1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular dewasa ini telah menjadi masalah kesehatan
utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh
dunia. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya kejadian penyakit
jantung koroner (PJK). Sindroma koroner akut (SKA) merupakan istilah yang
dipakai untuk menggambarkan satu spektrum yang luas dari kondisi iskemia
koroner akut. Manifestasi SKA meliputi STEMI (ST-segment Elevation
Myocardial Infarction), NSTEMI (Non ST-segment Elevation Myocardial
Infarction) dan APTS (Angina Pektoris Tak Stabil).
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian akibat
penyakit tidak menular di seluruh dunia, bertanggung jawab terhadap lebih dari 7
juta kematian global (12,7% dari seluruh kematian) pada tahun 2008 (Finegold
dkk., 2013). Pada tahun 2010 dilaporkan lebih dari 1 juta hospitalisasi di Amerika
Serikat disebabkan oleh SKA (Go dkk., 2014). Pada Riset Kesehatan Dasar tahun
2007 dilaporkan PJK menyebabkan 9,3% kematian dari seluruh jumlah kematian
akibat penyakit tidak menular di Indonesia (Depkes, 2008). Dengan bertambahnya
jumlah penduduk dan semakin panjangnya usia harapan hidup penduduk dunia,
jumlah kematian akibat penyakit kardiovaskular juga diperkirakan akan
meningkat.
1
2
Walaupun semua kejadian SKA didasari oleh mekanisme patofisiologi
yang sama namun terdapat variasi risiko yang sangat luas pada seluruh pasien
SKA. Risiko yang dihadapi pasien dengan SKA dapat berupa kejadian iskemik
non fatal hingga mengalami kematian (Fox dkk., 2006). Pada kondisi akut,
STEMI memiliki risiko kematian dini yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
NSTEMI dan APTS. Laju mortalitas di rumah sakit pada STEMI sebesar 7%
dibandingkan 3-5% pada NSTEMI dan APTS (Hamm dkk., 2011). NSTEMI dan
APTS sendiri dikategorikan sebagai dua kondisi dengan patogenesis dan
manifestasi klinis serupa tetapi dengan risiko yang berbeda, dimana NSTEMI
memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan APTS (Anderson dkk., 2007).
Walaupun perkembangan penatalaksanaan SKA terus mengalami kemajuan, laju
mortalitas pasien SKA masih cukup tinggi, berkisar 12-13% pada bulan keenam,
dimana kejadian terbanyak pada kelompok pasien dengan risiko yang lebih tinggi
(Hamm dkk., 2011, Steg dkk., 2012). Kondisi ini mendorong dikembangkannya
berbagai kriteria stratifikasi risiko untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko
tinggi yang memerlukan penatalaksanaan dan perhatian khusus (Granger dkk.,
2003).
SKA merupakan suatu kondisi koroner yang tidak stabil yang rentan
menimbulkan iskemia berulang dan komplikasi lainnya yang dapat berujung ke
kematian jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk itu dikembangkan
kriteria-kriteria stratifikasi risiko agar klinisi dapat memutuskan strategi
penatalaksanaan pada tiap-tiap pasien dengan cepat dan tepat. Strategi
penatalaksanaan SKA ditujukan untuk mencegah atau mengurangi komplikasi dan
3
meningkatkan outcome. Pada praktik klinis penilaian risiko dapat menggunakan
berbagai modalitas seperti penilaian klinis, elektrokardiografi, petanda biokimia,
atau sistem skor (Hamm dkk., 2011).
Penggunaan petanda biokimia telah banyak dikembangkan untuk menilai
prognosis pasien SKA baik jangka pendek maupun jangka panjang. Petandapetanda biokimia menunjukkan aspek patofisiologi dari SKA, seperti kerusakan
sel miokard, inflamasi, aktivasi platelet dan aktivasi neurohormonal (Halim dkk.,
2012). Troponin T dan I, suatu petanda kerusakan miokard, merupakan petanda
biokimia utama yang digunakan untuk melakukan stratifikasi risiko dini pasien
SKA. Troponin telah lama dikonfirmasi dapat memprediksi outcome jangka
pendek pada pasien SKA, terutama berkaitan dengan kejadian infark miokard dan
kematian (Lindahl dkk., 2001). Namun kadar troponin tidak dapat memprediksi
risiko kejadian kardiovaskuler jangka panjang (Heeschen dkk., 2000). Selain itu
terdapat sekelompok tertentu pasien dengan troponin negatif yang tetap memiliki
risiko mortalitas yang tinggi (Hamm dkk., 2011). Oleh karena itu troponin saja
tidak cukup dipakai untuk menilai risiko pada pasien SKA.
Berbagai petanda biokimia lain dikembangkan untuk stratifikasi risiko dan
penilaian prognosis yang lebih baik pada pasien SKA. Dua petanda biokimia yang
cukup sering dipakai dewasa ini adalah C-reactive protein (CRP) dan brain
natriuretic peptide (BNP). CRP merupakan petanda inflamasi yang paling banyak
diteliti berkaitan dengan prognosis SKA (Ridker dkk., 2000). Proses inflamasi
sendiri telah lama diketahui memiliki peranan yang besar dalam proses
patogenesis aterosklerosis dan SKA (Libby dkk., 2009). Berbagai penelitian telah
4
menunjukkan bukti bahwa peningkatan high-sensitivity CRP (hsCRP) merupakan
prediktor kuat mortalitas jangka panjang (6 bulan hingga 4 tahun) (Heeschen dkk.,
2000, James dkk., 2003). Namun pada studi lain didapatkan bahawa CRP tidak
bermanfaat dalam memprediksi kejadian kardiovaskular pada pasien SKA
(Bogaty dkk., 2008). Peningkatan kadar CRP sendiri tidak selalu dihasilkan dari
proses inflamasi plak (lesi culprit) yang bertanggung jawab terhadap munculnya
SKA (Buffon dkk., 2002). Hal tersebut menyebabkan penggunaan CRP sebagai
prediktor jangka panjang SKA masih diragukan.
