BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Cabai (Capsicum annum L.) Cabai merupakan tanaman perdu yang berasal dari benua Amerika, lebih tepatnya daerah Peru, kemudian menyebar ke negara-negara di benua Amerika, Eropa, dan Asia termasuk Indonesia. Cabai merupakan komoditas hortikultura penting yang telah menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari di Indonesia. Tanaman ini memiliki nilai ekonomis karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan (Santika, 2002). Cabai merah dikenal dengan berbagai nama, antara lain Guinea pepper, piment, dan red pepper (Inggris); Beisbcere dan Spanischer pfeffer (Jerman); dan Spaanse pepper (Belanda), sedangkan di Indonesia, cabai ini dikenal dengan berbagai nama yang berbeda-beda pada masing-masing daerah. Di Sumatra, cabai ini dikenal dengan cabi, campli, lada, dan banai. Di Jawa, cabai besar ini disebut cabe, lombok, dan mengkreng. Di Maluku, cabai besar juga bisa disebut araputa, cabe-cabe, dan rica. Adapun varietasvarietas cabai besar yang sudah komersial di Indonesia, seperti cabai merah besar, cabai keriting, cabai hijau, cabai paprika, dan lain-lain. Tiga jenis yang disebut pertama banyak diminati dan dikonsumsi oleh masyarakat (Pitojo, 2003). 7 8 a. Klasifikasi Kedudukan tanaman cabai dalam sistem taksonomi tumbuhan adalah sebagai berikut: Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Asteridae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Capsicum Spesies : Capsicum annum L. (Steenis, 1978). b. Morfologi Tanaman cabai merah merupakan tanaman perdu yang tumbuh tegak dengan batang berkayu yang dapat tumbuh hingga ketinggian 120 cm, serta memiliki lebar tajuk tanaman hingga 90 cm (Gambar 1). Gambar 1. Morfologi tanaman cabai merah (Pitojo, 2003) Tanaman ini memiliki jumlah cabang yang banyak dan setiap cabang akan muncul bunga yang nantinya berkembang menjadi buah. 9 Batang tanaman ini berwarna hijau tua dan berkayu. Pada ketinggian batang tertentu akan membentuk percabangan menjadi dua yang menyerupai huruf “Y”. Batangnya berbentuk silindris dengan diameter yang berukuran kecil, serta tajuk daun yang lebar (Wiryanta, 2002). Daun cabai merah berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 8 – 12 cm dan lebar 3 – 5 cm, serta meruncing pada bagian pangkal dan ujung daun. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan permukaan bagain bawah berwarna hijau muda. Tangkai daun memiliki panjang yang berkisar 2 – 4 cm yang melekat pada percabangan, sedangkan tulang daunnya berbentuk menyirip (Samadi, 1997). Cabai merah memiliki bunga yang berkelamin dua, karena pada satu bunga terdapat benang sari dan kepala putik. Bunga cabai tersusun dari tangkai bunga yang memiliki ukuran panjang sekitar 1 – 2 cm, kelopak bunga, mahkota bunga, dan alat kelamin yang meliputi kepala sari dan kepala putik. Mahkota bunga berwarna putih dan akan rontok jika buah telah terbentuk. Kepala putik berwarna kuning kehijauan dan tangkai kepala putiknya berwarna putih dengan kisaran panjang 0,5 cm. Kepala sari yang telah masak berwarna biru sampai ungu. Letak bunga cabai berada pada posisi menggantung dengan warna yang menarik (Wiryanta, 2002). Buah cabai merah memiliki bentuk yang bervariasi sesuai dengan jenisnya. Buah cabai merah varietas Hibrida F1 memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan varietas cabai merah yang lain, sehingga banyak 10 dibudidayakan oleh petani. Buah cabai besar biasanya muncul dari percabangan atau ketiak daun dengan posisi buah menggantung. Berat cabai sangat bervariasi pada kisaran 5 – 25 gram. Buah cabai yang masih muda berwarna hijau, kemudian berangsur-angsur berubah menjadi merah ketika buahnya tua (Redaksi Agromedia, 2007). Cabai jenis ini paling banyak dibudidayakan petani karena memiliki nilai jual yang paling tinggi di antara varietas-varietas cabai yang lain (Wiryanta, 2002). Morfologi buah cabai merah besar dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Morfologi buah cabai merah besar var. Hibrida F1 (Pitojo, 2003) c. Kandungan Gizi Setiap 100 g cabai merah mengandung berbagai kandungan gizi dan vitamin yang diperlukan oleh tubuh manusia, terutama kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, serta vitamin A, B1, dan C (Harpenas dan Darmawan, 2011). Kandungan gizi cabai merah disajikan pada Tabel 1. 11 Tabel 1. Kandungan gizi tiap 100 g buah cabai merah (Wirakusumah, 1995) Kandungan Gizi Nilai rata-rata Energi 31,00 kkal Protein 1,00 g Lemak 0,30 mg Karbohidrat 7,30 mg Kalsium 29,00 mg Fosfor 24,00 mg Serat 0,30 mg Besi 0,50 mg Vitamin A 71,00 RE Vitamin B1 0,05 mg Vitamin B2 0,03 mg Vitamin C 18,00 mg Niasin 0,20 mg d. Manfaat Cabai merah dapat dimanfaatkan sebagai pendetoksi alami di dalam tubuh, sehingga asupan nutrisi dapat ditingkatkan ke seluruh tubuh. Cabai merah juga dapat merangsang pelepasan endorphin yang dapat menimbulkan efek penghilang rasa sakit alami. Vitamin-vitamin yang terkandung dalam cabai juga dapat dimanfaatkan dalam mengurangi resiko terkena penyakit. Vitamin C, folat, serta beta-karoten yang terkandung dapat mengurangi resiko kanker usus besar. Vitamin B6 dan asam folat yang terkandung dapat mengurangi resiko terkena serangan jantung dan stroke (Harpenas dan Darmawan, 2011). 