II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi spons Demospongiae Menurut Adiyodi dan Adiyodi (1992) klasifikasi spons kelas Demospongiae adalah sebagai berikut : Kingdom: Animalia Subkingdom: Metazoa Filum: Porifera Kelas: Demospongiae Subkelas: Homoscleromorpha Ordo: Homoslerophorida Famili: Plakinidae, Oscarellidae Subkelas: Tetractinomorpha Ordo: Astrophorida Famili: Geodiidae, Stelletidae Ordo: Spirophorida Famili: Tetillidae Ordo: Hadromerida Famili: Tethytidae, Chondrosiidae, Polymastidae, Suberitidae, Clionidae Ordo: Axinellida Famili: Axinellidae, Agelasidae, Raspailiidae Ordo: Halichondrida Famili: Halichondridae, Hymeniacidonidae Ordo: Poecilosclerida Famili: Mycalidae, Biemnidae, Myxillidae,Clathriidae, Anchinoidae, Hymedesmiidae Ordo: Nepheliospongida Famili: Petrosiidae 6 Ordo: Haplosclerida Famili: Haliclonidae, Spongillidae Ordo: Dictyoceratida Famili: Spongiidae, Dysideidae Ordo: Verongida Famili: Verongiidae Ordo: Dendroceratida Famili: Halisarcidae 2.2. Morfologi spons Spons adalah hewan yang termasuk ke dalam filum Porifera. Filum Porifera terdiri dari tiga kelas yaitu Calcareae, Demospongiae dan Hexactinellida (Haywood dan Wells 1989, Sara 1992, Amir dan Budiyanto 1996, Rachmaniar 1996, Romimohtarto dan Juwana 1999), sedangkan menurut Warren (1982), Kozloff (1990), Harrison dan De Vos (1991), Ruppert dan Barnes (1991), Pechenik (1991), filum Porifera terdiri dari empat kelas yaitu Calcareae, Demospongiae, Hexactinellida dan Sclerospongia. Kelas Calcareae adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Spons ini mempunyai struktur yang lebih sederhana dibandingkan dengan kelas lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk kalsit. Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang dominan diantara Porifera masa kini. Spons ini tersebar luas di alam serta sangat banyak baik jumlah maupun jenis organismenya. Spons kelas Demospongiae sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit yang dihubungkan dengan ruang-ruang bundar yang bercambuk kecil. Spikulanya terdiri dari silikat, tetapi beberapa ordo (Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida) spikulanya hanya terdiri serat spongin, serat kolagen atau bahkan tidak memiliki spikula. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Mereka kebanyakan hidup di laut dalam dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin (Warren 1982, Brusca dan Brusca 1990, Kozloff 1990, Ruppert dan Barnes 1991, Amir dan Budiyanto 1996, Romimohtarto dan Juwana 1999), sedangkan kelas Sclerospongia merupakan spons yang kebanyakan hidup pada 7 perairan dalam di terumbu karang atau pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau kanal-kanal di terumbu karang. Spons Demospongiae bertipe leukonoida yang kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren 1982, Kozloff 1990, Harrison dan De Vos 1991, Ruppert dan Barnes 1991, Pechenik, 1991). Beberapa struktur kerangka spons dan morfologi spons seperti disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Gambar 2 Beberapa struktur kerangka spons (sumber: Hooper et al. 2003). (a) (b) Gambar 3 Spons laut (a) Cinachyra cylindrica (b) Xestospongia testudinaria (sumber: dokumen Hibah Pascasarjana IPB, 2005). 8 Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi dan biologi lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga melebar. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist 1978, Amir dan Budiyanto 1996). Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis atau masif dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri dari segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk bentuk yang dimiliki spons dapat berag am. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam mulai dari jenis yang berukuran sebesar kepala jarum pentul sampai ke jenis yang ukuran garis tengahnya 0,9 m dan tebalnya 30,5 cm. Jenis-jenis spons tertentu nampak berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Strategi morfologi yang demikian merupakan suatu konsekuensi yang sangat penting bagi avertebrata bentik yang bersifat sesil dalam perjuangannya untuk memperoleh substrat (Jackson 1979, Hoppe 1988 dalam De Voogd et al. 2005). Sebagian spons berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, oranye, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorella yang terdapat di dalamnya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah sianofita (sianobakteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthella e). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenisnya. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap 9 akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson, 1980). 2.3. Habitat spons Spons umumnya terdistribusi tidak sempurna (patchy) dalam densitas yang rendah dengan pengecualian pada beberapa kelompok spons kelas Hexactinellida yang memiliki konsentrasi yang tinggi pada beberapa lingkungan yang spesifik (Barthel dan Gutt 1992, Leys et al. 2004 dalam De Voogd 2005). Spons dapat dijumpai di hampir seluruh jenis perairan yang memiliki substrat yang sesuai sebagai tempat pelekatannya seperti batu, cangkang, karang, tumbuhan, tonggak, badan kapal serta obyek-obyek lainnya yang disediakan oleh aktifitas manusia. Secara umum spons ditemukan melimpah di perairan dangkal pada daerah beting kontinen yang terekpose (Haywood dan Wells 1989). Hal ini didukung oleh pendapat Webber dan Thurman (1991) yang menyatakan bahwa sebagian besar spons ditemukan di perairan yang dangkal pada substrat batuan atau solid dan beberapa diantaranya hidup pada substrat berlumpur. Spons bersifat toleran terhadap perairan yang terekpose, turbulen, tenang dan hanya beberapa spesies yang toleran terhadap perairan tawar serta memiliki distribusi yang sangat terbatas di estuaria. Van Soest dalam Amir (1991) menyatakan bahwa sebagian besar spons dapat bertahan hidup pada perairan yang keruh atau bersedimen. Spons yang hidup di daerah bersedimen atau berlumpur cenderung memiliki akumulasi butiran pasir atau materi asing pada jaringan tubuhnya (Bergquist 1978). Pendapat yang berbeda diberikan oleh Romimohtarto dan Juwana (1999) yang menyatakan bahwa penting bagi spons untuk hidup dalam air yang bersirkulasi, sehingga spons lebih banyak ditemukan dalam air yang jernih dan bukan di air keruh. Faktor fisik seperti gelombang dan arus dapat pula mempengaruhi komposisi spons di perairan. Spongia irregularis, Haliclona pigmentifera, Ircinia ramosa, Hyrtios erectus, Ecionemia acervus, Stelletta clavosa, Pseudaxinella massa, Cinachyra australiensis, Iotrochota baculifera dan Spirartrella vagabunda merupakan contoh spesies spons yang mampu beradaptasi terhadap aksi gelombang, kompetisi, arus, predasi, ombak, kekeruhan, sedimentasi serta kondisi yang terlindung. Kondisi ini diduga disebabkan karena sifat konsistensinya yang 10 kokoh, spongy serta elastis. Bentuk spons ini umumnya ramose dan bercabang pipih. Spesies yang demikian menurut Bergquist dan Tizard 1967 dalam Amir 1992 sangat umum dijumpai di berbagai tempat serta tidak memiliki preferensi bagi biotop yang spesifik. Kelompok spons yang lebih banyak hidup di daerah yang cukup terekspose antara lain Amphimedon sp., Haliclona violacea, Haliclona sp., Aka mucosa, Aka sp., Smenospongia sp., Dysidea herbacea, Erylus lendenfeldi, Cliona sp., Clathria eccentrica, Acanthostylotella cormata dan Myrmeckioderma granulata. Bentuk kelompok spons ini umumnya pendek dan bercabang. Bergquist dan Tizard 1967 dalam Amir 1992 menyatakan bahwa spons yang bercabang lebih banyak hidup di area intertidal yang tidak berlumpur. Pada lingkungan perairan dengan tingkat sedimentasi yang tinggi secara umum didominasi oleh spesies spons Gelliodez pumila, Haliclona cymaeformis, Druinella purpurea, Terpios