7 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Cabai

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1.
Cabai (Capsicum annum L.)
Cabai merupakan tanaman perdu yang berasal dari benua Amerika,
lebih tepatnya daerah Peru, kemudian menyebar ke negara-negara di benua
Amerika, Eropa, dan Asia termasuk Indonesia. Cabai merupakan komoditas
hortikultura penting yang telah menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari di
Indonesia. Tanaman ini memiliki nilai ekonomis karena dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri makanan (Santika, 2002).
Cabai merah dikenal dengan berbagai nama, antara lain Guinea
pepper, piment, dan red pepper (Inggris); Beisbcere dan Spanischer pfeffer
(Jerman); dan Spaanse pepper (Belanda), sedangkan di Indonesia, cabai ini
dikenal dengan berbagai nama yang berbeda-beda pada masing-masing
daerah. Di Sumatra, cabai ini dikenal dengan cabi, campli, lada, dan banai.
Di Jawa, cabai besar ini disebut cabe, lombok, dan mengkreng. Di Maluku,
cabai besar juga bisa disebut araputa, cabe-cabe, dan rica. Adapun varietasvarietas cabai besar yang sudah komersial di Indonesia, seperti cabai merah
besar, cabai keriting, cabai hijau, cabai paprika, dan lain-lain. Tiga jenis yang
disebut pertama banyak diminati dan dikonsumsi oleh masyarakat (Pitojo,
2003).
7
8
a. Klasifikasi
Kedudukan tanaman cabai dalam sistem taksonomi tumbuhan
adalah sebagai berikut:
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Asteridae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annum L.
(Steenis, 1978).
b. Morfologi
Tanaman cabai merah merupakan tanaman perdu yang tumbuh
tegak dengan batang berkayu yang dapat tumbuh hingga ketinggian 120
cm, serta memiliki lebar tajuk tanaman hingga 90 cm (Gambar 1).
Gambar 1. Morfologi tanaman cabai merah (Pitojo, 2003)
Tanaman ini memiliki jumlah cabang yang banyak dan setiap
cabang akan muncul bunga yang nantinya berkembang menjadi buah.
9
Batang tanaman ini berwarna hijau tua dan berkayu. Pada ketinggian
batang tertentu akan membentuk percabangan menjadi dua yang
menyerupai huruf “Y”. Batangnya berbentuk silindris dengan diameter
yang berukuran kecil, serta tajuk daun yang lebar (Wiryanta, 2002).
Daun cabai merah berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 8 –
12 cm dan lebar 3 – 5 cm, serta meruncing pada bagian pangkal dan ujung
daun. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan
permukaan bagain bawah berwarna hijau muda. Tangkai daun memiliki
panjang yang berkisar 2 – 4 cm yang melekat pada percabangan,
sedangkan tulang daunnya berbentuk menyirip (Samadi, 1997).
Cabai merah memiliki bunga yang berkelamin dua, karena pada
satu bunga terdapat benang sari dan kepala putik. Bunga cabai tersusun
dari tangkai bunga yang memiliki ukuran panjang sekitar 1 – 2 cm,
kelopak bunga, mahkota bunga, dan alat kelamin yang meliputi kepala sari
dan kepala putik. Mahkota bunga berwarna putih dan akan rontok jika
buah telah terbentuk. Kepala putik berwarna kuning kehijauan dan tangkai
kepala putiknya berwarna putih dengan kisaran panjang 0,5 cm. Kepala
sari yang telah masak berwarna biru sampai ungu. Letak bunga cabai
berada pada posisi menggantung dengan warna yang menarik (Wiryanta,
2002).
Buah cabai merah memiliki bentuk yang bervariasi sesuai dengan
jenisnya. Buah cabai merah varietas Hibrida F1 memiliki nilai jual yang
lebih tinggi dibandingkan varietas cabai merah yang lain, sehingga banyak
10
dibudidayakan oleh petani. Buah cabai besar biasanya muncul dari
percabangan atau ketiak daun dengan posisi buah menggantung. Berat
cabai sangat bervariasi pada kisaran 5 – 25 gram. Buah cabai yang masih
muda berwarna hijau, kemudian berangsur-angsur berubah menjadi merah
ketika buahnya tua (Redaksi Agromedia, 2007). Cabai jenis ini paling
banyak dibudidayakan petani karena memiliki nilai jual yang paling tinggi
di antara varietas-varietas cabai yang lain (Wiryanta, 2002). Morfologi
buah cabai merah besar dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Morfologi buah cabai merah besar var. Hibrida F1 (Pitojo, 2003)
c. Kandungan Gizi
Setiap 100 g cabai merah mengandung berbagai kandungan gizi
dan vitamin yang diperlukan oleh tubuh manusia, terutama kalori, protein,
lemak, karbohidrat, kalsium, serta vitamin A, B1, dan C (Harpenas dan
Darmawan, 2011). Kandungan gizi cabai merah disajikan pada Tabel 1.
11
Tabel 1. Kandungan gizi tiap 100 g buah cabai merah (Wirakusumah, 1995)
Kandungan Gizi
Nilai rata-rata
Energi
31,00 kkal
Protein
1,00 g
Lemak
0,30 mg
Karbohidrat
7,30 mg
Kalsium
29,00 mg
Fosfor
24,00 mg
Serat
0,30 mg
Besi
0,50 mg
Vitamin A
71,00 RE
Vitamin B1
0,05 mg
Vitamin B2
0,03 mg
Vitamin C
18,00 mg
Niasin
0,20 mg
d. Manfaat
Cabai merah dapat dimanfaatkan sebagai pendetoksi alami di
dalam tubuh, sehingga asupan nutrisi dapat ditingkatkan ke seluruh tubuh.
Cabai merah juga dapat merangsang pelepasan endorphin yang dapat
menimbulkan efek penghilang rasa sakit alami. Vitamin-vitamin yang
terkandung dalam cabai juga dapat dimanfaatkan dalam mengurangi resiko
terkena penyakit. Vitamin C, folat, serta beta-karoten yang terkandung
dapat mengurangi resiko kanker usus besar. Vitamin B6 dan asam folat
yang terkandung dapat mengurangi resiko terkena serangan jantung dan
stroke (Harpenas dan Darmawan, 2011).