12 Cabai merah yang dijadikan ekstrak telah dilaporkan memiliki pengaruh terhadap jumlah sel germinal testis tikus putih jantan (Mutiara dkk., 2013). Ekstrak beberapa organ cabai merah juga dapat digunakan sebagai bioregulator dan pelukaan stek pada pertumbuhan awal suatu tumbuhan (Bambang dan Sundahri, 2012). Penelitian Rahim, dkk. (2014) meyatakan bahwa ekstrak etanolik daun cabai merah dapat dijadikan antibakteri terhadap baketri Staphylococcus aureus sebagai alternatif pengobatan infeksi saluran pernapasan. 2. Proses Pemasakan Buah Selama masa penyimpanan, cabai mengalami peningkatan produksi etilen seiring dengan meningkatnya laju respirasi. Produksi etilen yang semakin meningkat menyebabkan aktivitas respirasi semakin tinggi pada cabai, yang ditandai dengan banyaknya oksigen yang diserap. Produksi etilen yang tinggi tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim yang dirangsang oleh faktor suhu. Suhu ruang menyebabkan aktivasi enzim lebih cepat dalam mensintesis hormon etilen pada cabai (Kartasanapoetra, 1989). Etilen merupakan hormon tumbuhan yang memegang peranan penting dalam proses pemasakan buah, khususnya buah klimaterik (Genard dan Gouble, 2005). Hormon ini merupakan hormon endogen tanaman yang dapat mempengaruhi berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan, seperti perkecambahan, senesen daun dan bunga, pemasakan buah, absisi daun, nodulasi akar, determinasi seks, program kematian sel, serta tanggapan terhadap serangan stress dan patogen (Abeles et al., 1992). 13 Etilen bersifat sederhana, organik, berada dalam bentuk gas dengan rumus C2H4, serta memiliki ikatan ganda dengan hidrokarbon tak jenuh. Etilen memiliki efek dalam pemasakan buah klimaterik. Efek dari etilen ini telah dimanfaatkan dari tahun ke tahun, akan tetapi untuk mekanisme secara molekuler masih diteliti lebih lanjut. Hormon etilen yang diproduksi selama pemasakan cabai dapat mempengaruhi mutu dan kualitas cabai, seperti menurunkan tingkat kekerasan, bobot basah, serta merangsang perubahan warna yang cepat pada cabai (Mayerhofer, 2011). Jalur biosintesis etilen diawali dengan adanya precursor S-adenosyl-Lmethionine (SAM) yang diproduksi oleh SAM sintase menggunakan metionin. Kemudian, SAM dikonversi menjadi asam 1-aminocyclopropane-1carboxylic (ACC) dan 5’-methylthioadenosine (MTA) yang dikatalisis oleh ACC sintase (ACS). Selanjutnya, ACC dikonversi menjadi etilen dan dikatalisis oleh ACC oksidase. Tahap tersebut merupakan tahap final dari biosintesis etilen. Dua kunci yang memegang kontrol adalah ACC sintase dan ACC oksidase. Etilen didilusi dari jaringan buah dan didifusikan ke atmosfer. Volume dan permeabilitas kulit buah merupakan ciri biofisik buah yang penting untuk mempertimbangkan analisa emisi hormon etilen (Gambar 3) (Tsuchisaka dan Theologis, 2004). 14 Gambar 3. Jalur biosintesis etilen (Vriezen et al., 2003) a. Perubahan Fisiologi selama Proses Pemasakan Buah Pemasakan atau pematangan buah merupakan suatu proses ketika pertumbuhan sel pada buah telah mencapai maksimum. Pemasakan buah termasuk ke dalam tahap terakhir dari keseluruhan pertumbuhan tanaman. Sebelum tahap ini, buah memasuki proses matang fisiologis dimana buah telah menuju proses pemasakan dan siap untuk dipanen meskipun kualitas yang dimiliki belum sesuai. Tahap ini dipicu oleh adanya serangkaian proses metabolime yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahanperubahan fisik dan kimia. Adanya aktivitas fisiologis yang terjadi dapat mengakibatkan kemunduran mutu dan juga mempengaruhi derajat kematangan. Proses respirasi menjadi proses metabolik yang penting dalam perombakan substrat organik selama pemasakan buah (Breemer, 1996). Pemasakan yang terjadi pada cabai memicu adanya perubahan fisiologis dan biokimia. Perubahan fisiologis dan biokimia yang terjadi selama proses tersebut antara lain perubahan warna, pelunakan, dan 15 peningkatan susut bobot buah (Fiandarti, 2002), perubahan laju produksi CO2 (Dominguez and Vendrell, 1993), perubahan kadar klorofil, gula, dan pati (Marriott et al., 1981), perubahan kadar vitamin (Winarno, 2002), serta peningkatan produksi etilen (Pantastico, 1989). 1) Perubahan Kekerasan Buah Kekerasan buah merupakan perubahan fisik yang dapat mempengaruhi karakter morfologi buah selama masa penyimpanan. Perubahan ini dapat terjadi akibat adanya proses respirasi dan pembentukan hormon etilen selama proses pemasakan (Harjanti, 1997). Tingkat kekerasan buah ditentukan oleh senyawa-senyawa pektin dan selulosa yang terkandung di dalamnya. Proses penurunan jumlah senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan buah menjadi lunak selama proses pemasakan. Pada saat proses pemasakan buah juga terjadi pengurangan jumlah protopektin yang tidak larut dan penambahan jumlah pektin yang larut (Palmer, 1981). Semakin tinggi tingkat kekerasan pada buah, maka tekstur yang dimiliki semakin keras. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa yang menentukan kekerasan buah seperti selulosa, pektin, dan hemiselulosa (Noor, 2007). Proses pemasakan buah yang cepat dapat meningkatkan proses respirasi, sehingga menyebabkan rusaknya ikatan selulosa pada dinding sel kemudian mengalami perubahan. Adanya perubahan 16 kekerasan buah selama masa penyimpanan juga dapat terjadi karena adanya perubahan turgor sel, yang dapat menyebabkan hilangnya kesegaran buah (Winarno dan Laksmi, 1984). Kekerasan buah juga berhubungan erat dengan kandungan air pada kulit buah. Kekerasan buah cenderung meningkat, sedangkan kadar air kulit buah cenderung menurun selama masa penyimpanan pada suhu ruang maupun suhu dingin. Adanya penurunan kadar air tersebut terjadi akibat adanya proses transpirasi dan respirasi buah selama masa penyimpanan (Suyanti dan Setyadjit, 2007). Tingkat kekerasan pada buah telah banyak diteliti dengan menggunakan berbagai macam modifikasi perlakuan, seperti pemberian senyawa cair, penyimpanan pada suhu rendah, dan penggunaan pelapis buah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Normasari dan Purwoko (2002) pada buah tomat menunjukkan bahwa pemberian CaCl2 saat prapanen berpengaruh nyata dalam menghambat pelunakan dan memperpanjang masa simpan buah tomat karena ikatan pektin yang dihasilkan oleh kalsium dapat menghasilkan integritas membrane yang lebih stabil dan dapat menguatkan dinding sel. Penelitian yang dikaji oleh Noor (2007) menyatakan bahwa penyimpanan dalam udara termodifikasi berpengaruh sangat nyata terhadap kekerasan dan warna buah pisang selama penyimpanan akibat adanya interaksi antara kombinasi gas dan waktu penyimpanan yang juga menunjukkan pengaruh yang sangat nyata. 17 Pengukuran tingkat kekerasan kulit buah yang berhubungan dengan tingkat kadar air pada kulit buah buah juga dapat dianalisis dengan metode NIR Spectroscopy (Novita dkk., 2011). Hasil penelitian mengenai penampang melintang kulit manggis juga menunjukkan bahwa ruang-ruang antar sel jaringan parenkim kulit luar dan tengah terisi oleh cairan pada awal penyimpanan, tetapi pada akhir penyimpanan ruang-ruang antar sel tersebut rusak akibat kehilangan cairan, sehingga terjadi penebalan dinding sel yang dapat mengakibatkan kulit buah menjadi keras akibat zat pektin yang saling berikatan (Qanytah, 2004). Kekerasan buah yang baik dapat dilihat dari tekstur buah dari luar. Apabila buah memiliki tekstur yang lembek dan tidak keras, maka buah tersebut memiliki kekerasan buah yang kecil. Akan tetapi, jika tekstur yang dimiliki keras, maka tingkat kekerasan yang dimiliki oleh buah juga tinggi. Kekerasan buah juga dapat dilihat melalui pengukuran dengan alat penetrometer. Apabila nilai yang ditunjukkan oleh penetrometer semakin besar, maka kekerasan buah yang dimiliki semakin baik (Suyanti dan Setyadjit, 2007) 2) Bobot Buah Aktivitas pemanenan buah dapat memicu adanya proses fisiologis sesaat setelah buah dipetik. Saat penyimpanan, proses transpirasi akan berlangsung secara terus menerus sehingga buah kehilangan air. Akibatnya buah kehilangan susut bobot selama masa 18 penyimpanan. Penyusutan bobot buah cenderung meningkat selama masa penyimpanan. Adanya peningkatan susut bobot buah dapat terjadi akibat adanya proses penguapan dan pernapasan dari buah tersebut, terutama pada suhu yang tinggi (Martodiredjo, 1983). Menurut Muchtadi (1992), hilangnya bobot buah selama masa penyimpanan diakibatkan oleh kehilangan air karena penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi. Adanya kehilangan air tersebut tidak hanya menurunkan bobot, tetapi juga dapat menurunkan mutu dan kualitas buah. Buah tomat yang diberi pelapis kitosan 1,5% dapat menghambat kenaikan susut bobot selama 21 hari penyimpanan (Fiandarti, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2012) menunjukkan bahwa buah belimbing yang diberi perlakuan suhu rendah dan pelapisan kitosan dapat menekan kenaikan susut bobot buah hingga 18 hari masa penyimpanan. Buah mangga yang diteliti oleh Wongmetha dan Ke (2012) juga menunjukkan bahwa pelapisan kitosan yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu 10°C dapat menghambat peningkatan susut bobot buah tersebut hingga 20 hari masa penyimpanan. 3) Laju Respirasi Respirasi merupakan reaksi oksidasi senyawa organik untuk menghasilkan energi dalam bentuk ATP atau senyawa berenergi tinggi yang digunakan sebagai senyawa utama yang menunjang aktivitas sel. 19 Proses keseluruhan respirasi merupakan reduksi oksidasi senyawa dioksidasi menjadi CO2, sedangkan CO2 yang diserap direduksi membentuk H2O . Respirasi merupakan metabolisme yang membutuhkan keterlibatan oksigen dalam pembongkaran senyawa makromolekul, seperti karbohidrat, lemak, dan protein yang menghasilkan CO2, air, dan sejumlah elektron. Elektron dihasilkan dari hasil respirasi berupa NADH dan H+. Lalu, senyawa-senyawa tersebut diubah menjadi energi dan air melalui flavoprotein, sistem sitokrom, dan O2 sebagai penerima elektron terakhir. ATP yang terbentuk dapat digunakan untuk segala proses yang terjadi di dalam buah (Salisbury dan Ross, 1995). Buah-buahan yang telah mengalami tahap pemanenan tetap dapat melangsungkan respirasi yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan akibat pengaruh fisiologis, fisik, kimiawi, maupun parasitic (Loveless, 1991). Dalam studi mengenai laju respirasi yang dilakukan pada buah pisang menunjukkan bahwa proses respirasi juga dipengaruhi oleh adanya enzim kinetin (Heydari et al., 2010). Menurut Goldsmidt (1997), respirasi dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap potensi umur simpan. Kecepatan respirasi yang tinggi berhubungan dengan tingkat umur simpan yang pendek. Berdasarkan pola respirasinya, buah dapat dibedakan menjadi buah klimaterik dan buah non klimaterik. Pada buah klimaterik, terjadi proses kenaikan CO2 secara mendadak dan mengalami penurunan yang 20 cepat sesaat setelah terjadi proses pematangan. Buah klimaterik ditandai dengan adanya waktu proses pemasakan yang cepat dan peningkatan respirasi yang mencolok, serta ditandai dengan adanya perubahan warna, cita rasa, tekstur. Buah-buahan yang tergolong ke dalam buah klimaterik antara lain pepaya, mangga, pisang, alpukat, tomat, dan sebagainya. Sedangkan, buah non klimaterik tidak mengalami proses kenaikan CO2 yang diikuti dengan penurunan CO2 yang cepat. Buah non klimaterik tidak menunjukkan adanya peningkatan respirasi yang mencolok. Buah-buahan yang tergolong ke dalam buah non klimaterik antara lain jeruk, rambutan, semangka, dan sebagainya (Pantastico, 1989). Selama masa penyimpanan, laju respirasi O2 dan CO2 mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya aktvitas metabolik di dalam sel. Laju respirasi dapat dihambat dengan menggunakan alternatif tertentu, seperti penggunaan pelapis buah atau dengan penyimpanan suhu rendah. Perlakuan tersebut menyebabkan menurunnya laju respirasi dikarenakan substrat yang digunakan untuk proses respirasi mulai berkurang. Selain itu, menurunnya laju respirasi juga disebabkan karena O2 yang ada dipergunakan oleh buah untuk proses respirasi dan oksidasi substrat. Terbatasnya O2 dapat mengakibatkan perombakan klorofil tertunda, produksi C2H4 rendah, laju pembentukan asam askorbat berkurang, serta degradasi senyawa pektin lebih lambat dibandingkan dengan kondisi lingkungan. Hal-hal 21 tersebut dapat memperpanjang daya simpan buah (Amiarsi dkk., 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Pudja (2009) menyatakan bahwa buah salak bali yang diberi dikemas dalam plastik polietilen dengan suhu termodifikasi menurunkan laju respirasi hingga 14 hari masa penyimpanan. 4) Warna Buah Warna buah yang dipengaruhi oleh perubahan pigmen klorofil dan karotenoid merupakan salah satu respon buah pada tingkat pemasakan. Tingkat kematangan buah cabai diawali dengan adanya perubahan warna hijau menjadi merah cerah pascapanen. Selama proses pematangan, cabai mengalami peningkatan aktivitas laju respirasi yang memicu perubahan warna merah menjadi merah kecoklatan (Rosdiana dkk., 2014). Warna hijau yang terbentuk pada cabai prapanen disebabkan oleh adanya klorofil a dan klorofil b (Suyanti, 2004). Pada dasarnya klorofil memiliki struktur molekul yang sangat besar dan terdiri dari empat cincin pirol yang dihubungkan oleh gugus metena (-CH=) membentuk molekul yang pipih. Pada karbon ke-7 terdapat residu propionat yang teresterifikasi dengan fitol, sehingga rantai cabang ini bersifat larut dalam lipid (Winarno, 1997). Klorofil memiliki sifat yang sangat labil. Perubahan warna klorofil menjadi coklat dapat terjadi jika ion Mg pada klorofil disubstitusikan dengan ion H. Selain itu, terjadinya denaturasi pada klorofil akibat pengaruh panas dapat 22 menyebabkan interaksi dengan reaksi kimia luar, sehingga menyebabkan gugus ester pada klorofil terhidrolisa oleh asam yang menyebabkan lepasnya fitol dari molekul. Keluarnya fitol menyebabkan klorofil larut dalam air karena bersifat polar, lalu warna bahan berubah menjadi pucat (Winarno dan Laksmi, 1984). Pada klorofil a terdapat ion magnesium (Mg2+) yang diikat oleh nitrogen dari dua cincin pirol dengan ikatan kovalen serta dua atom nitrogen dari dua cincin pirol lain melalui ikatan koordinasi kovalen, yaitu elektron diberikan dari N pirol pada ion magnesium. Perbedaan antara klorofil a dan b terletak pada atom C nomor 3, yaitu metil pada klorofil a diganti dengan aldehida pada klorofil b (Gambar 4) (Winarno, 1997). Klorofil a Klorofil b Gambar 4. Sruktur kimia klorofil (Ai dan Banyo, 2011) Perubahan warna pada cabai terjadi akibat adanya degradasi pigmen klorofil. Perubahan warna dari hijau menjadi merah disebabkan oleh keberadaan klorofilid a, klorofil a’, dan feofitin a. Adanya klorofilid a sebagai produk degradasi klorofil a disebabkan 23 oleh adanya aktivitas enzim klorofilase yang tinggi. Keberadaan klorofil a selalu disertai dengan sejumlah kecil epimernya, yaitu klorofil a’. Feofitin a merupakan turunan dari klorofil a yang bukan merupakan hasil produk degradasi (Jeffrey dan Hallegraeff, 1987). Menurut Watanabe et al. (1985), klorofil a’ dan feofitin juga dapat ditemukan di daun hijau. Terdegradasinya pigmen klorofil dapat menyebabkan warna dari pigmen-pigmen lain muncul, seperti antosianin, xantofil, dan karoten. Hilangnya klorofil mengakibatkan pigmen karotenoid yang tidak bersintesis menjadi terlihat. Adanya perubahan pigmen inilah yang menyebabkan warna kulit cabai berubah (Wills et al., 1989). Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dan Putri (2013) menunjukkan bahwa proses ekstraksi yang dilakukan pada kulit jeruk bali memiliki perubahan warna kulit dari hijau menjadi oranye. Adanya enzim klorofilase dapat mengkatalisis proses hidrolisis ikatan ester antara 7- asam propionat pada cincin D dari sistem makrosiklik cincin dan fitol, dalam klorofil dan pheofitin (Gross, 1991). Reaksi perubahan warna hijau menjadi merah pada klorofil terjadi akibat rusaknya struktur klorofil. Ion magnesium pada struktur tersebut hilang sehingga senyawa klorofil berubah menjadi senyawa feofitin atau feoforbid. Senyawa-senyawa tersebut merupakan produk degradasi dari klorofil yang kehilangan logam Mg pada cincin makrosiklik (Dailey, 1990). Hilangnya warna hijau merupakan sebuah 24 peralihan dari fungsi kloroplas ke kromoplas yang mengandung pigmen karotenoid. Saat pemasakan, kulit cabai akan mengalami degradasi klorofil sehingga terjadi perubahan warna kulit dari hijau menjadi kuning sampai merah (Kays dan Paull, 1991). Karotenoid terdiri dari kelompok yang secara alami menjadikan pigmen pada buah maupun bunga menarik perhatian dengan adanya warna yang terbentuk dari pigmen tersebut. Secara struktur, pigmenpigmen ini merupakan terpenoid yang diturunkan oleh adanya kondensasi prenyl pyrophosphate. Karotenoid adalah senyawa lipofilik dan dapat disimpan dalam lingkungan lipofilik. Senyawa-senyawa tersebut disintesis dan diasingkan dalam plastida (Sandmann, 2001). Beberapa karotenoid pada membran tilakoid mengirim energi eksitasinya ke pusat reaksi yang sama dengan klorofil. Secara in vitro pigmen-pigmen berwarna kuningnya menyerap cahaya biru dan ungu. Cahaya hijau, kuning, jingga, dan merah dipantulkan oleh kedua pigmen ini. Kombinasi panjang gelombang yang dipantulkan oleh kedua pigmen ini berwarna kuning (Dhawi dan Al-Khayri, 2009). Karotenoid dalam bentuk tilakoid juga berperan dalam melindungi klorofil dan kerusakan oksidatif oleh oksigen apabila intensitas cahaya sangat tinggi (Tranaviciene et al., 2008). 5) Kadar Vitamin C Selama masa penyimpanan, kadar vitamin C pada buah menjadi naik akibat adanya proses pemasakan. Adanya peningkatan 25 tersebut disebabkan oleh banyaknya kandungan asam askorbat pada buah yang telah masak dibandingkan dengan buah yang belum masak, dan selama masa penyimpanan asam askorbat meningkat (Breemer, 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Fiandarti (2002) menunjukkan bahwa buah tomat matang hijau yang diberi interaksi perlakuan pelapisan kitosan dan lama penyimpanan dapat mempengaruhi kenaikan kandungan vitamin C pada buah tersebut selama 21 hari penyimpanan. Buah yang disimpan mengalami reaksi oksidasi yang berpengaruh pada fungsi asam askorbat. Mekanisme reaksi oksidasi vitamin C diawali dengan teroksidasinya produk monodehidroaskorbat radikal (MDHA) yang juga dikena sebagai semihidroaskorbat. MDHA direduksi kembali menjadi asam L-askorbat dengan adanya aktivitas NAD(P) atau reaksi transfer elektron. Asam ini masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin C, akan tetapi MDHA atau bentuk oksidasi asam L-dehidroaskorbat bersifat labil dan dapat berubah menjadi 2,3L-diketogulonat yang tidak mempunyai keaktifan vitamin C. Jika produk asam tersebut telah terbentuk, maka dapat menghilangkan kandungan asam askorbat yang ada dalam bahan (Gambar 5) (Davey et al., 2000). 26 Gambar 5. Reaksi oksidasi asam askorbat (May, 1998) 3. Pelapis Buah (Edible coating) Edible coating merupakan suatu metode yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu dari suatu produk pangan, biasanya buah dan sayuran. Edible coating adalah lapisan tipis yang dibentuk untuk memberikan penahanan yang selektif terhadap adanya perpindahan massa, seperti adanya penurunan susut bobot suatu pangan atau laju repirasi yang berlangsung cepat pada buah (Krochta et al., 1994). Pengemasan yang tepat pada buah dan sayuran buah dapat melindungi buah dan sayuran dari adanya kerusakan mekanik, debu, kehilangan kelembaban dan perubahan fisik yang tak diingini selama penyimpanan, transportasi dan pemasaran. Kemasan tidak dapat meningkatkan kualitas tapi dapat membantu menjaga dan melindungi bahan yang dikemas (Sharma dan Singh, 2000). Edible coating dapat diterapkan ke dalam makanan-makanan heterogenous di antara lapisan komponen yang berbeda. Coater dapat disesuaikan untuk mencegah adanya migrasi zat terlarut yang berlebih serta kehilangan uap air yang banyak. Coater juga dapat difungsikan sebagai 27 antimikroba dan agen antioksidan. Dalam aplikasi yang serupa, juga dapat digunakan pada lapisan permukaan makanan untuk mengontrol laju difusi zat pengawet dari permukaan ke bagian dalam makanan (Kester dan Fennema, 1986). Dalam aplikasi pelapisan makanan, coater dapat diaplikasikan melalu beberapa metode seperti pencelupan, penyemprotan, pengolesan, serta pendulangan diikuti oleh adanya pengeringan. Pada dasarnya, komponen yang digunakan dalam preparasi edible coating terdiri dari hidrokoloid, lipid, dan komposit. Hidrokoloid yang dapat digunakan, yaitu protein, polisakarida, dan alginat. Lipid yang digunakan adalah asam lemak dan gliserol. Sedangkan, komposit merupakan coater yang terdiri dari komponen lipid dan hidrokoloid (Donhowe dan Fennema, 1993). Secara umum, polisakarida dalam edible coating bersifat hidrofilik akibat kekurangan uap air serta penghalang gas (gas barrier). Akan tetapi, coating dari bahan ini dapat bertindak sebagai agen dalam memperlambat adanya kehilangan kelembapan yang cukup banyak