Untitled

advertisement
Peran Keluarga, Masyarakat, dan Media…( Mochamad, Badra, Yuli)
PERAN KELUARGA, MASYARAKAT DAN MEDIA SEBAGAI SUMBER
INFORMASI KESEHATAN REPRODUKSI PADA MAHASISWA
Role of Family, Society and Media as a Source of Information on Reproductive Health
Amongst University Students
Mochamad Iqbal Nurmansyah*, Badra Al-Aufa, Yuli Amran
Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
*Email: [email protected]
Abstract
Background:Adolescents can experience many health problems, such as free sex, alcohol drinking, and
illicit drug use. There are several factors related to these behaviours, including knowledge, parenting and
exposure to printed and electronic media.
Objective:To identify the role of family, society and media in providing information about reproductive
health amongst students from FKIK UIN Jakarta.
Methods:This was a cross sectional study using a quantitative approach. Samples were 136 students from
FKIK UIN Jakarta.
Results:The results show that respondents consulted friends, mother, father, sibling, relative, health
workers, religious leaders, teachers or lectures regarding the issues of reproductive health. Majority of
respondents preferred asking their own friends than others. Approximately 40.4% respondents attended
social meetings about reproductive health. Of all respondents, only 21 (15.4%) respondents were aware of
the availability of organizations that focus on reproductive health, 14 (10.3%) respondents knew the
location of these organizations and only 6 (4.4%) respondents had visited them. Although information
about reproductive health can be found in printed and electronic media, only few respondents benefitted
from them.
Conclusions:We found the role of family, society and media in providing information about reproductive
health, although the role of friends was more dominant.
Key words: Information about reproduction health, family, society, media, student
Abstrak
Latar Belakang: Banyak permasalahan kesehatan yang dialami oleh remaja seperti seks bebas, minum
minuman keras dan penggunaan obat-obatan terlarang. Berbagai faktor yang melatarbelakangi kasus
tersebut seperti pengetahuan, pola asuh orang tua, paparan media cetak dan elektronik.
Tujuan: Untuk mengetahui gambaran peran keluarga, masyarakat dan media dalam menyediakan
informasi mengenai kesehatan reproduksi pada mahasiswa FKIK UIN Jakarta
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Sampel adalah
mahasiswa FKIK UIN Jakarta dengan jumlah 136 responden.
Hasil: Responden melakukan konsultasi mengenai kesehatan reproduksi kepada teman, ibu, bapak, saudara
kandung, keluarga, petugas kesehatan, pemuka agama dan guru atau dosen. Mayoritas responden
menanyakan hal tersebut kepada teman dibanding dengan yang lain. Sebanyak 40,4 persen responden telah
mengunjungi pertemuan masarakat mengenai kesehatan reproduksi.Dari seluruh responden, hanya21
responden (15,4%) yang tahu mengenai organisasi yang fokus pada kesehatan reproduksi, 14responden
(10,3%) tahu keberadaan organisasi dan 6responden (4,4%) yang telah mengunjunginya. Penyebaran
informasi mengenai kesehatan reproduksi juga terdapat pada media cetak maupun elektronik.Namun hanya
sedikit responden yang memanfaatkan.
Kesimpulan: Terdapat peran keluarga, masyarakat dan media dalam penyediaan informasi kesehatan
reproduksi walaupun peran teman lebih dominan daripada informan lainnya.
Kata kunci: Informasi kesehatan reproduksi, keluarga, masyarakat, media, mahasiswa
Naskah masuk: 3 Februari 2012,
Review: 15 Februari 2012,
Disetujui terbit: 18 April 2012
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 16 – 23
PENDAHULUAN
Remaja merupakan salah satu fase dalam
siklus kehidupan manusia. Banyaknya
permasalahan yang dialami oleh remaja
seperti perilaku penggunaan obat-obatan
terlarang, minum minuman keras hingga
kasus tawuran menjadikan remaja menjadi
sorotan bagi pemerintah dan masyarakat.
Masa remaja merupakan masa peralihan
antara masa anak-anak yang dimulai saat
terjadinya kematangan seksual yaitu antara
usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20
tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda.1
Dalam hal kesehatan, permasalahan juga
banyak ditemukan pada masa remaja.
Permasalahan kesehatan remaja yang sering
ditemui seperti seks bebas, penyebaran
penyakit kelamin, kehamilan di luar nikah
dan kehamilan yang tidak dikehendaki.
Menurut Survei Kesehatan Reproduksi
Remaja Indonesia tahun 2007, sebesar 1,3%
perempuan mengaku pernah melakukan
hubungan seks sebelum menikah dan 6,4 %
remaja laki-laki pernah melakukan hubungan
seks sebelum menikah.2
Menurut Dien (2007), berbagai faktor seperti
jenis kelamin, usia pubertas, pengetahuan,
pola asuh orang tua, jumlah pacar, lama
pertemuan dengan pacar dan paparan media
elektronik dan cetak berhubungan dengan
perilaku seksual remaja.3 Penelitian lain
menunjukan bahwa pengetahuan, sikap,
umur, jenis kelamin, pendidikan, status
ekonomi rumah tangga, akses terhadap
informasi, komunikasi dengan orang tua, dan
keberadaan teman memiliki hubungan yang
signifikan dengan perilaku berisiko seperti
merokok, minum alkohol, melakukan
hubungan
seksual
pra
nikah
dan
penyalahgunaan narkoba pada remaja di
Indonesia.4
Remaja dinilai memiliki pengetahuan yang
rendah terkait dengan fungsi dan anatomi alat
reproduksi. Kondisi tersebut diperparah
dengan adanya informasi yang tidak valid
mengenai kesehatan reproduksi sehingga
berdampak pada ketidakmampuan remaja
dalam merawat alat reproduksinya.5 Sebuah
penelitian menunjukan bahwa pengetahuan
remaja mengenai kesehatan reproduksi di
Jawa Tengah sangat rendah. Hal tersebut
menunjukan minimnya informasi yang
diterima oleh remaja
reproduksi.6
mengenai kesehatan
Banyaknya teori perilaku yang menyebutkan
bahwa pengetahuan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
berperilaku. Oleh karena itu, minimnya
informasi mengenai kesehatan reproduksi
dapat menjadi penyebab kurang baiknya
perilaku perawatan organ genitalia eksternal.
Sebuah penelitian menunjukan bahwa
kurangnya informasi yang didapatkan
mengenai kesehatan reproduksi baik di
sekolah
maupun
di
rumah
dapat
menyebabkan siswa memiliki praktik kurang
baik dalam perawatan organ genitalia
eksternalnya7.
Dalam era globalisasi, penyebaran informasi
dilakukan dengan cepat dan mudah.
Perkembangan teknologi menjadi hal yang
melatarbelakangi kondisi tersebut. Di zaman
dahulu, informasi hanya bisa didapatkan jika
kita bertemu dengan orang yang akan
memberikan
informasi.
Dewasa
ini,
informasi sangat mudah didapatkan melalui
internet, televisi dan radio. Cepatnya
penyebaran informasi menjadi peluang
masyarakat untuk dapat meningkatkan
pengetahuan. Namun tidak hanya peluang,
penyebaran informasi yang cepat juga dapat
menjadi tantangan masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang tepat.
Tidak tersedianya informasi yang akurat dan
benar tentang kesehatan reproduksi memaksa
remaja melakukan eksplorasi sendiri, baik
melalui media cetak, elektronik, maupun
pertemanan yang besar kemungkinan justru
salah. Berkaitan dengan pengetahuan
kesehatan reproduksi, masih banyak remaja
putri yang belum mengetahuinya dengan
baik. Berdasarkan studi pendahuluan pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sebesar
70 persen mahasiswa belum mengetahui
aspek
kesehatan
reproduksi
secara
keseluruhan dan hal ini dapat berimplikasi
terhadap perilaku hidup sehat. Hal ini diduga
berkaitan
dengan
minimnya
sumber
informasi
dan
pendidikan
kesehatan
reproduksi yang mereka peroleh. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai peran keluarga, masyarakat, dan
media dalam menyediakan informasi
Peran Keluarga, Masyarakat, dan Media…( Mochamad, Badra, Yuli)
kesehatan reproduksi pada Mahasiswa FKIK
UIN Jakarta tahun 2012.
METODE
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
kuantitatif dengan desain cross-sectional.
Sampel penelitian berjumlah 136 responden
dengan menggunakan metode multistage
sampling.
Sampel
penelitian
adalah
mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pengambilan sampel menggunakan metode.
Tahap pemilihan sampel dapat terlihat pada
gambar 1.
Fakultas
Program Studi
Angkatan
Kelas
Gambar 1. Tahap Pemilihan Sampel
Dalam
penelitian
ini,
instrumen
menggunakan kuesioner dengan pertanyaan
terstruktur dan analisis data menggunakan
analisis univariat untuk medeskripsikan
variabel.
HASIL
Gambaran Peran Keluarga Sebagai
Penyedia Sumber Informasi Kesehatan
Reproduksi
Dalam memperoleh informasi mengenai
kesehatan reproduksi, responden biasa
menanyakan hal tersebut kepada ibu, bapak,
saudara kandung, keluarga serta berbagai
elemen masyarakat seperti teman, pemuka
agama, petugas kesehatan dan guru/dosen.
Dari 136 responden, sebanyak 114 responden
(83,8%) membicarakan atau menanyakan hal
tersebut kepada temannya. Jumlah tersebut
merupakan jumlah tertinggi dibanding
dengan sumber informasi lainnya seperti ibu
sebesar 109 responden (80,1%) dan petugas
kesehatan mencapai 109 responden (80,1%).
Selain ketiga sumber tersebut, kurang dari
100 responden yang menanyakan kesehatan
reproduksi kepada bapak, saudara kandung,
keluarga, guru/dosen, pemuka agama, dokter,
internet, media, pakar dan suami. Sumber
informasi dan jumlah responden yang
bertanya mengenai kesehatan reproduksi
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan sumber informasi mengenai kesehatan reproduksi
Sumber Informasi
n= 136
%
Teman
Ya
114
83,8
Tidak
22
16,2
Ibu
Ya
109
80,1
Tidak
27
19,9
Bapak
Ya
28
20,6
Tidak
108
79,4
Saudara Kandung
Ya
67
49,3
Tidak
69
50,7
Keluarga
Ya
79
58,1
Tidak
57
41,9
Guru atau Dosen
Ya
87
64,0
Tidak
49
36,0
Petugas Kesehatan
Ya
109
80,1
Tidak
27
19,9
Pemuka Agama
Ya
39
28,7
Tidak
97
71,3
Lainnya
Ya
7
5,1
Tidak
129
94,9
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 16 – 23
Gambaran Peran Kelompok Masyarakat
Sebagai Sumber Penyedia Informasi
Kesehatan Reproduksi
Salah satu sumber informasi mengenai
kesehatan reproduksi berasal dari organisasi
kemasyarakatan. Masyarakat dapat melakukan penyebaran informasi kesehatan
reproduksi melalui pertemuan-pertemuan dan
wadah-wadah yang fokus dalam membahas
kesehatan reproduksi. Pada tabel dua dapat
terlihat bahwa, dari semua responden hanya
55 responden (40,4%) yang telah mengunjungi pertemuan masyarakat yang fokus
dalam kesehatan reproduksi. Dari 55
responden yang telah datang pada pertemuan,
sebanyak 18 responden (32,7%) mengunjungi pertemuan yang dilakukan oleh LSM.
Jumlah tersebut merupakan jumlah tertinggi
dibandingkan kunjungan responden terhadap
pertemuan-pertemuan lainnya seperti karang
taruna, perkumpulan agama, penyuluhan
pemerintah, bina keluarga remaja (BKR),
penyuluhan dari pemerintah, seminar
kesehatan serta Palang Merah Remaja
(PMR). Tabel 2 menjelaskan jumlah responden yang pernah datang pada pertemuan
masyarakat yang membahas kesehatan
reproduksi.
Tabel 2. Responden pernah menghadiri pertemuan yang membahas kesehatan reproduksi
Nama Pertemuan
n= 55
%
Karang Taruna
8
14,3
Perkumpulan agama
6
10,7
Bina Keluarga Remaja
5
8,9
Penyuluhan LSM
18
32,1
Penyuluhan Pemerintah
11
19,6
Lainnya
7
12,5
Selain pertemuan masyarakat, sarana atau
sumber lain dalam menyediakan informasi
kesehatan reproduksi terhadap responden
adalah wadah-wadah atau organisasi bagi
remaja untuk memperoleh informasi
mengenai kesehatan reproduksi remaja. Dari
seluruh responden, hanya 21 responden
(15,4%) yang mengetahui wadah yang
menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi. Nama wadah yang responden ketahui
antara lain lembaga swadaya masyarakat
(LSM), Puskesmas, dokter spesialis, PKBI
centera mitra muda, Pelayanan Kesehatan
Peduli Remaja (PKPR), Pusat Kesehatan
Reproduksi Remaja, Rumah Keluarga
Indonesia, dan seminar kesehatan. Dari
seluruh responden, 14(10,3%) orang yang
tahu keberadaan wadah tersebut dan hanya 6
orang (4,4%) yang pernah mengunjunginya.
Menurut responden, pelayanan paling
lengkap terdapat pada PKPR. Wadah tersebut
menyediakan pelayanan seperti penyediaan
informasi kesehatan reproduksi, konseling,
pemeriksaan kesehatan, dan pengobatan
infeksi menular.
Gambaran Peran Media Sebagai Penyedia
Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi
Sumber informasi lain dalam menyebarkan
informasi mengenai kesehatan reproduksi
yaitu melalui media cetak maupun media
elektronik. Media cetak yang dimaksud
adalah surat kabar maupun majalah
sedangkan yang dimaksud media elektronik
dalam penelitian ini adalah radio dan televisi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
media, baik cetak maupun elektronik, telah
menyumbangkan informasi terkait dengan
Peran Keluarga, Masyarakat, dan Media…( Mochamad, Badra, Yuli)
kesehatan reproduksi. Materi yang ada dalam
kesehatan reproduksi pada media seperti
penundaan usia kawin, HIV-AIDS, infeksi
menular seksual (IMS), iklan kondom,
narkoba, minuman keras dan mencegah
69,9
17,6
27,9
31,6
41,2
46,3
36,8
24,3
Surat Kabar
Radio
8,1
10,0
5,9
20,0
25,7
23,5
30,0
26,5
40,0
36,8
50,0
47,1
47,8
60,0
55,1
70,0
59,6
67,6
80,0
73,5
Persentase responden mendapatkan informasi kesehatan reproduksi melalui media cetak dan
16,9
Grafik 1.
kehamilan. Grafik 1 menjelaskan secara
detail terkait dengan responden yang
mengetahui informasi kesehatan reproduksi
berdasarkan media yang ada dalam enam
bulan terakhir.
Televisi
0,0
Grafik 1. Persentase responden mendapatkan informasi kesehatan reproduksi melalui media cetak
dan elektronik
Penyebaran informasi mengenai kesehatan
reproduksi melalui radio dinilai masih cukup
rendah. Mahasiswa yang pernah mendengar
radio dalam enam bulan terakhir sebanyak
114 responden. Dalam penelitian ini, hasil
menunjukkan bahwa dari 136 responden,
kurang dari 50 persen responden mendengar
informasi mengenai kesehatan reproduksi
melalui radio. Informasi mengenai kesehatan
reproduksi melalui radio yang paling rendah
terdapat pada info mengenai penundaan usia
kawin yaitu sebesar 8 (5,9%) responden.
Sedangkan informasi terbanyak pada radio
adalah mengenai narkoba, yaitu sebesar 50
responden(36,8%). Sementara itu, sumber
informasi mengenai kesehatan reproduksi
melalui media surat kabar atau majalah juga
tergolong masih rendah. Jumlah responden
yang membaca surat kabar atau majalah
dalam enam bulan terakhir sebanyak 131
responden. Dari seluruh responden, hanya 36
responden (26,5%) yang membacainformasi
penundaan usia kawin melalui surat kabar
atau majalah. Sedangkan informasi yang
terbanyak dibaca oleh responden adalah
mengenai narkoba, yaitu sebesar 100 orang
(73,5%).
Media lain yang digunakan dalam
penyebaran informasi mengenai kesehatan
reproduksi juga minimnya informasi
mengenai penundaan usia kawin juga
terdapat pada media televisi. Penelitian
menunjukkan, hanya sebesar 32 responden
(23,5%) menerima informasi mengenai
penundaan usia kawin melalui televisi.
Sementara informasi terbanyak yang diterima
oleh responden melalui televisi adalah
mengenai narkoba, yaitu sebesar 95
responden (69,9%).
PEMBAHASAN
Peran Keluarga dan MasyarakatSebagai
Penyedia Informasi Kesehatan Reproduksi
Hasil analisis univariat menunjukan bahwa
paling banyak mahasiswa membicarakan
atau
berkonsultasi
terkait
kesehatan
reproduksi kepada temannya. Berdasarkan
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja
Indonesia (SKRRI) tahun 2007, sebanyak 70
persen remaja bertanya mengenai kesehatan
reproduksi kepada temannya. Penelitian
tersebut mengindikasikan bahwa para remaja
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 16 – 23
cenderung
mengkonsultasikan
masalah
mengenai
permasalahan
kesehatan
reproduksi kepada temannya dibanding
kepada orang tua dan gurunya.2 Teman
sebaya menjadi pilihan tempat untuk
menceritakan
masalah.
Hal
tesebut
dikarenakan teman sebaya lebih mengerti
kondisi yang dialami karena sedang
mengalami kondisi yang sama pada saat itu.
Selain kepada temannya, kebanyakan
mahasiswa bertanya masalah tersebut kepada
ibunya. Berdasarkan Panut dan Ida (1999)
dalam Nora (2011) menyatakan bahwa anak
lebih banyak mengkomunikasikan masalah
kesehariannya kepada ibu sebagai orang yang
paling berperan dibandingkan dengan orang
lain dalam hal pengasuhan anak.8 Penelitian
yang dilakukan di SMPN Kebonarum Klaten
menunjukan bahwa 48 persen dari 60 siswi
bertanya mengenai kesehatan reproduksi
kepada orang tuanya dan 15 persen siswi
bertanya pada teman.9
Berdasarkan hasil penelitian responden lebih
banyak berkonsultasi mengenai kesehatan
reproduksi kepada ibu dibandingkan kepada
ayah. Faktor yang mempengaruhi kurangnya
pola hubungan ayah dengan anaknya dapat
dipengaruhi oleh minimnya waktu kumpul
yang dimiliki sang ayah. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Soreang dan Banjaran Kabupaten Bandung
memperlihatkan bahwa 51 persen ayah
memiliki komunikasi dan pemberian
informasi yang kurang terhadap anak
remaja.10
Konsultasi mahasiswa terhadap tenaga
kesehatan berjumlah 109 responden atau
mencapai 80,1 persen. Hal tersebut dinilai
menjadi perilaku yang cukup baik. Petugas
kesehatan memiliki pengetahuan kesehatan
reproduksi
yang cukup baik sehingga
dengan
berkonsultasi
kepada
tenaga
kesehatan diharapkan tidak terjadi kesalahan
informasi mengenai kesehatan reproduksi.
Peran Kelompok Masyarakat Sebagai
Penyedia Informasi Kesehatan Reproduksi
Lembaga yang tidak kalah penting dalam
mengadakan program kesehatan adalah LSM.
Sebuah hasil penelitian di Semarang,
Surabaya dan Bali menunjukan bahwa LSM
berperan dalam menggerakan partisipasi
sosial masyakat untuk menanggulangi
AIDS.11 Lembaga swadaya masyarakat
menjadi sebuah kekuatan karena sumber
penggerak yang berasal dari masyarakat
sendiri sehingga lebih dekat dan dapat
mengajak masyarakat dalam melakukan
sebuah program. Bentuk pelayanan yang
diberikan oleh wadah yang fokus pada
kesehatan reproduksi antara lain pelayanan
konseling. Berdasarkan penelitian di SMPN
2 Ponorogo menunjukkan bahwa adanya
pengaruh layanan informasi atau konseling
terhadap kesehatan reproduksi remaja.12
Namun berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, hanya 32,1 persen mahasiswa
yang mengunjungi LSM untuk berkonsultasi
mengenai kesehatan reproduksi. Minimnya
angka kunjungan tersebut dikarenakan masih
ditemukannya berbagai permasalahan dalam
pengelolaan lembaga swadaya masyarakat.
Masih minimnya pengetahuan sumber daya
manusia tentang kesehatan reproduksi
remaja, dana yang terbatas, tidak adanya
pelatihan untuk petugas, ketidaktahuan
petugas mengenai media penyuluhan,
ketidaktahuan petugas mengenai teknik atau
cara penyuluhan yang efektif dalam
melakukan penyuluhan serta kurangnya
minat remaja terhadap pelayanan kesehatan
reproduksi
remaja
menjadi
faktor
penghambat
pelaksanaan
pelaynanan
kesehatan reproduksi remaja oleh Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja.13
Untuk dapat meningkatkan peran dari
kelompok masyarakat dalam menyediakan
informasi
dapat
dilakukan
dengan
meningkatkan keterlibatan dari siswa dari
sebuah sekolah maupun mahasiswa dari
sebuah kampus. Penelitian yang dilakukan
pada sebuah LSM Pusat Informasi Kesehatan
Reproduksi (PIKIR) yang berada di sebuah
sekolah, ditemukan bahwa siswa dampingan
tergolong aktif dalam melakukan kegiatan
sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi
dan menilai kegiatan tersebut sebagai
kegiatan yang positif.14
Peningkatan peran dari kelompok masyarakat
yang fokus dalam kesehatan reproduksi juga
dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan
terhadap petugas atau konselor yang bertugas
dalam kelompok tersebut. sebuah penelitian
menunjukan bahwa dengan diadakannya
sebuah penyuluhan terhadap konselor dapat
Peran Keluarga, Masyarakat, dan Media…( Mochamad, Badra, Yuli)
meningkatan pengetahuan secara signifikan
terhadap pengetahuan.15
Peran Media Sebagai Penyedia Informasi
Kesehatan Reproduksi
Media sebagai sumber dari informasi juga
memberikan kontribusi dalam menyediakan
informasi mengenai kesehatan reproduksi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
salah satu SMA di Surakarta menunjukkan
bahwa para siswa mendapatkan info
mengenai kesehatan reproduksi melalui
media seperti televisi, majalah, atau media
cetak.16
Penggunaan media terkait dengan kesehatan
reproduksi menjadi hal yang dilematis . Di
satu sisi, mediadapat memberikan informasi
yang tepat mengenai kesehatan reproduksi.
Namun
tidak
sedikit
remaja
yang
menggunakan media secara tidak tepat,
misalnya melihat gambar dan video porno.