12
Cabai merah yang dijadikan ekstrak telah dilaporkan memiliki
pengaruh terhadap jumlah sel germinal testis tikus putih jantan (Mutiara
dkk., 2013). Ekstrak beberapa organ cabai merah juga dapat digunakan
sebagai bioregulator dan pelukaan stek pada pertumbuhan awal suatu
tumbuhan (Bambang dan Sundahri, 2012). Penelitian Rahim, dkk. (2014)
meyatakan bahwa ekstrak etanolik daun cabai merah dapat dijadikan
antibakteri terhadap baketri Staphylococcus aureus sebagai alternatif
pengobatan infeksi saluran pernapasan.
2.
Proses Pemasakan Buah
Selama masa penyimpanan, cabai mengalami peningkatan produksi
etilen seiring dengan meningkatnya laju respirasi. Produksi etilen yang
semakin meningkat menyebabkan aktivitas respirasi semakin tinggi pada
cabai, yang ditandai dengan banyaknya oksigen yang diserap. Produksi etilen
yang tinggi tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim yang dirangsang oleh
faktor suhu. Suhu ruang menyebabkan aktivasi enzim lebih cepat dalam
mensintesis hormon etilen pada cabai (Kartasanapoetra, 1989).
Etilen merupakan hormon tumbuhan yang memegang peranan penting
dalam proses pemasakan buah, khususnya buah klimaterik (Genard dan
Gouble, 2005). Hormon ini merupakan hormon endogen tanaman yang dapat
mempengaruhi berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan, seperti
perkecambahan, senesen daun dan bunga, pemasakan buah, absisi daun,
nodulasi akar, determinasi seks, program kematian sel, serta tanggapan
terhadap serangan stress dan patogen (Abeles et al., 1992).
13
Etilen bersifat sederhana, organik, berada dalam bentuk gas dengan
rumus C2H4, serta memiliki ikatan ganda dengan hidrokarbon tak jenuh.
Etilen memiliki efek dalam pemasakan buah klimaterik. Efek dari etilen ini
telah dimanfaatkan dari tahun ke tahun, akan tetapi untuk mekanisme secara
molekuler masih diteliti lebih lanjut. Hormon etilen yang diproduksi selama
pemasakan cabai dapat mempengaruhi mutu dan kualitas cabai, seperti
menurunkan tingkat kekerasan, bobot basah, serta merangsang perubahan
warna yang cepat pada cabai (Mayerhofer, 2011).
Jalur biosintesis etilen diawali dengan adanya precursor S-adenosyl-Lmethionine (SAM) yang diproduksi oleh SAM sintase menggunakan
metionin. Kemudian, SAM dikonversi menjadi asam 1-aminocyclopropane-1carboxylic (ACC) dan 5’-methylthioadenosine (MTA) yang dikatalisis oleh
ACC sintase (ACS). Selanjutnya, ACC dikonversi menjadi etilen dan
dikatalisis oleh ACC oksidase. Tahap tersebut merupakan tahap final dari
biosintesis etilen. Dua kunci yang memegang kontrol adalah ACC sintase dan
ACC oksidase. Etilen didilusi dari jaringan buah dan didifusikan ke atmosfer.
Volume dan permeabilitas kulit buah merupakan ciri biofisik buah yang
penting untuk mempertimbangkan analisa emisi hormon etilen (Gambar 3)
(Tsuchisaka dan Theologis, 2004).
14
Gambar 3. Jalur biosintesis etilen (Vriezen et al., 2003)
a. Perubahan Fisiologi selama Proses Pemasakan Buah
Pemasakan atau pematangan buah merupakan suatu proses ketika
pertumbuhan sel pada buah telah mencapai maksimum. Pemasakan buah
termasuk ke dalam tahap terakhir dari keseluruhan pertumbuhan tanaman.
Sebelum tahap ini, buah memasuki proses matang fisiologis dimana buah
telah menuju proses pemasakan dan siap untuk dipanen meskipun kualitas
yang dimiliki belum sesuai. Tahap ini dipicu oleh adanya serangkaian
proses metabolime yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahanperubahan fisik dan kimia. Adanya aktivitas fisiologis yang terjadi dapat
mengakibatkan kemunduran mutu dan juga mempengaruhi derajat
kematangan. Proses respirasi menjadi proses metabolik yang penting
dalam perombakan substrat organik selama pemasakan buah (Breemer,
1996).
Pemasakan yang terjadi pada cabai memicu adanya perubahan
fisiologis dan biokimia. Perubahan fisiologis dan biokimia yang terjadi
selama proses tersebut antara lain perubahan warna, pelunakan, dan
15
peningkatan susut bobot buah (Fiandarti, 2002), perubahan laju produksi
CO2 (Dominguez and Vendrell, 1993), perubahan kadar klorofil, gula, dan
pati (Marriott et al., 1981), perubahan kadar vitamin (Winarno, 2002),
serta peningkatan produksi etilen (Pantastico, 1989).
1) Perubahan Kekerasan Buah
Kekerasan buah merupakan perubahan fisik yang dapat
mempengaruhi karakter morfologi buah selama masa penyimpanan.
Perubahan ini dapat terjadi akibat adanya proses respirasi dan
pembentukan hormon etilen selama proses pemasakan (Harjanti,
1997).
Tingkat kekerasan buah ditentukan oleh senyawa-senyawa
pektin dan selulosa yang terkandung di dalamnya. Proses penurunan
jumlah senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan buah menjadi
lunak selama proses pemasakan. Pada saat proses pemasakan buah
juga terjadi pengurangan jumlah protopektin yang tidak larut dan
penambahan jumlah pektin yang larut (Palmer, 1981). Semakin tinggi
tingkat kekerasan pada buah, maka tekstur yang dimiliki semakin
keras. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa yang
menentukan kekerasan buah seperti selulosa, pektin, dan hemiselulosa
(Noor, 2007).