pada produk makanan (Kester dan Fennema, 1986), sedangkan lipid yang digunakan dalam edible coating kurang begitu baik karena memiliki kekuatan struktur film yang rapuh akibat adanya karakter hidrofobik pada film dan sering digunakan sebagai penghambat uap air (Debeaufort et al., 1993). Saat ini edible coating banyak diaplikasikan pada makanan melalui berbagai variasi perlakuan penambahan bahan alam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azzahra, dkk. (2013), edible coating yang diberi 28 penambahan minyak atsiri lengkuas merah memberikan pengaruh yang positif terhadap stabilitas pH dan warna fillet ikan patin selama penyimpanan suhu beku. Edible coating juga dapat divariasikan dengan konsentrasi yang berbeda untuk memberikan tekstur, warna, dan kekenyalan yang baik pada bakso sapi (Mahbub dkk., 2012). Selain itu, edible coating banyak sekali diterapkan pada buah-buahan, seperti jeruk, mangga, pisang, dan alpukat. Menurut Krochta et al. (1994), teknik aplikasi pelapisan pada buah dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Pencelupan (dipping) Teknik ini diaplikasikan pada produk pangan yang memiliki lapisan permukaan yang kurang nyata. Setelah dicelupkan, maka produk pangan dibiarkan terlebih dahulu pada suhu ruang hingga dingin dan edible coating menempel pada permukaan. Teknik ini dapat diaplikasikan pada daging, ikan, buah dan sayuran. b. Penyemprotan (spraying) Teknik ini diaplikasikan pada produk pangan yang memiliki dua lapisan permukaan, seperti pizza. Teknik ini dapat menciptakan produk dengan lapisan yang lebih tipis dan seragam dibandingkan dengan teknik pencelupan. c. Pembungkusan (casting) Teknik ini dikembangkan untuk menciptakan lapisan yang terpisah dari produk pangan. Teknik ini merupakan pengembangan dari teknik pelapisan untuk non-coater. 29 d. Pengolesan (brushing) Teknik dilakukan dengan mengoles edible coating pada produk pangan. Teknik ini sedikit memakan waktu, akan tetapi dapat menghasilkan produk dengan lapisan film yang seragam dan sesuai yang diinginkan. 4. Kitosan Kitosan merupakan jenis polisakarida turunan kitin yang memiliki stuktur kimia yang hampir serupa dengan selulosa, hanya dibedakan oleh ada tidaknya nitrogen. Kitin secara alami tersedia melimpah di alam karena berasal dari material pendukung crustacea. Kitin dapat didegradasi oleh kitinase yang dihasilkan oleh hewan-hewan jenis crustacea. Sama halnya dengan selulosa, kitin memiliki fungsi secara alami sebagai struktur polisakarida. Sedangkan, kitosan termasuk turunan kitin yang dapat membentuk film yang kuat, elastis, dan sulit dirobek, sehingga efektif untuk digunakan sebagai bahan pengemas makanan (Zhang et al., 2011). Struktur kimia kitosan dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Struktur kimia kitosan (Ravi, 2000) 30 Kitin merupakan biopolimer alami melimpah kedua setelah selulosa yang biasa diperoleh dari kulit udang melalui proses ekstraksi terlebih dahulu. Kitin memiliki kegunaan dan prospek yang baik dalam industri, sehingga menjadi bahan yang banyak digunakan dalam berbagai penelitian. Selain kitin, kulit udang juga mengandung protein dan kalsium yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan ternak (Suptijah dkk., 1992). Kitosan merupakan polisakarida linear yang bersifat non toksik, biodegradable, biofungsional, dan biocompatible. Kitosan memiliki tingkat aktivitas antimikroba dan antifungal yang secara efektif dapat mengontrol kerusakan buah. Kitosan dengan mudah membentuk lapisan pada buah dan sayuran, dan laju respirasi buah dan sayuran dapat direduksi dengan menyesuaikan permeabilitas karbon dioksida dan oksigen (Elsabee dan Abdou, 2013). Kitosan juga dapat dikombinasikan dengan substansi lain untuk memberikan hasil pelapisan yang efektif, biasanya pelapisan kitosan dikombinasikan dengan berbagai metode fisik, seperti pemanasan, penguapan gas, pengemasan atmosfer termodifikasi, dan lain-lain (Shao et al., 2012). a. Sumber Kitin merupakan komponen organik penting yang menyusun kerangka sensitif, insekta dan moluska, serta penyusun dinding sel mikroba. Kitin sebagai sumber awal kitosan dapat ditemukan pada limbah udang dan rajungan dengan berat kering masing-masing sebesar 14 – 27% dan 13 – 15% tergantung dari jenis spesiesnya. Dari sekian banyak sumber 31 kitosan, hanya kulit udang yang telah dimanfaatkan secara komersial (Knorr, 1982). Menurut Suptijah, dkk. (1992), limbah udang yang menjadi sumber terbesar kitin dikategorikan ke dalam tiga jenis berdasarkan jenis pengolahannya, yaitu kepala udang, kulit udang, dan campuran keduanya yang biasanya berasal dari industri pengalengan udang. Purwatiningsih (1992) menyatakan bahwa kulit udang sangat mudah diperoleh dibandingkan dengan sumber kitin lainnya, serta tersedia dalam jumlah yang besar karena berasal dari hasil industri pengolahan udang yang banyak tersebar di Indonesia. b. Aplikasi Badan Standarisasi Nasional (2006) menetapkan bahwa kitosan termasuk ke dalam pelapis yang edible dan praktis dalam melapisi permukaan makanan. Dalam kehidupan sehari-hari, kitosan dapat digunakan dalam industri edible film untuk mengatur adanya perpindahan uap antara makanan dan lingkungan sekitar, menahan pelepasan zat-zat antimikroba, zat-zat