Peran Keluarga, Masyarakat, dan Media…( Mochamad, Badra, Yuli) PERAN KELUARGA, MASYARAKAT DAN MEDIA SEBAGAI SUMBER INFORMASI KESEHATAN REPRODUKSI PADA MAHASISWA Role of Family, Society and Media as a Source of Information on Reproductive Health Amongst University Students Mochamad Iqbal Nurmansyah*, Badra Al-Aufa, Yuli Amran Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta *Email: [email protected] Abstract Background:Adolescents can experience many health problems, such as free sex, alcohol drinking, and illicit drug use. There are several factors related to these behaviours, including knowledge, parenting and exposure to printed and electronic media. Objective:To identify the role of family, society and media in providing information about reproductive health amongst students from FKIK UIN Jakarta. Methods:This was a cross sectional study using a quantitative approach. Samples were 136 students from FKIK UIN Jakarta. Results:The results show that respondents consulted friends, mother, father, sibling, relative, health workers, religious leaders, teachers or lectures regarding the issues of reproductive health. Majority of respondents preferred asking their own friends than others. Approximately 40.4% respondents attended social meetings about reproductive health. Of all respondents, only 21 (15.4%) respondents were aware of the availability of organizations that focus on reproductive health, 14 (10.3%) respondents knew the location of these organizations and only 6 (4.4%) respondents had visited them. Although information about reproductive health can be found in printed and electronic media, only few respondents benefitted from them. Conclusions:We found the role of family, society and media in providing information about reproductive health, although the role of friends was more dominant. Key words: Information about reproduction health, family, society, media, student Abstrak Latar Belakang: Banyak permasalahan kesehatan yang dialami oleh remaja seperti seks bebas, minum minuman keras dan penggunaan obat-obatan terlarang. Berbagai faktor yang melatarbelakangi kasus tersebut seperti pengetahuan, pola asuh orang tua, paparan media cetak dan elektronik. Tujuan: Untuk mengetahui gambaran peran keluarga, masyarakat dan media dalam menyediakan informasi mengenai kesehatan reproduksi pada mahasiswa FKIK UIN Jakarta Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Sampel adalah mahasiswa FKIK UIN Jakarta dengan jumlah 136 responden. Hasil: Responden melakukan konsultasi mengenai kesehatan reproduksi kepada teman, ibu, bapak, saudara kandung, keluarga, petugas kesehatan, pemuka agama dan guru atau dosen. Mayoritas responden menanyakan hal tersebut kepada teman dibanding dengan yang lain. Sebanyak 40,4 persen responden telah mengunjungi pertemuan masarakat mengenai kesehatan reproduksi.Dari seluruh responden, hanya21 responden (15,4%) yang tahu mengenai organisasi yang fokus pada kesehatan reproduksi, 14responden (10,3%) tahu keberadaan organisasi dan 6responden (4,4%) yang telah mengunjunginya. Penyebaran informasi mengenai kesehatan reproduksi juga terdapat pada media cetak maupun elektronik.Namun hanya sedikit responden yang memanfaatkan. Kesimpulan: Terdapat peran keluarga, masyarakat dan media dalam penyediaan informasi kesehatan reproduksi walaupun peran teman lebih dominan daripada informan lainnya. Kata kunci: Informasi kesehatan reproduksi, keluarga, masyarakat, media, mahasiswa Naskah masuk: 3 Februari 2012, Review: 15 Februari 2012, Disetujui terbit: 18 April 2012 Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 16 – 23 PENDAHULUAN Remaja merupakan salah satu fase dalam siklus kehidupan manusia. Banyaknya permasalahan yang dialami oleh remaja seperti perilaku penggunaan obat-obatan terlarang, minum minuman keras hingga kasus tawuran menjadikan remaja menjadi sorotan bagi pemerintah dan masyarakat. Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda.1 Dalam hal kesehatan, permasalahan juga banyak ditemukan pada masa remaja. Permasalahan kesehatan remaja yang sering ditemui seperti seks bebas, penyebaran penyakit kelamin, kehamilan di luar nikah dan kehamilan yang tidak dikehendaki. Menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2007, sebesar 1,3% perempuan mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah dan 6,4 % remaja laki-laki pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah.2 Menurut Dien (2007), berbagai faktor seperti jenis kelamin, usia pubertas, pengetahuan, pola asuh orang tua, jumlah pacar, lama pertemuan dengan pacar dan paparan media elektronik dan cetak berhubungan dengan perilaku seksual remaja.3 Penelitian lain menunjukan bahwa pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin, pendidikan, status ekonomi rumah tangga, akses terhadap informasi, komunikasi dengan orang tua, dan keberadaan teman memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku berisiko seperti merokok, minum alkohol, melakukan hubungan seksual pra nikah dan penyalahgunaan narkoba pada remaja di Indonesia.4 Remaja dinilai memiliki pengetahuan yang rendah terkait dengan fungsi dan anatomi alat reproduksi. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya informasi yang tidak valid mengenai kesehatan reproduksi sehingga berdampak pada ketidakmampuan remaja dalam merawat alat reproduksinya.5 Sebuah penelitian menunjukan bahwa pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi di Jawa Tengah sangat rendah. Hal tersebut menunjukan minimnya informasi yang diterima oleh remaja reproduksi.6 mengenai kesehatan Banyaknya teori perilaku yang menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Oleh karena itu, minimnya informasi mengenai kesehatan reproduksi dapat menjadi penyebab kurang baiknya perilaku perawatan organ genitalia eksternal. Sebuah penelitian menunjukan bahwa kurangnya informasi yang didapatkan mengenai kesehatan reproduksi baik di sekolah maupun di rumah dapat menyebabkan siswa memiliki praktik kurang baik dalam perawatan organ genitalia eksternalnya7. Dalam era globalisasi, penyebaran informasi dilakukan dengan cepat dan mudah. Perkembangan teknologi menjadi hal yang melatarbelakangi kondisi tersebut. Di zaman dahulu, informasi hanya bisa didapatkan jika kita bertemu dengan orang yang akan memberikan informasi. Dewasa ini, informasi sangat mudah didapatkan melalui internet, televisi dan radio. Cepatnya penyebaran informasi menjadi peluang masyarakat untuk dapat meningkatkan pengetahuan. Namun tidak hanya peluang, penyebaran informasi yang cepat juga dapat menjadi tantangan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang tepat. Tidak tersedianya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja melakukan eksplorasi sendiri, baik melalui media cetak, elektronik, maupun pertemanan yang besar kemungkinan justru salah. Berkaitan dengan pengetahuan kesehatan reproduksi, masih banyak remaja putri yang belum mengetahuinya dengan baik. Berdasarkan studi pendahuluan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sebesar 70 persen mahasiswa belum mengetahui aspek kesehatan reproduksi secara keseluruhan dan hal ini dapat berimplikasi terhadap perilaku hidup sehat. Hal ini diduga berkaitan dengan minimnya sumber informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi yang mereka peroleh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai peran keluarga, masyarakat, dan media dalam menyediakan informasi Peran Keluarga, Masyarakat, dan Media…( Mochamad, Badra, Yuli) kesehatan reproduksi pada Mahasiswa FKIK UIN Jakarta tahun 2012. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional. Sampel penelitian berjumlah 136 responden dengan menggunakan metode multistage sampling. Sampel penelitian adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengambilan sampel menggunakan metode. Tahap pemilihan sampel dapat terlihat pada gambar 1. Fakultas Program Studi Angkatan Kelas Gambar 1. Tahap Pemilihan Sampel Dalam penelitian ini, instrumen menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terstruktur dan analisis data menggunakan analisis univariat untuk medeskripsikan variabel. HASIL Gambaran Peran Keluarga Sebagai Penyedia Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi Dalam memperoleh informasi mengenai kesehatan reproduksi, responden biasa menanyakan hal tersebut kepada ibu, bapak, saudara kandung, keluarga serta berbagai elemen masyarakat seperti teman, pemuka agama, petugas kesehatan dan guru/dosen. Dari 136 responden, sebanyak 114 responden (83,8%) membicarakan atau menanyakan hal tersebut kepada temannya. Jumlah tersebut merupakan jumlah tertinggi dibanding dengan sumber informasi lainnya seperti ibu sebesar 109 responden (80,1%) dan petugas kesehatan mencapai 109 responden (80,1%). Selain ketiga sumber tersebut, kurang dari 100 responden yang menanyakan kesehatan reproduksi kepada bapak, saudara kandung, keluarga, guru/dosen, pemuka agama, dokter, internet, media, pakar dan suami. Sumber informasi dan jumlah responden yang bertanya mengenai kesehatan reproduksi dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan sumber informasi mengenai kesehatan reproduksi Sumber Informasi n= 136 % Teman Ya 114 83,8 Tidak 22 16,2 Ibu Ya 109 80,1 Tidak 27 19,9 Bapak Ya 28 20,6 Tidak 108 79,4 Saudara Kandung Ya 67 49,3 Tidak 69 50,7 Keluarga Ya 79 58,1 Tidak 57 41,9 Guru atau Dosen Ya 87 64,0 Tidak 49 36,0 Petugas Kesehatan Ya 109 80,1 Tidak 27 19,9 Pemuka Agama Ya 39 28,7 Tidak 97 71,3 Lainnya Ya 7 5,1 Tidak 129 94,9 Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 16 – 23 Gambaran Peran Kelompok Masyarakat Sebagai Sumber Penyedia Informasi Kesehatan Reproduksi Salah satu sumber informasi mengenai kesehatan reproduksi berasal dari organisasi kemasyarakatan. Masyarakat dapat melakukan penyebaran informasi kesehatan reproduksi melalui pertemuan-pertemuan dan wadah-wadah yang fokus dalam membahas kesehatan reproduksi. Pada tabel dua dapat terlihat bahwa, dari semua responden hanya 55 responden (40,4%) yang telah mengunjungi pertemuan masyarakat yang fokus dalam kesehatan reproduksi. Dari 55 responden yang telah datang pada pertemuan, sebanyak 18 responden (32,7%) mengunjungi pertemuan yang dilakukan oleh LSM. Jumlah tersebut merupakan jumlah tertinggi dibandingkan kunjungan responden terhadap pertemuan-pertemuan lainnya seperti karang taruna, perkumpulan agama, penyuluhan pemerintah, bina keluarga remaja (BKR), penyuluhan dari pemerintah, seminar kesehatan serta Palang Merah Remaja (PMR). Tabel 2 menjelaskan jumlah responden yang pernah datang pada pertemuan masyarakat yang membahas kesehatan reproduksi. Tabel 2. Responden pernah menghadiri pertemuan yang membahas kesehatan reproduksi Nama Pertemuan n= 55 % Karang Taruna 8 14,3 Perkumpulan agama 6 10,7 Bina Keluarga Remaja 5 8,9 Penyuluhan LSM 18 32,1 Penyuluhan Pemerintah 11 19,6 Lainnya 7 12,5 Selain pertemuan masyarakat, sarana atau sumber lain dalam menyediakan informasi kesehatan reproduksi terhadap responden adalah wadah-wadah atau organisasi bagi remaja untuk memperoleh informasi mengenai kesehatan reproduksi remaja. Dari seluruh responden, hanya 21 responden (15,4%) yang mengetahui wadah yang menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi. Nama wadah yang responden ketahui antara lain lembaga swadaya masyarakat (LSM), Puskesmas, dokter spesialis, PKBI centera mitra muda, Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), Pusat Kesehatan Reproduksi Remaja, Rumah Keluarga Indonesia, dan seminar kesehatan. Dari seluruh responden, 14(10,3%) orang yang tahu keberadaan wadah tersebut dan hanya 6 orang (4,4%) yang pernah mengunjunginya. Menurut responden, pelayanan paling lengkap terdapat pada PKPR. Wadah tersebut menyediakan pelayanan seperti penyediaan informasi kesehatan reproduksi, konseling, pemeriksaan kesehatan, dan pengobatan infeksi menular. Gambaran Peran Media Sebagai Penyedia Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi Sumber informasi lain dalam menyebarkan informasi mengenai kesehatan reproduksi yaitu melalui media cetak maupun media elektronik. Media cetak yang dimaksud adalah surat kabar maupun majalah sedangkan yang dimaksud media elektronik dalam penelitian ini adalah radio dan televisi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, media, baik cetak maupun elektronik, telah menyumbangkan informasi terkait dengan Peran Keluarga, Masyarakat, dan Media…( Mochamad, Badra, Yuli) kesehatan reproduksi. Materi yang ada dalam kesehatan reproduksi pada media seperti penundaan usia kawin, HIV-AIDS, infeksi menular seksual (IMS), iklan kondom, narkoba, minuman keras dan mencegah 69,9 17,6 27,9 31,6 41,2 46,3 36,8 24,3 Surat Kabar Radio 8,1 10,0 5,9 20,0 25,7 23,5 30,0 26,5 40,0 36,8 50,0 47,1 47,8 60,0 55,1 70,0 59,6 67,6 80,0 73,5 Persentase responden mendapatkan informasi kesehatan reproduksi melalui media cetak dan 16,9 Grafik 1. kehamilan. Grafik 1 menjelaskan secara detail terkait dengan responden yang mengetahui informasi kesehatan reproduksi berdasarkan media yang ada dalam enam bulan terakhir. Televisi 0,0 Grafik 1. Persentase responden mendapatkan informasi kesehatan reproduksi melalui media cetak dan elektronik Penyebaran informasi mengenai kesehatan reproduksi melalui radio dinilai masih cukup rendah. Mahasiswa yang pernah mendengar radio dalam enam bulan terakhir sebanyak 114 responden. Dalam penelitian ini, hasil menunjukkan bahwa dari 136 responden, kurang dari 50 persen responden mendengar informasi mengenai kesehatan reproduksi melalui radio. Informasi mengenai kesehatan reproduksi melalui radio yang paling rendah terdapat pada info mengenai penundaan usia kawin yaitu sebesar 8 (5,9%) responden. Sedangkan informasi terbanyak pada radio adalah mengenai narkoba, yaitu sebesar 50 responden(36,8%). Sementara itu, sumber informasi mengenai kesehatan reproduksi melalui media surat kabar atau majalah juga tergolong masih rendah. Jumlah responden yang membaca surat kabar atau majalah dalam enam bulan terakhir sebanyak 131 responden. Dari seluruh responden, hanya 36 responden (26,5%) yang membacainformasi penundaan usia kawin melalui surat kabar atau majalah. Sedangkan informasi yang terbanyak dibaca oleh responden adalah mengenai narkoba, yaitu sebesar 100 orang (73,5%). Media lain yang digunakan dalam penyebaran informasi mengenai kesehatan reproduksi juga minimnya informasi mengenai penundaan usia kawin juga terdapat pada media televisi. Penelitian menunjukkan, hanya sebesar 32 responden (23,5%) menerima informasi mengenai penundaan usia kawin melalui televisi. Sementara informasi terbanyak yang diterima oleh responden melalui televisi adalah mengenai narkoba, yaitu sebesar 95 responden (69,9%). PEMBAHASAN Peran Keluarga dan MasyarakatSebagai Penyedia Informasi Kesehatan Reproduksi Hasil analisis univariat menunjukan bahwa paling banyak mahasiswa membicarakan atau berkonsultasi terkait kesehatan reproduksi kepada temannya. Berdasarkan Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007, sebanyak 70 persen remaja bertanya mengenai kesehatan reproduksi kepada temannya. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa para remaja Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 16 – 23 cenderung mengkonsultasikan masalah mengenai permasalahan kesehatan reproduksi kepada temannya dibanding kepada orang tua dan gurunya.2 Teman sebaya menjadi pilihan tempat untuk menceritakan masalah. Hal tesebut dikarenakan teman sebaya lebih mengerti kondisi yang dialami karena sedang mengalami kondisi yang sama pada saat itu. Selain kepada temannya, kebanyakan mahasiswa bertanya masalah tersebut kepada ibunya. Berdasarkan Panut dan Ida (1999) dalam Nora (2011) menyatakan bahwa anak lebih banyak mengkomunikasikan masalah kesehariannya kepada ibu sebagai orang yang paling berperan dibandingkan dengan orang lain dalam hal pengasuhan anak.8 Penelitian yang dilakukan di SMPN Kebonarum Klaten menunjukan bahwa 48 persen dari 60 siswi bertanya mengenai kesehatan reproduksi kepada orang tuanya dan 15 persen siswi bertanya pada teman.9 Berdasarkan hasil penelitian responden lebih banyak berkonsultasi mengenai kesehatan reproduksi kepada ibu dibandingkan kepada ayah. Faktor yang mempengaruhi kurangnya pola hubungan ayah dengan anaknya dapat dipengaruhi oleh minimnya waktu kumpul yang dimiliki sang ayah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Soreang dan Banjaran Kabupaten Bandung memperlihatkan bahwa 51 persen ayah memiliki komunikasi dan pemberian informasi yang kurang terhadap anak remaja.10 Konsultasi mahasiswa terhadap tenaga kesehatan berjumlah 109 responden atau mencapai 80,1 persen. Hal tersebut dinilai menjadi perilaku yang cukup baik. Petugas kesehatan memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang cukup baik sehingga dengan berkonsultasi kepada tenaga kesehatan diharapkan tidak terjadi kesalahan informasi mengenai kesehatan reproduksi. Peran Kelompok Masyarakat Sebagai Penyedia Informasi Kesehatan Reproduksi Lembaga yang tidak kalah penting dalam mengadakan program kesehatan adalah LSM. Sebuah hasil penelitian di Semarang, Surabaya dan Bali menunjukan bahwa LSM berperan dalam menggerakan partisipasi sosial masyakat untuk menanggulangi AIDS.11 Lembaga swadaya masyarakat menjadi sebuah kekuatan karena sumber penggerak yang berasal dari masyarakat sendiri sehingga lebih dekat dan dapat mengajak masyarakat dalam melakukan sebuah program. Bentuk pelayanan yang diberikan oleh wadah yang fokus pada kesehatan reproduksi antara lain pelayanan konseling. Berdasarkan penelitian di SMPN 2 Ponorogo menunjukkan bahwa adanya pengaruh layanan informasi atau konseling terhadap kesehatan reproduksi remaja.12 Namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hanya 32,1 persen mahasiswa yang mengunjungi LSM untuk berkonsultasi mengenai kesehatan reproduksi. Minimnya angka kunjungan tersebut dikarenakan masih ditemukannya berbagai permasalahan dalam pengelolaan lembaga swadaya masyarakat. Masih minimnya pengetahuan sumber daya manusia tentang kesehatan reproduksi remaja, dana yang terbatas, tidak adanya pelatihan untuk petugas, ketidaktahuan petugas mengenai media penyuluhan, ketidaktahuan petugas mengenai teknik atau cara penyuluhan yang efektif dalam melakukan penyuluhan serta kurangnya minat remaja terhadap pelayanan kesehatan reproduksi remaja menjadi faktor penghambat pelaksanaan pelaynanan kesehatan reproduksi remaja oleh Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja.13 Untuk dapat meningkatkan peran dari kelompok masyarakat dalam menyediakan informasi dapat dilakukan dengan meningkatkan keterlibatan dari siswa dari sebuah sekolah maupun mahasiswa dari sebuah kampus. Penelitian yang dilakukan pada sebuah LSM Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi (PIKIR) yang berada di sebuah sekolah, ditemukan bahwa siswa dampingan tergolong aktif dalam melakukan kegiatan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi dan menilai kegiatan tersebut sebagai kegiatan yang positif.14 Peningkatan peran dari kelompok masyarakat yang fokus dalam kesehatan reproduksi juga dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan terhadap petugas atau konselor yang bertugas dalam kelompok tersebut. sebuah penelitian menunjukan bahwa dengan diadakannya sebuah penyuluhan terhadap konselor dapat Peran Keluarga, Masyarakat, dan Media…( Mochamad, Badra, Yuli) meningkatan pengetahuan secara signifikan terhadap pengetahuan.15 Peran Media Sebagai Penyedia Informasi Kesehatan Reproduksi Media sebagai sumber dari informasi juga memberikan kontribusi dalam menyediakan informasi mengenai kesehatan reproduksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di salah satu SMA di Surakarta menunjukkan bahwa para siswa mendapatkan info mengenai kesehatan reproduksi melalui media seperti televisi, majalah, atau media cetak.16 Penggunaan media terkait dengan kesehatan reproduksi menjadi hal yang dilematis . Di satu sisi, mediadapat memberikan informasi yang tepat mengenai kesehatan reproduksi. Namun tidak sedikit remaja yang menggunakan media secara tidak tepat, misalnya melihat gambar dan video porno. Peran media seharusnya dapat ditingkatkan lagi sehingga mampu meningkatkan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi. Aksesibilitas media yang sangat mudah dijangkau oleh remaja menjadi peluang dalam penyebaran informasi mengenai kesehatan reproduksi yang cepat dan tepat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Keluarga dan masyarakat telah memberikan peran dalam penyebaran informasi mengenai kesehatan reproduksi. Responden menanyakan atau berkonsultasi mengenai kesehatan reproduksi kepada teman, ibu, bapak, keluarga, saudara kandung, petugas kesehatan, pemuka agama, dan guru atau dosen. Mayoritas responden, yaitu sebesar 83,8 persen, bertanya dan membicarakan kesehatan reproduksi kepada temannya dibandingkan dengan sumber informasi lain. Sementara itu, organisasi kemasyarakatan telah melakukan penyebaran informasi mengenai kesehatan reproduksi melalui pertemuan masyarakat dan organisasi yang dibentuk. Pertemuan yang membahas mengenai kesehatan reproduksi telah dilakukan oleh karang taruna, pemuka agama, LSM, pemerintah, dan bina kesehatan remaja. Namun hanya 40,4 persen responden yang telah menghadiri pertemuan tersebut. Sedangkan wadah yang diketahui responden untuk fasilitasi kesehatan reproduksi antara lain LSM, Puskesmas, dokter spesialis reproduksi, PKBI centera mitra muda, Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), Pusat Kesehatan Reproduksi Remaja, Puskesmas, Rumah Keluarga Indonesia, dan seminar kesehatan. Mahasiswa juga mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi dari media cetak maupun elektronik. Informasi yang disediakan oleh media antara lain mengenai penundaan usia kawin, HIV-AIDS, infeksi menular seksual, iklan kondom, narkoba, minuman keras, dan mencegah kehamilan. Penyebaran informasi melalui media masih tergolong rendah, hal tersebut tergambar dari rendahnya jumlah mahasiswa yang mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi dari media. Saran Diperlukan adanya peningkatan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi pada keluarga, media dan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan adanya pola komunikasi oleh mahasiswa dengan keluarga dalam membahas kesehatan reproduksi. Dengan adanya peningkatan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi pada keluarga, media dan masyarakat diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat kepada mahasiswa. Untuk dapat memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi kepada remaja diperlukan penguatan kembali oleh organisasi kemasyarakatan seperti peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia untuk mengelola organisasi yang fokus pada kesehatan reproduksi remaja. Selain itu, diperlukan adanya peningkatan jumlah pendanaan sehingga dapat meingkatkan fasilitas yang baik seperti ruangan dan media promosi sehingga dapat memberikan informasi lebih massif kepada mahasiswa. Media juga diharapkan dapat menambahkan konten mengenai kesehatan reproduksi sehingga mahasiswa dapat memanfaatkan informasi tersebut dalam meningkatkan pengetahuannya. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Civitas Akademika Fakultas Kedokteran dan Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 16 – 23 Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan dukungan dalam melakukan penelitian ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan yang telah memfasilitasi pelatihan penulisan artikel dan telaah draft artikel ini. 9. 10. DAFTAR PUSTAKA 11. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Soetjiningsih. Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. 2004. Jakarta: Sagung Seto. Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey. 2007. Nursal, Dien G.A. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Perilaku Seksual Murid SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2008 Lestary, Heny dan Sugiharti. Perilaku Berisiko Remaja di Indonesia menurut Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) Tahun 2007. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 2011; 1 Anas, Siti Hikmah. Sketsa Kesehatan Reproduksi Remaja. Jurnal Studi Gender dan Anak Yin Yang. 2010. Suryoptro, Antono, Nicholas J. Ford, Zahroh Shaluliyah. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Makara, 2006; 29-30 Puspitaningrum, Dewi. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Perawatan Organ Genitalia Eksternal pada Anak Usia 10-11 Tahun yang MengalamiMenarche Dini Di Sekolah Dasar Kota Semarang. Seminar Hasil-Hasil Penelitian LPPM UNIMUS. 2012 Nora, Ariza Cilvia, dan Erlina Listyanti Widuri. Komunikasi Ibu dan Anak dengan Depresi pada Remaja. Humanitas, 2011; 8 12. 13. 14. 15. 16. Rahmawati, Chusnul Tri, Yuli Kusumawati, Zainal Abidin. Hubungan Antara Sumber Informasi dan Pengetahuan tentang Menstruasi dengan Perilaku Personal Hygiene selama Menstruasi. Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia”. 2011 Ekasari, Farida. Pola Komunikasi dan Informasi Kesehatan Reproduksi antara Ayah dan Remaja. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 2007; 2(1) Kuntjorowati, Elly. Penelitian Tentang Peranan LSM dalam Menggerakan Partisipasi Sosial Masyarakat untuk Menanggulangi AIDS. 2003. Yogyakarta Ngestiningrum, Ayesha Hendriana. Perbandingan antara Pengaruh Layanan Informasi dan Konseling Kelompok terhadap Sikap tentang Kesehatan Reproduksi Remaja. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 2010; 1 Paramitha, Astridya., Widjiartini, Palman Soeparmanto. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja oleh Puskesmas yang di Wilayah Kerjanya terdapat Lokasi Prostitusi. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 2006; 9(3):156-163 Tadawura, Wadana., Atika, Tuti., Hariani Siregar. Keterlibatan Siswa Dampingan dalam Kegiatan Program Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi dan Gender Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PIKIRPKPA). Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008; 2(2) Husodo, Besar Tirto dan Widagdo, Laksmono. Pengetahuan dan Sikap Konselor SMP dan SMA dalam Penyuluhan Kesehatan Reproduksi di Kota Semarang. Makara Kesehatan, Desember 2008; 12(2) Suminar, Martia Chusnul Ratna, Dharminto, Yudhy Dharmawan. Korelasi Sumber Informasi Media dan Lingkungan Pergaulan dengan Perilaku Seksual Remaja dalam Berpacaran. Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM Undip, 2012; 1(2):187-205. Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa ) POTRET KESEHATAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI KASUS DI PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK KALIMANTAN TIMUR) A Potrait of Health of Women Who Are The Victims of Domestice Violence (A Case Study from The Integrated Service of Women and Child Empowerment in East Kalimantan) Annisa Nurrachmawati*, Nurohma, Puspa Mustika Rini Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur *Email: [email protected] Abstract Background:Violence against women is a global problem that has been widely discussed. Violence can result in physical, mental, sexual, reproductive health and other health problems. Objectives:This research aimed to collect information about health condition of women as victims of domestic violence. This was a case study obtained from the P2TP2A (Integrated Service for women and children empowerment) in East Kalimantan in 2011. Methods: This was a qualitative study using theinterpretative phenomenological analysis. In-depth interviews were conducted to collect information from informants. The main informants were six victims of domestic violence, a key informant was the psychologist who treated victims, and a supporting informant was the head of P2TP2A. Results:Some victims also suffered from reproductive tract infections as a result of domestic violence. The prominent consequence was the mental aspect such asdepressions and suicide attempts Some victims were even admitted to the psychiatric hospital. Children frequently witnessed and experienced the negative effects of violence. Conclusions: Victims had experiencedmultiple forms of violence, including physical, economic, sexual, psychological violence and family neglect. Physical violence left some scars, some were permanent. Key words: Domestic violence, violence against women, P2TP2A Abstrak Latar Belakang: Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah global yang banyak dibicarakan saat ini. Berbagai masalah kesehatan meliputi dampak fisik,mental dan kesehatan reproduksi dapat muncul sebagai dampak kekerasan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi yang mendalam mengenai potret kesehatan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga studi kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Kalimantan Timur 2011. Metode:Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan interpretive Fenomenologi. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali data. Informan utama terdiri dari 6 korban KDRT, 1 orang psikolog yang menangani korban sebagai informan kunci dan kepala P2TP2A sebagai informan pendukung. Hasil: Kekerasan fisik menimbulkan bekas luka bahkan ada yang sifatnya permanen. Korban mengalami infeksi pada saluran reproduksi. Dampak menonjol terutama pada aspek mental, depresi,percobaan bunuh diri hingga ada yang dirawat di rumah sakit jiwa. Anak juga kerapkali meyaksikan dan menerima dampak yang buruk dari kekerasan. Kesimpulan: Korban telah menerima lebih dari satu bentuk kekerasan dari suaminya yang meliputi bentuk kekerasan fisik, ekonomi, seksual, psikis dan penelantaran rumah tangga. Kata kunci: KDRT, kekerasan terhadap perempuan, P2TP2A Naskah masuk: 18 Januari 2012, Review: 15 Februari 2012, PENDAHULUAN Kekerasan terhadap perempuan merupakan Disetujui terbit: 18 April 2012 masalah global yang banyak dibicarakan saat ini. Diperkirakan paling sedikit satu diantara lima penduduk perempuan di dunia pernah Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37 mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pria1. Akhir-akhir ini, KDRT makin marak di masyarakat, terutama KDRT yang terjadi pada istri. Komnas perempuan menyatakan bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling sering terjadi adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).2 Laporan WHO tahun 2002 mengenai “Violence and Health” (Kekerasan dan Kesehatan) menunjukkan kualitas kesehatan perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. Hal tersebut dibuktikan bahwa antara 40-70 persen perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri.3 Studi yang dilakukan WHO di 10 negara menunjukkan 15-71 persen wanita mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh suami atau pasangannya.4 Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai statistik nasional untuk tindak KDRT. Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas Perempuan, mencatat bahwa di tahun 2006 sebanyak 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia 74 persen diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa tengah (4.878 kasus).5 Data tahun 2007 Mitra Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) 6 mencatat 87 persen dari perempuan korban kekerasan yang mengakses layanannya mengalami KDRT, dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dan mantan suaminya (82,75%). Fakta tersebut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang didampingi WCC mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri; dan 13,12 persen dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya. Kekerasan terhadap perempuan dapat berdampak fatal berupa kematian, upaya bunuh diri dan terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan juga dapat berdampak non fatal seperti gangguan kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan mental, perilaku tidak sehat serta gangguan kesehatan reproduksi. Baik dampak fatal maupun non fatal, semuanya menurunkan kualitas hidup perempuan.7 Dengan melihat serangkaian fakta diatas, maka tidak berlebihan jika dikatakan KDRT merupakan bagian dari isu kesehatan masyarakat yang patut diperhatikan. Diperlukan studi tentang kesehatan wanita dan KDRT terhadap wanita, merekomendasikan dan meminta langkah nyata dari pembuat kebijakan serta sektor kesehatan masyarakat untuk menambah anggaran kesehatan dan kemanusiaan, termasuk mengikutsertakan program pencegahan kekerasan dalam lingkup kegiatan social.8 Provinsi Kalimantan Timur yang merupakan provinsi sedang berkembang, dengan didukung oleh masyarakat yang memiliki ritme hidup yang cukup tinggi, ini ternyata berdampak terhadap rentannya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Jumlah tindak kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Kalimantan Timur sepanjang tahun 2007 tercatat sebanyak 478 kasus dari 13 kota diantaranya: Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara, Bontang, Kutai Timur, Pasir, Bulungan, Kutai Barat, Penajam Paser Utara, Malinau, Nunukan, Tarakan dan Berau. Samarinda yang merupakan bagian dan Ibu Kota dari Kalimantan Timur memiliki jumlah kasus kekerasan tertinggi, dengan jumlah 114 kasus.9 Hal ini menunjukkan dari 100 persen kasus kekerasan terhadap perempuan di Kalimantan Timur sebanyak 23,85 persen terjadi di Samarinda. Pada tahun 2008 jumlah kekerasan di Samarinda meningkat menjadi 164 kasus dan tahun 2009 menjadi 172 kasus kekerasan terhadap perempuan.9 Data tersebut tentu belum dapat mewakilkan keberadaan seluruh perempuan yang pernah mengalami kekerasan. Karena seperti yang kita ketahui, sebagian perempuan menganggap kekerasan sebagai aib, sehingga lebih memilih untuk berdiam diri dengan kekerasan dari pada membongkar masalah rumah tangga mereka ke masalah umum. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Kalimantan Timur merupakan pusat kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Provinsi Kalimantan Timur yang meliputi : Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa ) Pelayanan informasi, konsultasi, psikologis, hukum, pendampingan dan advokasi, serta pelayanan medis dan rumah aman (Shelter). Lembaga yang pada tahun 2009 baru didirikan di Samarinda ini, bisa merupakan tempat teraman bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga. Selain tempat untuk mengadu, mereka dapat perlindungan hak penuh dari lembaga tersebut.Walaupun baru saat ini keberadaannya telah menjadi Shelter untuk 27 korban kekerasan diantaranya kasus KDRT di Kalimantan Timur termasuk Samarinda. Kasus KDRT yang ditangani pada tahun 2009 sebanyak 4 korban yang terlapor dan di tahun 2010 meningkat menjadi 17 korban terlapor. Dengan adanya data yang dimiliki tersebut akan mempermudah mencari dan menggali informasi secara langsung kepada korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. mengambil data di lapangan) dengan pendekatan interpretive fenomenologydimana peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Waktu penelitian dilakukan yaitu bulan Maret 2011. Sedangkan lokasi penelitian adalah wilayah cakupan korban kekerasan dalam rumah tangga yang berada dalam penanganan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kalimantan Timur. Tulisan ini adalah bagian dari penelitian tentang potret kesehatan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang bertujuan memberikan informasi mendalam mengenai potret kesehatan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga hasil studi kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Propinsi Kalimantan Timur tahun 2011. Jumlah informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yang terdiri dari 6 korban KDRT sebagai informan utama, 1 orang psikolog yang menangani korban di P2TP2A sebagai informan kunci dan 1 petugas yang bekerja di P2TP2A sebagai informan pendukung. Berdasarkan data yang ada untuk kasus kekerasan secara umum yang data kasusnya masih menjadi penanganan di P2TP2A berjumlah 37 kasus. Tahun 2009 sebanyak 4 kasus, 2010 sebanyak 17 kasus dan 2011 sampai Maret terdapat 6 kasus dan ini didominasi oleh kasus KDRT sebanyak 27 kasus. Data kasus tahun 2010 menjadi pilihan peneliti karena pada tahun tersebut dianggap terbanyak. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. 2. Memperoleh informasi mengenai pengalaman korban kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi bentuk, frekuensi, tempat terjadinya dan penyebab kekerasan dalam rumah tangga studi kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Kalimantan Timur 2011. Memperoleh informasi mengenai dampak dari sisi kesehatan fisik,mental dan kesehatan reproduksi korban kekerasan dalam rumah tangga studi kasus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Kalimantan Timur 2011. METODE Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat cross sectional study (1 kali Pada penelitian fenomenologi sampel yang diambil adalah sampel yang pernah mengalami substansi yang akan diteliti (Cresswell, 1998). Dengan melalui wawancara yang mendalam (intensive interview, in-depth interview) dan berhenti ketika tidak ada informasi baru lagi (Hamidi, 2008). HASIL Informan pada penelitian ini telah menikah dengan umur pernikahan yang beragam, ada yang relatif cukup lama, yaitu selama 21 tahun dan 10 tahun kemudian bercerai dikarenakan kasus KDRT. Adapula yang usia pernikahannya masih tergolong muda yaitu 1 tahun dan 3 tahun. Semua informan menjalani masa pacaran sebelum menikah, baik untuk waktu satu tahun atau kurang dari satu tahun masa pacaran. Lama atau singkatnya masa pacaran memang tidak dapat dijadikan tolak ukur pasangan tersebut telah saling mengenal kepribadian masing-masing. Kekerasan yang terjadi sejak masa pacaran dapat dijadikan pertanda Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37 bahwa kekerasan tersebut dapat berlanjut di dalam masa perkawinan. Saat ditanya mengenai apakah mereka mengalami kekerasan saat masa pacaran, semua informan menjawab mereka tidak pernah mengalami kekerasan saat pacaran. Ada yang menyatakan bahwa masa pacaran mereka hanya berjalan dalam waktu singkat atau hubungan jarak jauh sehingga intensitas pertemuan rendah, karena itu mereka tidak mengalami kekerasan dalam bentuk apapun. Selain itu, terdapat informan yang menyatakan mereka sebenarnya telah mengetahui bahwa calon suami merupakan pengguna narkoba, tetapi tetap menikah karena orang tua meyakinkannya bahwa perilaku buruk tersebut akan berubah setelah perkawinan. Keyakinan yang di kemudian hari tidak terbukti karena justru penggunaan narkoba berlanjut dan memicu terjadinya KDRT. Bentuk Kekerasan Domestik yang Dialami Informan Dari hasil wawancara mendalam diketahui bahwa korban telah menerima lebih dari satu bentuk kekerasan dari suaminya selama hidup berumah tangga. Kekerasan yang diterima merupakan gabungan bentuk kekerasan yang meliputi bentuk kekerasan fisik, ekonomi, seksual, psikis dan penelantaran rumah tangga. Berikut ungkapan mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang mereka alami: "dipukul sama tangan kosong aja sih… Paling kalau dia jengkel ngelempar barang atau ngancurkan barang dirumah ya tergantung kalo aku bisa hindar ya ga kena." (RR: 6 April 2011) "dipukul dengan tangan mba tapi juga kadang dengan apa yang dipegang itu dia lempar ke saya mba… Pernah mba tapi lebih seringnya tidak mba karena saya lebih sering cepat menghindar mba kalo dipukul kan saya tidak tau kapan dia ingin memukul jadi saya lebih bisa untuk mengindar mba, tapi dilempar saya masih bisa mba." (SH:12 April 2011) Selain kekerasan fisik, informan mengalami pula kekerasan ekonomi dan penelantaran yang bahkan melibatkan anak sebagai korbannya, seperti diungkapkan oleh informan berikut ini: “...ditutup semua ini pintu jendela ga boleh keluar saya...dia ambil uang saya itu 600 ribu untuk main judi, 600 ribu saya untuk masukkan TK anakku sekalinya dia ambil untuk main judi sampe saya nangis...ya saya ndak dibolehkan tidur di rumah itu tidur di emperan sama anakku...”