sp. aff. fugax dan Coelocarteria singaporense. Spons tersebut banyak dijumpai di daerah rataan terumbu. Kelompok ini dicirikan oleh terdapatnya bagian tubuh yang dibenamkan ke dalam sedimen, penjuluran lubang keluar masuk air serta terdapatnya butiran pasir dan debris di dalam jaringannya yang memungkinkan spons mampu bertahan hidup pada lingkungan yang berpasir dan berlumpur. Oceanapia sp., Chondrilla australiensis, Tethya robusta, Rhaphidophlus sp., Ciocalypta heterostyla, Amorphinopsis excavans dan Axinyssa variabilis merupakan spesies spons yang lebih menyukai lingkungan perairan yang berombak besar dan kekeruhan yang tinggi. Kelompok spons ini juga lebih banyak ditemukan di daerah rataan terumbu. Chondrilla australiensis dicirikan oleh konsistensi tubuhnya yang licin dan elastis serta bentuk tubuh membulat, Tethya robusta berbentuk seperti bola (spheric), keras dan elastis, sed angkan Rhaphidophlus sp., Amorphinopsis excavans dan Axinyssa variabilis bercabang dan kaku. Sementara kelompok spons yang lebih menyukai daerah yang terlindung di daerah rataan terumbu memiliki bentuk tubuh yang lebih tegak daripada spons pada daerah yang terekpose. Spesies-spesies yang termasuk kelompok ini antara 11 lain Haliclona hamata, Callyspongia monilata, Liosina paradoxa, Spirastrella solida, Clathria reinwardti dan Clathria fasciculata. Spons di daerah tropik berpotensi fototropik oleh karena nutrien yang ditranslokasikan dari simbiosis sianobakteria dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan energi spons sebagai inangnya (Wilkinson 1983). Tetapi sebagian besar spesies lainnya bersifat heterotropik dimana nutrien diperoleh melalui aktifitas filtrasi makanan pada detritus dan materi seluler yang berbentuk partikulat terutama bakteri (Reiswig 1975, Wilkinson 1978 dalam Wilkinson dan Trott 1983). Selain itu spons juga mampu melakukan asimilasi materi organik yang terlarut secara langsung (Stephens dan Schinske 1961, Wilkinson dan Garrone 1980 dalam Wilkinson dan Trott 1983). Morfologi spons fototropik pada umumnya pipih dengan rasio luas permukaan dan volume yang lebih besar dibandingkan spons heterotropik, tubuh tegak lurus dan berbentuk subspheric (Wilkinson 1983). Spons dari kelas Demospongiae ditemukan cukup beragam di alam yang terdiri dari spons yang memiliki spikul silikat dikelompokkan ke dalam spons silikeus dan yang tidak memiliki spikul silikat yaitu kelompok spons horny. Spons silikeus dapat d ikelompokkan lagi menjadi jenis-jenis yang memiliki spikul dengan 4 aksis (tetraxonid a) dan yang hanya memiliki 1 aksis (monaxonida). Tetraxonida secara khusus merupakan spons laut yang lebih menyukai perairan pantai yang dangkal dimana jenis ini banyak ditemukan melekat pada bebatuan atau terbenam di dasar perairan. Sementara jenis monaxonida lebih umum dijumpai di perairan dangkal serta hidup melekat di substrat dengan menyekresikan spongin. Spons horny secara umum lebih menyukai kondisi perairan dangkal yang hangat di daerah tropis walaupun beberapa diantaranya secara individual dapat pula dijumpai di perairan yang lebih dingin misalkan spons dari jenis Spongia dan Hippospongia (Warren 1982). Spongillida, salah satu famili Demospongiae merupakan jenis yang mendominasi perairan tawar dengan kisaran ekologis yang luas seperti danau, sungai-sungai kecil dan kolam-kolam yang tenang (Rupert dan Barnes 1991). Tetapi Spongilla lacustris lebih bersifat eurihalin sehingga merupakan pengecualian. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa spons dari famili ini tidak 12 toleran terhadap kondisi perairan yang tercemar. Spons Microciona dilaporkan mampu hidup pada kondisi perairan estuaria yang tercemar pada salinitas 15 permil. Lissodenoryx carolinensis dan Halichondria, Haliclona serta Cliona merupakan spesies-spesies yang hidup pada kisaran perairan polihalin atau mesohalin (Gosner 1971). Biotop yang dangkal didominasi oleh Demospongiae dan sebagian kecil Calcareae, sebaliknya zona yang lebih dalam seperti di lereng luar karang, guagua serta di dalam terowongan hidup spesies spons Sclerospongia. Diantara spons yang umum terdapat di biotop yang dangkal dan pertengahan di perairan IndoPasifik antara lain Tethya, Plectronia, Mycale, Timea, Spirastrella, Ulosa, Higginsia, Pericharax, Jaspis, Mycale, Neofibularis, Asteropus, Haliclonia, Jantella, Phyllospongia, Dysidea, Ircinia, Carterospongia, Pseudoaxinissa, Scleroderma, Carmina, Reineria, Callyspongia, Cacospongia, Dictyonella, Prianos, Cliona serta Psamaplysilla (Hartman dan Goreau 1970 dalam Sorokin 1993). (a) (b) Gambar 4 (a) Ilustrasi diagramatik spons laut (b) Gambaran rinci d inding spons (sumber: Hooper et al. 2003). 2.4. Simbiosis Simbiosis mutualisma berkembang sebagai salah satu strategi adaptasi organisma terumbu karang untuk dapat mengeksploitasi lingkungannya yang bersifat oligotropik. Pada lingkungan yang demikian nutrien menjadi sangat minim dan umumnya hanya tersedia dalam bentuk materi terlarut di perairan, tetapi justru energi radian tersedia sangat melimpah. Kondisi yang demikian 13 menyebabkan suatu organisme harus mampu melepaskan energi ekstra untuk dapat menangkap materi-materi terlarut tersebut. Di dalam tubuh spons terdapat organisma simbion (endofita) berupa alga biru -hijau (sianobakteria) dan juga bakteri heterotropik. Bakteri heterotropik pada awalnya diduga bersifat parasit terhadap spons, tetapi ternyata merupakan simbion yang hidup pada suatu bagian sel khusus spons yang disebut bakteriosit dan lapisan mesoglea. Peranan simbion bakteri pada spons lebih terkait terhadap pemanfaatan materi organik terlarut di perairan yang melalui saluran tubuh inang. Bakteri di dalam spons selanjutnya akan membangun biomassanya yang kemudian secara perlahan akan dicerna oleh sel-sel spons sebagai suplemen. Sumber makanan dan produksi biomassa bakteri yang lain adalah produk limbah yang diekresikan oleh jaringan tubuh spons. Bakteri yang hidup pada lapisan mesoglea juga mengkonsumsi material kolagen dan materi partikulat yang menembus mesoglea. Selain memproduksi biomassa yang digunakan oleh spons, bakteri tersebut juga berperan sebagai pembersih saluran dan mesoglea spons. Sehingga dapat dikatakan bahwa bakteri heterotropik simbion sangat mendukung aktifitas filtrasi secara normal (Sorokin 1993). Pada beberapa jenis spons, bakteri heterotropik simbion dijumpai bersama-sama dengan alga biru-hijau (sianobakteria). Alga biru -hijau merupakan simbion pada spons dan beberapa kelompok cacing ekhiurid a (Kawaguti 1971 dalam Sorokin 1993). Berdasarkan beberap a hasil penelitian, di dalam tubuh spons ternyata juga dijumpai zooxanthella e dan kriptomonad a (Sara dan Liaci 1964 dalam Sorokin 1993). Spesies spons Tethya, Ulosa diketahui memiliki simbion sianobakteria Phormidium spongeliae, sedangkan spesies Dysidea hidup bersimbion dengan sianobakteria Oscillatoria spongelina. Uniseluler simbion tersebut menghuni bagian sel spons yang disebut sianosit (Wilkinson 1980 dalam Sorokin 1993) dan juga pada lapisan mesoglea. Sianosit berfungsi untuk mengontrol multip likasi simbion sianobakteria di dalamnya dan juga laju metabolisme. Mekanisme yang serupa dijumpai pada selsel ektoderm polip karang terhadap zooxanthella e. Bagian sel ini juga menstimulasi translokasi produk fotosintesa oleh sel alga serta mencerna 14 kelebihan produksi sel alga secara fagositosis (Sara 1971, Vacelet 1971 dalam Sorokin 1993). Simbion alga sangat berguna untuk spons tidak hanya sebagai sumber makanan, tetapi sebagaimana kelompok alga biru -hijau lainnya, simbion alga juga mampu memfiksasi nitrogen dari atmosfir sehingga dapat meningkatkan keseimbangan nitrogen di dalam tubuh inangnya (Wilkinson dan Fay 1979 dalam Sorokin 1993). Alga mengkonsumsi pula nutrien anorganik