Kajian Rumput Laun Sebagai Sumber Serat

advertisement
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Minuman berserat merupakan salah satu minuman yang digemari saat ini.
Selain sebagai sumber serat juga berfungsi sebagai suplemen makanan. Minuman
ini dikemas dalam kemasan praktis dan menarik sehingga sangat menarik minat
konsumen. Dalam penyajiannya dapat langsung ditambah air, diaduk dan siap
diminum atau didinginkan terlebih dahulu. Ada juga yang menyajikan setelah
diolah dalam berbagai rasa dan tambahan bahan makanan lainnya. Penelitian yang
dilakukan Qomari (2003), menyimpulkan bahwa sebanyak 53 % responden dari
100 orang memilih minuman berserat adalah untuk mendapatkan manfaat dari
serat yang dikandungnya.
Salah satu sumber serat yang digunakan diantaranya berasal dari jenis
tumbuhan Plantago ovata dan Inulin Chicory. Serat pada minuman ini berfungsi
membantu pencernaan manusia, membantu diet, dan lain-lain sehingga
masyarakat menyakini bahwa dengan mengkonsumsi minuman berserat dapat
memperlancar ekskresi, mengurangi masalah wasir, gangguan pencernaan sampai
mencegah penyakit jantung yang semuanya bersumber pada kesehatan
pencernaan.
Serat mempunyai banyak manfaat kesehatan serta mempunyai kemampuan
mencegah berbagai macam penyakit yang berhubungan dengan sistem pencernaan
manusia, seperti konstipati (sulit buang air besar), diverticulosis (bintil-bintil pada
dinding usus), hameorhoid (ambeien), tumor dan kanker pada saluran pencernaan,
serta usus buntu. Selain itu serat pangan juga memiliki sifat mengikat bahan
organik lain, misalnya asam empedu, kemudian terbuang bersama feses. Dengan
proses pengikatan tersebut maka jumlah asam empedu akan berkurang sehingga
perlu dibentuk asam empedu baru. Asam empedu baru dibentuk dari kolesterol
yang terdapat di dalam darah, dengan demikian konsentrasi kolesterol dalam
darah akan menurun (Matz, 1972).
Serat pangan memiliki daya serap air yang tinggi, karena ukuran
polimernya besar, strukturnya kompleks dan banyak mengandung gugus hidroksil
namun tergantung pada jenis polisakaridanya. Komponen yang terbanyak dari
serat makanan (dietary fiber) ditemukan pada dinding sel tanaman. Komponen ini
termasuk senyawa structural seperti selulosa, hemiselulosa, pectin dan Lignin
(Southgate, 1982).
Rumput laut merupakan salah satu jenis tanaman laut yang kaya
polisakarida dengan kandungan serat pangan cukup tinggi, selain itu rumput laut
adalah komoditas hasil perikanan yang sedang ditingkatkan pemanfaatannya. Hal
ini dikarenakan banyak sekali manfaat yang dapat dihasilkan dengan cara
mengoptimalkan seluruh potensi rumput laut yang ada. Beberapa jenis rumput
laut yang bermanfaat bagi manusia adalah dari jenis rumput laut merah dan coklat.
Menurut Mabeu dan Fleurence (1995), kandungan
serat
pangan total pada
rumput laut berkisar antara 25 - 75 % dan kandungan serat pangan larut air
antara 51 - 85 % (bk). Menurut Davidson dan Donald (1998), serat pangan larut
ini diperlukan untuk membentuk gel yang viscous pada saluran usus manusia dan
rumput laut merupakan sumber serat larut yang baik. Jenis rumput laut coklat
(Sargassum sp)
selulosa.
memiliki komponen serat yaitu laminaran, alginat, fucan,
Sedangkan
jenis
rumput laut
merah (Eucheuma cottonii dan
Glacilaria sp) memiliki komponen serat yaitu sulphate galactans (karagenan
dan agar), xylans, mannans dan selulosa (Escrig & Muniz, 2000).
Eucheuma cottonii sebagai penghasil karagenan mempunyai kandungan
serat
pangan total sebesar 78,94 %, bk (Astawan et al. 2004).
Sedangkan
menurut Ristanti (2003), kandungan serat pangan tidak larutnya adalah 52,4 %;
serat pangan larut adalah 30,8 % dan total serat pangan adalah 83,2 % (bk).
Yunizal (2004) dalam penelitiannya menyatakan untuk jenis Sargassum sp dan
Glacilaria sp, masing-masing sebagai penghasil alginat dan agar, mempunyai
kandungan serat berturut-turut adalah 28,39 % dan 8,92%. Komposisi kandungan
serat tersebut berasal dari rumput laut yang dihasilkan dari Kepulauan Seribu.
Selain kandungan serat pangan, rumput laut juga mengandung kadar iodium yang
cukup tinggi, sekitar 0,1 – 0,15 % pada Eucheuma (Winarno, 1990). Menurut
Ristanti (2003), kadar iodium Eucheuma cottonii sebesar 51,3 ug/g. Hal ini
dibuktikan dengan rendahnya masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
(GAKI) di negara Jepang dan China yang erat kaitannya dengan kebiasaan
masyarakatnya mengkonsumsi rumput laut dalam jumlah banyak.
2
Keunggulan lain dari produk rumput laut ini menurut Januar et al. (2004)
adalah rumput laut mempunyai sifat sebagai zat antioksidan yang cukup potensial
karena mengandung senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang tinggi.
Menurut Ireland et al. (1993) dalam Januar et al. (2004), hasil riset bahan
alam dari laut tahun 1977 – 1987, menunjukkan bahwa 30 % dari 2500 produk
alam laut yang bersifat bioaktif merupakan produk dari rumput laut. Pada rumput
laut coklat terkandung senyawa algin yang memiliki banyak khasiat biologi dan
kimiawi seperti dapat digunakan pada pembuatan obat anti bakteri, anti tumor,
penurunan tekanan darah dan mengatasi gangguan kelenjar (Anon dalam
Darmawan et al. 2004).
Mengingat pentingnya peranan serat untuk kesehatan pencernaan, maka
penggunaan rumput laut sebagai sumber serat dalam minuman berserat
merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya memenuhi
kebutuhan tubuh akan serat. Selain itu untuk meningkatkan manfaat dan
menganeka ragamkan (diversifikasi) jenis olahan rumput laut. Oleh karena itu,
maka perlu dilakukan kajian tentang pemanfaatan rumput laut sebagai sumber
serat alternatif untuk minuman berserat.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode pengolahan rumput
laut sebagai sumber serat alternatif untuk minuman berserat.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat fisik-kimia
tepung rumput laut jenis Eucheuma cottonii, Glacilaria sp dan Sargassum sp
sebagai bahan baku minuman berserat yang alami, dan mengkaji pemanfaatan
tepung rumput laut yang dihasilkan untuk minuman berserat.
3
II. Tinjauan Pustaka
2.1. Rumput Laut
Rumput laut adalah bentuk poliseluler dari ganggang (algae) yang hidup di
laut dan tergolong dalam divisi Thallophyta. Tanaman ini tidak mempunyai akar,
batang dan daun seperti lazimnya tanaman tingkat tinggi. Struktur tanaman secara
keseluruhan merupakan batang yang dikenal sebagai thallus (Guhardja, 1981).
The International Code of Botanical Nomenclatur membagi ganggang menjadi 4
kelas, yaitu ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang biru (Cyanophyceae),
ganggang merah (Rhodophyceae) dan ganggang coklat (Phaeophyceae). Dari ke
4 kelas tersebut, hanya ganggang merah dan coklat yang mempunyai nilai
ekonomi cukup berarti dalam perdagangan. Gambar 1 menyajikan klasifikasi
rumput laut dengan hasil ekstraksinya.
Kelas :
Chlorophyceae
(Ganggang hijau)
Cyanophyceae
(Ganggang biru)
Rumput Laut
Phaeophyceae
(Ganggang coklat)
Rhodophyceae
(Ganggang merah)
Genus :
Ascophyllum laminaria
Macrocystis
Glacilaria
Gelidium
Chondrus Furcellaria
Eucheuma
Gigartina
Ekstraksi :
Algin (Alginat)
Agar-agar
Karagenan Furcellaran
Gambar 1. Bagan Klasifikasi Rumput Laut (Moirano, 1977)
Jenis rumput laut coklat yang terdapat di perairan Indonesia ada 28 species
yang berasal dari 6 genus yaitu Sargassum, Turbinaria, Padina, Dictyota,
Hormophysa dan Hydroclathrus. Sedangkan jenis yang potensial sebagai
penghasil alginat di Indonesia adalah jenis-jenis Sargassum polycystum
J.G.Agardh, Sargassum crassifolium J.A. Agardh, Turbinaria conoides (J.C.A.G)
Kuetzing dan Hormophysa triquetra (Yunizal, 2004). Hampir semua jenis ini
hidup di laut dan melekat pada suatu substrat yang keras. Cadangan makanannya
terutama berupa karbohidrat yang disebut laminarin. Rumput laut jenis ini
dijumpai hampir semua lautan
dengan
kedalaman tidak lebih dari 20 m
(Mc Connaugey, 1970). Sargassum sp memiliki ciri-ciri tergolong dalam bentuk
thallus yang umumnya silindris atau gepeng, cabangnya rimbun menyerupai
pohon di darat, bentuk daun melebar, lonjong atau seperti pedang, mempunyai
gelembung udara, panjangnya mencapai 7 meter dan warna thallus umumnya
coklat (Aslan, 1991).
Rhodophyceae terdiri dari jenis-jenis yang sangat komplek. Tempat
tumbuhnya berupa batuan atau karang, terutama di daerah pasang surut dan dapat
hidup sampai kedalaman 170 m dari permukaan
laut (Mc Connaugey, 1970).
Mc Hugh dan Lanier (1983) menyatakan jenis ini lebih tersebar daripada
ganggang coklat, beberapa speciesnya dapat tumbuh di daerah tropic. Demikian
juga bentuk thallus dari ganggang ini lebih kecil jika dibandingkan dengan
ganggang coklat. Eucheuma cottonii yang berasal dari kelas Rhodophyceae
(ganggang merah) tumbuh subur pada kedalaman sekitar 130 meter dari
permukaan laut. Semakin dalam tempat tumbuhnya maka warnanya akan semakin
cerah, beberapa lainnya ada yang berwarna agak coklat atau hijau (Susanto
et al. 1978). Permukaan thallus licin kadang-kadang terdapat tonjolan yang
berupa setengah lingkaran bola. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 cm, cabang
tidak beraturan, tumbuh di bagian yang muda maupun yang tua. Diameter thallus
ke arah ujung kelihatan sedikit lebih kecil dibandingkan dengan pangkalnya.
Thallus mengembung atau membentuk bulatan jika terdapat bekas luka sebagai
regenerasi
cabang
(Dotv,
1973).
Sedangkan
Glacilaria
sp,
umumnya
pertumbuhannya lebih baik ditempat dangkal. Substrat tempat melekat berupa
batu, pasir dan lumpur. Glacilaria sp memiliki cir-ciri kerangka tubuh berbentuk
5
silindris atau gepeng dengan percabangan, warna beragam dan substansi kerangka
tubuh tanaman menyerupai gel atau lunak seperti tulang rawan (Aslan, 1991).
Di Indonesia, daerah penghasil rumput laut yang besar adalah Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa tenggara Timur dan Maluku. Daerah penghasil lainnya
yaitu Sumatera Barat, DI Aceh, Pantai Jawa sebelah selatan, Kepulauan Seribu,
Karimun Jawa, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.
Selain produksi laut, sekarang rumput laut sudah dibudidayakan diantaranya ada
di Bali, NTB, Sulawesi Selatan untuk jenis Eucheuma. Sedangkan untuk jenis
Glacilaria diantaranya ada di Lamongan, Jawa Timur, Pangkep dan Sulawesi
Selatan. Rumput laut dibudidayakan di pantai yang terhindar dari ombak kuat, air
harus jernih, bebas dari limbah industri atau bahan pencemar lain seperti oli serta
jauh dari muara sungai. Kadar garam optimal adalah 30– 34 permil dengan suhu
air 27 – 32 oC, pH 6 – 8,5 (Angka & Suhartono, 2000). Data produksi rumput
laut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Produksi Rumput Laut, 1999-2004
Tahun
Volume (ton)
1999
133.720
2000
2.937
2001
212.478
2002
223.080
2003
231.927
2004
397.964
Sumber : Statistik Perikanan Budidaya Indonesia, 2005.
2.2. Komposisi Kimia Rumput Laut
Kualitas rumput laut di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya,
suhu, musim, kadar garam, gerakan air dan zat hara. Cahaya, suhu, pH dan unsur
hara akan berpengaruh terhadap berlangsungnya fotosintesa. Fotosintesa
merupakan proses perubahan zat anorganik menjadi zat organik, sehingga faktorfaktor tersebut di atas secara tidak langsung akan menentukan kandungan protein,
lemak, serat kasar dan karbohidrat rumput laut (Kadi et al. 1988). Menurut
Winarno (1990), komposisi kimia rumput laut bervariasi tergantung pada spesies,
tempat tumbuh dan musim. Sebagai sumber gizi, rumput laut memiliki kandungan
karbohidrat (gula atau vegetable gum), protein, sedikit lemak dan abu yang
6
sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Vegetable gum
yang dikandungnya merupakan senyawa karbohidrat yang banyak mengandung
selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim
dalam tubuh, sehingga dapat menjadi makanan
diet dengan sedikit kalori
(Suwandi et al. 2002).
Kandungan air rumput laut segar, sama seperti tanaman pada umumnya,
yaitu sekitar 80 – 90 % dan setelah pengeringan dengan udara menjadi 10 – 20 %
(Ito et al. 1989). Komposisi kimia Eucheuma cottonii dalam keadaan segar
menurut Astawan et al. (2004) dan Ristanti (2003) dapat dilihat pada Tabel 2.
Sedangkan kandungan kimia tepung rumput laut Eucheuma cottonii menurut
Ristanti (2003) dan Sihombing (2003) disajikan pada Tabel 3. Jenis alga merah
lainnya yaitu Glacilaria sp, komposisi kimia disajikan pada Tabel 4. Dalam
penggunaannya, jenis rumput laut ini dapat digunakan sendiri atau dicampur
dengan Glacilaria tambak (budidaya) untuk mendapatkan hasil ekstrak agar yang
lebih baik.
Table 2. Komposisi kimia Eucheuma cottonii segar (berat kering)
Zat gizi
Astawan et al. (2004)
Ristanti (2003)
Kadar abu (%)
Kadar protein (%)
Lemak (%)
Kadar karbohidrat (%)
Serat pangan tidak larut air (%)
Serat pangan larut air (%)
Serat pangan total (%)
29,97
5,91
0,28
63,84
55,05
23,89
78,94
2,7
4,3
2,1
90,9
52,4
30,8
83,2
Tabel 3. Komposisi kimia tepung rumput laut Eucheuma cottonii (berat kering)
Zat gizi
Ristanti (2003)
Sihombing (2003)
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar protein (%)
Kadar lemak (%)
Kadar karbohidrat (%)
Serat pangan larut air (%)
Serat pangan tidak larut air (%)
Serat total (%)
Kadar iodium (ug/g)
23,3 (bb)
15,4
8,5
0,8
75,4
30,8
60,5
91,3
19,4
26,5 (bk)
5,1
5,4
1,5
38,8
43,2
82,0
54,6
7
Tabel 4. Komposisi kimia rumput laut Glacilaria sp
Komposisi
Jumlah ( % )
Kadar air
Kadar abu
Kadar lemak
Kadar protein
Karbohidrat
Serat Kasar
Sumber : Yunizal (2004).
9,38
32,76
0,68
6,59
41,68
8,92
Selain kandungan gizi, menurut Winarno (1990), rumput laut merah sangat
kaya akan trace element terutama iodium. Kandungan iodium bervariasi antar
spesies dan habitat rumput laut. Secara umum, konsentrasi trace element dari
rumput laut lebih tinggi daripada tumbuhan (Ito et al. 1989). Menurut Rai (1996)
kandungan iodium tumbuhan laut umumnya tinggi yaitu sekitar 2.400 sampai
155.000 kali lebih banyak dibandingkan kandungan iodium sayur-sayuran yang
tumbuh di daratan.
Menurut Suryaningrum (1988), rumput laut Eucheuma cottonii potensial
sebagai penghasil karagenan dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan.
Karagenan terdiri dari 2 senyawa utama, yaitu senyawa sulfat yang bersifat
hidrophilik dan mampu membuat cairan menjadi kental, dan senyawa 3,C-6
anhidrogalaktosa yang mampu membentuk gel dan bersifat hidrophobik. Jenis
karagenan yang dihasilkan adalah kappa-karagenan, dengan sifat-sifatnya antara
lain yaitu garam natriumnya akan larut seluruhnya dalam air dingin, larut pada
suhu 70 oC, membentuk gel dengan ion kalium, stabil pada pH netral dan alkali,
sedangkan pada pH asam akan
terhidrolisa dan larut dalam susu panas
(Istini et al. 1986).
Senyawa kimia yang banyak terdapat pada rumput laut coklat adalah alginat,
sedangkan senyawa kimia lain dalam jumlah yang relatif sedikit diantaranya
laminaran, fukoidin, selulosa, manitol dan senyawa bioaktif lainnya. Senyawa
komplek diterpenoid dan terpenoidaromatik juga terdapat pada rumput laut coklat
jenis Sargassum natans. Meskipun tidak sama tetapi secara kimiawi kedua
senyawa tersebut sama dan dinamakan sarganin A dan sarganin B yang keduanya
bercampur membentuk kompleks sarginin. Berdasarkan hasil uji sensitifitasnya,
senyawa ini tergolong dalam antimikroba spektrum luas. Genus-genus alga coklat
8
yang telah diketahui kelimpahan dan penyebarannya sebagai penghasil zat
antibakteri adalah Cystoseira, Dictyota, Sargassum dan semua species lumut
besar dan lumut batu di peraitan dingin. Disamping itu rumput laut coklat juga
mengandung protein, lemak, serat kasar, vitamin dan zat anti bakteri serta mineral
(Yunizal, 2004). Tabel 5 menyajikan komposisi kimia rumput laut jenis
Sargassum sp.
Tabel 5. Komposisi kimia rumput laut Sargassum sp
Komposisi
%
Kadar air
Kadar abu
Kadar lemak
Kadar protein
Karbohidrat
Serat Kasar
Iodium (ug/g)
Kalium (ug/g)
Sumber : Yunizal (2004).
11,71
34,57
0,74
5,53
19,06
28,39
0,1 – 0,8
6,4 – 7,8
Setiap jenis rumput laut mempunyai pigmen khlorofil a dan beta-karoten,
serta pigmen khasnya. Pada rumput laut coklat terdapat pigmen santofil,
violasantin, fukosantin, flavosantin, neosantin A dan B. keberadaan pigmen
fukosantin pada rumput laut coklat menutupi pigmen lainnya dan memberikan
warna coklat (Yunizal, 2004).
Pemanfaatan rumput laut sangat luas, yaitu sebagai makanan (pangan dan
gizi), farmasi, kosmetika, pakan, pupuk dan industri lainnya. Senyawa bioaktif
dari rumput laut telah banyak diekstraksi, diidentifikasi dan dieksplorasi. Hasil
riset bahan alam dari laut tahun 1977–1987, menunjukkan bahwa 30 % dari 2500
produk alam laut yang bersifat bioaktif merupakan produk dari rumput laut
(Ireland et al.1993 dalam Januar et al. 2004).
2.3. Pengeringan dan Penepungan Rumput Laut
Untuk meningkatkan mutu rumput laut, sebaiknya rumput laut diberi
perlakuan pencucian. Pencucian dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang
melekat pada rumput laut sehingga diperoleh rumput laut yang bersih. Setelah
proses pencucian, rumput laut direndam dalam air tawar dengan perbandingan
9
1 : 10 selama 2 – 8 jam selanjutnya direndam dalam larutan kapur sirih 1%, hal ini
selain untuk menghilangkan bau amis juga untuk mendapatkan rumput laut yang
aseptis dan memiliki tekstur yang lebih kenyal ( Peranginangin et al. 2003).
Selanjutnya
dilakukan
proses
pengeringan
dan
penepungan
untuk
mendapatkan tepung rumput laut matang siap pakai dengan mutu yang
diinginkan. Pada tahun 1997, Chan et al.
melakukan penelitian mengenai
pengaruh 3 metode pengeringan, yaitu pengering matahari, pengering oven dan
pengering beku (Freeze-drier), terhadap komposisi nutrisi rumput laut jenis
Sargassum hemyphyllum. Pada pengering oven menggunakan suhu 60 oC selama
15 jam. Hasil yang didapat menyatakan bahwa dengan pengering oven terjadi
kehilangan nilai gizi yang lebih besar dibanding dengan pengering beku tetapi
metode oven lebih baik dibanding dengan pengering matahari. Lebih jauh
dikatakan bahwa pengering beku memerlukan biaya yang lebih tinggi. Pemilihan
metode pengeringan dapat disesuaikan dengan kegunaan selanjutnya, apakah
untuk makanan, obat, pakan atau lainnya. Selanjutnya dilakukan penepungan
dengan ukuran lubang 1 mm. Urbano dan Goni (2002) dalam penelitiannya
mengeringkan
rumput laut dengan suhu 60oC selama 16 jam. Selanjutnya
dilakukan penepungan dan pengayakan dengan ukuran lubang 0,5 mm.
Sedangkan Wong dan Cheung (2000) melakukan pembekuan terlebih dahulu
kemudian pengeringan rumput laut dengan menggunakan alat pengering beku
(Freeze-drier) selama 5 hari.
Rumput laut kering kemudian digiling
(penepungan) dan diayak dengan ukuran lubang 0,5 mm.
Saloko et al. (2006) membuat alat pengering modifikasi berupa oven
pengering tipe lemari (cabinet dryer) dengan dimensi luar (0,8 × 0,75 ×1,7) m dan
dimensi ruang pengering (0,75 ×0,6 × 1,3) m. Oven tersebut memiliki lima rak
pengering dengan kapasitas 40 kg serat karagenan. Kebutuhan listrik alat tersebut
sebesar 1000 W dan tegangan 220 V. Oven tersebut juga dilengkapi dengan alat
pengatur suhu otomatis (0-400°C) serta kipas dengan kecepatan putaran 2400 rpm
dan daya 100 W. Proses pengeringan rumput laut menggunakan oven tersebut
pada suhu 50 °C selama 6 jam, yang dilanjutkan dengan penggilingan dan
pengayakan secara manual (dengan pengayak 100 mesh), menghasilkan tepung
rumput laut yang berkadar air sekitar 11,5%, pH 7,3, dan berwarna putih khas
10
tepung. Ciri-ciri tersebut sesuai dengan standar mutu perdagangan. Selain itu,
proses pengeringan pada kondisi tersebut juga cukup efisien dari segi penggunaan
energi listrik.
2.4. Serat Pangan
Pada awalnya, serat hanya dianggap sebagai senyawa yang inert secara gizi,
hal ini didasarkan bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil
fermentasinya tidak dapat digunakan oleh tubuh dan hanya dianggap sebagai
sumber energi yang tidak tersedia serta hanya dikenal mempunyai efek sebagai
pencahar perut. (Raharja et al. 1998).
Serat pangan (dietary fiber) harus dibedakan dengan serat kasar (crude
fiber) yang biasa digunakan dalam analisa proksimat bahan pangan. Serat kasar
adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia
yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat (H2SO4
1.25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1.25%). Sedang serat pangan adalah
bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim
pencernaan (Joseph, 2006). Piliang dan Djojosoebagio (2002), mengemukakan
bahwa yang dimaksudkan dengan serat kasar ialah sisa bahan makanan yang telah
mengalami proses pemanasan dengan asam kuat dan basa kuat selama 30 menit
yang dilakukan di laboratorium.
Dengan proses seperti ini dapat merusak
beberapa macam serat yang tidak dapat dicerna oleh manusia dan tidak dapat
diketahui komposisi kimia tiap-tiap bahan yang membentuk dinding sel. Oleh
karena itu serat kasar merendahkan perkiraan jumlah kandungan serat sebesar
80% untuk hemisellulosa, 50-90% untuk lignin dan 20-50% untuk sellulosa.
Dreher (1987) menyatakan bahwa serat pangan adalah istilah umum yang
digunakan untuk menjelaskan berbagai komponen pangan yang tidak dapat
dicerna oleh usus pencernaan manusia. Ada lima komponen yang terdapat dalam
serat pangan yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin dan gum. Serat pangan
terdiri dari serat pangan non konvensional dan serat pangan konvensional.
Komponen pada serat pangan non konvensioanal sangat bervariasi dan agak sulit
diidentifikasikan tetapi tetap mempunyai sifat yang sama yaitu tidak mudah
dicerna. Sedangkan Serat pangan konvensional dipisahkan menjadi struktuk
11
polisakarida, non polisakarida dan yang tidak mempunyai struktur polisakarida.
Sumber utama dari serat ini ada pada dinding sel bahan pangan, dimana struktur
sel nya membentuk matrik yang mempunyai dampak mengurangi daya cerna
pada usus manusia. Menurut Tongmee (1976) dalam Wirakusumah (1995),
serat pangan merupakan satu jenis polisakarida yang sering disebut karbohidrat
komplek. Karbohidrat komplek ini dibentuk dari beberapa gugusan gula
sederhana yang bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia yang panjang
sehingga sangat sukar dicerna oleh enzim pencernaan. Sedangkan Wiseman
(2003) menyebutkan serat pangan merupakan nama yang diberikan pada
kelompok komponen kompleks yang hanya terdapat pada tumbuhan, dimana
komponen tersebut
adalah selulosa, hemiselulosa, pectin dan lignin. 3
komponen pertama tersebut adalah karbohidrat sehingga serat pangan kadang
disebut sebagai karbohidrat tidak tersedia (unavailable carbohydrates) atau
polysakarida bukan tepung (non-starch polysaccharide).