Proses pemasakan buah yang cepat dapat meningkatkan proses
respirasi, sehingga menyebabkan rusaknya ikatan selulosa pada
dinding sel kemudian mengalami perubahan. Adanya perubahan
16
kekerasan buah selama masa penyimpanan juga dapat terjadi karena
adanya perubahan turgor sel, yang dapat menyebabkan hilangnya
kesegaran buah (Winarno dan Laksmi, 1984). Kekerasan buah juga
berhubungan erat dengan kandungan air pada kulit buah. Kekerasan
buah cenderung meningkat, sedangkan kadar air kulit buah cenderung
menurun selama masa penyimpanan pada suhu ruang maupun suhu
dingin. Adanya penurunan kadar air tersebut terjadi akibat adanya
proses transpirasi dan respirasi buah selama masa penyimpanan
(Suyanti dan Setyadjit, 2007).
Tingkat kekerasan pada buah telah banyak diteliti dengan
menggunakan
berbagai
macam
modifikasi
perlakuan,
seperti
pemberian senyawa cair, penyimpanan pada suhu rendah, dan
penggunaan pelapis buah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Normasari dan Purwoko (2002) pada buah tomat menunjukkan
bahwa pemberian CaCl2 saat prapanen berpengaruh nyata dalam
menghambat pelunakan dan memperpanjang masa simpan buah tomat
karena ikatan pektin yang dihasilkan oleh kalsium dapat menghasilkan
integritas membrane yang lebih stabil dan dapat menguatkan dinding
sel. Penelitian yang dikaji oleh Noor (2007) menyatakan bahwa
penyimpanan dalam udara termodifikasi berpengaruh sangat nyata
terhadap kekerasan dan warna buah pisang selama penyimpanan akibat
adanya interaksi antara kombinasi gas dan waktu penyimpanan yang
juga menunjukkan pengaruh yang sangat nyata.
17
Pengukuran tingkat kekerasan kulit buah yang berhubungan
dengan tingkat kadar air pada kulit buah buah juga dapat dianalisis
dengan metode NIR Spectroscopy (Novita dkk., 2011). Hasil
penelitian mengenai penampang melintang kulit manggis juga
menunjukkan bahwa ruang-ruang antar sel jaringan parenkim kulit luar
dan tengah terisi oleh cairan pada awal penyimpanan, tetapi pada akhir
penyimpanan ruang-ruang antar sel tersebut rusak akibat kehilangan
cairan,
sehingga
terjadi
penebalan
dinding
sel
yang
dapat
mengakibatkan kulit buah menjadi keras akibat zat pektin yang saling
berikatan (Qanytah, 2004).
Kekerasan buah yang baik dapat dilihat dari tekstur buah dari
luar. Apabila buah memiliki tekstur yang lembek dan tidak keras,
maka buah tersebut memiliki kekerasan buah yang kecil. Akan tetapi,
jika tekstur yang dimiliki keras, maka tingkat kekerasan yang dimiliki
oleh buah juga tinggi. Kekerasan buah juga dapat dilihat melalui
pengukuran dengan alat penetrometer. Apabila nilai yang ditunjukkan
oleh penetrometer semakin besar, maka kekerasan buah yang dimiliki
semakin baik (Suyanti dan Setyadjit, 2007)
2) Bobot Buah
Aktivitas pemanenan buah dapat memicu adanya proses
fisiologis sesaat setelah buah dipetik. Saat penyimpanan, proses
transpirasi akan berlangsung secara terus menerus sehingga buah
kehilangan air. Akibatnya buah kehilangan susut bobot selama masa
18
penyimpanan. Penyusutan bobot buah cenderung meningkat selama
masa penyimpanan. Adanya peningkatan susut bobot buah dapat
terjadi akibat adanya proses penguapan dan pernapasan dari buah
tersebut, terutama pada suhu yang tinggi (Martodiredjo, 1983).
Menurut Muchtadi (1992), hilangnya bobot buah selama masa
penyimpanan diakibatkan oleh kehilangan air karena penguapan dan
kehilangan karbon selama respirasi. Adanya kehilangan air tersebut
tidak hanya menurunkan bobot, tetapi juga dapat menurunkan mutu
dan kualitas buah.
Buah
tomat yang diberi
pelapis kitosan 1,5%
dapat
menghambat kenaikan susut bobot selama 21 hari penyimpanan
(Fiandarti, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2012)
menunjukkan bahwa buah belimbing yang diberi perlakuan suhu
rendah dan pelapisan kitosan dapat menekan kenaikan susut bobot
buah hingga 18 hari masa penyimpanan. Buah mangga yang diteliti
oleh Wongmetha dan Ke (2012) juga menunjukkan bahwa pelapisan
kitosan yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu 10°C
dapat menghambat peningkatan susut bobot buah tersebut hingga 20
hari masa penyimpanan.
3) Laju Respirasi
Respirasi merupakan reaksi oksidasi senyawa organik untuk
menghasilkan energi dalam bentuk ATP atau senyawa berenergi tinggi
yang digunakan sebagai senyawa utama yang menunjang aktivitas sel.
19
Proses keseluruhan respirasi merupakan reduksi oksidasi senyawa
dioksidasi menjadi CO2, sedangkan CO2 yang diserap direduksi
membentuk H2O .
Respirasi
merupakan
metabolisme
yang
membutuhkan
keterlibatan oksigen dalam pembongkaran senyawa makromolekul,
seperti karbohidrat, lemak, dan protein yang menghasilkan CO2, air,
dan sejumlah elektron. Elektron dihasilkan dari hasil respirasi berupa
NADH dan H+. Lalu, senyawa-senyawa tersebut diubah menjadi
energi dan air melalui flavoprotein, sistem sitokrom, dan O2 sebagai
penerima elektron terakhir. ATP yang terbentuk dapat digunakan untuk
segala proses yang terjadi di dalam buah (Salisbury dan Ross, 1995).
Buah-buahan yang telah mengalami tahap pemanenan tetap
dapat melangsungkan respirasi yang dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan akibat pengaruh fisiologis, fisik, kimiawi,
maupun parasitic (Loveless, 1991). Dalam studi mengenai laju
respirasi yang dilakukan pada buah pisang menunjukkan bahwa proses
respirasi juga dipengaruhi oleh adanya enzim kinetin (Heydari et al.,
2010). Menurut Goldsmidt (1997), respirasi dapat digunakan sebagai
petunjuk terhadap potensi umur simpan. Kecepatan respirasi yang
tinggi berhubungan dengan tingkat umur simpan yang pendek.
Berdasarkan pola respirasinya, buah dapat dibedakan menjadi
buah klimaterik dan buah non klimaterik. Pada buah klimaterik, terjadi
proses kenaikan CO2 secara mendadak dan mengalami penurunan yang
20
cepat sesaat setelah terjadi proses pematangan. Buah klimaterik
ditandai dengan adanya waktu proses pemasakan yang cepat dan
peningkatan respirasi yang mencolok, serta ditandai dengan adanya
perubahan warna, cita rasa, tekstur. Buah-buahan yang tergolong ke
dalam buah klimaterik antara lain pepaya, mangga, pisang, alpukat,
tomat, dan sebagainya. Sedangkan, buah non klimaterik tidak
mengalami proses kenaikan CO2 yang diikuti dengan penurunan CO2
yang cepat. Buah non klimaterik tidak menunjukkan adanya
peningkatan respirasi yang mencolok. Buah-buahan yang tergolong ke
dalam buah non klimaterik antara lain jeruk, rambutan, semangka, dan
sebagainya (Pantastico, 1989).
Selama masa penyimpanan, laju respirasi O2 dan CO2
mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya aktvitas metabolik
di dalam sel. Laju respirasi dapat dihambat dengan menggunakan
alternatif tertentu, seperti penggunaan pelapis buah atau dengan
penyimpanan
suhu
rendah.
Perlakuan
tersebut
menyebabkan
menurunnya laju respirasi dikarenakan substrat yang digunakan untuk
proses respirasi mulai berkurang. Selain itu, menurunnya laju respirasi
juga disebabkan karena O2 yang ada dipergunakan oleh buah untuk
proses respirasi dan oksidasi substrat. Terbatasnya O2 dapat
mengakibatkan perombakan klorofil tertunda, produksi C2H4 rendah,
laju pembentukan asam askorbat berkurang, serta degradasi senyawa
pektin lebih lambat dibandingkan dengan kondisi lingkungan. Hal-hal
21
tersebut dapat memperpanjang daya simpan buah (Amiarsi dkk.,
1996). Penelitian yang dilakukan oleh Pudja (2009) menyatakan
bahwa buah salak bali yang diberi dikemas dalam plastik polietilen
dengan suhu termodifikasi menurunkan laju respirasi hingga 14 hari
masa penyimpanan.
4) Warna Buah
Warna buah yang dipengaruhi oleh perubahan pigmen klorofil
dan karotenoid merupakan salah satu respon buah pada tingkat
pemasakan. Tingkat kematangan buah cabai diawali dengan adanya
perubahan warna hijau menjadi merah cerah pascapanen. Selama
proses pematangan, cabai mengalami peningkatan aktivitas laju
respirasi yang memicu perubahan warna merah menjadi merah
kecoklatan (Rosdiana dkk., 2014).
Warna hijau yang terbentuk pada cabai prapanen disebabkan
oleh adanya klorofil a dan klorofil b (Suyanti, 2004). Pada dasarnya
klorofil memiliki struktur molekul yang sangat besar dan terdiri dari
empat cincin pirol yang dihubungkan oleh gugus metena (-CH=)
membentuk molekul yang pipih. Pada karbon ke-7 terdapat residu
propionat yang teresterifikasi dengan fitol, sehingga rantai cabang ini
bersifat larut dalam lipid (Winarno, 1997). Klorofil memiliki sifat yang
sangat labil. Perubahan warna klorofil menjadi coklat dapat terjadi jika
ion Mg pada klorofil disubstitusikan dengan ion H. Selain itu,
terjadinya denaturasi pada klorofil akibat pengaruh panas dapat
22
menyebabkan
interaksi
dengan
reaksi
kimia
luar,
sehingga
menyebabkan gugus ester pada klorofil terhidrolisa oleh asam yang
menyebabkan
lepasnya
fitol
dari
molekul.
Keluarnya
fitol
menyebabkan klorofil larut dalam air karena bersifat polar, lalu warna
bahan berubah menjadi pucat (Winarno dan Laksmi, 1984).
Pada klorofil a terdapat ion magnesium (Mg2+) yang diikat oleh
nitrogen dari dua cincin pirol dengan ikatan kovalen serta dua atom
nitrogen dari dua cincin pirol lain melalui ikatan koordinasi kovalen,
yaitu elektron diberikan dari N pirol pada ion magnesium. Perbedaan
antara klorofil a dan b terletak pada atom C nomor 3, yaitu metil pada
klorofil a diganti dengan aldehida pada klorofil b (Gambar 4)
(Winarno, 1997).
Klorofil a
Klorofil b
Gambar 4. Sruktur kimia klorofil (Ai dan Banyo, 2011)
Perubahan warna pada cabai terjadi akibat adanya degradasi
pigmen klorofil. Perubahan warna dari hijau menjadi merah
disebabkan oleh keberadaan klorofilid a, klorofil a’, dan feofitin a.
Adanya klorofilid a sebagai produk degradasi klorofil a disebabkan
23
oleh adanya aktivitas enzim klorofilase yang tinggi. Keberadaan
klorofil a selalu disertai dengan sejumlah kecil epimernya, yaitu
klorofil a’. Feofitin a merupakan turunan dari klorofil a yang bukan
merupakan hasil produk degradasi (Jeffrey dan Hallegraeff, 1987).
Menurut Watanabe et al. (1985), klorofil a’ dan feofitin juga dapat
ditemukan di daun hijau.
Terdegradasinya pigmen klorofil dapat menyebabkan warna
dari pigmen-pigmen lain muncul, seperti antosianin, xantofil, dan
karoten. Hilangnya klorofil mengakibatkan pigmen karotenoid yang
tidak bersintesis menjadi terlihat. Adanya perubahan pigmen inilah
yang menyebabkan warna kulit cabai berubah (Wills et al., 1989).
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Putri (2013)
menunjukkan bahwa proses ekstraksi yang dilakukan pada kulit jeruk
bali memiliki perubahan warna kulit dari hijau menjadi oranye.
