BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota sebagai salah satu pusat ekonomi dan bisnis pada suatu wilayah
tentunya
mempunyai
daya
tarik
terhadap
berbagai
kepentingan
di
dalamnya.Kepentingan itu digunakan untuk perekonomian dan bisnis oleh
sekolompok orang.Hal itu memberikan daya tarik terhadap para pendatang untuk
melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis di wilayah tersebut.
Perkembangan wilayah kota yang dinamis membawa berbagai macam
dampak bagi pola kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan pusat
kota yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi
masyarakat yang dapat membawa pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik
dari dalam kota itu sendiri maupun dari luar wilayah Kota, sehingga menyebabkan
pula tingginya arus urbanisasi. Dampak lain dari tingginya arus urbanisasi kota
adalah dalam hal permukiman kota. Tingginya jumlah penduduk di pusat kota
mengharuskan terpenuhinya kebutuhan akan permukiman yang layak huni,
khususnya untuk menampung kaum urbanis yang pekerjaannya terkonsentrasi
pada sektor perdagangan dan jasa di kawasan komersial yang ada di pusat kota.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap di pusat kota ini menimbulkan
daya tarik bagi masyarakat untuk bermukim di kawasan tersebut. Masyarakat
membutuhkan tempat hunian lebih banyak berada di sekitar kawasan komersial
kota, hal ini dimungkinkan juga karena mereka mendekati pusat perdagangan
untuk membuka usaha dengan memanfaatkan keramaian. Selain itu alasan lain
bagi masyarakat tertarik untuk bertempat tinggal di sekitar kawasan pusat kota
karena lebih memudahkan jangkauan tempat kerja bagi mereka yang bekerja di
pusat kota, serta memenuhi kebutuhan tempat tinggal masyarakat yang banyak
bekerja di kawasan CBD kota. Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap di
pusat kota juga menjadi daya tarik masyarakat untuk tinggal di kawasan
tersebut.Banyaknya pendatang di wilayah tersebut memerlukan lahan untuk
1
dijadikan permukiman.Ketersediaan lahan yang ada tidak sesuai dengan jumlah
orang yang datang menimbulkan banyaknya permukiman kumuh.
Kurang siapnya kota dengan sistem perencanaan dan pengelolaan kota
yang tepat, dalam mengantisipasi pertambahan penduduk dengan berbagai motif
dan keragaman nampaknya menjadi penyebab utama yang memicu timbulnya
permasalahan permukiman. Pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana
permukiman baik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang
terjangkau dan layak huni belum sepenuhnya dapat disediakan oleh masyarakat
sendiri maupun pemerintah. Akibatnya, daya dukung prasarana dan sarana
lingkungan permukiman yang ada mulai menurun dan pada akhirnya akan
memberikan kontribusi terjadinya permukiman kumuh.
Keberadaan Wilayah permukiman kumuh ini antara lain di wilayah
pesisir Kecamatan Wara Timur Kota Palopo. Kota Palopo merupakan salah satu
daerah yang berkembang di Provinsi Sulawesi Selatan. Kecamatan Wara Timur
ini terdapat di bagian pesisir wilayah Kota Palopo. Kawasan Kecamatan Wara
Timur merupakan salah satu kawasan yang memiliki kawasan strategis di Kota
Palopo. Keberadaan kawasan ini sebagai gerbang utama untuk akses laut karena
memliki Pelabuan Tanjung Ringgit, yang berfungsi sebagai tempat berlabuhnya
kapal penumpang baik kapal barang dari berbagai daerah.
Kecamatan Wara Timur dikategorikan sebagai wilayah permukiman
kumuh, karena kondisi rumah-rumah di kelurahan ini belum sepenuhnya terlayani
dengan fasilitas pelayanan dasar seperti sanitasi yang kurang baik, memiliki
sumber air bersih yang masih minim, sistem pengelolaan sampah yang kurang
baik, sehingga banyak sampah yang berserakan di pinggir saluran drainase. Selain
itu, Kecamatan Wara Timur memiliki jaringan listrik yang kurang teratur dan
masih banyak permasalahan.
Banyaknya permasalahan yang ada di Kecamatan Wara Timur ini
menimbulkan kondisi Kecematan tersebut memprihatinkan seperti pada kondisi
ekonomi yang kurang baik, kondisi kesehatan masih kurang baik, kondisi
pendidikan masih sangat minim dan juga kondisi sosial yang masih kurang baik.
