8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan atau

advertisement
8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki
dan perempuan bersuami isteri.1 Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum islam bagi yang beragama islam, artinya perkawinan itu
dilakukan harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebagaimana diatur
dalam kompilasi hukum islam. Selain itu syarat-syarat perkawinan juga diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena perkawinan yang dilangsungkan
tidak menurut syarat sahnya ataupun rukun perkawinan sebagaimana diatur
didalam undang-undang tersebut, maka perkawinannya dapat dibatalkan.
Perkawinan bertujuan bukan saja untuk hidup dalam pergaulan yang
sempurna dalam mengatur rumah tangga yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan
saling cinta-mencintai, tetapi terutama sebagai suatu tali yang amat teguh dalam
memperkokoh tali persaudaraan antara kaum kerabat si suami dan kaum kerabat si
isteri.2
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan bahwa pengertian perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang bertujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2004,
hlm 453
2
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Kencana, 2004, Jakarta, hlm.12.
Universitas Sumatera Utara
9
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Sidi Gazalba bahwa tidak merupakan
perkawinan jika ikatan lahir bathin tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal
dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3
Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, tetapi bukan berarti bahwa
perjanjian ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang diatur dalam Buku III
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian
biasa, para pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk
perjanjiannya, sebaliknya dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi
dan bentuk perjanjiannya selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku.
Perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal,
kecuali karena suatu hal diluar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat
diputuskan, misalnya dengan perceraian atau pembatalan perkawinan. Pemutusan
perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa,
dimana telah ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya, seperti sebab putusnya
ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibat pemutusannya. Lain halnya
dengan perkawinan,hal ini tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah
yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus,
antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat
persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian
berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.4
3
Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 44
4
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 2002, hlm.10
Universitas Sumatera Utara
10
Perkawinan dapat berakhir karena beberapa hal yaitu karena perceraian
atas tuntutan atau permohonan dari salah satu pihak terhadap pihak lainnya dan
juga karena pembatalan perkawinan. Setiap perkawinan yang telah dilangsungkan
dapat dibatalkan secara hukum dan juga dapat dimohonkan pembatalannya
apabila dalam pelaksanaan perkawinan itu ternyata tidak memenuhi salah satu
dari keseluruhan syarat-syarat sahnya perkawinan.
Pekawinan yang batal secara hukum adalah apabila perkawinan telah
dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat dan rukun perkawinan, sedangkan
suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya ke Pengadilan Agama jika
pelaksanaan perkawinan itu telah melanggar salah satu syarat-syarat dan rukun
perkawinan.5 Pelaksanaan gugatan pembatalan perkawinan dapat dilaksanakan
dengan cara mengajukan tuntutan atau gugatan kepada Pengadilan Agama dengan
tata cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan ketentuan hukum dan peraturan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Prakteknya sering terdengar kasus bahwa perkawinan telah berlangsung
sesuai dengan kehendak yang melangsungkan perkawinan, tetapi bertentangan
dengan kehendak pihak lain, misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria
atau dari keluarga wanita. Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini
menyebabkan tidak adanya kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya
dengan terpaksa ikatan perkawinan tersebut diputuskan.
Adapula perkawinan yang diputus batal oleh hakim karena pihak yang
bersangkutan tidak melengkapi syarat atau rukun sah dari suatu perkawinan,
5
Ibid, hlm.16
Universitas Sumatera Utara
11
dengan kata lain yang bersangkutan tidak memenuhinya. Sehingga dengan tidak
terlengkapinya persyaratan atau syarah sah perkawinan tersebut dapat dinyatakan
batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang ada.
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
secara tegas menyebutkan bahwa suatu perkawinan hanya dapat dibatakan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan. Melanggar
syarat-syarat perkawinan adalah jika suami isteri yang telah melangsungkan
perkawinan melanggar salah satu syarat-syarat sahnya perkawinan yang telah
ditetapkan undang-undang ataupun salah satu pihak telah melanggar syarat sahnya
perkawinan yang ditetapkan oleh hukum agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka jika suatu perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat
perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Ada kemungkinan suatu
perkawinan sudah sah menurut hukum agama, tetapi tidak memenuhi syarat
menurut undang-undang, maka dengan berpedoman pada Undang-Undang
Perkawinan, tentunya perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Persoalannya adalah
banyaknya orang yang melakukan poligami tanpa adanya izin poligami dari
Pengadilan Agama setempat.6
Perkawinan yang dilangsungkan karena tidak adanya izin poligami bukan
hanya berakibat perkawinannya dapat dibatalkan oleh pihak tertentu apabila dia
mengajukan perkara ini ke Pengadilan Agama, akan tetapi juga berakibat kepada
hubungan silaturahmi antara pihak Pemohon dan Tergugat, bukan hanya kedua
belah pihak tersebut, hal ini juga berdampak kekeluarga masing-masing pihak.
6
Ibid, hlm.17.
Universitas Sumatera Utara
12
Kenyataannya di masyarakat dijumpai penyelesaian masalah poligami sulit
dilakukan, sehingga ada kecenderungan penyelesaian masalah poligami tersebut
dengan cara melakukan perkawinan poligami dengan menggunakan identitas
palsu yang berupa akta nikah padahal ia masih terikat perkawinan dengan orang
lain. Dia melakukan perkawinan tersebut tanpa menghiraukan peraturan hukum
yang ada.
