BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Badan Usaha

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Badan Usaha Milik Negara atau yang disebut BUMN, sebagaimana yang
dimaksud dalam UU RI No. 19 tahun 2003 pasal 1, adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam penjelasan
lanjutan pada UU RI No. 19 tahun 2003 pasal 2, BUMN memiliki maksud dan tujuan
pendirian: a) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional
pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya, b) mengejar keuntungan, c)
menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa
yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, d)
menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor
swasta dan koperasi, e) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Sehingga dapat
dikatakan bahwa BUMN merupakan salah satu pilar ekonomi yang mempunyai
peranan penting sebagai roda perekonomian nasional dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. BUMN memiliki kaitan erat dengan kegiatan ekonomi
masyarakat dan bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak. Selain memiliki
peran sosial, BUMN juga berperan ganda sebagai badan usaha yang mencari laba
(profit oriented). Tolak ukur kesuksesan BUMN dapat dilihat dari seberapa besar
kontribusi yang diberikan sesuai dengan maksud dan tujuan pendiriannya. Dengan
1
2
kehadiran BUMN, diharapkan mampu memberikan kontribusi lebih bagi
pembangunan nasional dan pendapatan negara.
Salah satu BUMN yang kini kinerjanya menjadi sorotan adalah PT.
Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau disingkat PT. PLN (Persero). PT. PLN
(Persero) atau yang biasa disebut dengan PLN, merupakan perusahaan BUMN yang
berbentuk persero yang
bergerak dalam bidang usaha penyediaan dan
pendistribusian tenaga listrik. Sejak disahkannya UU RI No. 30 tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan oleh Presiden Republik Indonesia, DR. H. Susilo Bambang
Yudhoyono, PLN bukan lagi bertindak sebagai Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan (PKUK), namun sebagai BUMN yang memiliki tugas untuk
menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Tugas baru yang diemban PLN
ini, dapat menjadi peluang bagi PLN untuk melakukan pengembangan usahanya.
PLN bertugas untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional dalam merespon
permintaan tenaga listrik yang berkembang semakin pesat dari waktu ke waktu
dengan menggunakan sumber daya energi yang mudah diperoleh, terjangkau, dan
ramah lingkungan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, lisrik kini telah menjadi
salah satu kebutuhan pokok masyarakat, baik untuk aktivitas kehidupan sehari-hari
maupun untuk aktivitas perekonomian (untuk kepentingan bisnis dan industri)
masyarakat. Pada tahun 2012, PLN mengalami peningkatan pertambahan jumlah
pelanggan sebesar 0,35% (8,50 % pertumbuhan jumlah pelanggan pada tahun 2012 8,15% pada tahun 2011) dari tahun sebelumnya. Tingginya kebutuhan listrik
nasional dapat menjadi indikator pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik, dan
3
sekaligus mengindikasikan keberhasilan PLN dalam turut serta meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat melalui penyediaan tenaga listrik.
Tabel 1.1 Pertumbuhan Jumlah Pelanggan PT. PLN (Persero)
Jumlah pelanggan
Pertumbuhan
(Ribu plg)
(%)
2008
2009
2010
2011
2012
38.844
40.117
42.435
45.895
49.795
4,05
3,28
5,78
8,15
8,50
Sumber: Laporan Keberlanjutan PT. PLN (Persero) Tahun 2012
Namun, kenaikan akan jumlah kebutuhan listrik yang semakin berkembang
pesat ini, sekaligus menjadi tantangan bagi PLN untuk menyediakan infrastruktur
ketenagalistrikan (meliputi pembangkit, jaringan, dan gardu induk) dan pasokan
listrik yang memadai dengan ketersediaan sumber energi tenaga listrik yang terbatas.
Apabila tidak terjadi keseimbangan antara jumlah kebutuhan listrik dengan
ketersediaan infrastruktur ketenagalistrikan dan pasokan listrik yang memadai, dapat
terjadi defisit atau krisis listrik. Akhir-akhir ini, PLN telah dihadapkan permasalahan
ketika terjadi krisis listrik di wilayah Sumatera Utara. Dalam artikel berjudul
“Pemadaman Listrik Sumut yang Semakin Meresahkan” yang ditulis oleh Perdana
(2013), memuat pernyataan Abubakar Siddik, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) Sumatera Utara, yang menyatakan bahwa penyebab terus
terjadinya pemadamam listrik di Sumatera Utara, disamping akibat mesin
pembangkit listrik yang terdapat di PLN Belawan tidak lagi dapat berfungsi, juga
telah terjadi defisit listrik. Dilangsir bahwa kebutuhan listrik untuk wilayah Sumatera
Utara mencapai 1.650 MW, namun yang tersedia hanya 1.400 MW. Hal ini pun telah
berdampak terhadap aktivitas masyarakat dan perekonomian di daerah tersebut,
mulai dari tidak berfungsinya lampu lalu lintas akibat pemadaman listrik, sejumlah
4
pengusaha yang mengaku rugi hingga ratusan buruh yang terancam Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) akibat biaya operasional yang membengkak untuk
operasional generator set (genset) sebagai pengganti tenaga listrik.
Selain itu, PLN juga harus menghadapi masalah kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) sebagai salah satu sumber daya energi primer pembangkit listrik PLN
yang harganya sangat tergantung pada nilai dolar AS. Belum lagi semakin
melemahnya nilai kurs rupiah terhadap dolar akhir-akhir ini, membuat harga BBM
semakin mahal. Mengingat beberapa pembangkit listrik PLN masih menggunakan
BBM dalam pengoperasiannya, dalam laporan tahunan PLN tahun 2012, PLN
menyatakan hampir 70% biaya yang dikeluarkan perusahaan adalah untuk
kepentingan biaya bahan bakar. Hal ini tentu menyebabkan biaya operasional
perusahaan membengkak dan berdampak secara langsung pada kinerja keuangan
PLN. Apabila kinerja suatu perusahaan semakin optimal, maka kontribusi yang
diberikan pun semakin besar. Demikian pula sebaliknya, apabila kinerja suatu
perusahaan buruk, maka kontribusi yang diberikan pun sedikit. Hingga pada
muaranya, permasalahan ini dapat mempengaruhi kontribusi yang diberikan PLN
kepada negara.
Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
No. 30 Tahun 2012 tentang Tarif Tenaga Listrik, mengenai kebijakan penyesuaian
tarif listrik baru untuk beberapa kelompok pelanggan tertentu, yang berlaku secara
bertahap mulai tanggal 1 Januari 2013, diharapkan dapat mengatasi berbagai
permasalahan tersebut. Kebijakan ini diambil bertujuan untuk mengurangi subsidi
listrik yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
bagi empat golongan pelanggan, yaitu golongan pelanggan rumah tangga besar (R3
5
daya 6600 VA ke atas), bisnis menengah (B-2 daya 6600 VA s.d. 200 kVA), bisnis
besar (B-3 daya diatas 200 kVA), dan kantor pemerintah sedang (P-1 daya 6.600 VA
s.d. 200 kVA). Diharapkan dari kebijakan ini, akan memperbaiki kinerja keuangan
PLN semakin baik sehingga mampu membiayai pengembangan pembangunan
infrastruktur ketenagalistrikan baru dengan menggunakan sumber dana internal
perusahaan.
Selain itu, untuk semakin meningkatkan kinerja keuangannya, PLN juga
perlu melakukan upaya pengelolaan keuangan dengan efektif dan efisien secara
periodik demi mempertahankan keberlangsungan usahanya agar dapat berjalan ke
arah yang lebih baik sesuai visi misi perusahaan, memiliki kemampuan daya saing
yang tinggi, serta dapat memenuhi tanggungjawabnya dalam memberikan kontribusi
yang lebih bagi masyarakat dan pendapatan negara. Mengingat perannya yang sangat
vital, maka PLN perlu melakukan analisis untuk melakukan pengukuran dan
penilaian terhadap kinerjanya. Karena mengukur kinerja dan membangun sistem
penilaian kinerja merupakan salah satu hal penting dalam perusahaan (Ardini, 2008).
Salah satu kinerja perusahaan yang menjadi perhatian utama adalah kinerja
dari aspek keuangan, yang dapat tercermin dalam laporan keuangan perusahaan.
Pongoh (2013) menyatakan bahwa dari laporan keuangan dapat diperoleh gambaran
perkembangan finansial perusahaan. Laporan keuangan dapat memberikan informasi
keuangan yang dibutuhkan bagi kepentingan berbagai pihak. Namun, laporan
keuangan belum dapat memberikan informasi yang cukup bermanfaat apabila tidak
dilakukan perbandingan dan analisis terhadapnya, daripada hanya menyajikan angka
mentahnya saja. Dengan melakukan analisis terhadap laporan keuangan, dapat
mengurangi ketergantungan pada firasat, tebakan, dan intuisi dalam pengembalian
6
keputusan,
serta
mengurangi
ketidakpastian
analisis
bisnis,
yaitu
dengan
menyediakan dasar yang sistematis dan efektif untuk analisis bisnis (Subramanyam
dan Wild, 2013).
Salah satu tolak ukur yang paling sering digunakan dalam analisis laporan
keuangan adalah rasio keuangan. Untuk dapat melakukan evaluasi menggunakan
rasio keuangan, dapat dengan membandingkannya dengan suatu standar, baik dengan
hasil analisis rasio antar perusahaan sejenis, dengan rata-rata industri, maupun antar
periode dalam laporan keuangan perusahaan tersebut. Evaluasi terhadap kinerja
perusahaan merupakan suatu kegiatan dalam pengukuran atau penilaian kinerja akan
hasil yang telah dicapai perusahaan dibandingkan dengan suatu standar yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dengan mengukur dan menilai kinerja perusahaan dengan
indikator penilaian kinerja yang ada, perusahaan dapat mengetahui bagaimana
kesehatan kinerjanya, yaitu apakah sudah termasuk kategori sehat atau tidak.
Perusahaan dengan kondisi yang sehat akan lebih mampu bertahan menghadapi
persaingan, sedangkan perusahaan yang mengalami kondisi kurang sehat atau pun
tidak sehat cenderung akan kesulitan dalam menghadapi persaingan dan
mempertahankan kelangsungan usahanya.
Beberapa penelitian tentang penilaian kinerja keuangan dengan rasio
keuangan yang telah ditemukan, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan
Pongoh (2013) mengenai Analisis Laporan Keuangan untuk Menilai Kinerja
Keuangan PT. Bumi Resources Tbk yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana
kinerja keuangan PT. Bumi Resources Tbk. berdasarkan analisis rasio rentabilitas,
likuiditas, dan solvabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan
7
PT. Bumi Resources Tbk. pada periode 2009-2011 secara keseluruhan berada dalam
keadaan baik.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Maith (2013) tentang Analisis Laporan
Keuangan dalam Mengukur Kinerja Keuangan pada PT. Hanjaya Mandala
Sampoerna Tbk., bertujuan untuk mengetahui kinerja keuangan pada PT. Hanjaya
Mandala Sampoerna Tbk. ditinjau dari analisis rasio keuangan. Penelitian ini
menunjukkan hasil analisis yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kinerja Keuangan PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. selama tahun 2009-2011
dan Juni 2012 ditinjau dari rasio likuiditas, aktivitas, dan profitabilitas menunjukkan
hasil yang baik, sedangkan ditinjau dari rasio solvabilitas menunjukkan hasil yang
tidak baik (insolvabel).
Di sisi lain, penelitian yang dilakukan Kadir (2006) tentang Analisis Tingkat
Kesehatan Perusahaan Pembangkit Listrik di Makassar bertujuan untuk mengetahui
tingkat kesehatan kinerja PT. PLN (Persero) wilayah Sulsel dan Sultra Sektor Tello
dari aspek keuangan dan operasional pada tahun 2004. Dalam penelitian ini, alat
analisis yang digunakan berpedoman pada Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN, yaitu: (1) ROE, (2)
ROI, (3) rasio kas, (4) rasio lancar, (5) collection periods, (6) perputaran persediaan,
(7) perputaran total asset, dan (8) rasio total modal sendiri terhadap total asset. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa PT. PLN (Persero) wilayah Sulsel dan Sultra Sektor
Tello berada pada tingkat sehat “AA”.
Saat ini, penilaian kinerja pada PLN dilakukan dengan menggunakan Key
Performance Indicator (KPI), yang digunakan sebagai ukuran kinerja dan indikator
keberhasilan yang harus dicapai oleh manajemen perusahaan. Key Performance
8
Indicator (KPI) yang digunakan PLN terdiri dari perspektif pelanggan, produk dan
layanan, proses bisnis internal, SDM, keuangan dan pasar, dan kepemimpinan
dengan berbasis pada Malcolm Baldridge.
Sedangkan alat ukur yang digunakan PLN dalam mengukur kinerja keuangan
perusahaan secara umum adalah menggunakan rasio keuangan. Dalam menyajikan
ikhtisar keuangan perusahaan, rasio-rasio keuangan yang digunakan PLN adalah: (1)
rasio likuiditas, yang terdiri dari rasio lancar (current ratio) dan rasio kas (cash
ratio), (2) rasio solvabilitas, yang terdiri dari rasio kewajiban terhadap aset (debt to
asset ratio) dan rasio kewajiban terhadap ekuitas (debt to equity ratio), (3) rasio
profitabilitas, yang terdiri dari margin laba kotor (gross profit margin) dan margin
laba bersih (net profit margin), (4) rasio rentabilitas, yang terdiri dari ROE dan ROA,
serta (5) rasio operasional, yang terdiri dari perputaran piutang (hari), perputaran
utang usaha (hari), perputaran aset tetap (kali), dan perputaran persediaan (kali).
Untuk perusahaan BUMN, penilaian kinerja perusahaan dapat mengacu pada
Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, tentang
Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN. Sesuai isi pasal 2 ayat 1 dan pasal 9 pada Surat
Keputusan tersebut, maka seluruh BUMN non jasa keuangan maupun BUMN jasa
keuangan (kecuali bagi Persero Terbuka dan BUMN yang dibentuk dengan Undangundang tersendiri) wajib menerapkan penilaian tingkat kesehatan BUMN sesuai
Keputusan Menteri BUMN. Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002, penilaian kinerja BUMN meliputi: aspek keuangan, aspek
operasional, dan aspek administrasi untuk dapat dilakukan penilaian tingkat
kesehatan BUMN yang dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu “SEHAT”,
“KURANG SEHAT”, dan “TIDAK SEHAT”. Namun dalam penelitian ini, hanya
9
membahas mengenai penilaian kinerja perusahaan dari aspek keuangan dengan
berpedoman pada tata cara penilaian kinerja berdasarkan Keputusan Menteri BUMN
No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN, untuk dapat
menganalisis kinerja keuangan PT. PLN (Persero).
Penelitian ini merupakan replikasi dari Kadir (2006) yang membahas Analisis
Tingkat Kesehatan Perusahaan Pembangkit Listrik di Makassar. Penelitian ini
bermaksud ingin menguji kembali penelitian sebelumnya dengan tahun dan objek
penelitian yang berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah bahwa
penelitian sebelumnya dilakukan hanya pada tahun 2004 (hanya dalam satu periode),
sedangkan penelitian sekarang pada tahun 2010-2012 (selama tiga periode) agar
dapat dilakukan perbandingan. Apabila pada penelitian sebelumnya memilih
perusahaan pembangkit listrik di Makassar, yaitu PT. PLN (Persero) wilayah Sulsel
dan Sultra Sektor Tello, sebagai obyek penelitiannya, sedangkan penelitian sekarang
menggunakan PT. PLN (Persero) Pusat sebagai objek penelitian. Persamaan
penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang adalah menggunakan metode
analisis deskriptif kuantitatif, dan menggunakan alat analisis delapan indikator rasio
keuangan sesuai dengan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002
tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN. Kedelapan indikator tersebut
merupakan rasio keuangan yang dianggap paling dominan dan dapat mewakili rasiorasio keuangan dalam menilai kinerja keuangan BUMN, yaitu ROE, ROI, rasio kas,
rasio lancar, collection periods, perputaran persediaan, perputaran total asset, dan
rasio modal sendiri terhadap total aktiva. Penelitian ini mengambil periode penelitian
tahun 2010-2012 karena datanya lebih terkini.
10
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka
penelitian ini
berjudul
“EVALUASI KINERJA KEUANGAN PT. PLN (PERSERO) PERIODE 20102012”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah bagaimana kinerja PT. PLN (Persero) dari segi keuangan selama
periode tiga tahun dengan periode 2012 sebagai tahun dasar penelitian, sedangkan
periode 2010 dan 2011 sebagai tahun pembanding, apabila diukur dengan
menggunakan delapan indikator analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan
Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan
Badan Usaha Milik Negara.
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja keuangan PT. PLN
(Persero) pada periode 2010-2012 apabila diukur dengan menggunakan delapan
indikator analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1.
Bagi PT. PLN (Persero)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau saran yang
bermanfaat dan dapat menjadi evaluasi yang dapat digunakan PT. PLN (Persero)
sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan dan menentukan
strategi yang dianggap perlu, dalam upaya meningkatkan kinerja perusahaan,
11
terutama kinerja keuangan di masa yang akan datang demi keberlangsungan
usaha perusahaan ke arah yang lebih baik.
2.
Bagi penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman, wawasan
pengetahuan, dan sekaligus sebagai proses belajar dalam memahami bagaimana
keterkaitan ilmu yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan dengan
pengaplikasian secara praktek nyata yang ada di PT. PLN (Persero), khususnya
yang berkaitan dengan penilaian kinerja keuangan.
3.
Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana
hasil pencapaian kinerja PT. PLN (Persero) dari aspek keuangan selama tiga
periode, dari periode 2010 – 2012, apabila diukur dengan menggunakan analisis
rasio
keuangan
berdasarkan
Keputusan
Menteri
BUMN
No.
KEP-
100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik
Negara.
4.
Bagi peneliti lain atau selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi dan mampu
memberikan kontribusi bagi peneliti lain atau selanjutnya yang akan melakukan
penelitian yang sejenis.
12
1.5
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi pembahasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang
digunakan dalam penelitian ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang telaah teori, penelitian terdahulu, dan
kerangka konseptual.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini memberikan penjelasan tentang variabel penelitian dan definisi
operasional variabel, objek penelitian, jenis dan sumber data, metode
pengumpulan data, dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian
ini.
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan membahas secara singkat deskripsi objek penelitian
serta hasil penelitian dan pembahasan.
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran pada
penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Telaah Teori
2.1.1 Kinerja Keuangan
2.1.1.1 Definisi Kinerja
Kinerja atau yang secara etimologi bahasa Inggris dapat diartikan dengan
performance, didefinisikan Kadir (2006) sebagai sebuah hasil unjuk kerja yang
berupa pencapaian hasil, kemampuan kerja dan prestasi yang diperoleh dari suatu
pekerjaan atau kegiatan. Kinerja perusahaan dapat menggambarkan prestasi dan
tingkat keberhasilan yang dicapai perusahaan dalam suatu periode tertentu dengan
berlandaskan suatu standar yang telah ditetapkan sebagai acuannya. Kinerja
merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan, karena kinerja
perusahaan merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam mengelola dan
mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya.
2.1.1.2 Definisi Kinerja Keuangan
Kinerja perusahaan dapat dibagi menjadi dua aspek, yaitu kinerja dari aspek
keuangan dan dari aspek non keuangan (Ulum, 2009). Kinerja non keuangan dapat
tercermin dari informasi non keuangan perusahaan (informasi yang disajikan tidak
dalam satuan ukuran keuangan). Sedangkan kinerja keuangan dapat tercermin dari
data dan informasi keuangan perusahaan, yaitu yang secara umum dapat dilihat dari
laporan keuangan yang disajikan perusahaan.
Kinerja keuangan merupakan salah satu aspek kinerja yang dianggap penting
dan juga menjadi perhatian utama perusahaan karena dapat menggambarkan kondisi
13
14
keuangan perusahaan. Kinerja keuangan suatu perusahaan dapat diartikan sebagai
prospek atau masa depan, pertumbuhan, dan potensi perkembangan yang baik bagi
perusahaan (Orniati, 2009). Melalui kinerja keuangan dapat dilihat apakah kinerja
perusahaan berada pada kondisi keuangan yang baik atau tidak, apakah perusahaan
dalam posisi untung atau rugi, atau apakah perusahaan telah berjalan dengan sehat
atau tidak. Kinerja keuangan merupakan suatu ukuran tertentu yang digunakan oleh
perusahaan untuk mengukur keberhasilan dan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba dan mencapai tujuan yang telah ditargetkan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kinerja keuangan adalah prestasi yang dicapai oleh perusahaan dari
aspek keuangan dalam suatu periode tertentu yang dapat mencerminkan kondisi
keungan dan tingkat kesehatan perusahaan.
2.1.2 BUMN
Dalam UU RI No. 19 tahun 2003 pasal 1, yang dimaksud Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. Agoes dan Ardana (2011) menyatakan bahwa tujuan awal
pembentukan BUMN merupakan penjabaran dan implementasi Pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti bahwa badan-badan usaha yang dalam
pengoperasian usahanya telah memanfaatkan sumber-sumber daya dari alam, maka
seluruh atau sebagian besar sahamnya akan dikuasai negara dengan tujuan
pengelolaan untuk kesejahteraan masyarakat.