(SK: 30 Maret 2011) Pengakuan diatas menunjukkan ada korban yang mengalami kekerasan ekonomi dan penelantaran rumah tangga, adapula yang mengalami kekerasan seksual yang diiringi dengan kekerasan fisik. Setiap kali suami meminta berhubungan intim korban selalu mengalami kekerasan seksual. "seksual iya...setiap anu itu dia kepengen kayak gitu kebanyakan mukul dalam keadaan nangis digitukan, dalam keadaan haid digitukan." (gitu: berhubungan intim) (MK: 1 April 2011) Kekerasan seksual dalam bentuk apapun yang dialami perempuan akan mempengaruhi sistem organ reproduksinya. Dari hasil wawancara ada informan utama yang dengan terbuka menceritakan bahwa telah mengalami kekerasan seksual. Berikut ungkapan mengenai kekerasan seksual yang dialaminya: “kalo menyimpang ada sih mba cuman ya mungkin anu kali ya seperti kalo saya cape dipaksa gitu maksudnya terus iya sih itu sambil jualan-jualan itu kan mba jadi kalo saya apa saya bilang ga enak badan gitu kan, karna saking kecapeannya dia sering memaksa walaupun saya sampe badan saya meriang”(PA: 4 April 2011) Pemaksaan dalam hubungan intim yang diterima informan tidak bisa dihindari karena kekuasaan akan tubuh istrinya kadang disalahartikan suami tanpa memperdulikan kondisi istri dan informan utama hanya bisa pasrah. Seperti pernyataan informan utama berikut: “ya kadang anu ai pasrah aja kayak gitu…paling jawabnya sembarang Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa ) kalo…dia malah bilang kayak gini “ tempemu itu untuk siapa?” katanya kayak gitu kalo, “ada cowokmu kah, kamu simpankan kalo bukan untuk suami” ndak ngerti gitu.” (Tempe : Vagina) (MK: 1 April 2011) Untuk kekerasan psikis biasanya dialami informan utama sebagai akibat dari kekerasan yang dialami sebelumnya seperti pernyataan informan berikut: “yang paling sering diterima ya ga dinafkahi, dia itu nyakitin batin itu nah mba, iya dia itu diam-diam main perempuan, make obat-obatan kayak gitu itu, shabu-shabulah apalah.” (BW:29 Maret 2011) Kekerasan yang dialami informan seringkali lebih dari satu jenis kekerasan. Kekerasan psikis juga sering menyertai kekerasan seksual dan kekerasan fisik. Kekerasan psikis yang kerap diterima adalah para informan dipanggil dengan sebutan yang tidak layak. Sebagaimana pernyataan informan berikut ini: "Seksual iya, kadang kalo pulang mabok itu ya kadang dipukul… Pernah nampar, nampar pernah… Tempeleng, banting… Kalo misalnya narik baju gitu ditariknya ya dibanting gitu sih…Anjing, lonte gitu… kebanyakan dibilangi anjing." (MK: 1 April 2011) "Saya biasa ditampar, dipukul, ditendang, dihina… Oh, banyak mba saya kadang sering banget saya dikatain lonte, anjing begitu mba… Pukulan mba, pukulan dipipi ditampar." (lonte: pelacur) (SH: 12 April 2011) Kekerasan berganda yang dialami para korban tersebut juga dinyatakan oleh informan kunci yaitu kepala P2TP2A sebagai berikut: “jadi umumnya itu mereka terkena fisik dan psikis yah jadi tidak pernah terjadi hanya fisik saja gitu ya atau psikis saja jadi akan menjadi satu gabungan apabila telah terjadi kekerasan secara psikis pada akhirnya ke fisik yah atau sebaliknya mulai dengan fisik dulu kemudian nanti berlanjut dengan psikis, penelantaran dibawah dari ee..kasus itu.”(KPL: 18 April 2011) Ungkapan-ungkapan informan di atas mengindikasikan pengalaman korban mengenai bentuk kekerasan ganda yang dialami berbeda-beda namun apapun bentuk kekerasan tersebut jelas pada akhirnya sangat mempengaruhi psikis korban apalagi kekerasan yang diterima lebih dari satu bentuk kekerasan. Frekuensi Mengalami Kekerasan Tidak ada kekerasan yang hanya terjadi satu kali. Kekerasan itu berulang, bila semakin sering faktor pemicu tersebut muncul maka semakin sering kekerasan terjadi. Seperti pernyataannya sebagai berikut: “oh itu sudah sering mba…biasanya kalo dia lagi emosi tinggi…karna ndak ada pekerjaan…mabuk-mabukan.”(PA: 4 April 2011) Namun ada pula korban yang mengalami frekuensi kekerasan fisik hanya 2 kali selama pernikahan tetapi untuk kekerasan ekonomi bahkan diterimanya setiap hari. Pernyataan-pernyataan informan bahwa frekuensi kekerasan berulang didukung oleh informan kunci yaitu kepala P2TP2A. Berikut hasil wawancara mendalam “tahun 2005 sekali tahun 2008 sekali, cuman 2 kali aja dia pukul, iya itu aja kalo masalah pukulnya…ya misalnya kalo minta uang itu tiap hari, untuk main judi kalo ndak dikasih marah dia.”(SK: 30 Maret 2011) Tempat Terjadinya KDRT Tempat terjadinya KDRT adalah di lingkungan biasanya istri mendapat kekerasan yaitu di rumah sendiri, rumah kerabat, tempat kerja maupun tempat umum. Dari hasil wawancara informan utama yaitu korban menyebutkan bahwa kekerasan yang mereka alami utamanya terjadi di rumah mereka sendiri dengan pernyataan yang sama seperti dibawah ini: “ini di ini di kamar ini dirumahku ini sampai saya siup, keluar darah itu mungkin ada setengah gelas itu ngalir di karpet ini…ndak ada orang liat cuma dia sendiri yang anu itu yang ngelap itu…” (SK : 30 Maret 2011) Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37 “kalo ndak salah dia mukul aku pas di samping kulkas oah…pokoknya dicekek sudah aku tu dihajar sekuat-kuatnya nah aku mikir dalam hatiku kalo aku ndak ngelawan ini mati aku, ku tendang lari aku ke luar, menghindar ku tendang jatoh, lari aku ke luar…ke tempat tetangga…” (RR : 6 April 2011) adapula korban yang selain menerima kekerasan di rumah mereka sendiri juga menerima kekerasan di tempat umum dan rumah kerabat. Berikut pernyataannya: Tetapi “di pasar malam di atas itu sekali, di sini sekali di dalam rumah.”(SK: 30 Maret 2011) “kalau di tempat temennya pernah tapi temennya ndak tau…”(MK: 1 April 2011) Informan pendukung juga mempertegas pernyataan informan-informan utama dengan pernyataan seperti berikut: “yang jelas di dalam rumah…“ kalo misalkan tindakan KDRT itu dilakukan misalkan di luar akhirnya di sana banyak orang yang jelas kan ga sevulgar seperti pada saat dilihat orang kan ya itu aja.” (PSI: 18 April 2011) Rumah memang menjadi tempat yang „aman‟untuk melakukan tindak kekerasan karena merupakan wilayah privasi bagi keluarga . kecuali di dalam rumah terdapat anggota keluarga di luar anggota keluarga inti seperti ibu mertua atau kakak ipar maka pelaku tidak berani untuk bertindak kasar. Hal ini sesuai pernyataan informan kunci yaitu kepala P2TP2A. “...umumnya tidak berani si suami itu katakanlah misalnya di rumah itu ada kakaknya atau ada mamanya ya itu tidak terjadi atau tak kala keluarga lainnya datang bertamu itu tidak berani tapi begitu ga ada ya hanya anak-anak saja itu keberanian untuk menganiaya itu timbul berani dia” (KPL: 18 April 2011) Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Faktor ekonomi merupakan faktor yang paling sering diungkap oleh informan. Tingginya kebutuhan rumah tangga dan tuntutan gaya hidup hedonis, serta rendahnya kemampuan suami sebagai kepala rumah tangga memenuhinya menjadi stresor tersendiri yang memicu terjadinya kekerasan. Sebagaimana diungkap berikut: “karena uang…ya kerjanya itu serabutan mba, waktu awal nikah itu dia masih ada lah kerjaan- kerjaan panggilan, tapi belakangan ini sudah tidak ada jadi dia ya gitu…” (SH: 12 April 2011) “anjing, lonte gitu…itu paling anu kalo kadang ko gajinya tinggal segini 500 padahal gajinya ndak kayak gini kalo, kalo kurang katanya jual diri aja gitu.” (MK: 1 April 2011) Faktor perselingkuhan juga diakui informan dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan. Seperti inilah ungkapannya: “…dia teleponan terus sama cewe, sms an terus sama cewe pake sayang-sayang.” (BW : 29 Maret 2011) Hal ini juga disampaikan oleh informan pendukung yaitu psikolog korban dimana perselingkuhan menjadi penyebab kekerasan dengan ungkapan sebagai berikut: “si istri ini ee…dituduh gitu ya dituduh macem-macem ee…sama si suami, sedangkan si suami sendiri dia memang punya niat untuk menceraikan istri itu sendiri karena dia punya yang lain…” (PSI: 18 April 2011) Faktor dominasi suami juga ditemukan dalam penelitian menjadi penyebab timbulnya kekerasan. Seperti pengakuan informan utama berikut ini: “…kalo misalnya itu disuruh anu misalnya kayak pecemburuan juga sih mba, kalo negur gitu ato ada cowok yang negur dia marah gitu pulang paling nendang kayak gitu sampe panjang gitu sampe mukul kadang kayak gitu… keluar dari rumah untuk beli aja ndak boleh.” (MK: 1 April 2011) Perilaku buruk suami seperti berjudi dan Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa ) menggunakan narkoba turut menjadi pemicu dari terjadinya kekerasan. Hal ini diungkapkan hampir semua informan, seperti pernyataan berikut: “biasanya kalo dia lagi emosi tinggi…karna ndak ada pekerjaan… mabuk-mabukan.”(PA: 4 April 2011) “dia main judi…” (SK: 30 Maret 2011) Dominasi suami yang ditunjukkan dalam kepemimpinan di rumah tangga yang tidak boleh dibantah oleh istri terungkap pula menjadi salah satu pencetus timbulnya kekerasan, seperti pernyataan informan berikut ini: "Pokoknya membuat dia terpancing itu 1 aja sih kalo kita ngelawan emosi itu aja tinggi darah sudah dia langsung." (RR: 6 April 2011) Semua penyebab di atas dipertegas oleh informan kunci yaitu kepala P2TP2A yang menguraikan kenyataan-kenyataan penyebab kekerasan. Berikut ungkapannya: “…kalau dilihat permasalahannya kenapa dia mabuk, kenapa dia main perempuan ya memang selain daripada moralnya dia sudah tidak baik si suami itu jadi eee..masalah ekonomi itu ternyata yang mengadu kesini paling besar, ada juga yang bukan karena ekonomi, misalnya karena eee..masalah gengsi dari suami tapi itu hanya sedikit saja ada juga ee…masalah terlalu protektif ya terhadap istrinya jadi cemburu…” (KPL : 18 April 2011) Dari pernyataan di atas dapat ditarik analisis makna yaitu faktor utama penyebab terjadinya kekerasan pada korban kekerasan yang dtangani P2TP2A adalah masalah ekonomi akan tetapi ada pula faktor lain yang dapat menjadi penyebab diantaranya kebiasaan buruk seperti mabuk-mabukan, perselingkuhan dan kekuasaan suami terhadap istri atau korban. Dampak Dari Sisi Kesehatan Fisik Dari hasil wawancara, kekerasan fisik yang sering terjadi berupa berupa pukulan, didorong dengan keras, penempelengan dan tendangan. Berikut pernyataan informan: “…dipukul, ditendang…” (SH: 12 April 2011) “tempeleng, banting…”(MK: 1 April 2011) Bagian tubuh yang sering menjadi sasaran kekerasan fisik adalah punggung, pelipis kepala, pipi, dan bibir. Berikut hasil wawancara mendalam : “…langsung ditendang saya mba dari belakang itu saya langsung jatoh ke depan ke dekat kompor itu mba, saya langsung ini jidat saya langsung luka itu mba kena…” (SH: 12 April 2011) “…pokoknya bibir ni pecah…babak belur, biru kan…” (RR: 6 April 2011) “iya pernah merah-merah…di punggung sama pipi.” (PA : 4 April 2011) Terdapat pula informan yang menyatakan seluruh tubuhnya pernah menjadi sasaran kekerasan fisik, sebagaimana pernyataan berikut: "ya kayak apa kalau orang emosi itu ga menampar di pipi aja sih ya sembarang di seluruh tubuh aja kan ibaratnya ga terkontrol. Kayak apa ya ibaratnya semuanyalah kalo udah nampar itu." (RR : 6 April 2011) Informasi mengenai bentuk kekerasan fisik yang mereka alami di atas tentu dapat meninggalkan bekas luka atau memar di bagian anggota tubuh informan utama.ada bekas luka yang tidak meninggalkan bekas permanen namun ada pula informan yang memiliki bekas luka permanen akibat penganiayaan fisik dari suaminya. Berikut ungkapannya: “ini na ini pelipis sebelah kanan…robek ini ada 3 bulan baru bisa sembuh…saya memang ga mau dijahit supaya ada bekasnya…visum itu saya…” (SK : 30 Maret 2011) Tentunya ada alasan tersendiri bagi informan utama yang begitu menerima kekerasan fisik Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37 langsung mengadu dan melakukan perawatan medis seperti visum, karena menganggap bisa menjadi bukti telah menerima kekerasan dari suami. Hal ini juga dipertegas oleh pernyataan informan kunci yaitu kepala P2TP2A sebagai berikut: “…ya jadi kita juga bekerjasama dengan rumah sakit umum ya dengan puskesmas andaikata ada korban yang memerlukan perawatan medis yang memerlukan visum misalnya ya itu juga kita bekerjasama dengan pihak rumah sakit dan komunikasi kita baik…ada yang masih babak belur ada sehingga kami dengan cepat membawa ke polisi kemudian minta divisum kemudian.” (KPL : 18 April 2011) Kesulitan yang dihadapi pihak P2TP2A adalah bila korban kekerasan datang terlambat yang mana luka, memar atau tanda kekerasan lainnya telah sembuh sendirinya karena terlambat melapor sehingga tidak ada bukti visum. Sebagaimana pernyataan informan P2TP2A: "ada juga yang sudah terlambat sekali ya ee..mereka mengadunya sehingga sulit untuk kita melakukan visum jadi hanya berdasarkan keteranganketerangan dan biasanya kita cari kalau memang ee..sudah suami istri kita cari unsur-unsur yang bisa memberatkan ke arah KDRT ya…”(KPL: 18 April 2011) Terlambatnya para informan mencari dan mendapatkan pertolongan, disebabkan mereka cenderung diam dan pasrah menerima kejadian tersebut sebagai bagian dari yang mereka yakini sebagai takdir. Diamnya para informan didorong pula oleh rasa takut terhadap pelaku kekerasan. Sebagaimana pernyataan informan berikut ini: "Biasa aja sudah dia mau kayak apa pasrah aja sama yang diatas…" (BW: 29 Maret 2011) "Ya saya tidak mau melawan dia lagi mba jadi kalo dia marah-marah saya diam aja di kamar kunci pintu mba, tidak berani keluar kamar saya jadi biarkan dia marah diluar."(SH: 12 April 2011) Informan yang masih bertahan dalam rumah tangganya walaupun telah mengalami kekerasan, disebabkan masih berharap suaminya akan berubah, seperti pernyataan informan berikut ini. "pertama sih saya ga berani untuk lari dari rumah kan karna saya berharap suami saya masih bisa berubah dengan nasehat-nasehat saya kan, sampe waktu bulan puasa itu kan puncaknya, bulan puasa itu saya langsung ini pergi aja dari rumah minggat." (PA: 4 April 2011) Seluruh informan bereaksi terhadap kekerasan yang mereka alami dalam diam, tidak pula menceritakan keadaan mereka kepada teman atau keluarga, seperti ungkapan infoman berikut ini: "ya.. tekanan apa ya, ya gimana ya misalkan saya mau menceritakan ke keluarga saya ya saya ndak berani, mau cerita ke tetangga ke teman juga rasanya malu gitu kan." (PA: 4 April 2011) Dampak dari Kesehatan Alat Reproduksi Kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seks di saat istri sedang tidak sehat atau sedang haid akan berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi sang istri. Sebagaimana hasil wawancara mendalam menunjukkan wanita korban KDRT rentan terhadap infeksi kandungan termasuk infeksi: “…pernah infeksi juga sih, infeksi kandungan saluran kencing pertama saluran kencing, kedua ini kandungan…bilangnya anu sih infeksi terus diperiksa anu ada kista” (MK : 1 April 2011) Dampak Dari Sisi Kesehatan Mental Dampak Kesehatan Mental adalah kondisi yang ditimbulkan menyangkut psikis korban diantaranya stress pasca trauma, depresi, kecemasan, rendah diri, dan gangguan pola makan. Dari hasil wawancara sebagian besar informan utama mengatakan bahwa mereka sempat merasakan dampak secara psikis atau mental berupa stress, trauma, rendah diri, tertekan, depresi dan lain-lain dari kekerasan yang mereka terima. Berikut ungkapannya: “di dapur mba, jadi setiap ke dapur saya Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa ) melihat ada orang masuk saya sudah trauma mba saya takut dipukul…jadi saya takut sekali jadi ada rasa was-was dari saya itu kalo dia datang buka pintu saya langsung sudah takut pengennya saya lari ke kamar mba, kunci pintu kamar saya” (SH : 12 April 2011) tahan lagi dengan kekerasan yang dialaminya. Berikut ungkapannya: "Ya sakit hatilah, sakit hati karena dibohongi, dipermainkan" (BW: 29 Maret 2011) Bentuk trauma yang lain adalah ketakutan untuk melanjutkan hidup setelah mengalami peristiwa kekerasan, seperti diungkapkan berikut ini: Ada pula informan utama yang merasa rendah diri dan malu terhadap orang lain akibat kata-kata kasar yang diucapkan suami. Berikut ungkapannya: “…ya sedih, malu juga, malu sama tetangga pastinya kan karna tetangga tau dengan kadang juga kan ada tetangga anu apa istilahnya gossip lah itu saya tau kayak gitu-gitu” (PA : 4 April 2011) Hal yang cukup fatal dari kekerasan dalam rumah tangga adalah karena perasaan depresi yang berkepanjangan akhirnya informan harus dirawat di salah satu rumah sakit jiwa. Berikut pernyataannya: “iya pikiran ndak bisa dikendalikan akhirnya sampe masuk rumah sakit jiwa saya…di Samarinda situ…saya itu rasanya mau ku makan lakiku itu saking ndak tahan emosiku itu…saya kalau ku lihat lakiku itu marah kalau ndak ada lakiku itu diam aja gitu.” (SK: 30 Maret 2011) Depresi timbul sebagai ketidakmampuan korban beradaptasi dengan kondisi yang ada, demikian disampaikan oleh psikolog yang menangani korban. Berikut ungkapannya: “itu biasanya ada faktor trauma ya, syok kaget, syok kemudian dia ada stress juga macem-macem akhirnya dia depresi artinya ee... si korban ini ee…tidak mampu ya untuk menetralisir kondisi seperti itu jadi sehingga muncul trauma, depresi dan lain-lainnya.” (PSI: 18 April 2011) Adapun informan yang pernah melakukan percobaan bunuh diri karena merasa tidak “pernah di depan dia pernah minum baygon pernah cuma ndak sampe aja, pas ditumpahkannya dihalangin.” (MK: 1 April 2011) "Ya itu mba saya jadi trauma buat menikah lagi nantinya saya jadi takut anak-anak saya nantinya." (SH:12 April 2011) Bukan hanya informan utama saja yang dapat merasakan dampak secara mental. Anak-anak juga tidak lepas menjadi sasaran dari kekerasan yang berujung ke psikis mereka. Berikut ini pernyataannya: “kalo anakku dia ngajar anakku yang gede kah yang kecil kah pokoknya lipat dua ini, anakku dilipat dua…kan duduk diginikan (sambil memperagakan), dilipatnya badannya… makanya anakku bilang bapak ga usah repot-repot mukul mendingan bunuh aja kami” (RR: 6 April 2011) Selain mendapat kekerasan fisik anak juga menderita trauma dikarenakan menyaksikan peristiwa kekerasan. Sebagaimana diungkapkan informan berikut ini: “iya diancam, “kalo kamu ndak kasih uang kubunuh kamu pokoknya kasihkan uang aku” dia ancamnya kayak gitu iya…sering itu apalagi anaknya dipukul pake sapu itu sampe patah…sampe anaknya itu kayak orang apa itu kalo liat bapaknya itu takut betul itu trauma dia” (SK: 30 Maret 2011) PEMBAHASAN Kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan terhadap Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37 istri dalam rumah tangga. Tindakan ini terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarki, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat pendapat yang keliru terhadap stereotipe jender yang tersosialisasi sangat lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sciortino dan Smith, bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan. Selain budaya patriarki yang masih sangat kuat, ada budaya yang juga menjadi kendala, yaitu “budaya diam”. 