Jika ditinjau dari kondisi ekonomi masyarakat di Wilayah Kecamatan Wara
Timur, pendapatan masyarakatnya mayoritas berpenghasilan dari nelayan.Kondisi
kesehatan masyarakat di Kecamatan Wara Timur ini masih kurang baik,rumah –
rumah yang ada di Kecamatan Wara Timur tidak teratur, jalan yang tidak
memadai pada jalan-jalan kecil, kondisi saluran drainase yang masih kurang
keberadaannya, adapun saluran drainase yang tidak begitu banyak namun saluran
tersebut tidak terawat dengan baik, banyak penumpukan sampah di setiap saluran
drainase. Saluran darinase ini di jadikan masyarakat sebagai tempat pembuangan
sampah sehingga kondisi lingkungan di Wilayah Kecamatan Wara Timur
menimbulkan bau yang tidak sedap. Kondisi lingkungan yang seperti ini akan
berpotensi menimbulkan beragam macam penyakit sehingga dapat mempengaruhi
kesehatan masyarakat yang ada di wilayah Kecamatan Wara Timur. Kondisi
pendidikan di wilayah Kecamatan Wara Timur dapat dikatakan masih di bawah
rata-rata karena jika di dilihat dari segi ekonomi mereka masih terbilang kurang
mampu dalam biaya pendidikan anak mereka. Selain itu, kesadaran masyarakat
Kecamatan Wara Timur terhadap pendidikan yang masih kurang. Sedangkan pada
kondisi sosial kelurahan Pontap dapat dikatakan kondisi sosialnya masih kurang
baik karena banyak masyarakat luar dari Kecamatan Wara Timur mengatakan
daerah tersebut cukup rawan keamananya, tidak hanya itu premanisme di wilayah
tersebut cukup banyak.
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman , permukiman kumuh adalah
permukiman yang tidak
layak huni karena ketidak teraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang
tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi
syarat. Dengan demikian kawasan kumuh mengindikasikan kawasan yang padat,
tidak terawat, kotor, tidak teratur, dan berkekurangan(Prayitno,2014).Selain itu
berdasarkan pendapat Acharya(2010), kawasan kumuh didefinisikan sebagai
hunian yang tidak memadai karena tidak adanya ketersediaan fasilitas fisik ( ruang
terbuka hijau, drainase, supply air bersih, jaringan komunikasi dan lain-lainnya).
Lembaga internasional juga mengemukakan bahwa kawasan permukiman kumuh
merupakan permukiman padat penduduk yang bercirikan pada kepemilikan rumah
(Prayitno,2014). Sedangkan Lembaga Cities Alliance Action Plan mendefinisikan
bahwa kawasan kumuh merupakan bagian kota yang terabaikan sehingga
mengakibatkan perumahan dan kondisi kehidupan masyarakatnya berada dalam
status miskin. Kawasan permukiman kumuh dapat terletak di tengah kota dengan
kepadatan yang tinggi atau terbangun secara spontan di daerah pinggiran kota
(Prayitno,2014).
Penelitian ini dilakukan karena Kota Palopo memiliki beberapa masalah,
salah satu masalah yang menonjol yaitu adanya permukiman kumuh di Kota
Palopo. Dengan adanya permukiman kumuh ini dapat menganggu perkembangan
di kota itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
Perkembangan kota yang semakin pesat hingga sekarang terutama pada
perkembangan penduduk, maupun kondisi fisik kota. Namun, perkembangan ini
selalu memunculkan sejumlah persoalan ketika dihadapkan pada kenyataan
kemampuan kota tersebut baik dari segi luas wilayah maupun pengelolaan
wilayah tersebut.Persebaran permukiman kumuh di Kota Palopo belum pernah di
kaji secara keruangan, ketersediaan informasi berupa peta persebaran permukiman
kumuh belum ada. Penelitian ini mengkaji persebaran permukiman kumuh dengan
membuat informasi baru berupa peta. Penentuan permukiaman kumuh ini
menggunakan parameter kepadatan permukiman, pola permukiman, kondisi jalan
masuk, kondisi halaman rumah, lebar jalan, dan kerepatan vegetasi. Kepadatan
permukiman yang cukup tinggi di Kecamatan Wara Timur, dengan pola
permukiman tidak teratur serta didukung dengan kondisi infrastruktur yang
kurang mengakibatkan kawasan permukiman kumuh. Partisipsasi masyarakat
pada penelitian ini berdasarkan pada tindakan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap keberadaan permukiman kumuh. Tindakan yang dapat dilakukan
meliputi sadarnya terhadap kebersihan sampah, dan adanya gotong royong.
Berdasarkan uraian permasalahan yang ada di Kecamatan Wara Timur,
maka muncul beberapa rumusan masalah pada peneltian diantaranya:
1. Persebaran permukiman kumuh di Kota Palopo belum pernah dikaji
secara keruangan
2. Mengetahui kawasan permukiman kumuh berdasarkan pengetahuan
lokal perlu dilakukan sebagai perbandingan
3. Perbandingan persebaran permukiman kumuh dan persepsi masyarakat
diperlukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimakah persebaran permukiman kumuh di Kota Palopo?
2. Bagaimanakah persepsi masyarakat mengenai permukiman kumuh di
Kota Palopo?
3. Bagaimana perbedaan kawasan permukiman kumuh dari parameter dan
persepsi?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui persebaran permukiman kumuh di Kota Palopo
2. Mengetahui persepsi masyarakat mengenai permukiman kumuh.
3. Mengetahui perbedaan kawasan permukiman kumuh dari parameter
dan dari persepsi masyarakat.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai
masukan
bagi
pemerintah
daerah
dalam
mengatasi
permukiman kumuh di pesisir Kota Palopo.
2. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk melakukan upaya –
upaya peningkatan partisipasi masyarakat khususnya di permukiman
kumuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh memiliki batasan atau definisi yang dikemukakan oleh
beberapa ahli, salah satu diantaranya yaitu Lillesand dan Kiefer (1979)
menyatakan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang
diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek,
daerah, atau gejala yang dikaji. Permasalahan permukiman padat yang terkait
dengan aktivitas masyarakat urban sedikit banyak dapat disadap informasinya
dengan citra penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh yang dapat digunakan
dalam adalah citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang tinggi.
Resolusi keruangan (spatial resolution) adalah ukuran dari sudut terkecil atau
perbedaan linear secara dua objek, biasanya dinyatakan dalam radian atau meter
dengan parameter resolusi yang lebih kecil menunjukan tenaga pengubah
(resolving power) yang lebih besar (Hartono, et al., 2011). Tujuan penginderaan
jauh ialah untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi
tentang objek disampaikan pengamat melalui energi elektromagnetik yang
merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena
itu, data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang
gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat
dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra
penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengeni sifat-sifat
radiometreik (Wolf, 1993).
Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca. Dengan
menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan data dari jarak jauh yang dapat
dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena
yang diteliti. Pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dalam berbagai
bentuk, termasuk variasi agihan daya, agihan gelombang bunyi atau agihan energi
elektromagnetik (Howard, 1996).
Dalam penginderaan jauh, sensor merekam tenaga yang dipantulkan atau
dipancarkan oleh objek di permukaan bumi. Rekaman tenaga ini setelah diproses
membuahkan data penginderaan jauh. Data penginderaan jauh tersebut dapat
berupa data digital atau data numerik untuk dianalisis dengan menggunakan
komputer, namun dapat berupa data visual yang pada umumnya dianalisis secara
manual. Data visual ini dibedakan lagi menjadi data citra dan non citra. Data citra
berupa gambaran yang mirip wujud aslinya atau paling tidak gambaran
planimetrik, sedangkan data non citra pada umumnya berupa garis atau grafik
(Wibowo et.al,1994 dalam Susilo,2000).
2.2
Citra Satelit
Citra satelit merupakan salah satu jenis citra penginderaan jauh yang
termasuk dalam kategori citra ruang angkasa (space-born), mengacu pada satelit
sebagai wahana yang digunakannya. Citra penginderaan jauh jenis ini hadir
dengan berbagai karakteristik yang berbeda sesuai dengan tujuan pembuatan dan
penggunaan satelit itu sendiri, mulai dari perbedaan karakteristik resolusi spasial,
spektral, temporal dan radiometrik. Sebagai contoh berdasarkan karakteristik
resolusi spasial citra satelit, terdapat beberapa citra yang dapat dibedakan satu
sama lain, seperti NOAA yang memiliki resolusi spasial kasar hingga citra satelit
resolusi spasial halus seperti GeoEye sebagaimana yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
Citra satelit dengan resolusi spasial halus merekam objek-objek di
permukaan bumi dengan lebih detail dengan cakupan wilayah yang lebih sempit
untuk setiap scene citra yang dihasilkan. Hal tersebut sesuai untuk digunakan
dalam mengenali fenomena seperti penggunaan lahan, kondsi permukiman,
jaringan jalan dan sungai- sungai dengan skala kecil yang mampu digunakan
dalam penentuan sistem drainase suatu wilayah yang banyak ditemui di wilayah
padat permukiman. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar alasan dalam
menggunakan citra resolusi spasial halus seperti GeoEye dalam mengenali objekobjek kajian dalam penelitian ini.
2.2.1 Citra Geo Eye
Citra GeoEye-1 merupakan citra satelit yang diluncurkan pada tanggal 6
September
2008
yang
disponsori
oleh
National
Geospatial
–
Intelligence Agency (NGA) dan Google. Kemampuan satelit ini dapat memetakan
gambar dengan resolusi yang sangat tinggi dan merupakan satelit komersial
dengan pencitraan gambar tertinggi yang berada di orbit bumi saat ini
(Wikipedia.org).