dari perairan serta produk akhir metabolisme inang. Produk ini selanjutnya akan diasimilasi menjadi biomas alga sebagai sumber makanan spons. Oleh sebab itu keberadaan alga di dalam simbiosis spons merupakan mekanisme daur ulang nutrien semi-tertutup yang sangat penting pada perairan yang miskin nutrien. Spons dengan simbion alga dilaporkan memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi di biotop dengan intensitas pencahayaan tinggi daripada daerah yang terlindung (Wilkinson dan Vacelet 1979 dalam Sorokin 1993). Spons Demospongiae hidup bersimbiosis dengan berbagai organisme laut seperti gastropoda, kepiting hermit, udang, hidroid a, briozoa, ophiurid a, Aeromonas, Pseudomonas, keong serta abalon. Simbiosis ini dapat bersifat mutualisma seperti yang terdapat pada simbiosis Suberites yang hidup pada cangkang moluska yang dihuni oleh kep iting hermit. Pada saat spons tumbuh dewasa maka kepiting hermit secara tidak langsung akan hidup di dalam tubuh spons sehingga terhindar dari predator. Sebaliknya spons dapat memperoleh makanan serta nutrien akibat adanya aliran air yang diakibatkan pergerakan kepiting. Tetapi Cliona celata justru menyekresikan suatu senyawa kimia karbonik anhidrase sehingga mampu melubangi cangkang luar dari moluska dan abalon yang ditempatinya. Akibat yang lebih jauh inang tersebut dapat mengalami kematian serta penurunan populasin ya di alam (Ruppert dan Barnes 1991). 2.5. Metabolit sekunder Metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa hasil biosintetik turunan dari metabolit primer yang umumnya diproduksi oleh organisme yang berguna untuk pertahanan diri dari lingkungan maupun dari serangan organisme lain , sedangkan substansi yang dihasilkan oleh organisme melalui metabolisme dasar serta 15 digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan organisme yang bersangkutan disebut dengan metabolit primer. Perbedaan kondisi lingkungan seperti tingginya kekuatan ionik pada air laut, intensitas cahaya yang kecil, rendahnya temperatur, tekanan dan struktur tubuh yang berbeda dengan organisme darat memungkinkan spons menghasilkan metabolit yang mempunyai struktur kimia yang spesifik dan bervariasi yang sangat berpengaruh terhadap bioaktifitasnya (Motomasa 1998 dalam Murniasih 2003). Pendapat yang senada dikemukakan oleh De Voogd et al. (2005) yang menyatakan bahwa senyawa bioaktif spons berbeda baik intra spesies maupun inter spesies. Selain itu dinyatakan pula bahwa disamping kompetisi secara spasial, beberapa faktor ekologis turut pula menentukan produksi senyawa bioaktif sehingga dapat dikatakan bahwa spons yang tumbuh pada lingkungan yang sangat tinggi tingkat kompetisi alaminya akan memiliki kandungan toksin yang lebih tinggi daripada spons yang ditumbuhkan pada substrat buatan. Spons bersifat sesil oleh sebab itu spons sangat rentan dari predator seperti ikan, penyu, gastropoda, ekinodermata serta nudibrankia. Selain itu spons juga tidak memiliki tangan dan kaki sehingga secara fisik tidak dapat melepaskan hewan dan tumbuhan yang melekat pada permukaan dan di dalam saluran-saluran tubuh yang bersifat parasit. Faktor penyebab lainnya adalah spons tumbuh sangat lambat serta tidak mampu berkompetisi dalam ruang dan sumberdaya hayati dibandingkan hewan dan tumbuhan seperti karang dan kelompok askidian. Faktor-faktor pembatas tersebut menyebabkan spons mengembangkan suatu sistem pertahanan biologis yaitu dengan menghasilkan senyawa toksin dari dalam tubuhnya yang kemudian dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan baku obat-obatan(http://www.qmuseum.qld.gov.au/organisation/sections/sessile marine invertebrates/sponge/ ). Spons memproduksi sejumlah besar metabolit sekunder melalui aktifitas biologisnya. Beberapa senyawa bioaktif ini mengandung bahan yang bersifat antimitotik, sitotoksik, antibakteri, antifungi dan antivirus (De Voogd et al. 2005). Menurut