran sangat
bervariasi, dimana cacing betina lebih besar dari pada cacing jantan. Siklus
hidup infeksi STH secara umum berupa; cacing dewasa dalam usus manusia
(A.lumbricoides dan hookworm di usus halus, T.trichiura di kolon),
bereproduksi secara seksual dan menghasilkan telur, telur tersebut akan
keluar bersama feses manusia dan akan berkembang pada kondisi lingkungan
yang sesuai. Telur A.lumbricoides dan T.trichiura dapat bertahan hidup di
tanah untuk beberapa bulan, dan larva hookworm dapat bertahan hidup
selama beberapa minggu, tergantung pada kondisi lingkungan yang sesuai.
Infeksi terjadi bila tertelan telur atau larva yang infektif, atau melalui
penetrasi kulit oleh larva hookworm (CDC, 2010).
2.1.1. Ascaris lumbricoides
Cacing dewasa habitatnya di usus halus, berbentuk silindris
memanjang berwarna keputihan. Cacing jantan berukuran 15-31 cm dengan
diamater 2-4 mm, sedangkan cacing betina 20-35 cm dengan diameter 3-6
mm. Dalam rongga usus halus cacing betina dapat bertelur sampai 200.000
telur sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi
(Ideham, 2007).
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi
infektif dalam waktu sekitar 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan
manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, untuk selanjutnya
menembus dinding usus halus dan masuk ke vena porta hati. Bersama aliran
darah vena, larva terbawa sampai ke jantung dan paru-paru. Larva di paruparu menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke
trakea menuju faring. Larva di faring tertelan dan terbawa ke esofagus sampai
Universitas Sumatera Utara
6
ke usus halus dan menjadi cacing dewasa. Proses ini membutuhkan waktu
sekitar 2 bulan (Zulkoni, 2010).
Tanah gembur dengan kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar 2530oC merupakan hal-hal yang sangat baik untuk perkembangan telur sampai
menjadi bentuk infektif (CDC, 2010).
Gambar 2.1. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides.
2.1.2. Trichiuris trichiura
Cacing ini dinamakan cacing cambuk karena tubuhnya menyerupai
cambuk dengan bagian depan yang tipis dan bagian belakangnya jauh lebih
Universitas Sumatera Utara
7
tebal. Cacing ini umumnya hidup di sekum manusia dan tersebar secara
kosmopolitan (Holland, 2002).
Betina panjangnya 35-50 mm dan jantan panjangnya 30-45 mm, telur
betina berukuran 50-54 x 32 mikron, bentuk seperti tong dengan operkulum
di kedua ujungnya. Telur yang keluar bersama tinja penderita belum
mengandung larva, jika telur berada di tanah yang sesuai yaitu tanah yang
lembab di tempat yang teduh, dalam waktu 2-3 minggu telur berkembang
menjadi infektif. Bila telur yang infektif termakan oleh manusia, di dalam
usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum dan
tumbuh menjadi cacing dewasa. Cacing ini memasukkan bagian anterior
tubuhnya ke dalam mukosa usus. Satu bulan sejak masuknya telur ke dalam
mulut, cacing dewasa telah mulai mampu bertelur. Seekor cacing betina
mampu menghasilkan 3000-10.000 butir telur setiap hari. Cacing ini dapat
hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia (Zulkoni, 2010).
Gambar 2.2. Siklus hidup Trichiuris trichiura
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
Di Eropa, Cina, dan Jepang infeksi cacing ini banyak di jumpai pada
pekerja tambang sehingga dinamakan cacing tambang (Ideham, 2007).
Cacing dewasa berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Cacing
betina panjangnya 9-13 mm dan cacing jantan panjangnya 5-11 mm,
mempunyai bursa kopulatriks di ujung posterior tubuhnya. Morfologi
telurnya mirip antara satu spesies dengan lainnya. Telur berbentuk lonjong
tidak berwarna, berukuran 65x40 mikron. Dinding telur tipis, tembus sinar,
dan berisi embrio (Zulkoni, 2010).
Telur yang keluar bersama tinja, 2-3 hari kemudian menetas dan
keluar larva rhabditiform (tidak infektif), selama 2 hari larva rhabditiform
berkembang menjadi larva filariform (infektif) yang tahan terhadap
perubahan iklim dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah lembab. Larva
filariform yang menembus kulit akan memasuki pembuluh darah dan limfe,
beredar di dalam aliran darah, masuk ke dalam jantung kanan, lalu masuk ke
dalam kapiler paru. Larva menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli,
kemudian migrasi ke bronki, trakea, laring, dan faring, akhirnya tertelan
masuk ke esofagus. Larva filariform A.duodenale jika tertelan manusia
melalui makanan atau minuman juga dapat menimbulkan infeksi. Di esofagus
larva berganti kulit untuk yang ketiga kalinya. Migrasi ini berlangsung sekitar
10 hari. Dari esofagus larva masuk ke usus halus, berganti kulit untuk yang
keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu
bulan cacing betina sudah mampu bertelur. Jumlah telur per hari yang
dihasilkan satu ekor cacing betina N.americanus berkisar antara 9.000 10.000, dan cacing betina A.duodenale sebanyak 25.000 – 30.000. Cacing
dewasa dapat hidup selama 5 – 7 tahun di dalam usus halus manusia
(Holland, 2002).
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 2.3. Siklus hidup Hookworm
2.2. Gejala Klinis Infeksi Cacing STH
Migrasi larva STH menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilaluinya.
Misalnya larva A.lumbricoides yang mati saat migrasi melalui hepar dapat
menimbulkan eosinophilic granuloma, di paru-paru migrasi antigen larva
menimbulkan infiltrat eosinofil, dan gangguan saat larva berada di paru yang
disebut sindrom Loeffler dengan gejala batuk, sesak nafas, nyeri pada bagian
subternal, demam dan kadang dapat dijumpai sputum yang bercampur darah.
Beberapa gejala pada kulit seperti pruritus, eritema, ditemukan saat terjadi
migrasi larva hookworm (Bethony, 2006).
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya muncul jika
terdapat cacing dalam jumlah yang cukup besar. Cacing A.lumbricoides
menghisap karbohidrat dan protein. Terdapatnya cacing A.lumbricoides
dewasa dalam jumlah yang besar di usus halus dapat menyebabkan
abdominal distension dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
10
lactose intolerance, malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya.
Hepatobiliary dan pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat masuknya
cacing dewasa dari dudenum ke orificium ampullary dari saluran
empedu,timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses
hati (Holland, 2002).
Pada infeksi T.trichiura yang berat gambaran klinisnya berupa anemia
berat, diare bercampur darah, sakit perut, mual, muntah, serta prolapsus
rectum. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga
terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus,
sehingga mudah terinfeksi oleh Entamoeba histolityca, Shigella, dan bakteri
lain. Pada tempat perlekatannya dapat menimbulkan perdarahan (Zulkoni,
2010).
Pada infeksi Hookworm, akan timbul rasa gatal pada tempat larva
menembus kulit. Cacing dewasa di rongga usus halus selain menghisap darah
juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas isapan. Kehilangan
darah yang kronik ini menyebabkan terjadinya anemia defisiensi zat besi.
Kehilangan protein secara kronik akibat infeksi cacing tambang dapat
menyebabkan hipoproteinemia dan anasarka (Crompton, 2002).
2.3. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat-zat gizi. Kata gizi tidak hanya dikaitkan dengan
kesehatan tapi juga dengan potensi ekonomi seseorang, karena gizi berkaitan
dengan perkembangan otak, kemampuan belajar dan produktivitas kerja
(Almatsier, 2009). Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi
4 (empat) penilaian, yaitu (Supariasa, 2002).
1. Antropometri
Secara
umum
antropometri
adalah
ukuran
tubuh
manusia.
Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai pengukuran dimensi tubuh
dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri digunakan untuk melihat ketidak seimbangan asupan protein
Universitas Sumatera Utara
11
dan energi. Ketidak seimbangan ini terlihat pada pertumbuhan fisik dan
jaringan tubuh.
2. Klinis
Pemeriksan klinis adalah metode yang penting untuk menilai status
gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang
terjadi di jaringan atau organ yang dekat permukaan tubuh, dihubungkan
dengan ketidak cukupan gizi.
3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan yang diuji
secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah dengan melihat
kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur.
Penilaian status gizi secara tidak langsung, antara lain (Supariasa, 2002).
1. Survei konsumsi makanan
Yaitu metode penilaian dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi.
2. Statistik Vital
Merupakan pengukuran dengan menganalisis data beberapa statistik
kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan
dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
3. Faktor Ekologi
Faktor ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain dipandang
sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi.
Penentuan status gizi berdasarkan pemeriksaan antropometri adalah
dengan melihat proporsi berat badan menurut tinggi badan. Berat badan
menurut tinggi badan akan memberikan informasi tentang pertumbuhan dan
status gizi pada anak. Berat badan merupakan penghitungan rata-rata dari
status gizi secara umum
yang memerlukan data lain seperti umur, jenis
kelamin, dan tinggi badan untuk menginterpretasikan data tersebut secara
Universitas Sumatera Utara
12
optimal. Berat badan menurut tinggi badan lebih akurat dalam menetapkan
dan mengklasifikasikan status gizi pada anak (Pulungan, 2010).
Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan adalah grafik
Centers for Desease Control (CDC 2000). Berat badan menurut tinggi badan
dihitung dengan membagi berat badan aktual dengan berat badan ideal dan
dikalikan dengan 100%. Berat badan ideal di dapat dengan menggunakan
grafik CDC 2000. Berdasarkan grafik CDC 2000, status gizi dibagi menjadi 5
kelompok (Sjarif, 2011).
Tabel 2.1. Penentuan status gizi berdasarkan grafik CDC 2000
Status Gizi
BB/TB (% median)
Obesitas
> 120
Overweight
> 110
Normal
> 90
Gizi Kurang
70 – 90
Gizi Buruk
< 70
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status
gizi baik terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang digunakan secara
efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih
zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat gizi
dalam
jumlah
berlebihan
sehingga
menimbukan
efek
toksik
atau
membahayakan. Pada status gizi kurang maupun gizi lebih terjadi gangguan
gizi. Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor
primer adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas dan atau
kualitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kemiskinan,
ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah. Faktor sekunder meliputi semua
faktor yang menyebabkan zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah
makanan dikonsumsi. Faktor yang mengganggu absorbsi zat gizi adalah
adanya parasit di saluran pencernaan, penggunaan laksan. Faktor yang
Universitas Sumatera Utara
13
mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat gizi adalah penyakit hati,
kanker, diabetes melitus. Faktor yang mempengaruhi ekskresi sehingga
banyak kehilangan zat gizi adalah polyuria, banyak keringat dan penggunaan
obat (Almatsier, 2009).
2.4. Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah hasil usaha yang menunjukkan ukuran
kecakapan yang dicapai dalam bentuk nilai. Prestasi belajar dapat
dioperasionalkan dalam bentuk indikator-indikator berupa nilai rapor, indeks
prestasi studi, angka kelulusan, predikat keberhasilan, dan lain-lain (Asnawi,
2012).
Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa,
yaitu: (Syah, 2005).
1. Faktor internal merupakan faktor dari dalam diri siswa yaitu kondisi
jasmani (fisik) dan rohani (psikologis). Keadaan yang sehat, segar, serta
kuat akan memberikan hasil belajar yang baik. Faktor psikologis juga
mempengaruhi prestasi belajar adalah inteligensia, bakat, minat, motivasi,
dan perhatian.
2. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa,
meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat. Dalam lingkungan keluarga setiap siswa memerlukan
perhatian orang tua dalam mencapai prestasi belajarnya yang diwujudkan
dalam hal kasih sayang, memberi nasihat, keadaan ekonomi, dan lain-lain.
Kualitas guru, metode belajar, kesesuaian kurikulum dengan
kemampuan anak, fasilitas di sekolah, keadaan ruangan, dan lain-lain turut
mempengaruhi keberhasilan belajar anak. Lingkungan masyarakat disekitar
siswa sangatlah berpengaruh terhadap belajar siswa. Siswa akan tertarik
untuk berbuat seperti yang dilakukan orang-orang disekitarnya.
Untuk menilai prestasi belajar siswa dilihat dari nilai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) setelah menerima rapor yaitu setelah ujian
sekolah dan pengolahan nilai oleh guru dalam rapor untuk menentukan nilai
ketuntasan belajar siswa. Kriteria untuk nilai KKM ini berdasarkan ketetapan
Universitas Sumatera Utara
14
dari pihak sekolah, yaitu “kurang” jika tidak semua mata pelajaran mencapai
nilai KKM, dan “baik” jika semua mata pelajaran mencapai KKM (PPRI
Nomor 19 Tahun 2005).
Hal ini sesuai dengan petunjuk Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) Tahun 2006 yang menyangkut masalah Standar Kompetensi (SK)
dan Kompetensi Dasar (KD) yang dipandang perlu bagi setiap sekolah untuk
menentukan KKM nya masing-masing sesuai dengan keadaan sekolah
tersebut. Sesuai dengan petunjuk yang ditetapkan oleh BSNP maka ada
beberapa rambu-rambu yang harus diamati sebelum ditetapkan KKM di
sekolah.Adapun rambu-rambu yang dimaksud adalah (Permendiknas Nomor
22 Tahun 2006).
1. KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran.
2. KKM ditetapkan oleh forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
sekolah.
3. KKM dinyatakan dalam bentuk prosentasi berkisar antara 0-100, atau
rentang nilai yang sudah ditetapkan.
4. Kriteria ditetapkan untuk masing-masing indikator idealnya berkisar 75 %
5. Sekolah dapat menetapkan KKM dibawah kriteria ideal ( sesuai kondisi
sekolah)
6. Dalam menentukan KKM haruslah dengan mempertimbangkan tingkat
kemampuan rata-rata peserta didik, kompleksitas indikator, serta
kemampuan sumber daya pendukung.
7. KKM dapat dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS)
sesuai model yang ditetapkan atau dipilih sekolah.