Definisi terbaru
tentang serat makanan yang dismpaikan oleh the American Association of
Cereal Chemist (AACC, 2001) adalah merupakan bagian yang dapat dimakan
dari tanaman atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan
absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus
besar.
Serat makanan tersebut meliputi pati, polisakharida, oligosakharida,
lignin dan bagian tanaman laainnya.
Menurut karakteristik fisik dan pengaruhnya terhadap tubuh, serat dibagi
dalam 2 golongan besar, yaitu serat larut dalam air (soluble fibre) dan serat tidak
larut dalam air (insoluble fibre). Schneeman (1987) menyatakan bahwa selulosa,
lignin dan beberapa fraksi hemiselulosa digolongkan sebagai serat tidak larut air
(suhu 90 oC) dan disebut insoluble fibre, sedangkan pektin, gum, musilase dan
beberapa jenis hemiselulosa digolongkan sebagai serat yang larut dalam air dan
disebut soluble fibre.
Serat pangan larut air yaitu serat yang dapat larut dalam air dan juga dalam
saluran pencernaan, namun dapat membentuk gel dengan cara menyerap air. Serat
ini berfungsi memperlambat kecepatan pencernaan dalam usus sehingga aliran
energi ke dalam tubuh menjadi tetap, memberikan perasaan penuh (kenyang),
memperlambat kemunculan glukosa (gula darah), membantu mengendalikan berat
12
bedan, meningkatkan kesehatan pencernaan, mengurangi resiko sakit jantung,
mengikat asam empedu, mengikat lemak seperti kolesterol dan mengeluarkan
melalui tinja. Sedangkan serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut
dalam air dan juga dalam saluran pencernaan, namun memiliki kemampuan
menyerap air dan meningkatkan tekstur dan volume tinja sehingga makanan dapat
melewati usus besar dengan cepat dan mudah. Serat ini berfungsi mempercepat
waktu transit makanan dalam usus dan meningkatkan berat tinja, memperlancar
buang air besar, meningkatkan perasaan kenyang, dapat mengurangi resiko wasir,
dapat mengurangi resiko kanker usus dan divertikulitis (Anonymousa, 2006). Di
negara-negara industri di Barat, terjadi kenaikan serangan penyakit saluran
pencernaan seperti divertikulosis (borok pada usus), kanker pada usus besar dan
hernia. Hal ini disebabkan rendahnya konsumsi serat dalam makanan sehingga
menyebabkan sembelit dan lambatnya makanan bergerak dalam saluran
pencernaan. Di kalangan masyarakat pedesaan di Afrika, penyakit ini tidak
dikenal. Hal ini karena susunan makanan di daerah tersebut mengandung banyak
bahan berserat (Gardjito et al. 1994).
Uji klinis yang dilakukan oleh salah satu produk minuman berserat pada
tahun 2001, menyebutkan bahwa terjadi penurunan kadar kolesterol total dan
LDL kolesterol, buang air besar lebih nyaman, tidak mempengaruhi kadar
trigliserida, kadar elektrolit, tidak ditemukan efek samping dan keluhan
gastrointestinal yang berarti
pada pasien yang diberikan suplementasi serat
sebesar 8,4 g. Menurut Karyadi (2002), peranan serat makanan larut dalam
menurunkan kadar kolesterol darah telah dibuktikan secara klinis pada pasien
sukarelawan dan tikus percobaan. Di dalam usus halus, serat makanan larut akan
membentuk gel yang mengikat lemak, kolesterol dan asam empedu. Akibatnya
asam empedu dalam hati berkurang. Untuk memproduksi asam empedu yang
hilang, hati akan menarik kolesterol dari darah sehingga kadar kolesterol darah
menurun.
Andon (1987) menyatakan serat makanan yang larut cocok untuk digunakan
dalam makanan-makanan cair seperti minuman, sup dan pudding. Serat larut ini
kadang digunakan sebagai pengental, subtitusi pati dengan serat larut ini tidak
hanya meningkatkan kadar serat produk akhir tetapi juga menurunkan kandungan
13
kalori makanan, misalnya pada produk minuman diet dimana penggunaan serat
larut untuk menggantikan kekentalan yang hilang akibat penggantian gula pasir
dalam formula. Sedangkan serat makanan yang tidak larut biasanya digunakan
dalam makanan-makanan padat dan produk panggangan.
Besarnya peranan serat pangan bagi kesehatan manusia menjadikan produk
ini semakin banyak dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai
pencampur berbagai jenis makanan, minuman dan produk diet pelangsing tubuh
(Le Marie, 1985). Menurut Winarno (1990), dibandingkan dengan bahan pangan
lain, maka keistimewaan serat pangan rumput laut terletak pada kandungan asam
alginat dan karagenannya. Alginat mempunyai affinitas yang tinggi terhadap
logam-logam berat dan unsur-unsur radioaktif. Oleh karena alginat tidak dapat
dicerna di dalam tubuh, maka konsumsi alginat sangat membantu membersihkan
polusi logam berat dan unsur radioaktif yang masuk ke dalam tubuh melalui
makanan yang terkontaminasi. Yunizal (2004) menyatakan bahwa dalam bidang
minuman, alginat merupakan senyawa berserat yang mudah larut dalam air,
bersifat kental dan tidak mudah dicerna. Uji minuman yang dilakukan terhadap
konsumen selama 1 bulan, memberikan pengaruh yang positif, diantaranya yaitu
badan menjadi lebih segar, kadar gula darah menurun, kadar kolesterol darah
menurun (Yunizal, 2003).
Goni et al. (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa rumput laut yang
mengandung serat pangan larut yang tinggi kemungkinan dapat mengubah respon
glycemic pada kesehatan, dimana roti yang ditambahkan Nori alga memberikan
hasil yang lebih baik daripada roti tanpa Nori alga. Demikian juga Escrig dan
Muniz (2000) menyatakan bahwa serat rumput laut telah terbukti dapat
menurunkan kadar kolesterol dan tekanan darah dibanding sumber serat lainnya.
Penelitian yang dilakukan Miyake et al. (2006) terhadap 2002 orang wanita hamil
di Jepang, menyimpulkan bahwa penurunan alergi rhinitis pada wanita hamil
berhubungan dengan asupan diet yang tinggi (high dietary intake) dari rumput
laut, calcium, magnesium dan phosphorus.