Peran media seharusnya dapat ditingkatkan
lagi
sehingga
mampu
meningkatkan
pengetahuan remaja mengenai kesehatan
reproduksi. Aksesibilitas media yang sangat
mudah dijangkau oleh remaja menjadi
peluang dalam penyebaran informasi
mengenai kesehatan reproduksi yang cepat
dan tepat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Keluarga dan masyarakat telah memberikan
peran dalam penyebaran informasi mengenai
kesehatan
reproduksi.
Responden
menanyakan atau berkonsultasi mengenai
kesehatan reproduksi kepada teman, ibu,
bapak, keluarga, saudara kandung, petugas
kesehatan, pemuka agama, dan guru atau
dosen. Mayoritas responden, yaitu sebesar
83,8 persen, bertanya dan membicarakan
kesehatan reproduksi kepada temannya
dibandingkan dengan sumber informasi lain.
Sementara itu, organisasi kemasyarakatan
telah melakukan penyebaran informasi
mengenai kesehatan reproduksi melalui
pertemuan masyarakat dan organisasi yang
dibentuk. Pertemuan yang membahas
mengenai kesehatan reproduksi telah
dilakukan oleh karang taruna, pemuka
agama, LSM, pemerintah, dan bina kesehatan
remaja. Namun hanya 40,4 persen responden
yang telah menghadiri pertemuan tersebut.
Sedangkan wadah yang diketahui responden
untuk fasilitasi kesehatan reproduksi antara
lain LSM, Puskesmas, dokter spesialis
reproduksi, PKBI centera mitra muda,
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR),
Pusat Kesehatan Reproduksi Remaja,
Puskesmas, Rumah Keluarga Indonesia, dan
seminar kesehatan.
Mahasiswa juga mendapatkan informasi
mengenai kesehatan reproduksi dari media
cetak maupun elektronik. Informasi yang
disediakan oleh media antara lain mengenai
penundaan usia kawin, HIV-AIDS, infeksi
menular seksual, iklan kondom, narkoba,
minuman keras, dan mencegah kehamilan.
Penyebaran informasi melalui media masih
tergolong rendah, hal tersebut tergambar dari
rendahnya
jumlah
mahasiswa
yang
mendapatkan informasi mengenai kesehatan
reproduksi dari media.
Saran
Diperlukan adanya peningkatan pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi pada
keluarga, media dan masyarakat. Hal tersebut
dikarenakan adanya pola komunikasi oleh
mahasiswa
dengan
keluarga
dalam
membahas kesehatan reproduksi. Dengan
adanya peningkatan pengetahuan mengenai
kesehatan reproduksi pada keluarga, media
dan
masyarakat
diharapkan
dapat
memberikan informasi yang tepat kepada
mahasiswa. Untuk dapat memberikan
informasi mengenai kesehatan reproduksi
kepada remaja diperlukan penguatan kembali
oleh organisasi kemasyarakatan seperti
peningkatan kualitas dan kuantitas sumber
daya manusia untuk mengelola organisasi
yang fokus pada kesehatan reproduksi
remaja. Selain itu, diperlukan adanya
peningkatan jumlah pendanaan sehingga
dapat meingkatkan fasilitas yang baik seperti
ruangan dan media promosi sehingga dapat
memberikan informasi lebih massif kepada
mahasiswa. Media juga diharapkan dapat
menambahkan konten mengenai kesehatan
reproduksi sehingga mahasiswa dapat
memanfaatkan informasi tersebut dalam
meningkatkan pengetahuannya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Civitas Akademika Fakultas Kedokteran dan
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 16 – 23
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan dukungan dalam melakukan
penelitian ini. Terima kasih juga kami
sampaikan kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan yang telah memfasilitasi pelatihan
penulisan artikel dan telaah draft artikel ini.
9.
10.
DAFTAR PUSTAKA
11.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Soetjiningsih. Buku Ajar Tumbuh Kembang
Remaja dan Permasalahannya. 2004. Jakarta:
Sagung Seto.
Indonesia Young Adult Reproductive Health
Survey. 2007.
Nursal, Dien G.A. Faktor-Faktor yang
berhubungan dengan Perilaku Seksual Murid
SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2008
Lestary, Heny dan Sugiharti. Perilaku
Berisiko Remaja di Indonesia menurut
Survey Kesehatan Reproduksi Remaja
Indonesia (SKRRI) Tahun 2007. Jurnal
Kesehatan Reproduksi, 2011; 1
Anas, Siti Hikmah. Sketsa Kesehatan
Reproduksi Remaja. Jurnal Studi Gender dan
Anak Yin Yang. 2010.
Suryoptro, Antono, Nicholas J. Ford, Zahroh
Shaluliyah.
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di
Jawa
Tengah:
Implikasinya
terhadap
Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual
dan Reproduksi. Makara, 2006; 29-30
Puspitaningrum, Dewi. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Praktik Perawatan Organ
Genitalia Eksternal pada Anak Usia 10-11
Tahun yang MengalamiMenarche Dini Di
Sekolah Dasar Kota Semarang. Seminar
Hasil-Hasil Penelitian LPPM UNIMUS. 2012
Nora, Ariza Cilvia, dan Erlina Listyanti
Widuri. Komunikasi Ibu dan Anak dengan
Depresi pada Remaja. Humanitas, 2011; 8
12.
13.
14.
15.
16.
Rahmawati, Chusnul Tri, Yuli Kusumawati,
Zainal Abidin. Hubungan Antara Sumber
Informasi
dan
Pengetahuan
tentang
Menstruasi dengan Perilaku Personal
Hygiene selama Menstruasi. Prosiding
Seminar
Nasional
“Peran
Kesehatan
Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di
Indonesia”. 2011
Ekasari, Farida. Pola Komunikasi dan
Informasi Kesehatan Reproduksi antara Ayah
dan Remaja. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 2007; 2(1)
Kuntjorowati, Elly. Penelitian Tentang
Peranan LSM dalam Menggerakan Partisipasi
Sosial Masyarakat untuk Menanggulangi
AIDS. 2003. Yogyakarta
Ngestiningrum, Ayesha Hendriana. Perbandingan antara Pengaruh Layanan Informasi
dan Konseling Kelompok terhadap Sikap
tentang Kesehatan Reproduksi Remaja.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes,
2010; 1
Paramitha, Astridya., Widjiartini, Palman
Soeparmanto. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja oleh Puskesmas yang di
Wilayah Kerjanya terdapat Lokasi Prostitusi.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 2006;
9(3):156-163
Tadawura, Wadana., Atika, Tuti., Hariani
Siregar. Keterlibatan Siswa Dampingan
dalam Kegiatan Program Pusat Informasi
Kesehatan Reproduksi dan Gender Pusat
Kajian dan Perlindungan Anak (PIKIRPKPA). Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008;
2(2)
Husodo, Besar Tirto dan Widagdo,
Laksmono. Pengetahuan dan Sikap Konselor
SMP dan SMA dalam Penyuluhan Kesehatan
Reproduksi di Kota Semarang. Makara
Kesehatan, Desember 2008; 12(2)
Suminar, Martia Chusnul Ratna, Dharminto,
Yudhy Dharmawan. Korelasi Sumber
Informasi Media dan Lingkungan Pergaulan
dengan Perilaku Seksual Remaja dalam
Berpacaran. Jurnal Kesehatan Masyarakat
FKM Undip, 2012; 1(2):187-205.
Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa )
POTRET KESEHATAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA (STUDI KASUS DI PUSAT PELAYANAN TERPADU
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK KALIMANTAN TIMUR)
A Potrait of Health of Women Who Are The Victims of Domestice Violence (A Case
Study from The Integrated Service of Women and Child Empowerment in East
Kalimantan)
Annisa Nurrachmawati*, Nurohma, Puspa Mustika Rini
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur
*Email: [email protected]
Abstract
Background:Violence against women is a global problem that has been widely discussed. Violence can result
in physical, mental, sexual, reproductive health and other health problems.
Objectives:This research aimed to collect information about health condition of women as victims of
domestic violence. This was a case study obtained from the P2TP2A (Integrated Service for women and
children empowerment) in East Kalimantan in 2011.
Methods: This was a qualitative study using theinterpretative phenomenological analysis. In-depth
interviews were conducted to collect information from informants. The main informants were six victims of
domestic violence, a key informant was the psychologist who treated victims, and a supporting informant
was the head of P2TP2A.
Results:Some victims also suffered from reproductive tract infections as a result of domestic violence. The
prominent consequence was the mental aspect such asdepressions and suicide attempts Some victims were
even admitted to the psychiatric hospital. Children frequently witnessed and experienced the negative effects
of violence.
Conclusions: Victims had experiencedmultiple forms of violence, including physical, economic, sexual,
psychological violence and family neglect. Physical violence left some scars, some were permanent.
Key words: Domestic violence, violence against women, P2TP2A
Abstrak
Latar Belakang: Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah global yang banyak dibicarakan saat
ini. Berbagai masalah kesehatan meliputi dampak fisik,mental dan kesehatan reproduksi dapat muncul
sebagai dampak kekerasan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi yang mendalam mengenai potret kesehatan
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga studi kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak Provinsi Kalimantan Timur 2011.
Metode:Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan interpretive Fenomenologi.
Wawancara mendalam digunakan untuk menggali data. Informan utama terdiri dari 6 korban KDRT, 1
orang psikolog yang menangani korban sebagai informan kunci dan kepala P2TP2A sebagai informan
pendukung.
Hasil: Kekerasan fisik menimbulkan bekas luka bahkan ada yang sifatnya permanen. Korban mengalami
infeksi pada saluran reproduksi. Dampak menonjol terutama pada aspek mental, depresi,percobaan bunuh
diri hingga ada yang dirawat di rumah sakit jiwa. Anak juga kerapkali meyaksikan dan menerima dampak
yang buruk dari kekerasan.
Kesimpulan: Korban telah menerima lebih dari satu bentuk kekerasan dari suaminya yang meliputi bentuk
kekerasan fisik, ekonomi, seksual, psikis dan penelantaran rumah tangga.
Kata kunci: KDRT, kekerasan terhadap perempuan, P2TP2A
Naskah masuk: 18 Januari 2012,
Review: 15 Februari 2012,
PENDAHULUAN
Kekerasan terhadap perempuan merupakan
Disetujui terbit: 18 April 2012
masalah global yang banyak dibicarakan saat
ini. Diperkirakan paling sedikit satu diantara
lima penduduk perempuan di dunia pernah
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37
mengalami kekerasan yang dilakukan oleh
pria1. Akhir-akhir ini, KDRT makin marak di
masyarakat, terutama KDRT yang terjadi
pada istri. Komnas perempuan menyatakan
bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan
yang paling sering terjadi adalah Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT).2
Laporan WHO tahun 2002 mengenai
“Violence and Health” (Kekerasan dan
Kesehatan) menunjukkan kualitas kesehatan
perempuan menurun drastis akibat kekerasan
yang dialaminya. Hal tersebut dibuktikan
bahwa antara 40-70 persen perempuan yang
meninggal karena pembunuhan, umumnya
dilakukan oleh mantan atau pasangannya
sendiri.3 Studi yang dilakukan WHO di 10
negara menunjukkan 15-71 persen wanita
mengalami kekerasan fisik atau seksual yang
dilakukan oleh suami atau pasangannya.4
Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai
statistik
nasional
untuk
tindak
KDRT. Pencatatan data kasus KDRT dapat
ditelusuri dari sejumlah institusi yang
layanannya terkait sebagaimana diatur dalam
UU Penghapusan KDRT dan Peraturan
Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan
Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan atau disebut Komnas Perempuan,
mencatat bahwa di tahun 2006 sebanyak
22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan
dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di
Indonesia 74 persen diantaranya kasus KDRT
dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020
kasus) dan Jawa tengah (4.878 kasus).5
Data tahun 2007 Mitra Perempuan Women’s
Crisis Center (WCC) 6 mencatat 87 persen
dari perempuan korban kekerasan yang
mengakses layanannya mengalami KDRT,
dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah
suami dan mantan suaminya (82,75%). Fakta
tersebut juga menunjukkan 9 dari 10
perempuan
korban
kekerasan
yang
didampingi WCC mengalami gangguan
kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba
bunuh diri; dan 13,12 persen dari mereka
menderita gangguan kesehatan reproduksinya.
Kekerasan terhadap perempuan dapat
berdampak fatal berupa kematian, upaya
bunuh diri dan terinfeksi HIV/AIDS. Selain
itu, kekerasan terhadap perempuan juga
dapat berdampak non fatal seperti gangguan
kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan
mental, perilaku tidak sehat serta gangguan
kesehatan reproduksi. Baik dampak fatal
maupun non fatal, semuanya menurunkan
kualitas hidup perempuan.7
Dengan melihat serangkaian fakta diatas,
maka tidak berlebihan jika dikatakan KDRT
merupakan bagian dari isu kesehatan
masyarakat
yang
patut
diperhatikan.
Diperlukan studi tentang kesehatan wanita
dan KDRT terhadap wanita, merekomendasikan dan meminta langkah nyata dari pembuat
kebijakan serta sektor kesehatan masyarakat
untuk menambah anggaran kesehatan dan
kemanusiaan, termasuk mengikutsertakan
program pencegahan kekerasan dalam
lingkup kegiatan social.8
Provinsi Kalimantan Timur yang merupakan
provinsi sedang berkembang, dengan
didukung oleh masyarakat yang memiliki
ritme hidup yang cukup tinggi, ini ternyata
berdampak terhadap rentannya tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Jumlah
tindak kekerasan terhadap perempuan di
Provinsi Kalimantan Timur sepanjang tahun
2007 tercatat sebanyak 478 kasus dari 13
kota diantaranya: Samarinda, Balikpapan,
Kutai Kartanegara, Bontang, Kutai Timur,
Pasir, Bulungan, Kutai Barat, Penajam Paser
Utara, Malinau, Nunukan, Tarakan dan Berau.
Samarinda yang merupakan bagian dan Ibu
Kota dari Kalimantan Timur memiliki jumlah
kasus kekerasan tertinggi, dengan jumlah 114
kasus.9 Hal ini menunjukkan dari 100 persen
kasus kekerasan terhadap perempuan di
Kalimantan Timur sebanyak 23,85 persen
terjadi di Samarinda. Pada tahun 2008 jumlah
kekerasan di Samarinda meningkat menjadi
164 kasus dan tahun 2009 menjadi 172 kasus
kekerasan terhadap perempuan.9 Data
tersebut tentu belum dapat mewakilkan
keberadaan seluruh perempuan yang pernah
mengalami kekerasan. Karena seperti yang
kita
ketahui,
sebagian
perempuan
menganggap kekerasan sebagai aib, sehingga
lebih memilih untuk berdiam diri dengan
kekerasan dari pada membongkar masalah
rumah tangga mereka ke masalah umum.
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi
Kalimantan Timur merupakan pusat kegiatan
terpadu yang menyediakan pelayanan bagi
perempuan dan anak korban kekerasan di
Provinsi Kalimantan Timur yang meliputi :
Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa )
Pelayanan informasi, konsultasi, psikologis,
hukum, pendampingan dan advokasi, serta
pelayanan medis dan rumah aman (Shelter).
Lembaga yang pada tahun 2009 baru
didirikan di Samarinda ini, bisa merupakan
tempat teraman bagi para korban kekerasan
dalam rumah tangga. Selain tempat untuk
mengadu, mereka dapat perlindungan hak
penuh dari lembaga tersebut.Walaupun baru
saat ini keberadaannya telah menjadi Shelter
untuk 27 korban kekerasan diantaranya kasus
KDRT di Kalimantan Timur termasuk
Samarinda. Kasus KDRT yang ditangani
pada tahun 2009 sebanyak 4 korban yang
terlapor dan di tahun 2010 meningkat
menjadi 17 korban terlapor. Dengan adanya
data
yang
dimiliki
tersebut
akan
mempermudah mencari dan menggali
informasi secara langsung kepada korban
yang mengalami kekerasan dalam rumah
tangga.
mengambil data di lapangan) dengan
pendekatan interpretive fenomenologydimana
peneliti berusaha memahami arti peristiwa
dan kaitannya terhadap orang-orang biasa
dalam situasi-situasi
tertentu.
Waktu
penelitian dilakukan yaitu bulan Maret 2011.
Sedangkan lokasi penelitian adalah wilayah
cakupan korban kekerasan dalam rumah
tangga yang berada dalam penanganan Pusat
Pelayanan
Terpadu
Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kalimantan
Timur.
Tulisan ini adalah bagian dari penelitian
tentang potret kesehatan perempuan korban
kekerasan dalam rumah tangga yang
bertujuan memberikan informasi mendalam
mengenai potret kesehatan perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga hasil
studi kasus di Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak Propinsi
Kalimantan Timur tahun 2011.
Jumlah informan dalam penelitian ini
berjumlah 8 orang yang terdiri dari 6 korban
KDRT sebagai informan utama, 1 orang
psikolog yang menangani korban di P2TP2A
sebagai informan kunci dan 1 petugas yang
bekerja di P2TP2A sebagai informan
pendukung. Berdasarkan data yang ada untuk
kasus kekerasan secara umum yang data
kasusnya masih menjadi penanganan di
P2TP2A berjumlah 37 kasus. Tahun 2009
sebanyak 4 kasus, 2010 sebanyak 17 kasus
dan 2011 sampai Maret terdapat 6 kasus
dan ini didominasi oleh kasus KDRT
sebanyak 27 kasus. Data kasus tahun 2010
menjadi pilihan peneliti karena pada tahun
tersebut dianggap terbanyak.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini
yaitu sebagai berikut:
1.
2.
Memperoleh
informasi
mengenai
pengalaman korban kekerasan dalam
rumah tangga yang meliputi bentuk,
frekuensi, tempat terjadinya dan
penyebab kekerasan dalam rumah
tangga studi kasus di Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak (P2TP2A) Provinsi Kalimantan
Timur 2011.
Memperoleh
informasi
mengenai
dampak dari sisi kesehatan fisik,mental
dan kesehatan reproduksi korban
kekerasan dalam rumah tangga studi
kasus di Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) Provinsi Kalimantan Timur
2011.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
bersifat cross sectional study (1 kali
Pada penelitian fenomenologi sampel yang
diambil adalah sampel yang pernah
mengalami substansi yang akan diteliti
(Cresswell,
1998).
Dengan
melalui
wawancara yang mendalam (intensive
interview, in-depth interview) dan berhenti
ketika tidak ada informasi baru lagi (Hamidi,
2008).
HASIL
Informan pada penelitian ini telah menikah
dengan umur pernikahan yang beragam, ada
yang relatif cukup lama, yaitu selama 21
tahun dan 10 tahun kemudian bercerai
dikarenakan kasus KDRT. Adapula yang usia
pernikahannya masih tergolong muda yaitu 1
tahun dan 3 tahun. Semua informan
menjalani masa pacaran sebelum menikah,
baik untuk waktu satu tahun atau kurang dari
satu tahun masa pacaran. Lama atau
singkatnya masa pacaran memang tidak
dapat dijadikan tolak ukur pasangan tersebut
telah
saling
mengenal
kepribadian
masing-masing. Kekerasan yang terjadi sejak
masa pacaran dapat dijadikan pertanda
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37
bahwa kekerasan tersebut dapat berlanjut di
dalam masa perkawinan. Saat ditanya
mengenai apakah mereka mengalami
kekerasan saat masa pacaran, semua
informan menjawab mereka tidak pernah
mengalami kekerasan saat pacaran. Ada yang
menyatakan bahwa masa pacaran mereka
hanya berjalan dalam waktu singkat atau
hubungan jarak jauh sehingga intensitas
pertemuan rendah, karena itu mereka tidak
mengalami kekerasan dalam bentuk apapun.
Selain itu, terdapat informan yang
menyatakan mereka sebenarnya telah
mengetahui bahwa calon suami merupakan
pengguna narkoba, tetapi tetap menikah
karena orang tua meyakinkannya bahwa
perilaku buruk tersebut akan berubah setelah
perkawinan. Keyakinan yang di kemudian
hari tidak terbukti karena justru penggunaan
narkoba berlanjut dan memicu terjadinya
KDRT.
Bentuk Kekerasan Domestik yang Dialami
Informan
Dari hasil wawancara mendalam diketahui
bahwa korban telah menerima lebih dari satu
bentuk kekerasan dari suaminya selama
hidup berumah tangga. Kekerasan yang
diterima merupakan gabungan bentuk
kekerasan yang meliputi bentuk kekerasan
fisik, ekonomi, seksual, psikis dan
penelantaran rumah tangga.
Berikut
ungkapan mengenai bentuk-bentuk kekerasan
yang mereka alami:
"dipukul sama tangan kosong aja sih…
Paling kalau dia jengkel ngelempar
barang atau ngancurkan barang
dirumah ya tergantung kalo aku bisa
hindar ya ga kena." (RR: 6 April 2011)
"dipukul dengan tangan mba tapi juga
kadang dengan apa yang dipegang itu
dia lempar ke saya mba… Pernah mba
tapi lebih seringnya tidak mba karena
saya lebih sering cepat menghindar mba
kalo dipukul kan saya tidak tau kapan
dia ingin memukul jadi saya lebih bisa
untuk mengindar mba, tapi dilempar
saya masih bisa mba." (SH:12 April
2011)
Selain kekerasan fisik, informan mengalami
pula kekerasan ekonomi dan penelantaran
yang bahkan melibatkan anak sebagai
korbannya, seperti diungkapkan oleh
informan berikut ini:
“...ditutup semua ini pintu jendela ga
boleh keluar saya...dia ambil uang saya
itu 600 ribu untuk main judi, 600 ribu
saya untuk masukkan TK anakku
sekalinya dia ambil untuk main judi
sampe saya nangis...ya saya ndak
dibolehkan tidur di rumah itu tidur di
emperan sama anakku...”(SK: 30 Maret
2011)
Pengakuan diatas menunjukkan ada korban
yang mengalami kekerasan ekonomi dan
penelantaran rumah tangga, adapula yang
mengalami kekerasan seksual yang diiringi
dengan kekerasan fisik. Setiap kali suami
meminta berhubungan intim korban selalu
mengalami kekerasan seksual.
"seksual iya...setiap anu itu dia
kepengen kayak gitu kebanyakan mukul
dalam keadaan nangis digitukan, dalam
keadaan
haid
digitukan."
(gitu:
berhubungan intim) (MK: 1 April 2011)
Kekerasan seksual dalam bentuk apapun
yang
dialami
perempuan
akan
mempengaruhi sistem organ reproduksinya.
Dari hasil wawancara ada informan utama
yang dengan terbuka menceritakan bahwa
telah mengalami kekerasan seksual. Berikut
ungkapan mengenai kekerasan seksual yang
dialaminya:
“kalo menyimpang ada sih mba cuman
ya mungkin anu kali ya seperti kalo saya
cape dipaksa gitu maksudnya terus iya
sih itu sambil jualan-jualan itu kan mba
jadi kalo saya apa saya bilang ga enak
badan gitu kan, karna saking
kecapeannya dia sering memaksa
walaupun saya sampe badan saya
meriang”(PA: 4 April 2011)
Pemaksaan dalam hubungan intim yang
diterima informan tidak bisa dihindari karena
kekuasaan akan tubuh istrinya kadang
disalahartikan suami tanpa memperdulikan
kondisi istri dan informan utama hanya bisa
pasrah. Seperti pernyataan informan utama
berikut:
“ya kadang anu ai pasrah aja kayak
gitu…paling
jawabnya
sembarang
Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa )
kalo…dia malah bilang kayak gini
“ tempemu itu untuk siapa?” katanya
kayak gitu kalo, “ada cowokmu kah,
kamu simpankan kalo bukan untuk
suami” ndak ngerti gitu.” (Tempe :
Vagina) (MK: 1 April 2011)
Untuk kekerasan psikis biasanya dialami
informan
utama sebagai akibat dari
kekerasan yang dialami sebelumnya seperti
pernyataan informan berikut:
“yang paling sering diterima ya ga
dinafkahi, dia itu nyakitin batin itu nah
mba, iya dia itu diam-diam main
perempuan, make obat-obatan kayak
gitu itu, shabu-shabulah apalah.”
(BW:29 Maret 2011)
Kekerasan yang dialami informan seringkali
lebih dari satu jenis kekerasan. Kekerasan
psikis juga sering menyertai kekerasan
seksual dan kekerasan fisik. Kekerasan psikis
yang kerap diterima adalah para informan
dipanggil dengan sebutan yang tidak layak.
Sebagaimana pernyataan informan berikut
ini:
"Seksual iya, kadang kalo pulang mabok
itu ya kadang dipukul… Pernah nampar,
nampar pernah… Tempeleng, banting…
Kalo misalnya narik baju gitu ditariknya
ya dibanting gitu sih…Anjing, lonte
gitu… kebanyakan dibilangi anjing."
(MK: 1 April 2011)
"Saya
biasa
ditampar,
dipukul,
ditendang, dihina… Oh, banyak mba
saya kadang sering banget saya dikatain
lonte, anjing begitu mba… Pukulan mba,
pukulan dipipi ditampar." (lonte: pelacur)
(SH: 12 April 2011)
Kekerasan berganda yang dialami para
korban tersebut juga dinyatakan oleh
informan kunci yaitu kepala P2TP2A sebagai
berikut:
“jadi umumnya itu mereka terkena fisik
dan psikis yah jadi tidak pernah terjadi
hanya fisik saja gitu ya atau psikis saja
jadi akan menjadi satu gabungan
apabila telah terjadi kekerasan secara
psikis pada akhirnya ke fisik yah atau
sebaliknya mulai dengan fisik dulu
kemudian nanti berlanjut dengan psikis,
penelantaran dibawah dari ee..kasus
itu.”(KPL: 18 April 2011)
Ungkapan-ungkapan informan di atas
mengindikasikan
pengalaman
korban
mengenai bentuk kekerasan ganda yang
dialami berbeda-beda namun apapun bentuk
kekerasan tersebut jelas pada akhirnya sangat
mempengaruhi psikis korban apalagi
kekerasan yang diterima lebih dari satu
bentuk kekerasan.
Frekuensi Mengalami Kekerasan
Tidak ada kekerasan yang hanya terjadi satu
kali. Kekerasan itu berulang, bila semakin
sering faktor pemicu tersebut muncul maka
semakin sering kekerasan terjadi. Seperti
pernyataannya sebagai berikut:
“oh itu sudah sering mba…biasanya
kalo dia lagi emosi tinggi…karna ndak
ada pekerjaan…mabuk-mabukan.”(PA:
4 April 2011)
Namun ada pula korban yang mengalami
frekuensi kekerasan fisik hanya 2 kali selama
pernikahan tetapi untuk kekerasan ekonomi
bahkan
diterimanya
setiap
hari.
Pernyataan-pernyataan informan bahwa
frekuensi kekerasan berulang didukung oleh
informan kunci yaitu kepala P2TP2A.
Berikut hasil wawancara mendalam
“tahun 2005 sekali tahun 2008 sekali,
cuman 2 kali aja dia pukul, iya itu aja
kalo masalah pukulnya…ya misalnya
kalo minta uang itu tiap hari, untuk
main judi kalo ndak dikasih marah
dia.”(SK: 30 Maret 2011)
Tempat Terjadinya KDRT
Tempat terjadinya KDRT adalah di
lingkungan
biasanya
istri
mendapat
kekerasan yaitu di rumah sendiri, rumah
kerabat, tempat kerja maupun tempat umum.
Dari hasil wawancara informan utama yaitu
korban menyebutkan bahwa kekerasan yang
mereka alami utamanya terjadi di rumah
mereka sendiri dengan pernyataan yang sama
seperti dibawah ini:
“ini di ini di kamar ini dirumahku ini
sampai saya siup, keluar darah itu
mungkin ada setengah gelas itu ngalir di
karpet ini…ndak ada orang liat cuma dia
sendiri yang anu itu yang ngelap itu…”
(SK : 30 Maret 2011)
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37
“kalo ndak salah dia mukul aku pas di
samping kulkas oah…pokoknya dicekek
sudah aku tu dihajar sekuat-kuatnya nah
aku mikir dalam hatiku kalo aku ndak
ngelawan ini mati aku, ku tendang lari
aku ke luar, menghindar ku tendang
jatoh, lari aku ke luar…ke tempat
tetangga…” (RR : 6 April 2011)
adapula korban yang selain
menerima kekerasan di rumah mereka
sendiri juga menerima kekerasan di
tempat umum dan rumah kerabat. Berikut
pernyataannya:
Tetapi
“di pasar malam di atas itu sekali, di
sini sekali di dalam rumah.”(SK: 30
Maret 2011)
“kalau di tempat temennya pernah tapi
temennya ndak tau…”(MK: 1 April
2011)
Informan pendukung juga mempertegas
pernyataan informan-informan utama dengan
pernyataan seperti berikut:
“yang jelas di dalam rumah…“ kalo
misalkan tindakan KDRT itu dilakukan
misalkan di luar akhirnya di sana banyak
orang yang jelas kan ga sevulgar seperti
pada saat dilihat orang kan ya itu aja.”
(PSI: 18 April 2011)
Rumah memang menjadi tempat yang
„aman‟untuk melakukan tindak kekerasan
karena merupakan wilayah privasi bagi
keluarga . kecuali di dalam rumah terdapat
anggota keluarga di luar anggota keluarga inti
seperti ibu mertua atau kakak ipar maka
pelaku tidak berani untuk bertindak kasar. Hal
ini sesuai pernyataan informan kunci yaitu
kepala P2TP2A.
“...umumnya tidak berani si suami itu
katakanlah misalnya di rumah itu ada
kakaknya atau ada mamanya ya itu tidak
terjadi atau tak kala keluarga lainnya
datang bertamu itu tidak berani tapi
begitu ga ada ya hanya anak-anak saja
itu keberanian untuk menganiaya itu
timbul berani dia” (KPL: 18 April 2011)
Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Faktor ekonomi merupakan faktor yang
paling sering diungkap oleh informan.
Tingginya kebutuhan rumah tangga dan
tuntutan gaya hidup hedonis, serta rendahnya
kemampuan suami sebagai kepala rumah
tangga memenuhinya menjadi stresor
tersendiri yang memicu terjadinya kekerasan.
Sebagaimana diungkap berikut:
“karena
uang…ya
kerjanya
itu
serabutan mba, waktu awal nikah itu dia
masih ada lah kerjaan- kerjaan
panggilan, tapi belakangan ini sudah
tidak ada jadi dia ya gitu…” (SH: 12
April 2011)
“anjing, lonte gitu…itu paling anu kalo
kadang ko gajinya tinggal segini 500
padahal gajinya ndak kayak gini kalo,
kalo kurang katanya jual diri aja gitu.”
(MK: 1 April 2011)
Faktor perselingkuhan juga diakui informan
dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan.
Seperti inilah ungkapannya:
“…dia teleponan terus sama cewe, sms
an
terus
sama
cewe
pake
sayang-sayang.” (BW : 29 Maret 2011)
Hal ini juga disampaikan oleh informan
pendukung yaitu psikolog korban dimana
perselingkuhan menjadi penyebab kekerasan
dengan ungkapan sebagai berikut:
“si istri ini ee…dituduh gitu ya dituduh
macem-macem ee…sama si suami,
sedangkan si suami sendiri dia memang
punya niat untuk menceraikan istri itu
sendiri karena dia punya yang lain…”
(PSI: 18 April 2011)
Faktor dominasi suami juga ditemukan dalam
penelitian menjadi penyebab timbulnya
kekerasan. Seperti pengakuan informan
utama berikut ini:
“…kalo misalnya itu disuruh anu
misalnya kayak pecemburuan juga sih
mba, kalo negur gitu ato ada cowok
yang negur dia marah gitu pulang
paling nendang kayak gitu sampe
panjang gitu sampe mukul kadang kayak
gitu… keluar dari rumah untuk beli aja
ndak boleh.” (MK: 1 April 2011)
Perilaku buruk suami seperti berjudi dan
Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa )
menggunakan narkoba turut menjadi pemicu
dari terjadinya
kekerasan.
Hal
ini
diungkapkan hampir semua informan, seperti
pernyataan berikut:
“biasanya kalo dia lagi emosi
tinggi…karna ndak ada pekerjaan…
mabuk-mabukan.”(PA: 4 April 2011)
“dia main judi…” (SK: 30 Maret 2011)
Dominasi suami yang ditunjukkan dalam
kepemimpinan di rumah tangga yang tidak
boleh dibantah oleh istri terungkap pula
menjadi salah satu pencetus timbulnya
kekerasan, seperti pernyataan informan
berikut ini:
"Pokoknya membuat dia terpancing itu
1 aja sih kalo kita ngelawan emosi itu
aja tinggi darah sudah dia langsung."
(RR: 6 April 2011)
Semua penyebab di atas dipertegas oleh
informan kunci yaitu kepala P2TP2A yang
menguraikan kenyataan-kenyataan penyebab
kekerasan. Berikut ungkapannya:
“…kalau dilihat permasalahannya
kenapa dia mabuk, kenapa dia main
perempuan ya memang selain daripada
moralnya dia sudah tidak baik si suami
itu jadi eee..masalah ekonomi itu
ternyata yang mengadu kesini paling
besar, ada juga yang bukan karena
ekonomi, misalnya karena eee..masalah
gengsi dari suami tapi itu hanya sedikit
saja ada juga ee…masalah terlalu
protektif ya terhadap istrinya jadi
cemburu…” (KPL : 18 April 2011)
Dari pernyataan di atas dapat ditarik analisis
makna yaitu faktor utama penyebab
terjadinya kekerasan
pada korban
kekerasan yang dtangani P2TP2A adalah
masalah ekonomi akan tetapi ada pula faktor
lain yang dapat menjadi penyebab
diantaranya
kebiasaan
buruk
seperti
mabuk-mabukan,
perselingkuhan
dan
kekuasaan suami terhadap istri atau korban.
Dampak Dari Sisi Kesehatan Fisik
Dari hasil wawancara, kekerasan fisik yang
sering terjadi berupa berupa pukulan,
didorong dengan keras, penempelengan dan
tendangan. Berikut pernyataan informan:
“…dipukul, ditendang…” (SH: 12 April
2011)
“tempeleng, banting…”(MK: 1 April
2011)
Bagian tubuh yang sering menjadi sasaran
kekerasan fisik adalah punggung, pelipis
kepala, pipi, dan bibir. Berikut hasil
wawancara mendalam :
“…langsung ditendang saya mba dari
belakang itu saya langsung jatoh ke
depan ke dekat kompor itu mba, saya
langsung ini jidat saya langsung luka itu
mba kena…” (SH: 12 April 2011)
“…pokoknya bibir ni pecah…babak
belur, biru kan…” (RR: 6 April 2011)
“iya pernah merah-merah…di punggung
sama pipi.” (PA : 4 April 2011)
Terdapat pula informan yang menyatakan
seluruh tubuhnya pernah menjadi sasaran
kekerasan fisik, sebagaimana pernyataan
berikut:
"ya kayak apa kalau orang emosi itu ga
menampar di pipi aja sih ya sembarang
di seluruh tubuh aja kan ibaratnya ga
terkontrol. Kayak apa ya ibaratnya
semuanyalah kalo udah nampar itu."
(RR : 6 April 2011)
Informasi mengenai bentuk kekerasan fisik
yang mereka alami di atas tentu dapat
meninggalkan bekas luka atau memar di
bagian anggota tubuh informan utama.ada
bekas luka yang tidak meninggalkan bekas
permanen namun ada pula informan yang
memiliki bekas luka permanen akibat
penganiayaan fisik dari suaminya. Berikut
ungkapannya:
“ini na ini pelipis sebelah kanan…robek
ini ada 3 bulan baru bisa sembuh…saya
memang ga mau dijahit supaya ada
bekasnya…visum itu saya…” (SK : 30
Maret 2011)
Tentunya ada alasan tersendiri bagi informan
utama yang begitu menerima kekerasan fisik
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37
langsung mengadu dan melakukan perawatan
medis seperti visum, karena menganggap
bisa menjadi bukti telah menerima kekerasan
dari suami. Hal ini juga dipertegas oleh
pernyataan informan kunci yaitu kepala
P2TP2A sebagai berikut:
“…ya jadi kita juga bekerjasama dengan
rumah sakit umum ya dengan puskesmas
andaikata ada korban yang memerlukan
perawatan medis yang memerlukan
visum misalnya ya itu juga kita
bekerjasama dengan pihak rumah sakit
dan komunikasi kita baik…ada yang
masih babak belur ada sehingga kami
dengan cepat membawa ke polisi
kemudian minta divisum kemudian.”
(KPL : 18 April 2011)
Kesulitan yang dihadapi pihak P2TP2A
adalah bila korban kekerasan datang
terlambat yang mana luka, memar atau tanda
kekerasan lainnya telah sembuh sendirinya
karena terlambat melapor sehingga tidak ada
bukti visum. Sebagaimana pernyataan
informan P2TP2A:
"ada juga yang sudah terlambat sekali
ya ee..mereka mengadunya sehingga
sulit untuk kita melakukan visum jadi
hanya
berdasarkan
keteranganketerangan dan biasanya kita cari kalau
memang ee..sudah suami istri kita cari
unsur-unsur yang bisa memberatkan ke
arah KDRT ya…”(KPL: 18 April 2011)
Terlambatnya para informan mencari dan
mendapatkan
pertolongan,
disebabkan
mereka cenderung diam dan pasrah
menerima kejadian tersebut sebagai bagian
dari yang mereka yakini sebagai takdir.
Diamnya para informan didorong pula oleh
rasa takut terhadap pelaku kekerasan.
Sebagaimana pernyataan informan berikut
ini:
"Biasa aja sudah dia mau kayak apa
pasrah aja sama yang diatas…"
(BW:
29 Maret 2011)
"Ya saya tidak mau melawan dia lagi
mba jadi kalo dia marah-marah saya
diam aja di kamar kunci pintu mba, tidak
berani keluar kamar saya jadi biarkan
dia marah diluar."(SH: 12 April 2011)
Informan yang masih bertahan dalam rumah
tangganya walaupun telah mengalami
kekerasan, disebabkan masih berharap
suaminya akan berubah, seperti pernyataan
informan berikut ini.
"pertama sih saya ga berani untuk lari
dari rumah kan karna saya berharap
suami saya masih bisa berubah dengan
nasehat-nasehat saya kan, sampe waktu
bulan puasa itu kan puncaknya, bulan
puasa itu saya langsung ini pergi aja
dari rumah minggat." (PA: 4 April 2011)
Seluruh
informan
bereaksi
terhadap
kekerasan yang mereka alami dalam diam,
tidak pula menceritakan keadaan mereka
kepada teman atau keluarga, seperti
ungkapan infoman berikut ini:
"ya.. tekanan apa ya, ya gimana ya
misalkan saya mau menceritakan ke
keluarga saya ya saya ndak berani,
mau cerita ke tetangga ke teman juga
rasanya malu gitu kan." (PA: 4 April
2011)
Dampak dari Kesehatan Alat Reproduksi
Kekerasan seksual berupa pemaksaan
hubungan seks di saat istri sedang tidak sehat
atau sedang haid akan berdampak buruk bagi
kesehatan reproduksi sang istri. Sebagaimana
hasil wawancara mendalam menunjukkan
wanita korban KDRT rentan terhadap infeksi
kandungan termasuk infeksi:
“…pernah infeksi juga sih, infeksi
kandungan saluran kencing pertama
saluran
kencing,
kedua
ini
kandungan…bilangnya anu sih infeksi
terus diperiksa anu ada kista” (MK : 1
April 2011)
Dampak Dari Sisi Kesehatan Mental
Dampak Kesehatan Mental adalah kondisi
yang ditimbulkan menyangkut psikis korban
diantaranya stress pasca trauma, depresi,
kecemasan, rendah diri, dan gangguan pola
makan. Dari hasil wawancara sebagian besar
informan utama mengatakan bahwa mereka
sempat merasakan dampak secara psikis atau
mental berupa stress, trauma, rendah diri,
tertekan, depresi dan lain-lain dari kekerasan
yang mereka terima. Berikut ungkapannya:
“di dapur mba, jadi setiap ke dapur saya
Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa )
melihat ada orang masuk saya sudah
trauma mba saya takut dipukul…jadi
saya takut sekali jadi ada rasa was-was
dari saya itu kalo dia datang buka pintu
saya langsung sudah takut pengennya
saya
lari ke kamar mba, kunci pintu
kamar saya” (SH : 12 April 2011)
tahan lagi dengan kekerasan yang dialaminya.
Berikut ungkapannya:
"Ya sakit hatilah, sakit hati karena
dibohongi, dipermainkan" (BW: 29
Maret 2011)
Bentuk trauma yang lain adalah ketakutan
untuk melanjutkan hidup setelah mengalami
peristiwa kekerasan, seperti diungkapkan
berikut ini:
Ada pula informan utama yang merasa
rendah diri dan malu terhadap orang lain
akibat kata-kata kasar yang diucapkan suami.
Berikut ungkapannya:
“…ya sedih, malu juga, malu sama
tetangga pastinya kan karna tetangga
tau dengan kadang juga kan ada
tetangga anu apa istilahnya gossip lah
itu saya tau kayak gitu-gitu” (PA : 4
April 2011)
Hal yang cukup fatal dari kekerasan dalam
rumah tangga adalah karena perasaan depresi
yang berkepanjangan akhirnya informan
harus dirawat di salah satu rumah sakit jiwa.
Berikut pernyataannya:
“iya pikiran ndak bisa dikendalikan
akhirnya sampe masuk rumah sakit jiwa
saya…di Samarinda situ…saya itu
rasanya mau ku makan lakiku itu saking
ndak tahan emosiku itu…saya kalau ku
lihat lakiku itu marah kalau ndak ada
lakiku itu diam aja gitu.” (SK: 30 Maret
2011)
Depresi timbul sebagai ketidakmampuan
korban beradaptasi dengan kondisi yang ada,
demikian disampaikan oleh psikolog yang
menangani korban. Berikut ungkapannya:
“itu biasanya ada faktor trauma ya, syok
kaget, syok kemudian dia ada stress juga
macem-macem akhirnya dia depresi
artinya ee... si korban ini ee…tidak
mampu ya untuk menetralisir kondisi
seperti itu jadi sehingga muncul trauma,
depresi dan lain-lainnya.” (PSI: 18 April
2011)
Adapun informan yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri karena merasa tidak
“pernah di depan dia pernah minum
baygon pernah cuma ndak sampe aja,
pas ditumpahkannya dihalangin.” (MK:
1 April 2011)
"Ya itu mba saya jadi trauma buat
menikah lagi nantinya saya jadi takut
anak-anak saya nantinya." (SH:12 April
2011)
Bukan hanya informan utama saja yang dapat
merasakan dampak secara mental. Anak-anak
juga tidak lepas menjadi sasaran dari
kekerasan yang berujung ke psikis mereka.
Berikut ini pernyataannya:
“kalo anakku dia ngajar anakku yang
gede kah yang kecil kah pokoknya lipat
dua ini, anakku dilipat dua…kan duduk
diginikan (sambil memperagakan),
dilipatnya badannya… makanya anakku
bilang bapak ga usah repot-repot mukul
mendingan bunuh aja kami” (RR: 6
April 2011)
Selain mendapat kekerasan fisik anak juga
menderita trauma dikarenakan menyaksikan
peristiwa kekerasan. Sebagaimana diungkapkan informan berikut ini:
“iya diancam, “kalo kamu ndak kasih
uang kubunuh kamu pokoknya kasihkan
uang aku” dia ancamnya kayak gitu
iya…sering itu apalagi anaknya dipukul
pake sapu itu sampe patah…sampe
anaknya itu kayak orang apa itu kalo liat
bapaknya itu takut betul itu trauma dia”
(SK: 30 Maret 2011)
PEMBAHASAN
Kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga
merupakan salah satu bentuk kekerasan yang
seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi
di balik pintu tertutup. Tindakan ini
seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik
fisik maupun psikis yang dilakukan terhadap
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37
istri dalam rumah tangga. Tindakan ini
terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa
masyarakat atau budaya yang mendominasi
saat ini adalah patriarki, dimana laki-laki
adalah superior dan perempuan inferior
sehingga
laki-laki
dibenarkan
untuk
menguasai dan mengontrol perempuan. Hal
ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di
samping itu, terdapat pendapat yang keliru
terhadap stereotipe jender yang tersosialisasi
sangat lama dimana perempuan dianggap
lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih
kuat.
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Sciortino dan Smith, bahwa menguasai atau
memukul istri sebenarnya merupakan
manifestasi dari sifat superior laki-laki
terhadap perempuan. Selain budaya patriarki
yang masih sangat kuat, ada budaya yang
juga menjadi kendala, yaitu “budaya diam”.
11
Perempuan pada umumnya memilih untuk
diam, tidak menceritakan kekerasan yang
dialaminya kepada orang lain. Sementara itu,
mereka umumnya masih berpegang pada
nilai-nilai
ketergantungan,
kurangnya
kemandirian mereka, di balik kekuasaan
yang tidak seimbang karena budaya
patriarkhi, sehingga status sosial, kelas dan
ekonomi mereka menjadi lemah.12
Kecenderungan tindak kekerasan dalam
rumah tangga terjadinya karena faktor
dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana
istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa
diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini
muncul karena transformasi pengetahuan
yang diperoleh dari masa lalu, istri harus
mematuhi perintah suami, bila istri mendebat
suami, maka ia pantas dipukul. Kultur di
masyarakat suami lebih dominan pada istri,
bila ada tindak kekerasan dalam rumah
tangga dianggap masalah privasi, masyarakat
tidak boleh ikut campur.7
Sebagian besar perempuan sering bereaksi
pasif terhadap tindak kekerasan yang terjadi
padanya. Terbukti dengan adanya informan
yang tidak segera mencari pertolongan dan
cenderung menutupi tindak kekerasan. Ini
memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya
tindak kekerasan pada istri yang diperbuat
oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan
rendahnya respon masyarakat terhadap
tindakan kekerasan yang dilakukan suami.