Peptida natriuretik merupakan suatu neurohormon yang dihasilkan oleh
miokard sebagai respon dari peningkatan tekanan dinding ventrikel. BNP dan
fragmen terminal-N dari prohormonnya (NT-proBNP) merupakan petanda yang
tersering digunakan untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. BNP dan NTproBNP merupakan petanda diagnostik dan prognostik yang telah teruji
validitasnya pada pasien gagal jantung. Saat ini penggunaan peptida natriuretik
telah meluas hingga ke spektrum pasien dengan SKA (Halim dkk., 2012).
Pemeriksaan BNP atau NT-proBNP pada awal pasien mengalami SKA dapat
digunakan untuk menilai outcome selama perawatan di rumah sakit serta outcome
setelah 6 bulan dan 1 tahun (Mccullough dan Neyou, 2009).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya hubungan
antara BNP atau NT-proBNP dengan outcome pada pasien SKA (Bonaca dan
Morrow, 2008). Penelitian oleh de Lemos dkk. (2001) pada ± 1600 pasien SKA
didapatkan laju kematian meningkat dari < 1% pada pasien dengan konsentrasi
BNP pada kuartil terbawah menjadi 15% pada pasien dengan konsentrasi BNP
5
pada kuartil teratas (P < 0,0001) dengan BNP diperiksa pada median 40 jam
setelah presentasi awal.
Studi lain yang menggunakan NT-proBNP juga mendapatkan hasil yang
serupa. Satu studi pasien dengan SKA tanpa gambaran elevasi segmen ST pada
elektrokardiogram (EKG) mendapatkan risiko relatif untuk mortalitas sebesar
10,6 pada pasien dengan kadar NT-proBNP di kuartil tertinggi (James dkk.,
2003). Studi lain juga mendapatkan peningkatan risiko relatif (RR) untuk
mortalitas pada pasien dengan kadar NT-proBNP di kuartil tertinggi baik pada
kelompok pasien yang mendapat terapi invasif (RR = 4,1) maupun konseravtif
(RR = 3,5) (Jernberg dkk., 2003).
Pemeriksaan kadar NT-proBNP juga dapat digunakan untuk memprediksi
risiko kejadian kardiovaskular (KKV) di masa depan, seperti infark miokard dan
gagal jantung. Satu studi mendapatkan bahwa pasien SKA dengan kadar NTproBNP > 183 ng/L memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk mengalami
kematian atau gagal jantung dalam periode 8 tahun (p < 0,05) (Kavsak dkk.,
2007). Satu studi juga menunjukkan kadar NT-proBNP yang tinggi meningkatkan
risiko infark miokard dalam 30 hari pada pasien SKA (odds ratio = 2,6; 95%
confidence interval = 1,5-4,5) (Heeschen dkk., 2004). Namun studi lain
mendapatkan tidak ada perbedaan dalam kejadian infark miokard pada kelompok
pasien STEMI dengan kadar NT-proBNP tinggi maupun rendah (p = 0,119)
(Khan dkk., 2007).
Dari berbagai studi yang ada petanda neurohormonal NT-proBNP dapat
digunakan untuk memprediksi mortalitas pada pasien SKA. Namun pasien SKA
6
juga berisiko untuk mengalami kejadian kardiovaskular lain seperti infark
miokard, stroke dan iskemia berulang. Peranan NT-proBNP dalam memprediksi
berbagai kejadian kardiovaskular tersebut masih menjadi pertanyaan. Hal ini
mendasari dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui peranan NT-proBNP
dalam memprediksi kejadian kardiovaskular pada penderita SKA. Pengertian
yang lebih mendalam mengenai peranan petanda neurohormonal pada SKA
diharapkan dapat memberikan penilaian yang lebih baik dalam mengidentifikasi
pasien SKA dengan risiko tinggi. Selanjutnya pasien dengan risiko tinggi ini
tentunya akan mendapat manfaat yang lebih besar dengan pemberian terapi SKA
yang agresif.
1.2
Rumusan Masalah
SKA adalah manifestasi klinik dari aterosklerosis koroner dan ruptur plak
yang diikuti dengan trombogenesis. SKA merupakan suatu kondisi tidak stabil
yang rentan menimbulkan iskemia berulang dan komplikasi lainnya. Petandapetanda biokimia menunjukkan aspek patofisiologi dari SKA, seperti kerusakan
sel miokard, inflamasi, aktivasi platelet dan aktivasi neurohormonal (Halim dkk.,
2012).
Berdasarkan rangkuman konsep di atas, maka disusunlah rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah kadar NT-proBNP plasma yang tinggi merupakan prediktor
Kejadian Kardiovaskular (KKV) dalam 6 bulan pada penderita Sindroma
Koroner Akut?
7
1.3
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah kadar NT-proBNP plasma yang tinggi
merupakan prediktor KKV dalam 6 bulan pada penderita SKA.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu dan bidang pengabdian masyarakat seperti di bawah ini:
1.4.1 Manfaat akademik/ilmiah
Untuk menambah pengetahuan tentang peranan NT-proBNP sebagai
petanda biokimia pada proses aterosklerosis dan sebagai dasar kelayakan NTproBNP digunakan sebagai prediktor KKV pada penderita SKA.
1.4.2 Manfaat praktis
Memberikan kontribusi pada penanganan jangka panjang pasien SKA
terutama pada usaha-usaha untuk pengendalian progresivitas perburukan SKA.
Download