Jakarta, 1 Juni 2015 Fear Not Too Much Investor Saham Net-Seller Selama pekan lalu, indeks saham negara berkembang MXAPJ menurun sebesar 1,82% yang dipicu oleh volatilitas bursa China yang dinilai overvalued dan kecemasan the Fed tetap menaikkan bunga tahun ini. Selain terimbas faktor eksternal, sentimen negatif terhadap IHSG secara internal diperburuk oleh isyarat BI bahwa ada lonjakan inflasi untuk bulan Mei. Sebagai akibatnya saham-saham yang sensitif suku bunga, seperti bank dan otomotif, mengalami penurunan. Lihat peraga. Secara mingguan IHSG mengalami penurunan sebesar 1,86% dengan penutupan 5216,38. Penurunan ini memangkas peluang technical rebound IHSG selama bulan Mei menjadi 2,55% setelah kejatuhan dalam 7,83% pada bulan April. Selama bulan Mei lalu, investor asing tetap dalam posisi net seller senilai $263,5 juta (lihat peraga). Trend net-seller ini terjadi sejak publikasi laju pertumbuhan ekonomi 1Q15 yang hanya sebesar 4,71% YoY pada media April lalu. Persepsi kenaikan inflasi juga memicu kenaikan yield curve. Yield untuk SUN bertenor 10 tahun naik menjadi 8,17%. Walau yield ini menarik dibanding proyeksi dan historikal inflasi jangka panjang, namun investor lokal nampaknya masih mengulur waktu untuk mendapatkan harga yang lebih rendah. Model regresi sederhana yang mengkaitkan yield SUN kita dan T-bond AS selama 2000 hari terakhir juga mengindikasikan yield SUN saat ini terbilang menarik. Konsensus Bloomberg memproyeksikan yield T-bond akhir tahun 2015 sebesar 2,48% (lihat Peraga dibawah ini). Dengan input tersebut, model regresi menduga yield SUN Indonesia sekitar 7,34% atau lebih rendah dibanding yield saat ini. Pemerintah Focus Pengendalian Inflasi Seperti yang kami jelaskan pekan lalu, tekanan inflasi April 2014 dipicu oleh kenaikan sejumlah administered goods seperti bahan bakar minyak, gas dan tarif listrik. Padahal secara musiman biasanya terjadi deflasi pada bulan April. Pemerintah nampaknya belajar dari “kecerobohan” April dengan memperpanjang revisi kenaikan harga BBM selama tiga bulanan dan tidak menaikkan harga premium untuk bulan Juni mendatang. Ini berarti pemerintah mengalokasikan subsidi BBM. Secara teoretis hal tersebut dalam dilakukan mengingat rata-rata harga minyak mentah Indonesia selama tahun berjalan yang sekitar $55 yang berarti masih lebih rendah dari asumsi APBN-P 2015 yang sebesar $60 per barrel. Komitmen Pemerintah untuk mengendalikan inflasi nampaknya terlihat dari keterlibatan Presiden Jokowi pekan lalu yang meresmikan pembukaan Rapat Koordinasi Nasional VI Tim Pengendalian Inflasi Daerah 2015 (TPID). Rapat ini diadakan oleh Bank Indonesia dan bekerja sama Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Stress Testing IDR 25.000, Apa Perlu? Selama pekan lalu, media cetak dan sosial banyak melansir saran seorang ekonom negeri jiran agar BI melakukan stress testing kekuatan ekonomi dan perbankan dengan posisi rupiah 25.000 per dollar. Walau boleh-boleh saja, saya menilai paras Rp25.000 per dollar sebagai hal berlebihan bila mencermati anatomi berbagai faktor yang melandasi pelemahan rupiah saat ini yang berbeda dibanding krisis 1997. Mohon cermati peraga dibawah ini yang berusaha mengurai dinamika pergerakan rupiah menjadi faktor eksternal (seperti penguatan dollar AS sebagai denominasi kebanyakan mata uang dunia), faktor moneter domestik yang dicermati melalui Bahana Fear Index, dan faktor domestik fiskal yang terkait dengan defisit neraca minyak. Menurut saya, salah satu penyebab krisis moneter 1997 terkait dengan kegagalan pemerintah mengantisipasi trend penguatan dollar secara struktural. Pada saat itu kurs rupiah masih dikelola dengan sistem yang relatif tetap yang ditopang oleh suku bunga domestik yang tinggi. Penguatan dollar dinilai struktural mengingat pada saat itu Amerika