Rumah tangga, keluarga merupakan suatu
institusi sosial paling kecil dan bersifat
otonom, sehingga menjadi wilayah domestik
yang tertutup dari jangkauan kekuasaan
publik. Istri memendam sendiri persoalan
tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan
dan semakin yakin pada anggapan yang keliru,
bahwa suami dominan terhadap istri.
Faktor sosial budaya dan hubungan
kekuasaan antara laki-laki dan perempuan
merupakan faktor penting yang berperan
dalam menciptakan pengaruh positif atau
negatif pada kesehatan seseorang. Oleh
karena itu hendaknya hubungan suami istri
dilandasi penghargaan terhadap pasangan
masing-masing, dilakukan dalam kondisi
yang diinginkan bersama tanpa ada unsur
paksaan, ancaman dan kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
terhadap istri telah menjadi permasalahan
yang kompleks karena tidak saja bersifat
fisik, tetapi juga psikologis. Tidak juga
semata-mata bersifat ekonomi tetapi juga
penelantaran rumah tangga. Kekerasan
meliputi pengabaian hak dan kepentingan
yang pada tahap berikutnya dapat
membahayakan keselamatan, kesehatan dan
jiwanya.13 Begitu pula ditemukan pada
penelitian ini para informan utama yaitu PA,
RR dan SH merupakan korban KDRT yang
awalnya menerima kekerasan fisik seperti
dipukul, ditampar,ditendang dan diiringi
dengan tindak kekerasan lain seperti seksual
berupa pemaksaan dalam hubungan intim
meskipun dalam kondisi haid seperti yang
dialami oleh PA, kekerasan ekonomi pada
RR yaitu suami tidak memberi nafkah
ekonomi kepadanya dan ditendang setiap
suami terpancing emosinya. Menurut
Dharmono kekerasan dalam rumah tangga
terdiri dari kekerasan fisik, emosional,
seksual, sosial ekonomi dan penelantaran.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa
penganiayaan fisik. Bentuk kekerasan fisik
ada bermacam-macam, yaitu tindakan yang
bertujuan
melukai,
menyiksa
atau
menganiaya orang lain dengan menggunakan
anggota tubuh pelaku (tangan,kaki) mulai
dari pukulan, jambakan, cubitan, mendorong
secara kasar, penginjakan, pelemparan,
cekikkan, tendangan, sampai penyiksaan
dengan menggunakan alat seperti pentungan,
pisau, ban pinggang, sterika, sundutan rokok,
siraman air keras dan sebagainya.14 Menurut
Jejeebhoy & Cook, penelitian di India ada 40 %
Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa )
perempuan yang dipukul oleh suami mereka,
dan dari 40% perempuan tersebut setidaknya
mengalami satu bentuk kekerasan fisik.15
Suami memaksa isterinya berhubungan
seksual dengan cara yang menyakitkan
(dengan alat atau perilaku sadomasochism)
adalah contoh ekstrim kekerasan seksual
dalam rumah tangga. Contoh kekerasan
seksual yang tersamar (sering dianggap
kewajaran) adalah suami mengharuskan isteri
melayani kebutuhan seksualnya setiap saat
tanpa mempertimbangkan kemauan isteri,
dengan kata lain isteri tidak boleh menolak
(marital rape).
Bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh
suami dengan cara membuat istri tergantung
secara ekonomi dengan cara melarang istri
bekerja, atau suami melarang istrinya bekerja
mencari uang sementara ia juga tidak
memberikan nafkah kepada istrinya, suami
mengeksploitasi istri untuk mendapatkan
uang bagi kepentingannya, membatasi ruang
gerak (mengontrol
setiap keputusan,
mengontrol uang) atau mengawasi setiap
gerakan isteri hingga mengisolasi korban dari
kehidupan sosialnya.
Penelitian Hakimi et al, di Purworejo Jawa
Tengah, memiliki persamaan dengan
penelitian ini dalam hal suami sebagai pelaku
kekerasan percaya bahwa mereka berhak
mengontrol semua aspek kehidupan istrinya
dan menggunakan kekerasan fisik dan
seksual sebagai cara untuk menunjukkan
dominasinya di rumah tangga. Pengontrolan
itu dalam penelitian ini dapat berupa
kemarahan suami bila istri berbicara dengan
pria lain, tidak ambil peduli dan
memperlakukan acuh tak acuh. 16
Bentuk kekerasan emosional yang dilakukan
dengan menyerang wilayah psikologis
korban, bertujuan untuk merendahkan citra
seorang perempuan baik melalui kata-kata
maupun perbuatan seperti mengumpat,
membentak
dengan
kata-kata
kasar,
menghina, mengancam. Tindakan tersebut
mengakibatkan
ketakutan,
hilangannya
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan
psikis berat pada seseorang.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap
informan utama yaitu korban KDRT yang
ditangani P2TP2A Provinsi Kalimantan
Timur dan diperkuat dengan pernyataan
informan kunci dan informan pendukung
bahwa informan utama BW, SK, MK, PA,
RR, SH telah menerima lebih dari satu
bentuk kekerasan (berganda) selama hidup
berumah tangga. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Habsari dari
wawancara menunjukkan bahwa tidak ada
satupun informan yang mengalami kekerasan
tunggal. Pada umumnya mereka mengalami
kekerasan berganda, bahkan beberapa
responden mengalami semua jenis kekerasan
baik fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. 14
Hasil penelitian Habsari mengatakan
kesakitan perempuan baik fisik maupun fisik,
secara nyata menurunkan kualitas hidup
perempuan. Secara fisik menimbulkan
kelainan
bahkan
kecacatan
yang
menghambat dalam melakukan kegiatan atau
pekerjaannya,
bersosialisasi
dengan
lingkungan,
bahkan
tidak
mampu
menjalankan
hobinya.
Situasi
ini
mencerminkan dominasi laki-laki sebagai
kepala keluarga yang diakui kekuasaannya
dalam rumah tangga baik secara agama dan
norma masyarakat. Juga menggambarkan
lemahnya kedudukan perempuan dalam
masyarakat. Sikap pasrah dan menerima
merupakan sikap yang mendominasi kaum
perempuan dari berbagai lapisan baik yang
tidak
berpendidikan
maupun
yang
berpendidikan tinggi. Situasi demikianlah
yang menumbuhsuburkan tindak kekerasan
terhadap perempuan. 14
Menurut Luhulima fenomena kekerasan
sama sekali bukan merupakan masalah
kelainan individual. Akan tetapi merupakan
bagian dari masyarakat yang membentuk
ketimpangan relasi yang kemudian tercipta
pembagian kekuasaan yang lebih besar pada
laki-laki
dibandingkan
perempuan.
Kenyataan ini kemudian menciptakan sebuah
kondisi sosial, penggunaan kekuasaan yang
berlebihan dilakukan oleh pihak laki-laki
terhadap perempuan sehingga berperan
dalam pelestarian kondisi pembagian
kekuasaan yang tidak seimbang antara
laki-laki dan perempuan. 17
Sebagian besar perempuan sering bereaksi
pasif terhadap tindak kekerasan yang terjadi
padanya. Terbukti dengan adanya informan
yang tidak segera mencari pertolongan dan
cenderung menutupi tindak kekerasan. Ini
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37
memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya
tindak kekerasan pada istri yang diperbuat
oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan
rendahnya respon masyarakat terhadap
tindakan kekerasan yang dilakukan suami.
Rumah tangga, keluarga merupakan suatu
institusi sosial paling kecil dan bersifat
otonom, sehingga menjadi wilayah domestik
yang tertutup dari jangkauan kekuasaan
publik. Istri memendam sendiri persoalan
tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan
dan semakin yakin pada anggapan yang keliru,
bahwa suami dominan terhadap istri.
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap
korban KDRT di P2TP2A Provinsi
Kalimantan Timur menunjukkan bahwa
selain faktor dominasi laki-laki, yang sering
menjadi
penyebab
terjadinya
tindak
kekerasan dalam kehidupan rumah tangga
mereka adalah faktor ekonomi. Straus dan
Sweet dalam Lawson mengemukakan bahwa
tindak kekerasan terhadap istri banyak
dilakukan
oleh
suami
yang
biasa
meminum-minuman keras dan menggunakan
obat terlarang, pasangan suami istri yang
berusia muda, mempunyai anak yang banyak
dan berstatus sosial ekonomi yang rendah. 17
Penelitian Hakimi et al di Purworejo Jawa
Tengah, mendapatkan gambaran yang sama
dengan penelitian ini yaitu para responden
ketika ditanya tentang kondisi seperti apa
yang cenderung mengarah pada terjadinya
kekerasan jawaban yang paling banyak
adalah karena suami menganggur, suami
menggunakan alkohol dan mempunyai
hubungan dengan wanita lain (WIL). 16
Kekerasan dalam berbagai bentuknya itu
tentu saja menimbulkan dampak bagi
kesehatan. Dampak yang difokuskan dalam
penelitian kekerasan ini adalah dampak yang
dilihat dari sisi kesehatan fisik, kesehatan
reproduksi dan kesehatan mental informan
utama yang menjadi korban KDRT.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam
dengan informan diperoleh hasil bahwa
mereka telah mengalami lebih dari satu jenis
kekerasan. Perempuan yang menjadi korban
kekerasan kemungkinan besar berpeluang
dua kali lipat untuk mempunyai masalah
kesehatan fisik dan mental yang lemah
dibandingkan dengan perempuan yang bukan
korban kekerasan.
Menurut
model
Dixon-Mudler
dalam
Lawson tentang kaitan antara kerangka
seksualitas atau gender dengan kesehatan
reproduksi; pemaksaan hubungan seksual
atau tindak kekerasan terhadap istri
mempengaruhi kesehatan seksual istri. Jadi
tindak kekerasan dalam konteks kesehatan
reproduksi dapat dianggap tindakan yang
mengancam kesehatan seksual istri, karena
hal tersebut mengganggu psikologi istri baik
pada saat melakukan hubungan seksual
maupun tidak. 18
WHO bahwa perempuan rentan disalahgunakan oleh pasangan mereka karena
adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan
perempuan, peran jender yang kaku, serta ada
norma norma budaya dalam masyarakat yang
mendukung hak seorang pria melakukan
hubungan seks tanpa memandang perasaan
perempuan. 3
Heise mengelompokkan dampak dari
kekerasan yang berujung pada kesehatan
mental perempuan yaitu berupa stress
pascatrauma, depresi, kecemasan, phobia,
gangguan pola makan, disfungsi seksual dan
rendah diri.7 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan terhadap informan utama yaitu
korban KDRT di P2TP2A Provinsi
Kalimantan
Timur
dan
pernyataanpernyataan yang diperkuat oleh informan
pendukung dan kunci bahwa mereka
mengalami trauma, perasaan tertekan, sedih,
rendah diri karena sebutan yang telah
menghina mereka bahkan depresi. Korban
merasa sangat marah, jengkel, merasa
bersalah, malu dan terhina apalagi bila
kekerasan disaksikan atau didengar orang
lain.
Dampak kesehatan mental karena kekerasan
yang kerap terjadi dalam rumah tangga tidak
hanya berpengaruh pada salah satu pasangan
suami-istri tetapi juga berdampak pada
perkembangan mental anak-anak. Seringkali
akibat dari tindak kekerasan dalam rumah
tangga tidak hanya menimpa korban secara
langsung, tetapi juga anggota lain dalam
rumah tangga secara tidak langsung. Tindak
kekerasan seorang suami terhadap istri atau
sebaliknya, misalnya dapat meninggalkan
kesan negatif yang mendalam di hati mereka,
anak-anak dan anggota keluarga yang lain.
Kesan negatif ini pada akhirnya dapat pula
menimbulkan
kebencian
dan
malah
benih-benih dendam yang tak berkesudahan
Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa )
terhadap pelaku.19
Informan utama atau korban KDRT yaitu BW,
RR dan SK mengatakan bahwa setelah
melihat perlakuan kekerasan suaminya, tidak
jarang anak-anak menjadi takut, benci hingga
trauma kepada ayah mereka sendiri. Hal ini
sangat mempengaruhi perkembangan mental
anak karena pada masa inilah mereka mudah
mengingat apapun kejadian di sekitarnya.
Dampak pribadi seperti anak-anak yang
hidup
dalam
lingkungan
kekerasan
berpeluang lebih besar bahwa hidupnya akan
dibimbing oleh kekerasan, anak yang
menjadi saksi kekerasan akan menjadi
trauma termasuk didalamnya perilaku anti
sosial dan depresi, akhirnya menjadi pelaku
kekerasan, mengalami trauma, figur terhadap
orang tua menjadi kabur juga dikhawatirkan
akan menimpa anak-anak tersebut. Jika
seorang anak laki-laki menyaksikan ayahnya
memukul ibunya, dia akan belajar bahwa hal
itu
adalah
jalan
terbaik
untuk
memperlakukan perempuan, dan karena itu
dia lebih besar kemungkinannya untuk
kemudian menganiaya istrinya sendiri kelak.
Ini disebut sebagai penularan kekerasan antar
generasi (intergenerational transmission of
violence). Hal ini didapatkan penjelasannya
pada penelitian Dauvergne dan Johnson yang
menjelaskan bagaimana efek trauma terjadi
pada anak-anak yang menyaksikan KDRT.
Pengalaman
KDRT
dapat
membuat
anak-anak saksi KDRT mengembangkan
persepsi yang salah tentang kekerasan;
bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang
tepat untuk menyelesaikan masalah. 20
Walaupun efek tersebut tidak dapat
dipastikan akan terjadi pada semua anak
yang menyaksikan KDRT. Reaksi anak
setelah menyaksikan KDRT dipengaruhi
beberapa faktor, sebagaimana dinyatakan
oleh Carlsonyang menyimpulkan bahwa
reaksi anak-anak terhadap pengalaman
menyaksikan KDRT terbentang dalam suatu
kontinum,
dimana
beberapa
anak
menunjukkan ketahanan diri yang cukup
tinggi,
sedangkan
beberapa
anak
menunjukkan gangguan perilaku. Anak-anak
yang memiliki ketahanan diri yang kuat
dapat mengembangkan pemahaman yang
tepat atas peristiwa kekerasan yang
disaksikannya dalam keluarga; dimana
dengan dukungan lingkungan sekitar, anak
akan dapat melanjutkan hidupnya tanpa
mengalami gangguan emosional maupun
perilaku yang signifikan pada kehidupan
selanjutnya. 21
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Informan utama yaitu korban KDRT telah
mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan
dari suami yang meliputibentuk kekerasan
fisik, ekonomi, seksual, psikis dan
penelantaran rumah tangga.Faktor yang
mendorong terjadinya tindak kekerasan pada
istri dalam rumah tangga yaitu dominasi
suami, faktor ekonomi, perselingkuhan,
suami kecanduan alkohol, judi dan narkoba.
Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap
kesehatan fisik berupa bekas merah, babak
belur, luka dan robek di bagian yang menjadi
sasaran kekerasan sehingga menimbulkan
rasa kesakitan.
Kekerasan seksual berupa penyiksaan,
pemaksaan berhubungan intim pada masa
menstruasi menyebabkan dispareuni, infeksi
saluran kencing, infeksi saluran kandungan
dan kista. Kesehatan mental terganggu
manifestasinya adalah trauma, stress, depresi
sampai gangguan jiwa berat hingga dirawat
di rumah sakit jiwa.
Saran
Tindak kekerasan terhadap istri perlu
diungkap
untuk
mencari
alternatif
pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari
tindak kekerasan yang tidak semestinya
terjadi demi terwujudnya hak perempuan
untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang
sehat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih atas kerjasama dari pihak
P2TP2A Propinsi Kalimantan Timur, seluruh
informan yang telah bersedia membagikan
pengalamannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Sofyan, M. Bidan Menyongsong Masa Depan.
2006. Jakarta: PP IBL
Komnas Perempuan. Peta Kekerasan
Pengalaman Perempuan Indonesia. 2002.
Jakarta: Ameepro.
World Health Organisation. Violence and
health Fact Sheet No.239. 2002. Diunduh dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs
239/en/. Diakses pada tanggal 20 Mei 2011
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37
4.
5.
6.
7.
8.
9.
World Health Organisation.Violence Against
Women Fact Sheet No. 239. 2009. Diunduh
dari
http://www.who.int/mediacentre/fact
sheets/fs239/en/. Diakses tanggal 20 Mei 2011
Kalibonso, R. S. Kejahatan Itu Bernama
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal
Perempuan, 2002; 25: 7-21
Tamtiari, Wini. Melindungi Perempuan dari
Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2005.
Yogyakarta: Kerjasama Ford Foundation
dengan Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan Universitas Gadjah Mada.
Heise L.L., et al. Violence Against Women:
The Hidden Health Burden. 1994.
Washington: World Bank
Awaliyah, Ayu Sofhatul. Dampak Serius
KDRT Bagi Kesehatan Masyarakat. Diunduh
dari www.depkes.go.id. Diakses tanggal 5
Februari 2011
Pemprov Kaltim. Tercatat 133 Kasus KDRT
di Kaltim. Kaltim Post, 2011; Diunduh dari
http://kaltimpost.co.id. Diakses pada tanggal
15 Mei 2011
10. Sciortino, Rosalia. Menuju Kesehatan
Madani. 1999.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
11. Subhan, Zaitunah. Kekerasan Terhadap
Perempuan.2001.
Yogyakarta:
Pustaka
Pesantren
12. Yuarsi, Susi Eja. Tembok Tradisi dan Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan. 2002.
Yogyakarta: Kerja sama Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan Universitas
Gadjah Mada dengan Ford Foundation.
13. Dharmono, S. Kekerasan Dalam Rumah
Tangga: Dampaknya Terhadap Kesehatan
Jiwa. 2008. Jakarta: Balai Penerbit UI
14. Habsari, R.Menguak Misteri Di Balik
Kesakitan Perempuan.2006.Jakarta: Penerbit
Pustaka Sinar Harapan.
15. Luhulima,
Achie
Sudiarti.Pemahaman
Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Alternatif Pemecahannya.
2000. Jakarta: PT. Alumni.
16. Lawson, D.M. Incidence, Explanations, and
Treatment of Partner Violence. Journal of
Counseling and Development, 2003
Determinan Komplikasi Persalinan Pada Ibu…(Kristina, Tutik )
DETERMINAN KOMPLIKASI PERSALINAN PADA IBU PERNAH MENIKAH
USIA 15-49 TAHUN DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2007
Determinants of Delivery Complications in Ever-Married Women among 15-49 Years
Old in Banten Province, 2007
Kristina Sabatini1, Tutik Inayah2
1
Program Magister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
2
Epidemilog Kesehatan Puskesmas Samigaluh II Kabupaten Kulon Progo
1
Email: [email protected]
2
Email: [email protected]
Abstract
Background:The maternal mortality ratio has not declinedover years in Banten Province, one of the six
provinces with the highest maternal mortality ratio in Indonesia. Based on the 2010 Health profile of
Banten Province, the highest cause of maternal deathwas complications during childbirth.
Objective: To identify determinants of delivery complications in Banten Province.
Methods:Data were derived fromthe 2007 Indonesia Demographic Health Survey, which used a cross
sectional study design. Samples included 561 ever-married women aged 15-49 years and ever delivered a
child within the five-year period before the survey. The RR values were obtained from the Cox regression
analysis.
Results: The study found that 43% of ever-married women aged 15-49 years in Banten Province
experienced obstetric complications at childbirth. Birth attendance emerged as a protective factor; mothers
assisted byhealth personnel had a reduced risk of developing complication during childbirth (RR 0,63;
95%CI of 0,503 to 0,792).
Conclusions:The rate ofdelivery complications remained high in Banten Province. Prolonged labour was
the most cause of delivery complication. One of determinants of delivery complication was the type of birth
attendants.
Keywords:Complication, delivery, birth attendant
Abstrak
Latar belakang:Angka kematian ibu belum menunjukkan penurunan signifikan di Provinsi
Banten.Provinsi ini menjadi salah satu dari enam provinsi dengan kematian ibu tertinggi di
Indonesia.Berdasarkan data profil kesehatan di Provinsi Banten tahun 2010, menunjukkan bahwa kematian
ibu tertinggi berada pada masa persalinan akibat komplikasi.
Tujuan: Mengetahui determinan komplikasi persalinan pada ibu di Provinsi Banten tahun 2007.
Metode:Penelitian ini menganalisis data survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007
dengan desain penelitian cross sectional. Sampel dalam penelitian adalah ibu usia 15-49 tahun yang pernah
melahirkan anak dalam kurun lima tahun terakhir sebelum survei di Provinsi Banten, sebesar 561 ibu. RR
diperoleh melaluianalisiscox regression.
Hasil:Ibu pernah menikahusia 15-49 tahun yang mengalami komplikasi persalinan di Provinsi Banten
sebesar 43 persen. Penolong persalinan merupakan faktor protektif, ibu yang persalinannya ditolong oleh
tenaga kesehatan dapat mengurangi risiko untuk terjadinya komplikasi persalinan (RR 0,63; 95%CI 0.5030.792).
Kesimpulan:Kejadian komplikasi persalinan masih tinggi di Provinsi Banten. Persalinan lama menjadi
jenis komplikasi persalinan terbanyak.Salah satu determinan komplikasi persalinan adalah penolong
persalinan.
Kata kunci:Komplikasi, persalinan, penolong persalinan
Naskah masuk: 10 Januari 2012,
Review: 15 Januari 2012,
Disetujui terbit: 18 April 2012
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 38 – 45
PENDAHULUAN
Derajat
kesehatan
reproduksi
pada
perempuan salah satunya ditandai dengan
angka
kematian
ibu
(AKI).1 Bila
dibandingkan dengan negara ASEAN lain,
AKI di Indonesia masih lebih tinggi yaitu
sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup
(SDKI 2007).2
Sementara di Provinsi Banten, AKI belum
menunjukkan penurunan yang siginifikan.
Pada tahun 2008, AKI di provinsi ini sempat
menurun menjadi 188 per 100.000 kelahiran
hidup dari 204 per 100.000 kelahiran hidup
di tahun 2007. Kemudian AKI meningkat
pada tahun 2009 menjadi 192 per 100.000
kelahiran hidup dan kembali turun menjadi
187 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2010.