11 Perempuan pada umumnya memilih untuk diam, tidak menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada orang lain. Sementara itu, mereka umumnya masih berpegang pada nilai-nilai ketergantungan, kurangnya kemandirian mereka, di balik kekuasaan yang tidak seimbang karena budaya patriarkhi, sehingga status sosial, kelas dan ekonomi mereka menjadi lemah.12 Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus mematuhi perintah suami, bila istri mendebat suami, maka ia pantas dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, bila ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur.7 Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif terhadap tindak kekerasan yang terjadi padanya. Terbukti dengan adanya informan yang tidak segera mencari pertolongan dan cenderung menutupi tindak kekerasan. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan rendahnya respon masyarakat terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan suami. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, bahwa suami dominan terhadap istri. Faktor sosial budaya dan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan merupakan faktor penting yang berperan dalam menciptakan pengaruh positif atau negatif pada kesehatan seseorang. Oleh karena itu hendaknya hubungan suami istri dilandasi penghargaan terhadap pasangan masing-masing, dilakukan dalam kondisi yang diinginkan bersama tanpa ada unsur paksaan, ancaman dan kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istri telah menjadi permasalahan yang kompleks karena tidak saja bersifat fisik, tetapi juga psikologis. Tidak juga semata-mata bersifat ekonomi tetapi juga penelantaran rumah tangga. Kekerasan meliputi pengabaian hak dan kepentingan yang pada tahap berikutnya dapat membahayakan keselamatan, kesehatan dan jiwanya.13 Begitu pula ditemukan pada penelitian ini para informan utama yaitu PA, RR dan SH merupakan korban KDRT yang awalnya menerima kekerasan fisik seperti dipukul, ditampar,ditendang dan diiringi dengan tindak kekerasan lain seperti seksual berupa pemaksaan dalam hubungan intim meskipun dalam kondisi haid seperti yang dialami oleh PA, kekerasan ekonomi pada RR yaitu suami tidak memberi nafkah ekonomi kepadanya dan ditendang setiap suami terpancing emosinya. Menurut Dharmono kekerasan dalam rumah tangga terdiri dari kekerasan fisik, emosional, seksual, sosial ekonomi dan penelantaran. Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa penganiayaan fisik. Bentuk kekerasan fisik ada bermacam-macam, yaitu tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan,kaki) mulai dari pukulan, jambakan, cubitan, mendorong secara kasar, penginjakan, pelemparan, cekikkan, tendangan, sampai penyiksaan dengan menggunakan alat seperti pentungan, pisau, ban pinggang, sterika, sundutan rokok, siraman air keras dan sebagainya.14 Menurut Jejeebhoy & Cook, penelitian di India ada 40 % Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa ) perempuan yang dipukul oleh suami mereka, dan dari 40% perempuan tersebut setidaknya mengalami satu bentuk kekerasan fisik.15 Suami memaksa isterinya berhubungan seksual dengan cara yang menyakitkan (dengan alat atau perilaku sadomasochism) adalah contoh ekstrim kekerasan seksual dalam rumah tangga. Contoh kekerasan seksual yang tersamar (sering dianggap kewajaran) adalah suami mengharuskan isteri melayani kebutuhan seksualnya setiap saat tanpa mempertimbangkan kemauan isteri, dengan kata lain isteri tidak boleh menolak (marital rape). Bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami dengan cara membuat istri tergantung secara ekonomi dengan cara melarang istri bekerja, atau suami melarang istrinya bekerja mencari uang sementara ia juga tidak memberikan nafkah kepada istrinya, suami mengeksploitasi istri untuk mendapatkan uang bagi kepentingannya, membatasi ruang gerak (mengontrol setiap keputusan, mengontrol uang) atau mengawasi setiap gerakan isteri hingga mengisolasi korban dari kehidupan sosialnya. Penelitian Hakimi et al, di Purworejo Jawa Tengah, memiliki persamaan dengan penelitian ini dalam hal suami sebagai pelaku kekerasan percaya bahwa mereka berhak mengontrol semua aspek kehidupan istrinya dan menggunakan kekerasan fisik dan seksual sebagai cara untuk menunjukkan dominasinya di rumah tangga. Pengontrolan itu dalam penelitian ini dapat berupa kemarahan suami bila istri berbicara dengan pria lain, tidak ambil peduli dan memperlakukan acuh tak acuh. 16 Bentuk kekerasan emosional yang dilakukan dengan menyerang wilayah psikologis korban, bertujuan untuk merendahkan citra seorang perempuan baik melalui kata-kata maupun perbuatan seperti mengumpat, membentak dengan kata-kata kasar, menghina, mengancam. Tindakan tersebut mengakibatkan ketakutan, hilangannya percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan utama yaitu korban KDRT yang ditangani P2TP2A Provinsi Kalimantan Timur dan diperkuat dengan pernyataan informan kunci dan informan pendukung bahwa informan utama BW, SK, MK, PA, RR, SH telah menerima lebih dari satu bentuk kekerasan (berganda) selama hidup berumah tangga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Habsari dari wawancara menunjukkan bahwa tidak ada satupun informan yang mengalami kekerasan tunggal. Pada umumnya mereka mengalami kekerasan berganda, bahkan beberapa responden mengalami semua jenis kekerasan baik fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. 14 Hasil penelitian Habsari mengatakan kesakitan perempuan baik fisik maupun fisik, secara nyata menurunkan kualitas hidup perempuan. Secara fisik menimbulkan kelainan bahkan kecacatan yang menghambat dalam melakukan kegiatan atau pekerjaannya, bersosialisasi dengan lingkungan, bahkan tidak mampu menjalankan hobinya. Situasi ini mencerminkan dominasi laki-laki sebagai kepala keluarga yang diakui kekuasaannya dalam rumah tangga baik secara agama dan norma masyarakat. Juga menggambarkan lemahnya kedudukan perempuan dalam masyarakat. Sikap pasrah dan menerima merupakan sikap yang mendominasi kaum perempuan dari berbagai lapisan baik yang tidak berpendidikan maupun yang berpendidikan tinggi. Situasi demikianlah yang menumbuhsuburkan tindak kekerasan terhadap perempuan. 14 Menurut Luhulima fenomena kekerasan sama sekali bukan merupakan masalah kelainan individual. Akan tetapi merupakan bagian dari masyarakat yang membentuk ketimpangan relasi yang kemudian tercipta pembagian kekuasaan yang lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. Kenyataan ini kemudian menciptakan sebuah kondisi sosial, penggunaan kekuasaan yang berlebihan dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap perempuan sehingga berperan dalam pelestarian kondisi pembagian kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. 17 Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif terhadap tindak kekerasan yang terjadi padanya. Terbukti dengan adanya informan yang tidak segera mencari pertolongan dan cenderung menutupi tindak kekerasan. Ini Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37 memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan rendahnya respon masyarakat terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan suami. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, bahwa suami dominan terhadap istri. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap korban KDRT di P2TP2A Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa selain faktor dominasi laki-laki, yang sering menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam kehidupan rumah tangga mereka adalah faktor ekonomi. Straus dan Sweet dalam Lawson mengemukakan bahwa tindak kekerasan terhadap istri banyak dilakukan oleh suami yang biasa meminum-minuman keras dan menggunakan obat terlarang, pasangan suami istri yang berusia muda, mempunyai anak yang banyak dan berstatus sosial ekonomi yang rendah. 17 Penelitian Hakimi et al di Purworejo Jawa Tengah, mendapatkan gambaran yang sama dengan penelitian ini yaitu para responden ketika ditanya tentang kondisi seperti apa yang cenderung mengarah pada terjadinya kekerasan jawaban yang paling banyak adalah karena suami menganggur, suami menggunakan alkohol dan mempunyai hubungan dengan wanita lain (WIL). 16 Kekerasan dalam berbagai bentuknya itu tentu saja menimbulkan dampak bagi kesehatan. Dampak yang difokuskan dalam penelitian kekerasan ini adalah dampak yang dilihat dari sisi kesehatan fisik, kesehatan reproduksi dan kesehatan mental informan utama yang menjadi korban KDRT. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan diperoleh hasil bahwa mereka telah mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Perempuan yang menjadi korban kekerasan kemungkinan besar berpeluang dua kali lipat untuk mempunyai masalah kesehatan fisik dan mental yang lemah dibandingkan dengan perempuan yang bukan korban kekerasan. Menurut model Dixon-Mudler dalam Lawson tentang kaitan antara kerangka seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri. Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut mengganggu psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan seksual maupun tidak. 18 WHO bahwa perempuan rentan disalahgunakan oleh pasangan mereka karena adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, peran jender yang kaku, serta ada norma norma budaya dalam masyarakat yang mendukung hak seorang pria melakukan hubungan seks tanpa memandang perasaan perempuan. 3 Heise mengelompokkan dampak dari kekerasan yang berujung pada kesehatan mental perempuan yaitu berupa stress pascatrauma, depresi, kecemasan, phobia, gangguan pola makan, disfungsi seksual dan rendah diri.7 Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap informan utama yaitu korban KDRT di P2TP2A Provinsi Kalimantan Timur dan pernyataanpernyataan yang diperkuat oleh informan pendukung dan kunci bahwa mereka mengalami trauma, perasaan tertekan, sedih, rendah diri karena sebutan yang telah menghina mereka bahkan depresi. Korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu dan terhina apalagi bila kekerasan disaksikan atau didengar orang lain. Dampak kesehatan mental karena kekerasan yang kerap terjadi dalam rumah tangga tidak hanya berpengaruh pada salah satu pasangan suami-istri tetapi juga berdampak pada perkembangan mental anak-anak. Seringkali akibat dari tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menimpa korban secara langsung, tetapi juga anggota lain dalam rumah tangga secara tidak langsung. Tindak kekerasan seorang suami terhadap istri atau sebaliknya, misalnya dapat meninggalkan kesan negatif yang mendalam di hati mereka, anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Kesan negatif ini pada akhirnya dapat pula menimbulkan kebencian dan malah benih-benih dendam yang tak berkesudahan Potret Kesehatan Perempuan Korban Kekerasan…(Annisa, Nurohma, Puspa ) terhadap pelaku.19 Informan utama atau korban KDRT yaitu BW, RR dan SK mengatakan bahwa setelah melihat perlakuan kekerasan suaminya, tidak jarang anak-anak menjadi takut, benci hingga trauma kepada ayah mereka sendiri. Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan mental anak karena pada masa inilah mereka mudah mengingat apapun kejadian di sekitarnya. Dampak pribadi seperti anak-anak yang hidup dalam lingkungan kekerasan berpeluang lebih besar bahwa hidupnya akan dibimbing oleh kekerasan, anak yang menjadi saksi kekerasan akan menjadi trauma termasuk didalamnya perilaku anti sosial dan depresi, akhirnya menjadi pelaku kekerasan, mengalami trauma, figur terhadap orang tua menjadi kabur juga dikhawatirkan akan menimpa anak-anak tersebut. Jika seorang anak laki-laki menyaksikan ayahnya memukul ibunya, dia akan belajar bahwa hal itu adalah jalan terbaik untuk memperlakukan perempuan, dan karena itu dia lebih besar kemungkinannya untuk kemudian menganiaya istrinya sendiri kelak. Ini disebut sebagai penularan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violence). Hal ini didapatkan penjelasannya pada penelitian Dauvergne dan Johnson yang menjelaskan bagaimana efek trauma terjadi pada anak-anak yang menyaksikan KDRT. Pengalaman KDRT dapat membuat anak-anak saksi KDRT mengembangkan persepsi yang salah tentang kekerasan; bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. 20 Walaupun efek tersebut tidak dapat dipastikan akan terjadi pada semua anak yang menyaksikan KDRT. Reaksi anak setelah menyaksikan KDRT dipengaruhi beberapa faktor, sebagaimana dinyatakan oleh Carlsonyang menyimpulkan bahwa reaksi anak-anak terhadap pengalaman menyaksikan KDRT terbentang dalam suatu kontinum, dimana beberapa anak menunjukkan ketahanan diri yang cukup tinggi, sedangkan beberapa anak menunjukkan gangguan perilaku. Anak-anak yang memiliki ketahanan diri yang kuat dapat mengembangkan pemahaman yang tepat atas peristiwa kekerasan yang disaksikannya dalam keluarga; dimana dengan dukungan lingkungan sekitar, anak akan dapat melanjutkan hidupnya tanpa mengalami gangguan emosional maupun perilaku yang signifikan pada kehidupan selanjutnya. 21 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Informan utama yaitu korban KDRT telah mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dari suami yang meliputibentuk kekerasan fisik, ekonomi, seksual, psikis dan penelantaran rumah tangga.Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu dominasi suami, faktor ekonomi, perselingkuhan, suami kecanduan alkohol, judi dan narkoba. Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan fisik berupa bekas merah, babak belur, luka dan robek di bagian yang menjadi sasaran kekerasan sehingga menimbulkan rasa kesakitan. Kekerasan seksual berupa penyiksaan, pemaksaan berhubungan intim pada masa menstruasi menyebabkan dispareuni, infeksi saluran kencing, infeksi saluran kandungan dan kista. Kesehatan mental terganggu manifestasinya adalah trauma, stress, depresi sampai gangguan jiwa berat hingga dirawat di rumah sakit jiwa. Saran Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih atas kerjasama dari pihak P2TP2A Propinsi Kalimantan Timur, seluruh informan yang telah bersedia membagikan pengalamannya. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. Sofyan, M. Bidan Menyongsong Masa Depan. 2006. Jakarta: PP IBL Komnas Perempuan. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. 2002. Jakarta: Ameepro. World Health Organisation. Violence and health Fact Sheet No.239. 2002. Diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs 239/en/. Diakses pada tanggal 20 Mei 2011 Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 24 – 37 4. 5. 6. 7. 8. 9. World Health Organisation.Violence Against Women Fact Sheet No. 239. 2009. Diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/fact sheets/fs239/en/. Diakses tanggal 20 Mei 2011 Kalibonso, R. S. Kejahatan Itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Perempuan, 2002; 25: 7-21 Tamtiari, Wini. Melindungi Perempuan dari Kekerasan dalam Rumah Tangga. 2005. Yogyakarta: Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Heise L.L., et al. Violence Against Women: The Hidden Health Burden. 1994. Washington: World Bank Awaliyah, Ayu Sofhatul. Dampak Serius KDRT Bagi Kesehatan Masyarakat. Diunduh dari www.depkes.go.id. Diakses tanggal 5 Februari 2011 Pemprov Kaltim. Tercatat 133 Kasus KDRT di Kaltim. Kaltim Post, 2011; Diunduh dari http://kaltimpost.co.id. Diakses pada tanggal 15 Mei 2011 10. Sciortino, Rosalia. Menuju Kesehatan Madani. 1999.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 11. Subhan, Zaitunah. Kekerasan Terhadap Perempuan.2001. Yogyakarta: Pustaka Pesantren 12. Yuarsi, Susi Eja. Tembok Tradisi dan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan. 2002. Yogyakarta: Kerja sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation. 13. Dharmono, S. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Dampaknya Terhadap Kesehatan Jiwa. 2008. Jakarta: Balai Penerbit UI 14. Habsari, R.Menguak Misteri Di Balik Kesakitan Perempuan.2006.Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan. 15. Luhulima, Achie Sudiarti.Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. 2000. Jakarta: PT. Alumni. 16. Lawson, D.M. Incidence, Explanations, and Treatment of Partner Violence. Journal of Counseling and Development, 2003 Determinan Komplikasi Persalinan Pada Ibu…(Kristina, Tutik ) DETERMINAN KOMPLIKASI PERSALINAN PADA IBU PERNAH MENIKAH USIA 15-49 TAHUN DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2007 Determinants of Delivery Complications in Ever-Married Women among 15-49 Years Old in Banten Province, 2007 Kristina Sabatini1, Tutik Inayah2 1 Program Magister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2 Epidemilog Kesehatan Puskesmas Samigaluh II Kabupaten Kulon Progo 1 Email: [email protected] 2 Email: [email protected] Abstract Background:The maternal mortality ratio has not declinedover years in Banten Province, one of the six provinces with the highest maternal mortality ratio in Indonesia. Based on the 2010 Health profile of Banten Province, the highest cause of maternal deathwas complications during childbirth. Objective: To identify determinants of delivery complications in Banten Province. Methods:Data were derived fromthe 2007 Indonesia Demographic Health Survey, which used a cross sectional study design. Samples included 561 ever-married women aged 15-49 years and ever delivered a child within the five-year period before the survey. The RR values were obtained from the Cox regression analysis. Results: The study found that 43% of ever-married women aged 15-49 years in Banten Province experienced obstetric complications at childbirth. Birth attendance emerged as a protective factor; mothers assisted byhealth personnel had a reduced risk of developing complication during childbirth (RR 0,63; 95%CI of 0,503 to 0,792). Conclusions:The rate ofdelivery complications remained high in Banten Province. Prolonged labour was the most cause of delivery complication. One of determinants of delivery complication was the type of birth attendants. Keywords:Complication, delivery, birth attendant Abstrak Latar belakang:Angka kematian ibu belum menunjukkan penurunan signifikan di Provinsi Banten.Provinsi ini menjadi salah satu dari enam provinsi dengan kematian ibu tertinggi di Indonesia.Berdasarkan data profil kesehatan di Provinsi Banten tahun 2010, menunjukkan bahwa kematian ibu tertinggi berada pada masa persalinan akibat komplikasi. Tujuan: Mengetahui determinan komplikasi persalinan pada ibu di Provinsi Banten tahun 2007. Metode:Penelitian ini menganalisis data survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 dengan desain penelitian cross sectional. Sampel dalam penelitian adalah ibu usia 15-49 tahun yang pernah melahirkan anak dalam kurun lima tahun terakhir sebelum survei di Provinsi Banten, sebesar 561 ibu. RR diperoleh melaluianalisiscox regression. Hasil:Ibu pernah menikahusia 15-49 tahun yang mengalami komplikasi persalinan di Provinsi Banten sebesar 43 persen. Penolong persalinan merupakan faktor protektif, ibu yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan dapat mengurangi risiko untuk terjadinya komplikasi persalinan (RR 0,63; 95%CI 0.5030.792). Kesimpulan:Kejadian komplikasi persalinan masih tinggi di Provinsi Banten. Persalinan lama menjadi jenis komplikasi persalinan terbanyak.Salah satu determinan komplikasi persalinan adalah penolong persalinan. Kata kunci:Komplikasi, persalinan, penolong persalinan Naskah masuk: 10 Januari 2012, Review: 15 Januari 2012, Disetujui terbit: 18 April 2012 Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 38 – 45 PENDAHULUAN Derajat kesehatan reproduksi pada perempuan salah satunya ditandai dengan angka kematian ibu (AKI).1 Bila dibandingkan dengan negara ASEAN lain, AKI di Indonesia masih lebih tinggi yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2007).2 Sementara di Provinsi Banten, AKI belum menunjukkan penurunan yang siginifikan. Pada tahun 2008, AKI di provinsi ini sempat menurun menjadi 188 per 100.000 kelahiran hidup dari 204 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2007. Kemudian AKI meningkat pada tahun 2009 menjadi 192 per 100.000 kelahiran hidup dan kembali turun menjadi 187 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2010. AKI ini memang lebih rendah dibandingkan dengan AKI nasional, tetapi Provinsi Banten merupakan salah satu dari enam provinsi di Indonesia dengan kematian ibu tertinggi. 