Serikat mengalami kondisi pertumbuhan ekonomi tumbuh lebih pesat ketimbang pertumbuhan uang beredar (velocity of money positif). Dengan kata lain, permintaan dollar untuk sektor riil meningkat lebih pesat ketimbang penawarannya sehingga memperkuat kurs dollar secara global. Silakan cermati series berwarna merah (indeks dollar global menguat). Kami cermati penguatan dollar selama setahun terakhir tidak didukung oleh faktor fundamental mengingat trend velocity of money Amerika Serikat sebetulnya sudah lama negatif bahkan lebih rendah dibanding sebelum krisis 1997. Hal ini berarti penciptaan pasokan dollar jauh lebih besar dibanding pemanfaatannya untuk sektor riil. Penguatan dollar lebih merupakan konsekuensi perang dagang sesama negara maju (G3) menyusul aksi quantitative easing yang dilakukan oleh bank sentral Jepang dan Eropa akhir-akhir ini. Perekonomian Amerika Serikat nampaknya terganggu dengan penguatan dollar yang terlalu kuat dan pesat. Update Bloomberg Economic Surprise Index seperti terlihat pada peraga nampak memburuk mendekati paras tahun 2009 ketika perekonomian Amerika Serikat tersengat krisis keuangan akut. Sangat bisa jadi faktor inilah yang turut melandasi kesabaran the Fed tidak menaikkan suku bunga. Sementara indikator Bahana Fear Index dihitung sebagai rasio likuiditas rupiah jangka pendek yang berupa cash, giro dan deposito satu bulan terhadap cadangan devisa. Sewaktu krisis 1998, angka ini memburuk drastis setelah kita mengalami pelarian modal yang menguras cadangan devisa. Penggunaan kata “fear” terkait ketidaknyamanan bagi perekonomian apabila angka BFI berada diatas 100. Sebab rupiah tidak hanya berisiko melemah akibat lebih mudah substitusi mata uang menuju valas. Namun, konsentrasi dana jangka pendek yang dapat memicu inflasi sehingga memicu kenaikan bunga. Peningkatan konsentrasi dana jangka pendek juga mengurangi dukungan perbankan untuk pembiayaan kredit khususnya berjangka panjang. Kini dapat dicermati angka BFI sudah diterbilang aman. Walaupun demikian, kita berharap Bank Indonesia melakukan terobosan untuk memacu peningkatan produksi domestik barang dan jasa yang sesungguhnya menjadi strategi terbaik untuk mengatasi defisit neraca berjalan. Kami menilai risiko pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh keteledoran fiskal yang memperbolehkan lonjakan subsidi BBM. Akibatnya terjadi peningkatan defisit neraca minyak yang memperburuk defisit neraca berjalan. Selama tahun 2013 dan 2014, lonjakan subsidi BBM dan sistem transportasi yang boros telah memicu defisit neraca minyak masing-masing mencapai $27 milyar dollar. Angka ini jauh lebih besar ketimbang foreign direct investment. Masyarakat perlu disadarkan bahwa Indonesia sejak 2004 tidak lagi termasuk negara OPEC. Kita telah menjadi negara pengimpor minyak. Dapat dirunut melonjaknya subsidi BBM dan defisit neraca minyak ini terjadi ketika pemerintah dan DPR menyepakati acuan yang memungkinkan pemerintah menaikkan harga BBM bila deviasi harga minyak mentah terhadap asumsi APBN melebihi 15% selama enam bulan. Suatu acuan yang melenakan yang kini harus dibayar dengan memburuknya profil makroekonomi dan prospek cuan di pasar modal. Sebetulnya APBN-P 2015 memiliki terobosan untuk kembali menyehatkan defisit neraca berjalan dengan membatasi subsidi BBM dan mengalokasikan pembelanjaan yang lebih besar untuk pembangunan infrastruktur yang lebih produktif. Untuk menepis kekuatiran rupiah akan melemah drastis, berikut ini kami sampaikan snapshot proyeksi konsensus Bloomberg. Terlihat hingga tahun 2019, rupiah tidak diproyeksikan sangat melemah mendekati Rp25.000 per dollar. Ketakukan (fear) sebaiknya menjaga kita untuk selalu berhati-hati, namun jangan membuat kita berhenti berinvestasi. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation s