BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Badan Usaha Milik Negara atau yang disebut BUMN, sebagaimana yang dimaksud dalam UU RI No. 19 tahun 2003 pasal 1, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam penjelasan lanjutan pada UU RI No. 19 tahun 2003 pasal 2, BUMN memiliki maksud dan tujuan pendirian: a) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya, b) mengejar keuntungan, c) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, d) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, e) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa BUMN merupakan salah satu pilar ekonomi yang mempunyai peranan penting sebagai roda perekonomian nasional dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. BUMN memiliki kaitan erat dengan kegiatan ekonomi masyarakat dan bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak. Selain memiliki peran sosial, BUMN juga berperan ganda sebagai badan usaha yang mencari laba (profit oriented). Tolak ukur kesuksesan BUMN dapat dilihat dari seberapa besar kontribusi yang diberikan sesuai dengan maksud dan tujuan pendiriannya. Dengan 1 2 kehadiran BUMN, diharapkan mampu memberikan kontribusi lebih bagi pembangunan nasional dan pendapatan negara. Salah satu BUMN yang kini kinerjanya menjadi sorotan adalah PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau disingkat PT. PLN (Persero). PT. PLN (Persero) atau yang biasa disebut dengan PLN, merupakan perusahaan BUMN yang berbentuk persero yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan dan pendistribusian tenaga listrik. Sejak disahkannya UU RI No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan oleh Presiden Republik Indonesia, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono, PLN bukan lagi bertindak sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK), namun sebagai BUMN yang memiliki tugas untuk menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Tugas baru yang diemban PLN ini, dapat menjadi peluang bagi PLN untuk melakukan pengembangan usahanya. PLN bertugas untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional dalam merespon permintaan tenaga listrik yang berkembang semakin pesat dari waktu ke waktu dengan menggunakan sumber daya energi yang mudah diperoleh, terjangkau, dan ramah lingkungan. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, lisrik kini telah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat, baik untuk aktivitas kehidupan sehari-hari maupun untuk aktivitas perekonomian (untuk kepentingan bisnis dan industri) masyarakat. Pada tahun 2012, PLN mengalami peningkatan pertambahan jumlah pelanggan sebesar 0,35% (8,50 % pertumbuhan jumlah pelanggan pada tahun 2012 8,15% pada tahun 2011) dari tahun sebelumnya. Tingginya kebutuhan listrik nasional dapat menjadi indikator pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik, dan 3 sekaligus mengindikasikan keberhasilan PLN dalam turut serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat melalui penyediaan tenaga listrik. Tabel 1.1 Pertumbuhan Jumlah Pelanggan PT. PLN (Persero) Jumlah pelanggan Pertumbuhan (Ribu plg) (%) 2008 2009 2010 2011 2012 38.844 40.117 42.435 45.895 49.795 4,05 3,28 5,78 8,15 8,50 Sumber: Laporan Keberlanjutan PT. PLN (Persero) Tahun 2012 Namun, kenaikan akan jumlah kebutuhan listrik yang semakin berkembang pesat ini, sekaligus menjadi tantangan bagi PLN untuk menyediakan infrastruktur ketenagalistrikan (meliputi pembangkit, jaringan, dan gardu induk) dan pasokan listrik yang memadai dengan ketersediaan sumber energi tenaga listrik yang terbatas. Apabila tidak terjadi keseimbangan antara jumlah kebutuhan listrik dengan ketersediaan infrastruktur ketenagalistrikan dan pasokan listrik yang memadai, dapat terjadi defisit atau krisis listrik. Akhir-akhir ini, PLN telah dihadapkan permasalahan ketika terjadi krisis listrik di wilayah Sumatera Utara. Dalam artikel berjudul “Pemadaman Listrik Sumut yang Semakin Meresahkan” yang ditulis oleh Perdana (2013), memuat pernyataan Abubakar Siddik, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumatera Utara, yang menyatakan bahwa penyebab terus terjadinya pemadamam listrik di Sumatera Utara, disamping akibat mesin pembangkit listrik yang terdapat di PLN Belawan tidak lagi dapat berfungsi, juga telah terjadi defisit listrik. Dilangsir bahwa kebutuhan listrik untuk wilayah Sumatera Utara mencapai 1.650 MW, namun yang tersedia hanya 1.400 MW. Hal ini pun telah berdampak terhadap aktivitas masyarakat dan perekonomian di daerah tersebut, mulai dari tidak berfungsinya lampu lalu lintas akibat pemadaman listrik, sejumlah 4 pengusaha yang mengaku rugi hingga ratusan buruh yang terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat biaya operasional yang membengkak untuk operasional generator set (genset) sebagai pengganti tenaga listrik. Selain itu, PLN juga harus menghadapi masalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai salah satu sumber daya energi primer pembangkit listrik PLN yang harganya sangat tergantung pada nilai dolar AS. Belum lagi semakin melemahnya nilai kurs rupiah terhadap dolar akhir-akhir ini, membuat harga BBM semakin mahal. Mengingat beberapa pembangkit listrik PLN masih menggunakan BBM dalam pengoperasiannya, dalam laporan tahunan PLN tahun 2012, PLN menyatakan hampir 70% biaya yang dikeluarkan perusahaan adalah untuk kepentingan biaya bahan bakar. Hal ini tentu menyebabkan biaya operasional perusahaan membengkak dan berdampak secara langsung pada kinerja keuangan PLN. Apabila kinerja suatu perusahaan semakin optimal, maka kontribusi yang diberikan pun semakin besar. Demikian pula sebaliknya, apabila kinerja suatu perusahaan buruk, maka kontribusi yang diberikan pun sedikit. Hingga pada muaranya, permasalahan ini dapat mempengaruhi kontribusi yang diberikan PLN kepada negara. Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 30 Tahun 2012 tentang Tarif Tenaga Listrik, mengenai kebijakan penyesuaian tarif listrik baru untuk beberapa kelompok pelanggan tertentu, yang berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2013, diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Kebijakan ini diambil bertujuan untuk mengurangi subsidi listrik yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi empat golongan pelanggan, yaitu golongan pelanggan rumah tangga besar (R3 5 daya 6600 VA ke atas), bisnis menengah (B-2 daya 6600 VA s.d. 200 kVA), bisnis besar (B-3 daya diatas 200 kVA), dan kantor pemerintah sedang (P-1 daya 6.600 VA s.d. 200 kVA). Diharapkan dari kebijakan ini, akan memperbaiki kinerja keuangan PLN semakin baik sehingga mampu membiayai pengembangan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan baru dengan menggunakan sumber dana internal perusahaan. Selain itu, untuk semakin meningkatkan kinerja keuangannya, PLN juga perlu melakukan upaya pengelolaan keuangan dengan efektif dan efisien secara periodik demi mempertahankan keberlangsungan usahanya agar dapat berjalan ke arah yang lebih baik sesuai visi misi perusahaan, memiliki kemampuan daya saing yang tinggi, serta dapat memenuhi tanggungjawabnya dalam memberikan kontribusi yang lebih bagi masyarakat dan pendapatan negara. Mengingat perannya yang sangat vital, maka PLN perlu melakukan analisis untuk melakukan pengukuran dan penilaian terhadap kinerjanya. Karena mengukur kinerja dan membangun sistem penilaian kinerja merupakan salah satu hal penting dalam perusahaan (Ardini, 2008). Salah satu kinerja perusahaan yang menjadi perhatian utama adalah kinerja dari aspek keuangan, yang dapat tercermin dalam laporan keuangan perusahaan. Pongoh (2013) menyatakan bahwa dari laporan keuangan dapat diperoleh gambaran perkembangan finansial perusahaan. Laporan keuangan dapat memberikan informasi keuangan yang dibutuhkan bagi kepentingan berbagai pihak. Namun, laporan keuangan belum dapat memberikan informasi yang cukup bermanfaat apabila tidak dilakukan perbandingan dan analisis terhadapnya, daripada hanya menyajikan angka mentahnya saja. Dengan melakukan analisis terhadap laporan keuangan, dapat mengurangi ketergantungan pada firasat, tebakan, dan intuisi dalam pengembalian 6 keputusan, serta mengurangi ketidakpastian analisis bisnis, yaitu dengan menyediakan dasar yang sistematis dan efektif untuk analisis bisnis (Subramanyam dan Wild, 2013). Salah satu tolak ukur yang paling sering digunakan dalam analisis laporan keuangan adalah rasio keuangan. Untuk dapat melakukan evaluasi menggunakan rasio keuangan, dapat dengan membandingkannya dengan suatu standar, baik dengan hasil analisis rasio antar perusahaan sejenis, dengan rata-rata industri, maupun antar periode dalam laporan keuangan perusahaan tersebut. Evaluasi terhadap kinerja perusahaan merupakan suatu kegiatan dalam pengukuran atau penilaian kinerja akan hasil yang telah dicapai perusahaan dibandingkan dengan suatu standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan mengukur dan menilai kinerja perusahaan dengan indikator penilaian kinerja yang ada, perusahaan dapat mengetahui bagaimana kesehatan kinerjanya, yaitu apakah sudah termasuk kategori sehat atau tidak. Perusahaan dengan kondisi yang sehat akan lebih mampu bertahan menghadapi persaingan, sedangkan perusahaan yang mengalami kondisi kurang sehat atau pun tidak sehat cenderung akan kesulitan dalam menghadapi persaingan dan mempertahankan kelangsungan usahanya. Beberapa penelitian tentang penilaian kinerja keuangan dengan rasio keuangan yang telah ditemukan, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Pongoh (2013) mengenai Analisis Laporan Keuangan untuk Menilai Kinerja Keuangan PT. Bumi Resources Tbk yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana kinerja keuangan PT. Bumi Resources Tbk. berdasarkan analisis rasio rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan 7 PT. Bumi Resources Tbk. pada periode 2009-2011 secara keseluruhan berada dalam keadaan baik. Sedangkan penelitian yang dilakukan Maith (2013) tentang Analisis Laporan Keuangan dalam Mengukur Kinerja Keuangan pada PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk., bertujuan untuk mengetahui kinerja keuangan pada PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. ditinjau dari analisis rasio keuangan. Penelitian ini menunjukkan hasil analisis yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja Keuangan PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. selama tahun 2009-2011 dan Juni 2012 ditinjau dari rasio likuiditas, aktivitas, dan profitabilitas menunjukkan hasil yang baik, sedangkan ditinjau dari rasio solvabilitas menunjukkan hasil yang tidak baik (insolvabel). Di sisi lain, penelitian yang dilakukan Kadir (2006) tentang Analisis Tingkat Kesehatan Perusahaan Pembangkit Listrik di Makassar bertujuan untuk mengetahui tingkat kesehatan kinerja PT. PLN (Persero) wilayah Sulsel dan Sultra Sektor Tello dari aspek keuangan dan operasional pada tahun 2004. Dalam penelitian ini, alat analisis yang digunakan berpedoman pada Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN, yaitu: (1) ROE, (2) ROI, (3) rasio kas, (4) rasio lancar, (5) collection periods, (6) perputaran persediaan, (7) perputaran total asset, dan (8) rasio total modal sendiri terhadap total asset. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT. PLN (Persero) wilayah Sulsel dan Sultra Sektor Tello berada pada tingkat sehat “AA”. Saat ini, penilaian kinerja pada PLN dilakukan dengan menggunakan Key Performance Indicator (KPI), yang digunakan sebagai ukuran kinerja dan indikator keberhasilan yang harus dicapai oleh manajemen perusahaan. Key Performance 8 Indicator (KPI) yang digunakan PLN terdiri dari perspektif pelanggan, produk dan layanan, proses bisnis internal, SDM, keuangan dan pasar, dan kepemimpinan dengan berbasis pada Malcolm Baldridge. Sedangkan alat ukur yang digunakan PLN dalam mengukur kinerja keuangan perusahaan secara umum adalah menggunakan rasio keuangan. Dalam menyajikan ikhtisar keuangan perusahaan, rasio-rasio keuangan yang digunakan PLN adalah: (1) rasio likuiditas, yang terdiri dari rasio lancar (current ratio) dan rasio kas (cash ratio), (2) rasio solvabilitas, yang terdiri dari rasio kewajiban terhadap aset (debt to asset ratio) dan rasio kewajiban terhadap ekuitas (debt to equity ratio), (3) rasio profitabilitas, yang terdiri dari margin laba kotor (gross profit margin) dan margin laba bersih (net profit margin), (4) rasio rentabilitas, yang terdiri dari ROE dan ROA, serta (5) rasio operasional, yang terdiri dari perputaran piutang (hari), perputaran utang usaha (hari), perputaran aset tetap (kali), dan perputaran persediaan (kali). Untuk perusahaan BUMN, penilaian kinerja perusahaan dapat mengacu pada Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN. Sesuai isi pasal 2 ayat 1 dan pasal 9 pada Surat Keputusan tersebut, maka seluruh BUMN non jasa keuangan maupun BUMN jasa keuangan (kecuali bagi Persero Terbuka dan BUMN yang dibentuk dengan Undangundang tersendiri) wajib menerapkan penilaian tingkat kesehatan BUMN sesuai Keputusan Menteri BUMN. Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002, penilaian kinerja BUMN meliputi: aspek keuangan, aspek operasional, dan aspek administrasi untuk dapat dilakukan penilaian tingkat kesehatan BUMN yang dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu “SEHAT”, “KURANG SEHAT”, dan “TIDAK SEHAT”. Namun dalam penelitian ini, hanya 9 membahas mengenai penilaian kinerja perusahaan dari aspek keuangan dengan berpedoman pada tata cara penilaian kinerja berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN, untuk dapat menganalisis kinerja keuangan PT. PLN (Persero). Penelitian ini merupakan replikasi dari Kadir (2006) yang membahas Analisis Tingkat Kesehatan Perusahaan Pembangkit Listrik di Makassar. Penelitian ini bermaksud ingin menguji kembali penelitian sebelumnya dengan tahun dan objek penelitian yang berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah bahwa penelitian sebelumnya dilakukan hanya pada tahun 2004 (hanya dalam satu periode), sedangkan penelitian sekarang pada tahun 2010-2012 (selama tiga periode) agar dapat dilakukan perbandingan. Apabila pada penelitian sebelumnya memilih perusahaan pembangkit listrik di Makassar, yaitu PT. PLN (Persero) wilayah Sulsel dan Sultra Sektor Tello, sebagai obyek penelitiannya, sedangkan penelitian sekarang menggunakan PT. PLN (Persero) Pusat sebagai objek penelitian. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang adalah menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif, dan menggunakan alat analisis delapan indikator rasio keuangan sesuai dengan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN. Kedelapan indikator tersebut merupakan rasio keuangan yang dianggap paling dominan dan dapat mewakili rasiorasio keuangan dalam menilai kinerja keuangan BUMN, yaitu ROE, ROI, rasio kas, rasio lancar, collection periods, perputaran persediaan, perputaran total asset, dan rasio modal sendiri terhadap total aktiva. Penelitian ini mengambil periode penelitian tahun 2010-2012 karena datanya lebih terkini. 10 Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini berjudul “EVALUASI KINERJA KEUANGAN PT. PLN (PERSERO) PERIODE 20102012”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana kinerja PT. PLN (Persero) dari segi keuangan selama periode tiga tahun dengan periode 2012 sebagai tahun dasar penelitian, sedangkan periode 2010 dan 2011 sebagai tahun pembanding, apabila diukur dengan menggunakan delapan indikator analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja keuangan PT. PLN (Persero) pada periode 2010-2012 apabila diukur dengan menggunakan delapan indikator analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi PT. PLN (Persero) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau saran yang bermanfaat dan dapat menjadi evaluasi yang dapat digunakan PT. PLN (Persero) sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan dan menentukan strategi yang dianggap perlu, dalam upaya meningkatkan kinerja perusahaan, 11 terutama kinerja keuangan di masa yang akan datang demi keberlangsungan usaha perusahaan ke arah yang lebih baik. 2. Bagi penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman, wawasan pengetahuan, dan sekaligus sebagai proses belajar dalam memahami bagaimana keterkaitan ilmu yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan dengan pengaplikasian secara praktek nyata yang ada di PT. PLN (Persero), khususnya yang berkaitan dengan penilaian kinerja keuangan. 3. Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana hasil pencapaian kinerja PT. PLN (Persero) dari aspek keuangan selama tiga periode, dari periode 2010 – 2012, apabila diukur dengan menggunakan analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP- 100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara. 4. Bagi peneliti lain atau selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi dan mampu memberikan kontribusi bagi peneliti lain atau selanjutnya yang akan melakukan penelitian yang sejenis. 12 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Berisi pembahasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi tentang telaah teori, penelitian terdahulu, dan kerangka konseptual. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini memberikan penjelasan tentang variabel penelitian dan definisi operasional variabel, objek penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini. BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan membahas secara singkat deskripsi objek penelitian serta hasil penelitian dan pembahasan. BAB V : PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran pada penelitian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Teori 2.1.1 Kinerja Keuangan 2.1.1.1 Definisi Kinerja Kinerja atau yang secara etimologi bahasa Inggris dapat diartikan dengan performance, didefinisikan Kadir (2006) sebagai sebuah hasil unjuk kerja yang berupa pencapaian hasil, kemampuan kerja dan prestasi yang diperoleh dari suatu pekerjaan atau kegiatan. Kinerja perusahaan dapat menggambarkan prestasi dan tingkat keberhasilan yang dicapai perusahaan dalam suatu periode tertentu dengan berlandaskan suatu standar yang telah ditetapkan sebagai acuannya. Kinerja merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan, karena kinerja perusahaan merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya. 2.1.1.2 Definisi Kinerja Keuangan Kinerja perusahaan dapat dibagi menjadi dua aspek, yaitu kinerja dari aspek keuangan dan dari aspek non keuangan (Ulum, 2009). Kinerja non keuangan dapat tercermin dari informasi non keuangan perusahaan (informasi yang disajikan tidak dalam satuan ukuran keuangan). Sedangkan kinerja keuangan dapat tercermin dari data dan informasi keuangan perusahaan, yaitu yang secara umum dapat dilihat dari laporan keuangan yang disajikan perusahaan. Kinerja keuangan merupakan salah satu aspek kinerja yang dianggap penting dan juga menjadi perhatian utama perusahaan karena dapat menggambarkan kondisi 13 14 keuangan perusahaan. Kinerja keuangan suatu perusahaan dapat diartikan sebagai prospek atau masa depan, pertumbuhan, dan potensi perkembangan yang baik bagi perusahaan (Orniati, 2009). Melalui kinerja keuangan dapat dilihat apakah kinerja perusahaan berada pada kondisi keuangan yang baik atau tidak, apakah perusahaan dalam posisi untung atau rugi, atau apakah perusahaan telah berjalan dengan sehat atau tidak. Kinerja keuangan merupakan suatu ukuran tertentu yang digunakan oleh perusahaan untuk mengukur keberhasilan dan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan mencapai tujuan yang telah ditargetkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja keuangan adalah prestasi yang dicapai oleh perusahaan dari aspek keuangan dalam suatu periode tertentu yang dapat mencerminkan kondisi keungan dan tingkat kesehatan perusahaan. 2.1.2 BUMN Dalam UU RI No. 19 tahun 2003 pasal 1, yang dimaksud Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Agoes dan Ardana (2011) menyatakan bahwa tujuan awal pembentukan BUMN merupakan penjabaran dan implementasi Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti bahwa badan-badan usaha yang dalam pengoperasian usahanya telah memanfaatkan sumber-sumber daya dari alam, maka seluruh atau sebagian besar sahamnya akan dikuasai negara dengan tujuan pengelolaan untuk kesejahteraan masyarakat. 15 Maksud dan tujuan pendirian BUMN sesuai isi pasal 2 UU no. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, tidak lain adalah sebagai berikut: 1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. 2) Mengejar keuntungan. 3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. 4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. 5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang secara keseluruhan atau sebagian besar sahamnya dikelola oleh negara dengan maksud dan tujuan pendirian sebagai roda penggerak perekonomian dan pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup orang banyak. 2.1.3 Laporan Keuangan 2.1.3.1 Definisi Laporan Keuangan Secara sederhana, laporan keuangan didefinisikan Kasmir (2013) sebagai laporan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada saat ini atau dalam suatu periode tertentu. Laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi yang memuat fakta-fakta berdasarkan transaksi-transaksi dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam perusahaan. Jumingan (2006) mengemukakan bahwa laporan keuangan merupakan ringkasan atau rangkuman data keuangan perusahaan. 16 Dimana setiap transaksi dan kejadian ekonomi dan keuangan (yang bersifat finansial), yang telah terjadi dalam perusahaan, akan disusun dengan cara dicatat dan digolongkan untuk disederhanakan dalam bentuk ringkasan atau rangkuman, atau yang disebut laporan keuangan. Komponen-komponen laporan keuangan yang lengkap terdiri atas laporan posisi keuangan (neraca), laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Setiap komponen dalam laporan keuangan merupakan satu kesatuan yang utuh dan terkait satu dengan lainnya, sehingga dalam menggunakannya perlu dilihat sebagai suatu keseluruhan bagi pemakaiannya agar tidak terjadi kesalahpahaman (Kadir, 2006). Selain itu, laporan keuangan juga berkaitan dengan beberapa titik waktu dan lintas waktu (Subramanyam dan Wild, 2013). 2.1.3.2 Tujuan Laporan Keuangan Dalam Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2009), disebutkan bahwa tujuan umum laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Laporan keuangan merupakan salah satu informasi yang sangat penting dalam menilai prestasi yang dicapai perusahaan pada masa lalu dan saat ini. Sebagai alat pertanggungjawaban manajemen, laporan keuangan diperlukan untuk melihat dan menilai kinerja manajemen dalam melaksanakan kewenangan yang telah diberikan oleh pemilik perusahaan. Selain itu, laporan keuangan juga berfungsi untuk mengurangi 17 kesenjangan informasi antara direksi atau manajemen perusahaan dengan pemilik atau kreditor yang berada di luar perusahaan (Darsono dan Ashari, 2005). Lako (2006) mengemukakan bahwa laporan keuangan dapat menjadi alat komunikasi informasi akuntansi atau keuangan antara pihak manajemen (internal perusahaan) dengan pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan dan memerlukan laporan keuangan, serta dapat menjadi alat untuk memprediksi harga saham, laba perusahaan di masa depan, potensi kebangkrutan perusahaan, dan profitabilitas perusahaan. Laporan keuangan dapat menjadi jendela untuk melihat kondisi di dalam perusahaan sehingga dapat ditemukan tanda-tanda permasalahan dan kondisi umum perusahaan (Darsono dan Ashari, 2005). Dengan demikian, laporan keuangan tidak hanya memberikan gambaran umum sebuah perusahaan, melainkan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, alat penilaian kinerja manajemen dan prestasi perusahaan, alat penghubung antar berbagai penggunanya, dan dapat digunakan untuk kepentingan prediksi bagi berbagi pihak yang memerlukannya sesuai maksud dan tujuan masingmasing. Oleh karena itu, laporan keuangan hendaknya disusun sedemikian rupa dengan cara yang benar sesuai aturan atau pedoman yang berlaku dan dengan penuh pertanggungjawaban sesuai data yang relevan, sehingga dapat menggambarkan kondisi atau keadaan keuangan perusahaan yang sesungguhnya secara wajar dan layak. 2.1.3.3 Pengguna Laporan Keuangan Informasi yang disediakan laporan keuangan menyediakan informasi yang diperlukan bagi berbagai pihak, baik bagi pihak internal (pihak yang ada dalam perusahaan) maupun pihak eksternal perusahan (pihak yang berada diluar 18 perusahaan, yaitu pihak yang memiliki hubungan dengan perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung). Dalam Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2009) pengguna laporan keuangan meliputi investor sekarang dan investor potensial, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditur usaha lainnya, pelanggan, pemerintah serta lembaga-lembaga, masyarakat, dan manajemen perusahaan. Sehingga pengguna laporan keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pihak internal perusahaan yang terdiri dari karyawan, manajemen, dan termasuk pemilik perusahaan, sedangkan pihak eksternal perusahaan terdiri dari investor, kreditur, pemasok, pelanggan, lembaga pemerintah, dan masyarakat. Pengguna laporan keuangan dan kebutuhannya akan informasi keuangan, dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Investor Investor dan pemegang saham membutuhkan informasi dari laporan keuangan sebuah perusahaan dalam menentukan keputusan investasinya, yaitu apakah harus membeli, menahan, atau menjual investasi yang dimilikinya, dan dalam menilai prospek perusahaan, yaitu kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan membayar dividen. 2) Karyawan Karyawan dan serikat kerja tertarik pada informasi yang ada pada laporan keuangan untuk mengetahui stabilitas dan profitabilitas perusahaan, sebagai tempat dimana menggantungkan kelangsungan hidupnya, yang dapat mempengaruhi tingkat gaji atau upah dan insentif lainnya yang akan diberikan perusahaan. 19 3) Pemberi pinjaman Pemberi pinjaman berkepentingan terhadap laporan keuangan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam membayar dan melunasi pinjaman atau jumlah terutang yang telah diajukan beserta bunganya secara tepat waktu. Dengan melihat kondisi keuangan perusahaan (baik jangka pendek maupun jangka panjang), stabilitas, dan profitabilitas perusahaan, para pemberi pinjaman dapat mempertimbangkan dan menentukan apakah akan menerima atau menolak permintaan kredit maupun perluasan kredit yang diajukan perusahaan. 4) Pemasok dan kreditur usaha lainnya Pemasok (supplier) memerlukan informasi yang terdapat dalam laporan keuangan untuk mengetahui kelangsungan hidup perusahaan, yang tidak lain adalah pelangaan mereka, untuk menilai kemampuan perusahaan dalam membayar tagihan atau jumlah yang terutang pada saat jatuh tempo atas transaksi penjualan yang telah terjadi. 5) Pelanggan Para pelanggan, terutama bagi pelanggan yang akan menjalin perjanjian kerja sama jangka panjang dengan perusahaan, berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan yang dapat tercemin dari laporan keuangan perusahaan. 6) Pemerintah Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya berkepentingan terhadap informasi dari laporan keuangan dalam penentuan kebijakan pengalokasian sumber daya yang berkaitan dengan aktivitas perusahaan, penetapan kebijakan pajak, maupun dalam penyusunan statistik 20 pendapatan nasional dan statistik lainnya. Kasmir (2013) menyatakan bahwa laporan keuangan diperlukan pemerintah untuk menilai kejujuran perusahaan dalam melaporkan seluruh keuangan perusahaan yang sesungguhnya dan untuk mengetahui kewajiban perusahaan terhadap negara dari hasil laporan keuangan yang dilaporkan. 7) Manajemen dan pemilik perusahaan Laporan keuangan dapat dijadikan sebagai alat bantu bagi manajemen dalam melaksanakan tanggung jawab perencanaan, pengendalian, dan pengambilan keputusannya, termasuk melakukan evaluasi terhadap kinerja keuangan perusahaan. Selain itu, laporan keuangan dapat menjadi cerminan kinerja manajemen dalam suatu periode tertentu (Kasmir 2013). Dari hasil analisisnya, pemilik perusahaan dapat menilai keberhasilan atau kegagalan manajemen dalam mengelola perusahaannya untuk menentukan apakah akan mempertahankan atau mengganti manajemen perusahaan. Karena hasil pencapaian, stabilitas, serta kelangsungan hidup sebuah perusahaan tergantung pada cara kerja atau efisiensi manajemennya (Jumingan, 2006). Selain itu, pemilik perusahaan juga berkepentingan terhadap laporan keuangan untuk mengetahui perubahan perkembangan kondisi dan posisi perusahaan dalam suatu periode tertentu. 8) Masyarakat Dengan adanya pelaporan laporan keuangan yang dilakukan oleh perusahaan, masyarakat dapat mengetahui perkembangan kondisi dan kecenderungan (tren) perusahaan tersebut serta rangkaian aktivitasnya. Menurut Jumingan (2006), masyarakat umum yang berdomisili di sekitar perusahaan yang bersangkutan, 21 secara tidak langsung juga berkepentingan dengan kesempatan kerja yang ditawarkan perusahaan, pendapatan masyarakat, dan fasilitas lain yang bermanfaat bagi masyarakat. 2.1.4 Rasio Keuangan 2.1.4.1 Definisi Rasio Keuangan Rasio keuangan merupakan salah satu alat analisis laporan keuangan yang umum dan paling sering digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. Istilah rasio didefinisikan Subramanyam dan Wild (2013) sebagai hubungan matematis antara dua kuantitas. Kemudian Riyanto (2008) mendefinisikan rasio sebagai suatu alat yang dinyatakan dalam arithmatical terms yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data finansiil. Sedangkan istilah rasio keuangan didefinisikan Kasmir (2013) sebagai kegiatan membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara membagi satu angka dengan angka lainnya dalam satu periode maupun beberapa periode atau membandingkan antara satu komponen dengan komponen lainnya dalam satu laporan keuangan atau antar komponen yang ada di laporan keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa rasio keuangan merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk menyederhanakan informasi dan data keuangan yang disajikan perusahaan dalam bentuk laporan keuangan agar dapat dipahami dan dimengerti dengan mudah hubungan antar unsur dalam laporan keuangan bagi berbagi pihak. Rasio keuangan hendaknya diinterpretasikan dengan hati-hati karena faktor-faktor yang mempengaruhi pembilang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebut. 22 2.1.4.2 Tujuan dan Manfaat Rasio Keuangan Maith (2013) menyatakan bahwa analisis rasio keuangan dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu perusahaan maupun kinerja yang telah dicapai perusahaan untuk suatu periode tertentu, yaitu apakah keadaan keuangan perusahaan dalam kondisi yang baik atau tidak, apakah perusahaan telah mencapai standar kinerja yang dipersyaratkan atau tidak, dan apakah tingkat kinerja keuangan perusahaan baik atau sebaliknya. Sedangkan menurut Subramanyam dan Wild (2013), analisis rasio keuangan dapat mengungkapkan hubungan penting dan menjadi dasar perbandingan dalam menemukan kondisi dan tren yang sulit untuk dideteksi dengan mempelajari masing-masing komponen yang membentuk rasio. Rasio keuangan dapat menggambarkan perkembangan atau perubahan kondisi keuangan dan prestasi perusahaan dari waktu ke waktu, dan kecenderungan (tren) dari pola perubahan tersebut sehingga dapat digunakan untuk memprediksi keberlanjutan kinerja perusahaan, termasuk risiko dan peluang yang akan dihadapi perusahaan pada masa mendatang. Selain itu, Madura (2001) berpendapat bahwa analisis rasio keuangan dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan yang terjadi antara berbagai variabel dalam laporan keuangan. Rasio keuangan dapat dijadikan sebagai alat evaluasi kinerja keuangan perusahaan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan, termasuk dalam mengindikasikan kelemahan dan kekuatan yang dimiliki perusahaan. Dengan mengetahui kelemahan yang dimilikinya, perusahaan dapat menentukan langkah-langkah korektif apa saja yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kinerja perusahaan selanjutnya agar lebih baik. Sedangkan dengan mengetahui kekuatan yang dimiliki, perusahaan harus dapat mempertahankannya 23 bahkan meningkatkannya agar dapat menjadi keunggulan kompetitif bagi perusahaan dalam menghadapi persaingan bisnis. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dari hasil analisis rasio keuangan dapat digunakan untuk menilai kesehatan kinerja keuangan perusahaan dan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan yang tepat bagi kepentingan berbagai penggunanya sesuai maksud dan tujuan analisis masingmasing. 2.1.4.3 Macam-macam Rasio Keuangan Agar laporan keuangan dapat dimengerti dan dipahami dengan mudah tentang kondisi keuangan perusahaan secara menyeluruh, dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis keuangan melalui berbagai rasio keuangan yang lazim digunakan (Kasmir, 2013). Menurut Jumingan (2006), pada dasarnya rasio keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu rasio keuangan yang didasarkan pada sumber data keuangan dari mana unsur-unsur angka rasio tersebut diperoleh dan rasio keuangan yang disusun berdasarkan tujuan penganalisis dalam mengevaluasi suatu perusahaan berdasarkan laporan keuangan. Rasio-rasio keuangan yang didasarkan pada sumber data keuangan dari mana unsur-unsur angka rasio tersebut diperoleh, yaitu terdiri dari rasio-rasio neraca (balance sheet ratios), rasio laporan laba rugi (income statement ratios), dan rasio antar laporan (inter-statement ratios). Sedangkan rasio-rasio keuangan yang disusun berdasarkan tujuan penganalisis dalam mengevaluasi suatu perusahaan berdasakan laporan keuangan adalah: 1) Rasio likuiditas Rasio likuiditas (liquidity ratio) digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membiayai operasi dan memenuhi kewajiban finansial jangka 24 pendeknya pada saat jatuh tempo. Kasmir (2013) menyatakan bahwa rasio likuiditas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa likuidnya perusahaan, yaitu dimana sebuah perusahaan dapat dikatakan dalam keadaan likuid, apabila perusahaan mampu memenuhi kewajibannya, dan apabila perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, dapat dikatakan perusahaan dalam keadaan illikud. Semakin besar tingkat aktiva lancar yang tersedia secara relatif terhadap kewajiban lancar, maka semakin besar likuiditas perusahaan. Tingkat likuiditas yang tinggi dapat meningkatkan keamanan perusahaan, namun tingkat likuiditas yang berlebihan dapat mengurangi pengembalian perusahaan (Madura, 2001). Menurut Jumingan (2006), perusahaan dapat dikatakan mempunyai posisi keuangan jangka pendek yang kuat apabila: (1) mampu memenuhi tagihan dari kreditur jangka pendek tepat pada waktunya, (2) mampu memelihara modal kerja yang cukup untuk membelanjai operasi perusahaan yang normal, (3) mampu membayar bunga utang jangka pendek dan dividen, dan (4) mampu memelihara kredit rating yang menguntungkan. 2) Rasio solvabilitas (solvability ratio) Rasio solvabilitas dikenal pula dengan istilah rasio leverage atau rasio pengungkit keuangan (berasal dari kata leverage yang secara bahasa berarti pengungkit atau alat ungkit). Rasio solvabilitas atau rasio leverage digunakan untuk mengukur sejauh mana kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua kewajibannya (baik jangka pendek maupun jangka panjang). Riyanto (2008) menyatakan bahwa suatu perusahaan dapat dikatakan dalam kondisi solvabel, apabila perusahaan tersebut mempunyai aktiva atau kekayaan yang cukup untuk 25 membayar semua utang-utangnya, tetapi tidak dengan sendirinya berarti bahwa perusahaan tersebut likuid. Semakin tinggi rasio solvabilitas yang ditunjukkan, semakin tinggi pula kemampuan perusahaan dalam melunasi seluruh hutanghutangnya. Menurut Kasmir (2013), bahwa tujuan dan manfaat perusahaan menggunakan rasio solvabilitas adalah untuk menilai dan mengetahui: (a) kemampuan posisi perusahaan terhadap seluruh kewajibannya kepada pihak lain, (b) kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang bersifat tetap, (c) keseimbangan antara nilai aktiva khususnya aktiva tetap dengan modal, (d) seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang, (e) seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva, (f) berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang panjang, dan (g) berapa dana pinjaman yang segera akan ditagih ada terdapat sekian kalinya modal sendiri. 3) Rasio aktivitas (activity ratio) Menurut Kasmir (2013), rasio aktivitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi (efektivitas) pemanfaatan sumber daya (aktiva) yang dimiliki perusahaan (penjualan, sediaan, penagihan piutang, dan lainnya) atau rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari dan seberapa jauh efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan asetasetnya untuk menghasilkan pendapatan. Dari hasil pengukuran dengan menggunakan rasio aktivitas akan diketahui apakah perusahaan telah mengelola aset yang dimilikinya secara efisien dan efektif. Sehingga, rasio aktivitas dikenal pula dengan rasio efisiensi. 26 4) Rasio profitabilitas (profitability ratio) Rasio profitabilitas atau yang dikenal pula dengan rasio rentabilitas, menurut Madura (2001), merupakan rasio yang digunakan untuk menunjukkan kinerja operasi sebuah perusahaan selama satu periode tertentu. Rasio ini digunakan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan seluruh aktiva yang ada maupun dengan menggunakan modal sendiri selama periode tertentu. Perusahaan dapat dikatakan rentabilitasnya baik apabila mampu memenuhi target laba yang telah ditetapkan dengan menggunakan aktiva atau modal yang dimilikinya (Kasmir, 2013). 2.1.5 Evaluasi Kinerja Keuangan 2.1.5.1 Definisi Evaluasi Kinerja Pandangan mengenai evaluasi kinerja didefinisikan oleh Ardini (2008) sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mengukur kinerja dari elemen-elemen yang ada di dalam perusahaan yang akan dibandingkan dengan suatu standar atau target maupun harapan-harapan yang ingin dicapai. Evaluasi kinerja merupakan sebuah proses pengukuran atau penilaian untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih diantara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh. Evaluasi terhadap kinerja perusahaan dimaksudkan sebagai suatu kegiatan penilaian secara periodik untuk membandingkan akan hasil yang telah dicapai perusahaan dengan target perusahaan, yaitu apakah sudah cukup sesuai (memuaskan) atau tidak, apakah hasil yang telah dicapai perusahaan berada di bawah atau di atas 27 sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Kegiatan evaluasi kinerja dibutuhkan sebagai alat monitor untuk mengukur seberapa efektif dan efisien kinerja perusahaan selama ini sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan yang tepat dalam merencanakan langkah-langkah selanjutnya di masa depan. Informasi yang dapat diperoleh dari evaluasi kinerja keuangan antara lain tentang kemampuan perusahaan melunasi utang jangka pendek, kemampuan perusahaan dalam membayar bunga pokok pinjaman, dan keberhasilan perusahaan dalam meningkatkan besarnya modal sendiri (Orniati, 2009). 2.1.5.2 Rasio Keuangan sebagai Alat Penilaian Kinerja Keuangan BUMN Rasio-rasio keuangan yang dapat digunakan dalam penilaian kinerja keuangan BUMN sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara adalah sebagai berikut: 1) Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE) Return on equity (ROE) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar pengembalian yang diperoleh pemilik perusahaan (pemegang saham) atas jumlah ekuitas yang telah ditanamkan di perusahaan. Semakin tinggi rasio ini, semakin baik karena hal ini berarti posisi modal pemilik perusahaan semakin kuat, dan demikian pula sebaliknya (Kasmir, 2013). Jumingan (2006) berpendapat bahwa dengan semakin tinggi rasio ROE, berarti tingkat kembalian kepada pemegang saham atas investasinya lebih besar. Selain itu, semakin tinggi rasio ini juga mengindikasikan semakin baik keadaan perusahaan. 28 2) Imbalan investasi/ return on investment (ROI) Return on investment atau ROI adalah rasio yang digunakan untuk menunjukkan tingkat pengembalian dari bisnis atas seluruh investasi yang ditanam dalam bentuk aktiva. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengatur aktiva-aktivanya seoptimal mungkin sehingga dicapai laba bersih yang diinginkan. Semakin tinggi rasio ini, semakin efektif penggunaan dana dalam perusahaan sehingga akan memperbesar kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba (Kuswadi, 2005). 3) Rasio kas (cash ratio) Rasio kas (cash ratio) juga dikenal dengan cash to current liabilities ratio. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek yang akan segera atau harus dipenuhi dengan menggunakan kas maupun setara kas lainnya yang tersedia dalam perusahaan. Kas dan setara kas (bank dan surat berharga jangka pendek) merupakan aktiva perusahaan yang paling cair (likuid) karena dapat segera dipakai setiap waktu tanpa harus melalui proses pendapatan atau penjualan (Kuswadi, 2005). Kasmir (2013) menyatakan bahwa kondisi rasio kas yang terlalu tinggi kurang baik karena hal ini berarti dana yang ada belum digunakan secara optimal (dana menganggur), dan sebaliknya apabila rasio kas terlalu rendah juga menunjukkan kondisi yang kurang baik karena hal ini berarti kemampuan perusahaan dalam membayar kewajibannya masih memerlukan waktu untuk menjual sebagian dari aktiva lancar lainnya. 29 4) Rasio lancar (current ratio) Rasio lancar (current ratio) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancarnya. Kasmir (2013) berpendapat bahwa rasio lancar dapat pula dikatakan sebagai bentuk untuk mengukur tingkat keamanan (margin of savety) suatu perusahaan. Semakin besar angka rasio ini, semakin kuat atau besar kemampuan perusahaan menjamin setiap utangnya dengan aktiva likuidnya (Kuswadi, 2005). Jumingan (2006) menyatakan bahwa current ratio yang tinggi apabila dilihat dari sudut pandang kreditur adalah baik, tetapi dari sudut pandang pemegang saham kurang menguntungkan karena aktiva lancar tidak didayagunakan dengan efektif. Sebaliknya current ratio yang rendah relatif lebih riskan karena tingkat kebutuhan perusahaan lebih besar dari uang kasnya, meskipun hal ini menunjukkan bahwa manajemen telah mengoperasikan aktiva lancar secara efektif. 5) Collection periods (CP) Collection periods atau rasio periode pengumpulan piutang adalah rasio yang digunakan untuk menunjukkan berapa lama waktu yang diperlukan perusahaan untuk dapat menagih atau mengumpulkan piutangnya sehingga memperoleh kas. Semakin besar rasio ini berarti semakin lama waktu yang diperlukan perusahaan untuk menagih piutangnya, atau dengan kata lain dapat dikatakan semakin kecil kemampuan penagihan perusahaan (Kuswadi, 2005). Apabila angka rasio ini terlalu besar, hal ini dapat berbahaya bagi perusahaan karena semakin lama jangka waktu yang dibutuhkan untuk menagih piutang, akan semakin lama pula perusahaan mendapatkan uang kasnya kembali dari hasil pemberian penjualan 30 secara kredit. Perusahaan memerlukan kas yang cukup untuk diputar dalam kegiatan bisnisnya. 6) Perputaran persediaan (PP) Perputaran persediaan (inventory turn over ratio) digunakan untuk mengukur sejauh mana efisensi dan efektivitas perusahaan dalam mengelola persediaannya. Semakin cepat persediaan berputar, mengindikasikan semakin singkat waktu rata-rata antara penanaman modal dalam persediaan dan transaksi penjualan. Apabila jumlah stok persediaan terlalu berlebihan namun tidak disertai dengan permintaan atau penjualan yang tinggi atau dapat dikatakan pula persediaan yang tersedia tidak laku dijual (telah terjadi over investment), akan menyebabkan tingkat perputaran persediaan akan menjadi rendah. Selain itu persediaan yang ada di gudang akan menumpuk dan perusahaan akan mengalami kesulitan arus kas dan modal kerja karena hasil penjualan menurun. Sebaliknya, apabila jumlah stok persediaan perusahaan terlalu sedikit juga tidak baik karena perusahaan akan mengalami kesulitan dalam berproduksi, semisal saja dalam menghadapi permintaan yang terlalu tinggi maka perusahaan kemungkinan akan kekurangan stok persediaan. Kuswadi (2005) menyatakan bahwa persediaan yang terlalu banyak tidak baik, demikian pula terlalu sedikit persediaan pun tidak baik, yang terbaik adalah menjaga keseimbangan sedemikian rupa sehingga tercapai stabilitas dalam proses produksi. 7) Perputaran total asset/ total assets turn over (TATO) Total assets turn over (TATO) dapat digunakan untuk mengukur efisiensi perusahaan dalam mengelola aktivanya untuk menghasilkan penjualan (Madura, 2001). Dengan rasio ini, dapat diketahui apakah perusahaan selama satu periode 31 tertentu telah menggunakan aktivanya secara efektif atau tidak. Dengan melakukan pengelolaan aktiva (baik aktiva lancar maupun aktiva tetap) seefektif mungkin, dapat meningkatkan pendapatan yang dihasilkan seoptimum mungkin. Kuswadi (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi perputaran aktiva, termasuk yang berupa aktiva tetap, semakin kecil investasi yang diperlukan untuk menghasilkan pendapatan atau penjualan. Hal ini berarti bahwa semakin besar total assets turnover maka semakin efisien seluruh aktiva yang digunakan untuk menunjang kegiatan penjualan. 8) Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA) Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA) digunakan untuk menunjukkan besarnya modal sendiri yang digunakan untuk mendanai seluruh aktiva perusahaan, dengan anggapan bahwa semua aktiva akan dapat direalisir sesuai dengan yang dilaporkan dalam neraca. Rasio ini juga dikenal dengan istilah lain total equity to total asset ratio. Semakin tinggi nilai rasio ini, maka semakin kecil jumlah pinjaman perusahaan yang digunakan untuk mendanai seluruh aktiva perusahaan. 2.1.5.3 Evaluasi Kinerja Keuangan Menggunakan Rasio Keuangan Menurut Kasmir (2013), untuk dapat mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan dengan rasio keuangan agar dapat digunakan pula untuk melihat kondisi kesehatan perusahaan, diperlukan suatu standar perbandingan. Subramanyam dan Wild (2013) menyatakan bahwa rasio keuangan akan lebih bermanfaat apabila diinterpretasikan dalam perbandingan dengan: (1) rasio tahun sebelumnya, (2) standar yang ditentukan sebelumnya, dan (3) rasio pesaing, yaitu yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 32 1) Perbandingan dengan rasio tahun sebelumnya atau yang dikenal pula dengan perbandingan time-series, yaitu perbandingan rasio keuangan perusahaan dengan menggunakan rasio historis perusahaan itu sendiri dari periode-periode sebelumnya. Riyanto (2008) berpendapat bahwa dengan membandingkan rasio sekarang (present ratio) dengan rasio-rasio dari waktu-waktu yang lalu (ratio historis) atau dengan rasio-rasio yang diperkirakan untuk waktu-waktu yang akan datang dari perusahaan itu sendiri, dapat digunakan untuk mengetahui perubahan-perubahan dari rasio tersebut dari tahun ke tahun. Cara perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui arah perubahan kinerja perusahaan dari tahun ke tahun, yaitu apakah mengalami kenaikan atau penurunan. 2) Perbandingan dengan standar yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu dengan menggunakan suatu patokan atau pedoman umum yang dapat digunakan sebagai benchmark untuk perbandingan tingkat rasio keuangan yang tepat. 3) Perbandingan dengan rasio pesaing atau yang dikenal pula dengan perbandingan silang (cross-sectional), yaitu perbandingan rasio keuangan antar perusahaan dengan cara membandingkan rasio-rasio semacam dari perusahaan lain yang sejenis atau dengan rata-rata industri (average industry). Cara perbandingan ini digunakan untuk mengetahui posisi perusahaan bersangkutan, yaitu apakah berada di atas rata-rata industri (above average), berada pada rata-rata (average), atau terletak di bawah rata-rata (below average) (Riyanto, 2008). 2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti, yaitu diantaranya seperti yang tertera dalam tabel berikut ini: 33 Tabel 2.2.1 Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 1. Hendry Andres Maith (2013) Analisis Laporan Keuangan dalam Mengukur Kinerja Keuangan pada PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. Metode analisa horizontal 1. Berdasarkan rasio likuiditas setiap tahunnya mengalami peningkatan sehingga keadaan perusahaan dikategorikan dalam keadaan baik (likuid). 2. Dari rasio solvabilitas menunjukkan bahwa modal perusahaan tidak lagi mencukupi untuk menjamin hutang yang diberikan oleh kreditor sehingga keadaan perusahaan dikatakan dalam keadaan tidak baik (insolvabel). 3. Ditinjau dengan rasio aktivitas menujukkan peningkatan di setiap tahunnya sehingga keadaan perusahaan dikatakan dalam keadaan baik. 4. Berdasarkan rasio profitabilitas menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun sehingga dapat dikatakan keadaan perusahaan berada pada posisi yang baik. 2. Marsel Pongoh (2013) Analisis Laporan Keuangan untuk Menilai Kinerja Keuangan PT. Bumi Resources Tbk. Metode analisis deskriptif kuantitatif 1. Berdasarkan rasio likuiditas secara keseluruhan keadaan perusahaan berada dalam keadaan baik, meski selama kurun waktu dari tahun 2009-2011 berfluktuasi. 2. Berdasarkan rasio sovabilitas keadaan perusahaan pada posisi solvabel, karena modal perusahaan dalam keadaan cukup untuk menjamin hutang yang diberikan oleh kreditor. 3. Rasio profitabilitas secara keseluruhan dari tahun 2009-2011 keadaan perusahaan berada dalam 34 posisi baik karena mengalami peningkatan seiring kemampuan perusahaan dalam meningkatkan laba dan efisiensi dalam menggunakan sumber daya. 3. 2.3 Anwar Kadir (2006) Analisis Tingkat Kesehatan Perusahaan Pembangkit Listrik di Makassar Metode analisis deskriptif kuantitatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Keputusan 100/MBU/2002 tanggal 14 juni, untuk tahun 2004 PT PLN (Persero) Wil Sulsel & Sultra dinyatakan berada pada tingkat sehat “AA” dimana skor yang diperoleh untuk semua aspek adalah 90,4 yang terdiri dari skor keuangan =30,4 dan skor operasional = 60. Kerangka Konseptual PT. PLN (Persero) merupakan perusahaan BUMN yang berbentuk persero yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan dan pendistribusian tenaga listrik. Setiap transaksi dan peristiwa yang terjadi di dalam PT. PLN (Persero) akan dicatat, digolongkan, dan diringkas dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan PT. PLN (Persero) akan lebih bermanfaat apabila di analisis dan dilakukan perbandingan terhadapnya dengan suatu standar tertentu sehingga dapat dilakukan evaluasi terhadap kinerja keuangan PT. PLN (Persero). Untuk itu, penelitian ini menggunakan laporan keuangan PT. PLN (Persero) periode 2012 sebagai tahun dasar penelitian untuk dibandingkan dengan laporan keuangan pada periode 2010 dan 2011. Alat analisis laporan keuangan yang digunakan adalah dengan menggunakan 8 rasio keuangan yang dianggap paling dominan dan dapat mewakili rasio-rasio keuangan lainnya berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002. Kedelapan rasio tersebut adalah ROE, ROI, rasio kas, rasio lancar, collection 35 periods, perputaran persediaan, perputaran total asset, dan rasio modal sendiri terhadap total aktiva. Hasil dari analisis rasio tersebut nantinya akan digunakan untuk mengevaluasi kinerja keuangan PT. PLN (Persero). Secara ringkas kerangka konseptual dalam penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut: PT. PLN (Persero) Laporan Keuangan PT. PLN (Persero) Periode 2010-2012 Penilaian Kinerja Keuangan dengan Rasio Keuangan Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002: · ROE · Collection periods · ROI · Perputaran persediaan · Rasio kas · Perputaran total asset · Rasio lancar · Rasio modal sendiri terhadap total aktiva Analisis Kinerja Keuangan PT. PLN (Persero) Gambar 2.3.1 Kerangka Konseptual BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.1.1 Variabel Penelitian Sesuai dengan kerangka konseptual, maka variabel-variabel dalam penelitian ini adalah : 1) Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE) 2) Imbalan investasi/ return on investment (ROI) 3) Rasio kas (cash ratio) 4) Rasio lancar (current ratio) 5) Collection periods (CP) 6) Perputaran persediaan (PP) 7) Perputaran total asset/ total assets turn over (TATO) 8) Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA) 3.1.2 Definisi Operasional Definisi operasional masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE), yaitu rasio yang digunakan untuk menunjukkan besarnya pengembalian yang diperoleh pemilik perusahaan (pemegang saham) atas jumlah ekuitas yang telah ditanamkan di perusahaan. Rumus untuk menghitung ROE sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 adalah: 36 37 *) Pada PT. PLN (Persero) menggunakan akun “laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif atau income for the year and total comprehensive income” untuk akun “laba setelah pajak”, sedangkan untuk akun “modal sendiri”, PT. PLN (Persero) menggunakan istilah akun “jumlah ekuitas atau total equity”. 2) Imbalan investasi/ return on investment (ROI), yaitu rasio yang digunakan untuk menunjukkan tingkat pengembalian dari bisnis atas seluruh investasi yang ditanam dalam bentuk aktiva. Rumus untuk menghitung ROI sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 adalah: *) Untuk akun “EBIT”, pada PT. PLN (Persero) menggunakan istilah akun “laba sebelum pajak atau income before tax”. Sedangkan capital employed diperoleh dari total aktiva dikurangi aktiva tetap dalam pelaksanaan, untuk akun “aktiva tetap dalam pelaksanaan” pada PT. PLN (Persero) menggunakan istilah akun “pekerjaan dalam pelaksanaan atau construction in progress”. 3) Rasio kas (cash ratio), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek yang akan segera atau harus dipenuhi dengan menggunakan kas maupun setara kas lainnya yang tersedia dalam perusahaan. Rumus untuk menghitung rasio kas sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah: 38 *) Untuk akun “kas + bank + surat berharga jangka pendek”, PT. PLN (Persero) menggunakan istilah akun “kas dan setara kas atau cash and cash equivalents”. 4) Rasio lancar (current ratio), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancarnya. Rumus untuk menghitung rasio lancar (current ratio) sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah: 5) Collection periods (CP), yaitu rasio yang digunakan untuk menunjukkan berapa lama waktu yang diperlukan perusahaan untuk menagih atau mengumpulkan piutangnya. Rumus untuk menghitung collection periods (CP) sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah: 6) Perputaran persediaan (PP), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana efisensi dan efektivitas perusahaan dalam mengelola persediaannya. Rumus untuk menghitung perputaran persediaan (PP) sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah: 7) Perputaran total asset/ total assets turn over (TATO), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur efisiensi perusahaan dalam mengelola aktivanya. 39 Rumus untuk menghitung total assets turn over (TATO) sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah: *) Pada PT. PLN (Persero), untuk capital employed diperoleh dari total aktiva dikurangi aktiva tetap dalam pelaksanaan, sedangkan untuk akun “aktiva tetap dalam pelaksanaan” pada PT. PLN (Persero) menggunakan istilah akun “pekerjaan dalam pelaksanaan atau construction in progress”. 8) Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA), yaitu rasio yang digunakan untuk menyatakan tingkat solvabilitas perusahaan dalam menunjukkan besarnya modal sendiri yang digunakan untuk mendanai seluruh aktiva perusahaan. Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA) sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 dapat dihitung dengan menggunakan rumus: *) Untuk akun “total modal sendiri”, pada PT. PLN (Persero) menggunakan istilah akun “jumlah ekuitas atau total equity”. 3.2 Objek Penelitian Dalam penelitian ini, objek penelitian yang dipilih adalah PT. PLN (Persero). Penentuan objek penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan karena adanya ketersediaan PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah dan D.I.Y sebagai sumber data PT. PLN (Persero). Sedangkan objek penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah laporan keuangan PT. PLN 40 (Persero) periode 2010-2012 yang telah diaudit yang akan digunakan untuk mengevaluasi kinerja PT. PLN (Persero) dari aspek keuangan dengan menggunakan delapan rasio keuangan yang terdapat dalam Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002. 3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari sumbernya tetapi melalui media perantara (data telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data) dan data yang telah dipublikasikan. Data diperoleh melalui PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah dan D.I.Y, yang beralamat di Jalan Teuku Umar no. 47 Semarang, dan situs resmi PT. PLN (Persero), yaitu (http://www.pln.co.id) sebagai sumber data. Data dari PT. PLN (Persero) yang diperlukan sebagai bahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Gambaran umum PT. PLN (Persero), meliputi sejarah, visi, dan misi PT. PLN (Persero). 2. Struktur organisasi PT. PLN (Persero). 3. Laporan tahunan PT. PLN (Persero) periode 2010-2012. 4. Laporan keuangan PT. PLN (Persero) periode 2010-2012 yang telah diaudit. 3.4 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk melakukan penelitian ini, dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Metode dokumentasi Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara mencatat atau mendokumentasikan data yang sudah ada sehingga dapat diproses untuk 41 menyelesaikan penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa laporan tahunan dan laporan keuangan PT PLN (Persero) periode 2010-2012 yang telah diaudit. 2. Studi kepustakaan (library research) Studi kepustakaan adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan mempelajari dan menelaah literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. 3.5 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu yang bertujuan untuk memberikan penjelasan secara deskriptif mengenai bagaimana hasil evaluasi kinerja keuangan PT. PLN (Persero) apabila diukur menggunakan rasio keuangan sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara. Sedangkan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis rasio keuangan berdasarkan tata cara penilaian kinerja keuangan BUMN dengan menggunakan 8 indikator rasio keuangan yang telah diatur dalam Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, yaitu dengan menggunakan indikator ROE, ROI, rasio kas, rasio lancar, collection periods, perpuataran persediaan, perputaran total asset, dan rasio modal sendiri terhadap total aktiva. Sesuai kriteria yang ada pada Keputusan Menteri BUMN No. KEP- 100/MBU/2002 tersebut, maka PT. PLN (Persero) termasuk kategori BUMN non jasa keuangan yang bergerak di bidang infrastruktur dengan total skor bobot penilaian 50, dengan rincian: 42 Tabel 3.5.1 Daftar Indikator dan Bobot Aspek Keuangan Indikator Bobot 1. Imbalan kepada pemegang saham (ROE) 15 2. Imbalan Investasi (ROI) 10 3. Rasio Kas 3 4. Rasio Lancar 4 5. Collection Periods 4 6. Perputaran persediaan 4 7. Perputaran total asset 4 8. Rasio modal sendiri terhadap total aktiva 6 Total Bobot 50 Sumber: Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP-100/MBU/2002 Sedangkan rincian skor pembobotan penilaian untuk masing-masing indikator rasio keuangan yang akan digunakan adalah: 1) Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE), dengan rincian skor penilaian: Tabel 3.5.2 Daftar Skor Penilaian ROE ROE (%) Skor 15 < ROE 15 13 < ROE <= 15 13,5 11 < ROE <= 13 12 9 < ROE <= 11 10,5 7,9 < ROE <= 9 9 6,6 < ROE <= 7,9 7,5 5,3 < ROE <= 6,6 6 4 < ROE <= 5,3 5 2,5 < ROE <= 4 4 1 < ROE <= 2,5 3 0 < ROE <= 1 1,5 ROE < 0 1 Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 2) Imbalan investasi/ return on investment (ROI), dengan rincian skor penilaian: 43 Tabel 3.5.3 Daftar Skor Penilaian ROI ROI (%) Skor 18 < ROI 10 15 < ROI <= 18 9 13 < ROI <= 15 8 12 < ROI <= 13 7 10,5 < ROI <= 12 6 9 < ROI <= 10,5 5 7 < ROI <= 9 4 5 < ROI <= 7 3,5 3 < ROI <= 5 3 1 < ROI <= 3 2,5 0 < ROI <= 1 2 ROI < 0 0 Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 3) Rasio kas (cash ratio), dengan rincian skor penilaian: Tabel 3.5.4 Daftar Skor Penilaian Cash Ratio Cash Ratio = x (%) Skor x >= 35 3 25 <= x < 35 2,5 15 <= x < 25 2 10 <= x < 15 1,5 5 <= x < 10 1 0 <= x < 5 0 Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 4) Rasio lancar (current ratio), dengan rincian skor penilaian: Tabel 3.5.5 Daftar Skor Penilaian Current Ratio Current Ratio = x (%) Skor 125 <= x 3 110 <= x < 125 2,5 100 <= x < 110 2 95 <= x < 100 1,5 90 <= x < 95 1 x < 90 0 Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 44 5) Collection periods (CP), dengan rincian skor penilaian: Tabel 3.5.6 Daftar Skor Penilaian Collection Periods CP = x Perbaikan = x Skor (hari) (hari) x <= 60 x > 35 4 60 < x <= 90 30 < x <= 35 3,5 90 < x <= 120 25 < x <= 30 3 120 < x <= 150 20 < x <= 25 2,5 150 < x <= 180 15 < x <= 20 2 180 < x <= 210 10 < x <= 15 1,6 210 < x <= 240 6 < x <= 10 1,2 240 < x <= 270 3 < x <= 6 0,8 270 < x <= 300 1 < x <= 3 0,4 300 < x 0 < x <= 1 0 Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 Berdasarkan tabel di atas, terdapat dua indikator yang dapat dipilih mana yang terbaik untuk digunakan dalam melakukan penilaian terhadap rasio collection periods dari kedua skor tersebut, yaitu dengan berdasarkan tingkat collection periods atau berdasarkan perbaikan collection periods. 6) Perputaran persediaan (PP), dengan rincian skor penilaian: Tabel 3.5.7 Daftar Skor Penilaian Perputaran Persediaan PP = x Perbaikan = x Skor (hari) (hari) x <= 60 35 < x 4 60 < x <= 90 30 < x <= 35 3,5 90 < x <= 120 25 < x <= 30 3 120 < x <= 150 20 < x <= 25 2,5 150 < x <= 180 15 < x <= 20 2 180 < x <= 210 10 < x <= 15 1,6 210 < x <= 240 6 < x <= 10 1,2 240 < x <= 270 3 < x <= 6 0,8 270 < x <= 300 1 < x <= 3 0,4 300 < x 0 < x <= 1 0 Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 45 Berdasarkan tabel di atas, terdapat dua indikator yang dapat dipilih mana yang terbaik untuk digunakan dalam melakukan penilaian terhadap rasio perputaran persediaan dari kedua skor tersebut, yaitu dengan berdasarkan tingkat perputaran persediaan atau berdasarkan perbaikan perputaran persediaan. 7) Perputaran total asset/ total asset turn over (TATO), dengan rincian skor penilaian: Tabel 3.5.8 Daftar Skor Penilaian Perputaran Total Asset TATO = x Perbaikan = x Skor (%) (%) 120 < x 20 < x 4 105 < x <= 120 15 < x <= 20 3,5 90 < x <= 105 10 < x <= 15 3 75 < x <= 90 5 < x <= 10 2,5 60 < x <= 75 0 < x <= 5 2 40 < x <= 60 x <= 0 1,5 20 < x <= 40 x< 0 1 x <= 20 x< 0 0,5 Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 Berdasarkan tabel di atas, terdapat dua indikator yang dapat dipilih mana yang terbaik untuk digunakan dalam melakukan penilaian terhadap rasio perputaran total asset dari kedua skor tersebut, yaitu dengan berdasarkan tingkat perputaran total asset atau berdasarkan perbaikan perputaran total asset. 8) Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA), dengan rincian skor penilaian: 46 Tabel 3.5.9 Daftar Skor Penilaian Rasio Modal Sendiri terhadap Total Asset TMS thd TA (%) = x Skor x< 0 0 0 <= x < 10 2 10 <= x < 20 3 20 <= x < 30 4 30 <= x < 40 6 40 <= x < 50 5,5 50 <= x < 60 5 60 <= x < 70 4,5 70 <= x < 80 4,25 80 <= x < 90 4 90 <= x < 100 3,5 Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 Dari hasil total skor penilaian seluruh rasio keuangan tersebut, dapat digunakan pula untuk menilai tingkat kesehatan kinerja keuangan PT. PLN (Persero). Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP-100/MBU/2002 pasal 3, penilaian tingkat kesehatan BUMN dapat digolongkan menjadi : a. SEHAT, yang terdiri dari : AAA apabila total (TS) lebih besar dari 95 b. AA apabila 80 < TS <= 95 A apabila 65 < TS <= 80 KURANG SEHAT, yang terdiri dari : BBB apabila 50 < TS <= 65 c. BB apabila 40 < TS <= 50 B apabila 30 < TS <= 40 TIDAK SEHAT, yang terdiri dari : CCC apabila 20 < TS <= 30 47 CC apabila 10 < TS <= 20 C apabila TS <= 10 Agar hasil penilaian kinerja keuangan yang telah dihitung dapat dinyatakan apakah termasuk kategori sehat atau tidak sesuai aturan penilaian tingkat kesehatan BUMN tersebut, maka total skor hasil penilaian kinerja keuangan yang akan dianalisis dibagi dengan total skor bobot maksimum untuk penilaian kinerja dari aspek keuangan sebesar 50% sebagai nilai ekuivalen. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum dan Sejarah PT. PLN (Persero) PT. PLN (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan dan pendistribusian tenaga listrik dari pusat-pusat pembangkit listrik yang bertenaga air, diesel, uap, tenaga angin maupun tenaga surya, dengan bahan bakar minyak, batu bara, gas dan panas bumi ke pengguna akhir yaitu kawasan industri, komersial, pemukiman maupun sarana publik dengan harga yang terjangkau. Dalam usaha menyediakan tenaga listrik, PLN membangun dan mengelola pembangkit listrik secara mandiri maupun melalui skema kerjasama dengan pihak ketiga, termasuk membeli tenaga listrik dari pembangkit milik swasta. Untuk mendistribusikan tenaga listrik kepada pelanggan, PLN membangun dan mengelola jaringan transmisi dan distribusi di atas tanah maupun kabel bawah tanah, lengkap dengan rangkaian pusat trafo dan gardu induk pengatur tegangan dan beban atau daya listrik untuk kemudian disalurkan ke terminal instalasi listrik domestik di tempat pelanggan. Usaha ketenagalistrikan yang dikelola PLN melingkupi jaringan listrik mulai dari pusat pembangkit milik sendiri maupun milik swasta, jaringan transmisi dan distribusi serta jasa kelistrikan terkait, dengan daerah operasi mencakup seluruh wilayah Indonesia, mulai dari perkotaan hingga ke area terpencil. Sejarah perkembangan ketenagalistrikan di Indonesia bermula sejak akhir abad ke-19, melalui pembangunan pembangkit listrik untuk keperluan sendiri di 48 49 beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pabrik gula dan perkebunan teh. Hingga kemudian antara tahun 1942-1945 terjadi peralihan pengelolaan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut oleh Jepang, setelah Belanda menyerah kepada pasukan tentara Jepang di awal Perang Dunia II. Proses peralihan kekuasaan kembali terjadi di akhir Perang Dunia II pada Agustus 1945, saat Jepang menyerah kepada Sekutu. Seiring dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, di akhir tahun 1945, kesempatan ini dimanfaatkan oleh para pemuda dan buruh listrik melalui delegasi Buruh/Pegawai Listrik dan Gas yang bersama-sama dengan Pimpinan KNI Pusat berinisiatif menghadap Presiden Soekarno untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan tersebut kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pada tanggal 27 Oktober 1945, Presiden Soekarno kemudian membentuk Jawatan Listrik dan Gas, yang berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik saat itu adalah sebesar 157,5 MW. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1961, maka pada tanggal 1 Januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi BPU-PLN (Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara) dengan bidang usaha penyediaan listrik, gas dan kokas. Pada tanggal 1 Januari 1965 BPU-PLN dibubarkan, diikuti pembentukan 2 (dua) perusahaan negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola tenaga listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai pengelola gas. Pada tahun 1970, status Perusahaan berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) sesuai ketetapan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1970 dan pada tahun 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17, status Perusahaan Listrik Negara (PLN) berubah menjadi Perusahaan Umum Listrik Negara, bertindak sebagai 50 Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Tahun 1994 pemerintah memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik. Sehingga, sejak tahun 1994 status PLN beralih dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum. Kemudian berdasarkan akta No. 169 tanggal 30 Juli 1994 dari Sutjipto S.H., notaris di Jakarta, status badan hukum Perusahaan berubah menjadi Perseroan Terbatas dengan nama Perusahaan Perseroan PT. Perusahaan Listrik Negara disingkat PT. PLN (Persero). Seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, kini PLN bukan lagi sebagai PKUK namun sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum hingga sekarang. Total daya pembangkit milik PLN yang dikelola sampai akhir tahun 2012 telah berkembang menjadi 32.901 MW. 4.1.2 Visi, Misi, dan Moto PT. PLN (Persero) Adapun visi, misi, dan moto pada PT. PLN (Persero) adalah: Tabel 4.1.2.1 Visi, Misi, dan Moto PT. PLN (Persero) Visi Diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, unggul dan terpercaya dengan bertumpu pada potensi insani. Misi 1. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait, berorientasi pada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan, dan pemegang saham. 2. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. 3. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi. 4. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan. Moto Listrik untuk kehidupan yang lebih baik. Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014 51 *) Penjabaran visi perusahaan: 1. Diakui Mencerminkan cita-cita untuk meraih pengakuan dari pihak luar yang menunjukkan bahwa PLN pantas dipandang sebagai Perusahaan Kelas Dunia. 2. Kelas Dunia a. Menunjukkan kinerja yang melebihi ekspektasi pihak-pihak yang berkepentingan. b. Memberikan layanan yang mudah, terpadu, dan tuntas dalam berbagai masalah kelistrikan. c. Menjalin hubungan kemitraan yang akrab dan setara dengan pelanggan serta mitra usaha Nasional dan Internasional. d. Bekerja dengan pola pikir prima (Mindset of Excellence). e. Diakui oleh pelanggan dan mitra kerja sebagai perusahaan yang mampu memenuhi standar mutakhir dan paling baik. 3. Bertumbuh Kembang a. Antisipatif terhadap perkembangan lingkungan usaha dan selalu siap menghadapi berbagai tantangan. b. Secara konsisten menunjukkan kinerja yang lebih baik. 4. Unggul a. Menjadi yang terbaik dalam bisnis ketenagalistrikan dan memenuhi tolok ukur mutakhir dan terbaik. b. Memposisikan diri sebagai Perusahaan yang terkemuka dalam percaturan bisnis kelistrikan dunia. 52 c. Mengelola usaha dengan mengedepankan pemberdayaan potensi insani secara maksimal. d. Meningkatkan kualitas proses, sistem, produk, dan pelayanan secara berkesinambungan. 5. Terpercaya a. Memegang teguh etika bisnis yang tertinggi. b. Menghasilkan kinerja terbaik secara konsisten. c. Menjadi Perusahaan pilihan. 6. Potensi Insani a. Keberhasilan perusahaan lebih ditentukan oleh kesadaran anggota perusahaan untuk memunculkan seluruh potensi mereka dalam wujud wawasan aspiratif dan etikal, rasa kompeten, motivasi kerja, semangat belajar inovatif dan semangat bekerja sama. b. Potensi insani diperkaya dengan kompetensi yang terbentuk dari pengetahuan substantial, pengetahuan kontekstual, keterampilan, kemampuan, pengalaman, dan jejaring kerja sama. 4.1.3 Struktur Organisasi PT. PLN (Persero) Struktur organisasi pada PT. PLN (Persero) adalah sebagai berikut: 53 Kepala Satuan Pengawasan Intern Direktur Utama Direktur SDM dan Umum Direktur Konstruksi Direktur Pengadaan Strategis Direktur Operasi Jawa Bali Direktur Operasi Indonesia Barat Direktur Operasi Indonesia Timur Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko Direktur Keuangan Kepala Divisi Pengembangan Organisasi Kepala Divisi Kepala Konstruksi Divisi Gas & dan IPP JawaBBM Bali Kepala Divisi Pembangkitan Jawa-Bali Kepala Divisi Pembangkitan Indonesia Barat Kepala Divisi Pembangkitan Indonesia Timur Kepala Divisi Niaga Kepala Divisi Keuangan Korporat Kepala Divisi Pengembangan Sistem SDM Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan Kepala Divisi Pengadaan Strategis Kepala Divisi Transmisi JawaBali Kepala Divisi Transmisi Indonesia Barat Kepala Divisi Transmisi Indonesia Timur Kepala Divisi Manajemen Risiko Kepala Divisi Perencanaan Pengendalian Anggaran Kepala Divisi Pengembangan SDM dan Talenta Kepala Divisi Konstruksi dan IPP Indonesia Barat Kepala Divisi Pengadaan IPP Kepala Divisi Distribusi dan Pelayanan Pelanggan Jawa-Bali Kepala Divisi Distribusi dan Pelayanan Pelanggan Indonesia Barat Kepala Divisi Distribusi dan Pelayanan Pelanggan Indonesia Timur Kepala Divisi Perencanaan Strategis Korporasi Kepala Divisi Akuntansi, Pajak, dan Asuransi Kepala Divisi Umum dan Manajemen Kantor Pusat Kepala Divisi Konstruksi dan IPP Indonesia Timur Kepala Divisi Bisnis dan Transaksi Tenaga Listrik Kepala Divisi Perencanaan Sistem Kepala Divisi Perbendaharaan Kepala Divisi Administrasi Kontruksi Kepala Divisi Batubara Kepala Divisi Perencanaan Pengadaan Strategis Enjiniring dan Teknologi Kepala Divisi Sitem Informasi Unit Bisnis Pembangkit Unit Bisnis PLN Wilayah Unit Bisnis PLN Proyek Induk PLN Pusat Pendidikan dan Pelatihan Anak Perusahaan Unit Bisnis PLN Penyaluran Unit Bisnis PLN Distribusi Unit Bisnis Penunjang PLN Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketenagalistrikan Usaha-usaha Patungan Gambar 4.1.3.1 Struktur Organisasi PT. PLN (Persero) 4.1.4 Bidang Usaha PT. PLN (Persero) Sesuai Undang-undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, bidang usaha PT. PLN (Persero) adalah: 1. Menjalankan usaha penyediaan tenaga listrik yang mencakup: a. Pembangkitan tenaga listrik. b. Penyaluran tenaga listrik. Sekretaris Perusahaan Kepala Satuan Pengendalian Kinerja Korporat Kepala Satuan Pelayanan Hukum Korporat 54 c. Distribusi tenaga listrik. d. Perencanaan dan pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik. e. Pengembangan penyediaan tenaga listrik. f. Penjualan tenaga listrik. 2. Menjalankan usaha penunjang tenaga listrik yang mencakup: a. Konsultansi ketenagalistrikan. b. Pembangunan dan pemasangan peralatan ketenagalistrikan. c. Pemeriksaan dan pengujian peralatan ketenagalistrikan. d. Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan ketenagalistrikan. e. Laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat tenaga listrik. f. Sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik. g. Sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan. 3. Kegiatan-kegiatan lainnya mencakup: a. Pengelolaan dan pemanfaatan SDA dan sumber energi lainnya untuk tenaga listrik. b. Jasa operasi dan pengaturan (dispatcher) pada pembangkitan, penyaluran, distribusi dan retail tenaga listrik. c. Industri perangkat keras, lunak dan lainnya di bidang ketenagalistrikan. d. Kerja sama dengan pihak lain atau badan penyelenggara bidang ketenagalistrikan di bidang pembangunan, operasional, telekomunikasi dan informasi terkait dengan ketenagalistrikan. e. Usaha jasa ketenagalistrikan. 55 Lebih lanjut lagi, bidang usaha PLN juga mencakup: 1. Kegiatan perencanaan pengembangan fasilitas tenaga listrik transmisi dan distribusi umum) dan penunjang, (pembangkitan, rencana pendanaan, pengembangan usaha, pengembangan organisasi, dan SDM. 2. Kegiatan pembangunan konstruksi sarana penyediaan tenaga listrik pembangkitan, transmisi dan gardu induk. 3. Kegiatan pengusahaan/operasi pusat-pusat pembangkit tenaga listrik yang terdiri dari: Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA), Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG - gas turbine), Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pusat Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pusat Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan Pusat Listrik Tenaga Bayu (PLTB). PLN juga menjalankan kegiatan sewa pembangkit dan pembelian tenaga listrik yang diproduksi oleh pusat-pusat pembangkit tenaga listrik swasta. 4. Kegiatan riset dan penunjang berkaitan dengan bidang kelistrikan. 4.1.5 Unit Bisnis dan Anak Perusahaan PT. PLN (Persero) 4.1.5.1 Unit Bisnis PT. PLN (Persero) PT. PLN (Persero) memiliki 46 unit bisnis yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang terdiri dari: PLN Wilayah dan Distribusi 1. Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam 2. Wilayah Sumatera Utara 3. Wilayah Sumatera Barat 4. Wilayah Riau dan Kepulauan Riau 5. Wilayah Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu 56 6. Wilayah Bangka Belitung 7. Wilayah Kalimantan Barat 8. Wilayah Kalimantan Timur 9. Wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah 10. Wilayah Nusa Tenggara Timur 11. Wilayah Maluku dan Maluku Utara 12. Wilayah Nusa Tenggara Barat 13. Wilayah Papua 14. Wilayah Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat 15. Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, dan Gorontalo 16. Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang 17. Distribusi Jawa Barat dan Banten 18. Distribusi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta 19. Distribusi Jawa Timur 20. Distribusi Bali 21. Distribusi Lampung PLN Unit Induk Pembangunan Jaringan 22. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Sumatera Utara dan Aceh 23. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara 24. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Sumatera Selatan-Sumatera Barat 25. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Kalimantan 26. UIP Pembangkit & Jaringan Nusa Tenggara 27. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Sulawesi, Maluku, dan Papua (SULMAPA) 57 PLN Pembangkitan 28. Pembangktian Sumatera Bagian Utara 29. Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan 30. Pembangkitan Muara Tawar 31. Pembangkitan Tanjung Jati B 32. Unit Pembangkitan Cilegon PLN Unit Induk Pembangunan Pembangkitan 33. Unit Induk Pembangunan Pembangkitan Sumatera 1 (KIT Sumatera 1) 34. Unit Induk Pembangunan Pembangkitan Sumatera 2 (KIT Sumatera2) 35. Unit Induk Pembangunan Pembangkitan Sulawesi, Maluku dan Papua (KIT SULMAPA) 36. Pembangkitan Hydro Jawa Bali 37. Pembangkitan Thermal Jawa Bali PLN Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B) 38. Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali (P3B Jawa Bali) 39. Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Sumatera (P3B Sumatera) PLN Jasa 40. Pusat Pendidikan dan Pelatihan 41. Jasa Enjiniring 42. Pemeliharaan Ketenagalistrikan 43. Penelitian dan Pengembangan Ketenagalistrikan 44. Jasa Manajemen Konstruksi 45. Jasa Sertifikasi PLN Unit Induk Pembangunan Tegangan Ekstra Tinggi Interkoneksi 58 46. Unit Induk Pembangunan Tegangan Ekstra Tinggi Interkoneksi Jawa Sumatera 4.1.5.2 Anak Perusahaan PT. PLN (Persero) PT. PLN (Persero) memiliki 11 anak perusahaan dengan kepemilikan mayoritas. Bidang usaha anak-anak perusahaan PLN bervariasi, yaitu pembangkit listrik, bidang keuangan, rancang bangun, pemasokan batu bara dan konstruksi, yang terdiri dari: 1. PT Indonesia Power 2. PT Pembangkitan Jawa Bali 3. PT Indonesia Comnets Plus 4. PT Pelayanan Listrik Nasional Batam 5. PT Prima Layanan Nasional Enjiniring 6. PT Pelayanan Listrik Nasional Tarakan 7. PT PLN Batu Bara 8. PT PLN Geothermal 9. Majapahit Holding BV 10. PT Pelayaran Bahtera Adhiguna 11. PT Haleyora Power 4.2 Hasil Penelitian Untuk dapat melakukan analisis kinerja keuangan pada PT. PLN (Persero) selama periode 2010-2012, dalam penelitian ini mengacu pada tata cara penilaian kinerja keuangan BUMN dengan menggunakan delapan indikator analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN. Kedelapan indikator tersebut merupakan rasio 59 keuangan yang dianggap paling dominan dan dapat mewakili rasio-rasio keuangan dalam menilai kinerja keuangan BUMN, yaitu ROE, ROI, rasio kas, rasio lancar, collection periods, perputaran persediaan, perputaran total asset, dan rasio modal sendiri terhadap total aktiva. Berdasakan data sekunder yang telah diperoleh, perhitungan rasio-rasio keuangan tersebut selama tiga tahun, yaitu dari tahun 2010 sampai 2012 adalah sebagai berikut: 1. Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE) ROE digunakan untuk menunjukkan besarnya pengembalian yang diperoleh pemilik perusahaan (pemegang saham) atas jumlah ekuitas yang telah ditanamkan di perusahaan. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin besar tingkat pengembalian yang diperoleh pemilik perusahaan (pemegang saham). Rumus yang digunakan untuk menghitung imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE) perusahaan adalah: Adapun hasil perhitungan besarnya ROE perusahaan selama periode 2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4.2.1 Perhitungan ROE Keterangan 2010 10.093.018 Tahun 2011 5.426.115 2012 3.205.524 Laba Tahun Berjalan dan Jumlah Laba Komprehensif (a)*) Jumlah Ekuitas (b)*) 149.682.595 146.012.836 150.599.670 ROE (%) 6,74 3,72 2,13 (c) = ((a) : (b)) x 100% Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014 60 *) 2. Dinyatakan dalam jutaan rupiah Imbalan investasi/ return on investment (ROI) ROI digunakan untuk menunjukkan tingkat pengembalian dari bisnis atas seluruh investasi yang ditanam dalam bentuk aktiva. Semakin tinggi rasio ini, mengindikasikan semakin besar kemampuan perusahaan mencetak laba. Rumus yang digunakan untuk menghitung imbalan investasi/ return on investment (ROI) perusahaan adalah: Atau Adapun hasil perhitungan besarnya ROI perusahaan selama periode 2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4.2.2 Perhitungan ROI Keterangan *) Laba Sebelum Pajak (a) Penyusutan (b)*) Laba Sebelum Pajak + Penyusutan*) 2010 11.406.192 12.558.537 23.964.729 Tahun 2011 5.514.995 16.254.552 21.769.547 2012 1.031.728 19.499.221 20.530.949 (c) = (a) + (b) Jumlah Aset (d)*) 369.190.582 467.782.603 540.705.764 *) Pekerjaan dalam Pelaksanaan (e) 106.839.853 98.057.296 102.810.172 *) Capital Employed 262.350.729 369.725.307 437.895.592 (f) = (d) - (e) ROI (%) 9,13 5,89 4,69 (g) = ((c) : (f)) x 100% Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014 *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah 61 3. Rasio kas (cash ratio) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek yang akan segera atau harus dipenuhi dengan menggunakan kas maupun setara kas lainnya yang tersedia dalam perusahaan. Kas dan setara kas merupakan aktiva perusahaan yang paling cair (likuid). Semakin tinggi rasio ini, maka semakin besar kemampuan perusahaan membayar kewajibannya dengan menggunakan kas maupun setara kas lainnya. Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio kas (cash ratio) perusahaan adalah: Adapun hasil perhitungan besarnya cash ratio perusahaan selama periode 20102012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4.2.3 Perhitungan Cash Ratio Keterangan *) Kas dan Setara Kas (a) Current Liabilities (Liabilitas Jangka Pendek)*) 2010 19.716.798 Tahun 2011 22.088.093 2012 22.639.853 54.949.838 63.550.433 74.602.903 (b) Cash Ratio (%) 35,88 34,76 (c) = ((a) : (b)) x 100% Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014 *) 4. 30,35 Dinyatakan dalam jutaan rupiah Rasio lancar (current ratio) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancarnya. Semakin tinggi rasio ini, 62 maka semakin besar kemampuan perusahaan membayar setiap utangnya dengan aktiva lancarnya. Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio lancar (current ratio) perusahaan adalah: Adapun hasil perhitungan besarnya current ratio perusahaan selama periode 2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4.2.4 Perhitungan Current Ratio Keterangan *) Current Assets (Aset Lancar) (a) Current Liabilities (Liabilitas Jangka Pendek)*) 2010 44.773.286 Tahun 2011 58.252.342 2012 68.639.956 54.949.838 63.550.433 74.602.903 (b) Current Ratio (%) 81,48 91,66 (c) = ((a) : (b)) x 100% Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014 *) 5. 92,01 Dinyatakan dalam jutaan rupiah Collection periods (CP) Collection periods digunakan untuk menunjukkan berapa lama waktu yang diperlukan perusahaan untuk menagih atau mengumpulkan piutangnya. Semakin besar rasio ini, mengindikasikan semakin kecil kemampuan penagihan perusahaan akan piutangnya. Rumus yang digunakan untuk menghitung collection periods (CP) perusahaan adalah: 63 Adapun hasil perhitungan besarnya collection periods perusahaan selama periode 2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4.2.5 Perhitungan Collection Periods Keterangan *) 2010 2.875.168 Tahun 2011 3.504.823 2012 3.851.920 Piutang Usaha (a) Pendapatan Usaha*) 162.375.294 208.017.823 232.656.456 (b) Collection Periods (hari) 6,46 6,15 6,04 (c) = ((a) : (b)) x 365 hari Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014 *) 6. Dinyatakan dalam jutaan rupiah Perputaran persediaan (PP) Perputaran persediaan digunakan untuk mengukur sejauh mana efisensi dan efektivitas perusahaan dalam mengelola persediaannya. Semakin rendah rasio ini, maka semakin cepat persediaan berputar. Rumus yang digunakan untuk menghitung perputaran persediaan (PP) perusahaan adalah: Adapun hasil perhitungan besarnya perputaran persediaan perusahaan selama periode 2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: 64 Tabel 4.2.6 Perhitungan Perputaran Persediaan Keterangan *) 2010 9.927.314 Tahun 2011 15.654.105 2012 16.738.446 Persediaan (a) Pendapatan Usaha*) 162.375.294 208.017.823 232.656.456 (b) Perputaran Persediaan (hari) 22,32 27,47 26,26 (c) = ((a) : (b)) x 365 hari Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014 *) 7. Dinyatakan dalam jutaan rupiah Perputaran total asset/ total asset turn over (TATO) Rasio ini digunakan untuk mengukur efisiensi perusahaan dalam mengelola aktivanya. Semakin besar rasio ini, maka semakin efisien seluruh aktiva yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan perusahaan. Rumus yang digunakan untuk menghitung perputaran total asset/ total asset turn over (TATO) perusahaan adalah: Atau Adapun hasil perhitungan besarnya TATO perusahaan selama periode 20102012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: 65 Tabel 4.2.7 Perhitungan TATO Keterangan Tahun 2010 2011 2012 162.375.294 208.017.823 232.656.456 Pendapatan Usaha*) (a) Jumlah Aset (b)*) 369.190.582 467.782.603 540.705.764 *) Pekerjaan dalam Pelaksanaan 106.839.853 98.057.296 102.810.172 (c) Capital Employed*) 262.350.729 369.725.307 437.895.592 (d) = (b) - (c) TATO (%) 61,89 56,26 53,13 (e) = ((a) : (d)) x 100% Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014 *) 8. Dinyatakan dalam jutaan rupiah Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA) Rasio ini digunakan untuk menunjukkan besarnya modal sendiri yang digunakan untuk mendanai seluruh aktiva perusahaan. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin kecil jumlah pinjaman perusahaan yang digunakan untuk mendanai seluruh aktiva perusahaan. Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA) perusahaan adalah: Adapun hasil perhitungan besarnya rasio total modal sendiri terhadap total asset perusahaan selama periode 2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: 66 Tabel 4.2.8 Perhitungan TMS terhadap TA Keterangan Tahun 2010 2011 2012 149.682.595 146.012.836 150.599.670 Jumlah Ekuitas*) (a) Jumlah Aset*) 369.190.582 467.782.603 540.705.764 (b) TMS terhadap TA (%) 40,54 31,21 27,85 (c) = ((a) : (b)) x 100% Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014 *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Sehingga secara ringkas, hasil perhitungan kedelapan indikator rasio keuangan pada PT. PLN (Persero) selama periode 2010-2012 dapat dirangkum sebagai berikut: Tabel 4.2.9 Hasil Perhitungan Rasio-rasio Keuangan Tahun 2010 2011 2012 ROE 6,74 % 3,72 % 2,13 % ROI 9,13 % 5,89 % 4,69 % Cash Ratio 35,88 % 34,76 % 30,35 % Current Ratio 81,48 % 91,66 % 92,01 % Collection Periods 6,46 hari 6,15 hari 6,04 hari Perputaran Persediaan 22,32 hari 27,47 hari 26,26 hari TATO 61,89 % 56,26 % 53,13 % TMS terhadap TA 40,54 % 31,21 % 27,85 % Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.1 s.d. Tabel 4.2.8) Rasio 4.3 Pembahasan Berdasarkan data sekunder yang telah diperoleh dan hasil penelitian yang telah dilakukan, sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara, penilaian terhadap kinerja keuangan PT. PLN (Persero) sebagai salah satu BUMN 67 yang termasuk kategori BUMN non jasa keuangan yang bergerak di bidang infrastruktur dibagi menjadi delapan indikator dengan total skor bobot penilaian 50 seperti yang telah dirinci pada Tabel 3.5.1. Untuk pembagian kriteria skor penilaian masing-masing indikator telah dijelaskan pada Tabel 3.5.2 sampai dengan Tabel 3.5.9. Adapun hasil penilaian kinerja keuangan PT. PLN (Persero) selama 2010-2012 untuk masing-masing indikator beserta hasil analisisnya adalah sebagai berikut: 1. Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE) ROE merupakan salah satu komponen indikator yang digunakan dalam melakukan penilaian kinerja keuangan dalam penelitian ini. ROE dapat digunakan untuk menggambarkan bagaimana kondisi kinerja keuangan PT. PLN (Persero) dilihat dari kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba untuk memberikan imbalan kepada pemilik perusahaan (pemegang sahamnya). Untuk dapat menghitung berapa nilai rasio ROE yang diperoleh perusahaan, diperlukan akun laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif dan jumlah ekuitas. Pada PT. PLN (Persero), laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif adalah total laba berjalan termasuk pendapatan komprehensif yang akan diatribusikan kepada pemilik entitas induk dan untuk kepentingan nonpengendali. Sedangkan ekuitas adalah jumlah modal sendiri yang dimiliki perusahan yang terdiri atas modal ditempatkan dan disetor penuh, tambahan modal disetor, dan saldo laba (baik yang telah ditentukan penggunaannya maupun belum ditentukan penggunaannya) yang digunakan untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan memastikan pelaksanaan program pengembangan usaha. Berdasarkan hasil perhitungan rasio ROE pada PT. PLN (Persero) yang terdapat pada Tabel 4.2.1, nilai rasio ROE PT. PLN (Persero) untuk tahun 2010 adalah 68 6,74%. Sesuai tata cara skor penilaian untuk indikator ROE menurut Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara (lihat Tabel 3.5.2), nilai rasio ROE pada tahun 2010 mendapat skor 7,5 karena berada pada posisi interval 6,6 < ROE ≤ 7,9. Pada tahun 2011, nilai rasio ini mengalami penurunan cukup signifikan yaitu menjadi 3,72%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011, untuk skor penilaian rasio ini juga mengalami penurunan cukup signifikan yaitu memperoleh skor 4 karena berada pada posisi interval 2,5 < ROE ≤ 4. Kemudian pada tahun 2012, dari hasil perhitungan rasio ROE juga menunjukkan terjadinya penurunan nilai menjadi 2,13% dengan skor perolehan 3 karena berada pada posisi interval 1 < ROE ≤ 2,5. Penurunan nilai dan skor rasio ini yang terjadi berturut-turut selama tiga periode terakhir, menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan ekuitas atau modal sendiri mengalami penurunan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa tingkat kembalian (imbalan) yang diberikan kepada pemilik perusahaan (pemegang saham) selama tiga periode berturut-turut semakin menurun. Untuk lebih jelasnya, pemaparan hasil skor penilaian rasio ROE ini akan disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4.3.1 Perhitungan Skor Penilaian ROE Tahun ROE (%) Posisi interval Skor 2010 6,74 6,6 < ROE <= 7,9 7,5 2011 3,72 2,5 < ROE <= 4 4 2012 2,13 1 < ROE <= 2,5 3 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.2 dan Tabel 4.2.9) Adapun hasil analisis terhadap perubahan rasio ROE perusahaan dari tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini: 69 Tabel 4.3.2 Perubahan ROE dari Tahun 2010 ke 2011 Tahun Keterangan Laba Tahun Berjalan dan Jumlah Laba Komprehensif*) ) Jumlah Ekuitas* ROE (%) 2010 Perubahan 2010-2011 Hasil Nilai 5.426.115 Turun -4.666.903 -46,24 149.682.595 146.012.836 Turun -3.669.759 -2,45 3,72 Turun -3,02 -44,81 10.093.018 6,74 2011 % Persentase Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.1) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai ROE perusahaan beserta akun-akun komponennya pada Tabel 4.3.2 di atas, bahwa penurunan nilai rasio ROE perusahaan yang terjadi dari tahun 2010 hingga 2011 adalah sebesar 3,02%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan laba bagi pemilik perusahaan (pemegang saham) dari setiap Rp 1,00 modal atau jumlah ekuitas yang ditanamkan pada perusahaan sebesar Rp 0,0302 atau 44,81% dari tahun 2010. Penurunan ROE tahun 2011 terhadap tahun 2010 ini disebabkan adanya penurunan pada laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif yang lebih besar daripada penurunan jumlah ekuitasnya. Pada tahun 2010-2011 terjadi penurunan laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif yang cukup signifikan sebesar Rp 4.666.903 juta atau sebesar 46,24% dari tahun 2010. Sedangkan penurunan jumlah ekuitas tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah sebesar Rp 3.669.759 juta atau 2,45% dari tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2011 hingga 2012, nilai rasio ROE mengalami penurunan sebesar 1,59% (penurunan yang terjadi pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 ini sedikit berkurang apabila dibandingkan penurunan yang terjadi pada tahun 2011 70 terhadap tahun 2010 sebesar 3,02%). Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012 terjadi penurunan laba bagi pemilik perusahaan (pemegang saham) dari setiap Rp 1,00 modal atau jumlah ekuitas yang ditanamkan pada perusahaan sebesar Rp 0,0159 atau 42,74% dari tahun 2011. Penurunan ROE tahun 2012 terhadap tahun 2011 ini disebabkan adanya penurunan pada laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif namun disertai dengan kenaikan pada jumlah ekuitasnya. Kenaikan jumlah ekuitas yang terjadi pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 adalah sebesar Rp 4.586.834 juta atau 3,14% dari tahun 2011. Sedangkan pada laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif mengalami penurunan yang masih cukup signifikan dari sebelumnya sebesar Rp 2.220.591 juta atau sebesar 40,92% dari tahun 2011. Adapun pemaparan dari hasil analisis terhadap perubahan rasio ROE perusahaan dari tahun 2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.3 Perubahan ROE dari Tahun 2011 ke 2012 Tahun Keterangan Laba Tahun Berjalan dan Jumlah Laba Komprehensif*) ) Jumlah Ekuitas* ROE (%) 2011 Perubahan 2011-2012 Hasil Nilai 3.205.524 Turun -2.220.591 -40,92 146.012.836 150.599.670 Naik 4.586.834 3,14 -1,59 -42,74 5.426.115 3,72 2012 2,13 Turun % Persentase Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.1) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Penurunan laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif pada tahun 2011 dan tahun 2012 terjadi terutama sehubungan dengan adanya fluktuasi kurs mata uang rupiah terhadap berbagai mata uang asing sehingga perusahaan mencatat 71 kerugian kurs mata uang asing bersih sebesar 181,92% menjadi Rp 1.833.390 juta pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 kerugian naik sebesar 223,91% menjadi Rp 5.938.482 juta, adanya peningkatan pada beban keuangan perusahaan sebesar 188,83% menjadi Rp 17.361.067 juta pada tahun 2011 dan kenaikan sebesar 41,77% menjadi Rp 24.612.091 juta pada tahun 2012, serta adanya peningkatan beban usaha karena adanya kenaikan beban bahan bakar dan pelumas pada tahun 2011 sebesar Rp 46.966.877 juta menjadi Rp 131.157.604 juta dan pada tahun 2012 naik sebesar Rp 5.377.891 juta dari tahun 2011 menjadi Rp 136.535.496 juta akibat adanya kenaikan harga BBM disertai adanya peningkatan biaya pembelian bahan bakar non-BBM (batubara dan gas) sehubungan dengan semakin bertambahnya jumlah pembangkit listrik yang dikonversikan menjadi berbahan bakar non-BBM sebagai wujud mulai terealisasinya proyek percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap I (Fast Track Program Tahap I atau disingkat FTP-1), dan selain itu, pada tahun 2012 terjadi peningkatan pembelian tenaga listrik yang sangat tinggi sebesar 133,91% dari tahun 2011 mencapai Rp 2.939.624 juta akibat kebutuhan listrik yang terus meningkat. 2. Imbalan investasi/ return on investment (ROI) ROI merupakan salah satu komponen indikator penilaian kinerja keuangan dalam penelitian ini yang dapat digunakan untuk menggambarkan kemampuan PT. PLN (Persero) dalam menghasilkan laba untuk memberikan imbalan investasi kepada pemilik perusahaan (pemegang sahamnya). Nilai ROI perusahaan diperoleh dengan membagi akun laba sebelum pajak yang telah ditambah penyusutan dengan capital employed perusahaan. Dalam penelitian ini, 72 capital employed diperoleh dari jumlah aset dikurangi perkerjaan dalam pelaksanaan. Pada PT. PLN (Persero), akun pekerjaan dalam pelaksanaan merupakan biaya-biaya yang terjadi sehubungan dengan pembangunan dan perbaikan/renovasi sarana kelistrikan. Pada tahun 2010, ROI pada PT. PLN (Persero) berdasarkan tabel di bawah ini (pada Tabel 4.3.4) memperoleh nilai 9,13% dengan skor perolehan 5 karena berada pada posisi interval 9 < ROI ≤ 10,5. Sama halnya seperti hasil perhitungan untuk rasio ROE, pada tahun 2011 dan 2012, nilai dan skor ROI perusahaan menunjukkan terjadinya penurunan. Pada tahun 2011, nilai ROI yang diperoleh adalah 5,89% dengan skor perolehan 3,5 karena berada pada posisi interval 5 < ROI ≤ 7. Untuk tahun 2012, nilai ROI yang diperoleh adalah 4,69% dengan skor perolehan 3 karena berada pada posisi interval 3 < ROI ≤ 5. Penurunan yang juga terjadi pada rasio ini selama tiga periode berturut-turut, yang ditunjukkan pada hasil perhitungan nilai dan skor ROI yang ada, mengindikasikan bahwa kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba selain menggunakan modal sendiri (ditunjukkan pada hasil perhitungan nilai dan skor ROE), yaitu dengan aktiva yang ada pada perusahaan, juga mengalami penurunan. Hal ini juga berarti bahwa tingkat pengembalian (imbalan) dari bisnis atas seluruh investasi yang ditanam perusahaan dalam bentuk aktiva selama tiga periode berturut-turut semakin menurun. Adapun dari pemaparan hasil skor penilaian rasio ROI ini dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: 73 Tabel 4.3.4 Perhitungan Skor Penilaian ROI Tahun ROI (%) Posisi interval Skor 2010 9,13 9 < ROI <= 10,5 5 2011 5,89 5 < ROI <= 7 3,5 2012 4,69 3 < ROI <= 5 3 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.3 dan Tabel 4.2.9) Adapun hasil analisis terhadap perubahan rasio ROI perusahaan dari tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.5 Perubahan ROI dari Tahun 2010 ke 2011 Tahun Keterangan *) Laba Sebelum Pajak Penyusutan*) Laba Sebelum Pajak ) + Penyusutan* ) Jumlah Aset* Pekerjaan dalam Pelaksanaan (e)*) ) Capital Employed* ROI (%) 2010 11.406.192 12.558.537 23.964.729 2011 Hasil 5.514.995 Turun 16.254.552 Naik 21.769.547 Turun 369.190.582 467.782.603 106.839.853 98.057.296 Naik Turun Perubahan 2010-2011 Nilai % Persentase -5.891.197 -51,65 3.696.015 29,43 -2.195.182 -9,16 98.592.021 -8.782.557 26,70 -8,22 262.350.729 369.725.307 Naik 107.374.578 9,13 5,89 Turun -3,24 40,93 -35,49 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.2) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Berdasarkan hasil analisis terhadap perubahan nilai rasio ROI dan akun-akun komponennya yang terjadi pada tahun 2010-2011 (lihat Tabel 4.3.5), menunjukkan bahwa pada periode tersebut, nilai rasio ROI dari tahun 2010 hingga 2011 mengalami penurunan sebesar 3,24%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan laba bagi pemilik perusahaan (pemegang saham) dari setiap Rp 1,00 investasi yang ditanamkan pada perusahaan dalam bentuk aktiva sebesar Rp 0,0324 atau 35,49% dari tahun 2010. Penurunan ROI tahun 2011 terhadap tahun 2010 ini disebabkan adanya penurunan laba sebelum pajak 74 + penyusutan namun disertai dengan kenaikan pada capital employed. Kenaikan capital employed yang terjadi pada tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah sebesar Rp 107.374.578 juta atau 40,93% dari tahun 2010. Kenaikan capital employed yang cukup signifikan ini disebabkan adanya kenaikan pada jumlah aset selama tahun 2011 sebesar Rp 98.592.021 juta atau 26,70% dari tahun 2010 dengan disertai penurunan pekerjaan dalam pelaksanaan sebagai nilai pengurangnya sebesar Rp 8.782.557 juta atau 8,22% dari tahun 2010. Kenaikan pada jumlah aset ini, terutama disebabkan oleh adanya penambahan aset tetap sebesar Rp 91.838.079 juta menjadi Rp 302.489.947 juta dan adanya kenaikan persediaan sebesar Rp 5.726.791 juta menjadi Rp 15.654.105 juta yang dialokasikan terutama untuk bahan bakar dan pelumas yang mencapai Rp 9.826.674 juta, sedangkan penurunan yang terjadi pada pekerjaan dalam pelaksanaan ini dikarenakan pada tahun 2011 dan 2010 terdapat pekerjaan dalam pelaksanaan yang telah selesai dan dipindahkan ke aset tetap masing-masing sebesar Rp 48.145.246 juta dan Rp 13.061.873 juta. Sedangkan penurunan yang terjadi pada laba sebelum pajak + penyusutan adalah sebesar Rp 2.195.182 juta atau sebesar 9,16% dari tahun 2010. Penurunan pada laba sebelum pajak + penyusutan ini, terjadi karena adanya penurunan yang cukup signifikan pada laba sebelum pajak sebesar Rp 5.891.197 juta atau sebesar 51,65% dari tahun 2010. Sedangkan penurunan nilai rasio ROI yang terjadi pada tahun 2011 hingga 2012 adalah sebesar 1,20%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012 terjadi penurunan laba bagi pemilik perusahaan (pemegang saham) dari setiap Rp 1,00 investasi yang ditanamkan pada perusahaan dalam bentuk aktiva sebesar Rp 0,0120 atau 75 20,37% dari tahun 2011. Penurunan ROI tahun 2012 terhadap tahun 2011 ini disebabkan karena juga adanya penurunan laba sebelum pajak + penyusutan yang disertai dengan kenaikan pada capital employed. Kenaikan capital employed yang terjadi pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 adalah sebesar Rp 68.170.285 juta atau 18,44% dari tahun 2011. Kenaikan capital employed (meski tidak setinggi sebelumnya) ini, disebabkan adanya kenaikan pada jumlah aset sebesar sebesar Rp 72.923.161 juta atau 15,59% dari tahun 2011 yang juga disertai dengan kenaikan pekerjaan dalam pelaksanaan selama tahun 2012 sebesar Rp 4.752.876 juta atau 4,85% dari tahun 2011. Kenaikan yang terjadi pada jumlah aset ini karena adanya penambahan aset tetap sebagai komposisi terbesar aset tidak lancar sebesar Rp 55.534.537 juta menjadi Rp 358.024.484 juta sebagai bentuk realisasi pada berbagai proyek pembangunan pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi terutama sehubungan dengan adanya pelaksanaan proyek percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap I (proyek FTP-1) yang berasal dari pekerjaan dalam pelaksanaan dan adanya kenaikan pada piutang subsidi listrik sebagai komposisi terbesar kedua aset lancar sebesar 69,94% menjadi Rp 20.565.784 juta akibat adanya penambahan pemberian subsidi seiring dengan bertambahnya jumlah pelanggan sehubungan dengan realisasi program penyambungan baru perusahaan (program peningkatan rasio elektrifikasi). Sedangkan penurunan yang terjadi pada laba sebelum pajak + penyusutan adalah sebesar Rp 1.238.598 juta atau sebesar 5,69% dari tahun 2011. Penurunan pada laba sebelum pajak + penyusutan ini terjadi meskipun adanya kenaikan pada penyusutan sebesar Rp 3.244.669 juta atau sebesar 19,96% dari tahun 2011, namun untuk laba sebelum pajak mengalami penurunan 76 yang cukup tinggi dibanding sebelumnya yaitu sebesar Rp 4.483.267 juta atau sebesar 81,29% dari tahun 2011. Penurunan laba sebelum pajak pada tahun 2011 dan tahun 2012 ini, disebabkan dengan adanya pelemahan nilai rupiah terhadap berbagai mata uang asing sehingga perusahaan mencatat kerugian kurs mata uang asing bersih sebesar Rp 1.833.390 juta pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 sebesar Rp 5.938.482 juta, adanya peningkatan pada beban keuangan perusahaan pada tahun 2011 sebesar 188,83% menjadi Rp 17.361.067 juta dan tahun 2012 naik 41,77 % menjadi Rp 24.612.091 juta, serta adanya peningkatan beban usaha pada tahun 2011 sebesar Rp 36.531.529 juta menjadi Rp 149.108.071 juta dan pada tahun 2012 sebesar Rp 17.475.850 juta menjadi Rp 203.115.450 juta karena adanya kenaikan pada beban bahan bakar dan pelumas selama periode tersebut dan juga adanya peningkatan pembelian tenaga listrik yang sangat tinggi pada tahun 2012 sebesar 133,91% mencapai Rp 2.939.624 juta seiring dengan kebutuhan listrik yang terus meningkat. Tabel 4.3.6 Perubahan ROI dari Tahun 2011 ke 2012 Tahun Keterangan *) Laba Sebelum Pajak Penyusutan*) Laba Sebelum Pajak + Penyusutan*) Jumlah Aset*) Pekerjaan dalam Pelaksanaan (e)*) Capital Employed*) ROI (%) 2011 5.514.995 16.254.552 21.769.547 2012 1.031.728 19.499.221 20.530.949 Perubahan 2011-2012 Hasil Nilai % Persentase Turun -4.483.267 -81,29 Naik 3.244.669 19,96 Turun -1.238.598 -5,69 467.782.603 540.705.764 98.057.296 102.810.172 Naik Naik 72.923.161 4.752.876 15,59 4,85 369.725.307 437.895.592 5,89 4,69 Naik Turun 68.170.285 -1,20 18,44 -20,37 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.2) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah 77 3. Rasio kas (cash ratio) Dalam penelitian ini, rasio kas atau cash ratio yang digunakan untuk menggambarkan kondisi kinerja keuangan PT. PLN (Persero) dalam mengelola kas maupun setara kas lainnya dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, diperoleh dengan membagi akun kas dan setara kas dengan current liabilities (liabilitas jangka pendek) perusahaan. Kas dan setara kas merupakan aktiva perusahaan yang paling cair (likuid). Pada PT. PLN (Persero), kas dan setara kas merupakan komposisi terbesar dalam aset lancar perusahaan yang terdiri dari kas di tangan, rekening giro dalam mata uang asing maupun rupiah, dan deposito berjangka. Berdasarkan hasil perhitungan rasio kas (cash ratio) yang telah dilakukan pada PT. PLN (Persero) (lihat Tabel 4.2.3), nilai cash ratio pada tahun 2010 adalah 35,88%. Sesuai kriteria daftar skor penilaian cash ratio yang ada (lihat Tabel 3.5.4), nilai cash ratio pada tahun 2010 berada pada posisi interval tertinggi (x ≥ 35) dengan skor 3. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2010, kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan kas maupun setara kas lainnya yang tersedia dalam perusahaan sangat baik. Namun pada tahun 2011 dan 2012, nilai cash ratio perusahaan mengalami sedikit penurunan, yaitu pada tahun 2011 turun menjadi 34,76% dan pada tahun 2012 menjadi 30,35%. Meskipun terjadi penurunan pada dua tahun terakhir ini, namun kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya yang ditunjukkan dengan indikator cash ratio ini, perusahaan masih dalam keadaan baik karena masih berada pada posisi interval 25 ≤ x < 35 dengan skor sama yaitu 2,5. Untuk lebih jelasnya, pemaparan hasil skor penilaian cash ratio ini akan disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: 78 Tabel 4.3.7 Perhitungan Skor Penilaian Cash Ratio Tahun Cash Ratio (%) Posisi interval Skor 2010 35,88 x >= 35 3 2011 34,76 25 <= x < 35 2,5 2012 30,35 25 <= x < 35 2,5 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.4 dan Tabel 4.2.9) Adapun hasil analisis terhadap perubahan cash ratio perusahaan dari tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.8 Perubahan Cash Ratio dari Tahun 2010 ke 2011 Keterangan *) Kas dan Setara Kas Current Liabilities (Liabilitas Jangka Pendek)*) Tahun 2010 2011 19.716.798 22.088.093 54.949.838 63.550.433 Cash Ratio (%) 35,88 Perubahan 2010-2011 Hasil Nilai % Persentase Naik 2.371.295 12,03 Naik 8.600.595 15,65 34,76 Turun -1,12 -3,12 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.3) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan cash ratio perusahaan dari tahun 2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.9 Perubahan Cash Ratio dari Tahun 2011 ke 2012 Keterangan *) Kas dan Setara Kas Current Liabilities (Liabilitas Jangka Pendek)*) Tahun 2011 2012 22.088.093 22.639.853 63.550.433 74.602.903 Cash Ratio (%) 34,76 Perubahan 2011-2012 Hasil Nilai % Persentase Naik 551.760 2,50 Naik 11.052.470 17,39 30,35 Turun -4,41 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.3) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Berdasarkan Tabel 4.3.8 dan Tabel 4.3.9 di atas, dapat dilihat bahwa selama tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, cash ratio perusahaan mengalami -12,69 79 penurunan dengan nilai penurunan tahun 2011 terhadap tahun 2010 sebesar 1,12% dan pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 sebesar 4,41%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan dari setiap Rp 1,00 kewajiban jangka pendek yang akan dijamin oleh kas dan setara kas lainnya sebesar Rp 0,0112 atau 3,12% dari tahun 2010. Sedangkan untuk tahun 2012, hal ini berarti bahwa telah terjadi penurunan dari setiap Rp 1,00 kewajiban jangka pendek yang akan dijamin oleh kas dan setara kas lainnya sebesar Rp 0,0441 atau 12,69% dari tahun 2011. Penurunan cash ratio selama tiga tahun terakhir secara berturutturut ini, disebabkan adanya kenaikan pada current liabilities (liabilitas jangka pendek) yang lebih besar daripada kenaikan kas dan setara kas. Pada tahun 2010-2011 terjadi kenaikan kas dan setara kas perusahaan sebesar Rp 2.371.295 juta atau sebesar 12,03% dari tahun 2010. Sedangkan kenaikan current liabilities (liabilitas jangka pendek) tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah sebesar Rp 8.600.595 juta atau 15,65% dari tahun 2010. Untuk tahun 2012, kas dan setara kas perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 551.760 juta atau sebesar 2,50% dari tahun 2011. Sedangkan kenaikan current liabilities (liabilitas jangka pendek) tahun 2012 terhadap tahun 2011 adalah sebesar Rp 11.052.470 juta atau 17,39% dari tahun 2011. Kenaikan current liabilities (liabilitas jangka pendek) pada tahun 2011 dan 2012 ini akibat adanya kenaikan utang usaha pihak berelasi pada tahun 2011 sebesar 136,92% menjadi Rp 14.070.569 juta sehubungan dengan adanya peningkatan pembelian bahan bakar, barang dan jasa untuk mencegah pemadaman dan pada tahun 2012 karena adanya kenaikan utang usaha pihak ketiga sebesar 37,91% menjadi Rp 10.861.230 juta akibat adanya kenaikan pembelian listrik dari pembangkit listrik swasta, serta adanya kenaikan 80 utang bank dan surat utang jangka menengah sebesar 66,32% menjadi Rp 7.808.344 juta yang berasal dari adanya peningkatan pinjaman bank, baik dari bank BUMN maupun dari bank swasta dalam dan luar negeri, terutama terkait proyek FTP-1. 4. Rasio lancar (current ratio) Rasio lancar atau current ratio adalah indikator rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini untuk menunjukkan kemampuan PT. PLN (Persero) dalam membayar kewajiban jangka pendek dengan aset lancarnya. Untuk memperoleh nilai current ratio, diperlukan akun current assets (aset lancar) dan current liabilities (liabilitas jangka pendek). Untuk rasio lancar (current ratio) pada PT. PLN (Persero) selama periode 2010-2012, dapat dilihat bahwa berdasarkan tabel di bawah ini (pada Tabel 4.3.10), menunjukkan nilai dan skor current ratio yang semakin meningkat setiap tahunnya, yaitu bahwa pada tahun 2010, 2011, dan 2012 nilai current ratio yang diperoleh adalah 81,48%, 91,66%, dan terus meningkat menjadi 92,01%. Hal ini menunjukkan semakin membaiknya kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancarnya. Meskipun selama tiga tahun terakhir, nilai current ratio yang diperoleh PT. PLN (Persero) terus mengalami peningkatan, namun skor penilaian yang diperoleh masih berada pada posisi interval yang rendah. Pada tahun 2010 skor penilaian current ratio yang diperoleh adalah 0 karena berada pada posisi interval x < 90. Untuk tahun 2011 dan 2012, nilai current ratio yang diperoleh berada pada posisi interval yang sama yaitu 90 ≤ x < 95 sehingga memperoleh skor yang sama juga yaitu 1. Current ratio yang rendah ini, menunjukkan tingkat keamanan (margin of savety) perusahaan lebih riskan 81 karena tingkat kebutuhan perusahaan lebih besar dari kas yang ada pada perusahaan. Adapun dari pemaparan hasil skor penilaian rasio current ratio ini dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4.3.10 Perhitungan Skor Penilaian Current Ratio Tahun Current Ratio (%) Posisi interval Skor 2010 81,48 x < 90 0 2011 91,66 90 <= x < 95 1 2012 92,01 90 <= x < 95 1 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.5 dan Tabel 4.2.9) Adapun hasil analisis terhadap perubahan current ratio perusahaan dari tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.11 Perubahan Current Ratio dari Tahun 2010 ke 2011 Keterangan Current Assets (Aset Lancar)*) Current Liabilities (Liabilitas Jangka Pendek)*) Tahun 2010 2011 44.773.286 58.252.342 Perubahan 2010-2011 Hasil Nilai % Persentase Naik 13.479.056 30,11 54.949.838 63.550.433 Naik 8.600.595 15,65 Naik 10,18 12,49 Current Ratio (%) 81,48 91,66 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.4) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan current ratio perusahaan dari tahun 2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.12 Perubahan Current Ratio dari Tahun 2011 ke 2012 Keterangan Current Assets (Aset Lancar)*) Current Liabilities (Liabilitas Jangka Pendek)*) Current Ratio (%) Tahun 2011 58.252.342 2012 68.639.956 Perubahan 2011-2012 Hasil Nilai % Persentase Naik 10.387.614 17,83 63.550.433 74.602.903 Naik 11.052.470 17,39 91,66 92,01 Naik 0,35 0,38 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.4) 82 *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai current ratio perusahaan dan akun-akun komponennya selama periode 2010-2012 dari kedua tabel di atas (pada Tabel 4.3.11 dan Tabel 4.3.12), bahwa kenaikan nilai current ratio pada PT. PLN (Persero) yang terjadi pada tahun 2010-2011 adalah sebesar 10,18% dan pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 sebesar 0,35%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi kenaikan dari setiap Rp 1,00 kewajiban jangka pendek yang akan dijamin oleh aset lancarnya sebesar Rp 0,1018 atau 12,49% dari tahun 2010. Sedangkan untuk tahun 2012, hal ini berarti bahwa telah terjadi kenaikan dari setiap Rp 1,00 kewajiban jangka pendek yang akan dijamin oleh aset lancarnya sebesar sebesar Rp 0,0035 atau 0,38% dari tahun 2011. Kenaikan current ratio selama tiga tahun terakhir secara berturut-turut ini, disebabkan adanya kenaikan pada current assets (aset lancar) yang lebih besar daripada kenaikan current liabilities (liabilitas jangka pendek). Pada tahun 2010-2011 terjadi kenaikan aset lancar perusahaan sebesar Rp 13.479.056 juta atau sebesar 30,11% dari tahun 2010. Sedangkan kenaikan current liabilities (liabilitas jangka pendek) tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah sebesar Rp 8.600.595 juta atau 15,65% dari tahun 2010. Untuk tahun 2012, current assets (aset lancar) perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 10.387.614 juta atau sebesar 17,83% dari tahun 2011, meskipun kenaikan ini mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dari kenaikan tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2012 terhadap tahun 2011, current liabilities (liabilitas jangka pendek) perusahaan mengalami sedikit kenaikan dari sebelumnya sebesar Rp 11.052.470 juta atau 17,39% dari tahun 2011. Kenaikan current liabilities (liabilitas jangka pendek) 83 pada tahun 2011 dan 2012 ini akibat adanya kenaikan utang usaha pihak berelasi pada tahun 2011 mencapai 136,92% karena adanya peningkatan pembelian bahan bakar, barang dan jasa untuk mencegah pemadaman dan pada tahun 2012 karena adanya kenaikan utang usaha pihak ketiga mencapai 37,91% akibat adanya kenaikan pembelian listrik dari pembangkit listrik swasta, serta adanya kenaikan utang bank dan surat utang jangka menengah sebesar 66,32% yang berasal dari adanya peningkatan pinjaman bank, baik dari bank BUMN maupun dari bank swasta dalam dan luar negeri, terutama terkait proyek FTP-1. Meskipun bila dilihat dari perubahan yang terjadi selama tahun 2010-2012, nilai current ratio perusahaan beserta akun-akun komponennya (current assets dan current liabilities) menunjukkan terus terjadinya kenaikan, namun kenaikan ini belum cukup untuk dikatakan pada posisi current ratio perusahaan yang tinggi karena dari hasil perhitungan skor sesuai kriteria penilaian menurut Keputusan Menteri BUMN, current ratio perusahaan masih berada di posisi interval yang rendah sesuai kriteria yang ada (lihat Tabel 4.3.10). 