BAB II

advertisement
BAB II
PEREMPUAN DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF
A. PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
1. Terminologi Perempuan Dalam Islam
Dalam al- Qur’an, istilah perempuan disebut menggunakan kata-kata
seperti: al- nisa’ (‫)اﻟﻨﺴﺎء‬,
dan al- untsa
al- mar’ah
(‫) اﻟﻤَﺮأة‬, al- zaujah (‫ )اﻟﺰوﺟﺔ‬,
(‫) اﻷ ﻥﺜﻰ‬. Kata al- nisa’ adalah bentuk jamak dari al- mar’ah
yang artinya perempuan yang sudah matang atau dewasa termasuk disini adalah
istri (al- zaujah), kata al- nisa’ berarti gender perempuan, sepadan dengan kata
al- rijal
( ‫)اﻟﺮﺟﺎل‬
yang berarti gender laki-laki, sedangkan al- untsa berarti
jenis kelamin secara umum (dari yang masih bayi sampai yang sudah uzur).1.
Kata al-nisa’ akar kata dari nasiya yang artinya lupa, sedangkan al- untsa
diartikan sebagai lemah lembut serta halus perkataannya, hal ini berkonotasi
bahwa kata perempuan dalam bahasa Arab bermakna inferior, yakni lemah
lembut, pelupa, penghibur, kurang akalnya dan jinak.2
1
Nasaruddin umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 1999, hlm. 159.
2
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an,
Yogyakakarta: LKis, 1999, hlm. 18.
17
18
Salah satu tema besar sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam
adalah persamaan manusia (laki-laki dan perempuan), antar bangsa, suku,
keturunan. Perbedaan yang pokok dan kemudian dijadikan sebagai barometer
untuk mengukur tinggi-rendahnya derajat seseorang adalah nilai penghambaan
(ketakwaan terhadap Tuhannya)3. Seperti yang terangkum dalam surat
al-
hujurat ayat 13:
‫ﻴﺎﺍﻴﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻨﺎ ﺨﻠﻘﻨﺎﻜﻡ ﻤﻥ ﺫﻜﺭ ﻭﺍﻨﺜﻰ ﻭﺠﻌﻠﻨﺎﻜﻡ ﺸﻌﻭﺒﺎ ﻭﻗﺒﺎﺌل ﻟﺘﻌﺎﺭﻓﻭﺍ ﺍﻥ‬
(١٣ :‫ﺍﻜﺭﻤﻜﻡ ﻋﻨﺩ ﺍﷲ ﺍﺘﻘﺎﻜﻡ )ﺍﻟﺤﺠﺭﺍﺕ‬
Artinya: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
(terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang
termulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling bertakwa”. 4
Al-Qur’an memberikan kedudukan dan kemuliaan terhadap perempuan
dengan tidak mendiskreditkan keberadaannya. Dalam pandangan Al-Qur’an
perempuan mempunyai kedudukan mulia dan terhormat.5 Perempuan dalam
pandangan Islam dapat ditegaskan bahwa, tidak sebagaimana diduga dan
dipraktekkan dalam sementara masyarakat. Islam pada hakikatnya memberikan
kedudukan yang terhormat serta perhatian sangat besar terhadap perempuan.6
3
Quraish Shihab, Konsep wanita Menurut Qur’an, Hadis, Dan Sumber-Sumber Ajaran
Islam, dalam kumpulan makalah Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual,
Jakarta,: INIS, 1993, hlm. 3.
4
Departemen Agama Republik Indonesia, Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2000, hlm. 412.
5
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan Media Utama, 2000, hlm. 298.
6
Zaitunah Subhan, loc. cit.
19
Seorang ulama kontemporer Al-Azhar yang berkebangsaan Mesir dengan
kenamaan Muhammad al-Ghazali menulis:
Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita
akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi
dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua.
Keadaan mereka ketika itu lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan
perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam hal
berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan 7.
Demikian pula seperti yang ditulis oleh Mahmud Syaltut, mantan
syeih (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir sebagai
berikut:
Tabiat manusia antara laki-laki dan perempuan hampir dapat (dikatakan)
sama, Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana kepada
laki-laki, kepada mereka berdua dianugerahkan potensi dan kemampuan yang
cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis
kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum
maupun khusus. Karena itu hukum-hukum syari’at pun meletakkan keduanya
dalam satu kerangka, yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan
dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu
( perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan
kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan8.
Jika dilihat secara mendalam sesungguhnya antara laki-laki dan
perempuan itu sama, sehingga tidak perlu adanya pembedaan-pembedaan
terutama pada kedudukan sosial serta pada pembagian-pembagian wilayah
(tugas), kecuali pada tataran tertentu yang sudah merupakan kodrati (alamiah /
sunnatullah). Akan tetapi dalam realita kehidupan manusia banyak terjadi
pemahaman serta praktek (aksi) yang memerosotkan kedudukan perempuan,
7
8
Ibid.
Ibid., hlm. 3-4.
20
hal ini diantaranya disebabkan karena kedangkalan pengetahuan keagamaan,
kesalahan penafsiran teks agama9 serta ketidaktahuan dan kebodohan manusia
itu sendiri disamping karena tradisi-tradisi yang telah mengakar di masyarakat
sejak dari nenek moyang.
Al-Qur’an banyak memperhatikan persoalan perempuan, seperti
kedudukan, peran, serta perlindungan hukum terhadap hak-haknya. Hal ini
terangkum dalam surat-surat: an-nisa’ al-baqarah, ali imran, al-maidah,
yusuf, maryam, al-a’raf, an-nur, al-ahzab, al-mujadalah, at-tahrim, dan atthalak .Hal ini menjadi pertanda betapa pentingnya masalah perempuan serta
betapa perempuan sangat diperhatikan dan dijunjung tinggi hak-haknya.
Perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-laki, baik dari segi
penciptaan maupun hak dan kewajiban dihadapan Tuhannya.
Al-Qur’an menjelaskan tentang asal muasal kejadian perempuan,
yakni dalam surat an-nisa’ ayat 1 sebagai berikut:
‫ﻴﺎﺍﻴﻬﺎﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﺘﻘﻭﺍ ﺭﺒﻜﻡ ﺍﻟﺫﻱ ﺨﻠﻘﻜﻡ ﻤﻥ ﻨﻔﺱ ﻭﺍﺤﺩﺓ ﻭﺨﻠﻕ ﻤﻨﻬﺎ ﺯﻭﺠﻬﺎ ﻭﺒﺙ‬
(١ :‫ﻤﻨﻬﻤﺎ ﺭﺠﺎﻻ ﻜﺜﻴﺭﺍ ﻭﻨﺴﺎﺀ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah
menciptakan
pasangannya,
dan
dari
keduanya
Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. 10
9
Ibid.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm.61.
10
21
Bunyi
teks
diatas
mengundang
berbagai
penafsiran
yang
kontroversial, sehingga banyak ulama ahli tafsir yang menginterpretasikan
ayat tersebut secara berbeda-beda. Diantara para mufasir yang memahami
kata nafs sebagai Adam adalah Al- Jalalain, Ibn Katsir, Al- Qurtubi, AlBiqa’I, Abu As-Sud, serta At- Tabarsi dan lain-lain11. Mereka berpendapat
bahwa Allah menciptakan pasangan (istri) Adam yakni Hawa dari nafs
wahidah yaitu Adam, sehingga para mufassir memahami bahwa Hawa
(perempuan) diciptakan dari tubuh Adam (laki-laki) itu sendiri12. Pendapat ini
akan melahirkan penilaian yang minir terhadap perempuan, yakni bahwa
perempuan adalah bagian dari laki-laki, bahwa keberadaan perempuan sangat
tergantung pada laki-laki, bahwa tanpa laki-laki maka perempuan mustahil
ada.