Adanya enzim klorofilase dapat mengkatalisis proses hidrolisis ikatan
ester antara 7- asam propionat pada cincin D dari sistem makrosiklik
cincin dan fitol, dalam klorofil dan pheofitin (Gross, 1991).
Reaksi perubahan warna hijau menjadi merah pada klorofil
terjadi akibat rusaknya struktur klorofil. Ion magnesium pada struktur
tersebut hilang sehingga senyawa klorofil berubah menjadi senyawa
feofitin atau feoforbid. Senyawa-senyawa tersebut merupakan produk
degradasi dari klorofil yang kehilangan logam Mg pada cincin
makrosiklik (Dailey, 1990). Hilangnya warna hijau merupakan sebuah
24
peralihan dari fungsi kloroplas ke kromoplas yang mengandung
pigmen karotenoid. Saat pemasakan, kulit cabai akan mengalami
degradasi klorofil sehingga terjadi perubahan warna kulit dari hijau
menjadi kuning sampai merah (Kays dan Paull, 1991).
Karotenoid terdiri dari kelompok yang secara alami menjadikan
pigmen pada buah maupun bunga menarik perhatian dengan adanya
warna yang terbentuk dari pigmen tersebut. Secara struktur, pigmenpigmen ini merupakan terpenoid yang diturunkan oleh adanya
kondensasi prenyl pyrophosphate. Karotenoid adalah senyawa lipofilik
dan dapat disimpan dalam lingkungan lipofilik. Senyawa-senyawa
tersebut disintesis dan diasingkan dalam plastida (Sandmann, 2001).
Beberapa karotenoid pada membran tilakoid mengirim energi
eksitasinya ke pusat reaksi yang sama dengan klorofil. Secara in vitro
pigmen-pigmen berwarna kuningnya menyerap cahaya biru dan ungu.
Cahaya hijau, kuning, jingga, dan merah dipantulkan oleh kedua
pigmen ini. Kombinasi panjang gelombang yang dipantulkan oleh
kedua pigmen ini berwarna kuning (Dhawi dan Al-Khayri, 2009).
Karotenoid dalam bentuk tilakoid juga berperan dalam melindungi
klorofil dan kerusakan oksidatif oleh oksigen apabila intensitas cahaya
sangat tinggi (Tranaviciene et al., 2008).
5) Kadar Vitamin C
Selama masa penyimpanan, kadar vitamin C pada buah
menjadi naik akibat adanya proses pemasakan. Adanya peningkatan
25
tersebut disebabkan oleh banyaknya kandungan asam askorbat pada
buah yang telah masak dibandingkan dengan buah yang belum masak,
dan selama masa penyimpanan asam askorbat meningkat (Breemer,
1996). Penelitian yang dilakukan oleh Fiandarti (2002) menunjukkan
bahwa buah tomat matang hijau yang diberi interaksi perlakuan
pelapisan kitosan dan lama penyimpanan dapat mempengaruhi
kenaikan kandungan vitamin C pada buah tersebut selama 21 hari
penyimpanan.
Buah yang disimpan mengalami reaksi oksidasi yang
berpengaruh pada fungsi asam askorbat. Mekanisme reaksi oksidasi
vitamin C diawali dengan teroksidasinya produk monodehidroaskorbat
radikal (MDHA) yang juga dikena sebagai semihidroaskorbat. MDHA
direduksi kembali menjadi asam L-askorbat dengan adanya aktivitas
NAD(P) atau reaksi transfer elektron. Asam ini masih mempunyai
keaktifan sebagai vitamin C, akan tetapi MDHA atau bentuk oksidasi
asam L-dehidroaskorbat bersifat labil dan dapat berubah menjadi 2,3L-diketogulonat yang tidak mempunyai keaktifan vitamin C. Jika
produk asam tersebut telah terbentuk, maka dapat menghilangkan
kandungan asam askorbat yang ada dalam bahan (Gambar 5) (Davey et
al., 2000).
26
Gambar 5. Reaksi oksidasi asam askorbat (May, 1998)
3.
Pelapis Buah (Edible coating)
Edible coating merupakan suatu metode yang digunakan untuk
memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu dari suatu produk
pangan, biasanya buah dan sayuran. Edible coating adalah lapisan tipis yang
dibentuk untuk memberikan penahanan yang selektif terhadap adanya
perpindahan massa, seperti adanya penurunan susut bobot suatu pangan atau
laju repirasi yang berlangsung cepat pada buah (Krochta et al., 1994).
Pengemasan yang tepat pada buah dan sayuran buah dapat melindungi buah
dan sayuran dari adanya kerusakan mekanik, debu, kehilangan kelembaban
dan perubahan fisik yang tak diingini selama penyimpanan, transportasi dan
pemasaran. Kemasan tidak dapat meningkatkan kualitas tapi dapat membantu
menjaga dan melindungi bahan yang dikemas (Sharma dan Singh, 2000).
Edible coating dapat diterapkan ke dalam makanan-makanan
heterogenous di antara lapisan komponen yang berbeda. Coater dapat
disesuaikan untuk mencegah adanya migrasi zat terlarut yang berlebih serta
kehilangan uap air yang banyak. Coater juga dapat difungsikan sebagai
27
antimikroba dan agen antioksidan. Dalam aplikasi yang serupa, juga dapat
digunakan pada lapisan permukaan makanan untuk mengontrol laju difusi zat
pengawet dari permukaan ke bagian dalam makanan (Kester dan Fennema,
1986).
Dalam aplikasi pelapisan makanan, coater dapat diaplikasikan melalu
beberapa metode seperti pencelupan, penyemprotan, pengolesan, serta
pendulangan diikuti oleh adanya pengeringan. Pada dasarnya, komponen
yang digunakan dalam preparasi edible coating terdiri dari hidrokoloid, lipid,
dan komposit. Hidrokoloid yang dapat digunakan, yaitu protein, polisakarida,
dan alginat. Lipid yang digunakan adalah asam lemak dan gliserol.
Sedangkan, komposit merupakan coater yang terdiri dari komponen lipid dan
hidrokoloid (Donhowe dan Fennema, 1993).