AKI ini memang lebih rendah dibandingkan
dengan AKI nasional, tetapi Provinsi Banten
merupakan salah satu dari enam provinsi di
Indonesia dengan kematian ibu tertinggi. 3,4,5
Pada
umumnya,
penyebab
tingginya
kematian ibu berkaitan dengan masalah
kehamilan, persalinan, dan nifas.7 Dari lima
juta kelahiran yang terjadi setiap tahunnya,
diperkirakan 20 ribu ibu meninggal akibat
komplikasi kehamilan atau persalinan.8
Sementara penyebab kematian ibu di Kota
Tangerang Selatan Provinsi Banten adalah
perdarahan (56%), lainnya (33%), dan infeksi
(11%).9 Di kabupaten/kota lainnya di
provinsi ini, selain perdarahan, hipertensi
dalam kehamilan juga menjadi penyebab
tertinggi kematian ibu.10,11,12,13,14
Komplikasi persalinan merupakan keadaan
yang mengancam jiwa ibu ataupun janin
sebagai akibat langsung dari kehamilan atau
persalinan seperti perdarahan, infeksi,
preeklampsia/eklampsia, partus lama/macet,
abortus, dan ruptura uteri yang membutuhkan
manajemen obstetri.15
Masalah kematian maternal merupakan
masalah kompleks karena menyangkut
banyak hal. Penyebab langsung dari
kesakitan dan kematian maternal tersebut
adalah
komplikasi
obstetri, terutama
komplikasi pada saat persalinan. Sementara
itu, berdasarkan data profil kesehatan
masing-masing kabupaten/kota di Provinsi
Banten tahun 2010 menunjukkan bahwa
kematian ibu tertinggi berada pada masa
persalinan akibat terjadinya komplikasi.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam
penelitian ini akan dilihat lebih lanjut
mengenai hubungan beberapa faktor
karakteristik ibu (umur, pendidikan, paritas,
dan tempat tinggal), riwayat komplikasi
kehamilan, frekuensi kunjungan ANC,
penolong persalinan, dan tempat persalinan
dengan komplikasi persalinan.
METODE
Penelitian ini merupakan analisis lanjut data
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2007 dengan desain penelitian
cross sectional. SDKI 2007 merupakan
survei tingkat nasional, dengan populasi
penelitian meliputi 33 provinsi di Indonesia.
Kerangka pengambilan sampel dilakukan dua
tahap. Pertama pemilihan 1694 blok sensus
(BS) secara probability proportional to size
(PPS) dan kedua adalah pemilihan sampel
rumah tangga disetiap BS, terpilih 25 rumah
tangga di setiap BS. Dari total rumah tangga
yang diwawancarai yaitu 40701, terdapat
32895 wanita dan 8758 pria.2
Populasi target dalam penelitian ini adalah
ibu berusia 15-49 tahun yang pernah
melahirkan anak, baik lahir hidup maupun
lahir mati di Indonesia. Populasi sumber
yaitu ibu usia 15-49 tahun yang pernah
melahirkan anak dan diwawancarai dalam
SDKI 2007 di Provinsi Banten sejumlah
1413 ibu. Kriteria inklusi untuk terpilih
sebagai sampel atau populasi studi yaitu ibu
yang melahirkan anak dalam kurun waktu
lima tahun terakhir di Provinsi Banten,
sejumlah 641. Dari total sampel tersebut,
yang terpilih sebagai study participant adalah
ibu yang memiliki data lengkap sebesar 561
ibu.
Komplikasi persalinan didefinisikan sebagai
suatu keadaan pada saat melahirkan ibu
mengalami salah satu atau lebih gejala
seperti persalinan lama, perdarahan lebih dari
2 kain, suhu badan tinggi atau keluar lendir
berbau (infeksi), kejang (eklampsia), keluar
air ketuban lebih dari 6 jam sebelum anak
lahir, dan adanya komplikasi/kesulitan lain.
Analisis data dilakukan dengan metode cox
regression.Variabel yang masuk dalam
model multivariat ditentukan dengan cox
regresi sederhana bedasarkan nilai p<0,25.
Analisis multivariat dilakukan dengan cox
regresi ganda dengan metode stepwise,
Determinan Komplikasi Persalinan Pada Ibu…(Kristina, Tutik )
sementara confounder ditentukan dengan
signifikasi 5 persen dan perubahan RR lebih
dari 10 persen.16
HASIL
Data diperoleh dari SDKI 2007 dengan
mengambil variabel-variabel yang dibutuhkan. Jumlah ibu yang pernah melahirkan
dalam kurun waktu lima tahun terakhir
adalah 641. Upaya yang dilakukan untuk
menjaga kualitas data adalah dengan melihat
persentase variabel data yang hilang (missing
cases). Setelah itu, dilakukan cleaning data
dan diperoleh jumlah observasi sebanyak 561
responden. Jumlah missing cases cukup
besar, akibat adanya kasus tidak memiliki
data lengkap, khususnya mengenai komplika-
si persalinan pada lima tahun terakhir.
Kejadian Komplikasi Persalinan
Komplikasi persalinan dialami oleh 43
persen ibu (244 responden), sedangkan yang
tidak mengalami komplikasi persalinan
sebanyak 57 persen (317 responden).
Seorang ibu dapat mengalami salah satu atau
lebih dari satu jenis atau gejala komplikasi
persalinan. Komplikasi persalinan yang
paling banyak dirasakan ibu adalah
persalinan lama sebesar 49,6 persen, lalu
pecah ketuban lebih dari 6 jam sebelum anak
lahir sebesar 25,6 persen, perdarahan 11,4
persen, komplikasi lain sebesar 6,8 persen,
infeksi sebesar 4,6 persen, dan eklampsia
sebesar 2 persen (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi jenis komplikasi persalinan pada ibu di Provinsi Banten, SDKI 2007
Jenis komplikasi persalinan
Persalinan lama
Pecah ketuban >6 jam sebelum kelahiran
Perdarahan lebih banyak dibandingkan dengan biasaya (lebih dari 3 kain)
Kesulitan atau komplikasi lain
Suhu badan tinggi dan atau keluar lendir berbau dari jalan lahir (Infeksi)
Kejang-kejang (Eklampsia)
* Ibu dapat mengalami lebih dari satu gejala komplikasi persalinan
Determinan Komplikasi Persalinan
Gambaran karakteristik responden sebagian
besar berusia 20-35 tahun (73,6%) dan
berpendidikan kurang dari 9 tahun atau tidak
tamat SLTP (57,4%).Pada umumnya
responden memiliki kurang dari satu anak
atau lebih dari empat anak (55,8%) dan
tinggal di pedesaan (52,9%).
Sementara itu, mayoritas responden tidak
memiliki riwayat komplikasi kehamilan,
hanya terdapat 9,3 persenyang mengalami
komplikasi kehamilandan 90,7 persen
responden tidak memiliki riwayat komplikasi
kehamilan.Bila dilihat lebih lanjut, jenis
komplikasi kehamilan yang paling banyak
dialami responden adalah perdarahan
sebelum persalinan (30,5%), lalu komplikasi
lain (30,5%), mulas sebelum 9 bulan
(13,6%),
demam
tinggi
(10,2%),
edema/bengkak (5,1%), pusing (3,4%),
kejang (3,4%), hipertensi (1,7%), dan
kelainan letak janin (1,7%).
Selain itu, 62% responden telah melakukan
kunjungan antenatal care (ANC) sesuai
standar atau minimal 4 kali (1 kali pada
Proporsi
(n=395*)
49,6
25,6
11,4
6,8
4,6
2,0
trisemester I, 1 kali pada trisemster II, dan 2
kali pada trisemster III). Presentase
responden yang mendapatkan pertolongan
persalinan dengan tenaga kesehatan dan
bukan tenaga kesehatan hampir sama, yaitu
50,6% dan 49,4%. Penolong persalinan
terbanyak di Provinsi Banten adalah dukun
dengan 40%, diikuti oleh bidan sebesar
28,8% dan keluarga 11,9% (Tabel 2).
Tabel 2. Proporsi penolong persalinan pada
ibu di Provinsi Banten, SDKI 2007
Proporsi
Penolong persalinan
(n=773*)
Dokter umum
0,4
Perawat
6,7
Bidan di desa
3,5
Dokter kandungan
8,3
Bidan
28,8
Dukun
40,0
Keluarga/teman
11,9
Lainnya
0,1
Tidak tahu
0,1
Tidak ada
0,1
Total
100,0
* Ibu dapat menjawab lebih dari satu tenaga
penolong persalinan
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 38 – 45
Lebih dari setengah responden (63,5%) tidak
bersalin di fasilitas kesehatan. Rumah
responden menjadi tempat persalinan
terbanyak sebesar 62 persen, diikuti oleh
praktek bidan sebesar 16 persen dan RS
pemerintah sebesar 4,3 persen (Tabel 3).
Tabel 3. Proporsi tempat persalinan pada ibu
di Provinsi Banten, SDKI 2007
Proporsi
Tempat persalinan
(n=561)
Rumah ibu
62.0
Rumah orang lain
1.4
RS pemerintah
4.3
Puskesmas
0.2
RS swasta
2.5
RS bersalin
5.7
Klinik bersalin
1.8
Klinik swasta
2.1
Praktek dokter kandungan
0.2
Praktek bidan
16.0
Praktek perawat
0.2
Praktek bidan di desa
3.4
Poskesdes
0.2
Total
100.0
*Catatan: ibu dapat menjawab lebih dari satu
tempat persalinan
Analisis Sederhana
Dari tabel 4 terlihat bahwa tidak terdapat
perbedaan persentase komplikasi persalinan
pada kelompok umurdan paritas.Sementara,
responden yang tinggal di perkotaan lebih
banyak
yang
mengalami
komplikasi
persalinan (48,5%) dibandingkan dengan
responden yang tinggal di perdesaan
(39,1%).Responden
dengan
tingkat
pendidikan lebih tinggi (lebih dari atau sama
dengan SLTP) yang mengalami komplikasi
persalinan sebesar 53,1 persen, sedangkan
yang berpendidikan lebih rendah sebesar
36,3 persen.
Selain itu, responden yang memiliki riwayat
komplikasi kehamilan sebesar 63,5 persen
yang mengalami komplikasi persalinan,
sedangkan 41,5 persenyang tidak memiliki
riwayat komplikasi kehamilanmengalami
komplikasi persalinan. Selain itu, responden
dengan frekuensi kunjungan ANC baik (K4),
ditolong oleh tenaga kesehatan, dan bersalin
di fasilitas kesehatan lebih banyak yang
mengalami komplikasi persalinan.
Berdasarkan besarnya hubungan, terlihat
bahwa variabel pendidikan, frekuensi
kunjungan ANC, penolong persalinan, dan
tempat persalinan merupakan faktor protektif
terhadap terjadinya komplikasi persalinan
(Tabel 4).
Hasil
analisis
sederhana
ini
juga
menunjukkan bahwa faktor pendidikan,
tempat tinggal, komplikasi kehamilan,
frekuensi kunjungan ANC, penolong
persalinan,
dan
tempat
persalinan
berhubungan dengan komplikasi persalinan
(p<0,25). Untuk selanjutnya variabel tersebut
akan diikutkan dalam analisis multivariat
(Tabel 4).
Analisis Multivariat
Setelah dilakukan analisis multivariat dengan
menggunakan uji cox regresi terhadap
variabel yang memenuhi syarat untuk masuk
dalam model maka diperoleh hasil bahwa
hanya terdapat dua variabel yang memberi
kontribusi pada model akhir, yaitu variabel
penolong
persalinan
dan
komplikasi
kehamilan (Tabel 5).
Hasilnya pada tabel 5 bahwa ibu yang
ditolong oleh tenaga kesehatan menurunkan
risiko
untuk
terjadinya
komplikasi
persalinan.Variabel penolong persalinan
menjadi faktor protektif terhadap terjadinya
komplikasi persalinan.
Selain memperoleh variabel yang memberi
kontribusi pada terjadinya komplikasi
persalinan, juga dilakukan penilaian adanya
confounder.Dari hasil perbedaan RRcrude
dan adjusted, tampak bahwa variabel
penolong
persalinan
dan
komplikasi
kehamilan memiliki nilai perbedaan kurang
dari 10 persen, sehingga disimpulkan hasil
ini tidak dipengaruhi oleh adanya
confounder.
Determinan Komplikasi Persalinan Pada Ibu…(Kristina, Tutik )
Tabel 4. Hasil analisis sederhana cox regresi beberapa faktor yang berhubungan dengan komplikasi
persalinan
Variabel
Komplikasi Persalinan
Ya
Tidak
Crude
RR
n
%
n
%
Umur
<20 tahun dan >35 tahun
65
43.9
83
56.1
Ref
20-35 tahun
179
43.3
234
56.7
1.01
Pendidikan
<SLTP
117 36.3
205
63.7
≥ SLTP
127 53.1
112
46.9
Paritas
<1 anak dan ≥4 anak
131 41.9
182
58.1
2-3 anak
113 45.6
135
54.4
Tempat tinggal
Perdesaan
116 39.1
181
60.9
Perkotaan
128 48.5
136
51.5
Komplikasi kehamilan
Ada komplikasi
33
63.5
19
36.5
Tidak ada komplikasi
211 41.5
298
58.5
Frekuensi kunjungan ANC
Tidak K4
70
32.9
143
67.1
K4
174 50.0
174
50.0
Penolong persalinan
Non tenaga kesehatan
83
30.0
194
70.0
Tenaga kesehatan
161 56.7
123
43.3
Tempat persalinan
Tidak di fasilitas kesehatan
121 34.0
235
66.0
Fasilitas kesehatan
123 60.0
82
40.0
*variabel yang masuk kedalam analisis multivariat (p<0,25)
Ref
0.74
Analisis data dalam penelitian ini merupakan
analisis data sekunder, sehingga terdapat
keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil
penelitian, karena peneliti tidak dapat
mengontrol validitas data yang dikumpulkan.
Selain itu, terdapat kemungkinan adanya
recall biasterutama pada variabel riwayat
komplikasi, baik pada saat kehamilan
maupun
persalinan,
serta
frekuensi
P
0.786 - 1.298
0.936
0.585 - 0.927
0.009*
Ref
0.94
0.749 - 1.169
0.561
Ref
0.84
0.677 - 1.055
0.139*
Ref
1.60
1.008 - 2.548
0.046*
Ref
0.74
0.596 - 0.929
0.009*
Ref
0.62
0.493 - 0.775
0.000*
Ref
0.60
0.471 - 0.779
0.000*
Tabel 5. Hasil analisis multivariat cox regresi (Model akhir)
Crude
Variabel
Coef
Adjusted RR
RR
Penolong persalinan
Non tenaga kesehatan
Ref
Ref
0.62
0.63
Tenaga kesehatan
-0.46
Komplikasi kehamilan
Ada komplikasi
Ref
Ref
1.60
1.47
Tidak ada komplikasi
0.38
PEMBAHASAN
95% CI
95% CI
P
0.503 - 0.792
0.000
0.922 - 2.341
0.105
kunjungan antenatal. Bias pewawancara juga
mungkin terjadi jika terdapat perbedaan
tingkat pemahaman dan persepsi dalam
memahami pertanyaan dan mengintepretasikan informasi yang diberikan responden.
Namun, data SDKI 2007 memiliki kelebihan
yaitu jumlah sampel yang cukup besar.Selain
itu, hasil penelitian ini dapat diterapkan pada
populasi eligible karena participant rate yang
cukup tinggi yaitu 84,4 persen, sehingga
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 38 – 45
dapat mewakili populasi eligible. Hasil ini
juga dapat diterapkan pada populasi lain
yang relevan dengan karakteristik populasi
yang sama yaitu pada ibu dengan latar
belakang sosial-demografi yang hampir
serupa.
Kejadian komplikasi persalinan di Indonesia
pada tahun 2007 adalah 43,7 persen.2 Hasil
ini tidak berbeda dengan hasil penelitian
pada Provinsi Banten. Jika dilihat
berdasarkan jenis komplikasi persalinan yang
paling banyak terjadi adalah persalinan lama
sebesar 49,6 persen, lalu pecah ketuban lebih
dari 6 jam sebelum anak lahir sebesar 25,6
persen, perdarahan 11,4 persen, komplikasi
lain sebesar 6,8 persen, infeksi sebesar 4,6
persen, dan eklampsia sebesar 2 persen.
Hasil penelitian oleh Senewe dan
Sulistyowati (2002) pada skala nasional
menunjukkan bahwa kejadian komplikasi
persalinan sebesar 24 persen (SKRT 2001),
dengan jenis komplikasi yaitu persalinan
lama
(15,4%),
perdarahan
(7,9%),
preeklampsia/eklampsia (7,9%), dan infeksi
(3,9%).17 Hasil ini juga serupa dengan
Armagustini (2010), yang menemukan
bahwa persalinan lama (36,7%), perdarahan
(8,9%), dan infeksi (6,8%) sebagai jenis
komplikasi persalinan terbesar.18
Sihombing (2004) memberikan hasil bahwa
robekan jalan lahir menempati posisi
tertinggi, diikuti oleh partus lama,
perdarahan, infeksi, dan eklampsia.19
Perbedaan angka-angka ini kemungkinan
disebabkan karena perbedaan denominator,
karena dalam penelitian ini yang digunakan
hanya pada responden yang berasal dari
Provinsi Banten. Tetapi bila dilihat polanya,
maka penelitian ini memberikan hasil yang
tidak jauh berbeda mengenai jenis
komplikasi persalinan. Walaupun demikian,
angka komplikasi persalinan ini lebih tinggi
dari yang diperkirakan WHO yaitu 10-20
persen pada ibu hamil.
Untuk mengetahui adanya risiko partus lama
dapat
dideteksi
dengan
melakukan
pengukuran tinggi badan, dimana tinggi
badan kurang dari 150 cm dianggap sebagai
nilai tengah untuk memprediksi kehamilan
risiko tinggi. Tinggi badan ibu kurang dari
150 cm diperkirakan memiliki panggul yang
lebih sempit, sehingga cenderung mengalami
kesulitan melahirkan terutama untuk bayi
yang besar dan hal ini sering mengakibatkan
terjadinya partus lama. Selain itu, mal posisi
atau kelainan letak terutama pada grandemultipara dan kehamilan ganda menjadi
penyebab terjadinya persalinan lama. Pada
ibu dengan grandemultipara atau hamil lebih
dari lima kali, memiliki risiko perdarahan
yang lebih tinggi.20
Komplikasi persalinan sebenarnya dapat
dicegah. Salah satu upayanya yaitu dengan
memantau adanya komplikasi melalui deteksi
dini kehamilan berisiko tinggi dengan
pemeriksaan ANC yang berkualitas. Selain
itu, menunda kehamilan sebelum berusia 20
tahun dan atau menghindari 4T, yaitu terlalu
muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan
(jarak kelahiran terlalu dekat), dan terlalu
banyak anak. Selain itu juga menghindari 3T
yaitu terlambat dalam mencapai fasilitas
kesehatan, mendapatkan pertolongan yang
cepat dan tepat, serta mengenali tanda bahaya
kehamilan dan persalinan.17,21
Berdasarkan hasil analisis multivariat terlihat
bahwa variabel penolong persalinan berhubungan dengan terjadinya komplikasi
persalinan. Jika dilihat berdasarkan distribusi
frekuensi penolong persalinan, tampak
bahwa 40 persen persalinan masih ditolong
oleh dukun.
Selain itu, dari hasil penelitian ini, tampak
bahwa lebih dari setengah responden
melahirkan di rumah. Hal ini lah yang pada
akhirnya menjadi salah satu faktor tingginya
pertolongan persalinan yang tidak dibantu
oleh tenaga kesehatan terlatih di Provinsi
Banten. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya.18,19,22
Banyaknya kematian ibu dan juga bayi yang
disebabkan oleh pertolongan persalinan oleh
dukun atau tenaga lain yang tidak terlatih
adalah
akibat
terlambat
mengambil
keputusan dan merujuk ke fasilitas
kesehatan. Di Provinsi Banten, jumlah dukun
justru terus mengalami peningkatan dari
tahun 2005 hingga 2009. Hingga saat ini
upaya yang dilakukan adalah membentuk
kemitraan dukun dengan bidan dan telah
terdapat sebesar 88,3 persen atau 1343 dukun
yang bermitra dengan bidan. Namun
demikian, belum menyeluruhnya kemitraan
ini, dikarenakan masih tingginya tingkat
kepercayaan masyarakat di Provinsi Banten
untuk menggunakan dukun.6
Determinan Komplikasi Persalinan Pada Ibu…(Kristina, Tutik )
Untuk menurukan kematian ibu, pemerintah
telah mencanangkan strategi dan intervensi
melalui Making Pregnancy Safer (MPS) pada
tahun 2000 yang meliputi tiga pesan kunci
yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan, setiap komplikasi obstetri
mendapat pelayanan adekuat dan setiap
wanita usia subur (WUS) mempunyai akses
terhadap upaya pencegahan kehamilan yang
tidak diinginkan, dan penanganan komplikasi
keguguran. Berdasarkan hasil penelitian
Djaja (2006), persalinan yang ditolong bukan
oleh tenaga kesehatan mempunyai risiko 1,8
kali untuk mengalami demam selama nifas
dibandingkan persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan. Selain itu, melalui
penanganan oleh tenaga kesehatan terampil
dengan kompetensi kebidanan, diharapkan
berbagai faktor risiko kematian dalam proses
persalinan dapat ditangani dengan benar.
Indikator persalinan oleh tenaga kesehatan
merupakan indikator proxy yang sangat kuat
dalam memotret angka kematian ibu
maternal.22,23
upaya deteksi dini dan pencegahan
komplikasi dalam kehamilan, diharapkan
komplikasi persalinan juga dapat dihindari.
Selain itu, mempersiapkan upaya lebih
terhadap akses pelayanan kegawatdaruratan
obstetri, yaitu puskesmas PONED (pelayanan
obstetri nepnatal emergensi dasar) dan rumah
sakit PONEK (pelayanan obstetri neonatal
emergensi komperhensif), juga dapat
membantu mencegah terjadinya komplikasi
pada ibu dengan kehamilan risiko tinggi.
Sementara itu, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa komplikasi kehamilan
tidak berhubungan secara signifikan dengan
komplikasi persalinan (95%CI 0.922-2.341)
dan nilai RR memperlihatkan bahwa
komplikasi kehamilan meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi persalinan. Hal ini
berbanding terbalik dengan penelitian
sebelumnya. Ada kemungkinan ibu yang
mengalami komplikasi kehamilan telah
mempersiapkan diri untuk menghindari
terjadinya komplikasi saat persalinan. Yang
perlu mendapatkan perhatian justru pada ibu
yang tidak memiliki riwayat komplikasi,
sebab dimungkinan ibu tidak melakukan
persiapan menjelang persalinannnya terkait
kemungkinan kegawatdaruratan. Selain itu,
dalam penelitian ini, jumlah responden yang
mengalami komplikasi kehamilan juga
sangat sedikit yaitu 9,3 persen atau 52
responden.
