KONDISI ekonomi Amerika sedang bergejolak, dan im

advertisement
KONDISI ekonomi Amerika sedang bergejolak,
dan im basnya sudah menjarah ke berbagai
pihak. Akar masalahnya ialah keserakahan
kapitalisme global sehingga menanggung utang
publik yang membengkak lebar. Gagal bayar
(debt fault) utang negara itu mencapai US$14,3
triliun. Hal itu nyaris sama dengan angka PDB
sebesar US$14,8 triliun yang membebani setiap
penduduk Amerika sebesar US$46,825,
sedangkan bagi pembayaran pajak mencapai
US$130.000 per kapita.Rasio utang AS pun
terhadap PDB mencapai 98,5%, sedangkan penerimaan pajak hanya 30,5% dan
pembelanjaan 46,5%.
Upaya yang dilakukan pada beberapa waktu lalu pun masih bersifat spontan dalam
mengantisipasi guncangan kelas lanjut, seperti menaikkan pagu utang dari US$14,3 triliun
menjadi US$16,4 triliun yang berkonsekuensi pada pengurangan anggaran belanja
pemerintah sebesar US$2,4 triliun selama 10 tahun.
Perekonomian dunia pun terguncang, resesi global seolah bukan lagi cerita tak bertuan, tak
hanya beberapa negara pemegang surat utang AS yang terpukul pada perekonomian
domestik masing-masing. Yang menjadi pertanyaan penting saat ini ialah bagaimana dengan
Indonesia? Apa hikmah dari peristiwa ini?
Dalam konteks gejolak ekonomi global karena krisis Amerika (dan Eropa), pengaruhnya di
Indonesia dapat dikatakan tidak berasa. Kondisi ekonomi Indonesia cukup kukuh, kinerja
emiten masih dapat diandalkan karena total laba naik menjadi 38,7% pada tahun lalu bila
dibandingkan dengan tahun 2009, laba bersih pun juga mengalami kenaikan sebesar 29,1%.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada penutupan pasar saham hari terakhir pekan lalu
di Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali menguat 21,161 poin (0,54%) ke level 3.890,526. Kurs
rupiah minggu lalu juga relatif stabil di kisaran Rp8.520 (Jawa Pos, 15/08/2011). Jika demikian
adanya, hal yang harus diperhatikan Indonesia dari sekelibat peristiwa itu adalah pada dua
hal. Pertama, AS setidaknya bukan lagi negara yang mendominasi di lingkup keuangan
global, termasuk di dalam negeri. Kedua, keharusan mereformasi kebijakan anggaran yang
bersandar pada utang, bahkan secara radikal, yakni mora torium utang bukan sekadar
wacana semata, melainkan butuh tindakan secara nyata.
Dasar pemikiran tersebut disandarkan pada realitas bahwa hambatan dan lika-liku
perekonomian Indonesia sebagai media mewujudkan kesejahteraan rakyat pada dasarnya
masih sangat panjang. Salah satunya ialah rintanganeksternal, khususnya dunia Barat yang
begitu mendominasi, khususnya dalam sektor keuangan. Maka, kekuatan dari dalam diri
sendiri dan (mungkin) regional merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan. Pada
dasarnya, kebijakan fiskal dan makro dapat bermuara pada kebijakan politik pinjaman. Hal
itulah yang mesti perlu diwaspadai, karena tidak jarang sangat menjebak.
Memang, jika menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp6.422,9 triliun, rasio utang per
Juli 2011 hanya sebesar 26,9%. Jumlah itu terdiri dari pinjaman senilai US$69,4 miliar dan
surat berharga sejumlah US$134,3 miliar. Angka tersebut turun drastis jika dibanding kan
dengan saat kri 1998.
Bandingkan saja dengan, misalnya, utang AS yang kini 100% atas PDB, Yunani 117%, Italia
100%, bah kan Jepang yang mencapai angka 200%. Padahal, utang sebagai batas aman rasio
terhadap PDB sesuai dengan konsensus para ekonom ialah 60% (Tony Prasetiantono,
Kompas, 8/8/2011).
Kendati demikian, kondisi utang u negara yang lebih baik daripada negara lain jangan
dijadikan patokan ataupun alasan diadakannya kebijakan budaya utang. Bila paradigma itu
yang dipegang, yang terjadi ialah potensi multiplier effect penggerogotan anggaran dari
kebijakan utang yang dilakukan secara masif. Seperti rutinitas pembayaran utang yang jatuh
tempo serta bunga pinjaman. Hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perekonomian dalam
negeri.
Bila dilihat, total utang pemerintah hingga Juli tahun ini mencapai Rp1.733,64 triliun.Padahal,
Juni lalu sebesar Rp1.723,9 triliun. Jadi dalam sebulan, utang pemerintah naik menjadi Rp9,5
triliun. Bila dibandingkan dengan jumlah utang pada Desem ber tahun lalu yang sebesar
Rp1.676,85 triliun, jumlah utang hingga Juli 2011 ber tambah Rp56,79 triliun.
Pada 2011 saja, pemerintah harus membayar bunga dan cicilan utang (dalam dan luar
negeri) mencapai Rp240 triliun atau ekuivalen dengan 20% APBN.Maka, utang pada dasarnya
bukan kebijakan yang tepat, bahkan melulu inefisien. Sebab, efisiensi utang dapat berjalan
dengan baik dengan syarat mekanisme transmisi benar-benar berpihak kepada rakyat (propublic government expenditure) seperti modal pelayanan fasilitas publik dan infrastruktur.
Selain itu juga mengharuskan pada mekanisme check and balance dalam mengawal ketat
utang.
Namun, yang terjadi di negara kita, utang malah digunakan sebagai modal untuk
pengeluaran anggaran belanja rutin birokrasi yang mencapai 80%. Bahkan yang lebih tragis,
utang dijadikan instrumen bagi-bagi uang para elite birokrat atau proyek-proyek mainan
yang membuat APBN selalu defisit tiap tahunnya.
Dalam hal ini, utang sebagai dasar efek peningkatan kesejahteraan rakyat malah berdampak
ketidakniscayaan, malah membuat kondisi perekonomian negara selalu dalam keadaan
demam.
Tindakan evaluasi utang yang korelasinya dengan kesejahteraan yang masih hampa perlu
disikapi lebih lanjut.Maka, kebijakan restrukturisasi utang secara radikal patut selalu
disuarakan. Hal tersebut juga sebagai penegasan bahwa pengelolaan pasar keuangan dunia
selama ini malah menghadirkan penyakit sistemis.
Politik anggaran berimbang perlu selalu dilakukan ketimbang politik anggaran defisit.Namun,
kebijakan anggaran berimbang untuk menekan utang negara yang diutarakan Presiden
Yudhoyono tak akan ada artinya jika moratorium utang masih sekadar penghias kata-kata di
atas kertas. Semoga dapat menjadi renungan kita semua.
Agus Suman, Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya
cetak
Download