Jakarta, 11 Januari 2010

advertisement
Jakarta, 1 Juni 2015
Fear Not Too Much
Investor Saham Net-Seller
Selama pekan lalu, indeks saham negara
berkembang MXAPJ menurun sebesar
1,82% yang dipicu oleh volatilitas bursa
China yang dinilai overvalued dan
kecemasan the Fed tetap menaikkan
bunga tahun ini. Selain terimbas faktor
eksternal, sentimen negatif terhadap IHSG
secara internal diperburuk oleh isyarat BI
bahwa ada lonjakan inflasi untuk bulan
Mei. Sebagai akibatnya saham-saham yang
sensitif suku bunga, seperti bank dan
otomotif, mengalami penurunan. Lihat
peraga.
Secara mingguan IHSG mengalami
penurunan sebesar 1,86% dengan
penutupan 5216,38. Penurunan ini
memangkas peluang technical rebound
IHSG selama bulan Mei menjadi 2,55%
setelah kejatuhan dalam 7,83% pada bulan
April. Selama bulan Mei lalu, investor asing
tetap dalam posisi net seller senilai $263,5 juta (lihat peraga). Trend net-seller ini terjadi sejak publikasi laju
pertumbuhan ekonomi 1Q15 yang hanya sebesar 4,71% YoY pada media April lalu.
Persepsi kenaikan inflasi
juga memicu kenaikan
yield curve. Yield untuk
SUN bertenor 10 tahun
naik
menjadi
8,17%.
Walau yield ini menarik
dibanding proyeksi dan
historikal inflasi jangka
panjang, namun investor
lokal nampaknya masih
mengulur waktu untuk
mendapatkan harga yang
lebih rendah.
Model regresi sederhana yang mengkaitkan yield SUN kita dan T-bond AS selama 2000 hari terakhir juga
mengindikasikan yield SUN saat ini terbilang menarik. Konsensus Bloomberg memproyeksikan yield T-bond
akhir tahun 2015 sebesar 2,48% (lihat Peraga dibawah ini). Dengan input tersebut, model regresi menduga
yield SUN Indonesia sekitar 7,34% atau lebih rendah dibanding yield saat ini.
Pemerintah Focus Pengendalian Inflasi
Seperti yang kami jelaskan pekan lalu, tekanan inflasi April 2014 dipicu oleh kenaikan sejumlah administered
goods seperti bahan bakar minyak, gas dan tarif listrik. Padahal secara musiman biasanya terjadi deflasi pada
bulan April. Pemerintah nampaknya belajar dari “kecerobohan” April dengan memperpanjang revisi kenaikan
harga BBM selama tiga bulanan dan tidak menaikkan harga premium untuk bulan Juni mendatang. Ini berarti
pemerintah mengalokasikan subsidi BBM. Secara teoretis hal tersebut dalam dilakukan mengingat rata-rata
harga minyak mentah Indonesia selama tahun berjalan yang sekitar $55 yang berarti masih lebih rendah dari
asumsi APBN-P 2015 yang sebesar $60 per barrel.
Komitmen Pemerintah untuk mengendalikan inflasi nampaknya terlihat dari keterlibatan Presiden Jokowi
pekan lalu yang meresmikan pembukaan Rapat Koordinasi Nasional VI Tim Pengendalian Inflasi Daerah 2015
(TPID). Rapat ini diadakan oleh Bank Indonesia dan bekerja sama Kementerian Dalam Negeri serta
Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.
Stress Testing IDR 25.000, Apa Perlu?
Selama pekan lalu, media cetak dan sosial banyak melansir saran seorang ekonom negeri jiran agar BI
melakukan stress testing kekuatan ekonomi dan perbankan dengan posisi rupiah 25.000 per dollar. Walau
boleh-boleh saja, saya menilai paras Rp25.000 per dollar sebagai hal berlebihan bila mencermati anatomi
berbagai faktor yang melandasi pelemahan rupiah saat ini yang berbeda dibanding krisis 1997.
Mohon cermati peraga dibawah ini yang berusaha mengurai dinamika pergerakan rupiah menjadi faktor
eksternal (seperti penguatan dollar AS sebagai denominasi kebanyakan mata uang dunia), faktor moneter
domestik yang dicermati melalui Bahana Fear Index, dan faktor domestik fiskal yang terkait dengan defisit
neraca minyak.
