BAB II PEREMPUAN DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF A. PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM 1. Terminologi Perempuan Dalam Islam Dalam al- Qur’an, istilah perempuan disebut menggunakan kata-kata seperti: al- nisa’ ()اﻟﻨﺴﺎء, dan al- untsa al- mar’ah () اﻟﻤَﺮأة, al- zaujah ( )اﻟﺰوﺟﺔ, () اﻷ ﻥﺜﻰ. Kata al- nisa’ adalah bentuk jamak dari al- mar’ah yang artinya perempuan yang sudah matang atau dewasa termasuk disini adalah istri (al- zaujah), kata al- nisa’ berarti gender perempuan, sepadan dengan kata al- rijal ( )اﻟﺮﺟﺎل yang berarti gender laki-laki, sedangkan al- untsa berarti jenis kelamin secara umum (dari yang masih bayi sampai yang sudah uzur).1. Kata al-nisa’ akar kata dari nasiya yang artinya lupa, sedangkan al- untsa diartikan sebagai lemah lembut serta halus perkataannya, hal ini berkonotasi bahwa kata perempuan dalam bahasa Arab bermakna inferior, yakni lemah lembut, pelupa, penghibur, kurang akalnya dan jinak.2 1 Nasaruddin umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999, hlm. 159. 2 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an, Yogyakakarta: LKis, 1999, hlm. 18. 17 18 Salah satu tema besar sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan manusia (laki-laki dan perempuan), antar bangsa, suku, keturunan. Perbedaan yang pokok dan kemudian dijadikan sebagai barometer untuk mengukur tinggi-rendahnya derajat seseorang adalah nilai penghambaan (ketakwaan terhadap Tuhannya)3. Seperti yang terangkum dalam surat al- hujurat ayat 13: ﻴﺎﺍﻴﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻨﺎ ﺨﻠﻘﻨﺎﻜﻡ ﻤﻥ ﺫﻜﺭ ﻭﺍﻨﺜﻰ ﻭﺠﻌﻠﻨﺎﻜﻡ ﺸﻌﻭﺒﺎ ﻭﻗﺒﺎﺌل ﻟﺘﻌﺎﺭﻓﻭﺍ ﺍﻥ (١٣ :ﺍﻜﺭﻤﻜﻡ ﻋﻨﺩ ﺍﷲ ﺍﺘﻘﺎﻜﻡ )ﺍﻟﺤﺠﺭﺍﺕ Artinya: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling bertakwa”. 4 Al-Qur’an memberikan kedudukan dan kemuliaan terhadap perempuan dengan tidak mendiskreditkan keberadaannya. Dalam pandangan Al-Qur’an perempuan mempunyai kedudukan mulia dan terhormat.5 Perempuan dalam pandangan Islam dapat ditegaskan bahwa, tidak sebagaimana diduga dan dipraktekkan dalam sementara masyarakat. Islam pada hakikatnya memberikan kedudukan yang terhormat serta perhatian sangat besar terhadap perempuan.6 3 Quraish Shihab, Konsep wanita Menurut Qur’an, Hadis, Dan Sumber-Sumber Ajaran Islam, dalam kumpulan makalah Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta,: INIS, 1993, hlm. 3. 4 Departemen Agama Republik Indonesia, Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2000, hlm. 412. 5 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan Media Utama, 2000, hlm. 298. 6 Zaitunah Subhan, loc. cit. 19 Seorang ulama kontemporer Al-Azhar yang berkebangsaan Mesir dengan kenamaan Muhammad al-Ghazali menulis: Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam hal berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan 7. Demikian pula seperti yang ditulis oleh Mahmud Syaltut, mantan syeih (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir sebagai berikut: Tabiat manusia antara laki-laki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama, Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki, kepada mereka berdua dianugerahkan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu hukum-hukum syari’at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka, yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu ( perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan8. Jika dilihat secara mendalam sesungguhnya antara laki-laki dan perempuan itu sama, sehingga tidak perlu adanya pembedaan-pembedaan terutama pada kedudukan sosial serta pada pembagian-pembagian wilayah (tugas), kecuali pada tataran tertentu yang sudah merupakan kodrati (alamiah / sunnatullah). Akan tetapi dalam realita kehidupan manusia banyak terjadi pemahaman serta praktek (aksi) yang memerosotkan kedudukan perempuan, 7 8 Ibid. Ibid., hlm. 3-4. 