5. Collection periods (CP) Collection periods merupakan indikator penilaian kinerja keuangan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menagih atau mengumpulkan piutangnya sehingga memperoleh kas. Collection periods merupakan rasio perbandingan antara total piutang usaha dengan total pendapatan usaha yang dikalikan dengan jumlah hari rata-rata dalam setahun (365 hari), sehingga nilai satuan rasio collection periods dinyatakan dalam hari. Pada PT. PLN (Persero), menurut kategori pelanggannya, piutang perusahaan terdiri dari piutang terhadap pihak yang berelasi (yaitu Badan Usaha Milik 84 Negara, TNI dan Polri, serta Pemerintah) dan piutang terhadap pihak ketiga (piutang umum). Dalam penelitian ini, akun piutang usaha yang digunakan merupakan piutang usaha bersih PT. PLN (Persero) setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai sebesar Rp 388.227 juta untuk tahun 2012, Rp 356.147 juta untuk tahun 2011 dan Rp 330.451 juta untuk tahun 2010. Sedangkan pendapatan usaha pada PT. PLN (Persero) merupakan jumlah pendapatan perusahaan yang diperoleh melalui penjualan tenaga listrik kepada pelanggan, pendapatan subsidi, jasa penyambungan pelanggan dan lain-lain (berasal dari penjualan jasa yang dilakukan oleh unit bisnis PT. PLN (Persero) maupun anak usaha yang bergerak di berbagai bidang yang berkaitan dengan usaha ketenagalistrikan, seperti jaringan telekomunikasi, perbaikan mesin pembangkit, sewa transformator dan jasa lain-lain). Berdasarkan Tabel 4.3.13 tentang Perhitungan Skor Penilaian Collection Periods berikut, dapat dilihat bahwa nilai rasio collection periods pada PT. PLN (Persero) selama tiga periode terakhir mengalami penurunan secara berturutturut, yaitu sebesar 6,46 hari untuk tahun 2010, 6,15 hari untuk tahun 2011, dan pada tahun 2012 turun menjadi 6,04 hari. Namun untuk rasio collection periods, semakin rendah nilai rasio yang ditunjukkan, justru semakin kuat atau besar kemampuan penagihan perusahaan atau dengan kata lain dapat dikatakan semakin cepat lama waktu yang diperlukan perusahaan untuk menagih piutangnya. Sedangkan tata cara skor penilaian untuk indikator collection periods sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara, penilaian dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan berdasarkan tingkat rasio collection 85 periods dan berdasarkan jumlah hari perbaikan collection periods (lihat Tabel 3.5.6). Dari kedua cara skor penilaian tersebut, dapat dipilih salah satu skor yang terbaik untuk digunakan. Meskipun pada tahun 2010, 2011, dan 2012, nilai rasio collection periods terus menunjukkan penurunan, namun sesuai kriteria skor penilaian Keputusan Menteri BUMN tersebut, dengan berdasarkan tingkat rasio collection periods-nya mendapat skor tertinggi yaitu 4 karena nilai rasio selama tiga periode terakhir tersebut berada pada posisi interval x ≤ 60. Untuk cara penilaian dengan berdasarkan jumlah hari perbaikan collection periods, diketahui bahwa jumlah hari perbaikan pada tahun 2011 adalah 0,31 hari (merupakan hasil selisih nilai rasio collection periods pada tahun 2010 dan 2011) dan pada tahun 2012 adalah 0,11 (merupakan hasil selisih nilai rasio collection periods pada tahun 2011 dan 2012), sehingga sama-sama mendapat skor perolehan 0 karena berada pada posisi interval 0 ≤ x < 1. Dari hasil skor penilaian kedua cara tersebut, ternyata hasil skor penilaian berdasarkan tingkat rasio collection periods menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan berdasarkan jumlah hari perbaikan collection periods. Sehingga dalam penilitian ini, hasil skor penilaian untuk collection periods yang digunakan adalah yang berdasarkan tingkat rasio collection periods-nya. Tabel 4.3.13 Perhitungan Skor Penilaian Collection Periods Tahun Collection Periods (hari) CP = x (hari) Perbaikan = x (hari) Posisi interval Skor ∑ hari Posisi interval Skor 2010 6,46 x <= 60 4 2011 6,15 x <= 60 4 0,31 0 < x <= 1 0 2012 6,04 x <= 60 4 0,11 0 < x <= 1 0 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.6 dan Tabel 4.2.9) 86 Adapun hasil analisis terhadap perubahan collection periods perusahaan dari tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.14 Perubahan Collection Periods dari Tahun 2010 ke 2011 Keterangan Piutang Usaha*) Pendapatan Usaha*) Collection Periods (hari) Tahun Perubahan 2010-2011 2010 2011 Hasil Nilai % Persentase 2.875.168 3.504.823 Naik 629.655 21,90 162.375.294 208.017.823 Naik 45.642.529 28,11 6,46 6,15 Turun -0,31 -4,80 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.5) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan collection periods perusahaan dari tahun 2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.15 Perubahan Collection Periods dari Tahun 2011 ke 2012 Keterangan Piutang Usaha*) Pendapatan Usaha*) Collection Periods (hari) Tahun Perubahan 2011-2012 2011 2012 Hasil Nilai % Persentase 3.504.823 3.851.920 Naik 347.097 9,90 208.017.823 232.656.456 Naik 24.638.633 11,84 6,15 6,04 Turun -0,11 -1,79 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.5) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.3.14 dan Tabel 4.3.15 di atas, dapat dilihat bahwa selama periode 2010-2012 penurunan nilai collection periods pada PT. PLN (Persero) yang terjadi pada tahun 2010-2011 adalah sebesar 0,31 hari dan pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 sebesar 0,11 hari. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan pendapatan usaha yang tertanam dalam piutang usaha selama 0,31 hari atau 4,80% dari tahun 2010. Sedangkan untuk tahun 2012, hal ini berarti bahwa telah terjadi penurunan pendapatan 87 usaha yang tertanam dalam piutang usaha selama 0,11 hari atau 1,79% dari tahun 2011. Penurunan collection periods selama periode 2010-2012 ini, disebabkan adanya kenaikan pada pendapatan usaha yang lebih besar daripada kenaikan piutang usaha. Pada tahun 2010-2011 terjadi kenaikan pendapatan usaha perusahaan sebesar Rp 45.642.529 juta atau sebesar 28,11% dari tahun 2010. Sedangkan kenaikan piutang usaha tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah sebesar Rp 629.655 juta atau 21,90% dari tahun 2010 karena adanya kenaikan piutang oleh seluruh kategori langganan (Pemerintah, TNI dan Polri, serta umum), kecuali bagi BUMN. Untuk tahun 2012, pendapatan usaha perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 24.638.633 juta atau sebesar 11,84% dari tahun 2011, meskipun kenaikan ini mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dari kenaikan tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2012 terhadap tahun 2011, kenaikan piutang usaha perusahaan juga mengalami sedikit penurunan dari sebelumnya sebesar Rp 347.097 juta atau 9,90% dari tahun 2011 karena adanya pelunasan pembayaran tagihan listrik dari TNI dan Polri serta Pemerintah yang sebelumnya tertunda sehingga jumlah piutang untuk TNI dan Polri turun menjadi Rp 366.502 juta dan untuk Pemerintah turun menjadi Rp 194.287 juta. Meskipun piutang usaha dan pendapatan usaha sebagai komponen dalam collection periods mengalami kenaikan selama tahun 2010-2012, namun hasil nilai rasio collection periods menunjukkan terus terjadinya penurunan. Demikian pula sebaliknya, meskipun nilai collection periods perusahaan tersebut terus mengalami penurunan, namun dari hasil perhitungan skor sesuai kriteria penilaian menurut Keputusan Menteri BUMN, dinyatakan bahwa collection periods perusahaan memperoleh skor tertinggi selama tiga periode tersebut (lihat 88 Tabel 4.3.13) atau bisa dikatakan bahwa kemampuan perusahaan dalam menagih atau mengumpulkan piutangnya sangat baik. Hal ini dikarenakan sesuai teori yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa semakin rendah rasio collection periods perusahaan, maka semakin baik kondisi perusahaan. 6. Perputaran persediaan (PP) Untuk mengetahui sejauh mana efisensi dan efektivitas PT. PLN (Persero) dalam mengelola persediaannya, maka dalam penelitian ini menggunakan indikator rasio perputaran persediaan. Perputaran persediaan menunjukkan perbandingan antara persediaan dengan total pendapatan usaha dikalikan dengan jumlah hari rata-rata dalam setahun (365 hari) yang satuannya dinyatakan dalam hari. Pada PT. PLN (Persero), yang dimaksud akun persediaan adalah jumlah nilai persediaan yang tersedia pada perusahaan yang terdiri dari bahan bakar dan pelumas, persediaan umum, switchgear dan jaringan, alat ukur, pembatas dan kontrol, kabel, dan transformator. Dalam penelitian ini, akun persediaan yang digunakan merupakan persediaan bersih PT. PLN (Persero) setelah dikurangi penyisihan penurunan nilai sebesar Rp 160.003 juta untuk tahun 2012, Rp 130.777 juta untuk tahun 2011 dan Rp 98.898 juta untuk tahun 2010. Sedangkan pendapatan usaha pada PT. PLN (Persero) merupakan jumlah pendapatan perusahaan yang diperoleh melalui penjualan tenaga listrik kepada pelanggan, pendapatan subsidi, jasa penyambungan pelanggan dan lain-lain. Perhitungan skor penilaian terhadap rasio perputaran persediaan juga dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu menurut tingkat rasio perputaran persediaannya dan menurut jumlah hari perbaikan perputaran persediaannya (lihat Tabel 3.5.7). Sesuai Tabel 4.3.16 di bawah ini, dapat dilihat bahwa nilai 89 rasio perputaran persediaan untuk tahun 2010, 2011, dan tahun 2012 secara berurutan adalah sebesar 22,32 hari, 27,47 hari, dan 26,26 hari. Berdasarkan tingkat rasio perputaran persediaannya, selama tiga tahun berturut-turut rasio perputaran persediaan pada PT. PLN (Persero) mendapat skor tertinggi, yaitu 4 karena berada pada posisi interval x ≤ 60. Sedangkan berdasarkan jumlah hari perbaikan perputaran persediaannya, perhitungan skor penilaian hanya bisa dilakukan pada tahun 2012 dengan jumlah hari perbaikan 1,21 hari (merupakan hasil selisih nilai rasio perputaran persediaan pada tahun 2011 dan 2012), maka memperoleh skor 0,4 karena berada pada posisi interval 1 < x ≤ 3. Dalam penilitian ini, hasil skor penilaian untuk perputaran persediaan yang digunakan adalah berdasarkan tingkat rasio perputaran persediaannya karena menunjukkan hasil skor pada posisi interval yang lebih tinggi selama tiga periode terakhir. Nilai rasio selama tiga tahun terakhir yang tinggi ini, mengindikasikan bahwa perusahaan telah mengelola persediaannya secara efektif dan efisien, yaitu dengan menunjukkan bahwa semakin singkatnya waktu rata-rata yang diperlukan perusahaan antara penanaman modal dalam persediaan dan transaksi penjualan. Tabel 4.3.16 Perhitungan Skor Penilaian Perputaran Persediaan Tahun Perputaran Persediaan (hari) PP = x (hari) Perbaikan = x (hari) Posisi interval Skor ∑ hari Posisi interval Skor 2010 22,32 x <= 60 4 2011 27,47 x <= 60 4 -5,15 2012 26,26 x <= 60 4 1,21 1 < x <= 3 0,4 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.7 dan Tabel 4.2.9) Sama halnya seperti hasil analisis pada collection periods, berdasarkan hasil analisis pada perputaran persediaan perusahaan yang akan disajikan pada Tabel 90 4.3.17 dan Tabel 4.3.18, bahwa selama periode 2010-2012 terjadi penurunan nilai perputaran persediaan pada PT. PLN (Persero) dengan nilai penurunan tahun 2011 terhadap tahun 2010 sebesar 5,15 hari dan pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 sebesar 1,21 hari. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan pendapatan usaha yang tertanam dalam persediaan selama 5,15 hari atau 23,07% dari tahun 2010. Sedangkan untuk tahun 2012, hal ini berarti bahwa telah terjadi penurunan pendapatan usaha yang tertanam dalam persediaan selama 1,21 hari atau 4,40% dari tahun 2011. Penurunan perputaran persediaan ini, disebabkan adanya kenaikan pada pendapatan usaha yang lebih besar daripada kenaikan persediaan. Pada tahun 2010-2011 terjadi kenaikan pendapatan usaha perusahaan sebesar Rp 45.642.529 juta atau sebesar 28,11% dari tahun 2010. Sedangkan kenaikan persediaan tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah sebesar Rp 5.726.791 juta atau 57,69% dari tahun 2010 terutama akibat adanya kenaikan persediaan yang dialokasikan untuk bahan bakar dan pelumas yang mencapai Rp 9.826.674 juta. Untuk tahun 2012, pendapatan usaha perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 24.638.633 juta atau sebesar 11,84% dari tahun 2011 meskipun kenaikan ini mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan kenaikan dari tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2012 terhadap tahun 2011, kenaikan persediaan perusahaan juga mengalami sedikit penurunan dari sebelumnya sebesar Rp 1.084.341 juta atau 6,93% dari tahun 2011. Kenaikan persediaan yang terjadi pada tahun 2012 ini, akibat adanya kenaikan pada nilai persediaan switchgear dan jaringan sebesar 37,89% menjadi Rp 1.676.485 juta, dan persediaan umum sebesar 30,06% menjadi Rp 3.226.053 juta. Kenaikan pada kedua sub akun persediaan tersebut, merupakan imbas dari 91 pelaksanaan proyek FTP-1 yang beberapa diantaranya telah mendekati tahap penyelesaian. Adapun hasil analisis terhadap perubahan perputaran persediaan perusahaan dari tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.17 Perubahan Perputaran Persediaan dari Tahun 2010 ke 2011 Keterangan *) Persediaan Pendapatan Usaha*) Perputaran Persediaan (hari) Tahun 2010 2011 9.927.314 15.654.105 162.375.294 208.017.823 22,32 27,47 Hasil Naik Naik Naik Perubahan 2010-2011 Nilai % Persentase 5.726.791 57,69 45.642.529 28,11 5,15 23,07 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.6) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan perputaran persediaan perusahaan dari tahun 2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.18 Perubahan Perputaran Persediaan dari Tahun 2011 ke 2012 Keterangan *) Persediaan Pendapatan Usaha*) Perputaran Persediaan (hari) Tahun 2011 15.654.105 208.017.823 27,47 2012 Hasil 16.738.446 Naik 232.656.456 Naik 26,26 Turun Perubahan 2011-2012 Nilai % Persentase 1.084.341 6,93 24.638.633 11,84 -1,21 -4,40 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.6) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Meskipun persediaan dan pendapatan usaha sebagai komponen dalam perputaran persediaan mengalami kenaikan selama tahun 2010-2012, namun hasil nilai rasio perputaran persediaan menunjukkan terus terjadinya penurunan. Demikian pula sebaliknya, meskipun nilai perputaran persediaan perusahaan tersebut terus mengalami penurunan, namun dari hasil perhitungan skor sesuai 92 kriteria penilaian menurut Keputusan Menteri BUMN, dinyatakan bahwa perputaran persediaan perusahaan memperoleh skor tertinggi selama tiga periode terakhir (lihat Tabel 4.3.16) atau bisa dikatakan bahwa kemampuan PT. PLN (Persero) dalam dalam mengelola persediaannya sangat baik. Hal ini dikarenakan sesuai teori yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa semakin cepat persediaan berputar atau semakin rendah rasio collection periods perusahaan, maka semakin baik kondisi perusahaan. 