Al-Qurtubi misalnya, menekankan bahwa istrinya itu diciptakan dari
tulang rusuk sebelah kiri yang bengkok, dan sebab demikian perempuan itu
mempunyai sifat auja’ (bengkok / tidak lurus)13. Seperti halnya kitab-kitab
tafsir klasik sepakat mengartikan hal yang sama. Pandangan seperti ini
merujuk pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan AtTirmizi:
11
Quraish Shihab, Konsep Wanita Menurut Qur’an, Hadis, Dan Sumber-Sumber Ajaran
Islam, op. cit., hlm. 4
12
Zaitunah Subhan, op.cit., hlm. 45.
13
Ibid.
22
‫ ﻭﺍﺴﺘﻭﺼﻭﺍ ﺒﺎﻟﻨﺴﺎﺀ‬... ‫ﻋﻥ ﺍﺒﻲ ﻫﺭﻴﺭﺓ ﻋﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎل‬
١٤
(‫ ﺍﻟﺤﺩﻴﺙ )ﺭﻭﺍﻩ ﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻤﺴﻠﻡ ﻭﺘﺭﻤﺫﻱ‬... ‫ﺨﻴﺭﺍ ﻓﺎﻨﻬﻥ ﺨﻠﻘﻥ ﻤﻥ ﻀﻠﻊ‬
Artinya: “Saling pesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena
mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok…”
(Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At-Tirmizi dan Abu
Hurairah)”.
Hadits ini dipahami oleh ulama terdahulu secara harfiah, akan tetapi
oleh kalangan ulama kontemporer banyak yang memahami hadits tersebut
secara metaforis dan bahkan ada pula yang menolak hadits ini.15 Ulama yang
dalam hal ini memaknai hadits diatas secara metaforis mereka berpendapat
bahwa hadits tersebut memperingatkan pada laki-laki agar menghadapi
perempuan dengan bijaksana karena ada sifat, karakter serta kecenderungan
perempuan yang tidak sama dengan laki-laki, yang apabila tidak disadari akan
dapat mengantarkan laki-laki untuk berbuat dan bersikap tidak wajar.16
Amina Wadud seorang feminis muslim mengatakan bahwa:
Pernyataan historis tidaklah menunjukkan bahwa Allah memulai penciptaan
manusia dari jenis kelamin laki-laki. Menurut catatan Al-Qur’an, Allah tidak
pernah merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dari bentuk seorang
laki-laki dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal usul manusia adalah
Adam. Hawa (pasangan Adam) diciptakan dari dua bentuk yang saling
melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah perbedaan sifat,
karakteristik dan fungsi, akan tetapi kedua bagian yang selaras ini saling
melengkapi sebagai kebutuhan satu keseluruhan 17.
14
Imam Bukhari, Hadits Shahih Bukhari, Kitab Nikah Bab Wasiat Terhadap Perempuan,
Juz VI Jilid III, Dar Al-Fikr, Libanon, 1981, hlm. 145.
15
Ibid.
16
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit., hlm. 300.
17
Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Hlm. 71-72.
23
At-Tabattabi dalam tafsirnya menulis bahwa ayat 1 surat an-nisa’
diatas menegaskan bahwa:
Perempuan (istri Adam) adalah diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam,
dan bahwa ayat tersebut sedikit-pun tidak mendukung paham sementara
mufassir yang beranggapan bahwa istri Adam tersebut diciptakan dari tulang
rusuknya sebagaimana ditemukan dalam beberapa riwayat18
Adapun dalam Women and Islam: An Historical and Theological
Inquiry,
Fatima Mernisi dan Riffat Hassan menolak pandangan tentang
penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, dengan alasan bahwa konsep
tersebut adalah datang dari Injil yang masuk melalui kepustakaan hadits yang
penuh kontroversi19. Sedangkan dalam tafsir terbitan Departemen Agama RI
menyatakan bahwa manusia itu diciptakan dari jenis yang satu dan dari situ
Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanyalah manusia berkembang
biak.20
Banyak teks Al-Qur’an mendukung pendapat yang menekankan
persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa serta persamaan kedudukan
diantara keduanya, seperti yang tertuang dalam surat al-isra’ ayat 70:
18
Quraish Shihab’ Konsep Wanita Menurut Qur’an, Hadits dan Sumber-Sumber Ajaran
Islam, op.cit., hlm. 4
19
Zaitunah Subhan, opcCit., hlm. 49.
20
Ibid., hlm. 50
24
‫ﻭﻟﻘﺩ ﻜﺭﻤﻨﺎ ﺒﻨﻲ ﺍﺩﻡ ﻭﺤﻤﻠﻨﺎﻫﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺭ ﻭﺍﻟﺒﺤﺭ ﻭﺭﺯﻗﻨﺎﻜﻡ ﻤﻥ ﺍﻟﻁﻴﺒﺎﺕ‬
(٧٠ :‫ﻭﻓﻀﻠﻨﺎﻫﻡ ﻋﻠﻰ ﻜﺜﻴﺭ ﻤﻤﻥ ﺨﻠﻘﻨﺎ ﺘﻔﻀﻴﻼ )ﺍﻻﺴﺭﺍﺀ‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami
angkat mereka di dataran dan di lautan (memudahkan mencari
kehidupan), Kami beri mereka rizki yang baik-baik, dan kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
mahluk-mahluk yang kami ciptakan” 21
Kata “anak-anak Adam” dalam ayat tersebut berarti mencakup
semua (laki-laki dan perempuan), demikian pula “penghormatan” yang
diberikan Tuhan itu mencakup kepada anak-anak Adam secara keseluruhan,
baik laki-laki maupun perempuan22. Pemahaman seperti ini dipertegas oleh
Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 195 sebagai berikut:
‫ﺍﻨﻲ ﻻﺍﻀﻴﻊ ﻋﻤل ﻋﺎﻤل ﻤﻨﻜﻡ ﻤﻥ ﺫﻜﺭ ﻭﺍﻨﺜﻰ ﺒﻌﻀﻜﻡ ﻤﻥ ﺒﻌﺽ )ﺍل‬
(١٩٥ :‫ﻋﻤﺭﺍﻥ‬
Artinya: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena)
sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain” 23
Jadi sangatlah jelas bahwa syari’at Islam itu menempatkan
perempuan sederajat dengan laki-laki, Al-Qur’an tidak diskriminatif
melainkan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan untuk
21
Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 231.
Quraish Shihab, Konsep Wanita Menurut Qur’an, hadits, dan Sumber-Sumber Ajaran
Islam, op. cit, hlm. 4.
23
Op.cit., hlm. 60.
22
25
kemuliaan manusia (laki-laki dan perempuan). Al-Qur’an menempatkan
perempuan pada tempat yang sewajarnya dan meluruskan segala interpretasi
yang salah yang berkaitan dengan kedudukan, asal kejadian serta hak dan
kewajibannya.
Adapun mengenai kodrat perempuan yang tidak dimiliki oleh kaum
laki-laki dan tidak pula dapat dipertukarkan dari padanya seperti: menstruasi,
mengandung, melahirkan dan menyusui. Dengan kodrat tersebut perempuan
memiliki kelebihan-kelebihan sekaligus keterbatasan-keterbatasan. Al-Qur’an
menyebutkan seorang perempuan yang sedang haid atau sedang nifas itu
berada dalam keadaan tidak suci. Dan dari pernyataan ini memberikan
penafsiran negatif terhadap perempuan, yakni perempuan dianggap sebagai
tidak kurang dalam hal agama jika dibandingkan dengan laki-laki, karena
pada saat haid dan nifas tersebut perempuan diharamkan untuk mengerjakan
shalat dan puasa24.
Sebuah hadits yang banyak dijadikan legitimasi bahwa perempuan
itu lemah dari sisi agama dan akalnya, hadits ini diriwayatkan oleh Said alKhudzry: pada saat rasulullah berangkat ke tempat shalat pada hari raya adha
beliau berjumpa dengan para perempuan, kemudian bersabda sebagai berikut:
24
Lihat Dadang S. Anshari, Memperbincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran
Sosial Kaum Wanita, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, hlm. 113
26
‫ ﻴﺎ ﻤﻌﺸﺭ‬...‫ ﺭﺴﻭل ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎل‬,‫ﻋﻥ ﺍﺒﻲ ﺴﻌﻴﺩ ﺍﻟﺨﺩﺭﻯ‬
‫ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺘﺼﺩﻗﻥ ﻓﺎﻨﻲ ﺍﺭﻴﺘﻜﻥ ﺍﻜﺜﺭ ﺍﻫل ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻓﻘﻠﻥ ﻭﺒﻡ ﻴﺎ ﺭﺴﻭل ﺍﷲ ﻗﺎل‬
‫ﺘﻜﺜﺭﻥ ﺍﻟﻠﻌﻥ ﻭﺘﻜﻔﺭﻥ ﺍﻟﻌﺸﻴﺭ ﻤﺎﺭﺍﻴﺕ ﻤﻥ ﻨﺎﻗﺼﺎﺕ ﻋﻘل ﻭﺩﻴﻥ ﺍﺫﻫﺏ ﻟﻠﺏ‬
‫ﺍﻟﺭﺠﺎل ﺍﻟﺤﺎﺯﻡ ﻤﻥ ﺍﺤﺩﺍﻜﻥ ﻗﻠﻥ ﻭﻤﺎﻨﻘﺼﺎﻥ ﺩﻴﻨﻨﺎ ﻭﻋﻘﻠﻨﺎ ﻴﺎﺭﺴﻭل ﺍﷲ ﻗﺎل‬
‫ﺍﻟﻴﺱ ﺸﻬﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﺭﺍﺓ ﻤﺜل ﻨﺼﻑ ﺸﻬﺎﺩﺓ ﺍﻟﺭﺠل ﻗﻠﻥ ﺒﻠﻰ ﻗﺎل ﻓﺫﺍﻟﻙ ﻤﻥ ﻨﻘﺼﺎﻥ‬
‫ﻋﻘﻠﻬﺎ ﺍﻟﻴﺱ ﺍﺫﺍ ﺤﺎﻀﺕ ﻟﻡ ﺘﺼل ﻭﻟﻡ ﺘﺼﻡ ﻗﻠﻥ ﺒﻠﻰ ﻗﺎل ﻓﺫﻟﻙ ﻤﻥ ﻨﻘﺼﺎﻥ‬
٢٥
.‫ﺩﻴﻨﻬﺎ‬
Artinya: “Hai para perempuan bersedekahlah kalian, sebab saya melihat
kalian banyak yang menjadi penghuni neraka”. Kemudian para
perempuan bertanya: “Mengapa, ya rasul?”
Rasulullah
menjawab, “kalian banyak mengucapkan kutukan dan mengingkari
kebaikan suami. Aku tidak pernah melihat perempuan-perempuan
yang kurang akal dan agamanya dapat meluluhkan hati laki-laki
yang kokoh perkasa dari salah seorang diantara kalian”. Mereka
bertanya, “dimana letak kekurangan akal dan agama kami ya
rasul?”. Beliau menjawab, “bukankah kesaksian seorang
perempuan itu sama dengan separoh kesaksian laki-laki?”. Mereka
berkata “betul”. Rasulullah bersabda, “itulah kekurangan akalnya.
Bukankah kalau perempuan sedang haid itu tidak boleh shalat dan
puasa?”. Mereka menjawab “betul”. Rasulullah bersabda, “di
situlah letak kekurangan agamanya”26.
Memahami dan menafsirkan sebuah teks itu tidak dapat terlepas dari
konteks kesejarahan, yakni dimana teks itu lahir dan dalam kondisi sosial
masyarakat seperti apa teks itu diturunkan. Sebab lahirnya sebuah teks itu
25
26
Imam Bukhori, op.cit, Bab Haid juz I, hlm. 78.
Zaitunah Subhan, op.cit., hlm. 58.
27
merupakan hasil proses dialektika yang kontinyu antara alam, manusia
(termasuk didalamnya menyangkut budaya atau peradaban) serta Tuhan. Jadi
dengan demikian kita tidak dapat menafsiri sebuah teks hanya dengan melihat
apa adanya teks itu (sisi dzahiriah teks tersebut).
Demikian juga mengenai teks-teks yang misoginis27, teks-teks
tersebut tidak dapat secara langsung dikonsumsi, akan tetapi harus diolah dan
dicerna terlebih dulu mengenai kapan, bagaimana, mengapa serta dimana teks
itu muncul, dengan demikian maka kita tidak akan terjebak dalam memaknai
suatu teks keagamaan (al-Qur’an dan sunnah).
Banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa perempuan
adalah mahluk sekunder, sementara mereka mengatakan mempunyai sebuah
landasan yang kuat, yakni dari teks (dalil) al-Qur’an dan sunnah) itu sendiri.
Padahal Islam itu datang untuk membebaskan manusia (laki-laki dan
perempuan) dari belenggu ketidakadilan dan kebodohan, bukan sebagai
pendiskriditan sekelompok orang tertentu yang berbeda jenis kelaminnya.
Islamlah pelopor utama yang menempatkan perempuan berada pada
proporsinya yang layak, terhormat dan sederajat dengan laki-laki, karena
Islam memandang perempuan dan laki-laki itu adalah sama-sama manusia.28
Islam menjamin hak-hak perempuan sebagai individual yang bebas dan
27
Teks-teks misoginis, adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh Fatima Mernisi, seorang
feminis Muslim kelahiran Maroko. Istilah misoginis ini adalah untuk menyebut dalil-dalil yang secara
teks dzahirnya menyudutkan perempuan.
28
Dr. A.M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, dalam “Hak Wanita Dalam
Isalam”, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet. ke-I, hlm. 27.
28
merdeka,
mereka
dapat
menjual,
membeli,
memiliki,
menyewakan,
menggadaikan serta bertindak bebas terhadap hak miliknya, dapat mewarisi
dan diwarisi29 dan berhak mengekspresikan kemampuannya baik fisik
maupun intelektualitas yang dimilikinya.
Al-Qur’an bukan sekedar koleksi hukum an sich, kitab suci ini
bukan hanya berisi tentang serangkaian perintah dan hukum yang kering tanpa
komentar-komentar30. Tetapi al-Qur’an berisi hukum sekaligus sejarah, seruan
sekaligus interpretasi tentang penciptaan serta pokok-pokok lain yang tidak
terhitung jumlahnya31.
Teks-teks yang dianggap misoginis seperti surat an-Nisa’ ayat 34:
‫ﺍﻟﺭﺠﺎل ﻗﻭﺍﻤﻭﻥ ﻋﻠﻰﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺒﻤﺎﻓﻀل ﺍﷲ ﺒﻌﻀﻬﻡ ﻋﻠﻰ ﺒﻌﺽ ﻭﺒﻤﺎ ﺍﻨﻔﻘﻭﺍ ﻤﻥ‬
(٣٤ :‫ﺍﻤﻭﺍﻟﻬﻡ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
Artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka”32.
Oleh sebagian mufassir kata qowwam disini diartikan sebagai lakilaki adalah pemimpin dalam berbagai hal termasuk dalam urusan di luar
rumah tangganya. Sebab pemimpin disini termasuk juga sebagai penanggung
29
Ibid.
Murtadha Muthahari, Hk-Hak Wanita Dalam Islam, terj., The Rights Women in Islam,
Jakarta: PT Lentera Basri Tama, 2000, hlm. 74.
31
Ibid.
32
Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 66.
30
29
jawab, pengatur, sekaligus pendidik yang harus ditaati. Mereka (para
mufassir) banyak yang berpendapat bahwa superioritas laki-laki atas
perempuan adalah mutlak adanya, karena hal itu telah diciptakan oleh Tuhan
sehingga tidak pernah dapat berubah33.
Apabila kita cermati sebuah hadits riwayat Bukhari:
‫ﻋﻥ ﺍﺒﻥ ﻋﻤﺭ ﺭﻀﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺍﻥ ﺭﺴﻭل ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎل ﺍﻻ‬
‫ﻜﻠﻜﻡ ﺭﺍﻉ ﻭﻜﻠﻜﻡ ﻤﺴﺌﻭل ﻋﻥ ﺭﻋﻴﺘﻪ … ﻭﺍﻟﺭﺠل ﺭﺍﻉ ﻋﻠﻰ ﺍﻫل ﺒﻴﺘﻪ ﻭﻫﻭ‬
‫ﺍﻟﺤﺩﻴﺙ )ﺭﻭﺍﻩ‬...‫ﻤﺴﺌﻭل ﻋﻥ ﺭﻋﻴﺘﻪ ﻭﺍﻟﻤﺭﺍﺓ ﺭﺍﻋﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻫل ﺒﻴﺕ ﺯﻭﺠﻬﺎ‬
٣٤
Artinya:
(‫ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬
“Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang laki-laki
adalah pemimpin bagi seluruh anggota rumahnya, dan seorang
perempuan (istri) adalah pemimpin rumah tangga dan
bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya”.
Hadits di atas merupakan reinterpretasi nabi atas ayat 34 dari surat
an-Nisa, bahwa kepemimpinan (qowwam) laki-laki atas perempuan disini
diartikan sebagai terbatas pada kepemimpinan dalam rumah tangga, ini pun
dikarenakan laki-laki bertanggungjawab untuk menafkahi seluruh anggota
keluarganya.
33
Dan
apabila
laki-laki
dalam
hal
ini
tidak
mampu
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender
Yogyakarta: LkiS, 2001, hlm. 20.
34
Imam Bukhari, op.cit. Bab Ahkam Juz VIII, hlm. 104.
30
bertanggungjawab atas nafkah itu maka bisa jadi ketentuan tersebut tidak
berlaku.
Keunggulan laki-laki atas perempuan bukanlah pada jenis
kelaminnya. Tetapi karena keunggulan fungsional yang mana laki-laki
memberi nafkah kepada kaum perempuan dan keluarganya, dan fungsi sosial
yang dibebankan pada laki-laki itu setara dengan tugas sosial yang diemban
oleh perempuan dalam rumah tangganya35.
Para feminis muslim seperti Asghar Ali Engineer mempersoalkan
mengapa Al-Qur’an menyatakan adanya kelebihan laki-laki atas perempuan
karena nafkah yang telah diberikan. Hal ini dikarenakan adanya dua hal yang
melatarbelakanginya yaitu: karena kesadaran sosial perempuan masa itu
masih sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban
perempuan, serta karena laki-laki menganggap dirinya lebih unggul sebab
kekerasan
dan
kemampuan
mereka
dalam
mencari
nafkah
serta
membelanjakannya untuk perempuan36. Dalam sebuah kritiknya Asghar
mengatakan:
Perempuan di sepanjang zaman feodal begitu tertekan dan dibatasi ruang
geraknya, sehingga tidak ada makna lain dari makna qowwam yang tersedia
bagi para mufassir. Bagi mereka makna diatas adalah makna “jelas”
sebagaimana sangat “jelas” bagi mereka bahwa perempuan harus melayani
laki-laki sebagai bagian dari tugas mereka37.
35
Zaitunah Subhan, op.cit., hlm. 108.
Yunahar Ilyas, op.cit., hlm. 82.
37
Ibid., hlm. 83.
36
31
Adapun menurut Amina Wadud, laki-laki dapat menjadi pemimpin
dalam rumah tangga hanya apabila disertai dengan dua catatan yaitu: apabila
laki-laki mempunyai kelebihan dan sekaligus mampu membuktikannya, dan
apabila laki-laki mendukung perempuan dengan menggunakan harta
bendanya.38 Masih menurut Amina Wadud bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an
yang secara eksplisit menyatakan bentuk kelebihan laki-laki atas perempuan.
Kelebihan laki-laki yang dijamin oleh Al-Qur’an hanya terbatas pada warisan,
sebagaimana yang diterangkan dalam surat an-Nisa ayat 11
(١١ :‫ﻟﻠﺫﻜﺭ ﻤﺜل ﺤﻅ ﺍﻻﻨﺜﻴﻴﻥ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
Artinya: “Bagian seorang laki-laki itu sama dengan bagian dua orang anak
perempuan”.39
Dan ini pun karena laki-laki memiliki tanggung jawab menggunakan
kekayaannya untuk mendukung perempuan sekaligus menafkahi keluarganya,
sehingga baginya dapat memperoleh warisan sebanyak dua kali lipat bagian
perempuan40.
Asbabunnuzul atau sebab turunnya surat al- nisa’ ayat 34 adalah
bukan menyangkut kepemimpinan siapapun tetapi karena adanya pengaduan
dari Ummu Habibah kepada nabi bahwa, ia baru saja dipukul oleh suaminya
sehingga tubuhnya memar-memar, kemudian nabi menyuruhnya pulang dan
38
Yunahar Ilyas, op.cit., hlm. 84.
Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 62.
40
Yunahar Ilyas, Loc.cit.
39
32
melakukan pembalasan yang sama untuk memukul suaminya. Namun dalam
perjalanan menuju rumah turunlah ayat yang mengingatkan bahwa laki-laki
adalah qowwamuna terhadap perempuan, bukan untuk memukuli perempuan
sehingga babak belur41. Makna qowwamuna yang kemudian karena besarnya
pengaruh budaya patriarki dalam masyarakat maka hanya diterjemahkan
sebagai pemimpin, yang kemudian dipakai untuk melegitimasi kepemimpinan
laki-laki di dunia politik42.
Untuk terjadinya suatu kemungkinan proses perubahan maka harus
dipahami bahwa penafsiran itu bersifat sosiologis dan kontekstual. Dengan
demikian akan diperoleh sebuah penafsiran bahwa perempuan bukanlah
mahluk Tuhan yang selalu dipandang rendah sebagaimana yang berlaku pada
masyarakat Patriarki43. Dengan metode penafsiran yang demikian maka
perempuan tidak akan selalu dianggap salah ketika ingin berperan di sektor
publik, seperti menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas yang di
dalamnya terdapat laki-laki, sepanjang hal itu tetap dalam kerangka
kerahmatan, keadilan dan kemaslahatan masyarakat secara luas.44
41
Anita Rahman, Masih Adakah Keraguan Terhadap Wanita Untuk Menjadi Pemimpin
Nnegara: Tinjauan Dalam Pandangan Islam, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung:
Penerbit Alumni, 2000, hlm.355.
