Gempabumi NTT 27 Februari 2015 Oleh Dr. Daryono, S.Si.,M.Si. Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG JUM’AT malam (27/2) sekitar pukul 20.45 WIB, hampir seluruh daerah di busur Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Alor, dan Timor diguncang gempabumi tektonik. Kepanikan sempat melanda warga yang tinggal di kota-kota seperti Denpasar, Mataram, Sumbawa, Bima, Ruteng, dan Maumere. Menurut laporan, guncangan gempabumi paling kuat justru dirasakan di Kupang, dengan skala intensitas yang mencapai IV MMI (Modified Mercally Intensity). Hasil analisis gempabumi oleh BMKG menunjukkan bahwa gempabumi yang terjadi memiliki magnitudo M=7,1. Episenter gempabumi terletak pada koordinat -7,55 lintang selatan dan 122,6 bujur timur, tepatnya pada jarak sekitar 104 kilometer pada arah baratlaut Larantuka, Flores Timur-NTT, dengan kedalaman hiposenter 572 kilometer (Gambar 1). Karena episenter gempabumi ini terletak di daerah NTT maka gempabumi ini disebut sebagai gempabumi NTT 27 Februari 2015. Patut disyukuri bahwa gempabumi yang mengguncang kawasan sangat luas ini merupakan gempabumi hiposenter dalam, yang tidak berpotensi menimbulkan kerusakan. Gempabumi hiposenter dalam (deep-focus earthquake) dalam ilmu seismologi diartikan sebagai gempabumi dengan kedalaman hiposenter yang melebihi 300 kilometer. Gempabumi dalam biasanya terjadi di bawah lajur subduksi yang memiliki sudut tukik curam (zona Benioff). Wilayah NTT dan sekitarnya merupakan bagian dari kerangka sistem tektonik Indonesia. Daerah ini terletak di zona pertemuan lempeng yang bersifat konvergen, dimana Lempeng IndoAustralia menyusup ke bawah Lempeng Eurasia hingga pada kedalaman 625 kilometer. Gempabumi dalam di NTT terjadi pada sistem subduksi dalam. Pada peta seismisitas tampak sebaran hiposenter gempabumi dalam ini terkonsentrasi di Laut Flores. Adapun gempabumi Flores Timur M=7,1 yang terjadi kemarin merupakan manifestasi pelepasan energy di zona subduksi dalam. Aktivitas gempabumi dalam selama ini tidak membahayakan kehidupan manusia, karena sifatnya yang tidak destruktif. Namun demikian, pada peristiwa gempabumi dalam dengan magnitudo cukup besar dapat menimbulkan getaran gempabumi dengan spektrum yang sangat luas. Seperti halnya pada peristiwa gempabumi Flores Timur ini, getarannya dapat dirasakan hingga Pulau Bali dan Pulau Alor di ujung timur NTT. Gambar 1. Peta guncangan gempabumi (shake map) dan lokasi episenter gempabumi NTT (M 7,1) dengan kedalaman hiposenter 572 kilometer Proses terjadinya gempabumi dalam hingga saat ini masih mengundang banyak tanda tanya bagi para ahli seismologi. Namun demikian, ada teori yang menjelaskan bahwa proses terjadinya gempabumi dalam juga dipengaruhi oleh perubahan sifat kimia batuan, pada suhu dan tekanan tertentu. Namun demikian ada juga dugaan bahwa slab pada kedalaman sekitar 410 kilometer akan terjadi fenomena gaya slab pull (gaya tarik lempeng ke bawah) dan di sekitar kedalaman di atas 600 kilometer terjadi gaya apung yang menahan slab ke atas. Sehingga jika ditinjau berdasakan kedalamannya, gempabumi NTT 27 Februari 2015 kemarin tampaknya terletak di zona transisi mantel pada kedalaman 410 hingga 600 kilometer. Zona ini populer disebut sebagai Mantle Transition Zone (MTZ). Aktivitas seismik di zona ini masih dipengaruhi oleh gaya slab pull, artinya di sini masih ada dominasi faktor tarikan gaya gravitasi. Sehingga cukup masuk akal jika mekanisme sumber gempabuminya yang terjadi ada dominasi penyesaran turun. Peristiwa gempabumi Flores Timur memiliki karakteristik guncangan yang unik. Gempabumi yang episenternya dekat dengan kota Larantuka ini, justru membuat warga Larantuka tidak merasakan adanya guncangan gempabumi. Guncangan yang kuat justru dirasakan di Kupang yang letaknya jauh di selatan Larantuka. Guncangan kuat di Kupang dapat dijelaskan melalui proses propagasi gelombang seismik. Salah satu karakteristik gempabumi dalam adalah gelombang permukaannya (surface wave) yang kurang signifikan. Gelombang permukaan dari gempabumi ini cepat tereduksi. Sementara, gempabumi dalam lebih menghasilkan gelombang badan (body wave). Pada kasus gempabumi dalam, gelombang seismik cenderung terpropagasi melalui slab lempeng tektonik yang menyusup ke bawah busur kepulauan NTT, dan tidak terpropagasi langsung tegak lurus ke permukaan. Energi yang terpancar dalam arah tegak lurus ke atas akan lebih banyak teredam oleh material cair di astenosfera sehingga efek gempabumi akan menjadi kecil di Larantuka. Dalam hal ini dampak gempabumi tidak memiliki kaitan dengan dekatnya jarak tempat dengan hiposenter, tetapi justru dekatnya jarak dengan slab lempeng tektonik di NTT bagian selatan, seperti di Kupang yang dekat dengan zona subduksi. Aktivitas gempabumi dalam yang kuat dapat memicu terjadinya gempabumi lain di lajur subduksi yang lebih dangkal. Jika kita tinjau kaitan antara teori ini dengan peristiwa gempabumi NTT 27 Februari 2015, maka dalam waktu kurang dari 24 jam, telah terjadi lagi gempabumi Bima dengan magnitudo M=5,0 pada kedalaman 114 kilometer. Apakah kedua peristiwa gempabumi yang lokasinya relatif berdekatan ini memiliki memiliki kaitan yang kuat? Tampaknya masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Aktifnya gempabumi dalam di Laut Flores menjadi petunjuk bagi kita bahwa ternyata proses subduksi dalam di NTT masih berlangsung. Fenomena ini tampak dengan jelas teramati pada penampang hiposenter gempabumi di NTT, dimana aktivitas seismik yang berkaitan subdukdi lempeng, tampak semakin ke arah utara hiposenternya semakin dalam.***