Burkholder 1969 dalam Amir 1991 spons juga diketahui menghasilkan zat antimikroba, misalnya antibiotik ektionin yang diperoleh dari jenis Microciona prolifera. Kemudian pada Ianthella sp. ditemukan suatu zat yang dapat menghambat pertumbuhan ragi merah muda, sedangkan ekstrak antibakteri dari 16 Haliciona viridis terbukti racun bagi ikan dan tikus. Salah satu antibiotik dari spons ini adalah 2,6-dibromo 4 acetamido-4 hydroxycyclohexadienone. Selain itu spons juga mengandung berbagai macam pigmen (karotenoid), sterol dan senyawa toksin (Bakus 1985 dalam Amir 1991). Senyawa lain yang berhasil diisolasi yaitu terpenoid, saponin, derivat asam amino dan makrolida (Sarma et al. 1993, Faulkner 1995 dalam Pawlik et al. 1996). Pigmen karotenoid seperti beta karoten merupakan senyawa antioksidan yang telah terbukti sangat baik untuk pencegahan kanker. Senyawa antioksidan jenis ini berperan menangkal radikal bebas pemicu kanker tetapi tidak secara langsung membunuh sel-sel kanker, sedangkan steroid/triterpenoid adalah senyawa yang sering digunakan sebagai komponen aktif obat. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa dari golongan tersebut bermanfaat sebagai antikanker, antimikroba serta dalam pengobatan jantung (kardiovaskular). Zat lain yang juga berperan sebagai antibakteri selain triterpenoid adalah alkaloid, flavonoid, saponin, sterol dan tanin. Sebagian besar dari senyawa tersebut memiliki kerangka karbon yang kaya akan nitrogen atau halogen (Paul 1992, Faulkner 1995 dalam Pawlik et al. 1996). 2.4 % berat kering spons Hyrtios erecta diketahui merupakan konsentrasi dari metabolit sekunder (Rogers dan Paul 1991 dalam Pawlik et al. 1996). Kompleksitas struktur dan tingginya konsentrasi tersebut memperlihatkan bahwa sesungguhnya spons memilik i fungsi ekologis yang penting, diantaranya berimplikasi dalam interaksi allelopathic spons dan karang (Sullivan et al. 1983, Porter dan Targett 1988 dalam Pawlik et al. 1996) yaitu sebagai inhibitor pelekatan larva-larva organisme pengotor (Davis et al. 1991, Henrikson dan Pawlik 1995 dalam Pawlik 1996) dan sebagai pelindung spons dari mikroorganisme serta radiasi ultravio let (Paul 1992 dalam Pawlik 1996). 2.6. Reproduksi spons 2.6.1. Reproduksi aseksual Spons bereproduksi baik secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual terjadi melalui pembentukan pucuk dan regenerasi setelah proses fragmentasi. Pucuk eksternal, setelah mencapai ukuran tertentu, akan melepaskan diri dari induknya dan hanyut di perairan membentuk spons baru ataupun tetap tinggal 17 sebagai suatu koloni spons. Pucuk internal (gemula), umumnya terbentuk pada spons perairan tawar dan beberapa spesies spons laut. Mekanisme pembentukan gemula ditandai dengan berkumpulnya sel-sel arkaeosit pada lapisan mesohil. Selsel tersebut selanjutnya akan dilapisi oleh spongin dan sebagian kecil kitin serta serangkaian spikul silikat. Gemula kemudian akan melepaskan diri melalui suatu bukaan yang disebut mikrofili dan berkembang menjadi spons baru (Hickman et al. 1997, Storer et al. 1968, Johnson et al. 1977). Dillon (1967) lebih jauh menyatakan bahwa setelah sel-sel amuboit mengalami penggabungan, sel-sel amuboit lainnya yaitu trophosit akan membawa makanan hingga amubosit penuh berisikan cadangan makanan dalam bentuk glikoprotein dan lip oprotein . Amubosit kemudian akan membentuk dinding seluler yang akan mensekresikan membran padat di bagian dalam dan luar permukaan dinding sel yaitu amphidisk. Pada saat yang bersamaan, spikula akan disisip kan diantara sel-sel kolom. Distribusi spikula berlangsung sedemikian rupa hingga tidak terdapat kolom yang kosong pada saat mik rofili berkembang. Selain bereproduksi, spons juga mampu melakukan regenerasi. Regenerasi dikembangkan untuk membangun kembali jaringan tubuh yang terluka ataupun terpotong. Spons beregenerasi melalui serangkaian aktifitas