ADA (American Dietetic Association), National Cancer Institute dan
American Cancer Society merekomendasikan konsumsi serat antara 25 hingga 35
gram setiap hari atau 10 hingga 13 gram serat per 1000 kcal setiap harinya untuk
14
orang dewasa dan manula. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20 tahun)
menurut rekomendasi ADA (American Dietetic Association), kebutuhan seratnya
sama dengan umur (dalam tahun) ditambah 5 gram setiap hari. Misalnya untuk
anak berusia 5 tahun, maka kebutuhan seratnya adalah 10 gram (5 + 5) setiap hari.
Pada usia 20 tahun, kebutuhan seratnya sudah mencapai 25 gram setiap hari
(Anonymousb, 2006).
2.5. Gum
Whistler (1973) menyatakan bahwa gum merupakan polisakarida atau
turunannya yang jika dilarutkan dalam air akan membentuk gel atau larutan
dengan viskositas tinggi. Menurut Southgate (1982), gum merupakan polimer
heterosakarida dengan rantai utama yang mungkin terdiri dari galaktosa, asam
glukoronat-mannosa, asam galakturonat-rhamnosa dan rantai cabang yang terdiri
dari xilosa, fukosa dan galaktosa. Glicksman (1982), menyebutkan istilah gum
menunjukkan suatu kelompok yang luas dari polisakarida pembentuk gel dan
bahan pengental larut air. Istilah lain dari gum yang biasa digunakan adalah
stabilizer atau hydrocolloid.
Gum yang digunakan untuk makanan dideskripsikan sebagai bahan-bahan
polymeric yang dapat dimakan. Bahan-bahan ini larut dalam air dan mengental
atau membentuk gel. Sifat fungsional yang penting termasuk bebas racun,
mengikat air, menolak lemak, encapsulating, dan pembentukan susunan (Matz,
1972). Penggunaan gum dalam makanan sangat luas, mulai dari bahan perekat
sampai whipping agent. Secara umum fungsi gum dapat dikelompokkan menjadi
2 kelompok besar yaitu sebagai pembentuk gel (gelling) dan bahan pengental
(thickening) (Gliksman, 1969). Beberapa jenis gum diantaranya adalah alginat dan
gum arab.
2.5.1. Alginat
Alginat merupakan senyawa polisakarida yang dihasilkan dari ekstraksi
rumput laut kelas Phaephyceae yang berbentuk asam alginik. Asam alginik adalah
getah selaput, sedangkan alginat adalah bentuk garam dari asam alginik (Afrianto
et al.1987). Menurut Merck Index (1976) algin merupakan polisakarida berbentuk
gel yang diekstraksi dari alga laut coklat atau dari gulma lumut laut.
15
Menurut Food Chemical Codex (1981) dalam Yunizal (2004), rumus
molekul natrium alginat adalah (C6H7O6 Na)n. Garam natrium dari asam alginat
berwarna putih sampai dengan kekuningan, berbentuk tepung atau serat, hampir
tidak berbau dan berasa, larut dalam air dan mengental (larutan koloid), tidak larut
dalam larutan hidroalkohol dengan kandungan alkohol lebih dari 30 % dan tidak
larut dalam chloroform, eter dan asam dengan pH kurang dari 3.
Mutu alginat ditentukan oleh panjangnya rantai polimer mannuronat
maupun guluronat atau selang seling kedua ikatannya (McHugh, 1987). Semakin
panjang rantainya, semakin besar berat molekulnya dan semakin besar nilai
viskositasnya. Viskositas ditentukan oleh alginat yang terekstrak, bila sebagian
besar yang terekstrak adalah alginat berbobot molekul tinggi (berantai panjang)
maka Na-alginat yang dihasilkan akan mempunyai nilai viskositas yang lebih
tinggi dan sebaliknya bila bagian yang terekstrak hanya alginat berbobot molekul
rendah maka viskositasnya juga rendah (Karsini, 1993).
Viskositas larutan alginat dipengaruhi oleh konsentrasi, bobot molekul, pH,
suhu dan keberadaan garam. Semakin tinggi konsentrasi atau bobot molekul
maka viskositasnya semakin tinggi (Gambar 2). Jika dihubungkan dengan suhu,
viskositas larutan alginat akan meningkat jika didinginkan kembali, kecuali bila
pemanasan yang relatif lama sehingga terjadi degradasi polimer (Klose et al.
1972). Hal ini diperkuat oleh King (1982), yaitu seperti larutan polisakarida
lainnya, viskositas larutan alginat menurun dengan meningkatkannya suhu.
Viskositas larutan alginat menurun 12% pada setiap kenaikan suhu 5,6 oC (10 oF).
Klose et al. (1972) menyatakan bahwa alginat yang mengandung kation
seperti K, Na, NH4, + Ca, dan Na + Ca dan propilen glikol alginate, larut dalam
air dingin maupun panas dan membentuk larutan yang stabil. Kation ini mengikat
air sangat kuat karena kandungan ion karboksilat yang tinggi (King, 1983).
Menurut Glicksman (1983), alginat yang larut dalam air membentuk gel pada
larutan asam karena adanya kalsium atau kation logam polivalen lainnya.
Mekanisme pembentukan gel ini berdasarkan reaksi molekul alginat dengan
kalsium. Reaksi tersebut adalah reaksi intramolekuler dan intermolekuler.
Pembentukan gel yang seragam hanya dimungkinkan bila ramuan diaduk dengan
baik dan sebelum pembuatan gel dicampur dengan beberapa asam. Beberapa jenis
16
asam seperti asam fumarat atau asam sitrat yang dikombinasikan dengan garam
alginat yang larut, kalsium karbonat, kalsium phospat atau kalsium tartat. Garam
kalsium yang sedikit larut, seperti kalsium sulfat, secara bertahap akan
membebaskan ion kalsium, yang dapat dicampur dengan tepung alginat untuk
membentuk kombinasi tepung yang mampu larut dalam air pada suhu kamar dan
mengental menjadi gel setelah dibiarkan beberapa saat (Winarno, 1990).
Gambar 2. Hubungan konsentrasi dengan nilai viskositas alginat
(Glicksman, 1969).
Menurut Percival (1970), alginat banyak digunakan pada industri pangan
secara luas, bukan sebagai penambah gizi, tetapi menghasilkan dan memperkuat
tekstur atau stabilitas dari produk olahan seperti es krim, sari buah, pastel isi dan
lain-lain. Alginat dengan konsentrasi kurang dari 0,5 % banyak digunakan sebagai
penstabil, pengental, pengemulsi pada saos tomat, sayuran, jelly, kuah daging, dan
susu (King, 1983). Beberapa aplikasi alginat dalam industri pangan dan
konsentrasi yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 6.