GeoEye-1 mampu menghasilkan gambar dengan resolusi 0,41 meter untuk
sensor panchromatic (hitam putih) dan 1,65 meter untuk sensor multispectral
(berwarna). GeoEye – 1 mampu men gorbit pada ketinggian 681 km di atas
permukaan bumi dan melaju dengan kecepatan 7,5 km per detik. Kemampuan ini
sangat
ideal
untuk
proyek
pemetaan
skala
besar
(Wikipedia.org).
GeoEye memiliki tingkat akurasi tiga meter, maksudnya bahwa satelit ini mampu
memetakan kenampakan obyek dalam jarak tiga meter dari lokasi sebenarnya di
permukaan bumi tanpa adanya titik kontrol utama. Tingkat akurasi ini sebelumnya
tidak pernah dicapai dalam sistem pencitraan komersial lainnya. Ketepatan
GeoEye-1 dapat kembali ke titik manapun di bumi lebih cepat atau dalam jangka
waktu tiga hari. Selama satu kali pengorbitan satelit GeoEye dirancang untuk
mampu membidik sekaligus beberapa target kamera ITT. Satelit ini memiliki
berat mencapai lebih dari 2 ton dan memiliki dua tingkat. GeoEye – 1 dirancang
untuk dapat berputar serta bergeser ke depan, belakang atau ke samping dalam
membidik targetnya sehingga hasil pencitraan akan memiliki tingkat akurasi yang
sangat tinggi serta mampu menghasilkan gambar yang banyak setiap kali
pengorbitan. Frekuensi pengorbitan, GeoEye – 1 mampu mengorbit 15 kali per
hari dengan membutuhkan waktu 98 menit untuk satu kali orbit. Satelit ini mampu
mengorbit pada ketinggian 681 km atau 423 mil dari permukaan bumi dengan
kecepatan sebesar 7,5 km/detik atau 16.800 mil/per jam. Satelit ini mampu
mengumpulkan gambar 40 % lebih cepat untuk panchromatic dan 25 % untuk
multispectral dibandingkan kan sistem satelit IKONOS. Kedua satelit ini apabila
bersama-sama akan mampu mengumpulkan gambar hampir 1 juta sq km hasil
pencitraan setiap harinya (Wikipedia.org). Tabel 2.1 Spesifikasi Citra GeoEye
Resolusi spasial Pankromatik : 0,41 meter x 0,41 meter Multispektral : 1,65 meter
x 1,65 meter Resolusi spectral 450 – 900 nm (pankromatik) 12 450 – 520 nm
(biru) 520 – 600 nm (hijau) 625 – 695 nm (merah) 760 – 900 nm (NIR) Foot print
Perwakilan di Area Ukuran 1. Single-point scene - 225 km persegi (15x15 km)
Bersebelahan luas - 15.000 km persegi (300x50 km). 2. Bersebelahan 1 ° wilayah
ukuran sel - 10.000 km persegi (100x100 km). 3. Daerah stereo Bersebelahan 6.270 sq km (224x28 km) (di Area mengasumsikan modus panci pada tingkat
baris tertinggi). Lebar petak 15,2 km Lokasi Akurasi Mono: 5 m CE90, horisontal,
tanpa GCP, eksklusif medan perpindahan Stereo: 4 m CE90, horisontal, tanpa
GCP, 6 m LE90, vertikal, tanpa GCP ini ditetapkan sebagai 90% CE (error
melingkar) untuk horizontal dan 90 % LE (kesalahan linier) untuk vertikal tanpa
GCP (titik kontrol tanah) Resolusi Radiometrik 11 bit per piksel Peninjauan ulang
Kurang dari 3 hari Ketinggian orbit 681 Sumber: www.wikipedia.org Citra
GeoEye yang akan digunakan berupa citra GeoEye multispektral. Hal itu
disebabkan oleh memiliki resolusi spasial yang dimiliki citra GeoEye mampu
untuk interpretasi visual obyek atap rumah karena kenampakan obyek detail
hingga atap rumah walaupun liputan areanya tidak cukup luas. Interpretasi atap
rumah dengan berbagai bentuk dan warna atau jenis genting yang digunakan pada
setiap rumah dapat digunakan untuk asumsi kondisi fisik bangunan.
GeoEye-1 mampu menghasilkan gambar dengan resolusi 0,41 meter untuk
sensor panchromatic (hitam putih) dan 1,65 meter untuk sensor multispectral
(berwarna). GeoEye – 1 mampu men gorbit pada ketinggian 681 km di atas
permukaan bumi dan melaju dengan kecepatan 7,5 km per detik. Kemampuan ini
sangat
ideal
untuk
proyek
pemetaan
skala
besar
(Wikipedia.org).