7. Perputaran total asset/ total assets turn over (TATO) Perputaran total asset atau total assets turn over (TATO) merupakan salah satu komponen indikator penilaian kinerja keuangan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana efisiensi PT. PLN (Persero) dalam mengelola aktivanya untuk menghasilkan pendapatan. Nilai TATO perusahaan menunjukkan hasil perbandingan antara akun pendapatan usaha dengan capital employed perusahaan. Pendapatan usaha pada PT. PLN (Persero) merupakan jumlah pendapatan perusahaan yang diperoleh melalui penjualan tenaga listrik kepada pelanggan, pendapatan subsidi, jasa penyambungan pelanggan dan lainlain. Sedangkan dalam penelitian ini, capital employed merupakan selisih dari jumlah aset terhadap perkerjaan dalam pelaksanaan. Pada PT. PLN (Persero), akun pekerjaan dalam pelaksanaan merupakan biaya-biaya yang terjadi sehubungan dengan pembangunan dan perbaikan/renovasi sarana kelistrikan. Sama halnya seperti collection periods dan perputaran persediaan, perhitungan skor penilaian untuk rasio total assets turn over (TATO) juga dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan tingkat rasio TATO dan berdasarkan jumlah persentase (%) perbaikan rasio TATO (lihat Tabel 3.5.8). Hanya saja pada rasio 93 TATO ini akan dikatakan semakin baik apabila nilai rasio yang ditunjukkan juga semakin tinggi atau besar. Namun hasil perhitungan yang ditunjukkan pada Tabel 4.2.7, menunjukkan bahwa rasio TATO pada PT. PLN (Persero) dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan penurunan. Nilai rasio yang diperoleh pada tahun 2010 adalah sebesar 61,89%, untuk tahun 2011 adalah 56,26%, dan 53,13% untuk tahun 2012. Untuk cara skor penilaian berdasarkan jumlah hari perbaikan rasio TATO tidak dapat dilakukan karena selama periode 2010-2012, berdasarkan hasil perhitungan terhadap rasio TATO (lihat Tabel 4.2.7), dapat dilihat bahwa selama periode tersebut terjadi penurunan nilai rasio secara terus-menerus (tidak ada perbaikan nilai rasio). Sedangkan berdasarkan tingkat rasio TATO-nya, pada tahun 2010 mendapat skor 2 karena berada pada posisi interval 60 < x ≤ 75, sedangkan untuk tahun 2011 dan 2012 mendapat skor 1,5 karena sama-sama berada pada posisi interval 40 < x ≤ 60. Berdasarkan posisi intervalnya sesuai kriteria skor penilaian pada Tabel 3.5.8, nilai dan skor TATO perusahaan selama tiga periode terakhir masih tergolong rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan belum secara optimal memanfaatkan seluruh aktiva yang digunakan untuk menunjang kegiatan penjualan secara efisien. Adapun dari pemaparan hasil skor penilaian rasio TATO ini akan disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4.3.19 Perhitungan Skor Penilaian TATO Tahun TATO (%) TATO = x (%) Perbaikan = x (%) Posisi interval Skor ∑ hari Posisi interval Skor 2010 61,89 60 < x <= 75 2 2011 56,26 40 < x <= 60 1,5 -5,63 x< 0 1 2012 53,13 40 < x <= 60 1,5 -3,13 x< 0 1 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.8 dan Tabel 4.2.9) 94 Adapun hasil analisis terhadap perubahan rasio TATO perusahaan dari tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.20 Perubahan TATO dari Tahun 2010 ke 2011 Tahun Keterangan Pendapatan Usaha Jumlah Aset*) Pekerjaan dalam Pelaksanaan*) Capital Employed*) TATO (%) *) 2010 2011 162.375.294 208.017.823 369.190.582 467.782.603 106.839.853 98.057.296 Hasil Naik Naik Turun Perubahan 2010-2011 Nilai % Persentase 45.642.529 28,11 98.592.021 26,70 -8.782.557 -8,22 262.350.729 369.725.307 Naik 107.374.578 61,89 56,26 Turun -5,63 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.7) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Dari hasil analisis terhadap nilai rasio TATO beserta akun-akun komponennya (pada Tabel 4.3.20), dapat dilihat bahwa nilai rasio TATO perusahaan dari tahun 2010 hingga 2011 mengalami penurunan sebesar 5,63%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan pendapatan dari setiap Rp 1,00 aktiva yang dihasilkan oleh perusahaan sebesar Rp 0,0563 atau 9,10% dari tahun 2010. Penurunan TATO tahun 2011 terhadap tahun 2010 ini disebabkan adanya kenaikan pada capital employed yang lebih besar daripada kenaikan pendapatan usahanya. Pada tahun 2011, capital employed perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 107.374.578 juta atau 40,93% dari tahun 2010. Kenaikan capital employed yang cukup signifikan ini disebabkan adanya kenaikan pada jumlah aset selama tahun 2011 sebesar Rp 98.592.021 juta atau 26,70% dari tahun 2010 dengan disertai penurunan pekerjaan dalam pelaksanaan sebagai nilai pengurangnya sebesar Rp 8.782.557 juta atau 8,22% dari tahun 2010. Kenaikan pada jumlah aset ini terutama karena adanya penambahan aset tetap mencapai 40,93 -9,10 95 Rp 91.838.079 juta dan adanya kenaikan persediaan sebesar Rp 5.726.791 juta yang dialokasikan terutama untuk bahan bakar dan pelumas, sedangkan penurunan yang terjadi pada pekerjaan dalam pelaksanaan ini dikarenakan terdapat pekerjaan dalam pelaksanaan yang telah selesai dan dipindahkan ke aset tetap masing-masing sebesar Rp 48.145.246 juta dan Rp 13.061.873 juta. Sedangkan kenaikan yang terjadi pada pendapatan usaha adalah sebesar Rp 45.642.529 juta atau sebesar 28,11% dari tahun 2010. Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan rasio TATO perusahaan dari tahun 2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.21 Perubahan TATO dari Tahun 2011 ke 2012 Tahun Keterangan Pendapatan Usaha Jumlah Aset*) Pekerjaan dalam Pelaksanaan*) Capital Employed*) TATO (%) *) 2011 2012 208.017.823 232.656.456 467.782.603 540.705.764 98.057.296 102.810.172 Hasil Naik Naik Naik 369.725.307 437.895.592 Naik 56,26 53,13 Turun Perubahan 2011-2012 Nilai % Persentase 24.638.633 11,84 72.923.161 15,59 4.752.876 4,85 68.170.285 -3,13 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.7) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Berdasarkan hasil analisis pada tahun 2011-2012, nilai rasio TATO mengalami penurunan sebesar 3,13%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012 terjadi penurunan pendapatan dari setiap Rp 1,00 aktiva yang dihasilkan oleh perusahaan sebesar Rp 0,0313 atau 5,56% dari tahun 2011. Penurunan TATO tahun 2012 terhadap tahun 2011 ini juga disebabkan adanya kenaikan pada capital employed yang lebih besar daripada kenaikan pendapatan usahanya. Kenaikan capital employed yang terjadi pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 18,44 -5,56 96 adalah sebesar Rp 68.170.285 juta atau 18,44% dari tahun 2011. Kenaikan capital employed (meski tidak setinggi sebelumnya) ini, disebabkan adanya kenaikan pada jumlah aset sebesar Rp 72.923.161 juta atau 15,59% dari tahun 2011 yang juga disertai dengan kenaikan pekerjaan dalam pelaksanaan selama tahun 2012 sebesar Rp 4.752.876 juta atau 4,85% dari tahun 2011. Kenaikan yang terjadi pada jumlah aset dan pekerjaan dalam pelaksanaan ini terutama diakibatkan oleh adanya pemindahan pekerjaan dalam pelaksanaan ke akun aset tetap sebesar Rp 55.534.537 juta menjadi Rp 358.024.484 juta seiring dengan mulai terealisasinya pelaksanaan proyek FTP-I dan adanya kenaikan pada piutang subsidi listrik sebesar 69,94% menjadi Rp 20.565.784 juta sehubungan dengan adanya program peningkatan rasio elektrifikasi oleh perusahaan. Sedangkan kenaikan yang terjadi pada pendapatan usaha adalah sebesar Rp 24.638.633 juta atau sebesar 11,84% dari tahun 2011, meskipun kenaikan ini mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya. 8. Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA) Indikator rasio keuangan terakhir yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian kinerja keuangan terhadap PT. PLN (Persero) sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara adalah rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA). Rasio TMS terhadap TA digunakan untuk mengetahui besarnya modal sendiri yang digunakan perusahaan untuk mendanai seluruh aktiva perusahaan. Rasio TMS terhadap TA ini merupakan nilai rasio hasil perbandingan antara jumlah ekuitas dengan jumlah aset perusahaan yang dinyatakan dalam satuan persentase (%). Ekuitas atau modal sendiri yang 97 dimiliki pada PT. PLN (Persero) terdiri dari modal ditempatkan dan disetor penuh, tambahan modal disetor, dan saldo laba. Berdasarkan tabel di bawah ini (pada Tabel 4.3.22), dapat dilihat bahwa nilai rasio TMS terhadap TA yang diperoleh selama tahun 2010, 2011, dan 2012 secara berurutan adalah 40,54%, 31,21%, dan 27,85%. Sesuai Tabel 3.5.9 tentang Daftar Skor Penilaian Rasio Modal Sendiri terhadap Total Asset, meski nilai rasio yang diperoleh perusahaan mengalami penurunan, tidak berarti bahwa skor penilaian yang akan diperoleh juga akan menurun. Berdasarkan kriteria pada Tabel 3.5.9 tersebut, pada tahun 2010 rasio TMS terhadap TA pada PT. PLN (Persero) mendapat skor 5,5 karena berada pada posisi interval 40 < x ≤ 50, pada tahun 2011 mendapat skor tertinggi yaitu 6 karena berada pada posisi interval 30 < x ≤ 40, dan pada tahun 2012 mendapat skor 4 karena berada pada posisi interval 20 < x ≤ 30. Bila dilihat dari posisi intervalnya sesuai kriteria skor penilaian rasio TMS terhadap TA, nilai rasio ini selama tiga tahun terakhir masih terhitung tinggi meskipun terjadi fluktuasi nilai skor selama periode tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam mendanai seluruh aktivanya dengan modal sendiri yang dimiliki selama tiga tahun terakhir cukup baik. Untuk lebih jelasnya, pemaparan hasil skor penilaian rasio TMS terhadap TA ini akan disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 4.3.22 Perhitungan Skor Penilaian TMS terhadap TA Tahun TMS terhadap TA (%) Posisi interval Skor 2010 40,54 40 <= x < 50 5,5 2011 31,21 30 <= x < 40 6 2012 27,85 20 <= x < 30 4 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.9 dan Tabel 4.2.9) 98 Adapun hasil analisis terhadap perubahan rasio TMS terhadap TA perusahaan dari tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3.23 Perubahan TMS terhadap TA dari Tahun 2010 ke 2011 Keterangan *) Jumlah Ekuitas Jumlah Aset*) TMS terhadap TA (%) Tahun 2010 149.682.595 369.190.582 40,54 2011 Hasil 146.012.836 Turun 467.782.603 Naik 31,21 Turun Perubahan 2010-2011 Nilai % Persentase -3.669.759 -2,45 98.592.021 26,70 -9,33 -23,01 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.8) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.3.2.23 di atas, dapat dilihat bahwa nilai rasio TMS terhadap TA dari tahun 2010 hingga 2011 mengalami penurunan sebesar 9,33%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan modal sendiri dari setiap Rp 1,00 yang digunakan untuk mendanai aktiva perusahaan sebesar Rp 0,0933 atau 23,01% dari tahun 2010. Penurunan rasio TMS terhadap TA tahun 2011 terhadap tahun 2010 ini disebabkan adanya penurunan pada jumlah ekuitasnya namun disertai dengan kenaikan pada jumlah asetnya. Kenaikan jumlah aset yang terjadi pada tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah sebesar Rp 98.592.021 juta atau 26,70% dari tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2011, ekuitas perusahaan mengalami penurunan sebesar Rp 3.669.759 juta atau sebesar 2,45% dari tahun 2010 yang terutama disebabkan oleh adanya penurunan yang cukup signifikan dari saldo laba yang tidak ditentukan penggunaannya mencapai Rp 12.159.147 juta. Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan rasio TMS terhadap TA perusahaan dari tahun 2011 hingga 2012 adalah: 99 Tabel 4.3.24 Perubahan TMS terhadap TA dari Tahun 2011 ke 2012 Keterangan *) Jumlah Ekuitas Jumlah Aset*) TMS terhadap TA (%) Tahun 2011 146.012.836 467.782.603 31,21 2012 150.599.670 540.705.764 27,85 Hasil Naik Naik Turun Perubahan 2011-2012 Nilai % Persentase 4.586.834 3,14 72.923.161 15,59 -3,36 -10,77 Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.8) *) Dinyatakan dalam jutaan rupiah Sedangkan selama tahun 2011 hingga 2012 nilai rasio TMS terhadap TA perusahaan berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.2.24, mengalami penurunan sebesar 3,36%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012 terjadi penurunan modal sendiri dari setiap Rp 1,00 yang digunakan untuk mendanai aktiva perusahaan sebesar Rp 0,0336 atau 10,77% dari 2011. Penurunan rasio TMS terhadap TA tahun 2012 terhadap tahun 2011 ini disebabkan adanya kenaikan pada jumlah aset yang lebih besar daripada kenaikan jumlah ekuitasnya. Pada tahun 2012, ekuitas perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 4.586.834 juta atau 3,14% dari tahun 2011. Sedangkan kenaikan yang terjadi pada jumlah aset perusahaan pada tahun 2012 adalah sebesar Rp 72.923.161 juta atau sebesar 15,59% dari tahun 2011, meskipun kenaikan ini mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan kenaikan dari tahun sebelumnya. Kenaikan yang terjadi pada jumlah aset ini, karena adanya penambahan aset tetap mencapai Rp 55.534.537 juta sehubungan dengan mulai terealisasinya proyek FTP-I serta adanya kenaikan piutang subsidi listrik sebesar 69,94% menjadi Rp 20.565.784 juta seiring dengan mulai terealisasinya pula program peningkatan rasio elektrifikasi perusahaan yang menyebabkan pertambahan subsidi terutama yang sebagian 100 besar diberikan kepada pelanggan rumah tangga dengan kebutuhan subsidi yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok pelanggan lain (kelompok pelanggan usaha bisnis, industri, dan umum). Sehingga secara ringkas, hasil perhitungan skor penilaian pada masingmasing kedelapan indikator rasio keuangan, dapat dirangkum untuk dapat dinyatakan bagaimana hasil penilaian tingkat kesehatan kinerja keuangan pada PT. PLN (Persero) selama periode 2010-2012 sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN sebagai berikut: Tabel 4.3.25 Penilaian Kinerja Keuangan PT. PLN (Persero) Periode 2010-2012 Rasio ROE (%) ROI (%) Cash Ratio (%) Current Ratio (%) Collection Periods (hari) Perputaran Persediaan (hari) TATO (%) TMS terhadap TA (%) 2010 Nilai Skor Rasio 6,74 7,5 9,13 5 35,88 3 81,48 0 6,46 4 22,32 4 61,89 2 40,54 5,5 Total Skor Penilaian Kinerja Keuangan Total Skor Penilaian Tingkat Kesehatan (= Total Skor Penilaian Kinerja Keuangan : Nilai Ekuivalen 50%) Kategori Tingkat Kesehatan PT. PLN (Persero) Periode 2010-2012 2011 Nilai Skor Rasio 3,72 4 5,89 3,5 34,76 2,5 91,66 1 6,15 4 27,47 4 56,26 1,5 31,21 6 2012 Nilai Skor Rasio 2,13 3 4,69 3 30,35 2,5 92,01 1 6,04 4 26,26 4 53,13 1,5 27,85 4 31 62 26,5 53 23 46 BBB (Kurang Sehat) BBB (Kurang Sehat) BB (Kurang Sehat) Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.3.1 s.d. Tabel 4.3.8) Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa total skor untuk penilaian kinerja keuangan perusahaan secara keseluruhan untuk tahun 2010 adalah 31, tahun 2011 adalah 26,5, dan untuk tahun 2012 adalah 23. Sedangkan total skor penilaian tingkat kesehatan perusahaan diperoleh dengan membagi total skor hasil penilaian kinerja 101 keuangan yang telah dihitung dengan nilai ekuivalennya sebesar 50%. Nilai ekuivalen sebesar 50% ini merupakan total skor bobot maksimum untuk penilaian kinerja dari aspek keuangan. Sehingga dapat diketahui bahwa hasil penilaian terhadap kinerja keuangan pada PT. PLN (Persero) untuk tahun 2010 berada pada kategori “KURANG SEHAT” dengan predikat BBB, karena hasil total skor penilaian tingkat kesehatan perusahaan berada diantara interval 50 < TS ≤ 65, yaitu mendapat total skor secara keseluruhan 62, sesuai syarat kategori “KURANG SEHAT” predikat “BBB” menurut Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002. Pada tahun 2011 total skor penilaian tingkat kesehatan perusahaan adalah 53 dan mendapat kategori “KURANG SEHAT” dengan predikat “BBB” karena hasil perhitungan total skor masih berada diantara interval 50 < TS ≤ 65. Untuk tahun 2012, kinerja keuangan perusahaan masih dalam kategori “KURANG SEHAT” namun dengan predikat “BB” karena total skor penilaian perusahaan turun menjadi 46 atau berada pada posisi interval 40 < TS ≤ 50. Kinerja keuangan PT. PLN (Persero) selama tahun 2010-2012 apabila diukur menggunakan delapan indikator analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara ini, ternyata menunjukkan adanya penurunan karena masih tergolong dalam kategori “KURANG SEHAT” dan terakhir pada tahun 2012 predikat perusahaan menjadi “BB” dari sebelumnya “BBB” pada tahun 2010 dan 2011. Secara garis besar, berdasarkan hasil analisis terhadap delapan indikator rasio keuangan tersebut beserta akun-akun komponennya, kinerja perusahaan apabila dilihat dari aspek keuangan yang semakin menurun ini, terutama akibat adanya 102 pelemahan nilai kurs rupiah akhir-akhir ini dan adanya peningkatan beban keuangan perusahaan yang cukup tinggi sehingga menyebabkan laba perusahaan selama periode 2010-2012 mengalami penurunan, selain itu hal ini juga merupakan dampak dari adanya pelaksanaan proyek percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW atau yang dikenal pula dengan proyek FTP (Fast Track Program) yang sedang dalam tahap I. Program percepatan ini merupakan proyek yang ditugaskan Pemerintah kepada perusahaan dalam rangka untuk memenuhi target penambahan daya perusahaan dan target rasio elektrifikasi nasional dalam mengimbangi kebutuhan tenaga listrik yang semakin meningkat. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 59 Tahun 2009, tanggal 23 Desember 2009, tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 71 Tahun 2006 tanggal 5 Juli 2006 tentang Penugasan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik I yang Menggunakan Batubara, Pemerintah menugaskan PT. PLN (Persero) sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan dan pendistribusian tenaga listrik untuk membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara di 42 lokasi di Indonesia, yang meliputi 10 pembangkit dengan jumlah kapasitas 7.490 MW di Jawa-Bali dan 32 pembangkit dengan jumlah kapasitas 2.769 MW di luar Jawa-Bali. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN, pada tahun 2010 kinerja keuangan PT. PLN (Persero) masuk kategori “KURANG SEHAT” dengan predikat BBB, karena total skor penilaian tingkat kesehatan yang diperoleh perusahaan adalah 62 berada diantara interval 50 < TS ≤ 65. 2. Pada tahun 2011, total skor penilaian tingkat kesehatan yang diperoleh perusahaan adalah 53 (berada diantara interval 50 < TS ≤ 65), menunjukkan bahwa kinerja keuangan PT. PLN (Persero) berada pada kategori “KURANG SEHAT” dengan predikat BBB. 3. Sedangkan pada tahun 2012, hasil penilaian kinerja keuangan PT. PLN (Persero) dinyatakan berada pada tingkat “KURANG SEHAT” dengan predikat menjadi BB dari yang sebelumnya BBB, karena total skor penilaian tingkat kesehatan yang diperoleh perusahaan adalah 46 berada diantara interval 40 < TS ≤ 50. 4. Selama periode 2010-2012, kinerja keuangan PT. PLN (Persero) mengalami penurunan dan berada pada kategori “KURANG SEHAT”, karena pada delapan indikator rasio keuangan sebagai komponen dalam penilaian kinerja keuangan BUMN sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, mengalami beberapa keadaan yang berfluktuatif, seperti belum optimalnya kinerja keuangan 103 104 perusahaan apabila dilihat dari sisi ROE, ROI, current ratio, total asset turn over (TATO), namun apabila keadaan kinerja keuangan perusahaan dilihat dari sisi cash ratio, collection periods, perputaran persediaan, dan rasio modal sendiri terhadap total aktiva (TMS terhadap TA), menunjukkan hasil yang cukup baik. 5.2 Saran Saran-saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. PT. PLN (Persero) hendaknya memperbaiki kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, yaitu baik dengan cara meningkatkan sumber dana eksternal perusahaan melalui peningkatan jumlah pinjaman dari pihak ketiga, pihak berelasi, bank, maupun melalui surat hutang jangka panjang yang akan digunakan untuk pembiayaan dalam aktivitas-aktivitas perusahaan, maupun dengan cara meningkatkan sumber pendanaan dari kas internal perusahaan melalui peningkatan investasi terhadap aset tetap maupun investasi terhadap entitas asosiasi dan ventura bersama perusahaan sehingga perusahaan mampu membiayai aktivitas-aktivitas perusahaan dengan dana kas internal perusahaan, tidak tergantung pada dana pinjamam. 2. PT. PLN (Persero) hendaknya meningkatkan pendapatan perusahaan melalui peningkatan penjualan dengan cara memperbaiki citra perusahaan, meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan, memberikan kepastian penyediaan listrik dengan meminimkan jumlah gangguan maupun jumlah pemadaman listrik, lebih menggalangkan promosi listrik prabayar kepada pelanggan, memperluas jangkauan pendistribusian listrik hingga ke daerah yang terpencil, dan mengoptimalkan penggunaan sumber energi tenaga listrik 105 alternatif non-BBM untuk dapat memberikan tarif tenaga listrik yang lebih terjangkau untuk dikenakan pada pelanggan. 3. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan objek penelitian pada unit-unit bisnis PT. PLN (Persero) ataupun pada perusahaan-perusahaan BUMN lainnya dan dapat memperluas cakupan penelitian dalam melakukan analisis kinerja perusahaan secara keseluruhan, yaitu tidak hanya dari aspek keuangan saja.