15
Maksud dan tujuan pendirian BUMN sesuai isi pasal 2 UU no. 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, tidak lain adalah sebagai berikut:
1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.
2) Mengejar keuntungan.
3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa
yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh
sektor swasta dan koperasi.
5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan
ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang
secara keseluruhan atau sebagian besar sahamnya dikelola oleh negara dengan
maksud dan tujuan
pendirian sebagai roda penggerak perekonomian dan
pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
meningkatkan taraf hidup orang banyak.
2.1.3 Laporan Keuangan
2.1.3.1 Definisi Laporan Keuangan
Secara sederhana, laporan keuangan didefinisikan Kasmir (2013) sebagai
laporan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada saat ini atau dalam
suatu periode tertentu. Laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi
yang memuat fakta-fakta berdasarkan transaksi-transaksi dan peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi dalam perusahaan. Jumingan (2006) mengemukakan bahwa
laporan keuangan merupakan ringkasan atau rangkuman data keuangan perusahaan.
16
Dimana setiap transaksi dan kejadian ekonomi dan keuangan (yang bersifat
finansial), yang telah terjadi dalam perusahaan, akan disusun dengan cara dicatat dan
digolongkan untuk disederhanakan dalam bentuk ringkasan atau rangkuman, atau
yang disebut laporan keuangan.
Komponen-komponen laporan keuangan yang lengkap terdiri atas laporan
posisi keuangan (neraca), laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus
kas, dan catatan atas laporan keuangan. Setiap komponen dalam laporan keuangan
merupakan satu kesatuan yang utuh dan terkait satu dengan lainnya, sehingga dalam
menggunakannya perlu dilihat sebagai suatu keseluruhan bagi pemakaiannya agar
tidak terjadi kesalahpahaman (Kadir, 2006). Selain itu, laporan keuangan juga
berkaitan dengan beberapa titik waktu dan lintas waktu (Subramanyam dan Wild,
2013).
2.1.3.2 Tujuan Laporan Keuangan
Dalam Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2009), disebutkan bahwa tujuan
umum laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan,
kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan
pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta
menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan
sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Laporan keuangan
merupakan salah satu informasi yang sangat penting dalam menilai prestasi yang
dicapai perusahaan pada masa lalu dan saat ini. Sebagai alat pertanggungjawaban
manajemen, laporan keuangan diperlukan untuk melihat dan menilai kinerja
manajemen dalam melaksanakan kewenangan yang telah diberikan oleh pemilik
perusahaan. Selain itu, laporan keuangan juga berfungsi untuk mengurangi
17
kesenjangan informasi antara direksi atau manajemen perusahaan dengan pemilik
atau kreditor yang berada di luar perusahaan (Darsono dan Ashari, 2005).
Lako (2006) mengemukakan bahwa laporan keuangan dapat menjadi alat
komunikasi informasi akuntansi atau keuangan antara pihak manajemen (internal
perusahaan) dengan pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan dan memerlukan
laporan keuangan, serta dapat menjadi alat untuk memprediksi harga saham, laba
perusahaan di masa depan, potensi kebangkrutan perusahaan, dan profitabilitas
perusahaan. Laporan keuangan dapat menjadi jendela untuk melihat kondisi di dalam
perusahaan sehingga dapat ditemukan tanda-tanda permasalahan dan kondisi umum
perusahaan (Darsono dan Ashari, 2005).
Dengan demikian, laporan keuangan tidak hanya memberikan gambaran
umum sebuah perusahaan, melainkan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan, alat penilaian kinerja manajemen dan prestasi perusahaan, alat
penghubung antar berbagai penggunanya, dan dapat digunakan untuk kepentingan
prediksi bagi berbagi pihak yang memerlukannya sesuai maksud dan tujuan masingmasing. Oleh karena itu, laporan keuangan hendaknya disusun sedemikian rupa
dengan cara yang benar sesuai aturan atau pedoman yang berlaku dan dengan penuh
pertanggungjawaban sesuai data yang relevan, sehingga dapat menggambarkan
kondisi atau keadaan keuangan perusahaan yang sesungguhnya secara wajar dan
layak.
2.1.3.3 Pengguna Laporan Keuangan
Informasi yang disediakan laporan keuangan menyediakan informasi yang
diperlukan bagi berbagai pihak, baik bagi pihak internal (pihak yang ada dalam
perusahaan) maupun pihak eksternal perusahan (pihak yang berada diluar
18
perusahaan, yaitu pihak yang memiliki hubungan dengan perusahaan, baik secara
langsung maupun tidak langsung). Dalam Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2009)
pengguna laporan keuangan meliputi investor sekarang dan investor potensial,
karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditur usaha lainnya, pelanggan,
pemerintah serta lembaga-lembaga, masyarakat, dan manajemen perusahaan.
Sehingga pengguna laporan keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pihak
internal perusahaan yang terdiri dari karyawan, manajemen, dan termasuk pemilik
perusahaan, sedangkan pihak eksternal perusahaan terdiri dari investor, kreditur,
pemasok, pelanggan, lembaga pemerintah, dan masyarakat.
Pengguna laporan keuangan dan kebutuhannya akan informasi keuangan,
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Investor
Investor dan pemegang saham membutuhkan informasi dari laporan keuangan
sebuah perusahaan dalam menentukan keputusan investasinya, yaitu apakah
harus membeli, menahan, atau menjual investasi yang dimilikinya, dan dalam
menilai prospek perusahaan, yaitu kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
laba dan membayar dividen.
2) Karyawan
Karyawan dan serikat kerja tertarik pada informasi yang ada pada laporan
keuangan untuk mengetahui stabilitas dan profitabilitas perusahaan, sebagai
tempat
dimana
menggantungkan
kelangsungan
hidupnya,
yang
dapat
mempengaruhi tingkat gaji atau upah dan insentif lainnya yang akan diberikan
perusahaan.
19
3) Pemberi pinjaman
Pemberi pinjaman berkepentingan terhadap laporan keuangan untuk melihat
kemampuan perusahaan dalam membayar dan melunasi pinjaman atau jumlah
terutang yang telah diajukan beserta bunganya secara tepat waktu. Dengan
melihat kondisi keuangan perusahaan (baik jangka pendek maupun jangka
panjang), stabilitas, dan profitabilitas perusahaan, para pemberi pinjaman dapat
mempertimbangkan dan menentukan apakah akan menerima atau menolak
permintaan kredit maupun perluasan kredit yang diajukan perusahaan.
4) Pemasok dan kreditur usaha lainnya
Pemasok (supplier) memerlukan informasi yang terdapat dalam laporan
keuangan untuk mengetahui kelangsungan hidup perusahaan, yang tidak lain
adalah pelangaan mereka, untuk menilai kemampuan perusahaan dalam
membayar tagihan atau jumlah yang terutang pada saat jatuh tempo atas
transaksi penjualan yang telah terjadi.
5) Pelanggan
Para pelanggan, terutama bagi pelanggan yang akan menjalin perjanjian kerja
sama jangka panjang dengan perusahaan, berkepentingan dengan informasi
mengenai kelangsungan hidup perusahaan yang dapat tercemin dari laporan
keuangan perusahaan.
6) Pemerintah
Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya
berkepentingan terhadap informasi dari laporan keuangan dalam penentuan
kebijakan pengalokasian sumber daya yang berkaitan dengan aktivitas
perusahaan, penetapan kebijakan pajak, maupun dalam penyusunan statistik
20
pendapatan nasional dan statistik lainnya. Kasmir (2013) menyatakan bahwa
laporan keuangan diperlukan pemerintah untuk menilai kejujuran perusahaan
dalam melaporkan seluruh keuangan perusahaan yang sesungguhnya dan untuk
mengetahui kewajiban perusahaan terhadap negara dari hasil laporan keuangan
yang dilaporkan.
7) Manajemen dan pemilik perusahaan
Laporan keuangan dapat dijadikan sebagai alat bantu bagi manajemen dalam
melaksanakan tanggung jawab perencanaan, pengendalian, dan pengambilan
keputusannya, termasuk melakukan evaluasi terhadap kinerja keuangan
perusahaan. Selain itu, laporan keuangan dapat menjadi cerminan kinerja
manajemen dalam suatu periode tertentu (Kasmir 2013). Dari hasil analisisnya,
pemilik perusahaan dapat menilai keberhasilan atau kegagalan manajemen
dalam
mengelola
perusahaannya
untuk
menentukan
apakah
akan
mempertahankan atau mengganti manajemen perusahaan. Karena hasil
pencapaian, stabilitas, serta kelangsungan hidup sebuah perusahaan tergantung
pada cara kerja atau efisiensi manajemennya (Jumingan, 2006). Selain itu,
pemilik perusahaan juga berkepentingan terhadap laporan keuangan untuk
mengetahui perubahan perkembangan kondisi dan posisi perusahaan dalam
suatu periode tertentu.
8) Masyarakat
Dengan adanya pelaporan laporan keuangan yang dilakukan oleh perusahaan,
masyarakat dapat mengetahui perkembangan kondisi dan kecenderungan (tren)
perusahaan tersebut serta rangkaian aktivitasnya. Menurut Jumingan (2006),
masyarakat umum yang berdomisili di sekitar perusahaan yang bersangkutan,
21
secara tidak langsung juga berkepentingan dengan kesempatan kerja yang
ditawarkan perusahaan, pendapatan masyarakat, dan fasilitas lain yang
bermanfaat bagi masyarakat.
2.1.4 Rasio Keuangan
2.1.4.1 Definisi Rasio Keuangan
Rasio keuangan merupakan salah satu alat analisis laporan keuangan yang
umum dan paling sering digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan.
Istilah rasio didefinisikan Subramanyam dan Wild (2013) sebagai hubungan
matematis antara dua kuantitas. Kemudian Riyanto (2008) mendefinisikan rasio
sebagai suatu alat yang dinyatakan dalam arithmatical terms yang dapat digunakan
untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data finansiil. Sedangkan istilah
rasio keuangan didefinisikan Kasmir (2013) sebagai kegiatan membandingkan
angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara membagi satu angka
dengan angka lainnya dalam satu periode maupun beberapa periode atau
membandingkan antara satu komponen dengan komponen lainnya dalam satu
laporan keuangan atau antar komponen yang ada di laporan keuangan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa rasio keuangan merupakan suatu alat
analisis yang digunakan untuk menyederhanakan informasi dan data keuangan yang
disajikan perusahaan dalam bentuk laporan keuangan agar dapat dipahami dan
dimengerti dengan mudah hubungan antar unsur dalam laporan keuangan bagi
berbagi pihak. Rasio keuangan hendaknya diinterpretasikan dengan hati-hati karena
faktor-faktor yang mempengaruhi pembilang berhubungan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyebut.
22
2.1.4.2 Tujuan dan Manfaat Rasio Keuangan
Maith (2013) menyatakan bahwa analisis rasio keuangan dapat digunakan
untuk mengetahui kondisi suatu perusahaan maupun kinerja yang telah dicapai
perusahaan untuk suatu periode tertentu, yaitu apakah keadaan keuangan perusahaan
dalam kondisi yang baik atau tidak, apakah perusahaan telah mencapai standar
kinerja yang dipersyaratkan atau tidak, dan apakah
tingkat kinerja keuangan
perusahaan baik atau sebaliknya. Sedangkan menurut Subramanyam dan Wild
(2013), analisis rasio keuangan dapat mengungkapkan hubungan penting dan
menjadi dasar perbandingan dalam menemukan kondisi dan tren yang sulit untuk
dideteksi dengan mempelajari masing-masing komponen yang membentuk rasio.
Rasio keuangan dapat menggambarkan perkembangan atau perubahan kondisi
keuangan dan prestasi perusahaan dari waktu ke waktu, dan kecenderungan (tren)
dari pola perubahan tersebut sehingga dapat digunakan untuk memprediksi
keberlanjutan kinerja perusahaan, termasuk risiko dan peluang yang akan dihadapi
perusahaan pada masa mendatang.
Selain itu, Madura (2001) berpendapat bahwa analisis rasio keuangan dapat
digunakan untuk mengevaluasi hubungan yang terjadi antara berbagai variabel dalam
laporan keuangan. Rasio keuangan dapat dijadikan sebagai alat evaluasi kinerja
keuangan perusahaan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
perusahaan, termasuk dalam mengindikasikan kelemahan dan kekuatan yang dimiliki
perusahaan. Dengan mengetahui kelemahan yang dimilikinya, perusahaan dapat
menentukan langkah-langkah korektif apa saja yang perlu dilakukan untuk
memperbaiki kinerja perusahaan selanjutnya agar lebih baik. Sedangkan dengan
mengetahui kekuatan yang dimiliki, perusahaan harus dapat mempertahankannya
23
bahkan meningkatkannya agar dapat menjadi keunggulan kompetitif bagi perusahaan
dalam menghadapi persaingan bisnis. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dari hasil
analisis rasio keuangan dapat digunakan untuk menilai kesehatan kinerja keuangan
perusahaan dan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan yang tepat bagi
kepentingan berbagai penggunanya sesuai maksud dan tujuan analisis masingmasing.
2.1.4.3 Macam-macam Rasio Keuangan
Agar laporan keuangan dapat dimengerti dan dipahami dengan mudah tentang
kondisi keuangan perusahaan secara menyeluruh, dapat dilakukan dengan cara
melakukan analisis keuangan melalui berbagai rasio keuangan yang lazim digunakan
(Kasmir, 2013). Menurut Jumingan (2006), pada dasarnya rasio keuangan dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu rasio keuangan yang didasarkan pada
sumber data keuangan dari mana unsur-unsur angka rasio tersebut diperoleh dan
rasio keuangan yang disusun berdasarkan tujuan penganalisis dalam mengevaluasi
suatu perusahaan berdasarkan laporan keuangan. Rasio-rasio keuangan yang
didasarkan pada sumber data keuangan dari mana unsur-unsur angka rasio tersebut
diperoleh, yaitu terdiri dari rasio-rasio neraca (balance sheet ratios), rasio laporan
laba rugi (income statement ratios), dan rasio antar laporan (inter-statement ratios).
Sedangkan
rasio-rasio
keuangan
yang
disusun
berdasarkan
tujuan
penganalisis dalam mengevaluasi suatu perusahaan berdasakan laporan keuangan
adalah:
1) Rasio likuiditas
Rasio likuiditas (liquidity ratio) digunakan untuk mengetahui kemampuan
perusahaan dalam membiayai operasi dan memenuhi kewajiban finansial jangka
24
pendeknya pada saat jatuh tempo. Kasmir (2013) menyatakan bahwa rasio
likuiditas merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa likuidnya
perusahaan, yaitu dimana sebuah perusahaan dapat dikatakan dalam keadaan
likuid, apabila perusahaan mampu memenuhi kewajibannya, dan apabila
perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, dapat dikatakan
perusahaan dalam keadaan illikud. Semakin besar tingkat aktiva lancar yang
tersedia secara relatif terhadap kewajiban lancar, maka semakin besar likuiditas
perusahaan. Tingkat likuiditas yang tinggi dapat meningkatkan keamanan
perusahaan, namun tingkat likuiditas yang berlebihan dapat mengurangi
pengembalian perusahaan (Madura, 2001). Menurut Jumingan (2006),
perusahaan dapat dikatakan mempunyai posisi keuangan jangka pendek yang
kuat apabila: (1) mampu memenuhi tagihan dari kreditur jangka pendek tepat
pada waktunya, (2) mampu memelihara modal kerja yang cukup untuk
membelanjai operasi perusahaan yang normal, (3) mampu membayar bunga
utang jangka pendek dan dividen, dan (4) mampu memelihara kredit rating yang
menguntungkan.
2) Rasio solvabilitas (solvability ratio)
Rasio solvabilitas dikenal pula dengan istilah rasio leverage atau rasio
pengungkit keuangan (berasal dari kata leverage yang secara bahasa berarti
pengungkit atau alat ungkit). Rasio solvabilitas atau rasio leverage digunakan
untuk mengukur sejauh mana kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua
kewajibannya (baik jangka pendek maupun jangka panjang). Riyanto (2008)
menyatakan bahwa suatu perusahaan dapat dikatakan dalam kondisi solvabel,
apabila perusahaan tersebut mempunyai aktiva atau kekayaan yang cukup untuk
25
membayar semua utang-utangnya, tetapi tidak dengan sendirinya berarti bahwa
perusahaan tersebut likuid. Semakin tinggi rasio solvabilitas yang ditunjukkan,
semakin tinggi pula kemampuan perusahaan dalam melunasi seluruh hutanghutangnya. Menurut Kasmir (2013), bahwa tujuan dan manfaat perusahaan
menggunakan rasio solvabilitas adalah untuk menilai dan mengetahui: (a)
kemampuan posisi perusahaan terhadap seluruh kewajibannya kepada pihak lain,
(b) kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang bersifat tetap, (c)
keseimbangan antara nilai aktiva khususnya aktiva tetap dengan modal, (d)
seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang, (e) seberapa besar utang
perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva, (f) berapa bagian dari
setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang panjang, dan (g)
berapa dana pinjaman yang segera akan ditagih ada terdapat sekian kalinya
modal sendiri.
3) Rasio aktivitas (activity ratio)
Menurut Kasmir (2013), rasio aktivitas merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur tingkat efisiensi (efektivitas) pemanfaatan sumber daya (aktiva) yang
dimiliki perusahaan (penjualan, sediaan, penagihan piutang, dan lainnya) atau
rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam melaksanakan aktivitas
sehari-hari dan seberapa jauh efisiensi perusahaan dalam memanfaatkan asetasetnya untuk menghasilkan pendapatan. Dari hasil pengukuran dengan
menggunakan rasio aktivitas akan diketahui apakah perusahaan telah mengelola
aset yang dimilikinya secara efisien dan efektif. Sehingga, rasio aktivitas dikenal
pula dengan rasio efisiensi.
26
4) Rasio profitabilitas (profitability ratio)
Rasio profitabilitas atau yang dikenal pula dengan rasio rentabilitas, menurut
Madura (2001), merupakan rasio yang digunakan untuk menunjukkan kinerja
operasi sebuah perusahaan selama satu periode tertentu. Rasio ini digunakan
untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan
menggunakan seluruh aktiva yang ada maupun dengan menggunakan modal
sendiri selama periode tertentu. Perusahaan dapat dikatakan rentabilitasnya baik
apabila mampu memenuhi target laba yang telah ditetapkan dengan
menggunakan aktiva atau modal yang dimilikinya (Kasmir, 2013).
2.1.5 Evaluasi Kinerja Keuangan
2.1.5.1 Definisi Evaluasi Kinerja
Pandangan mengenai evaluasi kinerja didefinisikan oleh Ardini (2008)
sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mengukur kinerja dari elemen-elemen
yang ada di dalam perusahaan yang akan dibandingkan dengan suatu standar atau
target maupun harapan-harapan yang ingin dicapai. Evaluasi kinerja merupakan
sebuah proses pengukuran atau penilaian untuk menyediakan informasi tentang
sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian
itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih diantara
keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan
dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh.
Evaluasi terhadap kinerja perusahaan dimaksudkan sebagai suatu kegiatan
penilaian secara periodik untuk membandingkan akan hasil yang telah dicapai
perusahaan dengan target perusahaan, yaitu apakah sudah cukup sesuai (memuaskan)
atau tidak, apakah hasil yang telah dicapai perusahaan berada di bawah atau di atas
27
sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Kegiatan evaluasi
kinerja dibutuhkan sebagai alat monitor untuk mengukur seberapa efektif dan efisien
kinerja perusahaan selama ini sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan
keputusan yang tepat dalam merencanakan langkah-langkah selanjutnya di masa
depan. Informasi yang dapat diperoleh dari evaluasi kinerja keuangan antara lain
tentang kemampuan perusahaan melunasi utang jangka pendek, kemampuan
perusahaan dalam membayar bunga pokok pinjaman, dan keberhasilan perusahaan
dalam meningkatkan besarnya modal sendiri (Orniati, 2009).
2.1.5.2 Rasio Keuangan sebagai Alat Penilaian Kinerja Keuangan BUMN
Rasio-rasio keuangan yang dapat digunakan dalam penilaian kinerja
keuangan BUMN sesuai Keputusan Menteri
BUMN No. KEP-100/MBU/2002
tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara adalah sebagai
berikut:
1) Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE)
Return on equity (ROE) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa
besar pengembalian yang diperoleh pemilik perusahaan (pemegang saham) atas
jumlah ekuitas yang telah ditanamkan di perusahaan. Semakin tinggi rasio ini,
semakin baik karena hal ini berarti posisi modal pemilik perusahaan semakin
kuat, dan demikian pula sebaliknya (Kasmir, 2013). Jumingan (2006)
berpendapat bahwa dengan semakin tinggi rasio ROE, berarti tingkat kembalian
kepada pemegang saham atas investasinya lebih besar. Selain itu, semakin tinggi
rasio ini juga mengindikasikan semakin baik keadaan perusahaan.