20 hal ini diantaranya disebabkan karena kedangkalan pengetahuan keagamaan, kesalahan penafsiran teks agama9 serta ketidaktahuan dan kebodohan manusia itu sendiri disamping karena tradisi-tradisi yang telah mengakar di masyarakat sejak dari nenek moyang. Al-Qur’an banyak memperhatikan persoalan perempuan, seperti kedudukan, peran, serta perlindungan hukum terhadap hak-haknya. Hal ini terangkum dalam surat-surat: an-nisa’ al-baqarah, ali imran, al-maidah, yusuf, maryam, al-a’raf, an-nur, al-ahzab, al-mujadalah, at-tahrim, dan atthalak .Hal ini menjadi pertanda betapa pentingnya masalah perempuan serta betapa perempuan sangat diperhatikan dan dijunjung tinggi hak-haknya. Perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-laki, baik dari segi penciptaan maupun hak dan kewajiban dihadapan Tuhannya. Al-Qur’an menjelaskan tentang asal muasal kejadian perempuan, yakni dalam surat an-nisa’ ayat 1 sebagai berikut: ﻴﺎﺍﻴﻬﺎﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﺘﻘﻭﺍ ﺭﺒﻜﻡ ﺍﻟﺫﻱ ﺨﻠﻘﻜﻡ ﻤﻥ ﻨﻔﺱ ﻭﺍﺤﺩﺓ ﻭﺨﻠﻕ ﻤﻨﻬﺎ ﺯﻭﺠﻬﺎ ﻭﺒﺙ (١ :ﻤﻨﻬﻤﺎ ﺭﺠﺎﻻ ﻜﺜﻴﺭﺍ ﻭﻨﺴﺎﺀ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. 10 9 Ibid. Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm.61. 10 21 Bunyi teks diatas mengundang berbagai penafsiran yang kontroversial, sehingga banyak ulama ahli tafsir yang menginterpretasikan ayat tersebut secara berbeda-beda. Diantara para mufasir yang memahami kata nafs sebagai Adam adalah Al- Jalalain, Ibn Katsir, Al- Qurtubi, AlBiqa’I, Abu As-Sud, serta At- Tabarsi dan lain-lain11. Mereka berpendapat bahwa Allah menciptakan pasangan (istri) Adam yakni Hawa dari nafs wahidah yaitu Adam, sehingga para mufassir memahami bahwa Hawa (perempuan) diciptakan dari tubuh Adam (laki-laki) itu sendiri12. Pendapat ini akan melahirkan penilaian yang minir terhadap perempuan, yakni bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki, bahwa keberadaan perempuan sangat tergantung pada laki-laki, bahwa tanpa laki-laki maka perempuan mustahil ada. Al-Qurtubi misalnya, menekankan bahwa istrinya itu diciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri yang bengkok, dan sebab demikian perempuan itu mempunyai sifat auja’ (bengkok / tidak lurus)13. Seperti halnya kitab-kitab tafsir klasik sepakat mengartikan hal yang sama. Pandangan seperti ini merujuk pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan AtTirmizi: 11 Quraish Shihab, Konsep Wanita Menurut Qur’an, Hadis, Dan Sumber-Sumber Ajaran Islam, op. cit., hlm. 4 12 Zaitunah Subhan, op.cit., hlm. 45. 13 Ibid. 22 ﻭﺍﺴﺘﻭﺼﻭﺍ ﺒﺎﻟﻨﺴﺎﺀ... ﻋﻥ ﺍﺒﻲ ﻫﺭﻴﺭﺓ ﻋﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎل ١٤ ( ﺍﻟﺤﺩﻴﺙ )ﺭﻭﺍﻩ ﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻤﺴﻠﻡ ﻭﺘﺭﻤﺫﻱ... ﺨﻴﺭﺍ ﻓﺎﻨﻬﻥ ﺨﻠﻘﻥ ﻤﻥ ﻀﻠﻊ Artinya: “Saling pesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok…” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At-Tirmizi dan Abu Hurairah)”. Hadits ini dipahami oleh ulama terdahulu secara harfiah, akan tetapi oleh kalangan ulama kontemporer banyak yang memahami hadits tersebut secara metaforis dan bahkan ada pula yang menolak hadits ini.15 Ulama yang dalam hal ini memaknai hadits diatas secara metaforis mereka berpendapat bahwa hadits tersebut