Dalam bidang minuman, alginat merupakan senyawa berserat yang mudah
larut dalam air, bersifat kental dan tidak mudah dicerna. Saat larut dalam air, serat
17
natrium alginat membentuk kisi-kisi seperti jala yang mampu mengikat kuat
banyak molekul air. Larutan alginat dapat menurunkan kadar kolesterol secara
efektif, karena dapat mengikat asam empedu yang berguna untuk mengemulsikan
lemak dan kolesterol.
Kemudian membawanya ke luar tubuh bersama tinja
sehingga kadar asam empedu dalam tubuh jadi berkurang. Selanjutnya hati
sebagai organ yang memproduksi asam empedu harus mengganti asam empedu
yang hilang. Untuk membentuk asam empedu, hati memerlukan kolesterol.
Kolesterol dalam darah akan disirkulasikan ke hati, lalu didalam hati kolesterol
diurai menjadi asam empedu,
sehingga kolesterol dalam darah menurun
(Yunizal, 2004).
Tabel 6. Aplikasi alginat dalam industri pangan dan konsentrasi yang dibutuhkan
No.
Aplikasi
Dosis yang digunakan (ppm)
1.
Pembentuk jelly
2.
Pengental
3.
Penstabil es krim dan permen
4.
Menjaga suspensi coklat dalam susu
5.
Penstabil krim
6.
Penstabil busa bis
7.
Memperhalus cairan
Sumber : McDowell (1967) dalam Yunizal (2004).
2.000 – 50.000
5.000 – 20.000
1.000 – 3.000
1.000 – 2.000
500 – 1.500
50 – 100
5 - 20
Spesifikasi alginat sebagai food grade menurut Chapman et al. (1980) dalam
Yunizal (2004) disajikan pada Tabel 7. Menurut Winarno (1990), alginat yang
memiliki mutu food grade harus bebas dari selulosa dan warnanya sudah
dilunturkan (dipucatkan) sehingga terang atau putih.
Tabel 7. Natrium Alginat sebagai food grade
No.
Spesifikasi
1.
Kadar air (%)
2.
Kadar abu (%)
3.
Berat Jenis (%)
4.
Warna
5.
Densitas kamba (kg/m3)
6.
Suhu pengabuan ( 0C)
7.
Panas pembakaran (kalori/gram)
Sumber : Chapman et al. (1980) dalam Yunizal (2004).
Kandungan
13
23
1,59
Kuning gading
874
480
2,5
18
2.5.2. Gum Arab
Gum arab adalah exudate alami dari pohon akasia, dengan species utama
adalah Acacia senegal L. Gum keluar dari pohon sebagai getah yang membentuk
bola-bola atau titik-titik air mata, kemudian dikumpulkan secara manual sebagai
gumpalan-gumpalan kering, cara panen yang dilakukan pada musim kering
(Thevenet, 1988 dalam Nussinovitch,1997). Secara fisik, gum arab merupakan
molekul bercabang banyak dan kompleks. Dengan bentuk struktur yang demikian
menyebabkan gum arab memiliki kekentalan yang rendah. Bentuk molekul dari
gum arab berupa spiral yang kaku dengan panjang rantai utama molekulnya
berkisar antara 1.050 A0 dan 2.400 A0, tergantung pada jumlah muatannya
(Fardiaz, 1989).
Fardiaz (1989) menyatakan secara umum larutan gum arab akan mencapai
kekentalan maksimum pada pH sekitar 4,5 – 5,5. Kurang dan lebih dari pH ini
akan menyebabkan kekentalan rendah. Adanya elektrolit dalam larutan gum arab
juga mengakibatkan turunnya kekentalan, meskipun dalam larutan sangat encer.
Penurunan kekentalan ini lebih nyata pada larutan dengan konsentrasi yang lebih
tinggi. Kemampuan untuk membentuk larutan pekat tersebut menyebabkan gum
arab merupakan pemantap dan pengemulsi yang baik jika dicampurkan dengan
sejumlah besar bahan-bahan yang tidak larut. Gum arab mempunyai sifat daya
gabung yang luas seperti jenis gum lainnya, juga dengan karbohidrat dan protein.
Dalam banyak hal sifat daya gabung atau tidak bergabung dikontrol oleh pH dan
konsentrasinya.
Menurut Fardiaz (1989), gum arab akan mencapai kekentalan maksimun
pada konsentrasi 40 – 50 %. Rendahnya sifat kekentalan ini berhubungan dengan
sifat molekul globular yang bercabang banyak dan komplek dari gum arab.
Sedangkan gum lain akan membentuk larutan yang sangat kental
pada
konsentrasi yang rendah (1 – 5 %). Glicksman (1973) menyatakan bahwa gum
arab dengan mudah larut dalam air dingin dan air panas dan cenderung untuk
membentuk gumpalan ketika ditambahkan air.
Hal ini diperkuat dengan
pernyataan BeMiller et al. (1996) yaitu gum arab mudah larut dalam air dan
sifatnya unik jika dibandingkan dengan gum lain. Gum arab dapat membentuk
larutan dengan kekentalan yang rendah sehingga dapat membentuk larutan dengan
19
konsentrasi sampai 50 %. Tabel 8 menunjukkan pengaruh konsentrasi terhadap
kekentalan dari gum arab. Winarno (1997) menyebutkan mekanisme kerja gum
arab pada konsentrasi 50 % dalam larutan akan membentuk gel yang sangat kental
sekuat gel pati, karena gum arab dan pati termasuk golongan polisakarida.
Pembentukan gel pada pati di dalam larutan terjadi setelah pemanasan. Selama
pemanasan energi kinetik molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik
antarmolekul pati di dalam granula, sehingga air dapat masuk ke dalam butir-butir
pati. Hal ini menyebabkan membengkaknya granula tersebut. Jumlah gugus
hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air lebih
besar. Terjadinya peningkatan kekentalan disebabkan oleh adanya air di luar
granula yang setelah dipanaskan air tersebut akan berada dalam butir-butir pati
dan tidak dapat bebas bergerak lagi.
Tabel 8. Pengaruh konsentrasi terhadap kekentalan dari gum arab
Konsentrasi
Kekentalan (Cps)
0,5
6,0
10,0
20,0
30,0
35
40
50
Sumber : Whistler (1973).