Secara umum, polisakarida dalam edible coating bersifat hidrofilik
akibat kekurangan uap air serta penghalang gas (gas barrier). Akan tetapi,
coating dari bahan ini dapat bertindak sebagai agen dalam memperlambat
adanya kehilangan kelembapan yang cukup banyak pada produk makanan
(Kester dan Fennema, 1986), sedangkan lipid yang digunakan dalam edible
coating kurang begitu baik karena memiliki kekuatan struktur film yang
rapuh akibat adanya karakter hidrofobik pada film dan sering digunakan
sebagai penghambat uap air (Debeaufort et al., 1993).
Saat ini edible coating banyak diaplikasikan pada makanan melalui
berbagai variasi perlakuan penambahan bahan alam. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Azzahra, dkk. (2013), edible coating yang diberi
28
penambahan minyak atsiri lengkuas merah memberikan pengaruh yang
positif terhadap stabilitas pH dan warna fillet ikan patin selama penyimpanan
suhu beku. Edible coating juga dapat divariasikan dengan konsentrasi yang
berbeda untuk memberikan tekstur, warna, dan kekenyalan yang baik pada
bakso sapi (Mahbub dkk., 2012). Selain itu, edible coating banyak sekali
diterapkan pada buah-buahan, seperti jeruk, mangga, pisang, dan alpukat.
Menurut Krochta et al. (1994), teknik aplikasi pelapisan pada buah
dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Pencelupan (dipping)
Teknik ini diaplikasikan pada produk pangan yang memiliki
lapisan permukaan yang kurang nyata. Setelah dicelupkan, maka produk
pangan dibiarkan terlebih dahulu pada suhu ruang hingga dingin dan
edible coating menempel pada permukaan. Teknik ini dapat diaplikasikan
pada daging, ikan, buah dan sayuran.
b. Penyemprotan (spraying)
Teknik ini diaplikasikan pada produk pangan yang memiliki dua
lapisan permukaan, seperti pizza. Teknik ini dapat menciptakan produk
dengan lapisan yang lebih tipis dan seragam dibandingkan dengan teknik
pencelupan.
c. Pembungkusan (casting)
Teknik ini dikembangkan untuk menciptakan lapisan yang
terpisah dari produk pangan. Teknik ini merupakan pengembangan dari
teknik pelapisan untuk non-coater.
29
d. Pengolesan (brushing)
Teknik dilakukan dengan mengoles edible coating pada produk
pangan. Teknik ini sedikit memakan waktu, akan tetapi dapat
menghasilkan produk dengan lapisan film yang seragam dan sesuai yang
diinginkan.
4.
Kitosan
Kitosan merupakan jenis polisakarida turunan kitin yang memiliki
stuktur kimia yang hampir serupa dengan selulosa, hanya dibedakan oleh ada
tidaknya nitrogen. Kitin secara alami tersedia melimpah di alam karena
berasal dari material pendukung crustacea. Kitin dapat didegradasi oleh
kitinase yang dihasilkan oleh hewan-hewan jenis crustacea. Sama halnya
dengan selulosa, kitin memiliki fungsi secara alami sebagai struktur
polisakarida. Sedangkan, kitosan termasuk turunan kitin yang dapat
membentuk film yang kuat, elastis, dan sulit dirobek, sehingga efektif untuk
digunakan sebagai bahan pengemas makanan (Zhang et al., 2011). Struktur
kimia kitosan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur kimia kitosan (Ravi, 2000)
30
Kitin merupakan biopolimer alami melimpah kedua setelah selulosa
yang biasa diperoleh dari kulit udang melalui proses ekstraksi terlebih dahulu.
Kitin memiliki kegunaan dan prospek yang baik dalam industri, sehingga
menjadi bahan yang banyak digunakan dalam berbagai penelitian. Selain
kitin, kulit udang juga mengandung protein dan kalsium yang dapat
digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan ternak (Suptijah dkk.,
1992).
Kitosan merupakan polisakarida linear yang bersifat non toksik,
biodegradable, biofungsional, dan biocompatible. Kitosan memiliki tingkat
aktivitas antimikroba dan antifungal yang secara efektif dapat mengontrol
kerusakan buah. Kitosan dengan mudah membentuk lapisan pada buah dan
sayuran, dan laju respirasi buah dan sayuran dapat direduksi dengan
menyesuaikan permeabilitas karbon dioksida dan oksigen (Elsabee dan
Abdou, 2013). Kitosan juga dapat dikombinasikan dengan substansi lain
untuk memberikan hasil pelapisan yang efektif, biasanya pelapisan kitosan
dikombinasikan dengan berbagai metode fisik, seperti pemanasan, penguapan
gas, pengemasan atmosfer termodifikasi, dan lain-lain (Shao et al., 2012).
a. Sumber
Kitin merupakan komponen organik penting yang menyusun
kerangka sensitif, insekta dan moluska, serta penyusun dinding sel
mikroba. Kitin sebagai sumber awal kitosan dapat ditemukan pada limbah
udang dan rajungan dengan berat kering masing-masing sebesar 14 – 27%
dan 13 – 15% tergantung dari jenis spesiesnya. Dari sekian banyak sumber
31
kitosan, hanya kulit udang yang telah dimanfaatkan secara komersial
(Knorr, 1982).
Menurut Suptijah, dkk. (1992), limbah udang yang menjadi sumber
terbesar kitin dikategorikan ke dalam tiga jenis berdasarkan jenis
pengolahannya, yaitu kepala udang, kulit udang, dan campuran keduanya
yang biasanya berasal dari industri pengalengan udang. Purwatiningsih
(1992) menyatakan bahwa kulit udang sangat mudah diperoleh
dibandingkan dengan sumber kitin lainnya, serta tersedia dalam jumlah
yang besar karena berasal dari hasil industri pengolahan udang yang
banyak tersebar di Indonesia.
b. Aplikasi
Badan Standarisasi Nasional (2006) menetapkan bahwa kitosan
termasuk ke dalam pelapis yang edible dan praktis dalam melapisi
permukaan makanan. Dalam kehidupan sehari-hari, kitosan dapat
digunakan dalam industri edible film untuk mengatur adanya perpindahan
uap antara makanan dan lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat
antimikroba, zat-zat antioksidan, dan zat-zat nutrisi, mereduksi tekanan
parsial
oksigen,
menahan
kegiatan
browning
pada
buah,
serta
mengembalikan tekanan osmosis sensitif (Shahidi et al., 1999). Penelitian
yang dilakukan oleh Chailoo dan Asghari (2011) menyatakan bahwa
kitosan dengan dapat memperpanjang masa simpan buah ceri hingga 30 –
60 hari setelah panen dengan menghambat pertumbuhan in vitro berbagai
32
fungi, termasuk beberapa yang menyebabkan kerusakan pada buah
tersebut.