memperingatkan pada laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana karena ada sifat, karakter serta kecenderungan perempuan yang tidak sama dengan laki-laki, yang apabila tidak disadari akan dapat mengantarkan laki-laki untuk berbuat dan bersikap tidak wajar.16 Amina Wadud seorang feminis muslim mengatakan bahwa: Pernyataan historis tidaklah menunjukkan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dari jenis kelamin laki-laki. Menurut catatan Al-Qur’an, Allah tidak pernah merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dari bentuk seorang laki-laki dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal usul manusia adalah Adam. Hawa (pasangan Adam) diciptakan dari dua bentuk yang saling melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah perbedaan sifat, karakteristik dan fungsi, akan tetapi kedua bagian yang selaras ini saling melengkapi sebagai kebutuhan satu keseluruhan 17. 14 Imam Bukhari, Hadits Shahih Bukhari, Kitab Nikah Bab Wasiat Terhadap Perempuan, Juz VI Jilid III, Dar Al-Fikr, Libanon, 1981, hlm. 145. 15 Ibid. 16 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit., hlm. 300. 17 Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Hlm. 71-72. 23 At-Tabattabi dalam tafsirnya menulis bahwa ayat 1 surat an-nisa’ diatas menegaskan bahwa: Perempuan (istri Adam) adalah diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan bahwa ayat tersebut sedikit-pun tidak mendukung paham sementara mufassir yang beranggapan bahwa istri Adam tersebut diciptakan dari tulang rusuknya sebagaimana ditemukan dalam beberapa riwayat18 Adapun dalam Women and Islam: An Historical and Theological Inquiry, Fatima Mernisi dan Riffat Hassan menolak pandangan tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, dengan alasan bahwa konsep tersebut adalah datang dari Injil yang masuk melalui kepustakaan hadits yang penuh kontroversi19. Sedangkan dalam tafsir terbitan Departemen Agama RI menyatakan bahwa manusia itu diciptakan dari jenis yang satu dan dari situ Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanyalah manusia berkembang biak.20 Banyak teks Al-Qur’an mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa serta persamaan kedudukan diantara keduanya, seperti yang tertuang dalam surat al-isra’ ayat 70: 18 Quraish Shihab’ Konsep Wanita Menurut Qur’an, Hadits dan Sumber-Sumber Ajaran Islam, op.cit., hlm. 4 19 Zaitunah Subhan, opcCit., hlm. 49. 20 Ibid., hlm. 50 24 ﻭﻟﻘﺩ ﻜﺭﻤﻨﺎ ﺒﻨﻲ ﺍﺩﻡ ﻭﺤﻤﻠﻨﺎﻫﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺭ ﻭﺍﻟﺒﺤﺭ ﻭﺭﺯﻗﻨﺎﻜﻡ ﻤﻥ ﺍﻟﻁﻴﺒﺎﺕ (٧٠ :ﻭﻓﻀﻠﻨﺎﻫﻡ ﻋﻠﻰ ﻜﺜﻴﺭ ﻤﻤﻥ ﺨﻠﻘﻨﺎ ﺘﻔﻀﻴﻼ )ﺍﻻﺴﺭﺍﺀ Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di dataran dan di lautan (memudahkan mencari kehidupan), Kami beri mereka rizki yang baik-baik, dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk-mahluk yang kami ciptakan” 21 Kata “anak-anak Adam” dalam ayat tersebut berarti mencakup semua (laki-laki dan perempuan), demikian pula “penghormatan” yang diberikan Tuhan itu mencakup kepada anak-anak Adam secara keseluruhan, baik laki-laki maupun perempuan22. Pemahaman seperti ini dipertegas oleh Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 195 sebagai berikut: ﺍﻨﻲ ﻻﺍﻀﻴﻊ ﻋﻤل ﻋﺎﻤل ﻤﻨﻜﻡ ﻤﻥ ﺫﻜﺭ ﻭﺍﻨﺜﻰ ﺒﻌﻀﻜﻡ ﻤﻥ ﺒﻌﺽ )ﺍل (١٩٥ :ﻋﻤﺭﺍﻥ Artinya: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain” 23 Jadi sangatlah jelas bahwa syari’at Islam itu menempatkan perempuan sederajat dengan laki-laki, Al-Qur’an tidak diskriminatif melainkan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan untuk 21 Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 231. Quraish Shihab, Konsep Wanita Menurut Qur’an, hadits, dan Sumber-Sumber Ajaran Islam, op. cit, hlm. 4. 