GeoEye memiliki tingkat akurasi tiga meter, maksudnya bahwa satelit ini mampu
memetakan kenampakan obyek dalam jarak tiga meter dari lokasi sebenarnya di
permukaan bumi tanpa adanya titik kontrol utama. Tingkat akurasi ini sebelumnya
tidak pernah dicapai dalam sistem pencitraan komersial lainnya. Ketepatan
GeoEye-1 dapat kembali ke titik manapun di bumi lebih cepat atau dalam jangka
waktu tiga hari. Selama satu kali pengorbitan satelit GeoEye dirancang untuk
mampu membidik sekaligus beberapa target kamera ITT. Satelit ini memiliki
berat mencapai lebih dari 2 ton dan memiliki dua tingkat. GeoEye – 1 dirancang
untuk dapat berputar serta bergeser ke depan, belakang atau ke samping dalam
membidik targetnya sehingga hasil pencitraan akan memiliki tingkat akurasi yang
sangat tinggi serta mampu menghasilkan gambar yang banyak setiap kali
pengorbitan. Frekuensi pengorbitan, GeoEye – 1 mampu mengorbit 15 kali per
hari dengan membutuhkan waktu 98 menit untuk satu kali orbit. Satelit ini mampu
mengorbit pada ketinggian 681 km atau 423 mil dari permukaan bumi dengan
kecepatan sebesar 7,5 km/detik atau 16.800 mil/per jam. Satelit ini mampu
mengumpulkan gambar 40 % lebih cepat untuk panchromatic dan 25 % untuk
multispectral dibandingkan kan sistem satelit IKONOS. Kedua satelit ini apabila
bersama-sama akan mampu mengumpulkan gambar hampir 1 juta sq km hasil
pencitraan setiap harinya (Wikipedia.org).
Tabel 2.1 Spesifikasi Citra GeoEye
Resolusi Spasial
Pankromatik : 0,41 meter x 0,41 meter
Multispektral : 1,65 meter x 1,65 meter
Resolusi Spectral
450 - 900 nm (pankromatik)
450 – 520 nm (biru)
520 – 600 nm (hijau)
625 – 695 nm (merah)
760 – 900 nm (NIR)
Foot print
Perwakilan di Area Ukuran
1. Single-point scene - 225 km persegi (15x15 km)
Bersebelahan luas km).
15.000 km persegi (300x50
2. Bersebelahan 1 ° wilayah ukuran sel - 10.000 km
persegi (100x100 km).
3. Daerah stereo Bersebelahan - 6.270 sq km
(224x28 km) (di Area mengasumsikan modus
panci pada tingkat baris tertinggi).
Lebar petak
15,2 km
Lokasi Akurasi
Mono: 5 m CE90, horisontal, tanpa GCP, eksklusif
medan perpindahan
Stereo: 4 m CE90, horisontal, tanpa GCP, 6 m LE90,
vertikal, tanpa GCP ini ditetapkan sebagai 90% CE (error
melingkar) untuk horizontal dan 90 % LE (kesalahan
linier) untuk vertikal tanpa GCP (titik kontrol tanah)
Resolusi Radiometrik
11 bit per piksel
Peninjauan ulang
Kurang dari 3 hari
Ketinggian orbit
681
Sumber: www. Wikipedia.org
Citra GeoEye yang akan digunakan berupa citra GeoEye multispektral. Hal
itu disebabkan oleh memiliki resolusi spasial yang dimiliki citra GeoEye mampu
untuk interpretasi visual obyek atap rumah karena kenampakan obyek detail
hingga atap rumah walaupun liputan areanya tidak cukup luas. Interpretasi atap
rumah dengan berbagai bentuk dan warna atau jenis genting yang digunakan pada
setiap rumah dapat digunakan untuk asumsi kondisi fisik bangunan.
2.3
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG), berasal dari Geographic Information
System (GIS) yang memiliki arti sebagai “teknologi yang mampu merangkum data
spasial yang dikaitkan dengan posisi geografis dimana data tersebut berada
dengan informasi atau keterangan rinci dari data tersebut” (Aronoff, 1989). Hal ini
menujukkan apabila terdapat sebuah peta yang lengkap dengan keterangan dan
legenda yang menerangkan segala sesuatu yang terdapat di dalam peta tersebut,
maka peta tersebut sudah merupakan sejenis SIG.
Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak
komputer yang berfungsi untuk 1) Akusisi dan verfikasi data, 2) Kompilasi data,
3) Penyimpanan data, 4) Perubahan dan updating data, 5) Manajemen dan
pertukaran data, 6) Manipulasi data, 7) Pemanggilan dan presentasi data, 8)
analisis data. Definisi tersebut lebih jauh dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pengelolaan data spasial
Pengelolaan data spasial akan menyertakan berbagai teknologi dalam
merubah data peta analog menjadi peta digital, serta menghimpunnya ke
dalam suatu sistem database yang khusus.
2. Pengolahan data spasial
Pengolahan data spasial membutuhkan berbagai alogaritma transformasi
peta, manipulasi elemen geometris dan lain sebagainya.