2.5. Dampak Kecacingan
Secara kumulatif, infeksi cacing dapat menimbulkan kerugian zat
gizi berupa kalori dan protein serta defisiensi vitamin A, karena satu ekor
cacing A.lumbricoides akan menghisap karbohidrat sebesar 0,14 gram dan
0,035 gram protein per hari, dan cacing STH membutuhkan vitamin A untuk
kelangsungan hidupnya. Kerugian lain akibat infeksi STH adalah anemia
Universitas Sumatera Utara
15
defisiensi zat besi, karena jumlah kehilangan darah yang disebabkan oleh
seekor cacing T.trichiura dalam sehari sebanyak 0,005 cc, dan hookworm
menyebabkan kehilangan darah sehari sebanyak 0,2 cc (Kepmenkes Nomor
424, 2006).
Kurang kalori ditandai dengan badan lemah, tidak bersemangat, tidak
bisa konsentrasi, dan kurus. Bila anak sekolah kurang kalori, akibatnya tidak
optimal saat menerima pelajaran dan berfikir, badan kurus karena asupan
kalori dari makanan tidak mencukupi. Kekurangan protein ditandai dengan
postur tubuh pendek, mudah sakit, dan perkembangan mental terganggu.
Dampak kekurangan protein pada anak sekolah adalah terhambatnya
pertumbuhan fisik terutama tinggi badan, terhambatnya perkembangan otak
karena otak membutuhkan protein untuk membangun dan menjaga sel-sel
otak, juga mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap
penyakit karena protein dibutuhkan untuk antibodi. Akibat dari kekurangan
vitamin A yaitu gangguan mata seperti rabun senja, dan dapat menyebabkan
terganggunya perkembangan otak karena vitamin A membantu membangun
protein otak (Almatsier, 2009).
Anemia defisiensi besi pada anak sekolah akan mengakibatkan anak
menjadi lesu, cepat lelah, tidak bersemangat, hal ini karena anak kekurangan
oksigen secara kronis. Anak yang pernah kekurangan zat besi menunjukkan
skor motorik dan tingkat kecerdasan (IQ, Inteligensi Quotient) lebih rendah,
sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan belajar dan gangguan
kecerdasan serta menurunnya daya ingat sehingga prestasi sekolah jadi
rendah. Zat besi juga turut berperan dalam pembentukan neurotransmitter
dopamine, sehingga anak yang kekurangan zat besi akan kekurangan
dopamine yang memperlihatkan perilaku hiperaktif. Ada hubungan yang
signifikan antara konsentrasi sel darah merah dan perkembangan kognitif atau
nilai prestasi di sekolah (Crompton, 2002).
2.6. Pencegahan dan pemberantasan kecacingan
WHO menganjurkan pencegahan dan pemberantasan kecacingan
dengan tiga cara yaitu pengobatan, sanitasi dan pendidikan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
16
Pengobatan bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dengan menurunkan
gangguan akibat infeksi STH. Pemberian obat pada masyarakat dapat
dilakukan secara: universal (semua penduduk tidak tergantung usia, jenis
kelamin, dan status infeksi diberikan pengobatan), populasi sasaran
(pengobatan diberikan pada kelompok usia dan jenis kelamin tertentu tanpa
memperhatikan status infeksi), selektif (pengobatan diberikan pada individu
yang dipilih berdasarkan diagnosisnya). Obat yang direkomendasikan yaitu
benzimidazole, albendazole, mebendazole, levamisole, pyrantel pamoate.
Anak usia sekolah merupakan kelompok risiko tinggi untuk menderita infeksi
STH dengan intensitas yang tinggi. Pengobatan secara teratur dapat
mencegah terjadinya kesakitan yang kemudian mampu memperbaiki keadaan
gizi dan kognitif anak anak (WHO, 2006).
Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH
dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Pendidikan kesehatan
bertujuan untuk menurunkan penyebaran dan terjadinya reinfeksi dengan cara
memperbaiki perilaku kesehatan (Bethony, 2006).
2.7. Alur Penelitian
Alur penelitian yang dibangun dalam penelitian ini sebagai alur
pengkajian guna menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian disajikan
pada gambar 2.6. berikut.
Universitas Sumatera Utara
17
Populasi terjangkau
(159 anak SDN Bagan Kuala)
Pemeriksaan Infeksi STH
(Kato-Katz)
Albendazole
(400mg)
STH (+)
Status Gizi
(BB & TB):
-
Nilai Rapor
Status Gizi
(BB & TB):
KKM
Obesitas
Overweight
Normal
Gizi kurang
Gizi buruk
STH (-)
-
Nilai Rapor
KKM
Obesitas
Overweight
Normal
Gizi kurang
Gizi buruk
Gambar 2.4. Alur Penelitian
2.8. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
STATUS GIZI
INFEKSI STH
NILAI RAPOR
Gambar 2.5. Kerangka konsep
Universitas Sumatera Utara
Download