28
2) Imbalan investasi/ return on investment (ROI)
Return on investment atau ROI adalah rasio yang digunakan untuk menunjukkan
tingkat pengembalian dari bisnis atas seluruh investasi yang ditanam dalam
bentuk aktiva. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengatur
aktiva-aktivanya seoptimal mungkin sehingga dicapai laba bersih yang
diinginkan. Semakin tinggi rasio ini, semakin efektif penggunaan dana dalam
perusahaan sehingga akan memperbesar kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba (Kuswadi, 2005).
3) Rasio kas (cash ratio)
Rasio kas (cash ratio) juga dikenal dengan cash to current liabilities ratio. Rasio
ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar
kewajiban jangka pendek yang akan segera atau harus dipenuhi dengan
menggunakan kas maupun setara kas lainnya yang tersedia dalam perusahaan.
Kas dan setara kas (bank dan surat berharga jangka pendek) merupakan aktiva
perusahaan yang paling cair (likuid) karena dapat segera dipakai setiap waktu
tanpa harus melalui proses pendapatan atau penjualan (Kuswadi, 2005). Kasmir
(2013) menyatakan bahwa kondisi rasio kas yang terlalu tinggi kurang baik
karena hal ini berarti dana yang ada belum digunakan secara optimal (dana
menganggur), dan sebaliknya apabila rasio kas terlalu rendah juga menunjukkan
kondisi yang kurang baik karena hal ini berarti kemampuan perusahaan dalam
membayar kewajibannya masih memerlukan waktu untuk menjual sebagian dari
aktiva lancar lainnya.
29
4) Rasio lancar (current ratio)
Rasio lancar (current ratio) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
untuk membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancarnya. Kasmir
(2013) berpendapat bahwa rasio lancar dapat pula dikatakan sebagai bentuk
untuk mengukur tingkat keamanan (margin of savety) suatu perusahaan.
Semakin besar angka rasio ini, semakin kuat atau besar kemampuan perusahaan
menjamin setiap utangnya dengan aktiva likuidnya (Kuswadi, 2005). Jumingan
(2006) menyatakan bahwa current ratio yang tinggi apabila dilihat dari sudut
pandang kreditur adalah baik, tetapi dari sudut pandang pemegang saham kurang
menguntungkan karena aktiva lancar tidak didayagunakan dengan efektif.
Sebaliknya current ratio yang rendah relatif lebih riskan karena tingkat
kebutuhan perusahaan lebih besar dari uang kasnya, meskipun hal ini
menunjukkan bahwa manajemen telah mengoperasikan aktiva lancar secara
efektif.
5) Collection periods (CP)
Collection periods atau rasio periode pengumpulan piutang adalah rasio yang
digunakan untuk menunjukkan berapa lama waktu yang diperlukan perusahaan
untuk dapat menagih atau mengumpulkan piutangnya sehingga memperoleh kas.
Semakin besar rasio ini berarti semakin lama waktu yang diperlukan perusahaan
untuk menagih piutangnya, atau dengan kata lain dapat dikatakan semakin kecil
kemampuan penagihan perusahaan (Kuswadi, 2005). Apabila angka rasio ini
terlalu besar, hal ini dapat berbahaya bagi perusahaan karena semakin lama
jangka waktu yang dibutuhkan untuk menagih piutang, akan semakin lama pula
perusahaan mendapatkan uang kasnya kembali dari hasil pemberian penjualan
30
secara kredit. Perusahaan memerlukan kas yang cukup untuk diputar dalam
kegiatan bisnisnya.
6) Perputaran persediaan (PP)
Perputaran persediaan (inventory turn over ratio) digunakan untuk mengukur
sejauh mana efisensi dan efektivitas perusahaan dalam mengelola persediaannya.
Semakin cepat persediaan berputar, mengindikasikan semakin singkat waktu
rata-rata antara penanaman modal dalam persediaan dan transaksi penjualan.
Apabila jumlah stok persediaan terlalu berlebihan namun tidak disertai dengan
permintaan atau penjualan yang tinggi atau dapat dikatakan pula persediaan
yang tersedia tidak laku dijual (telah terjadi over investment), akan menyebabkan
tingkat perputaran persediaan akan menjadi rendah. Selain itu persediaan yang
ada di gudang akan menumpuk dan perusahaan akan mengalami kesulitan arus
kas dan modal kerja karena hasil penjualan menurun. Sebaliknya, apabila jumlah
stok persediaan perusahaan terlalu sedikit juga tidak baik karena perusahaan
akan mengalami kesulitan dalam berproduksi, semisal saja dalam menghadapi
permintaan yang terlalu tinggi maka perusahaan kemungkinan akan kekurangan
stok persediaan. Kuswadi (2005) menyatakan bahwa persediaan yang terlalu
banyak tidak baik, demikian pula terlalu sedikit persediaan pun tidak baik, yang
terbaik adalah menjaga keseimbangan sedemikian rupa sehingga tercapai
stabilitas dalam proses produksi.
7) Perputaran total asset/ total assets turn over (TATO)
Total assets turn over (TATO) dapat digunakan untuk mengukur efisiensi
perusahaan dalam mengelola aktivanya untuk menghasilkan penjualan (Madura,
2001). Dengan rasio ini, dapat diketahui apakah perusahaan selama satu periode
31
tertentu telah menggunakan aktivanya secara efektif atau tidak. Dengan
melakukan pengelolaan aktiva (baik aktiva lancar maupun aktiva tetap) seefektif
mungkin, dapat meningkatkan pendapatan yang dihasilkan seoptimum mungkin.
Kuswadi (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi perputaran aktiva, termasuk
yang berupa aktiva tetap, semakin kecil investasi yang diperlukan untuk
menghasilkan pendapatan atau penjualan. Hal ini berarti bahwa semakin besar
total assets turnover maka semakin efisien seluruh aktiva yang digunakan untuk
menunjang kegiatan penjualan.
8) Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA)
Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA) digunakan
untuk menunjukkan besarnya modal sendiri yang digunakan untuk mendanai
seluruh aktiva perusahaan, dengan anggapan bahwa semua aktiva akan dapat
direalisir sesuai dengan yang dilaporkan dalam neraca. Rasio ini juga dikenal
dengan istilah lain total equity to total asset ratio. Semakin tinggi nilai rasio ini,
maka semakin kecil jumlah pinjaman perusahaan yang digunakan untuk
mendanai seluruh aktiva perusahaan.
2.1.5.3 Evaluasi Kinerja Keuangan Menggunakan Rasio Keuangan
Menurut Kasmir (2013), untuk dapat mengevaluasi kondisi keuangan dan
kinerja perusahaan dengan rasio keuangan agar dapat digunakan pula untuk melihat
kondisi kesehatan perusahaan, diperlukan suatu standar perbandingan. Subramanyam
dan Wild (2013) menyatakan bahwa rasio keuangan akan lebih bermanfaat apabila
diinterpretasikan dalam perbandingan dengan: (1) rasio tahun sebelumnya, (2)
standar yang ditentukan sebelumnya, dan (3) rasio pesaing, yaitu yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
32
1) Perbandingan dengan rasio tahun sebelumnya atau yang dikenal pula dengan
perbandingan time-series, yaitu perbandingan rasio keuangan perusahaan dengan
menggunakan rasio historis perusahaan itu sendiri dari periode-periode
sebelumnya. Riyanto (2008) berpendapat bahwa dengan membandingkan rasio
sekarang (present ratio) dengan rasio-rasio dari waktu-waktu yang lalu (ratio
historis) atau dengan rasio-rasio yang diperkirakan untuk waktu-waktu yang
akan datang dari perusahaan itu sendiri, dapat digunakan untuk mengetahui
perubahan-perubahan dari rasio tersebut dari tahun ke tahun. Cara perbandingan
ini dilakukan untuk mengetahui arah perubahan kinerja perusahaan dari tahun ke
tahun, yaitu apakah mengalami kenaikan atau penurunan.
2) Perbandingan dengan standar yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu dengan
menggunakan suatu patokan atau pedoman umum yang dapat digunakan sebagai
benchmark untuk perbandingan tingkat rasio keuangan yang tepat.
3) Perbandingan dengan rasio pesaing atau yang dikenal pula dengan perbandingan
silang (cross-sectional), yaitu perbandingan rasio keuangan antar perusahaan
dengan cara membandingkan rasio-rasio semacam dari perusahaan lain yang
sejenis atau dengan rata-rata industri (average industry). Cara perbandingan ini
digunakan untuk mengetahui posisi perusahaan bersangkutan, yaitu apakah
berada di atas rata-rata industri (above average), berada pada rata-rata (average),
atau terletak di bawah rata-rata (below average) (Riyanto, 2008).
2.2
Penelitian Terdahulu
Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada hasil penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan oleh beberapa peneliti, yaitu diantaranya seperti yang tertera dalam
tabel berikut ini:
33
Tabel 2.2.1 Penelitian Terdahulu
No
Nama
Peneliti
(Tahun)
Judul
Penelitian
Metode
Penelitian
Hasil Penelitian
1.
Hendry
Andres
Maith
(2013)
Analisis
Laporan
Keuangan
dalam
Mengukur
Kinerja
Keuangan
pada PT.
Hanjaya
Mandala
Sampoerna
Tbk.
Metode
analisa
horizontal
1. Berdasarkan
rasio
likuiditas
setiap
tahunnya
mengalami
peningkatan sehingga keadaan
perusahaan dikategorikan dalam
keadaan baik (likuid).
2. Dari
rasio
solvabilitas
menunjukkan
bahwa
modal
perusahaan tidak lagi mencukupi
untuk menjamin hutang yang
diberikan oleh kreditor sehingga
keadaan perusahaan dikatakan
dalam keadaan tidak baik
(insolvabel).
3. Ditinjau dengan rasio aktivitas
menujukkan peningkatan di setiap
tahunnya
sehingga
keadaan
perusahaan dikatakan dalam
keadaan baik.
4. Berdasarkan rasio profitabilitas
menunjukkan adanya peningkatan
dari tahun ke tahun sehingga
dapat
dikatakan
keadaan
perusahaan berada pada posisi
yang baik.
2.
Marsel
Pongoh
(2013)
Analisis
Laporan
Keuangan
untuk
Menilai
Kinerja
Keuangan
PT. Bumi
Resources
Tbk.
Metode
analisis
deskriptif
kuantitatif
1. Berdasarkan
rasio
likuiditas
secara
keseluruhan
keadaan
perusahaan berada dalam keadaan
baik, meski selama kurun waktu
dari
tahun
2009-2011
berfluktuasi.
2. Berdasarkan rasio sovabilitas
keadaan perusahaan pada posisi
solvabel,
karena
modal
perusahaan dalam keadaan cukup
untuk menjamin hutang yang
diberikan oleh kreditor.
3. Rasio
profitabilitas
secara
keseluruhan dari tahun 2009-2011
keadaan perusahaan berada dalam
34
posisi baik karena mengalami
peningkatan seiring kemampuan
perusahaan dalam meningkatkan
laba
dan
efisiensi
dalam
menggunakan sumber daya.
3.
2.3
Anwar
Kadir
(2006)
Analisis
Tingkat
Kesehatan
Perusahaan
Pembangkit
Listrik di
Makassar
Metode
analisis
deskriptif
kuantitatif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berdasarkan Keputusan Menteri
Badan Usaha Milik Negara Nomor
Keputusan 100/MBU/2002 tanggal
14 juni, untuk tahun 2004 PT PLN
(Persero) Wil Sulsel & Sultra
dinyatakan berada pada tingkat sehat
“AA” dimana skor yang diperoleh
untuk semua aspek adalah 90,4 yang
terdiri dari skor keuangan =30,4 dan
skor operasional = 60.
Kerangka Konseptual
PT. PLN (Persero) merupakan perusahaan BUMN yang berbentuk persero
yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan dan pendistribusian tenaga listrik.
Setiap transaksi dan peristiwa yang terjadi di dalam PT. PLN (Persero) akan dicatat,
digolongkan, dan diringkas dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan PT.
PLN (Persero) akan lebih bermanfaat apabila di analisis dan dilakukan perbandingan
terhadapnya dengan suatu standar tertentu sehingga dapat dilakukan evaluasi
terhadap kinerja keuangan PT. PLN (Persero). Untuk itu, penelitian ini menggunakan
laporan keuangan PT. PLN (Persero) periode 2012 sebagai tahun dasar penelitian
untuk dibandingkan dengan laporan keuangan pada periode 2010 dan 2011. Alat
analisis laporan keuangan yang digunakan adalah dengan menggunakan 8 rasio
keuangan yang dianggap paling dominan dan dapat mewakili rasio-rasio keuangan
lainnya berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002.
Kedelapan rasio tersebut adalah ROE, ROI, rasio kas, rasio lancar, collection
35
periods, perputaran persediaan, perputaran total asset, dan rasio modal sendiri
terhadap total aktiva. Hasil dari analisis rasio tersebut nantinya akan digunakan untuk
mengevaluasi kinerja keuangan PT. PLN (Persero).
Secara ringkas kerangka konseptual dalam penelitian ini, dapat digambarkan
sebagai berikut:
PT. PLN (Persero)
Laporan Keuangan PT. PLN (Persero)
Periode 2010-2012
Penilaian Kinerja Keuangan dengan Rasio Keuangan Berdasarkan
Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002:
· ROE
· Collection periods
· ROI
· Perputaran persediaan
· Rasio kas
· Perputaran total asset
· Rasio lancar
· Rasio modal sendiri terhadap
total aktiva
Analisis Kinerja Keuangan PT. PLN
(Persero)
Gambar 2.3.1 Kerangka Konseptual
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.1.1 Variabel Penelitian
Sesuai dengan kerangka konseptual, maka variabel-variabel dalam penelitian
ini adalah :
1) Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE)
2) Imbalan investasi/ return on investment (ROI)
3) Rasio kas (cash ratio)
4) Rasio lancar (current ratio)
5) Collection periods (CP)
6) Perputaran persediaan (PP)
7) Perputaran total asset/ total assets turn over (TATO)
8) Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA)
3.1.2 Definisi Operasional
Definisi operasional masing-masing variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE), yaitu rasio yang
digunakan untuk menunjukkan besarnya pengembalian yang diperoleh pemilik
perusahaan (pemegang saham) atas jumlah ekuitas yang telah ditanamkan di
perusahaan.
Rumus untuk menghitung ROE sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 adalah:
36
37
*)
Pada PT. PLN (Persero) menggunakan akun “laba tahun berjalan dan jumlah
laba komprehensif atau income for the year and total comprehensive income”
untuk akun “laba setelah pajak”, sedangkan untuk akun “modal sendiri”, PT.
PLN (Persero) menggunakan istilah akun “jumlah ekuitas atau total equity”.
2) Imbalan investasi/ return on investment (ROI), yaitu rasio yang digunakan untuk
menunjukkan tingkat pengembalian dari bisnis atas seluruh investasi yang
ditanam dalam bentuk aktiva.
Rumus untuk menghitung ROI sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 adalah:
*)
Untuk akun “EBIT”, pada PT. PLN (Persero) menggunakan istilah akun “laba
sebelum pajak atau income before tax”. Sedangkan capital employed diperoleh
dari total aktiva dikurangi aktiva tetap dalam pelaksanaan, untuk akun “aktiva
tetap dalam pelaksanaan” pada PT. PLN (Persero) menggunakan istilah akun
“pekerjaan dalam pelaksanaan atau construction in progress”.
3) Rasio kas (cash ratio), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek yang akan segera atau
harus dipenuhi dengan menggunakan kas maupun setara kas lainnya yang
tersedia dalam perusahaan.
Rumus untuk menghitung rasio kas sesuai Keputusan Menteri BUMN No.
KEP-100/MBU/2002 adalah:
38
*)
Untuk akun “kas + bank + surat berharga jangka pendek”, PT. PLN (Persero)
menggunakan istilah akun “kas dan setara kas atau cash and cash equivalents”.
4) Rasio lancar (current ratio), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka pendek dengan
aktiva lancarnya.
Rumus untuk menghitung rasio lancar (current ratio) sesuai Keputusan Menteri
BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah:
5) Collection periods (CP), yaitu rasio yang digunakan untuk menunjukkan berapa
lama waktu yang diperlukan perusahaan untuk menagih atau mengumpulkan
piutangnya.
Rumus untuk menghitung collection periods (CP) sesuai Keputusan Menteri
BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah:
6) Perputaran persediaan (PP), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh
mana efisensi dan efektivitas perusahaan dalam mengelola persediaannya.
Rumus untuk menghitung perputaran persediaan (PP) sesuai Keputusan Menteri
BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah:
7) Perputaran total asset/ total assets turn over (TATO), yaitu rasio yang digunakan
untuk mengukur efisiensi perusahaan dalam mengelola aktivanya.
39
Rumus untuk menghitung total assets turn over (TATO) sesuai Keputusan
Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah:
*)
Pada PT. PLN (Persero), untuk capital employed diperoleh dari total aktiva
dikurangi aktiva tetap dalam pelaksanaan, sedangkan untuk akun “aktiva tetap
dalam pelaksanaan” pada PT. PLN (Persero) menggunakan istilah akun
“pekerjaan dalam pelaksanaan atau construction in progress”.
8) Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA), yaitu rasio
yang digunakan untuk menyatakan tingkat solvabilitas perusahaan dalam
menunjukkan besarnya modal sendiri yang digunakan untuk mendanai seluruh
aktiva perusahaan.
Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA) sesuai
Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
*)
Untuk akun “total modal sendiri”, pada PT. PLN (Persero) menggunakan
istilah akun “jumlah ekuitas atau total equity”.
3.2
Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, objek penelitian yang dipilih adalah PT. PLN (Persero).
Penentuan objek penelitian ini dilakukan secara
sengaja (purposive)
dengan
pertimbangan karena adanya ketersediaan PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa
Tengah dan D.I.Y sebagai sumber data PT. PLN (Persero). Sedangkan objek
penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah laporan keuangan PT. PLN
40
(Persero) periode 2010-2012 yang telah diaudit yang akan digunakan untuk
mengevaluasi kinerja PT. PLN (Persero) dari aspek keuangan dengan menggunakan
delapan rasio keuangan yang terdapat dalam Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002.
3.3
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu
data yang tidak diperoleh langsung dari sumbernya tetapi melalui media perantara
(data telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data) dan data yang telah
dipublikasikan. Data diperoleh melalui PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah
dan D.I.Y, yang beralamat di Jalan Teuku Umar no. 47 Semarang, dan situs resmi
PT. PLN (Persero), yaitu (http://www.pln.co.id) sebagai sumber data. Data dari PT.
PLN (Persero) yang diperlukan sebagai bahan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Gambaran umum PT. PLN (Persero), meliputi sejarah, visi, dan misi PT. PLN
(Persero).
2.
Struktur organisasi PT. PLN (Persero).
3.
Laporan tahunan PT. PLN (Persero) periode 2010-2012.
4.
Laporan keuangan PT. PLN (Persero) periode 2010-2012 yang telah diaudit.
3.4
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk melakukan penelitian ini,
dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.
Metode dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara mencatat
atau mendokumentasikan data yang sudah ada sehingga dapat diproses untuk
41
menyelesaikan penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
laporan tahunan dan laporan keuangan PT PLN (Persero) periode 2010-2012
yang telah diaudit.
2.
Studi kepustakaan (library research)
Studi kepustakaan adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
mempelajari dan menelaah literatur-literatur yang berhubungan dengan
penelitian ini.
3.5
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu yang bertujuan untuk
memberikan penjelasan secara deskriptif mengenai bagaimana hasil evaluasi kinerja
keuangan PT. PLN (Persero) apabila diukur menggunakan rasio keuangan sesuai
Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat
Kesehatan Badan Usaha Milik Negara. Sedangkan alat analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis rasio keuangan berdasarkan tata cara penilaian
kinerja keuangan BUMN dengan menggunakan 8 indikator rasio keuangan yang
telah diatur dalam Keputusan Menteri
BUMN No. KEP-100/MBU/2002, yaitu
dengan menggunakan indikator ROE, ROI, rasio kas, rasio lancar, collection periods,
perpuataran persediaan, perputaran total asset, dan rasio modal sendiri terhadap total
aktiva.
Sesuai kriteria yang ada pada Keputusan Menteri
BUMN No. KEP-
100/MBU/2002 tersebut, maka PT. PLN (Persero) termasuk kategori BUMN non
jasa keuangan yang bergerak di bidang infrastruktur dengan total skor bobot
penilaian 50, dengan rincian:
42
Tabel 3.5.1 Daftar Indikator dan Bobot Aspek Keuangan
Indikator
Bobot
1. Imbalan kepada pemegang saham (ROE)
15
2. Imbalan Investasi (ROI)
10
3. Rasio Kas
3
4. Rasio Lancar
4
5. Collection Periods
4
6. Perputaran persediaan
4
7. Perputaran total asset
4
8. Rasio modal sendiri terhadap total aktiva
6
Total Bobot
50
Sumber: Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP-100/MBU/2002
Sedangkan rincian skor pembobotan penilaian untuk masing-masing indikator
rasio keuangan yang akan digunakan adalah:
1) Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE), dengan rincian skor
penilaian:
Tabel 3.5.2 Daftar Skor Penilaian ROE
ROE (%)
Skor
15 < ROE
15
13 < ROE <= 15
13,5
11 < ROE <= 13
12
9
< ROE <= 11
10,5
7,9 < ROE <= 9
9
6,6 < ROE <= 7,9
7,5
5,3 < ROE <= 6,6
6
4
< ROE <= 5,3
5
2,5 < ROE <= 4
4
1
< ROE <= 2,5
3
0
< ROE <= 1
1,5
ROE < 0
1
Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002
2) Imbalan investasi/ return on investment (ROI), dengan rincian skor penilaian:
43
Tabel 3.5.3 Daftar Skor Penilaian ROI
ROI (%)
Skor
18
< ROI
10
15
< ROI <= 18
9
13
< ROI <= 15
8
12
< ROI <= 13
7
10,5 < ROI <= 12
6
9
< ROI <= 10,5
5
7
< ROI <= 9
4
5
< ROI <= 7
3,5
3
< ROI <= 5
3
1
< ROI <= 3
2,5
0
< ROI <= 1
2
ROI < 0
0
Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002
3) Rasio kas (cash ratio), dengan rincian skor penilaian:
Tabel 3.5.4 Daftar Skor Penilaian Cash Ratio
Cash Ratio = x (%)
Skor
x >= 35
3
25 <= x < 35
2,5
15 <= x < 25
2
10 <= x < 15
1,5
5
<= x < 10
1
0
<= x < 5
0
Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002
4) Rasio lancar (current ratio), dengan rincian skor penilaian:
Tabel 3.5.5 Daftar Skor Penilaian Current Ratio
Current Ratio = x (%)
Skor
125
<= x
3
110
<= x < 125
2,5
100
<= x < 110
2
95
<= x < 100
1,5
90
<= x < 95
1
x < 90
0
Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002
44
5) Collection periods (CP), dengan rincian skor penilaian:
Tabel 3.5.6 Daftar Skor Penilaian Collection Periods
CP = x
Perbaikan = x
Skor
(hari)
(hari)
x <= 60
x > 35
4
60 < x <= 90
30 < x <= 35
3,5
90 < x <= 120
25 < x <= 30
3
120 < x <= 150
20 < x <= 25
2,5
150 < x <= 180
15 < x <= 20
2
180 < x <= 210
10 < x <= 15
1,6
210 < x <= 240
6 < x <= 10
1,2
240 < x <= 270
3 < x <= 6
0,8
270 < x <= 300
1 < x <= 3
0,4
300 < x
0 < x <= 1
0
Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002
Berdasarkan tabel di atas, terdapat dua indikator yang dapat dipilih mana yang
terbaik untuk digunakan dalam melakukan penilaian terhadap rasio collection
periods dari kedua skor tersebut, yaitu dengan berdasarkan tingkat collection
periods atau berdasarkan perbaikan collection periods.
6) Perputaran persediaan (PP), dengan rincian skor penilaian:
Tabel 3.5.7 Daftar Skor Penilaian Perputaran Persediaan
PP = x
Perbaikan = x
Skor
(hari)
(hari)
x <= 60
35 < x
4
60 < x <= 90
30 < x <= 35
3,5
90 < x <= 120
25 < x <= 30
3
120 < x <= 150
20 < x <= 25
2,5
150 < x <= 180
15 < x <= 20
2
180 < x <= 210
10 < x <= 15
1,6
210 < x <= 240
6 < x <= 10
1,2
240 < x <= 270
3 < x <= 6
0,8
270 < x <= 300
1 < x <= 3
0,4
300 < x
0 < x <= 1
0
Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002
45
Berdasarkan tabel di atas, terdapat dua indikator yang dapat dipilih mana yang
terbaik untuk digunakan dalam melakukan penilaian terhadap rasio perputaran
persediaan dari kedua skor tersebut, yaitu dengan berdasarkan tingkat perputaran
persediaan atau berdasarkan perbaikan perputaran persediaan.
7) Perputaran total asset/ total asset turn over (TATO), dengan rincian skor
penilaian:
Tabel 3.5.8 Daftar Skor Penilaian Perputaran Total Asset
TATO = x
Perbaikan = x
Skor
(%)
(%)
120 < x
20 < x
4
105 < x <= 120
15 < x <= 20
3,5
90 < x <= 105
10 < x <= 15
3
75 < x <= 90
5 < x <= 10
2,5
60 < x <= 75
0 < x <= 5
2
40 < x <= 60
x <= 0
1,5
20 < x <= 40
x< 0
1
x <= 20
x< 0
0,5
Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002
Berdasarkan tabel di atas, terdapat dua indikator yang dapat dipilih mana yang
terbaik untuk digunakan dalam melakukan penilaian terhadap rasio perputaran
total asset dari kedua skor tersebut, yaitu dengan berdasarkan tingkat perputaran
total asset atau berdasarkan perbaikan perputaran total asset.
8) Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA), dengan
rincian skor penilaian:
46
Tabel 3.5.9 Daftar Skor Penilaian Rasio Modal Sendiri terhadap Total Asset
TMS thd TA (%) = x
Skor
x< 0
0
0
<= x < 10
2
10 <= x < 20
3
20 <= x < 30
4
30 <= x < 40
6
40 <= x < 50
5,5
50 <= x < 60
5
60 <= x < 70
4,5
70 <= x < 80
4,25
80 <= x < 90
4
90 <= x < 100
3,5
Sumber: Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002
Dari hasil total skor penilaian seluruh rasio keuangan tersebut, dapat
digunakan pula untuk menilai tingkat kesehatan kinerja keuangan PT. PLN (Persero).
Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP-100/MBU/2002
pasal 3, penilaian tingkat kesehatan BUMN dapat digolongkan menjadi :
a.
SEHAT, yang terdiri dari :
AAA apabila total (TS) lebih besar dari 95
b.
AA
apabila 80 < TS <= 95
A
apabila 65 < TS <= 80
KURANG SEHAT, yang terdiri dari :
BBB apabila 50 < TS <= 65
c.
BB
apabila 40 < TS <= 50
B
apabila 30 < TS <= 40
TIDAK SEHAT, yang terdiri dari :
CCC apabila 20 < TS <= 30
47
CC
apabila 10 < TS <= 20
C
apabila TS <= 10
Agar hasil penilaian kinerja keuangan yang telah dihitung dapat dinyatakan
apakah termasuk kategori sehat atau tidak sesuai aturan penilaian tingkat kesehatan
BUMN tersebut, maka total skor hasil penilaian kinerja keuangan yang akan
dianalisis dibagi dengan total skor bobot maksimum untuk penilaian kinerja dari
aspek keuangan sebesar 50% sebagai nilai ekuivalen.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Data Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum dan Sejarah PT. PLN (Persero)
PT. PLN (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
bergerak dalam bidang usaha penyediaan dan pendistribusian tenaga listrik dari
pusat-pusat pembangkit listrik yang bertenaga air, diesel, uap, tenaga angin maupun
tenaga surya, dengan bahan bakar minyak, batu bara, gas dan panas bumi ke
pengguna akhir yaitu kawasan industri, komersial, pemukiman maupun sarana publik
dengan harga yang terjangkau. Dalam usaha menyediakan tenaga listrik, PLN
membangun dan mengelola pembangkit listrik secara mandiri maupun melalui skema
kerjasama dengan pihak ketiga, termasuk membeli tenaga listrik dari pembangkit
milik swasta. Untuk mendistribusikan tenaga listrik kepada pelanggan, PLN
membangun dan mengelola jaringan transmisi dan distribusi di atas tanah maupun
kabel bawah tanah, lengkap dengan rangkaian pusat trafo dan gardu induk pengatur
tegangan dan beban atau daya listrik untuk kemudian disalurkan ke terminal instalasi
listrik domestik di tempat pelanggan. Usaha ketenagalistrikan yang dikelola PLN
melingkupi jaringan listrik mulai dari pusat pembangkit milik sendiri maupun milik
swasta, jaringan transmisi dan distribusi serta jasa kelistrikan terkait, dengan daerah
operasi mencakup seluruh wilayah Indonesia, mulai dari perkotaan hingga ke area
terpencil.
Sejarah perkembangan ketenagalistrikan di Indonesia bermula sejak akhir
abad ke-19, melalui pembangunan pembangkit listrik untuk keperluan sendiri di
48
49
beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pabrik gula dan
perkebunan teh. Hingga kemudian antara tahun 1942-1945 terjadi peralihan
pengelolaan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut oleh Jepang, setelah Belanda
menyerah kepada pasukan tentara Jepang di awal Perang Dunia II.
Proses peralihan kekuasaan kembali terjadi di akhir Perang Dunia II pada
Agustus 1945, saat Jepang menyerah kepada Sekutu. Seiring dengan kekalahan
Jepang dalam Perang Dunia II, di akhir tahun 1945, kesempatan ini dimanfaatkan
oleh para pemuda dan buruh listrik melalui delegasi Buruh/Pegawai Listrik dan Gas
yang bersama-sama dengan Pimpinan KNI Pusat berinisiatif menghadap Presiden
Soekarno untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan tersebut kepada Pemerintah
Republik Indonesia.
Pada tanggal 27 Oktober 1945, Presiden Soekarno kemudian membentuk
Jawatan Listrik dan Gas, yang berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan
Tenaga dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik saat itu adalah sebesar 157,5
MW. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1961, maka pada tanggal 1 Januari
1961, Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi BPU-PLN (Badan Pimpinan Umum
Perusahaan Listrik Negara) dengan bidang usaha penyediaan listrik, gas dan kokas.
Pada tanggal 1 Januari 1965 BPU-PLN dibubarkan, diikuti pembentukan 2 (dua)
perusahaan negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola tenaga
listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai pengelola gas.
Pada tahun 1970, status Perusahaan berubah menjadi Perusahaan Umum
(Perum) sesuai ketetapan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1970 dan pada tahun
1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17, status Perusahaan Listrik Negara
(PLN) berubah menjadi Perusahaan Umum Listrik Negara, bertindak sebagai
50
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan
tenaga listrik bagi kepentingan umum. Tahun 1994 pemerintah memberikan
kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik.
Sehingga, sejak tahun 1994 status PLN beralih dari Perusahaan Umum menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik
bagi kepentingan umum. Kemudian berdasarkan akta No. 169 tanggal 30 Juli 1994
dari Sutjipto S.H., notaris di Jakarta, status badan hukum Perusahaan berubah
menjadi Perseroan Terbatas dengan nama Perusahaan Perseroan PT. Perusahaan
Listrik Negara disingkat PT. PLN (Persero).
Seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan, kini PLN bukan lagi sebagai PKUK namun sebagai Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan
umum hingga sekarang. Total daya pembangkit milik PLN yang dikelola sampai
akhir tahun 2012 telah berkembang menjadi 32.901 MW.
4.1.2 Visi, Misi, dan Moto PT. PLN (Persero)
Adapun visi, misi, dan moto pada PT. PLN (Persero) adalah:
Tabel 4.1.2.1 Visi, Misi, dan Moto PT. PLN (Persero)
Visi
Diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, unggul dan
terpercaya dengan bertumpu pada potensi insani.
Misi
1. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait, berorientasi
pada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan, dan pemegang saham.
2. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat.
3. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi.
4. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan.
Moto
Listrik untuk kehidupan yang lebih baik.
Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014
51
*)
Penjabaran visi perusahaan:
1.
Diakui
Mencerminkan cita-cita untuk meraih pengakuan dari pihak luar yang
menunjukkan bahwa PLN pantas dipandang sebagai Perusahaan Kelas Dunia.
2.
Kelas Dunia
a. Menunjukkan
kinerja
yang
melebihi
ekspektasi
pihak-pihak
yang
berkepentingan.
b. Memberikan layanan yang mudah, terpadu, dan tuntas dalam berbagai
masalah kelistrikan.
c. Menjalin hubungan kemitraan yang akrab dan setara dengan pelanggan serta
mitra usaha Nasional dan Internasional.
d. Bekerja dengan pola pikir prima (Mindset of Excellence).
e. Diakui oleh pelanggan dan mitra kerja sebagai perusahaan yang mampu
memenuhi standar mutakhir dan paling baik.
3.
Bertumbuh Kembang
a. Antisipatif terhadap perkembangan lingkungan usaha dan selalu siap
menghadapi berbagai tantangan.
b. Secara konsisten menunjukkan kinerja yang lebih baik.
4.
Unggul
a. Menjadi yang terbaik dalam bisnis ketenagalistrikan dan memenuhi tolok
ukur mutakhir dan terbaik.
b. Memposisikan diri sebagai Perusahaan yang terkemuka dalam percaturan
bisnis kelistrikan dunia.
52
c. Mengelola usaha dengan mengedepankan pemberdayaan potensi insani
secara maksimal.
d. Meningkatkan kualitas proses, sistem, produk, dan pelayanan secara
berkesinambungan.
5.
Terpercaya
a. Memegang teguh etika bisnis yang tertinggi.
b. Menghasilkan kinerja terbaik secara konsisten.
c. Menjadi Perusahaan pilihan.
6.
Potensi Insani
a. Keberhasilan perusahaan lebih ditentukan oleh kesadaran anggota perusahaan
untuk memunculkan seluruh potensi mereka dalam wujud wawasan aspiratif
dan etikal, rasa kompeten, motivasi kerja, semangat belajar inovatif dan
semangat bekerja sama.
b. Potensi insani diperkaya dengan kompetensi yang terbentuk dari pengetahuan
substantial,
pengetahuan
kontekstual,
keterampilan,
kemampuan,
pengalaman, dan jejaring kerja sama.
4.1.3 Struktur Organisasi PT. PLN (Persero)
Struktur organisasi pada PT. PLN (Persero) adalah sebagai berikut:
53
Kepala Satuan
Pengawasan
Intern
Direktur Utama
Direktur SDM
dan Umum
Direktur
Konstruksi
Direktur
Pengadaan
Strategis
Direktur
Operasi Jawa
Bali
Direktur
Operasi
Indonesia Barat
Direktur Operasi
Indonesia Timur
Direktur
Bisnis dan
Manajemen
Risiko
Direktur
Keuangan
Kepala Divisi
Pengembangan
Organisasi
Kepala Divisi
Kepala
Konstruksi
Divisi Gas &
dan IPP JawaBBM
Bali
Kepala Divisi
Pembangkitan
Jawa-Bali
Kepala Divisi
Pembangkitan
Indonesia Barat
Kepala Divisi
Pembangkitan
Indonesia Timur
Kepala Divisi
Niaga
Kepala Divisi
Keuangan
Korporat
Kepala Divisi
Pengembangan
Sistem SDM
Kepala Divisi
Energi Baru
Terbarukan
Kepala
Divisi
Pengadaan
Strategis
Kepala Divisi
Transmisi JawaBali
Kepala Divisi
Transmisi
Indonesia Barat
Kepala Divisi
Transmisi
Indonesia Timur
Kepala Divisi
Manajemen
Risiko
Kepala Divisi
Perencanaan
Pengendalian
Anggaran
Kepala Divisi
Pengembangan
SDM dan
Talenta
Kepala Divisi
Konstruksi
dan IPP
Indonesia
Barat
Kepala
Divisi
Pengadaan
IPP
Kepala Divisi
Distribusi dan
Pelayanan
Pelanggan
Jawa-Bali
Kepala Divisi
Distribusi dan
Pelayanan
Pelanggan
Indonesia Barat
Kepala Divisi
Distribusi dan
Pelayanan
Pelanggan
Indonesia Timur
Kepala Divisi
Perencanaan
Strategis
Korporasi
Kepala Divisi
Akuntansi, Pajak,
dan Asuransi
Kepala Divisi
Umum dan
Manajemen
Kantor Pusat
Kepala Divisi
Konstruksi
dan IPP
Indonesia
Timur
Kepala
Divisi Bisnis
dan
Transaksi
Tenaga
Listrik
Kepala Divisi
Perencanaan
Sistem
Kepala Divisi
Perbendaharaan
Kepala Divisi
Administrasi
Kontruksi
Kepala
Divisi
Batubara
Kepala Divisi
Perencanaan
Pengadaan
Strategis
Enjiniring dan
Teknologi
Kepala Divisi
Sitem Informasi
Unit Bisnis
Pembangkit
Unit Bisnis
PLN Wilayah
Unit Bisnis
PLN Proyek
Induk
PLN Pusat
Pendidikan dan
Pelatihan
Anak
Perusahaan
Unit Bisnis
PLN
Penyaluran
Unit Bisnis
PLN Distribusi
Unit Bisnis
Penunjang
PLN Pusat
Penelitian dan
Pengembangan
Ketenagalistrikan
Usaha-usaha
Patungan
Gambar 4.1.3.1 Struktur Organisasi PT. PLN (Persero)
4.1.4 Bidang Usaha PT. PLN (Persero)
Sesuai Undang-undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan
berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, bidang usaha PT. PLN (Persero) adalah:
1.
Menjalankan usaha penyediaan tenaga listrik yang mencakup:
a. Pembangkitan tenaga listrik.
b. Penyaluran tenaga listrik.
Sekretaris
Perusahaan
Kepala Satuan
Pengendalian
Kinerja
Korporat
Kepala Satuan
Pelayanan
Hukum
Korporat
54
c. Distribusi tenaga listrik.
d. Perencanaan dan pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik.
e. Pengembangan penyediaan tenaga listrik.
f. Penjualan tenaga listrik.
2.
Menjalankan usaha penunjang tenaga listrik yang mencakup:
a. Konsultansi ketenagalistrikan.
b. Pembangunan dan pemasangan peralatan ketenagalistrikan.
c. Pemeriksaan dan pengujian peralatan ketenagalistrikan.
d. Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan ketenagalistrikan.
e. Laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat tenaga listrik.
f. Sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik.
g. Sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan.
3.
Kegiatan-kegiatan lainnya mencakup:
a. Pengelolaan dan pemanfaatan SDA dan sumber energi lainnya untuk tenaga
listrik.
b. Jasa operasi dan pengaturan (dispatcher) pada pembangkitan, penyaluran,
distribusi dan retail tenaga listrik.
c. Industri perangkat keras, lunak dan lainnya di bidang ketenagalistrikan.
d. Kerja sama dengan pihak lain atau badan penyelenggara bidang
ketenagalistrikan di bidang pembangunan, operasional, telekomunikasi dan
informasi terkait dengan ketenagalistrikan.
e. Usaha jasa ketenagalistrikan.
55
Lebih lanjut lagi, bidang usaha PLN juga mencakup:
1.
Kegiatan perencanaan pengembangan fasilitas tenaga listrik
transmisi
dan
distribusi
umum)
dan
penunjang,
(pembangkitan,
rencana
pendanaan,
pengembangan usaha, pengembangan organisasi, dan SDM.
2.
Kegiatan
pembangunan
konstruksi
sarana
penyediaan
tenaga
listrik
pembangkitan, transmisi dan gardu induk.
3.
Kegiatan pengusahaan/operasi pusat-pusat pembangkit tenaga
listrik yang
terdiri dari: Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA),
Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG - gas turbine), Pusat Listrik Tenaga Panas
Bumi (PLTP), Pusat Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pusat Listrik Tenaga Surya
(PLTS), dan Pusat Listrik Tenaga Bayu (PLTB). PLN juga menjalankan
kegiatan sewa pembangkit dan pembelian tenaga listrik yang diproduksi oleh
pusat-pusat pembangkit tenaga listrik swasta.
4.
Kegiatan riset dan penunjang berkaitan dengan bidang kelistrikan.
4.1.5 Unit Bisnis dan Anak Perusahaan PT. PLN (Persero)
4.1.5.1 Unit Bisnis PT. PLN (Persero)
PT. PLN (Persero) memiliki 46 unit bisnis yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia, yang terdiri dari:
PLN Wilayah dan Distribusi
1.
Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam
2.
Wilayah Sumatera Utara
3.
Wilayah Sumatera Barat
4.
Wilayah Riau dan Kepulauan Riau
5.
Wilayah Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu
56
6.
Wilayah Bangka Belitung
7.
Wilayah Kalimantan Barat
8.
Wilayah Kalimantan Timur
9.
Wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah
10. Wilayah Nusa Tenggara Timur
11. Wilayah Maluku dan Maluku Utara
12. Wilayah Nusa Tenggara Barat
13. Wilayah Papua
14. Wilayah Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat
15. Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, dan Gorontalo
16. Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang
17. Distribusi Jawa Barat dan Banten
18. Distribusi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta
19. Distribusi Jawa Timur
20. Distribusi Bali
21. Distribusi Lampung
PLN Unit Induk Pembangunan Jaringan
22. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Sumatera Utara dan Aceh
23. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara
24. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Sumatera Selatan-Sumatera Barat
25. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Kalimantan
26. UIP Pembangkit & Jaringan Nusa Tenggara
27. Proyek Induk Pembangkitan dan Jaringan Sulawesi, Maluku, dan Papua
(SULMAPA)
57
PLN Pembangkitan
28. Pembangktian Sumatera Bagian Utara
29. Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan
30. Pembangkitan Muara Tawar
31. Pembangkitan Tanjung Jati B
32. Unit Pembangkitan Cilegon
PLN Unit Induk Pembangunan Pembangkitan
33. Unit Induk Pembangunan Pembangkitan Sumatera 1 (KIT Sumatera 1)
34. Unit Induk Pembangunan Pembangkitan Sumatera 2 (KIT Sumatera2)
35. Unit Induk Pembangunan Pembangkitan Sulawesi, Maluku dan Papua (KIT
SULMAPA)
36. Pembangkitan Hydro Jawa Bali
37. Pembangkitan Thermal Jawa Bali
PLN Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B)
38. Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali (P3B Jawa Bali)
39. Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Sumatera (P3B Sumatera)
PLN Jasa
40. Pusat Pendidikan dan Pelatihan
41. Jasa Enjiniring
42. Pemeliharaan Ketenagalistrikan
43. Penelitian dan Pengembangan Ketenagalistrikan
44. Jasa Manajemen Konstruksi
45. Jasa Sertifikasi
PLN Unit Induk Pembangunan Tegangan Ekstra Tinggi Interkoneksi
58
46. Unit Induk Pembangunan Tegangan Ekstra Tinggi Interkoneksi Jawa
Sumatera
4.1.5.2 Anak Perusahaan PT. PLN (Persero)
PT. PLN (Persero) memiliki 11 anak perusahaan dengan kepemilikan
mayoritas. Bidang usaha anak-anak perusahaan PLN bervariasi, yaitu pembangkit
listrik, bidang keuangan, rancang bangun, pemasokan batu bara dan konstruksi, yang
terdiri dari:
1.
PT Indonesia Power
2.
PT Pembangkitan Jawa Bali
3.
PT Indonesia Comnets Plus
4.
PT Pelayanan Listrik Nasional Batam
5.
PT Prima Layanan Nasional Enjiniring
6.
PT Pelayanan Listrik Nasional Tarakan
7.
PT PLN Batu Bara
8.
PT PLN Geothermal
9.
Majapahit Holding BV
10. PT Pelayaran Bahtera Adhiguna
11. PT Haleyora Power
4.2
Hasil Penelitian
Untuk dapat melakukan analisis kinerja keuangan pada PT. PLN (Persero)
selama periode 2010-2012, dalam penelitian ini mengacu pada tata cara penilaian
kinerja keuangan BUMN dengan menggunakan delapan indikator analisis rasio
keuangan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang
Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN. Kedelapan indikator tersebut merupakan rasio
59
keuangan yang dianggap paling dominan dan dapat mewakili rasio-rasio keuangan
dalam menilai kinerja keuangan BUMN, yaitu ROE, ROI, rasio kas, rasio lancar,
collection periods, perputaran persediaan, perputaran total asset, dan rasio modal
sendiri terhadap total aktiva.
Berdasakan data sekunder yang telah diperoleh, perhitungan rasio-rasio
keuangan tersebut selama tiga tahun, yaitu dari tahun 2010 sampai 2012 adalah
sebagai berikut:
1.
Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE)
ROE digunakan untuk menunjukkan besarnya pengembalian yang diperoleh
pemilik perusahaan (pemegang saham) atas jumlah ekuitas yang telah
ditanamkan di perusahaan. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin besar tingkat
pengembalian yang diperoleh pemilik perusahaan (pemegang saham).
Rumus yang digunakan untuk menghitung imbalan kepada pemegang saham/
return on equity (ROE) perusahaan adalah:
Adapun hasil perhitungan besarnya ROE perusahaan selama periode 2010-2012
dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 4.2.1 Perhitungan ROE
Keterangan
2010
10.093.018
Tahun
2011
5.426.115
2012
3.205.524
Laba Tahun Berjalan dan
Jumlah Laba Komprehensif (a)*)
Jumlah Ekuitas (b)*)
149.682.595 146.012.836 150.599.670
ROE (%)
6,74
3,72
2,13
(c) = ((a) : (b)) x 100%
Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014
60
*)
2.
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Imbalan investasi/ return on investment (ROI)
ROI digunakan untuk menunjukkan tingkat pengembalian dari bisnis atas
seluruh investasi yang ditanam dalam bentuk aktiva. Semakin tinggi rasio ini,
mengindikasikan semakin besar kemampuan perusahaan mencetak laba.
Rumus yang digunakan untuk menghitung imbalan investasi/ return on
investment (ROI) perusahaan adalah:
Atau
Adapun hasil perhitungan besarnya ROI perusahaan selama periode 2010-2012
dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 4.2.2 Perhitungan ROI
Keterangan
*)
Laba Sebelum Pajak (a)
Penyusutan (b)*)
Laba Sebelum Pajak +
Penyusutan*)
2010
11.406.192
12.558.537
23.964.729
Tahun
2011
5.514.995
16.254.552
21.769.547
2012
1.031.728
19.499.221
20.530.949
(c) = (a) + (b)
Jumlah Aset (d)*)
369.190.582 467.782.603 540.705.764
*)
Pekerjaan dalam Pelaksanaan (e)
106.839.853 98.057.296 102.810.172
*)
Capital Employed
262.350.729 369.725.307 437.895.592
(f) = (d) - (e)
ROI (%)
9,13
5,89
4,69
(g) = ((c) : (f)) x 100%
Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
61
3.
Rasio kas (cash ratio)
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar
kewajiban jangka pendek yang akan segera atau harus dipenuhi dengan
menggunakan kas maupun setara kas lainnya yang tersedia dalam perusahaan.
Kas dan setara kas merupakan aktiva perusahaan yang paling cair (likuid).
Semakin tinggi rasio ini, maka semakin besar kemampuan perusahaan
membayar kewajibannya dengan menggunakan kas maupun setara kas lainnya.
Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio kas (cash ratio) perusahaan
adalah:
Adapun hasil perhitungan besarnya cash ratio perusahaan selama periode 20102012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 4.2.3 Perhitungan Cash Ratio
Keterangan
*)
Kas dan Setara Kas
(a)
Current Liabilities (Liabilitas
Jangka Pendek)*)
2010
19.716.798
Tahun
2011
22.088.093
2012
22.639.853
54.949.838
63.550.433
74.602.903
(b)
Cash Ratio (%)
35,88
34,76
(c) = ((a) : (b)) x 100%
Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014
*)
4.
30,35
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Rasio lancar (current ratio)
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar
kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancarnya. Semakin tinggi rasio ini,
62
maka semakin besar kemampuan perusahaan membayar setiap utangnya dengan
aktiva lancarnya.
Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio lancar (current ratio)
perusahaan adalah:
Adapun hasil perhitungan besarnya current ratio perusahaan selama periode
2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 4.2.4 Perhitungan Current Ratio
Keterangan
*)
Current Assets (Aset Lancar)
(a)
Current Liabilities (Liabilitas
Jangka Pendek)*)
2010
44.773.286
Tahun
2011
58.252.342
2012
68.639.956
54.949.838
63.550.433
74.602.903
(b)
Current Ratio (%)
81,48
91,66
(c) = ((a) : (b)) x 100%
Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014
*)
5.
92,01
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Collection periods (CP)
Collection periods digunakan untuk menunjukkan berapa lama waktu yang
diperlukan perusahaan untuk menagih atau mengumpulkan piutangnya. Semakin
besar rasio ini, mengindikasikan semakin kecil kemampuan penagihan
perusahaan akan piutangnya.
Rumus yang digunakan untuk menghitung collection periods (CP) perusahaan
adalah:
63
Adapun hasil perhitungan besarnya collection periods perusahaan selama
periode 2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 4.2.5 Perhitungan Collection Periods
Keterangan
*)
2010
2.875.168
Tahun
2011
3.504.823
2012
3.851.920
Piutang Usaha
(a)
Pendapatan Usaha*)
162.375.294 208.017.823 232.656.456
(b)
Collection Periods (hari)
6,46
6,15
6,04
(c) = ((a) : (b)) x 365 hari
Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014
*)
6.
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Perputaran persediaan (PP)
Perputaran persediaan digunakan untuk mengukur sejauh mana efisensi dan
efektivitas perusahaan dalam mengelola persediaannya. Semakin rendah rasio
ini, maka semakin cepat persediaan berputar.
Rumus yang digunakan untuk menghitung perputaran persediaan (PP)
perusahaan adalah:
Adapun hasil perhitungan besarnya perputaran persediaan perusahaan selama
periode 2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
64
Tabel 4.2.6 Perhitungan Perputaran Persediaan
Keterangan
*)
2010
9.927.314
Tahun
2011
15.654.105
2012
16.738.446
Persediaan
(a)
Pendapatan Usaha*)
162.375.294 208.017.823 232.656.456
(b)
Perputaran Persediaan (hari)
22,32
27,47
26,26
(c) = ((a) : (b)) x 365 hari
Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014
*)
7.
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Perputaran total asset/ total asset turn over (TATO)
Rasio ini digunakan untuk mengukur efisiensi perusahaan dalam mengelola
aktivanya. Semakin besar rasio ini, maka semakin efisien seluruh aktiva yang
digunakan untuk menghasilkan pendapatan perusahaan.
Rumus yang digunakan untuk menghitung perputaran total asset/ total asset turn
over (TATO) perusahaan adalah:
Atau
Adapun hasil perhitungan besarnya TATO perusahaan selama periode 20102012 dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
65
Tabel 4.2.7 Perhitungan TATO
Keterangan
Tahun
2010
2011
2012
162.375.294 208.017.823 232.656.456
Pendapatan Usaha*)
(a)
Jumlah Aset (b)*)
369.190.582 467.782.603 540.705.764
*)
Pekerjaan dalam Pelaksanaan
106.839.853 98.057.296 102.810.172
(c)
Capital Employed*)
262.350.729 369.725.307 437.895.592
(d) = (b) - (c)
TATO (%)
61,89
56,26
53,13
(e) = ((a) : (d)) x 100%
Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014
*)
8.
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA)
Rasio ini digunakan untuk menunjukkan besarnya modal sendiri yang digunakan
untuk mendanai seluruh aktiva perusahaan. Semakin tinggi rasio ini, maka
semakin kecil jumlah pinjaman perusahaan yang digunakan untuk mendanai
seluruh aktiva perusahaan.
Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio total modal sendiri terhadap
total asset (TMS terhadap TA) perusahaan adalah:
Adapun hasil perhitungan besarnya rasio total modal sendiri terhadap total asset
perusahaan selama periode 2010-2012 dapat disajikan dalam bentuk tabel
berikut ini:
66
Tabel 4.2.8 Perhitungan TMS terhadap TA
Keterangan
Tahun
2010
2011
2012
149.682.595 146.012.836 150.599.670
Jumlah Ekuitas*)
(a)
Jumlah Aset*)
369.190.582 467.782.603 540.705.764
(b)
TMS terhadap TA (%)
40,54
31,21
27,85
(c) = ((a) : (b)) x 100%
Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2014
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Sehingga secara ringkas, hasil perhitungan kedelapan indikator rasio keuangan
pada PT. PLN (Persero) selama periode 2010-2012 dapat dirangkum sebagai
berikut:
Tabel 4.2.9 Hasil Perhitungan Rasio-rasio Keuangan
Tahun
2010
2011
2012
ROE
6,74 %
3,72 %
2,13 %
ROI
9,13 %
5,89 %
4,69 %
Cash Ratio
35,88 %
34,76 %
30,35 %
Current Ratio
81,48 %
91,66 %
92,01 %
Collection Periods
6,46 hari
6,15 hari
6,04 hari
Perputaran Persediaan
22,32 hari
27,47 hari
26,26 hari
TATO
61,89 %
56,26 %
53,13 %
TMS terhadap TA
40,54 %
31,21 %
27,85 %
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.1 s.d. Tabel 4.2.8)
Rasio
4.3
Pembahasan
Berdasarkan data sekunder yang telah diperoleh dan hasil penelitian yang
telah dilakukan, sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, tanggal
4 Juni 2002, tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara,
penilaian terhadap kinerja keuangan PT. PLN (Persero) sebagai salah satu BUMN
67
yang termasuk kategori BUMN non jasa keuangan yang bergerak di bidang
infrastruktur dibagi menjadi delapan indikator dengan total skor bobot penilaian 50
seperti yang telah dirinci pada Tabel 3.5.1. Untuk pembagian kriteria skor penilaian
masing-masing indikator telah dijelaskan pada Tabel 3.5.2 sampai dengan Tabel
3.5.9. Adapun hasil penilaian kinerja keuangan PT. PLN (Persero) selama 2010-2012
untuk masing-masing indikator beserta hasil analisisnya adalah sebagai berikut:
1.
Imbalan kepada pemegang saham/ return on equity (ROE)
ROE merupakan salah satu komponen indikator yang digunakan dalam
melakukan penilaian kinerja keuangan dalam penelitian ini. ROE dapat
digunakan untuk menggambarkan bagaimana kondisi kinerja keuangan PT. PLN
(Persero) dilihat dari kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba untuk
memberikan imbalan kepada pemilik perusahaan (pemegang sahamnya). Untuk
dapat menghitung berapa nilai rasio ROE yang diperoleh perusahaan, diperlukan
akun laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif dan jumlah ekuitas. Pada
PT. PLN (Persero), laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif adalah
total laba berjalan termasuk pendapatan komprehensif yang akan diatribusikan
kepada pemilik entitas induk dan untuk kepentingan nonpengendali. Sedangkan
ekuitas adalah jumlah modal sendiri yang dimiliki perusahan yang terdiri atas
modal ditempatkan dan disetor penuh, tambahan modal disetor, dan saldo laba
(baik yang telah ditentukan penggunaannya maupun belum ditentukan
penggunaannya) yang digunakan untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan
memastikan pelaksanaan program pengembangan usaha.
Berdasarkan hasil perhitungan rasio ROE pada PT. PLN (Persero) yang terdapat
pada Tabel 4.2.1, nilai rasio ROE PT. PLN (Persero) untuk tahun 2010 adalah
68
6,74%. Sesuai tata cara skor penilaian untuk indikator ROE menurut Keputusan
Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan
Badan Usaha Milik Negara (lihat Tabel 3.5.2), nilai rasio ROE pada tahun 2010
mendapat skor 7,5 karena berada pada posisi interval 6,6 < ROE ≤ 7,9. Pada
tahun 2011, nilai rasio ini mengalami penurunan cukup signifikan yaitu menjadi
3,72%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011, untuk skor penilaian rasio ini
juga mengalami penurunan cukup signifikan yaitu memperoleh skor 4 karena
berada pada posisi interval 2,5 < ROE ≤ 4. Kemudian pada tahun 2012, dari
hasil perhitungan rasio ROE juga menunjukkan terjadinya penurunan nilai
menjadi 2,13% dengan skor perolehan 3 karena berada pada posisi interval 1 <
ROE ≤ 2,5. Penurunan nilai dan skor rasio ini yang terjadi berturut-turut selama
tiga periode terakhir, menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba dengan menggunakan ekuitas atau modal sendiri mengalami
penurunan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa tingkat kembalian (imbalan)
yang diberikan kepada pemilik perusahaan (pemegang saham) selama tiga
periode berturut-turut semakin menurun. Untuk lebih jelasnya, pemaparan hasil
skor penilaian rasio ROE ini akan disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 4.3.1 Perhitungan Skor Penilaian ROE
Tahun
ROE (%)
Posisi interval
Skor
2010
6,74
6,6 < ROE <= 7,9
7,5
2011
3,72
2,5 < ROE <= 4
4
2012
2,13
1 < ROE <= 2,5
3
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.2 dan Tabel 4.2.9)
Adapun hasil analisis terhadap perubahan rasio ROE perusahaan dari tahun 2010
hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
69
Tabel 4.3.2 Perubahan ROE dari Tahun 2010 ke 2011
Tahun
Keterangan
Laba Tahun Berjalan
dan Jumlah Laba
Komprehensif*)
)
Jumlah Ekuitas*
ROE (%)
2010
Perubahan 2010-2011
Hasil
Nilai
5.426.115
Turun
-4.666.903
-46,24
149.682.595 146.012.836
Turun
-3.669.759
-2,45
3,72 Turun
-3,02
-44,81
10.093.018
6,74
2011
% Persentase
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.1)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai ROE perusahaan beserta akun-akun
komponennya pada Tabel 4.3.2 di atas, bahwa penurunan nilai rasio ROE
perusahaan yang terjadi dari tahun 2010 hingga 2011 adalah sebesar 3,02%. Hal
ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan laba bagi pemilik
perusahaan (pemegang saham) dari setiap Rp 1,00 modal atau jumlah ekuitas
yang ditanamkan pada perusahaan sebesar Rp 0,0302 atau 44,81% dari tahun
2010. Penurunan ROE tahun 2011 terhadap tahun 2010 ini disebabkan adanya
penurunan pada laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif yang lebih
besar daripada penurunan jumlah ekuitasnya. Pada tahun 2010-2011 terjadi
penurunan laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif yang cukup
signifikan sebesar Rp 4.666.903 juta atau sebesar 46,24% dari tahun 2010.
Sedangkan penurunan jumlah ekuitas tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah
sebesar Rp 3.669.759 juta atau 2,45% dari tahun 2010.
Sedangkan pada tahun 2011 hingga 2012, nilai rasio ROE mengalami penurunan
sebesar 1,59% (penurunan yang terjadi pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 ini
sedikit berkurang apabila dibandingkan penurunan yang terjadi pada tahun 2011
70
terhadap tahun 2010 sebesar 3,02%). Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012
terjadi penurunan laba bagi pemilik perusahaan (pemegang saham) dari setiap
Rp 1,00 modal atau jumlah ekuitas yang ditanamkan pada perusahaan sebesar
Rp 0,0159 atau 42,74% dari tahun 2011. Penurunan ROE tahun 2012 terhadap
tahun 2011 ini disebabkan adanya penurunan pada laba tahun berjalan dan
jumlah laba komprehensif namun disertai dengan kenaikan pada jumlah
ekuitasnya. Kenaikan jumlah ekuitas yang terjadi pada tahun 2012 terhadap
tahun 2011 adalah sebesar Rp 4.586.834 juta atau 3,14% dari tahun 2011.
Sedangkan pada laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif mengalami
penurunan yang masih cukup signifikan dari sebelumnya sebesar Rp 2.220.591
juta atau sebesar 40,92% dari tahun 2011.
Adapun pemaparan dari hasil analisis terhadap perubahan rasio ROE perusahaan
dari tahun 2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.3 Perubahan ROE dari Tahun 2011 ke 2012
Tahun
Keterangan
Laba Tahun Berjalan
dan Jumlah Laba
Komprehensif*)
)
Jumlah Ekuitas*
ROE (%)
2011
Perubahan 2011-2012
Hasil
Nilai
3.205.524
Turun
-2.220.591
-40,92
146.012.836 150.599.670
Naik
4.586.834
3,14
-1,59
-42,74
5.426.115
3,72
2012
2,13 Turun
% Persentase
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.1)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Penurunan laba tahun berjalan dan jumlah laba komprehensif pada tahun 2011
dan tahun 2012 terjadi terutama sehubungan dengan adanya fluktuasi kurs mata
uang rupiah terhadap berbagai mata uang asing sehingga perusahaan mencatat
71
kerugian kurs mata uang asing bersih sebesar 181,92% menjadi Rp 1.833.390
juta pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 kerugian naik sebesar 223,91%
menjadi Rp 5.938.482 juta, adanya peningkatan pada beban keuangan
perusahaan sebesar 188,83% menjadi Rp 17.361.067 juta pada tahun 2011 dan
kenaikan sebesar 41,77% menjadi Rp 24.612.091 juta pada tahun 2012, serta
adanya peningkatan beban usaha karena adanya kenaikan beban bahan bakar dan
pelumas pada tahun 2011 sebesar Rp 46.966.877 juta menjadi Rp 131.157.604
juta dan pada tahun 2012 naik sebesar Rp 5.377.891 juta dari tahun 2011
menjadi Rp 136.535.496 juta akibat adanya kenaikan harga BBM disertai
adanya peningkatan biaya pembelian bahan bakar non-BBM (batubara dan gas)
sehubungan dengan semakin bertambahnya jumlah pembangkit listrik yang
dikonversikan menjadi berbahan bakar non-BBM sebagai wujud mulai
terealisasinya proyek percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap I
(Fast Track Program Tahap I atau disingkat FTP-1), dan selain itu, pada tahun
2012 terjadi peningkatan pembelian tenaga listrik yang sangat tinggi sebesar
133,91% dari tahun 2011 mencapai Rp 2.939.624 juta akibat kebutuhan listrik
yang terus meningkat.
2.
Imbalan investasi/ return on investment (ROI)
ROI merupakan salah satu komponen indikator penilaian kinerja keuangan
dalam penelitian ini yang dapat digunakan untuk menggambarkan kemampuan
PT. PLN (Persero) dalam menghasilkan laba untuk memberikan imbalan
investasi kepada pemilik perusahaan (pemegang sahamnya). Nilai ROI
perusahaan diperoleh dengan membagi akun laba sebelum pajak yang telah
ditambah penyusutan dengan capital employed perusahaan. Dalam penelitian ini,
72
capital employed diperoleh dari jumlah aset dikurangi perkerjaan dalam
pelaksanaan. Pada PT. PLN (Persero), akun pekerjaan dalam pelaksanaan
merupakan biaya-biaya yang terjadi sehubungan dengan pembangunan dan
perbaikan/renovasi sarana kelistrikan.
Pada tahun 2010, ROI pada PT. PLN (Persero) berdasarkan tabel di bawah ini
(pada Tabel 4.3.4) memperoleh nilai 9,13% dengan skor perolehan 5 karena
berada pada posisi interval 9 < ROI ≤ 10,5. Sama halnya seperti hasil
perhitungan untuk rasio ROE, pada tahun 2011 dan 2012, nilai dan skor ROI
perusahaan menunjukkan terjadinya penurunan. Pada tahun 2011, nilai ROI
yang diperoleh adalah 5,89% dengan skor perolehan 3,5 karena berada pada
posisi interval 5 < ROI ≤ 7. Untuk tahun 2012, nilai ROI yang diperoleh adalah
4,69% dengan skor perolehan 3 karena berada pada posisi interval 3 < ROI ≤ 5.
Penurunan yang juga terjadi pada rasio ini selama tiga periode berturut-turut,
yang ditunjukkan pada hasil perhitungan nilai dan skor ROI yang ada,
mengindikasikan bahwa kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
selain menggunakan modal sendiri (ditunjukkan pada hasil perhitungan nilai dan
skor ROE), yaitu dengan aktiva yang ada pada perusahaan, juga mengalami
penurunan. Hal ini juga berarti bahwa tingkat pengembalian (imbalan) dari
bisnis atas seluruh investasi yang ditanam perusahaan dalam bentuk aktiva
selama tiga periode berturut-turut semakin menurun. Adapun dari pemaparan
hasil skor penilaian rasio ROI ini dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
73
Tabel 4.3.4 Perhitungan Skor Penilaian ROI
Tahun
ROI (%)
Posisi interval
Skor
2010
9,13
9 < ROI <= 10,5
5
2011
5,89
5 < ROI <= 7
3,5
2012
4,69
3 < ROI <= 5
3
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.3 dan Tabel 4.2.9)
Adapun hasil analisis terhadap perubahan rasio ROI perusahaan dari tahun 2010
hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.5 Perubahan ROI dari Tahun 2010 ke 2011
Tahun
Keterangan
*)
Laba Sebelum Pajak
Penyusutan*)
Laba Sebelum Pajak
)
+ Penyusutan*
)
Jumlah Aset*
Pekerjaan dalam
Pelaksanaan (e)*)
)
Capital Employed*
ROI (%)
2010
11.406.192
12.558.537
23.964.729
2011
Hasil
5.514.995 Turun
16.254.552 Naik
21.769.547 Turun
369.190.582 467.782.603
106.839.853 98.057.296
Naik
Turun
Perubahan 2010-2011
Nilai
% Persentase
-5.891.197
-51,65
3.696.015
29,43
-2.195.182
-9,16
98.592.021
-8.782.557
26,70
-8,22
262.350.729 369.725.307 Naik 107.374.578
9,13
5,89 Turun
-3,24
40,93
-35,49
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.2)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Berdasarkan hasil analisis terhadap perubahan nilai rasio ROI dan akun-akun
komponennya yang terjadi pada tahun 2010-2011 (lihat Tabel 4.3.5),
menunjukkan bahwa pada periode tersebut, nilai rasio ROI dari tahun 2010
hingga 2011 mengalami penurunan sebesar 3,24%. Hal ini berarti bahwa pada
tahun 2011 terjadi penurunan laba bagi pemilik perusahaan (pemegang saham)
dari setiap Rp 1,00 investasi yang ditanamkan pada perusahaan dalam bentuk
aktiva sebesar Rp 0,0324 atau 35,49% dari tahun 2010. Penurunan ROI tahun
2011 terhadap tahun 2010 ini disebabkan adanya penurunan laba sebelum pajak
74
+ penyusutan namun disertai dengan kenaikan pada capital employed. Kenaikan
capital employed yang terjadi pada tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah
sebesar Rp 107.374.578 juta atau 40,93% dari tahun 2010. Kenaikan capital
employed yang cukup signifikan ini disebabkan adanya kenaikan pada jumlah
aset selama tahun 2011 sebesar Rp 98.592.021 juta atau 26,70% dari tahun 2010
dengan disertai penurunan pekerjaan dalam pelaksanaan sebagai nilai
pengurangnya sebesar Rp 8.782.557 juta atau 8,22% dari tahun 2010. Kenaikan
pada jumlah aset ini, terutama disebabkan oleh adanya penambahan aset tetap
sebesar Rp 91.838.079 juta menjadi Rp 302.489.947 juta dan adanya kenaikan
persediaan sebesar Rp 5.726.791 juta menjadi Rp 15.654.105 juta yang
dialokasikan terutama untuk bahan bakar dan pelumas yang mencapai Rp
9.826.674 juta, sedangkan penurunan yang terjadi pada pekerjaan dalam
pelaksanaan ini dikarenakan pada tahun 2011 dan 2010 terdapat pekerjaan dalam
pelaksanaan yang telah selesai dan dipindahkan ke aset tetap masing-masing
sebesar Rp 48.145.246 juta dan Rp 13.061.873 juta. Sedangkan penurunan yang
terjadi pada laba sebelum pajak + penyusutan adalah sebesar Rp 2.195.182 juta
atau sebesar 9,16% dari tahun 2010. Penurunan pada laba sebelum pajak +
penyusutan ini, terjadi karena adanya penurunan yang cukup signifikan pada
laba sebelum pajak sebesar Rp 5.891.197 juta atau sebesar 51,65% dari tahun
2010.
Sedangkan penurunan nilai rasio ROI yang terjadi pada tahun 2011 hingga 2012
adalah sebesar 1,20%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012 terjadi penurunan
laba bagi pemilik perusahaan (pemegang saham) dari setiap Rp 1,00 investasi
yang ditanamkan pada perusahaan dalam bentuk aktiva sebesar Rp 0,0120 atau
75
20,37% dari tahun 2011. Penurunan ROI tahun 2012 terhadap tahun 2011 ini
disebabkan karena juga adanya penurunan laba sebelum pajak + penyusutan
yang disertai dengan kenaikan pada capital employed. Kenaikan capital
employed yang terjadi pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 adalah sebesar Rp
68.170.285 juta atau 18,44% dari tahun 2011. Kenaikan capital employed (meski
tidak setinggi sebelumnya) ini, disebabkan adanya kenaikan pada jumlah aset
sebesar sebesar Rp 72.923.161 juta atau 15,59% dari tahun 2011 yang juga
disertai dengan kenaikan pekerjaan dalam pelaksanaan selama tahun 2012
sebesar Rp 4.752.876 juta atau 4,85% dari tahun 2011. Kenaikan yang terjadi
pada jumlah aset ini karena adanya penambahan aset tetap sebagai komposisi
terbesar aset tidak lancar sebesar Rp 55.534.537 juta menjadi Rp 358.024.484
juta sebagai bentuk realisasi pada berbagai proyek pembangunan pembangkit,
jaringan transmisi dan distribusi terutama sehubungan dengan adanya
pelaksanaan proyek percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap I
(proyek FTP-1) yang berasal dari pekerjaan dalam pelaksanaan dan adanya
kenaikan pada piutang subsidi listrik sebagai komposisi terbesar kedua aset
lancar sebesar 69,94% menjadi Rp 20.565.784 juta akibat adanya penambahan
pemberian subsidi seiring dengan bertambahnya jumlah pelanggan sehubungan
dengan realisasi program penyambungan baru perusahaan (program peningkatan
rasio elektrifikasi). Sedangkan penurunan yang terjadi pada laba sebelum pajak
+ penyusutan adalah sebesar Rp 1.238.598 juta atau sebesar 5,69% dari tahun
2011. Penurunan pada laba sebelum pajak + penyusutan ini terjadi meskipun
adanya kenaikan pada penyusutan sebesar Rp 3.244.669 juta atau sebesar
19,96% dari tahun 2011, namun untuk laba sebelum pajak mengalami penurunan
76
yang cukup tinggi dibanding sebelumnya yaitu sebesar Rp 4.483.267 juta atau
sebesar 81,29% dari tahun 2011. Penurunan laba sebelum pajak pada tahun 2011
dan tahun 2012 ini, disebabkan dengan adanya pelemahan nilai rupiah terhadap
berbagai mata uang asing sehingga perusahaan mencatat kerugian kurs mata
uang asing bersih sebesar Rp 1.833.390 juta pada tahun 2011 dan pada tahun
2012 sebesar Rp 5.938.482 juta, adanya peningkatan pada beban keuangan
perusahaan pada tahun 2011 sebesar 188,83% menjadi Rp 17.361.067 juta dan
tahun 2012 naik 41,77 % menjadi Rp 24.612.091 juta, serta adanya peningkatan
beban usaha pada tahun 2011 sebesar Rp 36.531.529 juta menjadi Rp
149.108.071 juta dan pada tahun 2012 sebesar Rp 17.475.850 juta menjadi Rp
203.115.450 juta karena adanya kenaikan pada beban bahan bakar dan pelumas
selama periode tersebut dan juga adanya peningkatan pembelian tenaga listrik
yang sangat tinggi pada tahun 2012 sebesar 133,91% mencapai Rp 2.939.624
juta seiring dengan kebutuhan listrik yang terus meningkat.
Tabel 4.3.6 Perubahan ROI dari Tahun 2011 ke 2012
Tahun
Keterangan
*)
Laba Sebelum Pajak
Penyusutan*)
Laba Sebelum Pajak
+ Penyusutan*)
Jumlah Aset*)
Pekerjaan dalam
Pelaksanaan (e)*)
Capital Employed*)
ROI (%)
2011
5.514.995
16.254.552
21.769.547
2012
1.031.728
19.499.221
20.530.949
Perubahan 2011-2012
Hasil
Nilai
% Persentase
Turun
-4.483.267
-81,29
Naik
3.244.669
19,96
Turun
-1.238.598
-5,69
467.782.603 540.705.764
98.057.296 102.810.172
Naik
Naik
72.923.161
4.752.876
15,59
4,85
369.725.307 437.895.592
5,89
4,69
Naik
Turun
68.170.285
-1,20
18,44
-20,37
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.2)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
77
3.
Rasio kas (cash ratio)
Dalam penelitian ini, rasio kas atau cash ratio yang digunakan untuk
menggambarkan kondisi kinerja keuangan PT. PLN (Persero) dalam mengelola
kas maupun setara kas lainnya dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya,
diperoleh dengan membagi akun kas dan setara kas dengan current liabilities
(liabilitas jangka pendek) perusahaan. Kas dan setara kas merupakan aktiva
perusahaan yang paling cair (likuid). Pada PT. PLN (Persero), kas dan setara kas
merupakan komposisi terbesar dalam aset lancar perusahaan yang terdiri dari kas
di tangan, rekening giro dalam mata uang asing maupun rupiah, dan deposito
berjangka. Berdasarkan hasil perhitungan rasio kas (cash ratio) yang telah
dilakukan pada PT. PLN (Persero) (lihat Tabel 4.2.3), nilai cash ratio pada tahun
2010 adalah 35,88%. Sesuai kriteria daftar skor penilaian cash ratio yang ada
(lihat Tabel 3.5.4), nilai cash ratio pada tahun 2010 berada pada posisi interval
tertinggi (x ≥ 35) dengan skor 3. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2010,
kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan
menggunakan kas maupun setara kas lainnya yang tersedia dalam perusahaan
sangat baik. Namun pada tahun 2011 dan 2012, nilai cash ratio perusahaan
mengalami sedikit penurunan, yaitu pada tahun 2011 turun menjadi 34,76% dan
pada tahun 2012 menjadi 30,35%. Meskipun terjadi penurunan pada dua tahun
terakhir ini, namun kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka
pendeknya yang ditunjukkan dengan indikator cash ratio ini, perusahaan masih
dalam keadaan baik karena masih berada pada posisi interval 25 ≤ x < 35
dengan skor sama yaitu 2,5. Untuk lebih jelasnya, pemaparan hasil skor
penilaian cash ratio ini akan disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
78
Tabel 4.3.7 Perhitungan Skor Penilaian Cash Ratio
Tahun
Cash Ratio (%)
Posisi interval
Skor
2010
35,88
x >= 35
3
2011
34,76
25 <= x < 35
2,5
2012
30,35
25 <= x < 35
2,5
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.4 dan Tabel 4.2.9)
Adapun hasil analisis terhadap perubahan cash ratio perusahaan dari tahun 2010
hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.8 Perubahan Cash Ratio dari Tahun 2010 ke 2011
Keterangan
*)
Kas dan Setara Kas
Current Liabilities (Liabilitas
Jangka Pendek)*)
Tahun
2010
2011
19.716.798 22.088.093
54.949.838 63.550.433
Cash Ratio (%)
35,88
Perubahan 2010-2011
Hasil
Nilai
% Persentase
Naik 2.371.295
12,03
Naik 8.600.595
15,65
34,76 Turun
-1,12
-3,12
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.3)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan cash ratio perusahaan dari tahun
2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.9 Perubahan Cash Ratio dari Tahun 2011 ke 2012
Keterangan
*)
Kas dan Setara Kas
Current Liabilities (Liabilitas
Jangka Pendek)*)
Tahun
2011
2012
22.088.093 22.639.853
63.550.433 74.602.903
Cash Ratio (%)
34,76
Perubahan 2011-2012
Hasil
Nilai
% Persentase
Naik
551.760
2,50
Naik 11.052.470
17,39
30,35 Turun
-4,41
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.3)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Berdasarkan Tabel 4.3.8 dan Tabel 4.3.9 di atas, dapat dilihat bahwa selama
tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, cash ratio perusahaan mengalami
-12,69
79
penurunan dengan nilai penurunan tahun 2011 terhadap tahun 2010 sebesar
1,12% dan pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 sebesar 4,41%. Hal ini berarti
bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan dari setiap Rp 1,00 kewajiban jangka
pendek yang akan dijamin oleh kas dan setara kas lainnya sebesar Rp 0,0112
atau 3,12% dari tahun 2010. Sedangkan untuk tahun 2012, hal ini berarti bahwa
telah terjadi penurunan dari setiap Rp 1,00 kewajiban jangka pendek yang akan
dijamin oleh kas dan setara kas lainnya sebesar Rp 0,0441 atau 12,69% dari
tahun 2011. Penurunan cash ratio selama tiga tahun terakhir secara berturutturut ini, disebabkan adanya kenaikan pada current liabilities (liabilitas jangka
pendek) yang lebih besar daripada kenaikan kas dan setara kas. Pada tahun
2010-2011 terjadi kenaikan kas dan setara kas perusahaan sebesar Rp 2.371.295
juta atau sebesar 12,03% dari tahun 2010. Sedangkan kenaikan current liabilities
(liabilitas jangka pendek) tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah sebesar Rp
8.600.595 juta atau 15,65% dari tahun 2010. Untuk tahun 2012, kas dan setara
kas perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 551.760 juta atau sebesar 2,50%
dari tahun 2011. Sedangkan kenaikan current liabilities (liabilitas jangka
pendek) tahun 2012 terhadap tahun 2011 adalah sebesar Rp 11.052.470 juta atau
17,39% dari tahun 2011. Kenaikan current liabilities (liabilitas jangka pendek)
pada tahun 2011 dan 2012 ini akibat adanya kenaikan utang usaha pihak berelasi
pada tahun 2011 sebesar 136,92% menjadi Rp 14.070.569 juta sehubungan
dengan adanya peningkatan pembelian bahan bakar, barang dan jasa untuk
mencegah pemadaman dan pada tahun 2012 karena adanya kenaikan utang
usaha pihak ketiga sebesar 37,91% menjadi Rp 10.861.230 juta akibat adanya
kenaikan pembelian listrik dari pembangkit listrik swasta, serta adanya kenaikan
80
utang bank dan surat utang jangka menengah sebesar 66,32% menjadi Rp
7.808.344 juta yang berasal dari adanya peningkatan pinjaman bank, baik dari
bank BUMN maupun dari bank swasta dalam dan luar negeri, terutama terkait
proyek FTP-1.
4.
Rasio lancar (current ratio)
Rasio lancar atau current ratio adalah indikator rasio keuangan yang digunakan
dalam penelitian ini untuk menunjukkan kemampuan PT. PLN (Persero) dalam
membayar kewajiban jangka pendek dengan aset lancarnya. Untuk memperoleh
nilai current ratio, diperlukan akun current assets (aset lancar) dan current
liabilities (liabilitas jangka pendek). Untuk rasio lancar (current ratio) pada PT.
PLN (Persero) selama periode 2010-2012, dapat dilihat bahwa berdasarkan tabel
di bawah ini (pada Tabel 4.3.10), menunjukkan nilai dan skor current ratio yang
semakin meningkat setiap tahunnya, yaitu bahwa pada tahun 2010, 2011, dan
2012 nilai current ratio yang diperoleh adalah 81,48%, 91,66%, dan terus
meningkat menjadi 92,01%. Hal ini menunjukkan semakin membaiknya
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek dengan
aktiva lancarnya. Meskipun selama tiga tahun terakhir, nilai current ratio yang
diperoleh PT. PLN (Persero) terus mengalami peningkatan, namun skor
penilaian yang diperoleh masih berada pada posisi interval yang rendah. Pada
tahun 2010 skor penilaian current ratio yang diperoleh adalah 0 karena berada
pada posisi interval x < 90. Untuk tahun 2011 dan 2012, nilai current ratio yang
diperoleh berada pada posisi interval yang sama yaitu 90 ≤ x < 95 sehingga
memperoleh skor yang sama juga yaitu 1. Current ratio yang rendah ini,
menunjukkan tingkat keamanan (margin of savety) perusahaan lebih riskan
81
karena tingkat kebutuhan perusahaan lebih besar dari kas yang ada pada
perusahaan. Adapun dari pemaparan hasil skor penilaian rasio current ratio ini
dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 4.3.10 Perhitungan Skor Penilaian Current Ratio
Tahun
Current Ratio (%)
Posisi interval
Skor
2010
81,48
x < 90
0
2011
91,66
90 <= x < 95
1
2012
92,01
90 <= x < 95
1
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.5 dan Tabel 4.2.9)
Adapun hasil analisis terhadap perubahan current ratio perusahaan dari tahun
2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.11 Perubahan Current Ratio dari Tahun 2010 ke 2011
Keterangan
Current Assets (Aset
Lancar)*)
Current Liabilities (Liabilitas
Jangka Pendek)*)
Tahun
2010
2011
44.773.286 58.252.342
Perubahan 2010-2011
Hasil
Nilai
% Persentase
Naik 13.479.056
30,11
54.949.838 63.550.433
Naik
8.600.595
15,65
Naik
10,18
12,49
Current Ratio (%)
81,48
91,66
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.4)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan current ratio perusahaan dari tahun
2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.12 Perubahan Current Ratio dari Tahun 2011 ke 2012
Keterangan
Current Assets (Aset
Lancar)*)
Current Liabilities (Liabilitas
Jangka Pendek)*)
Current Ratio (%)
Tahun
2011
58.252.342
2012
68.639.956
Perubahan 2011-2012
Hasil
Nilai
% Persentase
Naik 10.387.614
17,83
63.550.433
74.602.903
Naik
11.052.470
17,39
91,66
92,01
Naik
0,35
0,38
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.4)
82
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Berdasarkan hasil analisis terhadap nilai current ratio perusahaan dan akun-akun
komponennya selama periode 2010-2012 dari kedua tabel di atas (pada Tabel
4.3.11 dan Tabel 4.3.12), bahwa kenaikan nilai current ratio pada PT. PLN
(Persero) yang terjadi pada tahun 2010-2011 adalah sebesar 10,18% dan pada
tahun 2012 terhadap tahun 2011 sebesar 0,35%. Hal ini berarti bahwa pada
tahun 2011 terjadi kenaikan dari setiap Rp 1,00 kewajiban jangka pendek yang
akan dijamin oleh aset lancarnya sebesar Rp 0,1018 atau 12,49% dari tahun
2010. Sedangkan untuk tahun 2012, hal ini berarti bahwa telah terjadi kenaikan
dari setiap Rp 1,00 kewajiban jangka pendek yang akan dijamin oleh aset
lancarnya sebesar sebesar Rp 0,0035 atau 0,38% dari tahun 2011. Kenaikan
current ratio selama tiga tahun terakhir secara berturut-turut ini, disebabkan
adanya kenaikan pada current assets (aset lancar) yang lebih besar daripada
kenaikan current liabilities (liabilitas jangka pendek). Pada tahun 2010-2011
terjadi kenaikan aset lancar perusahaan sebesar Rp 13.479.056 juta atau sebesar
30,11% dari tahun 2010. Sedangkan kenaikan current liabilities (liabilitas
jangka pendek) tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah sebesar Rp 8.600.595
juta atau 15,65% dari tahun 2010. Untuk tahun 2012, current assets (aset lancar)
perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 10.387.614 juta atau sebesar
17,83% dari tahun 2011, meskipun kenaikan ini mengalami sedikit penurunan
bila dibandingkan dari kenaikan tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2012
terhadap tahun 2011, current liabilities (liabilitas jangka pendek) perusahaan
mengalami sedikit kenaikan dari sebelumnya sebesar Rp 11.052.470 juta atau
17,39% dari tahun 2011. Kenaikan current liabilities (liabilitas jangka pendek)
83
pada tahun 2011 dan 2012 ini akibat adanya kenaikan utang usaha pihak berelasi
pada tahun 2011 mencapai 136,92% karena adanya peningkatan pembelian
bahan bakar, barang dan jasa untuk mencegah pemadaman dan pada tahun 2012
karena adanya kenaikan utang usaha pihak ketiga mencapai 37,91% akibat
adanya kenaikan pembelian listrik dari pembangkit listrik swasta, serta adanya
kenaikan utang bank dan surat utang jangka menengah sebesar 66,32% yang
berasal dari adanya peningkatan pinjaman bank, baik dari bank BUMN maupun
dari bank swasta dalam dan luar negeri, terutama terkait proyek FTP-1.
Meskipun bila dilihat dari perubahan yang terjadi selama tahun 2010-2012, nilai
current ratio perusahaan beserta akun-akun komponennya (current assets dan
current liabilities) menunjukkan terus terjadinya kenaikan, namun kenaikan ini
belum cukup untuk dikatakan pada posisi current ratio perusahaan yang tinggi
karena dari hasil perhitungan skor sesuai kriteria penilaian menurut Keputusan
Menteri BUMN, current ratio perusahaan masih berada di posisi interval yang
rendah sesuai kriteria yang ada (lihat Tabel 4.3.10).
5.
Collection periods (CP)
Collection periods merupakan indikator penilaian kinerja keuangan yang
digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam
menagih atau mengumpulkan piutangnya sehingga memperoleh kas. Collection
periods merupakan rasio perbandingan antara total piutang usaha dengan total
pendapatan usaha yang dikalikan dengan jumlah hari rata-rata dalam setahun
(365 hari), sehingga nilai satuan rasio collection periods dinyatakan dalam hari.
Pada PT. PLN (Persero), menurut kategori pelanggannya, piutang perusahaan
terdiri dari piutang terhadap pihak yang berelasi (yaitu Badan Usaha Milik
84
Negara, TNI dan Polri, serta Pemerintah) dan piutang terhadap pihak ketiga
(piutang umum). Dalam penelitian ini, akun piutang usaha yang digunakan
merupakan piutang usaha bersih PT. PLN (Persero) setelah dikurangi cadangan
kerugian penurunan nilai sebesar Rp 388.227 juta untuk tahun 2012, Rp 356.147
juta untuk tahun 2011 dan Rp 330.451 juta untuk tahun 2010. Sedangkan
pendapatan usaha pada PT. PLN (Persero) merupakan jumlah pendapatan
perusahaan yang diperoleh melalui penjualan tenaga listrik kepada pelanggan,
pendapatan subsidi, jasa penyambungan pelanggan dan lain-lain (berasal dari
penjualan jasa yang dilakukan oleh unit bisnis PT. PLN (Persero) maupun anak
usaha yang bergerak di berbagai bidang yang berkaitan dengan usaha
ketenagalistrikan, seperti jaringan telekomunikasi, perbaikan mesin pembangkit,
sewa transformator dan jasa lain-lain).
Berdasarkan Tabel 4.3.13 tentang Perhitungan Skor Penilaian Collection Periods
berikut, dapat dilihat bahwa nilai rasio collection periods pada PT. PLN
(Persero) selama tiga periode terakhir mengalami penurunan secara berturutturut, yaitu sebesar 6,46 hari untuk tahun 2010, 6,15 hari untuk tahun 2011, dan
pada tahun 2012 turun menjadi 6,04 hari. Namun untuk rasio collection periods,
semakin rendah nilai rasio yang ditunjukkan, justru semakin kuat atau besar
kemampuan penagihan perusahaan atau dengan kata lain dapat dikatakan
semakin cepat lama waktu yang diperlukan perusahaan untuk menagih
piutangnya. Sedangkan tata cara skor penilaian untuk indikator collection
periods sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang
Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara, penilaian dapat
dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan berdasarkan tingkat rasio collection
85
periods dan berdasarkan jumlah hari perbaikan collection periods (lihat Tabel
3.5.6). Dari kedua cara skor penilaian tersebut, dapat dipilih salah satu skor yang
terbaik untuk digunakan. Meskipun pada tahun 2010, 2011, dan 2012, nilai rasio
collection periods terus menunjukkan penurunan, namun sesuai kriteria skor
penilaian Keputusan Menteri BUMN tersebut, dengan berdasarkan tingkat rasio
collection periods-nya mendapat skor tertinggi yaitu 4 karena nilai rasio selama
tiga periode terakhir tersebut berada pada posisi interval x ≤ 60. Untuk cara
penilaian dengan berdasarkan jumlah hari perbaikan collection periods,
diketahui bahwa jumlah hari perbaikan pada tahun 2011 adalah 0,31 hari
(merupakan hasil selisih nilai rasio collection periods pada tahun 2010 dan
2011) dan pada tahun 2012 adalah 0,11 (merupakan hasil selisih nilai rasio
collection periods pada tahun 2011 dan 2012), sehingga sama-sama mendapat
skor perolehan 0 karena berada pada posisi interval 0 ≤ x < 1. Dari hasil skor
penilaian kedua cara tersebut, ternyata hasil skor penilaian berdasarkan tingkat
rasio collection periods menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan
dengan berdasarkan jumlah hari perbaikan collection periods. Sehingga dalam
penilitian ini, hasil skor penilaian untuk collection periods yang digunakan
adalah yang berdasarkan tingkat rasio collection periods-nya.
Tabel 4.3.13 Perhitungan Skor Penilaian Collection Periods
Tahun
Collection
Periods (hari)
CP = x (hari)
Perbaikan = x (hari)
Posisi interval Skor ∑ hari Posisi interval Skor
2010
6,46
x <= 60
4
2011
6,15
x <= 60
4
0,31 0 < x <= 1
0
2012
6,04
x <= 60
4
0,11 0 < x <= 1
0
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.6 dan Tabel 4.2.9)
86
Adapun hasil analisis terhadap perubahan collection periods perusahaan dari
tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.14 Perubahan Collection Periods dari Tahun 2010 ke 2011
Keterangan
Piutang Usaha*)
Pendapatan Usaha*)
Collection Periods
(hari)
Tahun
Perubahan 2010-2011
2010
2011
Hasil
Nilai
% Persentase
2.875.168
3.504.823 Naik
629.655
21,90
162.375.294 208.017.823 Naik 45.642.529
28,11
6,46
6,15 Turun
-0,31
-4,80
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.5)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan collection periods perusahaan dari
tahun 2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.15 Perubahan Collection Periods dari Tahun 2011 ke 2012
Keterangan
Piutang Usaha*)
Pendapatan Usaha*)
Collection Periods
(hari)
Tahun
Perubahan 2011-2012
2011
2012
Hasil
Nilai
% Persentase
3.504.823
3.851.920 Naik
347.097
9,90
208.017.823 232.656.456 Naik 24.638.633
11,84
6,15
6,04 Turun
-0,11
-1,79
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.5)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.3.14 dan Tabel 4.3.15 di atas, dapat
dilihat bahwa selama periode 2010-2012 penurunan nilai collection periods pada
PT. PLN (Persero) yang terjadi pada tahun 2010-2011 adalah sebesar 0,31 hari
dan pada tahun 2012 terhadap tahun 2011 sebesar 0,11 hari. Hal ini berarti
bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan pendapatan usaha yang tertanam
dalam piutang usaha selama 0,31 hari atau 4,80% dari tahun 2010. Sedangkan
untuk tahun 2012, hal ini berarti bahwa telah terjadi penurunan pendapatan
87
usaha yang tertanam dalam piutang usaha selama 0,11 hari atau 1,79% dari
tahun 2011. Penurunan collection periods selama periode 2010-2012 ini,
disebabkan adanya kenaikan pada pendapatan usaha yang lebih besar daripada
kenaikan piutang usaha. Pada tahun 2010-2011 terjadi kenaikan pendapatan
usaha perusahaan sebesar Rp 45.642.529 juta atau sebesar 28,11% dari tahun
2010. Sedangkan kenaikan piutang usaha tahun 2011 terhadap tahun 2010
adalah sebesar Rp 629.655 juta atau 21,90% dari tahun 2010 karena adanya
kenaikan piutang oleh seluruh kategori langganan (Pemerintah, TNI dan Polri,
serta umum), kecuali bagi BUMN. Untuk tahun 2012, pendapatan usaha
perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 24.638.633 juta atau sebesar
11,84% dari tahun 2011, meskipun kenaikan ini mengalami sedikit penurunan
bila dibandingkan dari kenaikan tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2012
terhadap tahun 2011, kenaikan piutang usaha perusahaan juga mengalami sedikit
penurunan dari sebelumnya sebesar Rp 347.097 juta atau 9,90% dari tahun 2011
karena adanya pelunasan pembayaran tagihan listrik dari TNI dan Polri serta
Pemerintah yang sebelumnya tertunda sehingga jumlah piutang untuk TNI dan
Polri turun menjadi Rp 366.502 juta dan untuk Pemerintah turun menjadi Rp
194.287 juta. Meskipun piutang usaha dan pendapatan usaha sebagai komponen
dalam collection periods mengalami kenaikan selama tahun 2010-2012, namun
hasil nilai rasio collection periods menunjukkan terus terjadinya penurunan.
Demikian pula sebaliknya, meskipun nilai collection periods perusahaan tersebut
terus mengalami penurunan, namun dari hasil perhitungan skor sesuai kriteria
penilaian menurut Keputusan Menteri BUMN, dinyatakan bahwa collection
periods perusahaan memperoleh skor tertinggi selama tiga periode tersebut (lihat
88
Tabel 4.3.13) atau bisa dikatakan bahwa kemampuan perusahaan dalam menagih
atau mengumpulkan piutangnya sangat baik. Hal ini dikarenakan sesuai teori
yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa semakin rendah rasio
collection periods perusahaan, maka semakin baik kondisi perusahaan.
6.
Perputaran persediaan (PP)
Untuk mengetahui sejauh mana efisensi dan efektivitas PT. PLN (Persero) dalam
mengelola persediaannya, maka dalam penelitian ini menggunakan indikator
rasio perputaran persediaan. Perputaran persediaan menunjukkan perbandingan
antara persediaan dengan total pendapatan usaha dikalikan dengan jumlah hari
rata-rata dalam setahun (365 hari) yang satuannya dinyatakan dalam hari. Pada
PT. PLN (Persero), yang dimaksud akun persediaan adalah jumlah nilai
persediaan yang tersedia pada perusahaan yang terdiri dari bahan bakar dan
pelumas, persediaan umum, switchgear dan jaringan, alat ukur, pembatas dan
kontrol, kabel, dan transformator. Dalam penelitian ini, akun persediaan yang
digunakan merupakan persediaan bersih PT. PLN (Persero) setelah dikurangi
penyisihan penurunan nilai sebesar Rp 160.003 juta untuk tahun 2012, Rp
130.777 juta untuk tahun 2011 dan Rp 98.898 juta untuk tahun 2010. Sedangkan
pendapatan usaha pada PT. PLN (Persero) merupakan jumlah pendapatan
perusahaan yang diperoleh melalui penjualan tenaga listrik kepada pelanggan,
pendapatan subsidi, jasa penyambungan pelanggan dan lain-lain.
Perhitungan skor penilaian terhadap rasio perputaran persediaan juga dapat
dilakukan melalui dua cara, yaitu menurut tingkat rasio perputaran
persediaannya dan menurut jumlah hari perbaikan perputaran persediaannya
(lihat Tabel 3.5.7). Sesuai Tabel 4.3.16 di bawah ini, dapat dilihat bahwa nilai
89
rasio perputaran persediaan untuk tahun 2010, 2011, dan tahun 2012 secara
berurutan adalah sebesar 22,32 hari, 27,47 hari, dan 26,26 hari. Berdasarkan
tingkat rasio perputaran persediaannya, selama tiga tahun berturut-turut rasio
perputaran persediaan pada PT. PLN (Persero) mendapat skor tertinggi, yaitu 4
karena berada pada posisi interval x ≤ 60. Sedangkan berdasarkan jumlah hari
perbaikan perputaran persediaannya, perhitungan skor penilaian hanya bisa
dilakukan pada tahun 2012 dengan jumlah hari perbaikan 1,21 hari (merupakan
hasil selisih nilai rasio perputaran persediaan pada tahun 2011 dan 2012), maka
memperoleh skor 0,4 karena berada pada posisi interval 1 < x ≤ 3. Dalam
penilitian ini, hasil skor penilaian untuk perputaran persediaan yang digunakan
adalah berdasarkan tingkat rasio perputaran persediaannya karena menunjukkan
hasil skor pada posisi interval yang lebih tinggi selama tiga periode terakhir.
Nilai rasio selama tiga tahun terakhir yang tinggi ini, mengindikasikan bahwa
perusahaan telah mengelola persediaannya secara efektif dan efisien, yaitu
dengan menunjukkan bahwa semakin singkatnya waktu rata-rata yang
diperlukan perusahaan antara penanaman modal dalam persediaan dan transaksi
penjualan.
Tabel 4.3.16 Perhitungan Skor Penilaian Perputaran Persediaan
Tahun
Perputaran
Persediaan (hari)
PP = x (hari)
Perbaikan = x (hari)
Posisi interval Skor ∑ hari Posisi interval Skor
2010
22,32
x <= 60
4
2011
27,47
x <= 60
4
-5,15
2012
26,26
x <= 60
4
1,21 1 < x <= 3
0,4
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.7 dan Tabel 4.2.9)
Sama halnya seperti hasil analisis pada collection periods, berdasarkan hasil
analisis pada perputaran persediaan perusahaan yang akan disajikan pada Tabel
90
4.3.17 dan Tabel 4.3.18, bahwa selama periode 2010-2012 terjadi penurunan
nilai perputaran persediaan pada PT. PLN (Persero) dengan nilai penurunan
tahun 2011 terhadap tahun 2010 sebesar 5,15 hari dan pada tahun 2012 terhadap
tahun 2011 sebesar 1,21 hari. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi
penurunan pendapatan usaha yang tertanam dalam persediaan selama 5,15 hari
atau 23,07% dari tahun 2010. Sedangkan untuk tahun 2012, hal ini berarti bahwa
telah terjadi penurunan pendapatan usaha yang tertanam dalam persediaan
selama 1,21 hari atau 4,40% dari tahun 2011. Penurunan perputaran persediaan
ini, disebabkan adanya kenaikan pada pendapatan usaha yang lebih besar
daripada kenaikan persediaan. Pada tahun 2010-2011 terjadi kenaikan
pendapatan usaha perusahaan sebesar Rp 45.642.529 juta atau sebesar 28,11%
dari tahun 2010. Sedangkan kenaikan persediaan tahun 2011 terhadap tahun
2010 adalah sebesar Rp 5.726.791 juta atau 57,69% dari tahun 2010 terutama
akibat adanya kenaikan persediaan yang dialokasikan untuk bahan bakar dan
pelumas yang mencapai Rp 9.826.674 juta. Untuk tahun 2012, pendapatan usaha
perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 24.638.633 juta atau sebesar
11,84% dari tahun 2011 meskipun kenaikan ini mengalami sedikit penurunan
bila dibandingkan kenaikan dari tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2012
terhadap tahun 2011, kenaikan persediaan perusahaan juga mengalami sedikit
penurunan dari sebelumnya sebesar Rp 1.084.341 juta atau 6,93% dari tahun
2011. Kenaikan persediaan yang terjadi pada tahun 2012 ini, akibat adanya
kenaikan pada nilai persediaan switchgear dan jaringan sebesar 37,89% menjadi
Rp 1.676.485 juta, dan persediaan umum sebesar 30,06% menjadi Rp 3.226.053
juta. Kenaikan pada kedua sub akun persediaan tersebut, merupakan imbas dari
91
pelaksanaan proyek FTP-1 yang beberapa diantaranya telah mendekati tahap
penyelesaian.
Adapun hasil analisis terhadap perubahan perputaran persediaan perusahaan dari
tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.17 Perubahan Perputaran Persediaan dari Tahun 2010 ke 2011
Keterangan
*)
Persediaan
Pendapatan Usaha*)
Perputaran Persediaan
(hari)
Tahun
2010
2011
9.927.314 15.654.105
162.375.294 208.017.823
22,32
27,47
Hasil
Naik
Naik
Naik
Perubahan 2010-2011
Nilai
% Persentase
5.726.791
57,69
45.642.529
28,11
5,15
23,07
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.6)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan perputaran persediaan perusahaan
dari tahun 2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.18 Perubahan Perputaran Persediaan dari Tahun 2011 ke 2012
Keterangan
*)
Persediaan
Pendapatan Usaha*)
Perputaran Persediaan
(hari)
Tahun
2011
15.654.105
208.017.823
27,47
2012
Hasil
16.738.446 Naik
232.656.456 Naik
26,26 Turun
Perubahan 2011-2012
Nilai
% Persentase
1.084.341
6,93
24.638.633
11,84
-1,21
-4,40
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.6)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Meskipun persediaan dan pendapatan usaha sebagai komponen dalam
perputaran persediaan mengalami kenaikan selama tahun 2010-2012, namun
hasil nilai rasio perputaran persediaan menunjukkan terus terjadinya penurunan.
Demikian pula sebaliknya, meskipun nilai perputaran persediaan perusahaan
tersebut terus mengalami penurunan, namun dari hasil perhitungan skor sesuai
92
kriteria penilaian menurut Keputusan Menteri BUMN, dinyatakan bahwa
perputaran persediaan perusahaan memperoleh skor tertinggi selama tiga periode
terakhir (lihat Tabel 4.3.16) atau bisa dikatakan bahwa kemampuan PT. PLN
(Persero) dalam dalam mengelola persediaannya sangat baik. Hal ini
dikarenakan sesuai teori yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa
semakin cepat persediaan berputar atau semakin rendah rasio collection periods
perusahaan, maka semakin baik kondisi perusahaan.
7.
Perputaran total asset/ total assets turn over (TATO)
Perputaran total asset atau total assets turn over (TATO) merupakan salah satu
komponen indikator penilaian kinerja keuangan yang digunakan dalam
penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana efisiensi PT. PLN (Persero) dalam
mengelola aktivanya untuk menghasilkan pendapatan. Nilai TATO perusahaan
menunjukkan hasil perbandingan antara akun pendapatan usaha dengan capital
employed perusahaan. Pendapatan usaha pada PT. PLN (Persero) merupakan
jumlah pendapatan perusahaan yang diperoleh melalui penjualan tenaga listrik
kepada pelanggan, pendapatan subsidi, jasa penyambungan pelanggan dan lainlain. Sedangkan dalam penelitian ini, capital employed merupakan selisih dari
jumlah aset terhadap perkerjaan dalam pelaksanaan. Pada PT. PLN (Persero),
akun pekerjaan dalam pelaksanaan merupakan biaya-biaya yang terjadi
sehubungan dengan pembangunan dan perbaikan/renovasi sarana kelistrikan.
Sama halnya seperti collection periods dan perputaran persediaan, perhitungan
skor penilaian untuk rasio total assets turn over (TATO) juga dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu berdasarkan tingkat rasio TATO dan berdasarkan jumlah
persentase (%) perbaikan rasio TATO (lihat Tabel 3.5.8). Hanya saja pada rasio
93
TATO ini akan dikatakan semakin baik apabila nilai rasio yang ditunjukkan juga
semakin tinggi atau besar. Namun hasil perhitungan yang ditunjukkan pada
Tabel 4.2.7, menunjukkan bahwa rasio TATO pada PT. PLN (Persero) dari
tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan penurunan. Nilai rasio yang
diperoleh pada tahun 2010 adalah sebesar 61,89%, untuk tahun 2011 adalah
56,26%, dan 53,13% untuk tahun 2012. Untuk cara skor penilaian berdasarkan
jumlah hari perbaikan rasio TATO tidak dapat dilakukan karena selama periode
2010-2012, berdasarkan hasil perhitungan terhadap rasio TATO (lihat Tabel
4.2.7), dapat dilihat bahwa selama periode tersebut terjadi penurunan nilai rasio
secara terus-menerus (tidak ada perbaikan nilai rasio). Sedangkan berdasarkan
tingkat rasio TATO-nya, pada tahun 2010 mendapat skor 2 karena berada pada
posisi interval 60 < x ≤ 75, sedangkan untuk tahun 2011 dan 2012 mendapat
skor 1,5 karena sama-sama berada pada posisi interval 40 < x ≤ 60. Berdasarkan
posisi intervalnya sesuai kriteria skor penilaian pada Tabel 3.5.8, nilai dan skor
TATO perusahaan selama tiga periode terakhir masih tergolong rendah. Hal ini
mengindikasikan bahwa perusahaan belum secara optimal memanfaatkan
seluruh aktiva yang digunakan untuk menunjang kegiatan penjualan secara
efisien. Adapun dari pemaparan hasil skor penilaian rasio TATO ini akan
disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 4.3.19 Perhitungan Skor Penilaian TATO
Tahun TATO (%)
TATO = x (%)
Perbaikan = x (%)
Posisi interval Skor ∑ hari Posisi interval Skor
2010
61,89
60 < x <= 75
2
2011
56,26
40 < x <= 60
1,5
-5,63
x< 0
1
2012
53,13
40 < x <= 60
1,5
-3,13
x< 0
1
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.8 dan Tabel 4.2.9)
94
Adapun hasil analisis terhadap perubahan rasio TATO perusahaan dari tahun
2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.20 Perubahan TATO dari Tahun 2010 ke 2011
Tahun
Keterangan
Pendapatan Usaha
Jumlah Aset*)
Pekerjaan dalam
Pelaksanaan*)
Capital Employed*)
TATO (%)
*)
2010
2011
162.375.294 208.017.823
369.190.582 467.782.603
106.839.853 98.057.296
Hasil
Naik
Naik
Turun
Perubahan 2010-2011
Nilai
% Persentase
45.642.529
28,11
98.592.021
26,70
-8.782.557
-8,22
262.350.729 369.725.307 Naik 107.374.578
61,89
56,26 Turun
-5,63
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.7)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Dari hasil analisis terhadap nilai rasio TATO beserta akun-akun komponennya
(pada Tabel 4.3.20), dapat dilihat bahwa nilai rasio TATO perusahaan dari tahun
2010 hingga 2011 mengalami penurunan sebesar 5,63%. Hal ini berarti bahwa
pada tahun 2011 terjadi penurunan pendapatan dari setiap Rp 1,00 aktiva yang
dihasilkan oleh perusahaan sebesar Rp 0,0563 atau 9,10% dari tahun 2010.