antioksidan, dan zat-zat nutrisi, mereduksi tekanan parsial oksigen, menahan kegiatan browning pada buah, serta mengembalikan tekanan osmosis sensitif (Shahidi et al., 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Chailoo dan Asghari (2011) menyatakan bahwa kitosan dengan dapat memperpanjang masa simpan buah ceri hingga 30 – 60 hari setelah panen dengan menghambat pertumbuhan in vitro berbagai 32 fungi, termasuk beberapa yang menyebabkan kerusakan pada buah tersebut. Pelapisan kitosan yang sebelumnya telah dimodifikasi secara molekuler dapat mencegah dan menghambat adanya kerusakan pada buah jeruk yang disebabkan oleh Penicillium digitatum, Penicillium italicum, Botrydiplodia lecanidion, dan Botrytis cinerea, setelah 14 hari penyimpanan pada suhu 25°C (Chien et al., 2007). Kitosan dengan konsentrasi 3% yang diaplikasikan dalam model penyemprotan sebelum masa panen juga dapat secara efektif menghambat kerusakan pascapanen buah strawberry yang disebabkan oleh Botrytis cinerea selama penyimpanan pada suhu 3°C dan 13°C (Bhaskara et al., 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014) menunjukkan bahwa kitosan dengan konsentrasi 4% yang dikombinasikan dengan suhu 5°C dapat memperpanjang masa simpan buah alpukat hingga 30 hari masa penyimpanan. Penelitian yang dilakukan oleh Ali (2012) juga menunjukkan bahwa kitosan dengan konsentrasi 2% dapat memperpanjang buah pepaya hingga 15 hari penyimpanan. Di samping aplikasinya pada buah dan sayuran, kitosan juga dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan sebagai bahan anti kolesterol, bahan pembungkus kapsul, serta sebagai bahan anti tumor karena adanya sifat sensitif dan antikoagulan dalam darah (Shahidi et al., 1999). 33 c. Sifat Fisika dan Kimia Kitosan termasuk ke dalam produk deasetilasi kitin dengan menggunakan basa kuat. Senyawa dengan rumus molekul (C6H11NO4)n ini merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan HPO4, serta tidak larut dalam H2SO4 (Hirano, 1989). Kitosan merupakan polimer dari 2-deoksi-2-amino glukosa (kitin) terdeasetilasi yang memiliki ikatan (1 – 4)α. Besarnya gugus asetil yang hilang dari polimer kitin akan semakin memperkuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Knorr, 1982). Kitosan tidak dapat larut dalam pelarut organik, tetapi dapat larut dalam beberapa larutan asam organik. Kitosan tidak larut dalam air, larutan basa kuat, serta larutan yang mengandung konsentrasi ion hidrogen di atas pH 6,5, tetapi kitosan dapat larut dalam asam hidroklorat dan asam nitrat pada konsentrasi 0,15 – 1,1% dan tidak larut pada konsentrasi asam 10%. Kitosan juga dapat larut sebagian pada asam ortofosfat dengan konsentrasi 0,5% (Ornum, 1992). Pada umumnya, pelarut kitosan yang baik digunakan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1 – 2% (Knorr, 1982). Sifat reaktifitas kimia yang tinggi menyebabkan kitosan mampu mengikat air dan minyak. Gugus polar yang terdapat pada kitosan mendukung hal tersebut, sehingga kitosan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik sebagai pengikat, penstabil, dan pembentuk tekstur. Kemampuan yang dimiliki kitosan dapat 34 memperbaiki penampakan dan tekstur suatu produk karena adanya pengikat air dan minyak yang tahan panas (Jumeri dkk., 2007). Adanya gugus amino pada rantai karbonnya juga dapat menyebabkan kitosan bermuatan positif, sehingga berlawanan dengan polisakarida lainnya (Paramita, 2010). Kitosan mengandung polikation bermuatan positif yang dapat menekan pertumbuhan bakteri. Polikation ini juga dapat berikatan dengan senyawa-senyawa lain yang bermuatan, seperti polisakarida, asam nukleat, serta protein. Buah-buah, sayuran, serta makanan lain yang dilapisi dengan kitosan secara langsung akan berikatan dengan polikation yang ada pada kitosan, sehingga kemampuan untuk menekan pertumbuhan mikroba dapat berlangsung dengan baik (Sembiring, 2011). d. Ekstraksi Pada proses pembuatannya, kitosan memiliki tiga tahap proses ekstraksi, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Proses demineralisasi berarti penghilangan mineral yang ada pada bahan yang mengandung kitin. Adanya penghilangan atau pemisahan mineral ini bertujuan untuk menghilangkan senyawa organik pada limbah kulit udang, sehingga kitin yang dihasilkan semakin baik. Pelarut yang umum digunakan adalah HCl. Proses deproteinasi adalah menghilangkan protein dari limbah udang dengan mengikat ujung rantai protein menjadi Naproteinat yang selanjutnya dapat dipisahkan kembali dengan menurunkan pH akibat adanya pengendapan natrium. Pelarut yang biasa digunakan 35 adalah NaOH, KOH, Na2CO3, dan K2CO3. Hasil akhir dari proses demineralisasi dan deproteinasi ini adalah kitin (Robert, 1992). Tahap ekstraksi yang terakhir adalah deasetilasi. Pada tahap ini kitin akan diubah menjadi kitosan dengan menghilangkan gugus asetil (-COCH3) pada kitin. Proses penghilangan ini dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH pekat pada suhu yang tinggi. Konsentrasi larutan serta suhu yang tinggi dapat memperkuat ikatan antara atom nitrogen pada gugus amin dengan gugus asetil. Banyaknya gugus asetil yang hilang dari polimer kitin dapat meningkatkan interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Ornum, 