pseudopoda amubosit dimana terjadi proses penggabungan (fusi) serangkaian sel sehingga menghasilkan suatu bentuk agregat yang semakin membesar yang merupakan kombinasi dari amubosit dan koanosit yang tidak berkerah (collar-cells). Pada saat agregat tersebut semakin membesar, beberapa amubosit mengatur dirinya dan membentuk lapisan epidermis, sementara koanosit bergabung didalam suatu cekungan dan membentuk kerah-kerah untuk membangun ruang-ruang bercambuk yang lambat laun akan berkembang menjadi individu spons yang berfungsi utuh (Wilson 1907 dalam Dillon 1967). Selain memiliki kemampuan beregenerasi, spons ternyata juga memiliki kemampuan untuk membangun kembali sel-selnya dari bagian kecil (fragmen atau agregat) sel. Proses yang demikian lebih dikenal dengan sebutan somatik embriogenesis. Somatik embriogenesis mencakup reorganisasi penuh dari struktur dan fungsi sel yang kemudian akan berkembang menjadi organisme baru (Hickman et al. 1997). 18 2.6.2. Reproduksi seksual Seksualitas pada spons dapat dikelompokkan atas dua tipe yaitu: (1) hermaprodit, yaitu jenis spons yang menghasilkan baik gamet jantan atau gamet betina selama hidupnya tetapi menghasilkan gamet jantan dan gamet betina dalam waktu yang berbeda dan (2) gonokhorik, yaitu jenis spons yang memproduksi hanya gamet jantan atau betina saja selama hidupnya (Reseck 1988, Kozloff 1990, Ruppert dan Barnes 1991, Amir dan Budiyanto 1996). Tipe hermaprodit ditemukan pada ordo Poecilosclerida, ordo Homosclerophorida dari famili Plakinidae dan Oscarellidae, ordo Hadromerida dari famili Clionodae, ordo Dendroceratida dari famili Halisarcidae, sedangkan tipe gonokhorik ditemukan pada ordo Astroporida dari famili Geodidae dan Stelletidae, ordo Sphirophorida dari famili Tetillidae, ordo Hadromerida dari famili Tethydae, Chondrosiidae, Polymastiidae, ordo Axinellida dari famili Axinellidae dan Agelasidae (Sara 1992). Seksualitas bertipe gonokhorik khususnya dari ordo Hadromerida didapatkan pada jenis Tethya crypta, Tethya auratum, Tethya citrina (Tethydae), Chondrosia reniformis, Chondrilla nucula (Chondrosiidae), Polymastia hirsuta, Aaptos aaptos (Polymastiidae) (Sara 1992), Xestospongia bergquistia dan Xestospongia testudinaria (Fromont dan Bergquist 1994). Selain itu didapatkan juga seksualitas bertipe gonokhorik labil. Seksualitas bertipe seperti ini ditemukan pada spons jenis Suberitas carnous (Hadromerida) dan Raspailia topsenti (Axinellida) (Sara 1992). Sebagian besar spons bersifat vivipar dimana setelah fertilisasi zigot tetap berada di dalam tubuh induknya dan kemudian akan melepaskan larva bersilia. Pada kelompok spons yang demikian sperma dilepaskan ke perairan oleh satu individu spons dan akan ditangkap oleh individu lainnya melalui sistem kanal. Sperma selanjutnya akan ditangkap oleh koanosit dan dibawa oleh sel kurir melalui mesohil menuju oosit, sedangkan pada spons yang bersifat ovipar, oosit dan sperma secara bersamaan akan dilepaskan ke dalam perairan. Zigot berkembang menjadi larva yang memiliki flagella dimana flagella kemudian akan melakukan reorganisasi internal menjadi koanosit didalam ruang-ruang bercambuk setelah larv a menemukan tempat pelekatannya (Hickman et al. 1997). 19 Larva parenkimula umumnya dimiliki oleh spons kelas Demospongiae (Ruppert dan Barnes 1991), larva amphiblastula umumnya dimiliki oleh spons kelas Calcareae (Kozloff 1990), sedangkan larva ko loblastula dimiliki juga oleh spons kelas Calcareae dan beberapa spons kelas Demospongiae (Brusca dan Brusca 1990). Spons dari ordo Astrophorida, Spirophorida, Hadromerida, Axinellida dari subkelas Tetractinomorpha umumnya bereproduksi secara ovipar, sedangkan ordo Homosclerophorida dari subkelas Homoscleromorpha, ordo Halichondrida, Poecilosclerida, Haplosclerida, Dictyoceratida, Dendroceratida dari subkelas Tetractinomorpha cara reproduksinya tergolong vivipar (Sara 1992).