3. Analisis data spasial
Analisis data spasial membutuhkan berbagai fungsi analisis kewilayahan
seperti overlay, buffering, dan lain sebagainya.
Menurut Aronoff, 1989 Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan
sistem berbasis komputer yang mempunyai empat kemampuan untuk menangani
data yang bereferensi geografis, yang terdiri dari:
1. Masukan data
Komponen data memiliki tugas mengkonversi data dari bentuk yang ada
menjadi data yang dapat digunakan dalam SIG.
2. Manajemen data
Komponen manajemen data termasuk fungsi-fungsi yang dibutuhkan untuk
menyimpan dan memanggil data dari basis data. Metode yang digunakan
untuk mengimplementasikan fungsi-fungsi tersebut berdampak pada
efisiensi kinerja sistem dalam semua operasi data.
3. Manipulasi dan analisis data
Fungsi manipulasi dan analisis data menentukan informasi yang dapat
dihasilkan oleh SIG. Daftar kemampuan yang dibutuhkan didefenisikan
sebagai bagian dari kebutuhan sistem.
4. Keluaran data
Fungsi dari keluaran data laporan SIG mempunyai kemampuan yang
bervariasi dalam kualitas, akurasi dan kemudahan pengguna. Laporan dapat
berupa peta, tabel, atau teks dalam bentuk hardcopy (misalnya cetakan pada
kertas) atau softcopy (file elektronik).
Sistem Informasi Geografis mempunyai kemampuan menjawab pertanyaanpertanyaan konseptual seperti berikut:
1. What is at ...?
Pertanyaan ini mencari keterangan atau deskripsi mengenai suatu unsur peta
yang terdapat pada lokasi tertentu.
2. Where is it ...?
Pertanyaan ini mengidentifikasi unsur peta yang deskripsinya ditentukan.
Menjawab pertanyaan tersebut diperlukan analisis spasial. Pertanyaan ini
SIG dapat menemukan lokasi yang memenuhi beberapa syarat atau kriteria
sekaligus.
3. What has changed since ...?
Pertanyaan ini memerlukan beberapa layer data spasial yang diperoleh dari
pengamatan atau pengukuran secara periodik. Unsur- unsur dalam suatu
layer dibandingkan antara satu layer dengan yang lain pada layer lain
dengan menggunakan fungsi analisis spasial maupun atribut.
4. What spatial patterns exist ...?
Pertanyaan ini menekankan pada keberadaan pola-pola yang terdapat pada
data spasial, baik berupa atribut atau layer dalam SIG
5. What if ...? Pertanyaan ini berkenaan dengan masalah pemodelan dalam
lingkungan SIG.
Sistem Informasi Geografis (SIG) memiliki kelebihan tersendiri jika
dibandingkan dengan teknik analisis lainnya untuk mengkaji fenomena di wilayah
padat permukiman sebagaimana yang akan dilakukan. Kelebihan tersebut di
antaranya adalah kemampuan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam
mengakomodasi intensitas perubahan objek-objek untuk kajian wilayah
Kecamatan Tembalang yang memiliki kepadatan permukiman yang tinggi, seperti
halnya perubahan pengunaan lahan. Hal tersebut nantinya digunakan dalam
memilih Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai teknik analisis dan pengolahan
data yang digunakan, khususnya dalam melakukan pemodelan spasial (overlay)
parameter genangan yang menghasilkan peta genangan skala mikro yang
kemudian dikaitkan dengan kejadian penyakit leptospirosis.
2.4
Permukiman Kumuh
Permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun 2011 adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Parwata (2004)
menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim manusia yang
telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang jelas, sehingga
memberikan kenyamanan kepada penghuninya. Kumuh sebagai komunitas kota
yang miskin dan tidak memiliki akses kepemilikan tanah dan hak atas keamanan
tempat tinggal tetap (Winayanti, 2001).
Menurut Maramis, persepsi ialah daya mengenal barang, kualitas atau
hubungan, dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui,
atau
mengartikan
setelah
panca
indranya
mendapat
rangsang.Menurut
Purwodarminto (1990), persepsi adalah tanggapan langsung dari suatu serapan
atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pengindraan. Menurut
Paul B. Horton, pengertian masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif
mandiri dengan hidup bersama dalam jangka waktu cukup lama, mendiami suatu
wilayah tertentu dengan memiliki kebudayaan yang sama, dan sebagian besar
kegiatan dalam kelompok itu.
Menurut Yudohusodo,
(1991).
permukiman kumuh adalah suatu
kawasan dengan bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola (misalnya
letak rumah dan jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum,
prasarana dan sarana air bersih, MCK) bentuk fisiknya yang tidak layak misalnya
secara reguler tiap tahun kebanjiran.Keberadaan kawasan permukiman kumuh
diperkotaan dapat menjadi masalah serius bagi masyarakat maupun pemerintah,
baik ditinjau dari aspek keruangan, estetika, lingkungan dan sosial. (Yudohusodo,
1995).
