I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitin merupakan homopolimer dari β-1,4 N-asetil-D-glukosamin (GlcNAc) dan polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin berpotensi ditemukan pada kulit crustaceae (kepiting, udang dan lobster), ubur-ubur, komponen struktural eksoskeleton insekta, dinding sel fungi (22-40%), alga, nematoda, binatang ataupun tumbuhan (Yurnaliza, 2002). Keberadaan kitin yang melimpah di alam ini merupakan salah satu potensi yang layak untuk dikembangkan. Kitin merupakan bahan dasar yang dapat diaplikasikan di berbagai bidang seperti biokimia, obat-obatan, pangan, gizi, enzimologi, industri kertas, tekstil, pengawet dan antibiotik (Yurnaliza, 2002). Kitin dan turunanya memiliki beberapa keistimewaan yaitu mempunyai sifat baemostatic (menghentikan pendarahan), memberikan efek makrofag, menghambat pertumbuhan jamur dan bakteri, merangsang pembentukan sel epitel terutama pada luka bakar, mempercepat pertumbuhan lapisan dermis, pembuluh darah dan syaraf, bahkan dengan adanya pembebasan Nasetilglukosamin oleh kitin ke dalam jaringan luka dapat merangsang pembelahan fibroblas dan kolagen serta merangsang sintesis asam hialuronik sehingga luka menjadi lekas sembuh (Rosid, 2009). Meskipun kitin memiliki aplikasi yang sangat luas, akan tetapi sifatnya yang tidak mudah larut dalam air menyebabkan kitin sulit diaplikasikan. Untuk meningkatkan kelarutan, kitin perlu dimodifikasi menjadi turunannya karena semakin kecil berat molekul dari suatu senyawa, maka semakin tinggi kelarutannya dan reaktivitasnya (Fawzya et al., 2009). Metode modifikasi kitin dapat dilakukan secara kimiawi maupun biologis. Modifikasi kitin secara kimiawi menggunakan asam pekat seperti asam klorida (HCl). Namun cara ini kurang efektif karena tidak ramah lingkungan sehingga perlu adanya pengolahan limbah, yang memerlukan biaya yang besar. Selain itu reaksi yang terjadi tidak mudah dikendalikan dan turunan kitin yang dihasilkan memiliki berat molekul dan derajat deasetilasi yang tidak seragam (Tsigos et al., 2000). Hal ini karena proses hidrolisis rantai kitin berlangsung secara acak sehingga menghasilkan rantai yang bervariasi dan menghasilkan GlcNAc yang lebih sedikit (kurang dari 65%) serta sulit dikontrol (Sashiwa et al., 2002). Metode modifikasi kitin secara biologis dapat 1 dilakukan dengan bantuan kitinase yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik. Kitinase sendiri memiliki sifat fungsional yang unik dalam menghasilkan monomer-monomer GlcNAc yaitu terkendali, predictable, efisien, selektif dan proses reaksi yang terjadi tidak menghasilkan produk samping sehingga ramah lingkungan (Kolodziesjka et al., 2000). Menurut Chasanah et al. (2009), kitinase termasuk ke dalam kelompok enzim hidrolase yang dapat mendegradasi kitin secara langsung menjadi produk dengan berat molekul kecil, yang dihasilkan oleh mikroorganisme, baik secara intra maupun ekstraseluler (Noviendri et al., 2008). Mikroorganisme prokariot penghasil kitinase umumnya berasal dari kelompok bakteri yaitu Pseudomonas, Vibrio, Photobacterium, Actinomycetes, Bacillus, Aeromonas, Streptomyces dan Clostridium. Selain itu, kitinase juga dihasilkan oleh mikroorganisme eukariotik, seperti Myxomycetes, Zygomycetes, Deuteromycetes, Ascomycetes dan Basidiomycetes (Noviendri et al., 2008). Bakteri penghasil enzim kitinase dapat dideteksi dan diisolasi melalui terbentuknya zona bening pada medium agar selektif (Purwani et al., 2002). Habitat bakteri kitinolitik umumnya adalah lingkungan yang mengandung kitin dalam jumlah tinggi, seperti eksoskeleton crustacea (Vogan et al., 2002), kompos dengan kandungan kitin (Sakai et al., 1998), serta air dan sedimen laut (Brzezinska dan Donderski, 2001). Selain itu bakteri kitinolitik juga dapat ditemukan pada produk olahan maupun limbah hasil perikanan. Limbah crustacea yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan beberapa produk pangan seperti petis dan terasi, sangat berpotensi memiliki kandungan bakteri kitinolitik. Beberapa penelitian telah berhasil mengisolasi bakteri kitinolitik dari terasi (Noviendri et al., 2008) dan limbah udang (Krisnawang et al., 2006). Serta mengkarakterisasi kitinase yang dihasilkan (Noviendri et al., 2008). Sebanyak 34 bakteri kitinolitik telah diisolasi dari petis udang yang diolah secara tradisional (Premono, 2013). Penelitian ini merupakan uji tahap lanjutan dari Premono (2013) untuk mengetahui aktivitas spesifik kitinase yang dihasilkan. Sebanyak 5 isolat bakteri kitinolitik yang memiliki nilai Indeks Kitinolitik (IK) terbesar dipilih dalam penelitian ini. Diduga isolat yang didapat merupakan bakteri kitinoltik yang tahan terhadap perlakuan pengolahan petis sehingga kitinase yang dihasilkan memiliki ketahanan terhadap perlakuan pengolahan. 2 B. Tujuan 1. Mengetahui kurva pertumbuhan, produksi protein ekstraseluler dan uji aktivitas kitinase pada medium kitin cair dari lima isolat bakteri kitinolitik. 2. Purifikasi parsial kitinase dari isolat bakteri terpilih dengan presipitasi amonium sulfat dan dialisis. 3. Mengetahui karakteristik kitinase hasil purifikasi parsial pada berbagai kondisi suhu dan pH. 3