Pelapisan kitosan yang sebelumnya telah dimodifikasi secara
molekuler dapat mencegah dan menghambat adanya kerusakan pada buah
jeruk yang disebabkan oleh Penicillium digitatum, Penicillium italicum,
Botrydiplodia lecanidion, dan Botrytis cinerea, setelah 14 hari
penyimpanan pada suhu 25°C (Chien et al., 2007). Kitosan dengan
konsentrasi 3% yang diaplikasikan dalam model penyemprotan sebelum
masa panen juga dapat secara efektif menghambat kerusakan pascapanen
buah strawberry yang disebabkan oleh Botrytis cinerea selama
penyimpanan pada suhu 3°C dan 13°C (Bhaskara et al., 2000). Penelitian
yang dilakukan oleh Lestari (2014) menunjukkan bahwa kitosan dengan
konsentrasi
4%
yang
dikombinasikan
dengan
suhu
5°C
dapat
memperpanjang masa simpan buah alpukat hingga 30 hari masa
penyimpanan.
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Ali
(2012)
juga
menunjukkan bahwa kitosan dengan konsentrasi 2% dapat memperpanjang
buah pepaya hingga 15 hari penyimpanan.
Di samping aplikasinya pada buah dan sayuran, kitosan juga dapat
dimanfaatkan dalam bidang kesehatan sebagai bahan anti kolesterol, bahan
pembungkus kapsul, serta sebagai bahan anti tumor karena adanya sifat
sensitif dan antikoagulan dalam darah (Shahidi et al., 1999).
33
c. Sifat Fisika dan Kimia
Kitosan termasuk ke dalam produk deasetilasi kitin dengan
menggunakan basa kuat. Senyawa dengan rumus molekul (C6H11NO4)n ini
merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sedikit larut dalam HCl,
HNO3, dan HPO4, serta tidak larut dalam H2SO4 (Hirano, 1989). Kitosan
merupakan polimer dari 2-deoksi-2-amino glukosa (kitin) terdeasetilasi
yang memiliki ikatan (1 – 4)α. Besarnya gugus asetil yang hilang dari
polimer kitin akan semakin memperkuat interaksi antar ion dan ikatan
hidrogen dari kitosan (Knorr, 1982).
Kitosan tidak dapat larut dalam pelarut organik, tetapi dapat larut
dalam beberapa larutan asam organik. Kitosan tidak larut dalam air,
larutan basa kuat, serta larutan yang mengandung konsentrasi ion hidrogen
di atas pH 6,5, tetapi kitosan dapat larut dalam asam hidroklorat dan asam
nitrat pada konsentrasi 0,15 – 1,1% dan tidak larut pada konsentrasi asam
10%. Kitosan juga dapat larut sebagian pada asam ortofosfat dengan
konsentrasi 0,5% (Ornum, 1992). Pada umumnya, pelarut kitosan yang
baik digunakan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1 – 2% (Knorr,
1982).
Sifat reaktifitas kimia yang tinggi menyebabkan kitosan mampu
mengikat air dan minyak. Gugus polar yang terdapat pada kitosan
mendukung hal tersebut, sehingga kitosan dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik sebagai pengikat,
penstabil, dan pembentuk tekstur. Kemampuan yang dimiliki kitosan dapat
34
memperbaiki penampakan dan tekstur suatu produk karena adanya
pengikat air dan minyak yang tahan panas (Jumeri dkk., 2007). Adanya
gugus amino pada rantai karbonnya juga dapat menyebabkan kitosan
bermuatan positif, sehingga berlawanan dengan polisakarida lainnya
(Paramita, 2010).
Kitosan mengandung polikation bermuatan positif yang dapat
menekan pertumbuhan bakteri. Polikation ini juga dapat berikatan dengan
senyawa-senyawa lain yang bermuatan, seperti polisakarida, asam nukleat,
serta protein. Buah-buah, sayuran, serta makanan lain yang dilapisi dengan
kitosan secara langsung akan berikatan dengan polikation yang ada pada
kitosan, sehingga kemampuan untuk menekan pertumbuhan mikroba dapat
berlangsung dengan baik (Sembiring, 2011).
d. Ekstraksi
Pada proses pembuatannya, kitosan memiliki tiga tahap proses
ekstraksi, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Proses
demineralisasi berarti penghilangan mineral yang ada pada bahan yang
mengandung kitin. Adanya penghilangan atau pemisahan mineral ini
bertujuan untuk menghilangkan senyawa organik pada limbah kulit udang,
sehingga kitin yang dihasilkan semakin baik. Pelarut yang umum
digunakan adalah HCl. Proses deproteinasi adalah menghilangkan protein
dari limbah udang dengan mengikat ujung rantai protein menjadi Naproteinat yang selanjutnya dapat dipisahkan kembali dengan menurunkan
pH akibat adanya pengendapan natrium. Pelarut yang biasa digunakan
35
adalah NaOH, KOH, Na2CO3, dan K2CO3. Hasil akhir dari proses
demineralisasi dan deproteinasi ini adalah kitin (Robert, 1992).