Saran
Komplikasi kehamilan juga dapat dicegah
melalui deteksi dini dalam pemeriksaan ANC
terhadap kehamilan risiko tinggi. Sementara
menurut data, cakupan K1 untuk Provinsi
Banten adalah 91,4 persen dan 75,85 persen
untuk K4.Angka inimasih dibawah standar
yaitu 100 persen. Selain itu, cakupan deteksi
faktor risiko di Provinsi Banten masih rendah
yaitu sebesar59,98 persen.6 Dengan adanya
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kejadian komplikasi persalinan masih tinggi
di Provinsi Banten tahun 2007 sebesar 43
persen. Tingginya komplikasi persalinan ini
dapat menjadi salah satu sebab tingginya
AKI di Provinsi Banten. Jenis komplikasi
persalinan yang paling banyak terjadi adalah
persalinan lama. Penelitian ini menunjukkan
bahwa penolong persalinan merupakan
determinan terjadinya komplikasi persalinan.
Diperlukan peningkatan penolong persalinan
oleh tenaga kesehatan, serta peningkatan
upaya deteksi dini terhadap kehamilan risiko
tinggi oleh tenaga kesehatan yang
berkualitas. Dengan demikian, upaya-upaya
kegawatdaruratan obstetri dapat dengan
segera dipersiapkan, sehingga terjadinya
komplikasi pada saat persalinan dapat
dicegah.
Peningkatan kemitraan dukun dan bidan juga
perlu dilakukan, sehingga seluruh ibu dapat
ditolong oleh penolong persalinan yang
kompeten. Pemberian sanksi terhadap dukun
yang menolong persalinan hendaknya juga
dapat dilaksanakan, sesuai dengan nota
kesepakatan dalam kemitraan dukun dan
bidan.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah
dengan peningkatan sosialisasi faktor risiko
danrisiko tinggi kepada kader, dukun dan ibu
hamil. Model kelas ibu hamil yang telah ada
sebagai sarana penyebarluasan informasi
dapat dikembangkan melalui kelas ayah atau
kelas ibu mertua, sebab ayah maupun
orangtua berpengaruh terhadap setiap
keputusan pada ibu hamil. Pendekatan
budaya, kemudahan akses menjangkau
fasilitas kesehatan, pengaktifan desa siaga,
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 38 – 45
serta penempatan bidan di desa juga sangat
diperlukan, agar masyarakat tidak lagi
bersalin di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan
Dasar Tahun 2010. Jakarta: Balitbangkes
Kemenkes dan BPS
2. BPS. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia tahun 2007. 2008. Jakarta: BPS,
BKKBN,
Kementerian
Kesehatan,
USAID
3. Dinkes Provinsi Banten. Profil kesehatan
Kota Cilegon Banten 2010. 2011. Banten:
Dinas Kesehatan Provinsi Banten
4. Kementerian Kesehatan. Materi ajar
penurunan kematian ibu dan bayi baru
lahir. 2007. Jakarta: Direktorat Bina
Kesehatan ibu, Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan
Masyarakat.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
5. Kompas. 26 Januari 2012. Program Emas
USAID dimulai di enam provinsi.
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/
26/16165625/Program.Emas.USAID.Dim
ulai.di.Enam.Provinsi
6. Kementerian Kesehatan. Assessment
GAVI-HSS Provinsi Banten. 2011.
Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
KIA, Universitas Indonesia, GAVI
Alliance
7. Kementerian Kesehatan. Profil kesehatan
Indonesia
2010.
2011.
Jakarta:
Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia
8. UNDP.
Laporan
perkembangan
pencapaian
tujuan
pembangunan
millennium
Indonesia.
Tujuan
5:
meningkatkan kesehatan ibu. Jakarta:
UNDP
9. Dinkes Kota Tangerang Selatan. Profil
Kesehatan Kota Tangerang Selatan 2010.
2011. Tangerang: Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan
10. Dinkes Kota Tangerang. Profil Kesehatan
Kota Tangerang 2010. 2011. Tangerang:
Dinas Kesehatan Kota Tangerang
11. Dinkes Kabupaten Tangerang. Profil
Kesehatan Kabupaten Tangerang 2010.
2011. Tangerang: Dinas Kesehatan
Kabupaten Tangerang
12. Dinkes Kabupaten Pandeglang. Profil
Kesehatan Kabupaten Pandeglang 2010.
13.
14.
1.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
2011. Pandeglang: Dinas Kesehatan
Kabupaten Pandeglang
Dinkes Kota Cilegon. Profil Kesehatan
Kota Cilegon 2010. 2011. Cilegon: Dinas
Kesehatan Kota Cilegon
Dinkes Kota Serang. Profil Kesehatan
Kota Serang 2010. 2011. Serang: Dinas
Kesehatan Kota Serang
Kementerian Kesehatan. Deteksi dini
penatalaksanaan kehamilan risiko tinggi.
1997. Jakarta: Pusat Pendidikan dan
Latihan Pegawai Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Kleinbaum, David G. Klein Mitchel.
Survival Analysis a Self-Learning Text
Second Edition. 2005. New York:
Springer
Senewe, Felly P. Sulistyowati, Ning.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
komplikasi persalinan tiga tahun terakhir
di Indonesia (Analisis lanjut SKRTSurkesnas 2001). Buletin Penelitian
Kesehatan, 2004; 32(2):83-91
Armagustini, Yetti. Determinan kejadian
komplikasi persalinan di Indonesia
(Analisis data sekunder SDKI tahun
2007).
2010.
Depok:
Program
Pascasarjana
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
Sihombing, Sinurtina. Faktor-faktor yang
berhubungan
dengan
komplikasi
persalinan di Indonesia tahun 1998-2000
(Analisis data SKRT 2001). 2004. Depok:
Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
Carroli, Guillermo, Rooney, et al. How
effective is antenatal care in preventing
maternal mortality and serious morbidity?
An overview of the evidence. Pediatric
and Perinatal Epidemiology, 2001; 15:142
Refleksi hari ibu: skenario percepatan
penurunan angka kematian ibu.2011.
Diunduh dari http://www.kesehatanibu.
depkes.go.id/archives/335. Diakses pada
tanggal 26 November 2012
Djaja, Sarimawar dan Suwandono, Agus.
The determinants of maternal morbidity
in Indonesia. Regional Health Forum
WHO South-East Asia Region Volume 4.
2006. WHO
Kementerian Kesehatan. Profil Kesehatan
Indonesia
2011.
2012.
Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI
Diabetes Melitus Pada Perempuan…(Sri, Raihana )
DIABETES MELLITUS PADA PEREMPUAN USIA REPRODUKSI DI INDONESIA
TAHUN 2007
Diabetes Mellitus in Reproductive Age Women in Indonesia 2007
Sri Wahyuni*, Raihana N Alkaff
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
*Email: [email protected]
Abstract
Background:According tothe 2007 Basic Health Survey (Riskesdas),the prevalence of
DiabetesMellitus(DM) in population aged≥15 intheurban areas was 5.7 percent. However, information
about theprevalence of DMamongst women of reproductive age (15-49years) was not available. During the
reproductive age period, women might get pregnant and if when Gestational Diabetes Mellitus (GDM)
occurs, this will be harmful to both mother and foetus.
Objective: To examine the riskfactors ofDMamongst women of reproductive age inIndonesiain 2007.
Methods: This wasa quantitativestudy, usinga cross-sectionalstudy design. The data were derived from
theBiomedical Section ofRiskesdas 2007.
Results:This analysis found that 3.6 percent of women of reproductive age reported having DM. The
proportion of women with the risk factors of DM were 29.6 percent (obese), 52.5 percent (lack ofphysical
activity), 26.9 percent (smoking), 16.7 percent (frequently consumed fatty food),97.4 percent (low fruits
andvegetables consumption). The average age of these womenwas 32years.
Conclusions:Thepercentage ofDMamongst women of reproductive agewomen was3.6 percent.
Interventions to reduce and prevent DM by controlling the risk factors in these women are important.
Key words:Diabetesmellitus(DM), women of reproductive age, gestationaldiabetesmellitus(GDM)
Abstrak
Latar Belakang: PadaRiskesdas tahun 2007 hanya terdapat data prevalensi diabetes melitus (DM) pada
penduduk usia ≥ 15 tahun yaitu sebesar 5,7 persen pada penduduk daerah perkotaan. Sementara informasi
mengenai prevalensi DM pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun) atau usia subur di Riskesdas tahun
2007 belum tersedia. Pada usia tersebut perempuan sedang aktif melakukan kehamilan, jika diabetes terjadi
pada saat kehamilan, hal tersebut akan berbahaya bagi janin dan ibu.
Tujuan: Mengetahui gambaran DM dan faktor risikonya pada perempuan usia reproduksi di Indonesia
tahun 2007.
Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan disain studi potong lintang (cross
sectional). Data yang digunakan adalah data Biomedis Riskesdas 2007.
Hasil: Terdapat 3,6 persen penderita DM pada perempuan usia reproduksi, persentase faktor risiko diabetes
pada perempuan usia reproduksi yaitu obesitas 29,6 persen, kurang aktivitas fisik 52,5 persen, merokok
26,9 persen, sering mengkonsumsi lemak 16,7 persen, kurang konsumsi buah dan sayur 97,3 persen dan
rata-rata usia perempuan reproduksi adalah 32 tahun.
Kesimpulan: Persentase DM pada perempuan usia reproduksi adalah sebesar 3,6%, oleh karena itu perlu
diwaspadai untuk penurunan dan pencegahan kejadian DM pada perempuan usia reproduksi melalui
pencegahan pada faktor risikonya.
Kata kunci: Diabetes Melitus (DM), perempuan usia reproduksi, gestasional diabetes melitus (GDM)
Naskah masuk: 14 Februari 2012,
Review: 15 Februari 2012,
PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) adalah salah satu
penyakit tidak menular yang terjadi karena
peningkatan kadar gula (glukosa) darah
Disetujui terbit: 18 April 2012
akibat kekurangan atau resistensi insulin di
dalam tubuh. Berdasarkan data IDF
(International Diabetes Federation) tahun
2012 lebih dari 300 juta orang di seluruh
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 46 – 51
dunia mengidap DM, dan sekitar 60 juta dari
mereka adalah perempuan dengan usia
reproduksi (15-49 tahun).1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Lely S dan Indrawati T dalam Media Litbang
Kesehatan (2004) disebutkan bahwa
penderita diabetes pada perempuan yaitu
sebesar 62% dan pada laki-laki yaitu sebesar
38%. Pada Riskesdas (Riset Kesehatan
Dasar) tahun 2007, prevalensi DM pada
penduduk usia ≥ 15 tahun di Indonesia
sebesar 5,7% pada penduduk daerah
perkotaan. Dalam laporan Riskesdas tahun
2007 tidak disebutkan prevalensi diabetes
pada perempuan usia reproduksi (15-49
tahun) atau usia subur, dengan kata lain
belum ada laporan nasional melaporkan
kejadian diabetes melitus pada rentang usia
reproduksi.2
DM merupakan masalah kesehatan yang
penting bagi perempuan usia reproduksi. DM
yang tidak terkontrol atau tidak terdiagnosis
pada usia tersebut dapat mengakibatkan
komplikasi pada saat kehamilan yang
mengancam jiwa ibu atau persalinan yang
sulit, dan komplikasi yang mengancam
kehidupan dan kesehatan anak yang baru
lahir. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang
mempunyai riwayat gestasional diabetes
melitus (GDM) akan berisiko mengalami
DM tipe 2. Aleida (2011) mengatakan
diabetes melitus pada saat kehamilan (GDM)
adalah sebuah tanda diabetes yang
berkelanjutan dan perempuan dengan usia
subur akan semakin berisiko tinggi untuk
mengalami diabetes yang menetap.1, 3,4
IDF tahun 2012 menyebutkan bahwa faktor
risiko untuk diabetes tipe 2 (dua) adalah
kegemukan, diet dan aktivitas fisik,
meningkatnya usia, resistensi insulin, riwayat
keluarga diabetes, dan etnis. Perubahan diet
dan aktivitas fisik yang berkaitan dengan
pesatnya urbanisasi telah menyebabkan
peningkatan tajam pada penderita diabetes.
Wanita hamil yang memiliki berat badan
berlebih telah dan memiliki riwayat keluarga
diabetes berisiko tinggi terkena diabetes
gestasional (GDM).1,5
Belum tersedianya data nasional mengenai
prevalensi DM pada perempuan usia
reproduksi (15-49 tahun), membuat peneliti
tertarik untuk mengetahui
gambaran
prevalensi DM pada usia tersebut beserta
faktor risikonya, dengan begitu kita dapat
mewaspadai dan menghindari hal tersebut
agar tidak terjadi DM pada usia tersebut.
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif dengan disain studi potong lintang
(cross sectional). Data yang digunakan
adalah data Biomedis Riskesdas 2007,
pengambilan
data
Riskesdas
2007
dilaksanakan oleh Balitbangkes (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan)
Kementerian Indonesia.6
Riskesdas bidang biomedis dilakukan di 33
provinsi di Indonesia dengan populasi
penduduk di daerah urban di Indonesia yang
berusia 15 tahun ke atas, jumlah penduduk
yang berusia 15 tahun ke atas dan tinggal di
daerah perkotaan adalah 162,98 juta jiwa.
Sampel untuk Riskesdas adalah rumahtangga terpilih di BS terpilih menurut
sampling yang dilakukan oleh BPS untuk
Susenas 2007. Seluruh anggota rumah-tangga
terpilih
merupakan
unit
observasi/
pengamatan dalam rumah-tangga, sesuai
dengan kuesioner yang telah disiapkan.
Instrumen untuk wawancara, pemeriksaan
antropometri dipergunakan untuk seluruh
anggota rumah tangga terpilih.6
Kerangka pengambilan sampel (sampling
frame) menggunakan blok sensus (BS) dari
Badan Pusat Statistik (BPS). Cara
pengambilan sampel adalah cluster sampling
dengan menggunakan blok sensus BPS.
Rancangan sampel 2 tahap di daerah
perkotaan. Untuk rancangan sampel 2 tahap,
tahap-1 dari kerangka sampel BS dipilih
sejumlah BS secara probability proportional
to size (PPS) sampling, artinya penentuan
banyaknya blok sensus disesuaikan dengan
jumlah penduduk secara proporsional.
Jumlah blok sensus dalam Riskesdas 2007
adalah 17.150 blok sensus dari 440
kabupaten/kota. Pada tahap-2, dari setiap
blok sensus terpilih kemudian dipilih 16
rumah tangga secara acak sederhana (linear
systematic sampling).6
Sampel Riskesdas bidang biomedis adalah
seluruh anggota rumah tangga (RT) dari RT
terpilih di blok sensus terpilih di daerah
urban sesuai Susenas Kor 2007 yang
berjumlah 6.474 blok sensus. Jumlah sampel
yang diambil adalah 15% daerah urban di
Diabetes Melitus Pada Perempuan…(Sri, Raihana )
Indonesia
secara
systematic
random
sampling. Besar sampel adalah 15.536 RT
dari 971 BS. Jumlah rumah tangga yang
terpilih sebanyak 15.536 rumah tangga dan
anggota rumah tangga yang diambil sampel
gula darahnya berjumlah 24.417 individu
laki-laki dan perempuan, setelah dilakukan
proses pembersihan data (cleaning data),
data yang dapat diolah dan dianalisis adalah
berjumlah 7.745 perempuan usia reproduksi
(15-49 tahun).6
HASIL
Tabel
1.Gambaran Diabetes Melitus pada
perempuan
usia
reproduksi
di
Indonesia tahun 2007
Variabel
Jumlah
Persentase
Diabetes melitus
DM
276
3,6
NON DM
7.469
96,4
Pada tabel 1. diatas jumlah DM pada
perempuan usia reproduksi di Indonesia
adalah sebesar 276 orang (3,6%) dan non
DM adalah 7.469 orang (96,4%).
Tabel 2. Gambaran faktor risiko diabetes melitus pada perempuan usia
reproduksi di Indonesia tahun 2007
Variabel
Jumlah
Persentase
2.294
5.451
29,6
70,4
4.063
3.682
52,5
47,5
2.086
5.659
26,9
73,1
1.293
4.092
2.360
16,7
52,8
30,5
7.535
210
97,3
2,7
Mean (31,82 )
SD (92,67)
Obesitas
Ya
Tidak
Aktivitas fisik
Kurang
Cukup
Merokok
Ya
Tidak
Konsumsi lemak
Sering
Jarang
Tidak pernah
Konsumsi buah dan sayur
Kurang
Cukup
Umur
Tabel 2. diatas menjelaskan gambaran faktor
risiko DM pada perempuan usia reproduksi
di Indonesia. Perempuan yang mengalami
obesitas sebesar 2.294 orang (29,6%) dan
tidak obesitas sebesar 5.451 orang (70,4%),
kurang aktivitas fisik sebesar 4.063 orang
(52,5%) dan cukup aktivitas fisik sebesar
3.682 orang (47,5%), merokok sebesar 2.086
orang (26,9%) dan tidak merokok sebesar
5.659 orang (73,1%), sering konsumsi lemak
sebesar 1.293 orang (16,7%) jarang konsumsi
lemak sebesar 4.092 orang (52,8%) dan tidak
pernah mengkonsumsi lemak sebesar 2.360
orang (30,5%), kurang konsumsi buah dan
sayur sebesar 7.535 orang (97,3%) dan cukup
konsumsi buah dan sayur 210 orang (2,7%),
dan rata-rata usia perempuan usia reproduksi
adalah 32 tahun dengan standar deviasi 93
tahun.
PEMBAHASAN
Gambaran
Diabetes
Melitus
pada
perempuan usia reproduksi (15 -49 tahun)
Diabetes melitus adalah salah satu penyakit
tidak menular yang terjadi karena
peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan atau resistensi insulin di
dalam tubuh. Diabetes melitus terbagi
menjadi 2, pertama tipe yaitu diabetes
melitus tipe I (tergantung pada insulin)
disebabkan insulin yang dihasilkan oleh
pankreas sangat sedikit atau bahkan sama
sekali tidak insulin dihasilkan, kebanyakan
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 46 – 51
diabetes tipe 1 adalah anak-anak dan remaja
yang pada umumnya tidak gemuk. kedua
Diabetes Melitus Tipe II (Tidak Tergantung
pada Insulin) jika insulin hasil produksi
pankreas tidak cukup atau sel lemak dan otot
tubuh menjadi kebal terhadap insulin,
sehingga terjadilah gangguan pengiriman
gula ke sel tubuh. Diabetes tipe II ini
merupakan tipe diabetes yang paling umum
dijumpai, juga sering disebut diabetes yang
dimulai pada masa dewasa, dikenal sebagai
NIDDM (Non Insulin Dependent Diebetes
Mellitus) diabetes tipe II terjadi akibat
obesitas, aktivitas fisik, diet, pola konsumsi
yang tidak sehat, dan lain-lain, oleh karena
itu pada tulisan ini akan dibahas mengenai
diabetes tipe II.7
Data pada tabel1 menjelaskan bahwa terdapat
3,6% penderita diabetes melitus pada
perempuan usia reproduksi (15-49 tahun) di
Indonesia. Presentase ini tidak dapat di
bandingkan dengan prevalensi DM nasional
5,7% karena pemilihan kriteria individu dan
usia berbeda pada penelitian ini dan nasional
berbeda. Kriteria nasional yaitu penduduk
pria dan wanita diatas ≥ 15 tahun. Namun
presentase DM pada perempuan usia
reproduksi perlu dicermati dan diwaspadai
karena DM yang terjadi pada rentang usia
subur dan mengalami kehamilan, oleh karena
itu diabetes sebaiknya dihindari sebelum
kehamilan.
Risiko yang terkait diabetes gestational
adalah pra-natal morbiditas dan kematian
serta peningkatan kelahiran sesar dan
hipertensi yang kronis pada ibu. Wanita
dengan diabetes gestational lebih cenderung
melahirkan bayi besar yang merupakan
alasan mengapa lebih banyak perempuan
dengan diabetes gestasional melakukan sesar
pada saat persalinan. Wanita dengan diabetes
sebelum kehamilan lebih cenderung memiliki
bayi dengan cacat bawaan jika kontrol
glikemik mereka dibawah optimal selama
trimester pertama kehamilan. Dengan
demikian sangat penting untuk semua wanita
dengan diabetes untuk diberi konseling
tentang risiko hiperglikemia dan kehamilan
sebelum konsepsi dan untuk wanita dengan
diabetes untuk merencanakan kehamilan
mereka sehingga untuk mengurangi risiko
cacat bawaan pada keturunan mereka.
Hingga 50% dari wanita dengan diabetes
gestasional terus berkembang
diabetes tipe 2 (Weinger, 2009).8
menjadi
Gambaran faktor risiko diabetes melitus
pada perempuan usia reproduksi (15 – 49
tahun)
Diabetes tipe II terbagi menjadi dua yaitu
penderita tidak gemuk (non-obese) dan
penderita gemuk (obese). Sekitar 80%
penderita diabetes tipe II adalah mereka yang
tergolong gemuk. Kelebihan berat badan
meningkatkan kebutuhan tubuh akan insulin.
Perempuan yang kegemukan memiliki sel-sel
lemak yang lebih besar pada tubuh mereka.
Diyakini bahwa sel-sel lemak yang lebih
besar tidak merespon insulin dengan baik.3,7,9
Obesitas mempunyai hubungan yang
signifikan dengan kejadian diabetes melitus,
80-85% penderita diabetes tipe 2 mengidap
kegemukan. Tentu saja tidak semua orang
yang kegemukan menderita diabetes, tetapi
penyakit ini mungkin muncul 10-20 tahun
kemudian. Dikatakan obesitas jika seseorang
kelebihan 20% dari berat badan normal. Pada
usia lebih tua (41- 64 tahun), obesitas
ditemukan sebagai faktor yang mempercepat
peningkatan laju insidensi DM tipe 2.10, 11, 12
Perempuan yang memiliki lemak berlebihan
pada batang tubuh, terutama jika itu berada
pada bagian perut, lebih mungkin terkena
diabetes yang tidak tergantung pada insulin.
Ini karena lemak pada organ-organ perut
tampaknya lebih mudah diolah untuk
memperoleh energi. Ketika lemak diolah
untuk memperoleh energi, kadar asam lemak
didalam darah meningkat. Tingginya asam
lemak di dalam darah meningkatkan
resistensi terhadap insulin melalui aksinya
terhadap hati dan otot-otot tubuh.9
Perempuan yang obesitas berisiko akan
terjadi GDM pada saat kehamilannya, jika
tidak diwaspadai hal tersebut akan
berdampak kepada ibu dan janin seperti
kesulitan selama kehamilan dan persalinan,
bayi
lahir
besar/diabetes
keturnan,
penyempitan pembuluh darah dan kematian
pada bayi.
Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat
untuk mengatur berat badan dan menguatkan
sistem jantung dan pembuluh darah.
Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan cukup
apabila kegiatan dilakukan terus-menerus
sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan
Diabetes Melitus Pada Perempuan…(Sri, Raihana )
tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit
selama lima hari dalam satu minggu, dan
kategori kurang apabila kegiatan dilakukan
terus-menerus kurang dari 10 menit dalam
satu kegiatan tanpa henti dan secara
kumulatif tidak mencapai 150 menit selama
lima hari dalam satu minggu.2
Beberapa penelitian dewasa ini telah
menunjukkan bahwa perempuan yang
memiliki gaya hidup kurang aktif lebih
mungkin terkena diabetes dibandingkan
mereka yang hidupnya aktif. Diyakini bahwa
olahraga dan akitivitas fisik meningkatkan
pengaruh insulin atas sel-sel.21Diabetes tipe
II ini dapat menurun dari orang tua yang
penderita diabetes. Tetapi risiko terkena
penyakit ini akan semakin tinggi jika
memiliki kelebihan berat badan dan memiliki
gaya hidup yang membuat anda kurang
bergerak.7
Menurut Tsiara kebiasaan merokok secara
mekanisme biologi dapat meningkatkan
radikal
bebas
dalam
tubuh
yang
menyebabkan kerusakan fungsi sel endotel
dan merusak sel beta di pankreas.13 Menurut
Bustan tahun 1997merokok dimulai sejak
umur < 10 tahun ataulebih dari 10 tahun.
Semakin awal seseorang merokok makin
sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga
punya dose-response effect, artinya semakin
muda usia merokok, akan semakin besar
pengaruhnya. Apabila perilaku merokok
dimulai sejak usia remaja, merokok sigaret
dapat
berhubungan
dengan
tingkat
arterosclerosis. Risiko kematian bertambah
sehubungan dengan banyaknya merokok dan
umur awal merokok yang lebih dini.
Konsumsi saturated fat yang tinggi
menyebabkan timbulnya resistensi insulin
dan dislipidemia. Saturated fat
dapat
menyebabkan resistensi insulin karena
perubahan komposisi phospholipid dalam
membran sel, perubahan sinyal insulin dapat
menghambat
sintesis
glikogen,
atau
mekanisme lainnya.14 Orang yang memiliki
lemak berlebihan pada batang tubuh,
terutama bagian perut lebih memungkinkan
terkena diabetes yang tidak tergantung pada
insulin. Ini karena lemak pada organ-organ
perut tampaknya lebih mudah diolah untuk
memperoleh energi. Ketika lemak diolah
untuk memperoleh energi, kadar asam lemak
di dalam darah meningkatkan resistensi
terhadap insulin melalui aksinya terhadap
hati dan otot-otot tubuh.9
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Bener dkk bahwa ada hubungan yang
signifikan antara trigliserida dan HDL
dengan kejadian diabetes melitus.10 Orang
yang mengkonsumsi lemak jenuh berisiko
untuk mengalami DM tipe II.
Konsumsi buah dan sayur menurut adalah
frekuensi rata-rata dan porsi asupan buah dan
sayur responden dalam sehari selama
seminggu.15 Buah dan sayur banyak
mengandung serat yang berguna untuk
menurunkan absorbsi lemak dan kolesterol
darah. Pada umumnya, makanana serat tinggi
mengandung energi rendah, dengan demikan
dapat membantu menurunkan berat badan.
Serat makanan adalah polisakarida nonpati
yang terdapat dalam semua makanan nabati.
Serat tidak dapat dicerna oleh enzim cerna
tapi berpengaruh baik untuk kesehatan.16
Pada Studi yang dilakukan terhadap 84.000
perawat wanita yang mulai diteliti oleh
peneliti Harvard pada tahun 1980
mendapatkan hubungan antara konsumsi
kekacangan dan risiko DM tipe 2. Jika
dibandingkan dengan wanita yang jarang
makan kacang, mereka yang makan satu
sampai dengan 4 ons setiap minggu
mempunyai pengurangan 16% insiden DM
tipe 2, dan mereka yang makan sedikitnya 5
ons perminggu memperlihatkan pengurangan
27%. Para peneliti berpendapat, bahwa
meskipun kekacangan dapat memberikan
80% kalori lemak, lemak itu adalah lemak
jenis unsaturated yang dapat mengontrol
hormon insulin dan glukosa. Ditemukan
bahwa mengkonsumsi serat ≥25 gr per hari
mempunyai hubungan yang signifikan
dengan kejadian DM tipe 2 dan dapat
mencegah kejadian DM tipe 2 sebesar 0,290,42 kali.12
Setelah usia 30 tahun, wanita memiliki risiko
yang lebih tinggi dibanding pria.14,21 Menurut
Damayanti wanita lebih berisiko mengidap
diabetes karena secara fisik wanita memiliki
peluang peningkatan indeks masa tubuh yang
lebih besar. Sindroma siklus bulanan
(premenstrual syndrome), pasca-menopouse
yang membuat distribusi lemak tubuh
menjadi mudah terakumulasi akibat proses
hormonal tersebut sehingga wanita berisiko
menderita diabetes melitus tipe 2.20 Proporsi
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 46 – 51
DM lebih tinggi pada wanita sebesar 53.2%
dibanding laki-laki sebesar 46.8%.10
5.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Persentase DM pada perempuan usia
reproduksi (15-49 tahun) adalah 3,6%. Hal
ini perlu diwaspadai sebab wanita dengan
DM memiliki risiko untuk melahirkan bayi
besar.
Saran
6.
7.
Perlu dilakukan penanganan dan pencegahan
DM serta komplikasi yang terjadi akibat DM
pada
usia
reproduksi
dengan
mempertimbangkan faktor-faktor risiko
diabetes seperti obesitas, aktivitas fisik,
merokok, konsumsi lemak, kurang konsumsi
buah dan sayur, dan usia.
8.
UCAPAN TERIMA KASIH
10.
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Prodi Kesehtan Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu
dalam proses penelitian ini dilakukan, dan
terima kasih peneliti sampaikan juga kepada
Kepala Badan Litbangkes Kementrian
Kesehatan Indonesia yang telah menyediakan
data-data yang diperlukan demi kelancaran
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. IDF. Women and Diabetes. International
Diabetes Federation. 2012.Diunduh dari
http://riskesdas.idf.org/women-and-diabetes.
Diakses pada tanggal 14 Desember 2012
2. Departemen Kesehatan R.I. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS)
Indonesia Tahun 2007. 2008. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
3. Dalimartha, Setiawan. Ramuan Tradisional
Untuk Pengobatan Diabetes Melitus. 2005.
Jakarta:Penebar Swadaya
4. Rivas, Aleida M. Gestational Diabetes
Mellitus
After
Delivery,
Gestational
Diabetes, Prof. Miroslav Radenkovic.
Diunduh dari http://Riskesdas.intechopen.
9.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
com/books/gestational-diabetes/gestationaldiabetes-mellitus-after-delivery
Kieffer EC, Sinco B, Kim C. Health
Behaviors among Women of Reproductive
Age With and without a History of
Gestational Diabetes Mellitus. Diabetes Care,
2006;29(8):1788-93.
Departemen Kesehatan R.I. Pedoman
Pengambilan, Penyimpanan, Pengemasan
dan Pengiriman Spesimen Darah. 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Sustrani, Lanny dkk. Diabetes. 2006.
Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama
Weinger, Katie; Carver, Catherine A.
Educating Your Patient With Diabetes.
Springer
Journal,
2009.
Diunduh
darihttp://Riskesdas.springer.com/978-160327-207-0
Ramaiah, Savitri. Diabetes: Cara Mengetahui
Gejala Diabetes dan Mendetksinya Sejak
Dini. 2008. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer
Banner, Abdulbari et al. Prevalence of
Diagnosed and Undiagnosed Diabetes
Mellitus and Its Risk Factors in a PopulationBased Study of Qatar. April 2009; 84(1).
Diakses
dari
http://Riskesdas.diabetes
researchclinicalpractice.com/article/S016882
27%2809%2900067-9/pdf
Soegondo, Sidartawan. Hidup Secara
Mandiri dengan: Diabetes Mellitus, Kencing
Manis, Sakit Gula. 2008. Jakarta: FKUI
Rahajeng, Ekowati.Risiko Kebiasaan Minum
Kopi pada Kasus Toleransi Glukosa
Terganggu Terhadap Terjadinya DM tipe 2.
2004. Jakarta: Disertasi FKMUI
Pramono, Laurentius Aswin. Prevalensi dan
Faktor-faktor Prediksi Diabetes Melitus
Tidak Terdiagnosa pada Penduduk Usia
Dewasa di Indonesia. 2010. Depok: Tesis
FKMUI
Soeyono, Slamet. Patofisiologi Diabetes
Melitus. Dalam: Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu. 1999. Jakarta: Pusat
Diabetes dan Lipid RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo FKUI
Departemen
Kesehatan
R.I.Pedoman
Pengisian Kuesioner RISKESDAS 2007.
2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Almatsier, Sunita. Penuntun Diet. 2006.
Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi
Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri)
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG MENYUSUI
DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
Mothers Knowledge about Breastfeeding and Its Impact on Exclusive Breastfeeding
Yuli Amran1, Vitri Yuli Afni Amran2
1
Program Studi Kesehatan Masyarakat, FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2
Jurusan Kebidanan Universitas Baiturrahmah, Padang
1
Email: [email protected]
Abstract
Background: Breastfeeding is the best way to promote healthy and qualified human resources. Currently
the practice of breastfeeding was still sub-optimal. The coverage was still below the target set by the
government.
Objective: To identify the knowledge of mothers about breastfeeding and its impact on exclusive
breastfeeding practices.
Methods: The study used a cross-sectional design, using information from 401 mothers selected using
multistage sampling technique. Data were collected using structured interviews. Univariate analysis was
performed to describe the variables examined.
Results: The results show the low level of knowledge about breastfeeding in mothers in addition to the lack
of information/counselling provided by health personnel regarding breastfeeding. This might have
adversely affect the quality of breastfeeding, which was reflected by the low coverage of exclusive
breastfeeding.
Conclusions: Efforts to increase the knowledge of breastfeeding and promote behaviour change in mothers
to sub-optimally breastfeed their babies are required. Therefore, the role of health personnel in providing
information related to breastfeeding should be enhanced, to obtain the optimal benefits of breastfeeding.
Key words: Knowledge about breastfeeding, exclusive breastfeeding, role of health workers
Abstrak
Latar Belakang: Pemberian ASI merupakan cara terbaik menciptakan sumber daya manusia yang sehat
dan berkualitas. Saat ini pemberian ASI belum optimal dan cakupannya masih dibawah target yang
ditetapkan pemerintah.
Tujuan: Mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang cara menyusui dan dampaknya terhadap pemberian
ASI eksklusif.
Metode: Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif ini memiliki desain studi cross-sectional.
Sampel yang berjumlah 401 ibu ini diambil dengan menggunakan teknik mulstistage sampling. Data
dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara terstruktur. Data yang telah dikumpulkan dianalisis
dengan menggunakan analisis univariat untuk menggambarkan variabel yang diteliti.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan ibu yang berkaitan dengan menyusui masih
dikatagorikan rendah dan informasi/nasihat yang diberikan tenaga kesehatan terkait menyusui ini juga
masih kurang. Hal ini diduga berdampak buruk terhadap buruknya kualitas pemberian ASI, yang
dibuktikan rendahnya cakupan ASI eksklusif.
Kesimpulan: Masih perlu upaya yang keras untuk meningkatkan pengetahuan dan merubah perilaku ibu
agar menyusui bayi dengan optimal. Oleh karena itu, diharapkan tenaga kesehatan lebih meningkatkan
perannya dalam memberikan informasi terkait ASI agar keberhasilan pemberian ASI bisa optimal.
Kata kunci: Pengetahuan menyusui, ASI eksklusif, peran nakes
Naskah masuk: 19 Februari 2012,
Review: 15 Februari 2012,
PENDAHULUAN
Berdasarkan pernyataan bersama UNICEF,
WHO dan IDAI di Jakarta-Indonesia pada 7
Januari 2005, ada beberapa kebijakan tentang
Disetujui terbit: 18 April 2012
pemberian makan pada bayi yaitu 1)
memberikan air susu ibu (ASI) segera setelah
lahir pada satu jam pertama, 2) Hanya
memberikan ASI saja sampai umur enam
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61
bulan, 3) Memberikan Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI) setelah bayi umur enam
bulan, dan 4) Tetap memberikan ASI sampai
anak umur dua tahun atau lebih.1
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa ASI
merupakan hal yang penting diberikan pada
bayi sejak dia lahir sampai dia berusia dua
tahun atau lebih. Pemberian ASI kepada bayi
merupakan cara pemberian makanan yang
terbaik, terutama disaat bayi berumur kurang
dari enam bulan. Hal ini disebabkan karena
ASI mengandung banyak manfaat yang
dibutuhkan bayi pada enam bulan pertama
masa kehidupannya seperti aspek gizi,
imunologik,
psikologi,
kecerdasan,
neurologis, ekonomis dan penundaan
kehamilan.2
Sebuah penelitian yang dilakukan Demsa
(2006) tentang kelangsungan hidup bayi di
perkotaan
dan
pedesaan
Indonesia
menemukan hasil bahwa faktor dominan
yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup bayi adalah faktor waktu pemberian
ASI. Pada penelitian ini juga disebutkan
bahwa bayi yang tidak mendapatkan ASI
mempunyai risiko kematian sebesar 26.19
kali dibandingkan bayi yang segera
mendapatkan
ASI.3
Penelitian
lain
menunjukkan bahwa durasi pemberian ASI
sangat mempengaruhi ketahanan hidup bayi
di Indonesia. Pada studi tersebut terbukti
bahwa bayi yang mendapatkan ASI selama 6
bulan, memiliki ketahanan hidup yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bayi yang diberi
ASI dengan durasi 4-5 bulan saja. Sementara
lain bayi yang mendapatkan ASI dengan
durasi 4-5 bulan mempunyai ketahanan hidup
2.6 kali (1/0.38) lebih tinggi dibandingkan
bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi
kurang dari 4 bulan.4
Walaupun kampanye tentang pentingnya ASI
sudah sering dilakukan oleh pemerintah
maupun
pihak
Lembaga
Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang
kesehatan, namun masih banyak ibu-ibu di
Indonesia belum memberikan ASI kepada
bayinya secara optimal. Berdasarkan Profil
Kesehatan Kesehatan Indonesia tahun 2011
yang bersumber dari data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2010
menunjukkan bahwa ibu di Indonesia yang
memberikan ASI eksklusif kepada bayinya
hanya 61.5 persen. Sedangkan khusus
Provinsi Banten angka ibu yang memberikan
ASI eksklusif hanya 52.7 persen. Padahal
pemerintah lewat keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 450/Menkes/SK/IV/Tahun
2004 tentang Pemberian ASI secara eksklusif
pada bayi di Indonesia menetapkan
pemberian ASI eksklusif selama enam bulan
dan menargetkan cakupan ASI eksklusif
sebesar 80 persen. Dapat dikatakan cakupan
pemberian ASI eksklusif di Indonesia belum
mencapai target yang diharapkan.
Sebenarnya banyak faktor yang berhubungan
dengan keberhasilan pemberian ASI kepada
bayi terutama ASI eksklusif. Sebuah
penelitian mengatakan ibu yang suaminya
mendukung pemberian ASI eksklusif
berpeluang memberikan ASI eksklusif 2
(dua) kali daripada ibu yang suaminya tidak
mendukung pemberian ASI eksklusif.5
Pada penelitian lain ditemukan pendidikan,
pengetahuan, dan pengalaman ibu adalah
faktor predisposisi yang berpengaruh positif
terhadap keberhasilan ASI eksklusif. Dari
segi faktor pendorong, dukungan tenaga
kesehatan yang membantu persalinan paling
nyata pengaruhnya dalam keberhasilan ASI
Eksklusif.6
Salah satu bentuk dukungan dari tenaga
kesehatan penolong persalinan terhadap
keberhasilan
pemberian
ASI
adalah
menginformasikan kepada ibu tentang
pentingnya ASI dan bagaimana menyusui
yang benar agar pemberian ASI menjadi
lancar. Peningkatan pengetahuan ibu tentang
pelaksanaan
ASI
esklusif
sebaiknya
dilakukan pada saat ibu menjalani masa
kehamilan bukan pada saat ibu sudah
melahirkan.6
Tulisan ini adalah bagian dari penelitian
tentang pengetahuan ibu tentang menyusui
dan dampaknya terhadap pemberian ASI
yang bertujuan menjelaskan bagaimana
gambaran pengetahuan ibu tentang menyusui
dan bagaimana dampaknya terhadap
keberhasilan pemberian ASI eksklusif.
METODE
Penelitian dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif ini menggunakan desain crosssectional. Dilakukan di wilayah Kotamadya
Tangerang Selatan, Banten pada akhir tahun
2010. Sampel dalam penelitian ini adalah
Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri)
semua ibu yang mempunyai anak berusia
lebih dari enam bulan. Sampel diambil
dengan menggunakan metode multistage
sampling dengan jumlah 401 ibu.
Pada penelitian ini data dikumpulkan dengan
mengunakan metode wawancara terstruktur
terhadap ibu menyusui. Instrumen yang
digunakan adalah panduan wawancara
terstruktur yang telah dilakukan uji validitas
terlebih dahulu. Sebelum dilakukan analisis
data, data yang telah dikumpulkan diolah
dengan langkah-langkah yaitu;
coding,
editing, entry dan cleaning. Data dianalisis
secara deskriptif untuk menggambarkan
variabel yang diteliti.
HASIL
Pengetahuan tentang Menyusui
Pada penelitian ini digambarkan pengetahuan
sekitar menyusui yang meliputi cara
menyusui yang benar, tentang cara
menyimpan ASI, cara perawatan payudara,
posisi
menyusui
yang
benar
dan
informasi/nasihat yang sudah pernah diterima
ibu baik sebelum persalinan atau saat
antenatal care maupun pascapersalinan oleh
tenaga kesehatan (nakes). Berikut hasilnya
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Ibu yang memiliki pengetahuan tinggi tentang menyusui
Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui
n=401
%
Cara Menyusui yang Benar
92
22.9
Posisi Menyusui yang Benar
62
15.5
Cara Mengatasi Putting Datar
23
5.7
Cara Mengatasi Putting Lecet
175
43.6
Cara Mengatasi Payudara Bengkak
31
7.7
Tanda-tanda Radang Payudara
111
27.7
Mengatasi Radang Payudara
154
38.4
Cara Menyimpan ASI yang Benar
24
6.0
Perawatan Payudara
Pada tabel 1 diketahui dari 401 ibu yang
diwawancarai, hanya 22.9 persen yang
pengetahuannya
tinggi
tentang
cara
menyusui yang benar. Sementara lain
diketahui hanya sebagian kecil (15.5 %) ibu
yang memiliki pengetahuan yang tinggi
mengenai posisi menyusui yang benar. Untuk
cara mengatasi putting datar hanya 5.7 persen
yang punya pengetahuan tinggi, dan untuk
cara mengatasi puting lecet hampir
separohnya mempunyai pengetahuan tinggi.
Terdapat 7.7 persen ibu yang punya
pengetahuan tinggi dalam mengatasi
payudara bengkak. Ada 27.7 persen ibu yang
memiliki pengetahuan tinggi tentang tandatanda radang payudara dan ada 38.4 persen
yang memiliki pengetahuan tinggi untuk
mengatasi radang payudara. Berdasarkan
distribusi yang ditunjukkan pada tabel 1,
dikatakan bahwa pengetahuan ibu tentang
menyusui masih dalam katagori rendah.
Sedangkan pengetahuan tentang cara
menyimpan ASI yang benar hanya 6.0 persen
yang memiliki pengetahuan tinggi. Berikut
ini akan dipaparkan informasi/nasihat yang
pernah diperoleh ibu mengenai ASI dari
nakes, sebelum persalinan atau saat antenatal
care.
Pada grafik 1 terlihat sebagian besar ibu yaitu
281 orang (70.1%) pernah mendapatkan
informasi/nasihat tentang pemberian ASI
oleh nakes sebelum persalinan atau saat
antenatal
care.
Sementara
lain
informasi/nasihat yang diterima ibu tentang
ASI, dari hasil wawancara pada 281 ibu yang
mendapatkannya diketahui, tidak sampai
separoh ibu yang menerima nasihat/informasi
tentang anjuran menyusui sesegera mungkin,
cara memberi ASI dan Manfaat ASI. Hanya
sebagian kecil ibu yang menerima
informasi/nasihat tentang anjuran ibu makan
makanan bergizi, ibu merencanakan bersama
keluarga untuk memberi ASI, perawatan/
kebersihan payudara dan cara lain untuk
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61
memperbanyak ASI. Hasilnya secara detail
dapat dilihat pada tabel 2.
Grafik1. Distribusi ibu berdasarkan status menerima informasi/
nasihat dari nakes sebelum persalinan
Tabel 2. Nasihat Tentang ASI yang Diberikan Tenaga Kesehatan
Nasihat Tentang ASI
n = 281
%
Agar menyusui sesegera mungkin
111
39.5
Agar memberikan kolestrum
34
12.1
Agar tidak memberikan susu formula
36
12.8
Agar memberikan hanya ASI saja 4-6 bulan
40
14.2
Agar ASI segera 30-60 menit setelah lahir
5
1.8
Agar memberi ASI saja
49
17.4
Semakin sering/lama menyusui, makin banyak ASI
0
0.0
Cara lain untuk memperbanyak/memperlancar ASI
3
1.1
Cara memberi ASI
72
25.6
Agar ibu merencanakan bersama keluarga untuk ASI (segera/ekslusif)
10
3.6
Manfaat ASI untuk bayi, ASI baik, terbaik, dll
63
22.4
Berikan makanan/minuman selain ASI
5
1.8
Perawatan/kebersihan payudara/putting
10
3.6
Agar ibu makan makanan bergizi
21
7.5
Agar ibu makan sayur
13
4.6
Lain-lain
8
2.8
Tidak tahu/lupa
39
13.9
Selanjutnya paparan tentang ibu yang
mendapatkan nasihat/informasi tentang ASI
setelah persalinan. Diperkirakan ibu akan
mendapatkan informasi atau nasihat tentang
ASI dari nakes pada saat nakes melakukan
kunjungan neonatal atau ibu memeriksakan
diri dan bayinya ke tenaga kesehatan setelah
persalinan.
Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri)
Grafik 2. Distribusi Ibu yang Mendapatkan Kunjungan Neonatal Oleh
Tenaga Kesehatan
Pada grafik 2 terlihat hanya 34 orang Ibu
(8.5%) yang mendapatkan kunjungan
neonatal oleh nakes. Hal ini dapat dikatakan
masih
kurangnya
kepedulian
tenaga
kesehatan terhadap keberlangsungan program
ASI di masyarakat. Dari ibu yang
mendapatkan kunjungan neonatal oleh tenaga
kesehatan tujuh hari setelah persalinan
diketahui tidak sampai sepertiganya yang
mendapatkan cara memberikan ASI dan
anjuran menyusui sesegera mungkin. Hanya
sebagian kecil atau tidak ada memperoleh
nasihat/informasi mengenai anjuran ibu
banyak makan sayur, agar memberi ASI saja
sampai usia 6 bulan, cara lain memperbanyak
ASI dan perawatan payudara. Secara detail
hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Nasihat tentang ASI yang diberikan Tenaga Kesehatan Saat Kunjungan
Neonatal
Nasihat tentang ASI
n = 34
Agar menyusui sesegera mungkin
8
Agar memberikan kolostrum
4
Agar tidak memberikan susu formula
1
Agar memberikan hanya ASI saja sampai 4-6 bulan
1
Agar ASI segera 30-60 menit setelah lahir
0
Agar memberikan ASI saja
5
Makin sering/lama menyusui, makin banyak Air Susu Ibu
2
Cara lain untuk memperbanyak/memperlancar ASI
2
Cara memberikan ASI
11
Agar ibu merencanakan bersama keluarga untuk ASI
(segera/ekslusif)
0
Manfaat ASI untuk bayi, ASI baik, terbaik, dll
2
Berikan makanan/minuman selain ASI
0
Perawatan/kebersihan payudara/putting
1
Agar ibu makan bergizi
0
Agar ibu makan sayur
3
Lain-lain,
0
Tidak tahu/lupa
5
Selanjutnya distribusi ibu yang mendapatkan
informasi/nasihat
tentang
ASI
pasca
persalinan saat ibu berkunjung ke nakes
dapat dilihat pada tabel 4. Pada tabel tersebut
%
23.5
11.8
2.9
2.9
0.0
14.7
5.9
5.9
32.4
0.0
5.9
0.0
2.9
0.0
8.8
0.0
14.7
ibu yang datang ke pelayanan kesehatan ada
81.5 %. Dari 81.5 % tersebut hanya 38.8 %
yang mendapatkan nasihat tentang ASI.
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61
Tabel 4. Distribusi Informasi Kunjungan Neonatal ke tenaga Kesehatan
Informasi kunjungan neonatal ke nakes
n
%
Kunjungan Ke tenaga Kesehatan (n=401)
Ya
327
81.5
Tidak
72
18.0
Lupa
2
0.5
Mendapatkan Nasihat/Informasi tentang ASI (n=327)
Ya
127
38.8
Tidak
190
58.1
Lupa
10
3.1
Pemberian ASI
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir
semua ibu yang diwawancarai (98.5 %)
mengatakan pernah memberi ASI kepada
bayi. Sementara 1,5 persen yang
lain tidak pernah memberikan ASI kepada
bayinya dengan alasan, yaitu :ibu sakit
(33.3%), ada masalah payudara (50.0 %),
bayi tidak mau (33.3%) dan tidak ada ASI
(33.3%)
menghisap puting walaupun ASI belum
keluar. Hasil penelitian menunjukkan hampir
separoh (45,4 %) ibu meletakkan bayi
dipayudara ibu untuk menghisap puting
dalam waktu ≤ 30 menit. Hasilnya dapat
dilihat secara detail pada tabel 5.
Tabel 5.Waktu Pertama kali Bayi diletakkan di
payudara ibuuntuk menghisap puting
(Walaupun ASI belum keluar)
Waktu
n
%
 30 menit
182
45.4
31 - 59 menit
43
10.7
60 menit/1 jam
33
8.2
61 menit-23 jam
26
6.5
> 24 jam
75
18.7
Tidak tahu/lupa
15
3.7
Tidak ada jawaban
27
6.7
Total
401
100.0
Pemberian Kolustrum
Grafik 3. Gambaran Ibu yang Pernah Menyusui
ASI Segera
Berikut ini paparan tentang waktu pertama
kali bayi diletakkan di payudara ibu untuk
Kolustrum merupakan cairan yang pertama
kali
keluar
lewat
payudara
ibu
pascapersalinan yang sangat baik untuk bayi.
Dari 395 ibu yang mengatakan pernah
menyusui, sebagian besar 345 orang (87.3%)
diantaranya pernah memberikan kolustrum
pada bayinya. Sementara lain dari 345 orang
ibu yang memberikan kolustrum, lebih dari
separohnya (67.0%) yang memberikan
kolustrum pada bayinya dihari pertama
kelahiran.
Tabel 6. Pemberian Kolostrum
Informasi Pemberian Kolustrum
Pemberian Kolustrum (n=395)
Ya
Tidak
Lupa
Hari Pertama Beri Kolostrum (n=345)
Pertama
Kedua
Ketiga
Lebih dari hari Ketiga
n
%
345
44
6
87.3
11.1
1.5
231
70
31
13
67.0
20.3
9.0
3.7
Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri)
Pemberian ASI Eksklusif
Meskipun banyak juga ibu yang memberikan
kolustrum kepada bayinya pada tiga hari
pertama, namun juga banyak yang
memberikan makan selain ASI/kolustrum
pada bayi mereka dalam tiga hari pertama
pascamelahirkan. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 8. Ada 36.9 persen ibu memberikan
susu formula. Ada juga yang memberikan
madu, air putih, air gula dan buah-buahan.
Berarti dapat dikatakan hampir mencapai
separoh bayi tidak diberi ASI eksklusif sejak
3 hari pertama kelahirannya. Analisis lebih
lanjut mengenai ibu yang tidak memberikan
makanan/atau minuman selama tiga hari
pertama kelahiran diketahui berjumlah 226
atau 56.3 persen dari total sampel. Namun
dari total tersebut ada 175 (77.4%) yang
dapat bertahan memberikan ASI eksklusif
kepada bayinya selama enam bulan. Dapat
dikatakan bahwa dari keseluruhan sampel
(401 ibu), yang memberikan ASI eksklusif
selama enam bulan hanya ada 43.64 persen.
Tabel 7. Makanan/Minuman yang Diberikan Pada Bayi
Selama 3 Hari Pertama Setelah lahir
Makanan/Minuman
n=401
ASI
377
Kolostrum/susu jolong
234
Susu formula
148
Susu (selain ASI & susu formula)
2
Madu
12
Air putih
1
Air teh
0
Air gula
9
Air tajin
0
Jus buah/sayur
0
Pisang dan/atau buah lainnya
3
Lain-lain
1
PEMBAHASAN
Gambaran Pengetahuan Ibu tentang
Menyusui
Pengetahuan ibu tentang cara menyusui yang
benar dapat mendukung bayi mendapatkan
ASI secara maksimal. Namun di wilayah
Tangerang Selatan, hal itu masih sulit
terwujud, dikarenakan pada penelitian ini
secara keseluruhan pengetahuan ibu tentang
menyusui disimpulkan masih dalam katagori
rendah.
Kurangnya
pengertian
dan
pengetahuan ibu tentang ASI dan menyusui
menyebabkan
ibu-ibu
akan
mudah
terpengaruh dan akhirnya beralih menggunakan susu formula7. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pengetahuan ibu dengan perilaku pemberian
ASI eksklusif.8
Pengetahuan ibu yang kurang mengenai
posisi menyusui yang benar bisa berdampak
ibu sering cepat merasa lelah, puting susu
lecet dan nyeri, radang payudara, selain itu
bayi juga merasa tidak nyaman. Padahal
menurut Pakar Laktasi untuk mendapatkan
manfaat optimal dari pemberian ASI
%
94.0
58.4
36.9
0.5
3.0
0.2
0.0
2.2
0.0
0.0
0.7
0.2
diperlukan dua syarat utama. Syarat pertama
yaitu pemberian ASI harus dilakukan dengan
baik sehingga keberhasilan menyusui dapat
dicapai. Syarat kedua, pemberian ASI harus
dilakukan secara eksklusif minimal selama
empat bulan dan maksimal enam bulan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemberian
ASI yang baik yaitu yang sesuai kebutuhan.
Namun pada penelitian ini tidak banyak ibu
yang tahu cara mengatasi permasalahan yang
terjadi selama menyusui seperti puting datar,
puting lecet, radang payudara, dll.
Selain pengetahuan ibu mengenai menyusui
yang benar dan tahu bagaimana mengatasi
apabila payudara mengalami masalah,
pengetahuan tentang menyimpan ASI juga
dianggap memegang peranan penting.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang cara
menyimpan ASI berdampak kurangnya
asupan ASI bagi bayi yang ibunya bekerja
atau berpergian dalam waktu lama. Ibu
rumah tangga dan ibu yang menjadi pekerja
di rumahnya sendiri menyusui tidak
terjadwal tidak merupakan masalah, namun
bagi ibu yang bekerja di luar rumah dan
harus meninggalkan anaknya lebih dari tujuh
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61
jam ini sangat memberatkan9. Beberapa
penelitian menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara status pekerjaan dengan
pemberian ASI secara eksklusif.10,11Jadi
dapat disimpulkan apabila ibu bekerja dan
ibu tidak tahu cara menyimpan ASI maka
akan menjadi permasalahan besar dalam
menjalankan program ASI eksklusif.
Rendahnya
pengetahuan ibu tentang
menyusui
dirasa
wajar
karena
informasi/nasihat yang diberikan nakes juga
dirasa masih kurang. Hanya sebagian kecil
saja ibu yang mendapatkan informasi/nasihat
terkait menyusui yang benar, perawatan
payudara, cara memperbanyak/memperlancar
ASI, pemberian ASI segera, kolustrum dan
ASI Eksklusif. Padahal dukungan nakes
dalam pelaksanaan pemberian ASI terutama
ASI eksklusif merupakan hal penting dan
merupakan
faktor
predisposisi
yang
berpengaruh positif terhadap keberhasilan
ASI eksklusif.6 Mengingat pentingnya
pengetahuan dalam kelancaran pemberian
ASI, oleh karena itu menjadi tanggung jawab
ibu untuk mencari informasi berkaitan
menyusui dan tenaga kesehatan juga harus
proaktif dalam memberikan informasi
berkaitan dengan cara menyimpan ASI yang
dibutuhkan oleh ibu menyusui.
Gambaran Pemberian ASI
Menyusui
adalah
kegiatan
alamiah
memberikan ASI kepada bayi atau balita dari
payudara ibu.12 (Fredregill, 2010). Kegiatan
menyusui sangat penting dilakukan, karena
dengan menyusui ibu dapat memberikan ASI
kepada bayi dan dapat mencukupi kebutuhan
nutrisi bayi. Selain itu, menyusui juga
memiliki banyak manfaat, baik bagi bayi
maupun bagi ibu. Adapun manfaat bagi bayi
antara lain adalah mengurangi frekuensi
penyakit
infeksi,
dapat
melancarkan
pencernaan, memperkecil kejadian kelumpuhan, mengurangi alergi, memperkecil
risiko obesitas, dan memperkecil risiko
kerusakan gigi. Sedangkan manfaat bagi ibu
antara lain mempermudah penurunan berat
badan, lebih dekat dan lebih akrab dengan
bayi, serta mengurangi risiko kanker
payudara.13 (Moore dan De Costa, 2006). Hal
yang demikian sepertinya kurang disadari
ibu-ibu di Kotamadya Tangerang Selatan.
Masih
banyak
ibu-ibu
yang
tidak
memberikan ASI secara ekslusif kepada
bayinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar ibu telah pernah memberikan
ASI-nya kepada bayi. Namun kurang dari
sebagian total sampel yang memberikan ASI
esklusif selama enam bulan. Masalah ini
diduga akibat kurangnya pengetahuan ibu
tentang manfaat ASI, maupun teknik
menyusui. Padahal cara menyusui yang benar
akan membantu bayi dalam menyusu
sehingga proses produksi ASI akan berjalan
dengan baik. Sebuah penelitian menunjukan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara
teknik menyusui dengan keberhasilan
pemberian ASI eksklusif.14 penelitian lain
juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna status perolehan informasi
tentang ASI dan MP-ASI terhadap
Pemberian ASI.15
Terkait pemberian ASI, telah dijelaskan juga
pada subbab hasil di atas bahwa ibu yang
memberikan ASI segera setalah lahir (≤ 30
menit) ada sebanyak 45.4 persen. Angka ini
cukup besar, namun masih kurang dari
separoh ibu yang melakukan ASI segera
(Immediate Breastfeeding). Padahal apabila
bayi pada usia kurang dari 30 menit segera
disusukan pada ibunya, itu berarti tidak
sekedar memberikan nutrisi yang bermanfaat
pada bayi, tetapi juga belajar menyusui guna
mempersiapkan
payudara
ibu
mulai
memproduksi ASI. Hal ini disebabkan
perasaan senang yang timbul saat melihat
bayi dan kepuasaan dapat menyusui akan
merangsang kelenjer hipofise posterior
mengeluarkan hormone oksitosin untuk
mempercepat pengeluaran ASI. Selain itu
gerakan untuk menghisap pada bayi baru
lahir akan mencapai puncaknya pada waktu
berusia 20-30 menit, sehingga apabila
terlambat menyusui bisa saja refleks tersebut
akan berkurang dan melemah.16,17
Selain ASI segera (Immediate Breastfeeding)
yang dianjurkan untuk dilaksanakan oleh ibu
menyusui, pemberian kolustrum juga
merupakan hal penting untuk dijadikan fokus
perhatian ibu untuk diberikan pada bayi.
Kolustrum mengandung zat gizi dan
kekebalan yang sangat dibutuhkan oleh bayi.
Keberhasilan
responden
memberikan
kolustrum dapat mempengaruhi praktik
pemberian ASI eksklusif selanjutnya.15 Pada
penelitian ini terdapat 87.3 persen ibu
memberikan kolustrum pada bayinya dan
67.0 persen diantaranya memberikan pada
Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri)
hari pertama kelahiran. Capaian pemberian
kolustrum ini cukup memuaskan walau
belum semua ibu yang memberikan
kolustrum pada bayinya.
Capaian angka pemberian ASI segera dan
kolustrum yang cukup memuaskan ini tidak
diiringi kesuksesan dalam pemberian ASI
eksklusif. Hampir separuh bayi tidak ASI
eksklusif sejak 3 hari pertama masa
kelahiran. Selanjutnya kurang dari separoh
total sampel yang bertahan memberikan ASI
eksklusif sampai enam bulan. Hal ini senada
dengan hasil penelitian Fikawati & Syafiq
bahwa responden yang tidak ASI eksklusif
telah
memberikan
makanan/minuman
prelakteal dalam 3 hari pertama setelah bayi
dilahirkan. Di samping itu pada penelitian
juga ditemukan bahwa kegagalan pelaksanaan ASI eksklusif yang telah dimulai sejak
3 hari pertama kelahira tersebut, diduga
disebabkan oleh faktor lain di luar
pengetahuan ibu yang mempengaruhi
kegagalan ASI eksklusif 16
Selain faktor pengetahuan yang berperan
dalam kegagalan ASI esklusif ini, faktor
kurangnya dukungan nakes juga mengambil
andil dalam kegagalan tersebut. Dukungan
nakes berupa memberikan informasi/nasihat
berkaitan cara menyusui itu sangatlah
penting agar ibu tahu betul bagaimana cara
menyusui yang baik. Bidan adalah salah satu
tenaga kesehatan yang paling tepat untuk
penyuluhan ASI eksklusif terutama di daerah
pedesaan, karena bidan sering berhubungan
dengan sasaran penyuluhan pada saat
memberikan pelayanan kepada ibu hamil dan
penolong persalinan.15
Pada penelitian ini ditemukan peran tenaga
kesehatan dalam mendukung program
pemberian ASI masih rendah. Hanya
sebagain kecil saja ibu yang mendapatkan
informasi tentang ASI dari tenaga kesehatan.
Hal ini didukung oleh UNICEF (2006), yang
menyatakan bahwa promosi pemberian ASI
masih
terkendala
oleh
rendahnya
pengetahuan ibu tentang manfaat ASI dan
cara menyusui yang benar, kurangnya
pelayanan konseling laktasi dari petugas
kesehatan, periode cuti yang terlalu singkat
bagi ibu yang bekerja, persepsi sosial budaya
dan gencarnya produsen susu formula
mempromosikan
produknya
kepada
masyarakat dan petugas kesehatan.
Penelitian Fikawati & Syafiq (2009)
menunjukkan bahwa dukungan tenaga
kesehatan penolong persalinan paling nyata
pengaruhnya dalam keberhasilan ASI
eksklusif. Oleh karena itu, pada penelitian
tersebut
direkomendasikan
untuk
meningkatkan pengetahuan ibu tentang
pelaksanaan ASI eksklusif pada saat
antenatal care dan bukannya setelah
persalinan. Sebuah penelitian lain juga
menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan
informasi tentang ASI dan MP ASI pada
waktu kehamilan ternyata mereka yang
memberikan
ASI
secara
eksklusif
proporsinya lebih besar dibandingkan yang
tidak mendapatkan informasi.15
Sementara lain rekomendasi pakar terkait
dukungan pemberian ASI eksklusif 6 bulan
adalah perlu kebijakan cuti untuk menyusui,
undang-undang pemasaran susu formula,
sanksi untuk iklan susu formula, sanksi untuk
bidan yang memberikan dan mengenalkan
susu formula kepada bayi, dan peningkatan
kualitas ante-natal care.18
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari tulisan ini disimpulkan bahwa
pengetahuan ibu berkaitan menyusui masih
dikatagorikan rendah, dan informasi yang
diperoleh ibu dari nakes baik sebelum
maupun sesudah persalinan terkait menyusui
juga masih dikatagorikan sedikit. Hal ini
diduga mempunyai dampak yang buruk
terhadap pemberian ASI kepada bayi. Dari
98.5 persen ibu yang menyusui hanya kurang
dari separoh ibu yang segera (≤30 menit)
memberikan
ASI
kepada
bayinya
pascapersalinan, namun yang memberikan
kolustrum cukup banyak. Pemberian ASI
segera dan kolustrum tidak cukup membuat
ibu bertahan memberikan ASI eksklusif. Hal
ini dibuktikan pada tiga hari pertama
pascapersalinan hampir separoh ibu sudah
memberikan makanan selain ASI kepada
bayi, seperi memberikan susu formula, madu,
air putih dan air gula.
Saran
Berdasarkan
hasil
penelitian,
maka
disarankan agar tenaga kesehatan terus
berupaya melakukan promosi kesehatan
untuk meningkatkan pengetahuan ibu
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61
berkaitan dengan perawatan payudara dan
menyusui yang benar, dengan harapan
keberhasilan dalam pemberian ASI dapat
tercapai secara optimal.
9.
10.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak
Dinas
Kesehatan
Kotamadya
Tangerang Selatan yang telah memberikan
izin
dan
mendukung
terlaksananya
pengumpulan data penelitian ini.
11.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
UNICEF, WHO, dan IDAI. Rekomendasi
tentang Pemberian Makanan Bayi pada
Situasi Darurat, Pernyataan Bersama
UNICEF, WHO dan IDAI 7 Januari 2005.
2005. Jakarta
Depkes RI. Buku Panduan Manajemen
Laktasi: Dit. Gizi Masyarakat-Depkes RI.
2001. Jakarta: Depkes RI
Simbolon, Demsa. Kelangsungan Hidup Bayi
di Perkotaan dan Pedesaan Indonesia. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, Agustus
2006; 1(1):3-10
Nurmiati dan Besral. Pengaruh Durasi
Pemberian ASI terhadap Ketahanan Hidup
Bayi di Indonesia. Makara Kesehatan,
Desember 2008; 12(2):47-52
Ramadani, Mery dan Hadi, Ella Nurlaela.
Dukungan Suami dalam Pemberian ASI
Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Air
Tawar Kota Padang, Sumatera Barat, Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, Juni 2010,
4(6):269 – 274
Fikawati, Sandra dan Syafiq, Ahmad.
Penyebab Keberhasilan dan Kegagalan
Praktik Pemberian ASI Eksklusif. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, 2009; 4(3):
120-131
Siregar, Arifin. Pemberian ASI Eksklusif dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. 2004.
Sumatera Utara: USU
Widyastuti, Dwi. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Perilaku Pemberian
ASI Eksklusif pada Bayi Usia 0-4 Bulan di
Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung
Barat. 2004. Depok: Skripsi Program Sarjana,
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia
Soetjiningsih.
Persepsi
dan
Perilaku
Menyusui di Bali. Majalah Kedokteran
Indonesia, Juni 1993; 43(6)
Budiwiarti, Endang. Hubungan Pemberian
Minuman Prelakteal Dengan Pemberian ASI
Eksklusif Pada Ibu-Ibu Pengunjung Klinik
Laktasi
Anak
RSUPN
DR.
Cipto
Mangunkusumo Jakarta. 1999. Depok:
Skripsi Program Sarjana, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia
Soeparmanto, Paiman dan Rahayu, Solehah
Catur. Hubungan antara Pola Pemberian ASI
dengan Faktor Sosial, Ekonomi, dan
Perawatan Kesehatan. 1999. Diunduh dari
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/082001
/art-3.htm. Diakses pada tanggal 8 Desember
2012
Fredregill, Suzanne dan Fredregill, Ray. The
Everything Breastfeeding Book (2nd ed)
2010. USA: F+W Media Inc
Moore, Michele C. dan De Costa, Caroline
M. Pregnancy and Parenting After ThirtyFive: Mid Life, New life. 2006. USA: The
Johns Hopkins University Press
Rumpiati. Hubungan antara Teknik Menyusui
dengan Keberhasilan Laktasi pada Ibu Nifas
Primipara di Wilayah Puskesmas Kaibon
Kab. Madiun. Jurnal Penelitian Kesehatan
Suara Forikes, Januari 2012; 3(1): 10-16
Hermina dan Afriansyah, Nurfi. Hubungan
Praktik Pemberian ASI Eksklusif Dengan
Karakteristik Sosial, Demografi dan Faktor
Inforasi Tentang ASI dan MP-ASI (Studi di
Kota Padang dan Kabupaten Solok Provinsi
Sumatera Barat). Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, Oktober 2010; 13(4):353-360
Fikawati, Sandra dan Syafiq, Ahmad.
Hubungan
antara
Menyusui
Segera
(Immediate Breastfeeding) dan Pemberian
ASI Eksklusif sampai dengan Empat Bulan.
Jurnal Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus
2003; 22(2)
Akre J. Infant Feeding: The Physiological
Basis. Bull World Health Organ, 1989;
67(Suppl): 1-108
Fikawati, Sandra dan Syafiq, Ahmad. Kajian
Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu
Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini di
Indonesia. Makara Kesehatan, Juni 2010;
14(1):17-24
Download