1992). e. Jarak penetrasi Kitosan selama Penyimpanan Buah Kitosan termasuk ke dalam polisakarida dengan berat molekuler yang tinggi. Kitosan yang terlarut dalam asam organik dapat digunakan sebagai lapisan yang sensitif pada buah (Trung et al., 2011). Kitosan yang diaplikasikan pada buah dengan berbagai macam metode, seperti pelapisan, penyemprotan, dan lain-lain, secara langsung akan menyerap ke dalam jaringan-jaringan kulit buah dan menjadi barrier yang dapat menghambat adanya kerusakan pada buah selama masa penyimpanan. Kerja lapisan kitosan dalam menghambat terjadinya berbagai perubahan fisik dan kimia dapat berlangsung maksimal ketika kitosan sudah menembus dan meresap ke dalam kulit buah. Bagian eksokarpium pada buah memiliki susunan yang rapat, sehingga dibutuhkan waktu tertentu hingga kitosan dapat meresap ke dalam kulit buah (Whitaker, 1996). 36 5. Suhu dan Penyimpanan Buah Suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada fisiologi buah selama masa penyimpanan. Suhu yang tinggi dapat mempercepat masa simpan buah, sehingga buah mengalami kerusakan fisiologis lebih cepat sebelum masa simpan berakhir. Penggunaan suhu rendah sangat efektif untuk memperpanjang masa simpan buah selama masa penyimpanan. Penyimpanan buah pada suhu rendah dapat menurunkan proses respirasi, memperkecil transpirasi, dan menghambat perkembangan mikroba, sehingga dapat mempertahankan kualitas dan memperpanjang masa simpan buah (Pantastico, 1989). Tetapi, penyimpanan buah pada suhu rendah tidak menekan aspek metabolisme pada tingkat yang sama (Darsana dkk., 2003). Penyimpanan pada suhu dingin merupakan proses pengawetan buah dengan cara pendinginan pada suhu di atas pembekuannya. Suhu dingin ditetapkan sesuai dengan sifat dan karakteristik masing-masing buah. Proses ini menuntut adanya pengendalian terhadap kondisi lingkungan, seperti suhu yang rendah, komposisi udara, kelembapan, dan sirkulasi udara (Kader, 1992). Penyimpanan pada suhu dingin diperlukan untuk menurunkan aktivitas biokimia yang berhubungan dengan kerusakan buah, pembusukan buah, dan senesen. Selain itu, penyimpanan buah pada suhu rendah juga dapat mengurangi kelayuan akibat kehilangan air, menurunnya laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada buah yang disimpan (Pantastico, 1989). Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati, dkk. (2009) menyatakan bahwa suhu 10°C dapat memperpanjang masa simpan cabai rawit serta 37 berpengaruh nyata terhadap kandungan vitamin C yang dimiliki cabai rawit tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Anjarsari (1995) juga membuktikan bahwa suhu yang optimum bagi penyimpanan buah manggis adalah 15°C. Akan tetapi, adanya reaksi sensitif pada suhu rendah yang digunakan dapat menyebabkan terjadinya chilling injury akibat penyimpanan yang berada di bawah suhu kritis, seperti suhu di bawah 5°C, sehingga penyimpanan pada suhu yang sangat rendah jarang digunakan. Maka dari itu, suhu yang baik digunakan dalam penyimpanan sangat bergantung pada jenis dan tingkat kematangan komoditas yang disimpan (Setyawati dan Asiani, 1992). 38 B. Kerangka Pemikiran Tingkat permintaan konsumen terhadap cabai semakin tinggi dari tahun ke tahun. Akan tetapi, permasalahan pascapanen cabai yang terjadi saat ini adalah rusaknya cabai sebelum sampai tempat tujuan atau selama masa pengangkutan, sehingga perlu adanya penanganan pascapanen untuk memperpanjang masa simpan cabai. Jenis cabai yang sangat diminati oleh masyarakat, yaitu cabai merah varietas Hibrida F1. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian terkait pengaruh penyimpanan pada suhu rendah serta konsentrasi kitosan terhadap kekerasan buah yang telah dilapisi kitosan, jarak penetrasi kitosan pada penampang lintang kulit cabai setelah pemberian kitosan, serta karakter fisiologi dan biokimia (susut bobot, laju respirasi, pigmen buah, dan vitamin C) pada cabai merah selama masa penyimpanan. Alur kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 7. 39 Permintaan konsumen pada cabai merah besar semakin meningkat Permasalahan pascapanen (buah busuk sebelum sampai tempat tujuan atau selama masa penyimpanan) Perpanjangan masa simpan Variasi konsentrasi kitosan (0%, 2%, 3%, dan 4%) Variasi suhu penyimpanan (5°C, 15°C, dan 25°C) Pengujian atau analisis Indikator Kekerasan buah setelah dilapisi kitosan Jarak penetrasi kitosan pada penampang lintang kulit cabai (µm) Karakter fisiologi dan biokimia Bobot basah (g) Laju respirasi (ml/kg minggu) Pigmen buah Vitamin C (mg/100 g) Modifikasi pascapanen dengan suhu rendah dan konsentrasi kitosan dapat memperpanjang masa simpan cabai merah Gambar 7. Bagan alir kerangka pemikiran 40 C. Hipotesis Adapun hipotesis dari penelitian ini antara lain: 1. Semakin rendah suhu penyimpanan dan semakin tinggi konsentrasi kitosan, maka akan semakin menghambat adanya perubahan kekerasan, jarak penetrasi kitosan pada kulit cabai, serta karakter fisiologi dan biokimia dari cabai merah. 2. Penyimpanan pada suhu 15°C dan pelapisan kitosan dengan konsentrasi 4% merupakan perlakuan yang optimum dalam memperpanjang masa simpan dengan mempertahankan kekerasan, jarak penetrasi kitosan pada kulit cabai, serta karakter fisiologi dan biokimia cabai merah.