Tahap ekstraksi yang terakhir adalah deasetilasi. Pada tahap ini
kitin akan diubah menjadi kitosan dengan menghilangkan gugus asetil
(-COCH3) pada kitin. Proses penghilangan ini dilakukan dengan
menggunakan larutan NaOH pekat pada suhu yang tinggi. Konsentrasi
larutan serta suhu yang tinggi dapat memperkuat ikatan antara atom
nitrogen pada gugus amin dengan gugus asetil. Banyaknya gugus asetil
yang hilang dari polimer kitin dapat meningkatkan interaksi antar ion dan
ikatan hidrogen dari kitosan (Ornum, 1992).
e. Jarak penetrasi Kitosan selama Penyimpanan Buah
Kitosan termasuk ke dalam polisakarida dengan berat molekuler
yang tinggi. Kitosan yang terlarut dalam asam organik dapat digunakan
sebagai lapisan yang sensitif pada buah (Trung et al., 2011). Kitosan yang
diaplikasikan pada buah dengan berbagai macam metode, seperti
pelapisan, penyemprotan, dan lain-lain, secara langsung akan menyerap ke
dalam jaringan-jaringan kulit buah dan menjadi barrier yang dapat
menghambat adanya kerusakan pada buah selama masa penyimpanan.
Kerja lapisan kitosan dalam menghambat terjadinya berbagai perubahan
fisik dan kimia dapat berlangsung maksimal ketika kitosan sudah
menembus dan meresap ke dalam kulit buah. Bagian eksokarpium pada
buah memiliki susunan yang rapat, sehingga dibutuhkan waktu tertentu
hingga kitosan dapat meresap ke dalam kulit buah (Whitaker, 1996).
36
5.
Suhu dan Penyimpanan Buah
Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada fisiologi buah
selama masa penyimpanan. Suhu yang tinggi dapat mempercepat masa
simpan buah, sehingga buah mengalami kerusakan fisiologis lebih cepat
sebelum masa simpan berakhir. Penggunaan suhu rendah sangat efektif untuk
memperpanjang masa simpan buah selama masa penyimpanan. Penyimpanan
buah pada suhu rendah dapat menurunkan proses respirasi, memperkecil
transpirasi, dan menghambat perkembangan mikroba, sehingga dapat
mempertahankan kualitas dan memperpanjang masa simpan buah (Pantastico,
1989). Tetapi, penyimpanan buah pada suhu rendah tidak menekan aspek
metabolisme pada tingkat yang sama (Darsana dkk., 2003).
Penyimpanan pada suhu dingin merupakan proses pengawetan buah
dengan cara pendinginan pada suhu di atas pembekuannya. Suhu dingin
ditetapkan sesuai dengan sifat dan karakteristik masing-masing buah. Proses
ini menuntut adanya pengendalian terhadap kondisi lingkungan, seperti suhu
yang rendah, komposisi udara, kelembapan, dan sirkulasi udara (Kader,
1992). Penyimpanan pada suhu dingin diperlukan untuk menurunkan aktivitas
biokimia yang berhubungan dengan kerusakan buah, pembusukan buah, dan
senesen. Selain itu, penyimpanan buah pada suhu rendah juga dapat
mengurangi kelayuan akibat kehilangan air, menurunnya laju reaksi kimia
dan laju pertumbuhan mikroba pada buah yang disimpan (Pantastico, 1989).
Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati, dkk. (2009) menyatakan
bahwa suhu 10°C dapat memperpanjang masa simpan cabai rawit serta
37
berpengaruh nyata terhadap kandungan vitamin C yang dimiliki cabai rawit
tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Anjarsari (1995) juga membuktikan
bahwa suhu yang optimum bagi penyimpanan buah manggis adalah 15°C.
Akan tetapi, adanya reaksi sensitif pada suhu rendah yang digunakan dapat
menyebabkan terjadinya chilling injury akibat penyimpanan yang berada di
bawah suhu kritis, seperti suhu di bawah 5°C, sehingga penyimpanan pada
suhu yang sangat rendah jarang digunakan. Maka dari itu, suhu yang baik
digunakan dalam penyimpanan sangat bergantung pada jenis dan tingkat
kematangan komoditas yang disimpan (Setyawati dan Asiani, 1992).
38
B. Kerangka Pemikiran
Tingkat permintaan konsumen terhadap cabai semakin tinggi dari tahun ke
tahun. Akan tetapi, permasalahan pascapanen cabai yang terjadi saat ini adalah
rusaknya cabai sebelum sampai tempat tujuan atau selama masa pengangkutan,
sehingga perlu adanya penanganan pascapanen untuk memperpanjang masa
simpan cabai. Jenis cabai yang sangat diminati oleh masyarakat, yaitu cabai merah
varietas Hibrida F1. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian terkait pengaruh
penyimpanan pada suhu rendah serta konsentrasi kitosan terhadap kekerasan buah
yang telah dilapisi kitosan, jarak penetrasi kitosan pada penampang lintang kulit
cabai setelah pemberian kitosan, serta karakter fisiologi dan biokimia (susut
bobot, laju respirasi, pigmen buah, dan vitamin C) pada cabai merah selama masa
penyimpanan. Alur kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 7.
39
Permintaan konsumen pada cabai merah besar semakin meningkat
Permasalahan pascapanen (buah busuk sebelum sampai tempat tujuan atau
selama masa penyimpanan)
Perpanjangan masa simpan
Variasi konsentrasi kitosan
(0%, 2%, 3%, dan 4%)
Variasi suhu penyimpanan
(5°C, 15°C, dan 25°C)
Pengujian atau analisis
Indikator
Kekerasan buah
setelah dilapisi
kitosan
Jarak penetrasi
kitosan pada penampang lintang kulit
cabai (µm)
Karakter fisiologi dan biokimia
Bobot basah (g)
Laju respirasi (ml/kg minggu)
Pigmen buah
Vitamin C (mg/100 g)
Modifikasi pascapanen dengan suhu rendah dan konsentrasi kitosan dapat
memperpanjang masa simpan cabai merah
Gambar 7. Bagan alir kerangka pemikiran
40
C. Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini antara lain:
1.
Semakin rendah suhu penyimpanan dan semakin tinggi konsentrasi kitosan,
maka akan semakin menghambat adanya perubahan kekerasan, jarak
penetrasi kitosan pada kulit cabai, serta karakter fisiologi dan biokimia dari
cabai merah.
2.
Penyimpanan pada suhu 15°C dan pelapisan kitosan dengan konsentrasi 4%
merupakan perlakuan yang optimum dalam memperpanjang masa simpan
dengan mempertahankan kekerasan, jarak penetrasi kitosan pada kulit cabai,
serta karakter fisiologi dan biokimia cabai merah.
Download