42
Ibid., hlm. 356.
43
Husein Muhammad, cp.cit., hlm. 23.
44
Loc.cit.
33
2. Hak Dan Kewajiban Perempuan Dalam Perspektif Siyasah
Dalam Islam posisi perempuan tidaklah dipandang sebagai lebih
rendah dari pada laki-laki, surat an-Nisa ayat 32 menjelaskan
(٣٢ :‫ﻟﻠﺭﺠﺎل ﻨﺼﻴﺏ ﻤﻤﺎ ﺍﻜﺘﺴﺒﻭﺍ ﻭﻟﻠﻨﺴﺎﺀ ﻨﺼﻴﺏ ﻤﻤﺎ ﺍﻜﺘﺴﺒﻥ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
Artinya: “Bagi laki-laki hak / bagian dari apa yang dianugerahkan
kepadanya / diusahakannya, dan bagi perempuan hak / bagian dari
apa yang dianugerahkan kepadanya / diusahakannya”. 45
Al-Qur’an banyak berbicara tentang perempuan yang menyangkut
berbagai sisi kehidupan, yakni membincangkan tentang hak dan kewajibannya
maupun yang menguraikan tentang keistimewaan-keistimewaan tokoh
perempuan dalam sejarah kemanusiaan.
Manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam pandangan Islam
adalah sama-sama berhak sekaligus berkewajiban untuk saling nasihatmenasihati serta menyuruh dalam hal kebaikan (amar ma’ruf nahi munkar),
seperti yang tertuang dalam surat at-Taubah ayat 71 sebagai berikut:
‫ﻭﺍﻟﻤﺅﻤﻨﻭﻥ ﻭﺍﻟﻤﺅﻤﻨﺎﺕ ﺒﻌﻀﻬﻡ ﺍﻭﻟﻴﺎﺀ ﺒﻌﺽ ﻴﺄﻤﺭﻭﻥ ﺒﺎﻟﻤﻌﺭﻭﻑ ﻭﻴﻨﻬﻭﻥ ﻋﻥ‬
‫ﺍﻟﻤﻨﻜﺭﻭﻴﻘﻴﻤﻭﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻴﺅﺘﻭﻥ ﺍﻟﺯﻜﻭﺓﻭﻴﻁﻴﻌﻭﻥ ﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﺃﻭﻟﺌﻙ ﺴﻴﺭﺤﻤﻬﻡ‬
(٧١ : ‫)ﺍﻟﺘﻭﺒﺎﺕ‬
‫ﺍﷲ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.
45
Muhammad Quraish Shihab, op. cit., hlm. 7.
34
Mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah
dan rasul-Nya. Mereka itulah akan diberi rahmat oleh Allah”46
Secara umum ayat diatas dipahami sebagai gambaran tentang
kewajiban melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam
berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang politik. Kekuasaan
legislatif dalam arti meminta pertanggungjawaban pada hakekatnya adalah
sejalan dengan pemahaman istilah amar ma’ruf nahi munkar (memberikan
nasihat karena agama). Amar ma’ruf mencakup segala segi kebaikan dan
perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa
(pemerintah).
Berdasarkan ayat 71 dari surat at-Taubah maka jelaslah bahwa tidak
ada larangan bagi perempuan untuk tidak boleh mengoreksi dan melakukan
tindakan legislatif dalam arti meminta pertanggungjawaban, sebab pernyataan
surat at-Taubah ayat 71 tersebut tidak membedakan antara laki-laki dan
perempuan, yakni (setiap laki-laki dan perempuan yang beriman berhak
menyuruh untuk berbuat baik dan melarang untuk berbuat jahat).
Jamaluddin Muhammad Mahmud mengatakan bahwa:
Tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai
melarang keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama
yang membatasi bidang tersebut hanya pada kaum laki-laki47.
46
47
Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 158.
Muhammad Quraish Shihab, op.cit., hlm. 14.
35
Tugas utama kekuasaan legislatif adalah membuat undang-undang,
dan pada hakikatnya pembuat undang-undang yang utama itu adalah Allah.
Dasar-dasar legislasi baik yang berupa perintah maupun larangan itu hanya
berasal dari Allah, manusia hanya diberi kesempatan untuk berijtihad
menentukan segala sesuatu yang belum ada hukumnya, menggali hukum,
merinci, menjelaskan serta menyesuaikan
48
. Sedangkan dalam Islam ijtihad
itu terbuka bagi laki-laki dan perempuan, artinya tidak ada aturan mengenai
syarat
ijtihad
itu
harus
laki-laki
adapun
perempuan
tidak
boleh
melakukannya49.
Al- Mawardi dan Abu Ya’la menetapkan sejumlah syarat untuk
keanggotaan lembaga legislatif, yakni: adil, kemampuan memilih calon kepala
negara, dan keahlian memilih kepala negara50.hal ini menerangkan tidak
secara eksplisit melarang keanggotaan perempuan untuk terlibat dalam
lembaga ini. menurut keduanya (Al-Mawardi dan Abu Ya’la) jabatan tersebut
memerlukan kemampuan dan keahlian, dimana unsur ini menjadi unsur paling
dominan dalam jabatan legislatif tersebut51.
Sementara Said Ramadhan al- Buthi seorang tokoh ulama Syiria
menyatakan: syura (permusyawaratan) dalam pandangan mayoritas ulama
memiliki kesamaan dengan fatwa. Menurutnya anggota parlemen memiliki
48
Abdullah Kelib, Asas-Asas Hukum Islam, Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1983, hlm. 63.
49
Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 217.
50
Husein Muhammad, op.cit., hlm. 149.
51
Op.cit., hlm. 214.
36
fungsi yang sama dengan mufti dan seluruh ulama sepakat bahwa perempuan
boleh menjadi mufti, dengan demikian perempuan dapat dibenarkan untuk
menjadi anggota parlemen52.
Adapun
mengenai
masalah
syura
(musyawarah),
al-Qur’an
menjelaskan dalam surat as-Syura ayat 38 sebagai berikut:
(٣٨ :‫ﻭﺃﻤﺭﻫﻡ ﺸﻭﺭﻯ ﺒﻴﻨﻬﻡ )ﺍﻟﺸﻭﺭﻯ‬
Artinya: “Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah diantara
mereka”53 .
Musyawarah telah menjadi salah satu prinsip dalam pengelolaan
bidang-bidang kehidupan bersama termasuk kehidupan politik, artinya setiap
warga negara / masyarakat (laki-laki dan perempuan) dalam kehidupan
bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah54.
Dengan demikian tidak ada persoalan dalam Islam mengenai
perempuan untuk terlibat secara langsung dalam dunia politik praktis.
Kenyataan sejarah telah membuktikan sekian banyak diantara perempuan
yang terlibat langsung pada persoalan politik praktis dan ini dibenarkan oleh
rasulullah serta dilegitimasi oleh Al-Qur’an.
Memberikan peluang terhadap perempuan untuk menduduki jabatan
politik baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif itu tidak berarti
52
Op.cit., hlm 145.
Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 389.
54
Muhammad Quraish Shihab, op.cit., hlm. 15.