Beberapa faktor pendorong timbulnya permukiman kumuh di perkotaan sebagai
berikut:
1. Arus Urbanisasi Penduduk
2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
3. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
4. Karateristik Fisik Alami
Menurut Sinulingga (2005) ciri kampung/pemukiman kumuh terdiri dari:
a. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat para ahli
perkotaan (MMUDP,90) menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu
kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan
ini, antara lain perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki
persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.
b. Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena
sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap
rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.
c. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalanjalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah
akan tergenang oleh air.
d. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya
yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah,
ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai yang terdekat.
e. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur
dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.
f. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada
umumnya tidak permanen dan malahan banyak yang darurat.
g. .Kondisi a sampai f membuat kawasan ini sangat rawan terhadap
penularan penyakit.
h. Pemilikan hak atas lahan sering tidak legal, artinya status tanahnya masih
merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.
2.5
Persepsi Masyarakat
Bagi hampir semua orang, sangatlah mudah kiranya melakukan perbuata
melihat, mendengar, membau, merasakan, dan menyentuh, yakni proses-proses
yan sudah semestinya ada. Namun informasi yang datang dari organ-organ indera
kiranya perlu terlebih dahulu diorganisasikan dan dinterpretasikan sebelum dapat
dimengerti dan proses ini dinamakan persepsi.
Kata persepsi berasal dari kata “perception” yang berarti kesadaran
pengaturan data pancaindera ke dalam pola-pola pengalaman. Menurut Bim
Walgito persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses
penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui
alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak begitu saja,
melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses
persepsi.
(Young, 1925) seperti yang dijelaskan oleh Nanadt admin persepsi
merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian
pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut
tergantung pada stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya.
Sensasi-sensasi dan lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang
telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, sikap,
ingatan dan lain lain.
Jalaluddin Rakhmat mengemukakan bahwa persepsi ditentukan oleh dua
faktor, yaitu faktor-faktor fungsional bersifat personal berasal dan kebutuhan,
pengalaman masa lalu, proses belajar dan motif dan faktor-faktor struktural
berasal dari luar individu antara lain lingkungan keluarga, hukum yang berlaku
dan nilai-nilai dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap individu dalam
masyarakat mempunyai persepsi yang berbeda–beda dalam menanggapi suatu
obyek. Hal
ini
dipengaruhi
oleh
adanya
perbedaan
pengalaman
atau
lingkungan, maka persepsi dapat berubah–ubah sesuai dengan suasana hati, cara
belajar, dan keadaa jiwa. Jadi persepsi itu tergantung pada proses berpikir
atau
kognitif
seseorang sehingga persepsi akan selalu berubah setiap saat.
Perubahan itu tergantung pada kemampuan selektivitas informasi yang diterima
setelah diolah ternyata bermakna positif maka seseorang mendukung informasi
yang diterima, tetapi bila negatif maka yang terjadi sebaliknya.
2.6
Kerangkan Pemikiran .
Lahan merupakan tempat manusia melakukan berbagai aktivitas untuk
kelangsungan hidupnya. Seiring bertambah jumlah penduduk maka permintaan
akan lahan untuk permukiman semakin meningkat. Kondisi ini membuat
penggunaan lahan kawasan permukiman semakin bertambah.
Permasalahannya adalah ketersediaan relatif terbatas, bahkan stagnan. Hal
tersebut berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi
tiap tahunnya. Ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran sektor
permukiman akan memunculkan berbagai penyimpangan pemanfaatan lahan.
Penyimpangan diakibatkan karena keterbatasan lahan untuk permukiman. Jenis
penyimpangan antara lain penyimpangan secara spasial atau kualitas permukiman.
Banyak penduduk memanfaatkan lahan di pinggir sungai atau wilayah yang tidak
layak untuk permukiman, sebagai tempat bermukim. Keterbatasan lahan juga
dapat mengakibatkan kepadatan penduduk di permukiman semakin tinggi.
Penyimpangan
pemanfaatan
lahan
akan
menimbulkan
kawasan
permukiman kumuh. Permukiman kumuh diakibatkan oleh minimnya lahan
sehingga mereka memanfaatkan lahan yang ada. Permukiman kumuh dapat
diidentifikasi dari kondisi fisik bangunan dan infrastruktur di suatu blok
permukiman. Tingkat kekumuhan permukiman juga dapat didasarkan berdasarkan
persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungannya. 2 konsep permukiman
kumuh berdasarkan kondisi fisik dan persepsi masyarakat menjadi bahan untuk
analisis kawasan permukiman kumuh.