16,50
40,50
200,00
423,75
936,25
4.162,5
Standar mutu gum arab sebagai food grade sudah ditentukan oleh Food
Chemical Codex. Fungsi utama gum arab adalah sebagai bahan tambahan untuk
memberikan penampilan yang diinginkan, dimana akan mempengaruhi viskositas,
bentuk dan tekstur dari makanan. Sebagai bahan tambahan makanan, gum arab
harus bebas racun, tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, larut air, dan tidak
mempengaruhi rasa, bau dan warna makanan yang dihasilkan (Glicksman, 1973).
Tabel 9 adalah mutu gum arab sebagai food grade.
20
Tabel 9. Standar Mutu Gum Arab
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sumber :
Parameter
Air (%)
Abu (%)
Asam tak larut (%)
Arsen (ppm)
Timah hitam (ppm)
Tembaga (ppm)
Timah (ppm)
Glicksman (1973).
Jumlah maksimum
15
4
0,5
0,5
1,7
10
10
Beberapa kelebihan gum arab yaitu : 1. mempunyai banyak fungsi, yaitu
pengemulsi yang baik, pembentuk film, pembentuk tekstur, bahan pengikat air
dan bulking agent; 2. sumber serat yang tinggi, sedikitnya mengandung 85 %
serat pangan larut (bk); 3. beban racun (Fennema, 1996). Dalam bidang pangan
digunakan adalah lain pada industri kembang gula, roti dan minuman (Wadarsa,
1985). Konsentrasi yang diijinkan untuk minuman ringan adalah 500 mg /kg
(SNI 01-0222-195).
2.6. Bahan Tambahan Pangan
Pada dasarnya penggunaan makanan tambahan haruslah berdasarkan alasanalasan yan penting dan dapat menguntungkan manusia. Diantaranya adalah untuk
menekan kerusakan/pembusukan, meningkatkan gizi dan cita rasa serta dapat
meningkatkan gairah untuk menikmati makanan tersebut. Dengan berkembangnya
jenis-jenis penyebab kerusakan bahan makanan serta di lain pihak telah dan
sedang berkembangnya kemajuan teknologi pangan waktu ini, dapat dikatakan
bahwa tanpa bahan tambahan makanan akan sangat sulit bagi manusia untuk
menyimpan bahan makanan yang melimpah dalam waktu yang cukup lama bagi
kecukupan persediaan pangannya.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 329/Menskes/PER/XII/76,
yang dimaksud dengan bahan tambahan makanan adalah bahan yang ditambahkan
dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu.
Termasuk didalamnya adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap,
antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat dan pengental.
21
2.6.1. Bahan Pemanis
Winarno (1992) menyatakan bahwa rasa manis ditimbulkan oleh senyawa
organik alifatik yang mengandung gugus OH seperti alkohol, beberapa asam
amino, aldehida, dan gliserol. Sumber rasa manis yang utama adalah gula atau
sukrosa dan monosakarida atau disakarida yang mempunyai jarak ikatan hidrogen
3 – 5 A. Pemanis buatan seperti sakarin, siklamat, dan dulsin dalam konsentrasi
yang tinggi cenderung memberikan after taste (pahit, nimbrah dan rasa lain).
Sukrosa adalah oligosakarida yang mempunyai peran penting dalam
pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit, siwalan dan kelapa.
Sukrosa merupakan gula yang murah dan di produksi dalam jumlah yang besar
melalui proses penyulingan dan kristalisasi (Alikonis, 1979).
Untuk industri-industri makanan biasa digunakan sukrosa dalam bentuk
kristal halus atau kasar dan dalam jumlah yang banyak dipergunakan dalam
bentuk cairan sukrosa (sirup). Pada pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa)
dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi
glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert (Winarno, 1992).
Jenis pemanis yang umum digunakan selain sukrosa adalah Acesulfame-K.
Zat ini merupakan senyawa tidak berbau, berbentuk tepung kristal berwarna putih,
mudah larut dalam air dan berasa manis. Acesulfame-K tidak dapat dicerna,
bersifat non glikemik dan non kariogenik, sehingga FDA menyatakan aman untuk
dikonsumsi manusia sebagai pemanis buatan dengan ADI (Acceptance Daily
Intake) sebanyak 15 mg/kg berat badan. Sedangkan JECFA mengatur maksimum
penggunaan Acesulfame-K pada berbagai produk pangan berkisar antara 200
sampai dengan 3.000 mg/kg produk (Salminen et al. 1990).
2.6.2. Bahan Pengasam
Salah satu tujuan utama penambahan asam pada makanan adalah untuk
memberikan rasa asam. Asam juga dapat mengintensifkan penerimaan rasa-rasa
lain. Asam yang banyak digunakan dalam bahan makanan adalah asam organik
seperti asam malat, asam asetat, asam laktat, asam sitrat, asam fumarat, asam
suksinat dan asam tartrat. Sedangkan satu-satunya asam anorganik yang
digunakan sebagai pengasam makanan adalah asam fosfat. Asam anorganik lain
22
seperti HCl dan H2O4 mempunyai derajat desosiasi yang tinggi sehingga berakibat
kurang baik bagi mutu produk akhir (Winarno, 1992).
Asam sitrat sering digunakan sebagai zat pengasam. Fungsi lainnya adalah
untuk mencegah terjadinya kristalisasi gula, katalisator hidrolisa sukrosa ke
bentuk gula invert selama penyimpanan serta penjernih gel yang dihasilkan
(Alikonis, 1979).
Asam sitrat banyak digunakan dalam industri pangan dan
farmasi karena mudah dicerna, mempunyai rasa asam yang menyenangkan, tidak
beracun dan mudah larut. Penggunaan asam sitrat pada sirup bertujuan untuk
memberikan rasa asam yang berfungsi sebagai pengawet tambahan disamping
gula, serta sebagai emulsi dalam makanan (Widirga, 1994). Selanjutnya Winarno
(1997) menyatakan bahwa asam sitrat berperan juga sebagai penegas rasa dan
warna atau menyelubungi after taste yang tidak disukai, mencegah ketengikan
dan browning. Heath (1978) dalam penelitiannya menulis bahwa kebutuhan asam
sitrat dalam pembuatan jelly tergantung dari bahan pembentuk gel yang digunakan
seperti terlihat dalam Tabel 10.
Tabel 10. Kandungan asam sitrat dalam pengolahan jelly
Bahan pembentuk gel
Agar-agar
Pektin
Gelatin
Asam sitrat (%)
pH produk
0,2 – 0,3
0,5 – 0,7
0,2 – 0,3
4,8– 5,6
3,2 – 3,5
4,5 – 5,0
23
Download