53
37
menyalahi syari’at, meski sampai saat ini masih juga terdapat pendapat yang
tidak membolehkan perempuan untuk terlibat secara langsung serta
menyarankan mereka untuk tetap berada di dalam rumah, karena
dikhawatirkan akan mendatangkan madlarat yang besar bagi dirinya dan
keluarganya atau bahkan masyarakatnya.
Dalam pernyataannya Yusuf Qardhawi menjelaskan:
Ketika mengangkat perempuan menjadi seorang menteri, anggota DPR, atau
jabatan-jabatan yang lain itu tidak berarti bahwa masyarakat itu mengangkat
seorang perempuan menjadi pemimpin dan menyerahkan segala persoalan
kepadanya. Tanggung jawab yang dipikulnya adalah tanggung jawab kolektif
dan kekuasaannya adalah kekuasaan bersama, dan semuanya dipikul oleh
sejumlah lembaga dan aparat55.
Keterlibatan perempuan di politik sejak dari awal Islam telah banyak
membuktikan keberhasilan yang pantas untuk dijadikan suri tauladan, kita
mengenal siapa Umm Hani yang telah berani menjamin keselamatan kepada
sementara orang musyrik, yang mana hal ini didukung dan dibenarkan oleh
nabi, A’isyah binti Abu Bakar yang menjadi panglima perang jamal, Fatimah
binti Rasulullah yang terkenal sebagai orator ulung serta mati-matian
membela dan mencalonkan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama, Assyifa yang menjadi penasehat khalifah Umar bin Khathab dan mendapat tugas
untuk mengurusi pasar, Ghazalah seorang perempuan yang gagah berani di
medan pertempuran, dan lain-lain, masih banyak lagi perempuan-perempuan
55
Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 227.
38
yang terlibat langsung dalam dunia politik dimasa rasulullah maupun masa
setelahnya56.
Perempuan sebagaimana sabda rasulullah SAW adalah syaqo’iq arrijal (saudara-saudara sekandung laki-laki), sehingga kedudukan dan hakhaknya hampir dapat dikatakan sama dan kalaupun ada yang membedakan
maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan
Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaanperbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki
kelebihan atas yang lain57.
B. PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF PERPOLITIKAN DI INDONESIA
1. Tinjauan Umum Tentang Politik
Kata politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota, dan
dibatasi pada kajian tentang negara, mempunyai makna yang beragam58. E.E.
Schattschneider menyebut ilmu politik adalah suatu gunung data yang
mengitari suatu ruang hampa, adapun Bernard Crick mengomentari bahwa
politik adalah politik, yakni apa yang dikatakan oleh ilmuwan politik tentang
politik itu sendiri59. Sedangkan Plato dan Ariestoteles memandang politik
56
Huzaemah T, Konsep Wanita Menurut Qu’an, Sunnah, Dan Fikih dalam kumpulan
makalah seminar Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: 1991, hlm
29-30.
57
Muhammad Quraish Shihab, op.cit., hlm. 16.
58
Abdullah Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 2001, cet-I, hlm.
16.
59
Ibid.
39
terutama dalam terma-terma tujuan-tujuan moral yang dicari oleh para
pembuat keputusan, yakni dengan mencari kebaikan umumnya, kebaikan
warga dan kesempurnaan moral60.
Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan dari sistem-sistem itu serta melaksanakan tujuan-tujuannya61.
Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu kebijakankebijakan yang menyangkut pengaturan dan pembagian alokasi dari sumbersumber yang ada. Dan untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan itu
diperlukan kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) sebagai ajang
untuk kerja sama dan penyelesaian konflik yang mungkin timbul dalam proses
merealisasikan tujuan-tujuan itu. Yang menjadi tujuan dalam sistem politik
adalah menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih, karena politik selalu
menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) bukan
merupakan tujuan pribadi (privat goals).
Beberapa ilmuwan politik akhir-akhir ini memegang posisi yang sama
dan mempersamakan aktivitas politik dengan keyakinan-keyakinan moral,
mereka menganggap konflik mengenai hakikat kehidupan yang baik sebagai
60
61
hlm. 8.
Ibid., hlm. 21.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997,
40
inti pokok, dan mereka mendukung politik sebagai seni hidup dan kerja
sama62.
Menurut Karl W. Deutch, politik adalah pengambilan keputusan
melalui sarana umum. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan mengenai
tindakan umum, yakni apa yang akan dilakukan dan siapa mendapat apa63.
Dalam kamus bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai ilmu pengetahuan
mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tata cara pemerintahan,
dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya)64. Sedangkan dalam kamus-kamus
bahasa Arab modern, kata politik biasa diterjemahkan dengan siyasah,
diambil dari kata sasa-yasusu artinya mengemudi, mengendalikan, mengatur,
dan sebagainya65.
Dalam perkembangan ilmu politik dikenal dengan lima pandangan
tentang politik yaitu: pertama politik adalah usaha-usaha yang ditempuh oleh
warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama.
Kedua politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
negara dan pemerintahan. Ketiga politik sebagai segala kegiatan yang
diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
Keempat
politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan
pelaksanaan kebijaksanaan umum. Kelima politik sebagai konflik dalam
62
Abdulah Rasyid Moten, Loc.cit.
Ibid.
64
w.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986,
63
hlm. 763.
65
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan Media Utama, 2000, hlm. 416.
41
rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap
penting66.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik, disebutkan bahwa parpol adalah organisasi politik yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara suka rela
atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan
umum67.
Partai politik (parpol) mempunyai beberapa fungsi68 , yaitu:
1. Sebagai sarana komunikasi politik, yakni sebagai penyalur aspirasi
masyarakat untuk kemudian diatur sedemikian rupa sehingga menjadi satu
alur yang selaras dan sejalan. Disamping juga sebagai proses penyampaian
informasi politik dari pemerintah ke masyarakat dan demikian juga
sebaliknya.
2. Sebagai sarana sosialisasi politik, yakni merupakan proses melalui mana
seseorang itu memperoleh sikap dan orientasi politik.
3. Sebagai sarana rekrutmen politik, yakni penyeleksian terhadap orang yang
bersedia sekaligus juga berbakat untuk turun aktif berperan dalam
kegiatan politik sebagai anggota partai.
66
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
1992, hlm. 1-9.
67
Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Th.2002 Tentang Partai Politik, Jakarta:
Sinar Grafika, 2003, cet-I, hlm. 3.
68
Miriam Budiardjo, Op.Cit., hlm. 163-164.
42
4. Sebagai sarana pengatur konflik, yakni sebagai sarana dalam proses
mengatasi konflik politik di masyarakat (apabila hal itu terjadi).
5. Sebagai fungsi pelembagaan partisipasi politik, yakni sebagai pembuka
kesempatan, mendorong serta mengajak masyarakat untuk menggunakan
partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik.
6. Fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan, yakni untuk menampung,
menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang beragam
menjadi satu alternatif kebijakan, yang kemudian diperjuangkan dalam
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
7. Fungsi kontrol politik, yakni melakukan berbagai kritik dan kontrol
terhadap berbagai kegiatan (perbuatan dan pelaksanaan) keputusan politik.
Dalam prakteknya, realita perpolitikan yang ada sekarang ini tidaklah
demikian. Pada umumnya parpol-parpol tidak dapat menjalankan fungsinya
secara sempurna seperti yang diharapkan. Selama ini parpol (khususnya di
Indonesia) apabila dicermati bersama hanya mampu menjalankan fungsinya
sebagai rekrutmen politik dan sosialisasi politik, sementara fungsi yang lain
belum dapat direalisasikan, hal ini mengakibatkan kegelisahan serta
perpecahan di masyarakat. Dalam parpol sampai saat ini yang dikejar sebagai
sasaran utamanya adalah bukan lagi kepentingan nasional (masyarakat secara
umum) melainkan hanya sekedar kepentingan golongan (kepentingan partai
43
politik) an sich. Dan inilah yang mengakibatkan berbagai konflik yang tidak
terpecahkan dan justru semakin meruncing serta menajam69.