Penurunan TATO tahun 2011 terhadap tahun 2010 ini disebabkan adanya
kenaikan pada capital employed yang lebih besar daripada kenaikan pendapatan
usahanya. Pada tahun 2011, capital employed perusahaan mengalami kenaikan
sebesar Rp 107.374.578 juta atau 40,93% dari tahun 2010. Kenaikan capital
employed yang cukup signifikan ini disebabkan adanya kenaikan pada jumlah
aset selama tahun 2011 sebesar Rp 98.592.021 juta atau 26,70% dari tahun 2010
dengan disertai penurunan pekerjaan dalam pelaksanaan sebagai nilai
pengurangnya sebesar Rp 8.782.557 juta atau 8,22% dari tahun 2010. Kenaikan
pada jumlah aset ini terutama karena adanya penambahan aset tetap mencapai
40,93
-9,10
95
Rp 91.838.079 juta dan adanya kenaikan persediaan sebesar Rp 5.726.791 juta
yang dialokasikan terutama untuk bahan bakar dan pelumas, sedangkan
penurunan yang terjadi pada pekerjaan dalam pelaksanaan ini dikarenakan
terdapat pekerjaan dalam pelaksanaan yang telah selesai dan dipindahkan ke aset
tetap masing-masing sebesar Rp 48.145.246 juta dan Rp 13.061.873 juta.
Sedangkan kenaikan yang terjadi pada pendapatan usaha adalah sebesar Rp
45.642.529 juta atau sebesar 28,11% dari tahun 2010.
Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan rasio TATO perusahaan dari tahun
2011 hingga 2012 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.21 Perubahan TATO dari Tahun 2011 ke 2012
Tahun
Keterangan
Pendapatan Usaha
Jumlah Aset*)
Pekerjaan dalam
Pelaksanaan*)
Capital Employed*)
TATO (%)
*)
2011
2012
208.017.823 232.656.456
467.782.603 540.705.764
98.057.296 102.810.172
Hasil
Naik
Naik
Naik
369.725.307 437.895.592 Naik
56,26
53,13 Turun
Perubahan 2011-2012
Nilai
% Persentase
24.638.633
11,84
72.923.161
15,59
4.752.876
4,85
68.170.285
-3,13
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.7)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Berdasarkan hasil analisis pada tahun 2011-2012, nilai rasio TATO mengalami
penurunan sebesar 3,13%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012 terjadi
penurunan pendapatan dari setiap Rp 1,00 aktiva yang dihasilkan oleh
perusahaan sebesar Rp 0,0313 atau 5,56% dari tahun 2011. Penurunan TATO
tahun 2012 terhadap tahun 2011 ini juga disebabkan adanya kenaikan pada
capital employed yang lebih besar daripada kenaikan pendapatan usahanya.
Kenaikan capital employed yang terjadi pada tahun 2012 terhadap tahun 2011
18,44
-5,56
96
adalah sebesar Rp 68.170.285 juta atau 18,44% dari tahun 2011. Kenaikan
capital employed (meski tidak setinggi sebelumnya) ini, disebabkan adanya
kenaikan pada jumlah aset sebesar Rp 72.923.161 juta atau 15,59% dari tahun
2011 yang juga disertai dengan kenaikan pekerjaan dalam pelaksanaan selama
tahun 2012 sebesar Rp 4.752.876 juta atau 4,85% dari tahun 2011. Kenaikan
yang terjadi pada jumlah aset dan pekerjaan dalam pelaksanaan ini terutama
diakibatkan oleh adanya pemindahan pekerjaan dalam pelaksanaan ke akun aset
tetap sebesar Rp 55.534.537 juta menjadi Rp 358.024.484 juta seiring dengan
mulai terealisasinya pelaksanaan proyek FTP-I dan adanya kenaikan pada
piutang subsidi listrik sebesar 69,94% menjadi Rp 20.565.784 juta sehubungan
dengan adanya program peningkatan rasio elektrifikasi oleh perusahaan.
Sedangkan kenaikan yang terjadi pada pendapatan usaha adalah sebesar Rp
24.638.633 juta atau sebesar 11,84% dari tahun 2011, meskipun kenaikan ini
mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya.
8.
Rasio total modal sendiri terhadap total asset (TMS terhadap TA)
Indikator rasio keuangan terakhir yang dapat digunakan untuk melakukan
penilaian kinerja keuangan terhadap PT. PLN (Persero) sesuai Keputusan
Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan
Badan Usaha Milik Negara adalah rasio total modal sendiri terhadap total asset
(TMS terhadap TA). Rasio TMS terhadap TA digunakan untuk mengetahui
besarnya modal sendiri yang digunakan perusahaan untuk mendanai seluruh
aktiva perusahaan. Rasio TMS terhadap TA ini merupakan nilai rasio hasil
perbandingan antara jumlah ekuitas dengan jumlah aset perusahaan yang
dinyatakan dalam satuan persentase (%). Ekuitas atau modal sendiri yang
97
dimiliki pada PT. PLN (Persero) terdiri dari modal ditempatkan dan disetor
penuh, tambahan modal disetor, dan saldo laba.
Berdasarkan tabel di bawah ini (pada Tabel 4.3.22), dapat dilihat bahwa nilai
rasio TMS terhadap TA yang diperoleh selama tahun 2010, 2011, dan 2012
secara berurutan adalah 40,54%, 31,21%, dan 27,85%. Sesuai Tabel 3.5.9
tentang Daftar Skor Penilaian Rasio Modal Sendiri terhadap Total Asset, meski
nilai rasio yang diperoleh perusahaan mengalami penurunan, tidak berarti bahwa
skor penilaian yang akan diperoleh juga akan menurun. Berdasarkan kriteria
pada Tabel 3.5.9 tersebut, pada tahun 2010 rasio TMS terhadap TA pada PT.
PLN (Persero) mendapat skor 5,5 karena berada pada posisi interval 40 < x ≤ 50,
pada tahun 2011 mendapat skor tertinggi yaitu 6 karena berada pada posisi
interval 30 < x ≤ 40, dan pada tahun 2012 mendapat skor 4 karena berada pada
posisi interval 20 < x ≤ 30. Bila dilihat dari posisi intervalnya sesuai kriteria skor
penilaian rasio TMS terhadap TA, nilai rasio ini selama tiga tahun terakhir masih
terhitung tinggi meskipun terjadi fluktuasi nilai skor selama periode tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam mendanai seluruh
aktivanya dengan modal sendiri yang dimiliki selama tiga tahun terakhir cukup
baik. Untuk lebih jelasnya, pemaparan hasil skor penilaian rasio TMS terhadap
TA ini akan disajikan dalam bentuk tabel berikut ini:
Tabel 4.3.22 Perhitungan Skor Penilaian TMS terhadap TA
Tahun
TMS terhadap TA
(%)
Posisi interval
Skor
2010
40,54
40 <= x < 50
5,5
2011
31,21
30 <= x < 40
6
2012
27,85
20 <= x < 30
4
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 3.5.9 dan Tabel 4.2.9)
98
Adapun hasil analisis terhadap perubahan rasio TMS terhadap TA perusahaan
dari tahun 2010 hingga 2011 akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.3.23 Perubahan TMS terhadap TA dari Tahun 2010 ke 2011
Keterangan
*)
Jumlah Ekuitas
Jumlah Aset*)
TMS terhadap TA
(%)
Tahun
2010
149.682.595
369.190.582
40,54
2011
Hasil
146.012.836 Turun
467.782.603 Naik
31,21 Turun
Perubahan 2010-2011
Nilai
% Persentase
-3.669.759
-2,45
98.592.021
26,70
-9,33
-23,01
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.8)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.3.2.23 di atas, dapat dilihat bahwa nilai
rasio TMS terhadap TA dari tahun 2010 hingga 2011 mengalami penurunan
sebesar 9,33%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2011 terjadi penurunan modal
sendiri dari setiap Rp 1,00 yang digunakan untuk mendanai aktiva perusahaan
sebesar Rp 0,0933 atau 23,01% dari tahun 2010. Penurunan rasio TMS terhadap
TA tahun 2011 terhadap tahun 2010 ini disebabkan adanya penurunan pada
jumlah ekuitasnya namun disertai dengan kenaikan pada jumlah asetnya.
Kenaikan jumlah aset yang terjadi pada tahun 2011 terhadap tahun 2010 adalah
sebesar Rp 98.592.021 juta atau 26,70% dari tahun 2010. Sedangkan pada tahun
2011, ekuitas perusahaan mengalami penurunan sebesar Rp 3.669.759 juta atau
sebesar 2,45% dari tahun 2010 yang terutama disebabkan oleh adanya
penurunan yang cukup signifikan dari saldo laba yang tidak ditentukan
penggunaannya mencapai Rp 12.159.147 juta.
Sedangkan hasil analisis terhadap perubahan rasio TMS terhadap TA perusahaan
dari tahun 2011 hingga 2012 adalah:
99
Tabel 4.3.24 Perubahan TMS terhadap TA dari Tahun 2011 ke 2012
Keterangan
*)
Jumlah Ekuitas
Jumlah Aset*)
TMS terhadap TA
(%)
Tahun
2011
146.012.836
467.782.603
31,21
2012
150.599.670
540.705.764
27,85
Hasil
Naik
Naik
Turun
Perubahan 2011-2012
Nilai
% Persentase
4.586.834
3,14
72.923.161
15,59
-3,36
-10,77
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.2.8)
*)
Dinyatakan dalam jutaan rupiah
Sedangkan selama tahun 2011 hingga 2012 nilai rasio TMS terhadap TA
perusahaan berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4.2.24, mengalami penurunan
sebesar 3,36%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012 terjadi penurunan modal
sendiri dari setiap Rp 1,00 yang digunakan untuk mendanai aktiva perusahaan
sebesar Rp 0,0336 atau 10,77% dari 2011. Penurunan rasio TMS terhadap TA
tahun 2012 terhadap tahun 2011 ini disebabkan adanya kenaikan pada jumlah
aset yang lebih besar daripada kenaikan jumlah ekuitasnya. Pada tahun 2012,
ekuitas perusahaan mengalami kenaikan sebesar Rp 4.586.834 juta atau 3,14%
dari tahun 2011. Sedangkan kenaikan yang terjadi pada jumlah aset perusahaan
pada tahun 2012 adalah sebesar Rp 72.923.161 juta atau sebesar 15,59% dari
tahun 2011, meskipun kenaikan ini mengalami sedikit penurunan bila
dibandingkan kenaikan dari tahun sebelumnya. Kenaikan yang terjadi pada
jumlah aset ini, karena adanya penambahan aset tetap mencapai Rp 55.534.537
juta sehubungan dengan mulai terealisasinya proyek FTP-I serta adanya
kenaikan piutang subsidi listrik sebesar 69,94% menjadi Rp 20.565.784 juta
seiring dengan mulai terealisasinya pula program peningkatan rasio elektrifikasi
perusahaan yang menyebabkan pertambahan subsidi terutama yang sebagian
100
besar diberikan kepada pelanggan rumah tangga dengan kebutuhan subsidi yang
lebih besar dibandingkan dengan kelompok pelanggan lain (kelompok
pelanggan usaha bisnis, industri, dan umum).
Sehingga secara ringkas, hasil perhitungan skor penilaian pada masingmasing kedelapan indikator rasio keuangan, dapat dirangkum untuk dapat dinyatakan
bagaimana hasil penilaian tingkat kesehatan kinerja keuangan pada PT. PLN
(Persero) selama periode 2010-2012 sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN sebagai berikut:
Tabel 4.3.25 Penilaian Kinerja Keuangan PT. PLN (Persero) Periode 2010-2012
Rasio
ROE (%)
ROI (%)
Cash Ratio (%)
Current Ratio (%)
Collection Periods (hari)
Perputaran Persediaan (hari)
TATO (%)
TMS terhadap TA (%)
2010
Nilai
Skor
Rasio
6,74
7,5
9,13
5
35,88
3
81,48
0
6,46
4
22,32
4
61,89
2
40,54
5,5
Total Skor Penilaian Kinerja Keuangan
Total Skor Penilaian Tingkat Kesehatan
(= Total Skor Penilaian Kinerja
Keuangan : Nilai Ekuivalen 50%)
Kategori Tingkat Kesehatan
PT. PLN (Persero) Periode 2010-2012
2011
Nilai
Skor
Rasio
3,72
4
5,89
3,5
34,76
2,5
91,66
1
6,15
4
27,47
4
56,26
1,5
31,21
6
2012
Nilai
Skor
Rasio
2,13
3
4,69
3
30,35
2,5
92,01
1
6,04
4
26,26
4
53,13
1,5
27,85
4
31
62
26,5
53
23
46
BBB
(Kurang
Sehat)
BBB
(Kurang
Sehat)
BB
(Kurang
Sehat)
Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian, 2014 (Lihat Tabel 4.3.1 s.d. Tabel 4.3.8)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa total skor untuk penilaian kinerja
keuangan perusahaan secara keseluruhan untuk tahun 2010 adalah 31, tahun 2011
adalah 26,5, dan untuk tahun 2012 adalah 23. Sedangkan total skor penilaian tingkat
kesehatan perusahaan diperoleh dengan membagi total skor hasil penilaian kinerja
101
keuangan yang telah dihitung dengan nilai ekuivalennya sebesar 50%. Nilai
ekuivalen sebesar 50% ini merupakan total skor bobot maksimum untuk penilaian
kinerja dari aspek keuangan.
Sehingga dapat diketahui bahwa hasil penilaian terhadap kinerja keuangan
pada PT. PLN (Persero) untuk tahun 2010 berada pada kategori “KURANG
SEHAT” dengan predikat BBB, karena hasil total skor penilaian tingkat kesehatan
perusahaan berada diantara interval 50 < TS ≤ 65, yaitu mendapat total skor secara
keseluruhan 62, sesuai syarat kategori “KURANG SEHAT” predikat “BBB”
menurut Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002. Pada tahun 2011 total
skor penilaian tingkat kesehatan perusahaan adalah 53 dan mendapat kategori
“KURANG SEHAT” dengan predikat “BBB” karena hasil perhitungan total skor
masih berada diantara interval 50 < TS ≤ 65. Untuk tahun 2012, kinerja keuangan
perusahaan masih dalam kategori “KURANG SEHAT” namun dengan predikat
“BB” karena total skor penilaian perusahaan turun menjadi 46 atau berada pada
posisi interval 40 < TS ≤ 50.
Kinerja keuangan PT. PLN (Persero) selama tahun 2010-2012 apabila diukur
menggunakan delapan indikator analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan
Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan
Badan Usaha Milik Negara ini, ternyata menunjukkan adanya penurunan karena
masih tergolong dalam kategori “KURANG SEHAT” dan terakhir pada tahun 2012
predikat perusahaan menjadi “BB” dari sebelumnya “BBB” pada tahun 2010 dan
2011. Secara garis besar, berdasarkan hasil analisis terhadap delapan indikator rasio
keuangan tersebut beserta akun-akun komponennya, kinerja perusahaan apabila
dilihat dari aspek keuangan yang semakin menurun ini, terutama akibat adanya
102
pelemahan nilai kurs rupiah akhir-akhir ini dan adanya peningkatan beban keuangan
perusahaan yang cukup tinggi sehingga menyebabkan laba perusahaan selama
periode 2010-2012 mengalami penurunan, selain itu hal ini juga merupakan dampak
dari adanya pelaksanaan proyek percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW
atau yang dikenal pula dengan proyek FTP (Fast Track Program) yang sedang dalam
tahap I. Program percepatan ini merupakan proyek yang ditugaskan Pemerintah
kepada perusahaan dalam rangka untuk memenuhi target penambahan daya
perusahaan dan target rasio elektrifikasi nasional dalam mengimbangi kebutuhan
tenaga listrik yang semakin meningkat. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 59 Tahun 2009, tanggal 23 Desember 2009, tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 71 Tahun 2006 tanggal 5 Juli 2006
tentang Penugasan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan
Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik I yang Menggunakan
Batubara, Pemerintah menugaskan PT. PLN (Persero) sebagai perusahaan yang
bergerak dalam bidang usaha penyediaan dan pendistribusian tenaga listrik untuk
membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara di 42
lokasi di Indonesia, yang meliputi 10 pembangkit dengan jumlah kapasitas 7.490
MW di Jawa-Bali dan 32 pembangkit dengan jumlah kapasitas 2.769 MW di luar
Jawa-Bali.
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1.
Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, tanggal 4
Juni 2002, tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN, pada tahun 2010
kinerja keuangan PT. PLN (Persero) masuk kategori “KURANG SEHAT”
dengan predikat BBB, karena total skor penilaian tingkat kesehatan yang
diperoleh perusahaan adalah 62 berada diantara interval 50 < TS ≤ 65.
2.
Pada tahun 2011, total skor penilaian tingkat kesehatan yang diperoleh
perusahaan adalah 53 (berada diantara interval 50 < TS ≤ 65), menunjukkan
bahwa kinerja keuangan PT. PLN (Persero) berada pada kategori “KURANG
SEHAT” dengan predikat BBB.
3.
Sedangkan pada tahun 2012, hasil penilaian kinerja keuangan PT. PLN (Persero)
dinyatakan berada pada tingkat “KURANG SEHAT” dengan predikat menjadi
BB dari yang sebelumnya BBB, karena total skor penilaian tingkat kesehatan
yang diperoleh perusahaan adalah 46 berada diantara interval 40 < TS ≤ 50.
4.
Selama periode 2010-2012, kinerja keuangan PT. PLN (Persero) mengalami
penurunan dan berada pada kategori “KURANG SEHAT”, karena pada delapan
indikator rasio keuangan sebagai komponen dalam penilaian kinerja keuangan
BUMN sesuai Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, mengalami
beberapa keadaan yang berfluktuatif, seperti belum optimalnya kinerja keuangan
103
104
perusahaan apabila dilihat dari sisi ROE, ROI, current ratio, total asset turn over
(TATO), namun apabila keadaan kinerja keuangan perusahaan dilihat dari sisi
cash ratio, collection periods, perputaran persediaan, dan rasio modal sendiri
terhadap total aktiva (TMS terhadap TA), menunjukkan hasil yang cukup baik.
5.2
Saran
Saran-saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
PT. PLN (Persero) hendaknya memperbaiki kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendeknya, yaitu baik dengan cara meningkatkan
sumber dana eksternal perusahaan melalui peningkatan jumlah pinjaman dari
pihak ketiga, pihak berelasi, bank, maupun melalui surat hutang jangka panjang
yang akan digunakan untuk pembiayaan dalam aktivitas-aktivitas perusahaan,
maupun dengan cara meningkatkan sumber pendanaan dari kas internal
perusahaan melalui peningkatan investasi terhadap aset tetap maupun investasi
terhadap entitas asosiasi dan ventura bersama perusahaan sehingga perusahaan
mampu membiayai aktivitas-aktivitas perusahaan dengan dana kas internal
perusahaan, tidak tergantung pada dana pinjamam.
2.
PT. PLN (Persero) hendaknya meningkatkan pendapatan perusahaan melalui
peningkatan
penjualan
dengan
cara
memperbaiki
citra
perusahaan,
meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan, memberikan kepastian
penyediaan listrik dengan meminimkan jumlah gangguan maupun jumlah
pemadaman listrik, lebih menggalangkan promosi listrik prabayar kepada
pelanggan, memperluas jangkauan pendistribusian listrik hingga ke daerah yang
terpencil, dan mengoptimalkan penggunaan sumber energi tenaga listrik
105
alternatif non-BBM untuk dapat memberikan tarif tenaga listrik yang lebih
terjangkau untuk dikenakan pada pelanggan.
3.
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut
dengan objek penelitian pada unit-unit bisnis PT. PLN (Persero) ataupun pada
perusahaan-perusahaan BUMN lainnya dan dapat memperluas cakupan
penelitian dalam melakukan analisis kinerja perusahaan secara keseluruhan,
yaitu tidak hanya dari aspek keuangan saja.
Download