3,4,5 Pada umumnya, penyebab tingginya kematian ibu berkaitan dengan masalah kehamilan, persalinan, dan nifas.7 Dari lima juta kelahiran yang terjadi setiap tahunnya, diperkirakan 20 ribu ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan.8 Sementara penyebab kematian ibu di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten adalah perdarahan (56%), lainnya (33%), dan infeksi (11%).9 Di kabupaten/kota lainnya di provinsi ini, selain perdarahan, hipertensi dalam kehamilan juga menjadi penyebab tertinggi kematian ibu.10,11,12,13,14 Komplikasi persalinan merupakan keadaan yang mengancam jiwa ibu ataupun janin sebagai akibat langsung dari kehamilan atau persalinan seperti perdarahan, infeksi, preeklampsia/eklampsia, partus lama/macet, abortus, dan ruptura uteri yang membutuhkan manajemen obstetri.15 Masalah kematian maternal merupakan masalah kompleks karena menyangkut banyak hal. Penyebab langsung dari kesakitan dan kematian maternal tersebut adalah komplikasi obstetri, terutama komplikasi pada saat persalinan. Sementara itu, berdasarkan data profil kesehatan masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2010 menunjukkan bahwa kematian ibu tertinggi berada pada masa persalinan akibat terjadinya komplikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini akan dilihat lebih lanjut mengenai hubungan beberapa faktor karakteristik ibu (umur, pendidikan, paritas, dan tempat tinggal), riwayat komplikasi kehamilan, frekuensi kunjungan ANC, penolong persalinan, dan tempat persalinan dengan komplikasi persalinan. METODE Penelitian ini merupakan analisis lanjut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 dengan desain penelitian cross sectional. SDKI 2007 merupakan survei tingkat nasional, dengan populasi penelitian meliputi 33 provinsi di Indonesia. Kerangka pengambilan sampel dilakukan dua tahap. Pertama pemilihan 1694 blok sensus (BS) secara probability proportional to size (PPS) dan kedua adalah pemilihan sampel rumah tangga disetiap BS, terpilih 25 rumah tangga di setiap BS. Dari total rumah tangga yang diwawancarai yaitu 40701, terdapat 32895 wanita dan 8758 pria.2 Populasi target dalam penelitian ini adalah ibu berusia 15-49 tahun yang pernah melahirkan anak, baik lahir hidup maupun lahir mati di Indonesia. Populasi sumber yaitu ibu usia 15-49 tahun yang pernah melahirkan anak dan diwawancarai dalam SDKI 2007 di Provinsi Banten sejumlah 1413 ibu. Kriteria inklusi untuk terpilih sebagai sampel atau populasi studi yaitu ibu yang melahirkan anak dalam kurun waktu lima tahun terakhir di Provinsi Banten, sejumlah 641. Dari total sampel tersebut, yang terpilih sebagai study participant adalah ibu yang memiliki data lengkap sebesar 561 ibu. Komplikasi persalinan didefinisikan sebagai suatu keadaan pada saat melahirkan ibu mengalami salah satu atau lebih gejala seperti persalinan lama, perdarahan lebih dari 2 kain, suhu badan tinggi atau keluar lendir berbau (infeksi), kejang (eklampsia), keluar air ketuban lebih dari 6 jam sebelum anak lahir, dan adanya komplikasi/kesulitan lain. Analisis data dilakukan dengan metode cox regression.Variabel yang masuk dalam model multivariat ditentukan dengan cox regresi sederhana bedasarkan nilai p<0,25. Analisis multivariat dilakukan dengan cox regresi ganda dengan metode stepwise, Determinan Komplikasi Persalinan Pada Ibu…(Kristina, Tutik ) sementara confounder ditentukan dengan signifikasi 5 persen dan perubahan RR lebih dari 10 persen.16 HASIL Data diperoleh dari SDKI 2007 dengan mengambil variabel-variabel yang dibutuhkan. Jumlah ibu yang pernah melahirkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir adalah 641. Upaya yang dilakukan untuk menjaga kualitas data adalah dengan melihat persentase variabel data yang hilang (missing cases). Setelah itu, dilakukan cleaning data dan diperoleh jumlah observasi sebanyak 561 responden. Jumlah missing cases cukup besar, akibat adanya kasus tidak memiliki data lengkap, khususnya mengenai komplika- si persalinan pada lima tahun terakhir. Kejadian Komplikasi Persalinan Komplikasi persalinan dialami oleh 43 persen ibu (244 responden), sedangkan yang tidak mengalami komplikasi persalinan sebanyak 57 persen (317 responden). Seorang ibu dapat mengalami salah satu atau lebih dari satu jenis atau gejala komplikasi persalinan. Komplikasi persalinan yang paling banyak dirasakan ibu adalah persalinan lama sebesar 49,6 persen, lalu pecah ketuban lebih dari 6 jam sebelum anak lahir sebesar 25,6 persen, perdarahan 11,4 persen, komplikasi lain sebesar 6,8 persen, infeksi sebesar 4,6 persen, dan eklampsia sebesar 2 persen (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi jenis komplikasi persalinan pada ibu di Provinsi Banten, SDKI 2007 Jenis komplikasi persalinan Persalinan lama Pecah ketuban >6 jam sebelum kelahiran Perdarahan lebih banyak dibandingkan dengan biasaya (lebih dari 3 kain) Kesulitan atau komplikasi lain Suhu badan tinggi dan atau keluar lendir berbau dari jalan lahir (Infeksi) Kejang-kejang (Eklampsia) * Ibu dapat mengalami lebih dari satu gejala komplikasi persalinan Determinan Komplikasi Persalinan Gambaran karakteristik responden sebagian besar berusia 20-35 tahun (73,6%) dan berpendidikan kurang dari 9 tahun atau tidak tamat SLTP (57,4%).Pada umumnya responden memiliki kurang dari satu anak atau lebih dari empat anak (55,8%) dan tinggal di pedesaan (52,9%). Sementara itu, mayoritas responden tidak memiliki riwayat komplikasi kehamilan, hanya terdapat 9,3 persenyang mengalami komplikasi kehamilandan 90,7 persen responden tidak memiliki riwayat komplikasi kehamilan.Bila dilihat lebih lanjut, jenis komplikasi kehamilan yang paling banyak dialami responden adalah perdarahan sebelum persalinan (30,5%), lalu komplikasi lain (30,5%), mulas sebelum 9 bulan (13,6%), demam tinggi (10,2%), edema/bengkak (5,1%), pusing (3,4%), kejang (3,4%), hipertensi (1,7%), dan kelainan letak janin (1,7%). Selain itu, 62% responden telah melakukan kunjungan antenatal care (ANC) sesuai standar atau minimal 4 kali (1 kali pada Proporsi (n=395*) 49,6 25,6 11,4 6,8 4,6 2,0 trisemester I, 1 kali pada trisemster II, dan 2 kali pada trisemster III). Presentase responden yang mendapatkan pertolongan persalinan dengan tenaga kesehatan dan bukan tenaga kesehatan hampir sama, yaitu 50,6% dan 49,4%. Penolong persalinan terbanyak di Provinsi Banten adalah dukun dengan 40%, diikuti oleh bidan sebesar 28,8% dan keluarga 11,9% (Tabel 2). Tabel 2. Proporsi penolong persalinan pada ibu di Provinsi Banten, SDKI 2007 Proporsi Penolong persalinan (n=773*) Dokter umum 0,4 Perawat 6,7 Bidan di desa 3,5 Dokter kandungan 8,3 Bidan 28,8 Dukun 40,0 Keluarga/teman 11,9 Lainnya 0,1 Tidak tahu 0,1 Tidak ada 0,1 Total 100,0 * Ibu dapat menjawab lebih dari satu tenaga penolong persalinan Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 38 – 45 Lebih dari setengah responden (63,5%) tidak bersalin di fasilitas kesehatan. Rumah responden menjadi tempat persalinan terbanyak sebesar 62 persen, diikuti oleh praktek bidan sebesar 16 persen dan RS pemerintah sebesar 4,3 persen (Tabel 3). Tabel 3. Proporsi tempat persalinan pada ibu di Provinsi Banten, SDKI 2007 Proporsi Tempat persalinan (n=561) Rumah ibu 62.0 Rumah orang lain 1.4 RS pemerintah 4.3 Puskesmas 0.2 RS swasta 2.5 RS bersalin 5.7 Klinik bersalin 1.8 Klinik swasta 2.1 Praktek dokter kandungan 0.2 Praktek bidan 16.0 Praktek perawat 0.2 Praktek bidan di desa 3.4 Poskesdes 0.2 Total 100.0 *Catatan: ibu dapat menjawab lebih dari satu tempat persalinan Analisis Sederhana Dari tabel 4 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan persentase komplikasi persalinan pada kelompok umurdan paritas.Sementara, responden yang tinggal di perkotaan lebih banyak yang mengalami komplikasi persalinan (48,5%) dibandingkan dengan responden yang tinggal di perdesaan (39,1%).Responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi (lebih dari atau sama dengan SLTP) yang mengalami komplikasi persalinan sebesar 53,1 persen, sedangkan yang berpendidikan lebih rendah sebesar 36,3 persen. Selain itu, responden yang memiliki riwayat komplikasi kehamilan sebesar 63,5 persen yang mengalami komplikasi persalinan, sedangkan 41,5 persenyang tidak memiliki riwayat komplikasi kehamilanmengalami komplikasi persalinan. Selain itu, responden dengan frekuensi kunjungan ANC baik (K4), ditolong oleh tenaga kesehatan, dan bersalin di fasilitas kesehatan lebih banyak yang mengalami komplikasi persalinan. Berdasarkan besarnya hubungan, terlihat bahwa variabel pendidikan, frekuensi kunjungan ANC, penolong persalinan, dan tempat persalinan merupakan faktor protektif terhadap terjadinya komplikasi persalinan (Tabel 4). Hasil analisis sederhana ini juga menunjukkan bahwa faktor pendidikan, tempat tinggal, komplikasi kehamilan, frekuensi kunjungan ANC, penolong persalinan, dan tempat persalinan berhubungan dengan komplikasi persalinan (p<0,25). Untuk selanjutnya variabel tersebut akan diikutkan dalam analisis multivariat (Tabel 4). Analisis Multivariat Setelah dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan uji cox regresi terhadap variabel yang memenuhi syarat untuk masuk dalam model maka diperoleh hasil bahwa hanya terdapat dua variabel yang memberi kontribusi pada model akhir, yaitu variabel penolong persalinan dan komplikasi kehamilan (Tabel 5). Hasilnya pada tabel 5 bahwa ibu yang ditolong oleh tenaga kesehatan menurunkan risiko untuk terjadinya komplikasi persalinan.Variabel penolong persalinan menjadi faktor protektif terhadap terjadinya komplikasi persalinan. Selain memperoleh variabel yang memberi kontribusi pada terjadinya komplikasi persalinan, juga dilakukan penilaian adanya confounder.Dari hasil perbedaan RRcrude dan adjusted, tampak bahwa variabel penolong persalinan dan komplikasi kehamilan memiliki nilai perbedaan kurang dari 10 persen, sehingga disimpulkan hasil ini tidak dipengaruhi oleh adanya confounder. Determinan Komplikasi Persalinan Pada Ibu…(Kristina, Tutik ) Tabel 4. Hasil analisis sederhana cox regresi beberapa faktor yang berhubungan dengan komplikasi persalinan Variabel Komplikasi Persalinan Ya Tidak Crude RR n % n % Umur <20 tahun dan >35 tahun 65 43.9 83 56.1 Ref 20-35 tahun 179 43.3 234 56.7 1.01 Pendidikan <SLTP 117 36.3 205 63.7 ≥ SLTP 127 53.1 112 46.9 Paritas <1 anak dan ≥4 anak 131 41.9 182 58.1 2-3 anak 113 45.6 135 54.4 Tempat tinggal Perdesaan 116 39.1 181 60.9 Perkotaan 128 48.5 136 51.5 Komplikasi kehamilan Ada komplikasi 33 63.5 19 36.5 Tidak ada komplikasi 211 41.5 298 58.5 Frekuensi kunjungan ANC Tidak K4 70 32.9 143 67.1 K4 174 50.0 174 50.0 Penolong persalinan Non tenaga kesehatan 83 30.0 194 70.0 Tenaga kesehatan 161 56.7 123 43.3 Tempat persalinan Tidak di fasilitas kesehatan 121 34.0 235 66.0 Fasilitas kesehatan 123 60.0 82 40.0 *variabel yang masuk kedalam analisis multivariat (p<0,25) Ref 0.74 Analisis data dalam penelitian ini merupakan analisis data sekunder, sehingga terdapat keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, karena peneliti tidak dapat mengontrol validitas data yang dikumpulkan. Selain itu, terdapat kemungkinan adanya recall biasterutama pada variabel riwayat komplikasi, baik pada saat kehamilan maupun persalinan, serta frekuensi P 0.786 - 1.298 0.936 0.585 - 0.927 0.009* Ref 0.94 0.749 - 1.169 0.561 Ref 0.84 0.677 - 1.055 0.139* Ref 1.60 1.008 - 2.548 0.046* Ref 0.74 0.596 - 0.929 0.009* Ref 0.62 0.493 - 0.775 0.000* Ref 0.60 0.471 - 0.779 0.000* Tabel 5. Hasil analisis multivariat cox regresi (Model akhir) Crude Variabel Coef Adjusted RR RR Penolong persalinan Non tenaga kesehatan Ref Ref 0.62 0.63 Tenaga kesehatan -0.46 Komplikasi kehamilan Ada komplikasi Ref Ref 1.60 1.47 Tidak ada komplikasi 0.38 PEMBAHASAN 95% CI 95% CI P 0.503 - 0.792 0.000 0.922 - 2.341 0.105 kunjungan antenatal. Bias pewawancara juga mungkin terjadi jika terdapat perbedaan tingkat pemahaman dan persepsi dalam memahami pertanyaan dan mengintepretasikan informasi yang diberikan responden. Namun, data SDKI 2007 memiliki kelebihan yaitu jumlah sampel yang cukup besar.Selain itu, hasil penelitian ini dapat diterapkan pada populasi eligible karena participant rate yang cukup tinggi yaitu 84,4 persen, sehingga Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 38 – 45 dapat mewakili populasi eligible. Hasil ini juga dapat diterapkan pada populasi lain yang relevan dengan karakteristik populasi yang sama yaitu pada ibu dengan latar belakang sosial-demografi yang hampir serupa. Kejadian komplikasi persalinan di Indonesia pada tahun 2007 adalah 43,7 persen.2 Hasil ini tidak berbeda dengan hasil penelitian pada Provinsi Banten. Jika dilihat berdasarkan jenis komplikasi persalinan yang paling banyak terjadi adalah persalinan lama sebesar 49,6 persen, lalu pecah ketuban lebih dari 6 jam sebelum anak lahir sebesar 25,6 persen, perdarahan 11,4 persen, komplikasi lain sebesar 6,8 persen, infeksi sebesar 4,6 persen, dan eklampsia sebesar 2 persen. Hasil penelitian oleh Senewe dan Sulistyowati (2002) pada skala nasional menunjukkan bahwa kejadian komplikasi persalinan sebesar 24 persen (SKRT 2001), dengan jenis komplikasi yaitu persalinan lama (15,4%), perdarahan (7,9%), preeklampsia/eklampsia (7,9%), dan infeksi (3,9%).17 Hasil ini juga serupa dengan Armagustini (2010), yang menemukan bahwa persalinan lama (36,7%), perdarahan (8,9%), dan infeksi (6,8%) sebagai jenis komplikasi persalinan terbesar.18 Sihombing (2004) memberikan hasil bahwa robekan jalan lahir menempati posisi tertinggi, diikuti oleh partus lama, perdarahan, infeksi, dan eklampsia.19 Perbedaan angka-angka ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan denominator, karena dalam penelitian ini yang digunakan hanya pada responden yang berasal dari Provinsi Banten. Tetapi bila dilihat polanya, maka penelitian ini memberikan hasil yang tidak jauh berbeda mengenai jenis komplikasi persalinan. Walaupun demikian, angka komplikasi persalinan ini lebih tinggi dari yang diperkirakan WHO yaitu 10-20 persen pada ibu hamil. Untuk mengetahui adanya risiko partus lama dapat dideteksi dengan melakukan pengukuran tinggi badan, dimana tinggi badan kurang dari 150 cm dianggap sebagai nilai tengah untuk memprediksi kehamilan risiko tinggi. Tinggi badan ibu kurang dari 150 cm diperkirakan memiliki panggul yang lebih sempit, sehingga cenderung mengalami kesulitan melahirkan terutama untuk bayi yang besar dan hal ini sering mengakibatkan terjadinya partus lama. Selain itu, mal posisi atau kelainan letak terutama pada grandemultipara dan kehamilan ganda menjadi penyebab terjadinya persalinan lama. Pada ibu dengan grandemultipara atau hamil lebih dari lima kali, memiliki risiko perdarahan yang lebih tinggi.20 Komplikasi persalinan sebenarnya dapat dicegah. Salah satu upayanya yaitu dengan memantau adanya komplikasi melalui deteksi dini kehamilan berisiko tinggi dengan pemeriksaan ANC yang berkualitas. Selain itu, menunda kehamilan sebelum berusia 20 tahun dan atau menghindari 4T, yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan (jarak kelahiran terlalu dekat), dan terlalu banyak anak. Selain itu juga menghindari 3T yaitu terlambat dalam mencapai fasilitas kesehatan, mendapatkan pertolongan yang cepat dan tepat, serta mengenali tanda bahaya kehamilan dan persalinan.17,21 Berdasarkan hasil analisis multivariat terlihat bahwa variabel penolong persalinan berhubungan dengan terjadinya komplikasi persalinan. Jika dilihat berdasarkan distribusi frekuensi penolong persalinan, tampak bahwa 40 persen persalinan masih ditolong oleh dukun. Selain itu, dari hasil penelitian ini, tampak bahwa lebih dari setengah responden melahirkan di rumah. Hal ini lah yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor tingginya pertolongan persalinan yang tidak dibantu oleh tenaga kesehatan terlatih di Provinsi Banten. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya.18,19,22 Banyaknya kematian ibu dan juga bayi yang disebabkan oleh pertolongan persalinan oleh dukun atau tenaga lain yang tidak terlatih adalah akibat terlambat mengambil keputusan dan merujuk ke fasilitas kesehatan. Di Provinsi Banten, jumlah dukun justru terus mengalami peningkatan dari tahun 2005 hingga 2009. Hingga saat ini upaya yang dilakukan adalah membentuk kemitraan dukun dengan bidan dan telah terdapat sebesar 88,3 persen atau 1343 dukun yang bermitra dengan bidan. Namun demikian, belum menyeluruhnya kemitraan ini, dikarenakan masih tingginya tingkat kepercayaan masyarakat di Provinsi Banten untuk menggunakan dukun.6 Determinan Komplikasi Persalinan Pada Ibu…(Kristina, Tutik ) Untuk menurukan kematian ibu, pemerintah telah mencanangkan strategi dan intervensi melalui Making Pregnancy Safer (MPS) pada tahun 2000 yang meliputi tiga pesan kunci yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, setiap komplikasi obstetri mendapat pelayanan adekuat dan setiap wanita usia subur (WUS) mempunyai akses terhadap upaya pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan, dan penanganan komplikasi keguguran. Berdasarkan hasil penelitian Djaja (2006), persalinan yang ditolong bukan oleh tenaga kesehatan mempunyai risiko 1,8 kali untuk mengalami demam selama nifas dibandingkan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan. Selain itu, melalui penanganan oleh tenaga kesehatan terampil dengan kompetensi kebidanan, diharapkan berbagai faktor risiko kematian dalam proses persalinan dapat ditangani dengan benar. Indikator persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan indikator proxy yang sangat kuat dalam memotret angka kematian ibu maternal.22,23 upaya deteksi dini dan pencegahan komplikasi dalam kehamilan, diharapkan komplikasi persalinan juga dapat dihindari. Selain itu, mempersiapkan upaya lebih terhadap akses pelayanan kegawatdaruratan obstetri, yaitu puskesmas PONED (pelayanan obstetri nepnatal emergensi dasar) dan rumah sakit PONEK (pelayanan obstetri neonatal emergensi komperhensif), juga dapat membantu mencegah terjadinya komplikasi pada ibu dengan kehamilan risiko tinggi. Sementara itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komplikasi kehamilan tidak berhubungan secara signifikan dengan komplikasi persalinan (95%CI 0.922-2.341) dan nilai RR memperlihatkan bahwa komplikasi kehamilan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi persalinan. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya. Ada kemungkinan ibu yang mengalami komplikasi kehamilan telah mempersiapkan diri untuk menghindari terjadinya komplikasi saat persalinan. Yang perlu mendapatkan perhatian justru pada ibu yang tidak memiliki riwayat komplikasi, sebab dimungkinan ibu tidak melakukan persiapan menjelang persalinannnya terkait kemungkinan kegawatdaruratan. Selain itu, dalam penelitian ini, jumlah responden yang mengalami komplikasi kehamilan juga sangat sedikit yaitu 9,3 persen atau 52 responden. Saran Komplikasi kehamilan juga dapat dicegah melalui deteksi dini dalam pemeriksaan ANC terhadap kehamilan risiko tinggi. Sementara menurut data, cakupan K1 untuk Provinsi Banten adalah 91,4 persen dan 75,85 persen untuk K4.Angka inimasih dibawah standar yaitu 100 persen. Selain itu, cakupan deteksi faktor risiko di Provinsi Banten masih rendah yaitu sebesar59,98 persen.6 Dengan adanya KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kejadian komplikasi persalinan masih tinggi di Provinsi Banten tahun 2007 sebesar 43 persen. Tingginya komplikasi persalinan ini dapat menjadi salah satu sebab tingginya AKI di Provinsi Banten. Jenis komplikasi persalinan yang paling banyak terjadi adalah persalinan lama. Penelitian ini menunjukkan bahwa penolong persalinan merupakan determinan terjadinya komplikasi persalinan. Diperlukan peningkatan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, serta peningkatan upaya deteksi dini terhadap kehamilan risiko tinggi oleh tenaga kesehatan yang berkualitas. Dengan demikian, upaya-upaya kegawatdaruratan obstetri dapat dengan segera dipersiapkan, sehingga terjadinya komplikasi pada saat persalinan dapat dicegah. Peningkatan kemitraan dukun dan bidan juga perlu dilakukan, sehingga seluruh ibu dapat ditolong oleh penolong persalinan yang kompeten. Pemberian sanksi terhadap dukun yang menolong persalinan hendaknya juga dapat dilaksanakan, sesuai dengan nota kesepakatan dalam kemitraan dukun dan bidan. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan peningkatan sosialisasi faktor risiko danrisiko tinggi kepada kader, dukun dan ibu hamil. Model kelas ibu hamil yang telah ada sebagai sarana penyebarluasan informasi dapat dikembangkan melalui kelas ayah atau kelas ibu mertua, sebab ayah maupun orangtua berpengaruh terhadap setiap keputusan pada ibu hamil. Pendekatan budaya, kemudahan akses menjangkau fasilitas kesehatan, pengaktifan desa siaga, Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 38 – 45 serta penempatan bidan di desa juga sangat diperlukan, agar masyarakat tidak lagi bersalin di rumah. DAFTAR PUSTAKA Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes dan BPS 2. BPS. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007. 2008. Jakarta: BPS, BKKBN, Kementerian Kesehatan, USAID 3. Dinkes Provinsi Banten. Profil kesehatan Kota Cilegon Banten 2010. 2011. Banten: Dinas Kesehatan Provinsi Banten 4. Kementerian Kesehatan. Materi ajar penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir. 2007. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan ibu, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 5. Kompas. 26 Januari 2012. Program Emas USAID dimulai di enam provinsi. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/ 26/16165625/Program.Emas.USAID.Dim ulai.di.Enam.Provinsi 6. Kementerian Kesehatan. Assessment GAVI-HSS Provinsi Banten. 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA, Universitas Indonesia, GAVI Alliance 7. Kementerian Kesehatan. Profil kesehatan Indonesia 2010. 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 8. UNDP. Laporan perkembangan pencapaian tujuan pembangunan millennium Indonesia. Tujuan 5: meningkatkan kesehatan ibu. Jakarta: UNDP 9. Dinkes Kota Tangerang Selatan. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan 2010. 2011. Tangerang: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan 10. Dinkes Kota Tangerang. Profil Kesehatan Kota Tangerang 2010. 2011. Tangerang: Dinas Kesehatan Kota Tangerang 11. Dinkes Kabupaten Tangerang. Profil Kesehatan Kabupaten Tangerang 2010. 2011. Tangerang: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang 12. Dinkes Kabupaten Pandeglang. Profil Kesehatan Kabupaten Pandeglang 2010. 13. 14. 1. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 2011. Pandeglang: Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang Dinkes Kota Cilegon. Profil Kesehatan Kota Cilegon 2010. 2011. Cilegon: Dinas Kesehatan Kota Cilegon Dinkes Kota Serang. Profil Kesehatan Kota Serang 2010. 2011. Serang: Dinas Kesehatan Kota Serang Kementerian Kesehatan. Deteksi dini penatalaksanaan kehamilan risiko tinggi. 1997. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kleinbaum, David G. Klein Mitchel. Survival Analysis a Self-Learning Text Second Edition. 2005. New York: Springer Senewe, Felly P. Sulistyowati, Ning. Faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi persalinan tiga tahun terakhir di Indonesia (Analisis lanjut SKRTSurkesnas 2001). Buletin Penelitian Kesehatan, 2004; 32(2):83-91 Armagustini, Yetti. Determinan kejadian komplikasi persalinan di Indonesia (Analisis data sekunder SDKI tahun 2007). 2010. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Sihombing, Sinurtina. Faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi persalinan di Indonesia tahun 1998-2000 (Analisis data SKRT 2001). 2004. Depok: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Carroli, Guillermo, Rooney, et al. How effective is antenatal care in preventing maternal mortality and serious morbidity? An overview of the evidence. Pediatric and Perinatal Epidemiology, 2001; 15:142 Refleksi hari ibu: skenario percepatan penurunan angka kematian ibu.2011. Diunduh dari http://www.kesehatanibu. depkes.go.id/archives/335. Diakses pada tanggal 26 November 2012 Djaja, Sarimawar dan Suwandono, Agus. The determinants of maternal morbidity in Indonesia. Regional Health Forum WHO South-East Asia Region Volume 4. 2006. WHO Kementerian Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia 2011. 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Diabetes Melitus Pada Perempuan…(Sri, Raihana ) DIABETES MELLITUS PADA PEREMPUAN USIA REPRODUKSI DI INDONESIA TAHUN 2007 Diabetes Mellitus in Reproductive Age Women in Indonesia 2007 Sri Wahyuni*, Raihana N Alkaff Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta *Email: [email protected] Abstract Background:According tothe 2007 Basic Health Survey (Riskesdas),the prevalence of DiabetesMellitus(DM) in population aged≥15 intheurban areas was 5.7 percent. However, information about theprevalence of DMamongst women of reproductive age (15-49years) was not available. During the reproductive age period, women might get pregnant and if when Gestational Diabetes Mellitus (GDM) occurs, this will be harmful to both mother and foetus. Objective: To examine the riskfactors ofDMamongst women of reproductive age inIndonesiain 2007. Methods: This wasa quantitativestudy, usinga cross-sectionalstudy design. The data were derived from theBiomedical Section ofRiskesdas 2007. Results:This analysis found that 3.6 percent of women of reproductive age reported having DM. The proportion of women with the risk factors of DM were 29.6 percent (obese), 52.5 percent (lack ofphysical activity), 26.9 percent (smoking), 16.7 percent (frequently consumed fatty food),97.4 percent (low fruits andvegetables consumption). The average age of these womenwas 32years. Conclusions:Thepercentage ofDMamongst women of reproductive agewomen was3.6 percent. Interventions to reduce and prevent DM by controlling the risk factors in these women are important. Key words:Diabetesmellitus(DM), women of reproductive age, gestationaldiabetesmellitus(GDM) Abstrak Latar Belakang: PadaRiskesdas tahun 2007 hanya terdapat data prevalensi diabetes melitus (DM) pada penduduk usia ≥ 15 tahun yaitu sebesar 5,7 persen pada penduduk daerah perkotaan. Sementara informasi mengenai prevalensi DM pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun) atau usia subur di Riskesdas tahun 2007 belum tersedia. Pada usia tersebut perempuan sedang aktif melakukan kehamilan, jika diabetes terjadi pada saat kehamilan, hal tersebut akan berbahaya bagi janin dan ibu. Tujuan: Mengetahui gambaran DM dan faktor risikonya pada perempuan usia reproduksi di Indonesia tahun 2007. Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan disain studi potong lintang (cross sectional). Data yang digunakan adalah data Biomedis Riskesdas 2007. Hasil: Terdapat 3,6 persen penderita DM pada perempuan usia reproduksi, persentase faktor risiko diabetes pada perempuan usia reproduksi yaitu obesitas 29,6 persen, kurang aktivitas fisik 52,5 persen, merokok 26,9 persen, sering mengkonsumsi lemak 16,7 persen, kurang konsumsi buah dan sayur 97,3 persen dan rata-rata usia perempuan reproduksi adalah 32 tahun. Kesimpulan: Persentase DM pada perempuan usia reproduksi adalah sebesar 3,6%, oleh karena itu perlu diwaspadai untuk penurunan dan pencegahan kejadian DM pada perempuan usia reproduksi melalui pencegahan pada faktor risikonya. Kata kunci: Diabetes Melitus (DM), perempuan usia reproduksi, gestasional diabetes melitus (GDM) Naskah masuk: 14 Februari 2012, Review: 15 Februari 2012, PENDAHULUAN Diabetes melitus (DM) adalah salah satu penyakit tidak menular yang terjadi karena peningkatan kadar gula (glukosa) darah Disetujui terbit: 18 April 2012 akibat kekurangan atau resistensi insulin di dalam tubuh. Berdasarkan data IDF (International Diabetes Federation) tahun 2012 lebih dari 300 juta orang di seluruh Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 46 – 51 dunia mengidap DM, dan sekitar 60 juta dari mereka adalah perempuan dengan usia reproduksi (15-49 tahun).1 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lely S dan Indrawati T dalam Media Litbang Kesehatan (2004) disebutkan bahwa penderita diabetes pada perempuan yaitu sebesar 62% dan pada laki-laki yaitu sebesar 38%. Pada Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007, prevalensi DM pada penduduk usia ≥ 15 tahun di Indonesia sebesar 5,7% pada penduduk daerah perkotaan. Dalam laporan Riskesdas tahun 2007 tidak disebutkan prevalensi diabetes pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun) atau usia subur, dengan kata lain belum ada laporan nasional melaporkan kejadian diabetes melitus pada rentang usia reproduksi.2 DM merupakan masalah kesehatan yang penting bagi perempuan usia reproduksi. DM yang tidak terkontrol atau tidak terdiagnosis pada usia tersebut dapat mengakibatkan komplikasi pada saat kehamilan yang mengancam jiwa ibu atau persalinan yang sulit, dan komplikasi yang mengancam kehidupan dan kesehatan anak yang baru lahir. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang mempunyai riwayat gestasional diabetes melitus (GDM) akan berisiko mengalami DM tipe 2. Aleida (2011) mengatakan diabetes melitus pada saat kehamilan (GDM) adalah sebuah tanda diabetes yang berkelanjutan dan perempuan dengan usia subur akan semakin berisiko tinggi untuk mengalami diabetes yang menetap.1, 3,4 IDF tahun 2012 menyebutkan bahwa faktor risiko untuk diabetes tipe 2 (dua) adalah kegemukan, diet dan aktivitas fisik, meningkatnya usia, resistensi insulin, riwayat keluarga diabetes, dan etnis. Perubahan diet dan aktivitas fisik yang berkaitan dengan pesatnya urbanisasi telah menyebabkan peningkatan tajam pada penderita diabetes. Wanita hamil yang memiliki berat badan berlebih telah dan memiliki riwayat keluarga diabetes berisiko tinggi terkena diabetes gestasional (GDM).1,5 Belum tersedianya data nasional mengenai prevalensi DM pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun), membuat peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran prevalensi DM pada usia tersebut beserta faktor risikonya, dengan begitu kita dapat mewaspadai dan menghindari hal tersebut agar tidak terjadi DM pada usia tersebut. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan disain studi potong lintang (cross sectional). Data yang digunakan adalah data Biomedis Riskesdas 2007, pengambilan data Riskesdas 2007 dilaksanakan oleh Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) Kementerian Indonesia.6 Riskesdas bidang biomedis dilakukan di 33 provinsi di Indonesia dengan populasi penduduk di daerah urban di Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas, jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas dan tinggal di daerah perkotaan adalah 162,98 juta jiwa. Sampel untuk Riskesdas adalah rumahtangga terpilih di BS terpilih menurut sampling yang dilakukan oleh BPS untuk Susenas 2007. Seluruh anggota rumah-tangga terpilih merupakan unit observasi/ pengamatan dalam rumah-tangga, sesuai dengan kuesioner yang telah disiapkan. Instrumen untuk wawancara, pemeriksaan antropometri dipergunakan untuk seluruh anggota rumah tangga terpilih.6 Kerangka pengambilan sampel (sampling frame) menggunakan blok sensus (BS) dari Badan Pusat Statistik (BPS). Cara pengambilan sampel adalah cluster sampling dengan menggunakan blok sensus BPS. Rancangan sampel 2 tahap di daerah perkotaan. Untuk rancangan sampel 2 tahap, tahap-1 dari kerangka sampel BS dipilih sejumlah BS secara probability proportional to size (PPS) sampling, artinya penentuan banyaknya blok sensus disesuaikan dengan jumlah penduduk secara proporsional. Jumlah blok sensus dalam Riskesdas 2007 adalah 17.150 blok sensus dari 440 kabupaten/kota. Pada tahap-2, dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak sederhana (linear systematic sampling).6 Sampel Riskesdas bidang biomedis adalah seluruh anggota rumah tangga (RT) dari RT terpilih di blok sensus terpilih di daerah urban sesuai Susenas Kor 2007 yang berjumlah 6.474 blok sensus. Jumlah sampel yang diambil adalah 15% daerah urban di Diabetes Melitus Pada Perempuan…(Sri, Raihana ) Indonesia secara systematic random sampling. Besar sampel adalah 15.536 RT dari 971 BS. Jumlah rumah tangga yang terpilih sebanyak 15.536 rumah tangga dan anggota rumah tangga yang diambil sampel gula darahnya berjumlah 24.417 individu laki-laki dan perempuan, setelah dilakukan proses pembersihan data (cleaning data), data yang dapat diolah dan dianalisis adalah berjumlah 7.745 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun).6 HASIL Tabel 1.Gambaran Diabetes Melitus pada perempuan usia reproduksi di Indonesia tahun 2007 Variabel Jumlah Persentase Diabetes melitus DM 276 3,6 NON DM 7.469 96,4 Pada tabel 1. diatas jumlah DM pada perempuan usia reproduksi di Indonesia adalah sebesar 276 orang (3,6%) dan non DM adalah 7.469 orang (96,4%). Tabel 2. Gambaran faktor risiko diabetes melitus pada perempuan usia reproduksi di Indonesia tahun 2007 Variabel Jumlah Persentase 2.294 5.451 29,6 70,4 4.063 3.682 52,5 47,5 2.086 5.659 26,9 73,1 1.293 4.092 2.360 16,7 52,8 30,5 7.535 210 97,3 2,7 Mean (31,82 ) SD (92,67) Obesitas Ya Tidak Aktivitas fisik Kurang Cukup Merokok Ya Tidak Konsumsi lemak Sering Jarang Tidak pernah Konsumsi buah dan sayur Kurang Cukup Umur Tabel 2. diatas menjelaskan gambaran faktor risiko DM pada perempuan usia reproduksi di Indonesia. Perempuan yang mengalami obesitas sebesar 2.294 orang (29,6%) dan tidak obesitas sebesar 5.451 orang (70,4%), kurang aktivitas fisik sebesar 4.063 orang (52,5%) dan cukup aktivitas fisik sebesar 3.682 orang (47,5%), merokok sebesar 2.086 orang (26,9%) dan tidak merokok sebesar 5.659 orang (73,1%), sering konsumsi lemak sebesar 1.293 orang (16,7%) jarang konsumsi lemak sebesar 4.092 orang (52,8%) dan tidak pernah mengkonsumsi lemak sebesar 2.360 orang (30,5%), kurang konsumsi buah dan sayur sebesar 7.535 orang (97,3%) dan cukup konsumsi buah dan sayur 210 orang (2,7%), dan rata-rata usia perempuan usia reproduksi adalah 32 tahun dengan standar deviasi 93 tahun. PEMBAHASAN Gambaran Diabetes Melitus pada perempuan usia reproduksi (15 -49 tahun) Diabetes melitus adalah salah satu penyakit tidak menular yang terjadi karena peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan atau resistensi insulin di dalam tubuh. Diabetes melitus terbagi menjadi 2, pertama tipe yaitu diabetes melitus tipe I (tergantung pada insulin) disebabkan insulin yang dihasilkan oleh pankreas sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak insulin dihasilkan, kebanyakan Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 46 – 51 diabetes tipe 1 adalah anak-anak dan remaja yang pada umumnya tidak gemuk. kedua Diabetes Melitus Tipe II (Tidak Tergantung pada Insulin) jika insulin hasil produksi pankreas tidak cukup atau sel lemak dan otot tubuh menjadi kebal terhadap insulin, sehingga terjadilah gangguan pengiriman gula ke sel tubuh. Diabetes tipe II ini merupakan tipe diabetes yang paling umum dijumpai, juga sering disebut diabetes yang dimulai pada masa dewasa, dikenal sebagai NIDDM (Non Insulin Dependent Diebetes Mellitus) diabetes tipe II terjadi akibat obesitas, aktivitas fisik, diet, pola konsumsi yang tidak sehat, dan lain-lain, oleh karena itu pada tulisan ini akan dibahas mengenai diabetes tipe II.7 Data pada tabel1 menjelaskan bahwa terdapat 3,6% penderita diabetes melitus pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun) di Indonesia. Presentase ini tidak dapat di bandingkan dengan prevalensi DM nasional 5,7% karena pemilihan kriteria individu dan usia berbeda pada penelitian ini dan nasional berbeda. Kriteria nasional yaitu penduduk pria dan wanita diatas ≥ 15 tahun. Namun presentase DM pada perempuan usia reproduksi perlu dicermati dan diwaspadai karena DM yang terjadi pada rentang usia subur dan mengalami kehamilan, oleh karena itu diabetes sebaiknya dihindari sebelum kehamilan. Risiko yang terkait diabetes gestational adalah pra-natal morbiditas dan kematian serta peningkatan kelahiran sesar dan hipertensi yang kronis pada ibu. Wanita dengan diabetes gestational lebih cenderung melahirkan bayi besar yang merupakan alasan mengapa lebih banyak perempuan dengan diabetes gestasional melakukan sesar pada saat persalinan. Wanita dengan diabetes sebelum kehamilan lebih cenderung memiliki bayi dengan cacat bawaan jika kontrol glikemik mereka dibawah optimal selama trimester pertama kehamilan. Dengan demikian sangat penting untuk semua wanita dengan diabetes untuk diberi konseling tentang risiko hiperglikemia dan kehamilan sebelum konsepsi dan untuk wanita dengan diabetes untuk merencanakan kehamilan mereka sehingga untuk mengurangi risiko cacat bawaan pada keturunan mereka. Hingga 50% dari wanita dengan diabetes gestasional terus berkembang diabetes tipe 2 (Weinger, 2009).8 menjadi Gambaran faktor risiko diabetes melitus pada perempuan usia reproduksi (15 – 49 tahun) Diabetes tipe II terbagi menjadi dua yaitu penderita tidak gemuk (non-obese) dan penderita gemuk (obese). Sekitar 80% penderita diabetes tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk. Kelebihan berat badan meningkatkan kebutuhan tubuh akan insulin. Perempuan yang kegemukan memiliki sel-sel lemak yang lebih besar pada tubuh mereka. Diyakini bahwa sel-sel lemak yang lebih besar tidak merespon insulin dengan baik.3,7,9 Obesitas mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian diabetes melitus, 80-85% penderita diabetes tipe 2 mengidap kegemukan. Tentu saja tidak semua orang yang kegemukan menderita diabetes, tetapi penyakit ini mungkin muncul 10-20 tahun kemudian. Dikatakan obesitas jika seseorang kelebihan 20% dari berat badan normal. Pada usia lebih tua (41- 64 tahun), obesitas ditemukan sebagai faktor yang mempercepat peningkatan laju insidensi DM tipe 2.10, 11, 12 Perempuan yang memiliki lemak berlebihan pada batang tubuh, terutama jika itu berada pada bagian perut, lebih mungkin terkena diabetes yang tidak tergantung pada insulin. Ini karena lemak pada organ-organ perut tampaknya lebih mudah diolah untuk memperoleh energi. Ketika lemak diolah untuk memperoleh energi, kadar asam lemak didalam darah meningkat. Tingginya asam lemak di dalam darah meningkatkan resistensi terhadap insulin melalui aksinya terhadap hati dan otot-otot tubuh.9 Perempuan yang obesitas berisiko akan terjadi GDM pada saat kehamilannya, jika tidak diwaspadai hal tersebut akan berdampak kepada ibu dan janin seperti kesulitan selama kehamilan dan persalinan, bayi lahir besar/diabetes keturnan, penyempitan pembuluh darah dan kematian pada bayi. Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan Diabetes Melitus Pada Perempuan…(Sri, Raihana ) tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu, dan kategori kurang apabila kegiatan dilakukan terus-menerus kurang dari 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif tidak mencapai 150 menit selama lima hari dalam satu minggu.2 Beberapa penelitian dewasa ini telah menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki gaya hidup kurang aktif lebih mungkin terkena diabetes dibandingkan mereka yang hidupnya aktif. Diyakini bahwa olahraga dan akitivitas fisik meningkatkan pengaruh insulin atas sel-sel.21Diabetes tipe II ini dapat menurun dari orang tua yang penderita diabetes. Tetapi risiko terkena penyakit ini akan semakin tinggi jika memiliki kelebihan berat badan dan memiliki gaya hidup yang membuat anda kurang bergerak.7 Menurut Tsiara kebiasaan merokok secara mekanisme biologi dapat meningkatkan radikal bebas dalam tubuh yang menyebabkan kerusakan fungsi sel endotel dan merusak sel beta di pankreas.13 Menurut Bustan tahun 1997merokok dimulai sejak umur < 10 tahun ataulebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok makin sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga punya dose-response effect, artinya semakin muda usia merokok, akan semakin besar pengaruhnya. Apabila perilaku merokok dimulai sejak usia remaja, merokok sigaret dapat berhubungan dengan tingkat arterosclerosis. Risiko kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya merokok dan umur awal merokok yang lebih dini. Konsumsi saturated fat yang tinggi menyebabkan timbulnya resistensi insulin dan dislipidemia. Saturated fat dapat menyebabkan resistensi insulin karena perubahan komposisi phospholipid dalam membran sel, perubahan sinyal insulin dapat menghambat sintesis glikogen, atau mekanisme lainnya.14 Orang yang memiliki lemak berlebihan pada batang tubuh, terutama bagian perut lebih memungkinkan terkena diabetes yang tidak tergantung pada insulin. Ini karena lemak pada organ-organ perut tampaknya lebih mudah diolah untuk memperoleh energi. Ketika lemak diolah untuk memperoleh energi, kadar asam lemak di dalam darah meningkatkan resistensi terhadap insulin melalui aksinya terhadap hati dan otot-otot tubuh.9 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bener dkk bahwa ada hubungan yang signifikan antara trigliserida dan HDL dengan kejadian diabetes melitus.10 Orang yang mengkonsumsi lemak jenuh berisiko untuk mengalami DM tipe II. Konsumsi buah dan sayur menurut adalah frekuensi rata-rata dan porsi asupan buah dan sayur responden dalam sehari selama seminggu.15 Buah dan sayur banyak mengandung serat yang berguna untuk menurunkan absorbsi lemak dan kolesterol darah. Pada umumnya, makanana serat tinggi mengandung energi rendah, dengan demikan dapat membantu menurunkan berat badan. Serat makanan adalah polisakarida nonpati yang terdapat dalam semua makanan nabati. Serat tidak dapat dicerna oleh enzim cerna tapi berpengaruh baik untuk kesehatan.16 Pada Studi yang dilakukan terhadap 84.000 perawat wanita yang mulai diteliti oleh peneliti Harvard pada tahun 1980 mendapatkan hubungan antara konsumsi kekacangan dan risiko DM tipe 2. Jika dibandingkan dengan wanita yang jarang makan kacang, mereka yang makan satu sampai dengan 4 ons setiap minggu mempunyai pengurangan 16% insiden DM tipe 2, dan mereka yang makan sedikitnya 5 ons perminggu memperlihatkan pengurangan 27%. Para peneliti berpendapat, bahwa meskipun kekacangan dapat memberikan 80% kalori lemak, lemak itu adalah lemak jenis unsaturated yang dapat mengontrol hormon insulin dan glukosa. Ditemukan bahwa mengkonsumsi serat ≥25 gr per hari mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 dan dapat mencegah kejadian DM tipe 2 sebesar 0,290,42 kali.12 Setelah usia 30 tahun, wanita memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding pria.14,21 Menurut Damayanti wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes melitus tipe 2.20 Proporsi Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 46 – 51 DM lebih tinggi pada wanita sebesar 53.2% dibanding laki-laki sebesar 46.8%.10 5. KESIMPULAN Kesimpulan Persentase DM pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun) adalah 3,6%. Hal ini perlu diwaspadai sebab wanita dengan DM memiliki risiko untuk melahirkan bayi besar. Saran 6. 7. Perlu dilakukan penanganan dan pencegahan DM serta komplikasi yang terjadi akibat DM pada usia reproduksi dengan mempertimbangkan faktor-faktor risiko diabetes seperti obesitas, aktivitas fisik, merokok, konsumsi lemak, kurang konsumsi buah dan sayur, dan usia. 8. UCAPAN TERIMA KASIH 10. Peneliti menyampaikan terima kasih kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Prodi Kesehtan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam proses penelitian ini dilakukan, dan terima kasih peneliti sampaikan juga kepada Kepala Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan Indonesia yang telah menyediakan data-data yang diperlukan demi kelancaran penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. IDF. Women and Diabetes. International Diabetes Federation. 2012.Diunduh dari http://riskesdas.idf.org/women-and-diabetes. Diakses pada tanggal 14 Desember 2012 2. Departemen Kesehatan R.I. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) Indonesia Tahun 2007. 2008. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 3. Dalimartha, Setiawan. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Melitus. 2005. Jakarta:Penebar Swadaya 4. Rivas, Aleida M. Gestational Diabetes Mellitus After Delivery, Gestational Diabetes, Prof. Miroslav Radenkovic. Diunduh dari http://Riskesdas.intechopen. 9. 11. 12. 13. 14. 15. 16. com/books/gestational-diabetes/gestationaldiabetes-mellitus-after-delivery Kieffer EC, Sinco B, Kim C. Health Behaviors among Women of Reproductive Age With and without a History of Gestational Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 2006;29(8):1788-93. Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Pengambilan, Penyimpanan, Pengemasan dan Pengiriman Spesimen Darah. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Sustrani, Lanny dkk. Diabetes. 2006. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama Weinger, Katie; Carver, Catherine A. Educating Your Patient With Diabetes. Springer Journal, 2009. Diunduh darihttp://Riskesdas.springer.com/978-160327-207-0 Ramaiah, Savitri. Diabetes: Cara Mengetahui Gejala Diabetes dan Mendetksinya Sejak Dini. 2008. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Banner, Abdulbari et al. Prevalence of Diagnosed and Undiagnosed Diabetes Mellitus and Its Risk Factors in a PopulationBased Study of Qatar. April 2009; 84(1). Diakses dari http://Riskesdas.diabetes researchclinicalpractice.com/article/S016882 27%2809%2900067-9/pdf Soegondo, Sidartawan. Hidup Secara Mandiri dengan: Diabetes Mellitus, Kencing Manis, Sakit Gula. 2008. Jakarta: FKUI Rahajeng, Ekowati.Risiko Kebiasaan Minum Kopi pada Kasus Toleransi Glukosa Terganggu Terhadap Terjadinya DM tipe 2. 2004. Jakarta: Disertasi FKMUI Pramono, Laurentius Aswin. Prevalensi dan Faktor-faktor Prediksi Diabetes Melitus Tidak Terdiagnosa pada Penduduk Usia Dewasa di Indonesia. 2010. Depok: Tesis FKMUI Soeyono, Slamet. Patofisiologi Diabetes Melitus. Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. 1999. Jakarta: Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo FKUI Departemen Kesehatan R.I.Pedoman Pengisian Kuesioner RISKESDAS 2007. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Almatsier, Sunita. Penuntun Diet. 2006. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri) GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG MENYUSUI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF Mothers Knowledge about Breastfeeding and Its Impact on Exclusive Breastfeeding Yuli Amran1, Vitri Yuli Afni Amran2 1 Program Studi Kesehatan Masyarakat, FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2 Jurusan Kebidanan Universitas Baiturrahmah, Padang 1 Email: [email protected] Abstract Background: Breastfeeding is the best way to promote healthy and qualified human resources. Currently the practice of breastfeeding was still sub-optimal. The coverage was still below the target set by the government. Objective: To identify the knowledge of mothers about breastfeeding and its impact on exclusive breastfeeding practices. Methods: The study used a cross-sectional design, using information from 401 mothers selected using multistage sampling technique. Data were collected using structured interviews. Univariate analysis was performed to describe the variables examined. Results: The results show the low level of knowledge about breastfeeding in mothers in addition to the lack of information/counselling provided by health personnel regarding breastfeeding. This might have adversely affect the quality of breastfeeding, which was reflected by the low coverage of exclusive breastfeeding. Conclusions: Efforts to increase the knowledge of breastfeeding and promote behaviour change in mothers to sub-optimally breastfeed their babies are required. Therefore, the role of health personnel in providing information related to breastfeeding should be enhanced, to obtain the optimal benefits of breastfeeding. Key words: Knowledge about breastfeeding, exclusive breastfeeding, role of health workers Abstrak Latar Belakang: Pemberian ASI merupakan cara terbaik menciptakan sumber daya manusia yang sehat dan berkualitas. Saat ini pemberian ASI belum optimal dan cakupannya masih dibawah target yang ditetapkan pemerintah. Tujuan: Mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang cara menyusui dan dampaknya terhadap pemberian ASI eksklusif. Metode: Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif ini memiliki desain studi cross-sectional. Sampel yang berjumlah 401 ibu ini diambil dengan menggunakan teknik mulstistage sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara terstruktur. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan analisis univariat untuk menggambarkan variabel yang diteliti. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan ibu yang berkaitan dengan menyusui masih dikatagorikan rendah dan informasi/nasihat yang diberikan tenaga kesehatan terkait menyusui ini juga masih kurang. Hal ini diduga berdampak buruk terhadap buruknya kualitas pemberian ASI, yang dibuktikan rendahnya cakupan ASI eksklusif. Kesimpulan: Masih perlu upaya yang keras untuk meningkatkan pengetahuan dan merubah perilaku ibu agar menyusui bayi dengan optimal. Oleh karena itu, diharapkan tenaga kesehatan lebih meningkatkan perannya dalam memberikan informasi terkait ASI agar keberhasilan pemberian ASI bisa optimal. Kata kunci: Pengetahuan menyusui, ASI eksklusif, peran nakes Naskah masuk: 19 Februari 2012, Review: 15 Februari 2012, PENDAHULUAN Berdasarkan pernyataan bersama UNICEF, WHO dan IDAI di Jakarta-Indonesia pada 7 Januari 2005, ada beberapa kebijakan tentang Disetujui terbit: 18 April 2012 pemberian makan pada bayi yaitu 1) memberikan air susu ibu (ASI) segera setelah lahir pada satu jam pertama, 2) Hanya memberikan ASI saja sampai umur enam Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61 bulan, 3) Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) setelah bayi umur enam bulan, dan 4) Tetap memberikan ASI sampai anak umur dua tahun atau lebih.1 Pernyataan di atas menunjukkan bahwa ASI merupakan hal yang penting diberikan pada bayi sejak dia lahir sampai dia berusia dua tahun atau lebih. Pemberian ASI kepada bayi merupakan cara pemberian makanan yang terbaik, terutama disaat bayi berumur kurang dari enam bulan. Hal ini disebabkan karena ASI mengandung banyak manfaat yang dibutuhkan bayi pada enam bulan pertama masa kehidupannya seperti aspek gizi, imunologik, psikologi, kecerdasan, neurologis, ekonomis dan penundaan kehamilan.2 Sebuah penelitian yang dilakukan Demsa (2006) tentang kelangsungan hidup bayi di perkotaan dan pedesaan Indonesia menemukan hasil bahwa faktor dominan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup bayi adalah faktor waktu pemberian ASI. Pada penelitian ini juga disebutkan bahwa bayi yang tidak mendapatkan ASI mempunyai risiko kematian sebesar 26.19 kali dibandingkan bayi yang segera mendapatkan ASI.3 Penelitian lain menunjukkan bahwa durasi pemberian ASI sangat mempengaruhi ketahanan hidup bayi di Indonesia. Pada studi tersebut terbukti bahwa bayi yang mendapatkan ASI selama 6 bulan, memiliki ketahanan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI dengan durasi 4-5 bulan saja. Sementara lain bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi 4-5 bulan mempunyai ketahanan hidup 2.6 kali (1/0.38) lebih tinggi dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi kurang dari 4 bulan.4 Walaupun kampanye tentang pentingnya ASI sudah sering dilakukan oleh pemerintah maupun pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan, namun masih banyak ibu-ibu di Indonesia belum memberikan ASI kepada bayinya secara optimal. Berdasarkan Profil Kesehatan Kesehatan Indonesia tahun 2011 yang bersumber dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2010 menunjukkan bahwa ibu di Indonesia yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya hanya 61.5 persen. Sedangkan khusus Provinsi Banten angka ibu yang memberikan ASI eksklusif hanya 52.7 persen. Padahal pemerintah lewat keputusan Menteri Kesehatan RI No. 450/Menkes/SK/IV/Tahun 2004 tentang Pemberian ASI secara eksklusif pada bayi di Indonesia menetapkan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dan menargetkan cakupan ASI eksklusif sebesar 80 persen. Dapat dikatakan cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia belum mencapai target yang diharapkan. Sebenarnya banyak faktor yang berhubungan dengan keberhasilan pemberian ASI kepada bayi terutama ASI eksklusif. Sebuah penelitian mengatakan ibu yang suaminya mendukung pemberian ASI eksklusif berpeluang memberikan ASI eksklusif 2 (dua) kali daripada ibu yang suaminya tidak mendukung pemberian ASI eksklusif.5 Pada penelitian lain ditemukan pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman ibu adalah faktor predisposisi yang berpengaruh positif terhadap keberhasilan ASI eksklusif. Dari segi faktor pendorong, dukungan tenaga kesehatan yang membantu persalinan paling nyata pengaruhnya dalam keberhasilan ASI Eksklusif.6 Salah satu bentuk dukungan dari tenaga kesehatan penolong persalinan terhadap keberhasilan pemberian ASI adalah menginformasikan kepada ibu tentang pentingnya ASI dan bagaimana menyusui yang benar agar pemberian ASI menjadi lancar. Peningkatan pengetahuan ibu tentang pelaksanaan ASI esklusif sebaiknya dilakukan pada saat ibu menjalani masa kehamilan bukan pada saat ibu sudah melahirkan.6 Tulisan ini adalah bagian dari penelitian tentang pengetahuan ibu tentang menyusui dan dampaknya terhadap pemberian ASI yang bertujuan menjelaskan bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang menyusui dan bagaimana dampaknya terhadap keberhasilan pemberian ASI eksklusif. METODE Penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif ini menggunakan desain crosssectional. Dilakukan di wilayah Kotamadya Tangerang Selatan, Banten pada akhir tahun 2010. Sampel dalam penelitian ini adalah Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri) semua ibu yang mempunyai anak berusia lebih dari enam bulan. Sampel diambil dengan menggunakan metode multistage sampling dengan jumlah 401 ibu. Pada penelitian ini data dikumpulkan dengan mengunakan metode wawancara terstruktur terhadap ibu menyusui. Instrumen yang digunakan adalah panduan wawancara terstruktur yang telah dilakukan uji validitas terlebih dahulu. Sebelum dilakukan analisis data, data yang telah dikumpulkan diolah dengan langkah-langkah yaitu; coding, editing, entry dan cleaning. Data dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan variabel yang diteliti. HASIL Pengetahuan tentang Menyusui Pada penelitian ini digambarkan pengetahuan sekitar menyusui yang meliputi cara menyusui yang benar, tentang cara menyimpan ASI, cara perawatan payudara, posisi menyusui yang benar dan informasi/nasihat yang sudah pernah diterima ibu baik sebelum persalinan atau saat antenatal care maupun pascapersalinan oleh tenaga kesehatan (nakes). Berikut hasilnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi Ibu yang memiliki pengetahuan tinggi tentang menyusui Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui n=401 % Cara Menyusui yang Benar 92 22.9 Posisi Menyusui yang Benar 62 15.5 Cara Mengatasi Putting Datar 23 5.7 Cara Mengatasi Putting Lecet 175 43.6 Cara Mengatasi Payudara Bengkak 31 7.7 Tanda-tanda Radang Payudara 111 27.7 Mengatasi Radang Payudara 154 38.4 Cara Menyimpan ASI yang Benar 24 6.0 Perawatan Payudara Pada tabel 1 diketahui dari 401 ibu yang diwawancarai, hanya 22.9 persen yang pengetahuannya tinggi tentang cara menyusui yang benar. Sementara lain diketahui hanya sebagian kecil (15.5 %) ibu yang memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai posisi menyusui yang benar. Untuk cara mengatasi putting datar hanya 5.7 persen yang punya pengetahuan tinggi, dan untuk cara mengatasi puting lecet hampir separohnya mempunyai pengetahuan tinggi. Terdapat 7.7 persen ibu yang punya pengetahuan tinggi dalam mengatasi payudara bengkak. Ada 27.7 persen ibu yang memiliki pengetahuan tinggi tentang tandatanda radang payudara dan ada 38.4 persen yang memiliki pengetahuan tinggi untuk mengatasi radang payudara. Berdasarkan distribusi yang ditunjukkan pada tabel 1, dikatakan bahwa pengetahuan ibu tentang menyusui masih dalam katagori rendah. Sedangkan pengetahuan tentang cara menyimpan ASI yang benar hanya 6.0 persen yang memiliki pengetahuan tinggi. Berikut ini akan dipaparkan informasi/nasihat yang pernah diperoleh ibu mengenai ASI dari nakes, sebelum persalinan atau saat antenatal care. Pada grafik 1 terlihat sebagian besar ibu yaitu 281 orang (70.1%) pernah mendapatkan informasi/nasihat tentang pemberian ASI oleh nakes sebelum persalinan atau saat antenatal care. Sementara lain informasi/nasihat yang diterima ibu tentang ASI, dari hasil wawancara pada 281 ibu yang mendapatkannya diketahui, tidak sampai separoh ibu yang menerima nasihat/informasi tentang anjuran menyusui sesegera mungkin, cara memberi ASI dan Manfaat ASI. Hanya sebagian kecil ibu yang menerima informasi/nasihat tentang anjuran ibu makan makanan bergizi, ibu merencanakan bersama keluarga untuk memberi ASI, perawatan/ kebersihan payudara dan cara lain untuk Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61 memperbanyak ASI. Hasilnya secara detail dapat dilihat pada tabel 2. Grafik1. Distribusi ibu berdasarkan status menerima informasi/ nasihat dari nakes sebelum persalinan Tabel 2. Nasihat Tentang ASI yang Diberikan Tenaga Kesehatan Nasihat Tentang ASI n = 281 % Agar menyusui sesegera mungkin 111 39.5 Agar memberikan kolestrum 34 12.1 Agar tidak memberikan susu formula 36 12.8 Agar memberikan hanya ASI saja 4-6 bulan 40 14.2 Agar ASI segera 30-60 menit setelah lahir 5 1.8 Agar memberi ASI saja 49 17.4 Semakin sering/lama menyusui, makin banyak ASI 0 0.0 Cara lain untuk memperbanyak/memperlancar ASI 3 1.1 Cara memberi ASI 72 25.6 Agar ibu merencanakan bersama keluarga untuk ASI (segera/ekslusif) 10 3.6 Manfaat ASI untuk bayi, ASI baik, terbaik, dll 63 22.4 Berikan makanan/minuman selain ASI 5 1.8 Perawatan/kebersihan payudara/putting 10 3.6 Agar ibu makan makanan bergizi 21 7.5 Agar ibu makan sayur 13 4.6 Lain-lain 8 2.8 Tidak tahu/lupa 39 13.9 Selanjutnya paparan tentang ibu yang mendapatkan nasihat/informasi tentang ASI setelah persalinan. Diperkirakan ibu akan mendapatkan informasi atau nasihat tentang ASI dari nakes pada saat nakes melakukan kunjungan neonatal atau ibu memeriksakan diri dan bayinya ke tenaga kesehatan setelah persalinan. Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri) Grafik 2. Distribusi Ibu yang Mendapatkan Kunjungan Neonatal Oleh Tenaga Kesehatan Pada grafik 2 terlihat hanya 34 orang Ibu (8.5%) yang mendapatkan kunjungan neonatal oleh nakes. Hal ini dapat dikatakan masih kurangnya kepedulian tenaga kesehatan terhadap keberlangsungan program ASI di masyarakat. Dari ibu yang mendapatkan kunjungan neonatal oleh tenaga kesehatan tujuh hari setelah persalinan diketahui tidak sampai sepertiganya yang mendapatkan cara memberikan ASI dan anjuran menyusui sesegera mungkin. Hanya sebagian kecil atau tidak ada memperoleh nasihat/informasi mengenai anjuran ibu banyak makan sayur, agar memberi ASI saja sampai usia 6 bulan, cara lain memperbanyak ASI dan perawatan payudara. Secara detail hasilnya dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Nasihat tentang ASI yang diberikan Tenaga Kesehatan Saat Kunjungan Neonatal Nasihat tentang ASI n = 34 Agar menyusui sesegera mungkin 8 Agar memberikan kolostrum 4 Agar tidak memberikan susu formula 1 Agar memberikan hanya ASI saja sampai 4-6 bulan 1 Agar ASI segera 30-60 menit setelah lahir 0 Agar memberikan ASI saja 5 Makin sering/lama menyusui, makin banyak Air Susu Ibu 2 Cara lain untuk memperbanyak/memperlancar ASI 2 Cara memberikan ASI 11 Agar ibu merencanakan bersama keluarga untuk ASI (segera/ekslusif) 0 Manfaat ASI untuk bayi, ASI baik, terbaik, dll 2 Berikan makanan/minuman selain ASI 0 Perawatan/kebersihan payudara/putting 1 Agar ibu makan bergizi 0 Agar ibu makan sayur 3 Lain-lain, 0 Tidak tahu/lupa 5 Selanjutnya distribusi ibu yang mendapatkan informasi/nasihat tentang ASI pasca persalinan saat ibu berkunjung ke nakes dapat dilihat pada tabel 4. Pada tabel tersebut % 23.5 11.8 2.9 2.9 0.0 14.7 5.9 5.9 32.4 0.0 5.9 0.0 2.9 0.0 8.8 0.0 14.7 ibu yang datang ke pelayanan kesehatan ada 81.5 %. Dari 81.5 % tersebut hanya 38.8 % yang mendapatkan nasihat tentang ASI. Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61 Tabel 4. Distribusi Informasi Kunjungan Neonatal ke tenaga Kesehatan Informasi kunjungan neonatal ke nakes n % Kunjungan Ke tenaga Kesehatan (n=401) Ya 327 81.5 Tidak 72 18.0 Lupa 2 0.5 Mendapatkan Nasihat/Informasi tentang ASI (n=327) Ya 127 38.8 Tidak 190 58.1 Lupa 10 3.1 Pemberian ASI Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua ibu yang diwawancarai (98.5 %) mengatakan pernah memberi ASI kepada bayi. Sementara 1,5 persen yang lain tidak pernah memberikan ASI kepada bayinya dengan alasan, yaitu :ibu sakit (33.3%), ada masalah payudara (50.0 %), bayi tidak mau (33.3%) dan tidak ada ASI (33.3%) menghisap puting walaupun ASI belum keluar. Hasil penelitian menunjukkan hampir separoh (45,4 %) ibu meletakkan bayi dipayudara ibu untuk menghisap puting dalam waktu ≤ 30 menit. Hasilnya dapat dilihat secara detail pada tabel 5. Tabel 5.Waktu Pertama kali Bayi diletakkan di payudara ibuuntuk menghisap puting (Walaupun ASI belum keluar) Waktu n % 30 menit 182 45.4 31 - 59 menit 43 10.7 60 menit/1 jam 33 8.2 61 menit-23 jam 26 6.5 > 24 jam 75 18.7 Tidak tahu/lupa 15 3.7 Tidak ada jawaban 27 6.7 Total 401 100.0 Pemberian Kolustrum Grafik 3. Gambaran Ibu yang Pernah Menyusui ASI Segera Berikut ini paparan tentang waktu pertama kali bayi diletakkan di payudara ibu untuk Kolustrum merupakan cairan yang pertama kali keluar lewat payudara ibu pascapersalinan yang sangat baik untuk bayi. Dari 395 ibu yang mengatakan pernah menyusui, sebagian besar 345 orang (87.3%) diantaranya pernah memberikan kolustrum pada bayinya. Sementara lain dari 345 orang ibu yang memberikan kolustrum, lebih dari separohnya (67.0%) yang memberikan kolustrum pada bayinya dihari pertama kelahiran. Tabel 6. Pemberian Kolostrum Informasi Pemberian Kolustrum Pemberian Kolustrum (n=395) Ya Tidak Lupa Hari Pertama Beri Kolostrum (n=345) Pertama Kedua Ketiga Lebih dari hari Ketiga n % 345 44 6 87.3 11.1 1.5 231 70 31 13 67.0 20.3 9.0 3.7 Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri) Pemberian ASI Eksklusif Meskipun banyak juga ibu yang memberikan kolustrum kepada bayinya pada tiga hari pertama, namun juga banyak yang memberikan makan selain ASI/kolustrum pada bayi mereka dalam tiga hari pertama pascamelahirkan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 8. Ada 36.9 persen ibu memberikan susu formula. Ada juga yang memberikan madu, air putih, air gula dan buah-buahan. Berarti dapat dikatakan hampir mencapai separoh bayi tidak diberi ASI eksklusif sejak 3 hari pertama kelahirannya. Analisis lebih lanjut mengenai ibu yang tidak memberikan makanan/atau minuman selama tiga hari pertama kelahiran diketahui berjumlah 226 atau 56.3 persen dari total sampel. Namun dari total tersebut ada 175 (77.4%) yang dapat bertahan memberikan ASI eksklusif kepada bayinya selama enam bulan. Dapat dikatakan bahwa dari keseluruhan sampel (401 ibu), yang memberikan ASI eksklusif selama enam bulan hanya ada 43.64 persen. Tabel 7. Makanan/Minuman yang Diberikan Pada Bayi Selama 3 Hari Pertama Setelah lahir Makanan/Minuman n=401 ASI 377 Kolostrum/susu jolong 234 Susu formula 148 Susu (selain ASI & susu formula) 2 Madu 12 Air putih 1 Air teh 0 Air gula 9 Air tajin 0 Jus buah/sayur 0 Pisang dan/atau buah lainnya 3 Lain-lain 1 PEMBAHASAN Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Menyusui Pengetahuan ibu tentang cara menyusui yang benar dapat mendukung bayi mendapatkan ASI secara maksimal. Namun di wilayah Tangerang Selatan, hal itu masih sulit terwujud, dikarenakan pada penelitian ini secara keseluruhan pengetahuan ibu tentang menyusui disimpulkan masih dalam katagori rendah. Kurangnya pengertian dan pengetahuan ibu tentang ASI dan menyusui menyebabkan ibu-ibu akan mudah terpengaruh dan akhirnya beralih menggunakan susu formula7. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan perilaku pemberian ASI eksklusif.8 Pengetahuan ibu yang kurang mengenai posisi menyusui yang benar bisa berdampak ibu sering cepat merasa lelah, puting susu lecet dan nyeri, radang payudara, selain itu bayi juga merasa tidak nyaman. Padahal menurut Pakar Laktasi untuk mendapatkan manfaat optimal dari pemberian ASI % 94.0 58.4 36.9 0.5 3.0 0.2 0.0 2.2 0.0 0.0 0.7 0.2 diperlukan dua syarat utama. Syarat pertama yaitu pemberian ASI harus dilakukan dengan baik sehingga keberhasilan menyusui dapat dicapai. Syarat kedua, pemberian ASI harus dilakukan secara eksklusif minimal selama empat bulan dan maksimal enam bulan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemberian ASI yang baik yaitu yang sesuai kebutuhan. Namun pada penelitian ini tidak banyak ibu yang tahu cara mengatasi permasalahan yang terjadi selama menyusui seperti puting datar, puting lecet, radang payudara, dll. Selain pengetahuan ibu mengenai menyusui yang benar dan tahu bagaimana mengatasi apabila payudara mengalami masalah, pengetahuan tentang menyimpan ASI juga dianggap memegang peranan penting. Kurangnya pengetahuan ibu tentang cara menyimpan ASI berdampak kurangnya asupan ASI bagi bayi yang ibunya bekerja atau berpergian dalam waktu lama. Ibu rumah tangga dan ibu yang menjadi pekerja di rumahnya sendiri menyusui tidak terjadwal tidak merupakan masalah, namun bagi ibu yang bekerja di luar rumah dan harus meninggalkan anaknya lebih dari tujuh Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61 jam ini sangat memberatkan9. Beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara status pekerjaan dengan pemberian ASI secara eksklusif.10,11Jadi dapat disimpulkan apabila ibu bekerja dan ibu tidak tahu cara menyimpan ASI maka akan menjadi permasalahan besar dalam menjalankan program ASI eksklusif. Rendahnya pengetahuan ibu tentang menyusui dirasa wajar karena informasi/nasihat yang diberikan nakes juga dirasa masih kurang. Hanya sebagian kecil saja ibu yang mendapatkan informasi/nasihat terkait menyusui yang benar, perawatan payudara, cara memperbanyak/memperlancar ASI, pemberian ASI segera, kolustrum dan ASI Eksklusif. Padahal dukungan nakes dalam pelaksanaan pemberian ASI terutama ASI eksklusif merupakan hal penting dan merupakan faktor predisposisi yang berpengaruh positif terhadap keberhasilan ASI eksklusif.6 Mengingat pentingnya pengetahuan dalam kelancaran pemberian ASI, oleh karena itu menjadi tanggung jawab ibu untuk mencari informasi berkaitan menyusui dan tenaga kesehatan juga harus proaktif dalam memberikan informasi berkaitan dengan cara menyimpan ASI yang dibutuhkan oleh ibu menyusui. Gambaran Pemberian ASI Menyusui adalah kegiatan alamiah memberikan ASI kepada bayi atau balita dari payudara ibu.12 (Fredregill, 2010). Kegiatan menyusui sangat penting dilakukan, karena dengan menyusui ibu dapat memberikan ASI kepada bayi dan dapat mencukupi kebutuhan nutrisi bayi. Selain itu, menyusui juga memiliki banyak manfaat, baik bagi bayi maupun bagi ibu. Adapun manfaat bagi bayi antara lain adalah mengurangi frekuensi penyakit infeksi, dapat melancarkan pencernaan, memperkecil kejadian kelumpuhan, mengurangi alergi, memperkecil risiko obesitas, dan memperkecil risiko kerusakan gigi. Sedangkan manfaat bagi ibu antara lain mempermudah penurunan berat badan, lebih dekat dan lebih akrab dengan bayi, serta mengurangi risiko kanker payudara.13 (Moore dan De Costa, 2006). Hal yang demikian sepertinya kurang disadari ibu-ibu di Kotamadya Tangerang Selatan. Masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI secara ekslusif kepada bayinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu telah pernah memberikan ASI-nya kepada bayi. Namun kurang dari sebagian total sampel yang memberikan ASI esklusif selama enam bulan. Masalah ini diduga akibat kurangnya pengetahuan ibu tentang manfaat ASI, maupun teknik menyusui. Padahal cara menyusui yang benar akan membantu bayi dalam menyusu sehingga proses produksi ASI akan berjalan dengan baik. Sebuah penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara teknik menyusui dengan keberhasilan pemberian ASI eksklusif.14 penelitian lain juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna status perolehan informasi tentang ASI dan MP-ASI terhadap Pemberian ASI.15 Terkait pemberian ASI, telah dijelaskan juga pada subbab hasil di atas bahwa ibu yang memberikan ASI segera setalah lahir (≤ 30 menit) ada sebanyak 45.4 persen. Angka ini cukup besar, namun masih kurang dari separoh ibu yang melakukan ASI segera (Immediate Breastfeeding). Padahal apabila bayi pada usia kurang dari 30 menit segera disusukan pada ibunya, itu berarti tidak sekedar memberikan nutrisi yang bermanfaat pada bayi, tetapi juga belajar menyusui guna mempersiapkan payudara ibu mulai memproduksi ASI. Hal ini disebabkan perasaan senang yang timbul saat melihat bayi dan kepuasaan dapat menyusui akan merangsang kelenjer hipofise posterior mengeluarkan hormone oksitosin untuk mempercepat pengeluaran ASI. Selain itu gerakan untuk menghisap pada bayi baru lahir akan mencapai puncaknya pada waktu berusia 20-30 menit, sehingga apabila terlambat menyusui bisa saja refleks tersebut akan berkurang dan melemah.16,17 Selain ASI segera (Immediate Breastfeeding) yang dianjurkan untuk dilaksanakan oleh ibu menyusui, pemberian kolustrum juga merupakan hal penting untuk dijadikan fokus perhatian ibu untuk diberikan pada bayi. Kolustrum mengandung zat gizi dan kekebalan yang sangat dibutuhkan oleh bayi. Keberhasilan responden memberikan kolustrum dapat mempengaruhi praktik pemberian ASI eksklusif selanjutnya.15 Pada penelitian ini terdapat 87.3 persen ibu memberikan kolustrum pada bayinya dan 67.0 persen diantaranya memberikan pada Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Menyusui…( Yuli, Vitri) hari pertama kelahiran. Capaian pemberian kolustrum ini cukup memuaskan walau belum semua ibu yang memberikan kolustrum pada bayinya. Capaian angka pemberian ASI segera dan kolustrum yang cukup memuaskan ini tidak diiringi kesuksesan dalam pemberian ASI eksklusif. Hampir separuh bayi tidak ASI eksklusif sejak 3 hari pertama masa kelahiran. Selanjutnya kurang dari separoh total sampel yang bertahan memberikan ASI eksklusif sampai enam bulan. Hal ini senada dengan hasil penelitian Fikawati & Syafiq bahwa responden yang tidak ASI eksklusif telah memberikan makanan/minuman prelakteal dalam 3 hari pertama setelah bayi dilahirkan. Di samping itu pada penelitian juga ditemukan bahwa kegagalan pelaksanaan ASI eksklusif yang telah dimulai sejak 3 hari pertama kelahira tersebut, diduga disebabkan oleh faktor lain di luar pengetahuan ibu yang mempengaruhi kegagalan ASI eksklusif 16 Selain faktor pengetahuan yang berperan dalam kegagalan ASI esklusif ini, faktor kurangnya dukungan nakes juga mengambil andil dalam kegagalan tersebut. Dukungan nakes berupa memberikan informasi/nasihat berkaitan cara menyusui itu sangatlah penting agar ibu tahu betul bagaimana cara menyusui yang baik. Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan yang paling tepat untuk penyuluhan ASI eksklusif terutama di daerah pedesaan, karena bidan sering berhubungan dengan sasaran penyuluhan pada saat memberikan pelayanan kepada ibu hamil dan penolong persalinan.15 Pada penelitian ini ditemukan peran tenaga kesehatan dalam mendukung program pemberian ASI masih rendah. Hanya sebagain kecil saja ibu yang mendapatkan informasi tentang ASI dari tenaga kesehatan. Hal ini didukung oleh UNICEF (2006), yang menyatakan bahwa promosi pemberian ASI masih terkendala oleh rendahnya pengetahuan ibu tentang manfaat ASI dan cara menyusui yang benar, kurangnya pelayanan konseling laktasi dari petugas kesehatan, periode cuti yang terlalu singkat bagi ibu yang bekerja, persepsi sosial budaya dan gencarnya produsen susu formula mempromosikan produknya kepada masyarakat dan petugas kesehatan. Penelitian Fikawati & Syafiq (2009) menunjukkan bahwa dukungan tenaga kesehatan penolong persalinan paling nyata pengaruhnya dalam keberhasilan ASI eksklusif. Oleh karena itu, pada penelitian tersebut direkomendasikan untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang pelaksanaan ASI eksklusif pada saat antenatal care dan bukannya setelah persalinan. Sebuah penelitian lain juga menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan informasi tentang ASI dan MP ASI pada waktu kehamilan ternyata mereka yang memberikan ASI secara eksklusif proporsinya lebih besar dibandingkan yang tidak mendapatkan informasi.15 Sementara lain rekomendasi pakar terkait dukungan pemberian ASI eksklusif 6 bulan adalah perlu kebijakan cuti untuk menyusui, undang-undang pemasaran susu formula, sanksi untuk iklan susu formula, sanksi untuk bidan yang memberikan dan mengenalkan susu formula kepada bayi, dan peningkatan kualitas ante-natal care.18 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari tulisan ini disimpulkan bahwa pengetahuan ibu berkaitan menyusui masih dikatagorikan rendah, dan informasi yang diperoleh ibu dari nakes baik sebelum maupun sesudah persalinan terkait menyusui juga masih dikatagorikan sedikit. Hal ini diduga mempunyai dampak yang buruk terhadap pemberian ASI kepada bayi. Dari 98.5 persen ibu yang menyusui hanya kurang dari separoh ibu yang segera (≤30 menit) memberikan ASI kepada bayinya pascapersalinan, namun yang memberikan kolustrum cukup banyak. Pemberian ASI segera dan kolustrum tidak cukup membuat ibu bertahan memberikan ASI eksklusif. Hal ini dibuktikan pada tiga hari pertama pascapersalinan hampir separoh ibu sudah memberikan makanan selain ASI kepada bayi, seperi memberikan susu formula, madu, air putih dan air gula. Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan agar tenaga kesehatan terus berupaya melakukan promosi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan ibu Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 3 No 1, April 2013 : 52 – 61 berkaitan dengan perawatan payudara dan menyusui yang benar, dengan harapan keberhasilan dalam pemberian ASI dapat tercapai secara optimal. 9. 10. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak Dinas Kesehatan Kotamadya Tangerang Selatan yang telah memberikan izin dan mendukung terlaksananya pengumpulan data penelitian ini. 11. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. UNICEF, WHO, dan IDAI. Rekomendasi tentang Pemberian Makanan Bayi pada Situasi Darurat, Pernyataan Bersama UNICEF, WHO dan IDAI 7 Januari 2005. 2005. Jakarta Depkes RI. Buku Panduan Manajemen Laktasi: Dit. Gizi Masyarakat-Depkes RI. 2001. Jakarta: Depkes RI Simbolon, Demsa. Kelangsungan Hidup Bayi di Perkotaan dan Pedesaan Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Agustus 2006; 1(1):3-10 Nurmiati dan Besral. Pengaruh Durasi Pemberian ASI terhadap Ketahanan Hidup Bayi di Indonesia. Makara Kesehatan, Desember 2008; 12(2):47-52 Ramadani, Mery dan Hadi, Ella Nurlaela. Dukungan Suami dalam Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Air Tawar Kota Padang, Sumatera Barat, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Juni 2010, 4(6):269 – 274 Fikawati, Sandra dan Syafiq, Ahmad. Penyebab Keberhasilan dan Kegagalan Praktik Pemberian ASI Eksklusif. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 2009; 4(3): 120-131 Siregar, Arifin. Pemberian ASI Eksklusif dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. 2004. Sumatera Utara: USU Widyastuti, Dwi. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi Usia 0-4 Bulan di Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat. 2004. Depok: Skripsi Program Sarjana, 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Soetjiningsih. Persepsi dan Perilaku Menyusui di Bali. Majalah Kedokteran Indonesia, Juni 1993; 43(6) Budiwiarti, Endang. Hubungan Pemberian Minuman Prelakteal Dengan Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu-Ibu Pengunjung Klinik Laktasi Anak RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo Jakarta. 1999. Depok: Skripsi Program Sarjana, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Soeparmanto, Paiman dan Rahayu, Solehah Catur. Hubungan antara Pola Pemberian ASI dengan Faktor Sosial, Ekonomi, dan Perawatan Kesehatan. 1999. Diunduh dari http://www.tempo.co.id/medika/arsip/082001 /art-3.htm. Diakses pada tanggal 8 Desember 2012 Fredregill, Suzanne dan Fredregill, Ray. The Everything Breastfeeding Book (2nd ed) 2010. USA: F+W Media Inc Moore, Michele C. dan De Costa, Caroline M. Pregnancy and Parenting After ThirtyFive: Mid Life, New life. 2006. USA: The Johns Hopkins University Press Rumpiati. Hubungan antara Teknik Menyusui dengan Keberhasilan Laktasi pada Ibu Nifas Primipara di Wilayah Puskesmas Kaibon Kab. Madiun. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, Januari 2012; 3(1): 10-16 Hermina dan Afriansyah, Nurfi. Hubungan Praktik Pemberian ASI Eksklusif Dengan Karakteristik Sosial, Demografi dan Faktor Inforasi Tentang ASI dan MP-ASI (Studi di Kota Padang dan Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Oktober 2010; 13(4):353-360 Fikawati, Sandra dan Syafiq, Ahmad. Hubungan antara Menyusui Segera (Immediate Breastfeeding) dan Pemberian ASI Eksklusif sampai dengan Empat Bulan. Jurnal Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus 2003; 22(2) Akre J. Infant Feeding: The Physiological Basis. Bull World Health Organ, 1989; 67(Suppl): 1-108 Fikawati, Sandra dan Syafiq, Ahmad. Kajian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini di Indonesia. Makara Kesehatan, Juni 2010; 14(1):17-24