Berdasarkan pasal I ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia No.
12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum, disebutkan bahwa pemilihan
umum yang selanjutnya disebut sebagai pemilu adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara kesatuan republik Indonesia
tahun 194570. Indonesia menganut sistem kedaulatan rakyat (demokrasi),
artinya rakyat tidak ikut terlibat secara langsung dalam menentukan jalannya
pemerintahan, akan tetapi dengan melalui wakil-wakilnya dalam badan
perwakilan rakyat, ini disebut sebagai demokrasi perwakilan (representative
democracy) yang bertujuan untuk menciptakan suatu pemerintahan dengan
perwakilan (representative government)71. Dengan sistem ini mau tidak mau
dalam memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di badan perwakilan rakyat
maka pemerintah harus menyelenggarakan pemilihan umum.
Ada dua macam sistem pemilihan umum72 yaitu:
69
Ibid., hlm. 164.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, cet-I, hlm. 31.
71
Moh. Kusnardi dan Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, 1988,
hlm. 132-133.
72
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 177.
70
44
1. Sistem Distrik (single-member constituency), yakni setiap kesatuan
geografis atau satu daerah pemilihan mempunyai satu wakil di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
2. Sistem
Perwakilan
Berimbang
(multi-member
constituency
atau
proportional representation), yakni jumlah kursi yang diperoleh dalam
suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang
diperolehnya.
Pemilihan umum dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil73.
1. Langsung, artinya rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk
memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati
nuraninya, tanpa perantara.
2. Umum, artinya pada dasarnya semua warga negara yang telah memenuhi
persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti pemilu.
Menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara
tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin
kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
3.
Bebas, artinya setiap warga negara yang berhak memilih bebas
menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di
73
Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003. op.cit, hlm. 32.
45
dalam melaksanakan haknya setiap warga negara dijamin keamanannya,
sehingga dapat memilih sesuai dengan hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia, artinya dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa
pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan
apapun.
5. Jujur, artinya dalam penyelenggaraan pemilu setiap penyelenggara pemilu,
aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu,
pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Adil, artinya dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta
pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
manapun.
Pada pemilihan umum 2004 kemarin, dalam bab I pasal 6 UU Pemilu
No. 12 Tahun 2003 disebutkan bahwa: (1) Pemilu untuk memilih anggota
DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem
proporsional dengan daftar calon terbuka. (2) Pemilu untuk memilih anggota
DPD dilaksanakan dengan sistem Distrik berwakil banyak74. Pada pemilu
sebelumnya (pemilu tahun 1999) menggunakan sistem perwakilan berimbang,
dimana jumlah kursi yang diperoleh dalam suatu golongan (partai politik)
adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Perbedaan ini
74
.
Ibid
46
membawa sebuah konsekuensi, yakni bagi partai politik yang jumlah
perolehan suaranya kecil akan terpangkas, sehingga suara minoritas dengan
demikian relatif terabaikan. Akan tetapi dengan sistem pemilu seperti
sekarang ini dapat memberi sumbangsih besar sebagai pembelajaran politik
rakyat, karena pemilih (rakyat) dapat menentukan pilihannya secara langsung
dan bebas tidak terikat, ini sangat membantu rakyat dalam berfikir dewasa
dalam politik.
Pemilihan umum diadakan dengan tujuan75:
1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib.
2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
3. Untuk melaksanakan hak asasi warga negara.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sebagai pemegang
kedaulatan rakyat. Keanggotaan MPR terdiri dari Utusan Daerah (UD)
ditambah dengan Utusan Golongan (UG) menurut aturan yang ditetapkan oleh
undang-undang76.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempunyai fungsi-fungsi sebagai
berikut77:
1. Sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi atau pemegang kedaulatan
rakyat.
75
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 330.
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 200.
77
Loc.cit.
76
47
2. Sebagai pembuat ketetapan yang sifatnya legislatif dalam arti peraturan
perundang-undangan, yaitu:
a. Menetapkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Garis-Garis
Besar Haluan Negara (Pasal 3 UUD 1945).
b. Mengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dengan ketentuan 2/3
dari jumlah anggota MPR harus hadir dan putusan diambil dengan
persetujuan 2/3 dari anggota MPR yang hadir (Pasal 37 ayat (1) dan
(2) UUD 1945).
3. Sebagai pembuat ketetapan yang sifatnya non legislatif.
4. Fungsi lainnya (diluar yang telah diatur dalam UUD 1945) yaitu:
a. Mencabut mandat dan memberhentikan presiden apabila sungguhsungguh melanggar Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
b. Mengatur tata tertib MPR.
c. Menafsirkan UUD 1945.
d. Menafsirkan GBHN.
Adapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga tinggi
negara yang melaksanakan fungsi legislatif dan mempunyai tugas utama di
bidang perundang-undangan. DPR sebagai lembaga yang bertugas sekaligus
sebagai bagian dari badan legislatif menurut UUD 1945 bekerja dalam suatu
sistem yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan tugas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga
legislatif secara konstitusional adalah memberikan persetujuan atas setiap
48
rancangan undang-undang, disamping itu anggota DPR mempunyai hak
sebagai anggota dewan dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi dewan78,
yaitu:
1. Hak untuk mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota, yaitu
setiap anggota dewan baik secara individual maupun kolektif dapat
mengajukan pertanyaan kepada presiden.
2. Hak untuk meminta keterangan, (interpelasi), yaitu hak yang dimaksudkan
untuk meminta keterangan kepada presiden tentang suatu kebijakan yang
dijalankan.
3. Hak untuk mengadakan penyelidikan (hak angket), yaitu hak untuk
mengajukan usul penyelidikan mengenai suatu hal sesuai dengan
ketentuan undang-undang.
4. Hak untuk mengadakan perubahan atas undang-undang (amandemen),
yaitu hak yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan atas suatu
undang-undang yang diajukan oleh pemerintah.
5. Hak untuk mengajukan pernyataan pendapat, yakni hak untuk mengajukan
suatu pernyataan pendapat untuk dibicarakan dalam sidang dewan.
6. Hak mengajukan seseorang jika ditentukan oleh undang-undang, hak ini
dimaksudkan sebagai hak untuk mengajukan calon guna mengisi suatu
jabatan.
78
Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997, hlm. 169-171.
49
7. Hak budget, setiap rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara
memerlukan persetujuan dari dewan untuk ditetapkan sebagai undangundang.
2. Kuota Perempuan Dalam Kancah Perpolitikan Nasional
Kata kuota dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
jatah (jumlah yang ditentukan)79, yakni jatah yang ditentukan oleh undangundang mengenai jumlah tertentu untuk menduduki sebuah jabatan politik
bagi perempuan. Ini merupakan satu fenomena baru dalam percaturan politik
di Indonesia, sebab sebelumnya keterwakilan perempuan dalam politik
(legislatif) selama ini tidak terlalu diperhatikan.
Transisi politik yang terjadi di Indonesia telah memberikan nuansa
baru dalam proses pemberdayaan politik perempuan, hal ini memberikan
harapan besar bagi perempuan yang hak politiknya selama ini terpasung.