Lahan
Aktivitas sosial
ekonomiPenduduk
Kebutuhan akan ruang
meningkat
Peningkatan Jumlah
Penduduk
Penggunaan Lahan
Kawasan Permukman
Ketersediaan Lahan
Terbatas (in-elastic)
Keterbatasan Lahan
Kawasan Permukiman
Tempat untuk
tinggal/beraktivitas
Penyimpangan Pemanfaatan
Lahan untuk Permukiman
Kawasan Permukiman Kumuh
Identifikasi Kawasan
Permukiman Kumuh
Identifikasi Persepsi Masyarakat
terhadap Permukiman Kumuh
Analisis Kawasan Permukiman Kumuh
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.7 Peneltian Sebelumnya
Penelitian Hasyim Basri (2010) tentang “Model Perumahan Permukiman
Kumuh Kelurahan Pontap Kecamatan Wara Kota Palopo” bertujuan untuk
mengetahui dan mendapatkan gambaran empiris mengenai kondisi sosial ekonomi
masyarakat, penggunaan ruang, status kepemilikan lahan dan bangunan, keadaan
prasarana dan sarana permukiman yang ada di lokasi penelitian yang dipakai
sebagai dasar yang mencari model penanganan permukiman kumuh yang sesuai
untuk diterapkan pada lokasi penelitian. Hasil peneltian ini merupakan tabel
analisis karakteristik permukiman kumuh. Perbedaan dari penelitian Hasyim Basri
dengan penelitian saya, penelitian saya menggunakan batasan wilayah berupa
kecamatan sedangkan peneliatan Hasyim Basri menggunakan batasan Wilayah
Kelurahan. Selain itu dalam penelitian saya hanya mengkaji parameter fisik saja
yang kemudian dibandingkan dengan persepsi masyarakat
Asep
Haryanto(2007)
Penanganan Kawasan
melakukan
penelitian
dengan
judul
“Strategi
Kumuh Sebagai Upaya Menciptakan Lingkungan
Perumahan “. Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengidentifikasi permukiman
kumuh Kota Pangkalpinang . Pada penelitian ini hasil yang didapatkan yaitu
deskripsi permukiman kumuh berdasarkan parameter yang ditentukan dari
penelitian ini.Soparto (2014). “Evaluasi Permukiman dan Perumahan Kumuh
Berbasis Lingkungan di Kelurahan Kalibanteng Kidul Kota Semarang”. Tujuan
dari penelitian ini yaitu mengetahui tingkat kekumuhan permukiman yang
terdapat di wilayah Kelurahan Kalibanteng Kidul dan upaya apa saja yang dapat
dilakukan demi perbaikan permukiman wilayah tersebut. Perbedaan dari
penelitian Asep Haryanto dengan penelitian saya yaitu lokasi yang digunakan
Kecamatan Wara Timur Kota Palopo sedangkan Asep Haryanto lokasi
penlitiannya di Kota Pangklpinang.
Tabel 2.2 Penelitian Sebelumnya
No
1
Nama
Daerah Kajian
Judul
Tujuan
Hasil
Hasyim
Kelurahan
Model
mengetahui
Basri
Pontap
penanganan
mendapatkan
Kecamatan
permukiman
empiris mengenai kondisi permukiman
2010
Wara
Kota kumuh,
Palopo
dan Tabel
analisis
gambaran karateristik
ekonomi kumuh
sosial
masyarakat,
penggunaan
ruang, status kepemilikan
lahan
dan
keadaan
bangunan,
prasarana
dan
sarana permukiman yang
ada
dilokasi
penelitian
yang dipakai sebagai dasar
mencari
model
penanganan permukiman
kumuh yang sesuai untuk
diterapkan
pada
lokasi
penelitian.
2
Asep
Kota
Strategi
Mengidentifikasi
Hariyanto
Pangkalpinang
penanganan
permukiman kumuh Kota permukiman
kawasan
Pangkalpinang
2007
Deskripsi
kumuh
kumuh
berdasarkan
sebagai upaya
parammeter
menciptakan
lingkungan
perumahan
3
Suparto 1, Di
Maret 2014
Kalibanteng
Kidul
Semarang
Kel.
Evaluasi
Mengetahui tingkat
Rekomendasi
Pemukiman
kekumuhan pemukiman
perbaikan
yang terdapat di
sarana
Kota Dan
Perumahan
Kumuh
dan
prasarana
wilayah Kelurahan
Kalibanteng Kidul dan
Berbasis
upaya apa saja yang dapat
Lingkungan
dilakukan demi perbaikan
permukiman
kumuh
kelurahan
kalibanteng
Di
Kel.
Kalibanteng
Kidul
Kota
Semarang
pemukiman wilayah
tersebut
kidul semarang
Download