Menurut saya, salah satu penyebab krisis moneter 1997 terkait dengan kegagalan pemerintah
mengantisipasi trend penguatan dollar secara struktural. Pada saat itu kurs rupiah masih dikelola dengan
sistem yang relatif tetap yang ditopang oleh suku bunga domestik yang tinggi. Penguatan dollar dinilai
struktural mengingat pada saat itu Amerika Serikat mengalami kondisi pertumbuhan ekonomi tumbuh lebih
pesat ketimbang pertumbuhan uang beredar (velocity of money positif). Dengan kata lain, permintaan dollar
untuk sektor riil meningkat lebih pesat ketimbang penawarannya sehingga memperkuat kurs dollar secara
global. Silakan cermati series berwarna merah (indeks dollar global menguat).
Kami cermati penguatan dollar selama setahun terakhir tidak didukung oleh faktor fundamental mengingat
trend velocity of money Amerika Serikat sebetulnya sudah lama negatif bahkan lebih rendah dibanding
sebelum krisis 1997. Hal ini berarti penciptaan pasokan dollar jauh lebih besar dibanding pemanfaatannya
untuk sektor riil. Penguatan dollar lebih merupakan konsekuensi perang dagang sesama negara maju (G3)
menyusul aksi quantitative easing yang dilakukan oleh bank sentral Jepang dan Eropa akhir-akhir ini.
Perekonomian
Amerika
Serikat
nampaknya
terganggu
dengan
penguatan dollar yang
terlalu kuat dan pesat.
Update
Bloomberg
Economic Surprise Index
seperti
terlihat
pada
peraga
nampak
memburuk
mendekati
paras tahun 2009 ketika
perekonomian
Amerika
Serikat tersengat krisis
keuangan akut. Sangat
bisa jadi faktor inilah yang turut melandasi kesabaran the Fed tidak menaikkan suku bunga.
Sementara indikator Bahana Fear Index dihitung sebagai rasio likuiditas rupiah jangka pendek yang berupa
cash, giro dan deposito satu bulan terhadap cadangan devisa. Sewaktu krisis 1998, angka ini memburuk
drastis setelah kita mengalami pelarian modal yang menguras cadangan devisa.
Penggunaan kata “fear” terkait ketidaknyamanan bagi perekonomian apabila angka BFI berada diatas 100.
Sebab rupiah tidak hanya berisiko melemah akibat lebih mudah substitusi mata uang menuju valas. Namun,
konsentrasi dana jangka pendek yang dapat memicu inflasi sehingga memicu kenaikan bunga. Peningkatan
konsentrasi dana jangka pendek juga mengurangi dukungan perbankan untuk pembiayaan kredit khususnya
berjangka panjang. Kini dapat dicermati angka BFI sudah diterbilang aman. Walaupun demikian, kita
berharap Bank Indonesia melakukan terobosan untuk memacu peningkatan produksi domestik barang dan
jasa yang sesungguhnya menjadi strategi terbaik untuk mengatasi defisit neraca berjalan.
Kami menilai risiko pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh keteledoran fiskal yang memperbolehkan
lonjakan subsidi BBM. Akibatnya terjadi peningkatan defisit neraca minyak yang memperburuk defisit neraca
berjalan. Selama tahun 2013 dan 2014, lonjakan subsidi BBM dan sistem transportasi yang boros telah
memicu defisit neraca minyak masing-masing mencapai $27 milyar dollar. Angka ini jauh lebih besar
ketimbang foreign direct investment.
Masyarakat perlu disadarkan bahwa Indonesia sejak 2004 tidak lagi termasuk negara OPEC. Kita telah
menjadi negara pengimpor minyak. Dapat dirunut melonjaknya subsidi BBM dan defisit neraca minyak ini
terjadi ketika pemerintah dan DPR menyepakati acuan yang memungkinkan pemerintah menaikkan harga
BBM bila deviasi harga minyak mentah terhadap asumsi APBN melebihi 15% selama enam bulan. Suatu
acuan yang melenakan yang kini harus dibayar dengan memburuknya profil makroekonomi dan prospek
cuan di pasar modal.
Sebetulnya APBN-P 2015 memiliki terobosan untuk kembali menyehatkan defisit neraca berjalan dengan
membatasi subsidi BBM dan mengalokasikan pembelanjaan yang lebih besar untuk pembangunan
infrastruktur yang lebih produktif.
Untuk menepis kekuatiran rupiah akan melemah drastis, berikut ini kami sampaikan snapshot proyeksi
konsensus Bloomberg. Terlihat hingga tahun 2019, rupiah tidak diproyeksikan sangat melemah mendekati
Rp25.000 per dollar. Ketakukan (fear) sebaiknya menjaga kita untuk selalu berhati-hati, namun jangan
membuat kita berhenti berinvestasi.
Salam
Budi Hikmat
Chief Economist and Director for Investor Relation s
Download