Kondisi peran perempuan di politik sangat buruk apalagi jika melihat realitas
politik di tingkat massa, dimana perempuan tidak lebih hanya sebagai objek
politik yang apatis terhadap perkembangan nasibnya80. Selama ini politik
didefinisikan dalam arti laki-laki, yakni sebuah dunia dengan sistem zero sum
game81.
79
Kuota n 1 jatah; jumlah yang ditentukan: pemerintah akan menentukan – transmigrasi dari
berbagai kabupaten; menurut daerah itu harus memenuhi 25% kebutuhan ternak potong; dll, lihat
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka,
2001, hlm. 615.
80
Tari Siwi Utami, Perempuan Politik di Parlemen, dalam sebuah oleh Pengantar K H.
Abdurrahman Wahid, op.cit., hlm.vii.
81
Ibid.
50
Dalam aturan main demokrasi suara terbanyak itulah yang akan
berkuasa. Sedangkan di Indonesia sendiri jumlah kuantitas perempuan itu
lebih dari 50% jumlah laki-laki, ini merupakan sebuah peluang bagi
perempuan untuk dapat berkumpul dan membentuk sebuah partai politik,
kemudian memegang kekuasaan. Akan tetapi untuk menilai partisipasi
perempuan di politik tidak dapat dilihat hanya dari indikator tersebut (wacana
tentang perempuan dan kuantitas)82. Indikasi tersebut dapat menjadi peluang
yang akan terealisir manakala perilaku politik perempuan menempatkan
posisinya sebagai subjek politik bukan sebagai objek politik. Dan ini
memerlukan kebersamaan secara serius untuk memberdayakan perempuan
tanpa ada pembedaan dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Upaya memperkuat posisi perempuan dalam politik diantaranya adalah
dengan memperkuat partisipasi peran perempuan dalam politik, dalam
konteks ini peran partai politik adalah sangat penting khususnya dalam rangka
memainkan perannya dalam proses demokratisasi di berbagai institusi politik
untuk melibatkan perempuan. Dengan demikian maka secara kualitas
keterlibatan perempuan dalam dunia politik harus diikuti dengan affirmative
action artinya, harus ada kuota yang mengharuskan perempuan dilibatkan
dalam aktivitas politik, baik di partai maupun di pemerintahan.83
82
83
Ibid., hlm. viii.
Ibid., hlm. ix.
51
Upaya
maksimal
pemberdayaan
perempuan
semacam
ini
menunjukkan adanya political will dari pemerintah yang apresiatif terhadap
perkembangan pengarusutamaan gender dalam pergulatan politik nasional.84
Yang kemudian dalam upaya lebih lanjut dibuktikan dengan adanya pasal 65
Undang-Undang Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 yang secara tersurat berbunyi:
“setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan
dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.85
Dengan demikian pada pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004
setiap partai politik diminta untuk memperhatikan keterwakilan perempuan di
legislatif dengan mengajukan calon anggota dewan dari kalangan perempuan
dengan kuota minimal 30%. Kuota ini dianggap cukup signifikan karena
mengingat dalam pemilu sebelumnya perempuan sangat kurang dilibatkan,
dan pemberian kuota ini adalah sebagai pendorong bagi perempuan agar mau
dan sekaligus mampu bertindak sebagai aktor (subyek) politik.
Berbicara soal politik sebenarnya bukan berbicara mengenai jenis
kelamin, akan tetapi politik adalah berbicara soal kepentingan, siapa
memperoleh apa serta bagaimana untuk dapat memperoleh suatu jabatan
politis. Sehingga dalam hal ini yang dikedepankan adalah kemauan,
84
Ibid., hlm. 3-4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum,
op.cit., hlm. 56.
85
52
kemampuan atau keahlian serta kemilitanan untuk memperoleh, mengelola
dan menggunakan kekuasaan atau jabatan, bukan siapa berjenis kelamin apa
kemudian ditarik untuk ditawari dan diberi sebuah kekuasaan dan jabatan.
Persoalan pemberian kuota terhadap perempuan dalam politik ini
masih banyak mengundang celah perdebatan, meski dalam pemilihan umum
legislatif tahun 2004 kemarin telah banyak dari partai politik peserta pemilu
yang sudah dapat merealisasikan pencalonan perempuan di dewan sejumlah
30% atau bahkan ada yang lebih. Pemberian kuota sebesar 30% itu dianggap
kurang serius karena dalam redaksional undang-undangnya menggunakan
kata dapat, bukan harus atau wajib. Disamping juga ada yang menilai bahwa
pemberian kuota ini adalah hanya sebagai bentuk simpatik dan rasa kasihan
kaum laki-laki atas kaum perempuan. Terlepas dari anggapan itu semua,
kebijakan tentang pemberian kuota sebesar 30% tersebut setidaknya
merupakan
suatu
upaya
mengakomodasikan
kekuatan
politik
kaum
perempuan.86
Jaminan keterwakilan perempuan telah memiliki dasar konstitusional
yang kuat. Dalam pasal 28 huruf H ayat 2 Amandemen Undang Undang
Dasar 1945 menyebutkan bahwa, setiap orang berhak mendapatkan
86
Dra. Hj. Zuhar Mahsun, M Si, sebuah makalah, op.cit., hlm.2.
53
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama dalam mencapai persamaan dan keadilan.87
Jaminan keterwakilan perempuan juga diatur dalam beberapa
ketentuan hukum88, seperti:
1. Undang-Undang nomor 68 tahun 1965 tentang ratifikasi konfensi hak
politik perempuan.
2. Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konfensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konfensi
ini memberi kewajiban kepada negara untuk membuat peraturan khusus
guna mempercepat persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan.
3. Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Secara
eksplisit pasal 46 Undang-Undang ini menyebutkan bahwa sistem
Pemilihan Umum, Kepartaian, Pemilihan Anggota Badan Legislatif,
sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjamin
keterwakilan perempuan sesuai persyaratan yang dibutuhkan. Ketentuan
ini secara jelas dan tegas menentukan pentingnya tindakan khusus
sementara untuk menjamin keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga
pengambil kebijakan.
87
Ida Budhiati, dalam sebuah pengantar diskusi “Strategi Meningkatkan Keterwakilan
Perempuan di Lembaga Legislatif dalam Pemilu 2004”, yang disampaikan pada Rembuk Perempuan
Jawa Tengah: Akselerasi Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik, Upaya Strategis Menyongsong
Pemilu 2004, di Hotel Santika, Semarang, 8 Agustus 2003.
88
Ibid
54
4. Tap MPR nomor VI/MPR/2002 merekomendasikan kepada Presiden
untuk membuat kebijakan, peraturan dan program khusus untuk
meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambil
keputusan dengan jumlah minimal 30%.
Dengan landasan yuridis konstitusional diatas, maka tidak ada alasan
untuk tidak memberlakukan tindakan khusus dalam rangka meningkatkan
keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambil kebijakan seperti
legislatif. Langkah kongkrit yang telah dilakukan Indonesia dalam rangka
upaya
peningkatan
keterwakilan
perempuan
di
politik
adalah
diundangkannya Undang-Undang Pemilu Nomor 12 tahun 2003, yang dalam
pasal 65 memuat tentang ketentuan jumlah kuota sebesar 30% bagi
perempuan. Undang-Undang ini seolah-olah telah mampu menjawab masalah
keterwakilan perempuan di bidang politik yang selama ini dianggap masih
sangat jauh dari representatif, dan memang Undang-Undang ini sengaja
dibentuk agar kepentingan politik perempuan lebih dapat terakomodir.
55
Download