Perkawinan ini dilakukan dengan tanpa memandang motivasi dan tata cara
pelaksanaannya benar atau salah, serta agar pelaksanaannya terlepas dari
peraturan yang ada maka pelaksanaannya dengan diam-diam atau dengan sikap
tidak jujur. Sikap tidak jujur disini dilakukan antara lain dengan menggunakan
akta cerai palsu kepada petugas pencatat perkawinan, mereka mengaku berstatus
masih perjaka dengan memperlihatkan identitas palsu, padahal mereka secara
hukum masih berstatus sebagai suami-isteri.
Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa seseorang yang masih
terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali mendapat izin
dari pengadilan. Dengan demikian poligami yang dilakukan tanpa izin dari
pengadilan, apabila ditambah dengan penggunaan identitas palsu dan adanya
unsur penipuan, merupakan perbuatan melanggar hukum dan dapat merugikan
salah satu pihak dan dapat merusak keharmonisan keluarga, disamping itu tujuan
diadakannya perkawinan tidak terpenuhi. Salah satu pihak merasa ditipu oleh
pihak yang lain karena ia tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan syara’
sebagai seorang isteri. Akibatnya salah satu pihak tidak sanggup melanjutkan
Universitas Sumatera Utara
13
perkawinannya atau kalaupun dilanjutkan akan mengakibatkan kehidupan rumah
tangganya memburuk dan Allah tidak menghendaki yang demikian.
Sah dan mengikatnya suatu perkawinan, maka setiap perkawinan harus
dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam ketentuan
perundang-undangan, sebab apabila suatu perkawinan telah dilaksanakan tidak
sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan undang-undang,
maka berakibat bahwa perkawinan yang terjadi pada akhirnya dapat putus dan
berakhir karena pembatalan perkawinan.7
Dengan latar belakang di atas, maka dipilih judul skripsi tentang: “Putusan
Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin Poligami (Studi Kasus
Putusan No. 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn)”.
B. Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam pembatalan perkawinan
karena tidak adanya izin poligami ?
2. Bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan karena tidak adanya izin
poligami ?
3. Apa saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam perkara pembatalan
perkawinan sesuai dengan putusan Nomor: 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah:
7
Achmad Kuzari.,Pembahasan Tentang Kompilasi Hukum Islam, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2000, hlm.9.
Universitas Sumatera Utara
14
1. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Agama dalam pembatalan
perkawinan karena tidak adanya izin poligami.
2. Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan perkawinan karena tidak adanya
izin poligami.
3. Untuk
mengetahui
pertimbangan
hakim
dalam
perkara
pembatalan
perkawinan sesuai dengan putusan Nomor: 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoretis penelitian ini diharapkan menjadi bahan untuk pengembangan
wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoretis yang ingin mengetahui dan
memperdalam tentang pembatalan perkawinan karena tidak adanya izin
poligami.
2. Secara praktis adalah memberikan sumbangan pikiran bagi masyarakat dan
pihak-pihak yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan karena tidak
adanya izin poligami.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif
analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan pelaksanaan hukum positif
yang menyangkut permasalahan di atas.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan
Universitas Sumatera Utara
15
peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan
yang dikemukakan.
3. Metode Pengumpulan Data
Tujuan ini membahas mengenai putusan pengadilan, maka dalam hal ini
data yang dikumpulkan atau dibutuhkan adalah data sekunder. Data
sekunder ialah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui
media perantara berupa menelaah buku-buku literatur, undang-undang,
brosur atau tulisan, yang ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti.
Data sekunder dibedakan dalam:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan
terdiri Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, misalnya hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah)
dari kalangan hukum, dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
misalnya: kamus kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan
sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat
dengan permasalahannya.
4. Analisis Data.
Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu
analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat tanpa
Universitas Sumatera Utara
16
menggunakan rumus-rumus statistik sehingga diperoleh gambaran yang
jelas mengenai pembatalan perkawinan karena tidak adanya izin poligami.
F. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Putusan Pembatalan Perkawinan Karena Tidak
Adanya Izin Poligami (Studi Kasus Putusan No. 255/Pdt.G/2012/PA.Mdn)”. Di
dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang
berkaitan dengan pembatalan perkawinan karena tidak adanya izin poligami, baik
melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun
elektronik dan disamping itu juga diadakan penelitian. Sehubungan dengan
keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi
tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis
oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu
menjadi tanggung jawab saya sendiri.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar
Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan
Universitas Sumatera Utara
17
BAB II : Tinjauan Tentang Perkawinan Poligami meliputi : Pengertian
Perkawinan Poligami, Dasar Hukum Perkawinan Poligami, Alasan-Alasan
Poligami, Syarat dan Izin Poligami.
BAB III Tinjauan Tentang Pembatalan Perkawinan meliputi : Pengertian
Pembatalan Perkawinan, Alasan Pembatalan Perkawinan, Tata Cara Pembatalan
Perkawinan, Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan.
BAB IV
Perkara
Analisis Putusan Tentang Pembatalan Perkawinan Dalam
No. 255/PDT.G/2012/PA.Mdn meliputi : Kasus Posisi dan Analisis
Kasus.
BAB V Kesimpulan dan Saran.
Universitas Sumatera Utara
Download