23 Op.cit., hlm. 60. 22 25 kemuliaan manusia (laki-laki dan perempuan). Al-Qur’an menempatkan perempuan pada tempat yang sewajarnya dan meluruskan segala interpretasi yang salah yang berkaitan dengan kedudukan, asal kejadian serta hak dan kewajibannya. Adapun mengenai kodrat perempuan yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki dan tidak pula dapat dipertukarkan dari padanya seperti: menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Dengan kodrat tersebut perempuan memiliki kelebihan-kelebihan sekaligus keterbatasan-keterbatasan. Al-Qur’an menyebutkan seorang perempuan yang sedang haid atau sedang nifas itu berada dalam keadaan tidak suci. Dan dari pernyataan ini memberikan penafsiran negatif terhadap perempuan, yakni perempuan dianggap sebagai tidak kurang dalam hal agama jika dibandingkan dengan laki-laki, karena pada saat haid dan nifas tersebut perempuan diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa24. Sebuah hadits yang banyak dijadikan legitimasi bahwa perempuan itu lemah dari sisi agama dan akalnya, hadits ini diriwayatkan oleh Said alKhudzry: pada saat rasulullah berangkat ke tempat shalat pada hari raya adha beliau berjumpa dengan para perempuan, kemudian bersabda sebagai berikut: 24 Lihat Dadang S. Anshari, Memperbincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, hlm. 113 26 ﻴﺎ ﻤﻌﺸﺭ... ﺭﺴﻭل ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎل,ﻋﻥ ﺍﺒﻲ ﺴﻌﻴﺩ ﺍﻟﺨﺩﺭﻯ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺘﺼﺩﻗﻥ ﻓﺎﻨﻲ ﺍﺭﻴﺘﻜﻥ ﺍﻜﺜﺭ ﺍﻫل ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻓﻘﻠﻥ ﻭﺒﻡ ﻴﺎ ﺭﺴﻭل ﺍﷲ ﻗﺎل ﺘﻜﺜﺭﻥ ﺍﻟﻠﻌﻥ ﻭﺘﻜﻔﺭﻥ ﺍﻟﻌﺸﻴﺭ ﻤﺎﺭﺍﻴﺕ ﻤﻥ ﻨﺎﻗﺼﺎﺕ ﻋﻘل ﻭﺩﻴﻥ ﺍﺫﻫﺏ ﻟﻠﺏ ﺍﻟﺭﺠﺎل ﺍﻟﺤﺎﺯﻡ ﻤﻥ ﺍﺤﺩﺍﻜﻥ ﻗﻠﻥ ﻭﻤﺎﻨﻘﺼﺎﻥ ﺩﻴﻨﻨﺎ ﻭﻋﻘﻠﻨﺎ ﻴﺎﺭﺴﻭل ﺍﷲ ﻗﺎل ﺍﻟﻴﺱ ﺸﻬﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﺭﺍﺓ ﻤﺜل ﻨﺼﻑ ﺸﻬﺎﺩﺓ ﺍﻟﺭﺠل ﻗﻠﻥ ﺒﻠﻰ ﻗﺎل ﻓﺫﺍﻟﻙ ﻤﻥ ﻨﻘﺼﺎﻥ ﻋﻘﻠﻬﺎ ﺍﻟﻴﺱ ﺍﺫﺍ ﺤﺎﻀﺕ ﻟﻡ ﺘﺼل ﻭﻟﻡ ﺘﺼﻡ ﻗﻠﻥ ﺒﻠﻰ ﻗﺎل ﻓﺫﻟﻙ ﻤﻥ ﻨﻘﺼﺎﻥ ٢٥ .ﺩﻴﻨﻬﺎ Artinya: “Hai para perempuan bersedekahlah kalian, sebab saya melihat kalian banyak yang menjadi penghuni neraka”. Kemudian para perempuan bertanya: “Mengapa, ya rasul?” Rasulullah menjawab, “kalian banyak mengucapkan kutukan dan mengingkari kebaikan suami. Aku tidak pernah melihat perempuan-perempuan yang kurang akal dan agamanya dapat meluluhkan hati laki-laki yang kokoh perkasa dari salah seorang diantara kalian”. Mereka bertanya, “dimana letak kekurangan akal dan agama kami ya rasul?”. Beliau menjawab, “bukankah kesaksian seorang perempuan itu sama dengan separoh kesaksian laki-laki?”. Mereka berkata “betul”. Rasulullah bersabda, “itulah kekurangan akalnya. Bukankah kalau perempuan sedang haid itu tidak boleh shalat dan puasa?”. Mereka menjawab “betul”. Rasulullah bersabda, “di situlah letak kekurangan agamanya”26. Memahami dan menafsirkan sebuah teks itu tidak dapat terlepas dari konteks kesejarahan, yakni dimana teks itu lahir dan dalam kondisi sosial masyarakat seperti apa teks itu diturunkan. Sebab lahirnya sebuah teks itu 25 26 Imam Bukhori, op.cit, Bab Haid juz I, hlm. 78. Zaitunah Subhan, op.cit., hlm. 58. 27 merupakan hasil proses dialektika yang kontinyu antara alam, manusia (termasuk didalamnya menyangkut budaya atau peradaban) serta Tuhan. Jadi dengan demikian kita tidak dapat menafsiri sebuah teks hanya dengan melihat apa adanya teks itu (sisi dzahiriah teks tersebut). Demikian juga mengenai teks-teks yang misoginis27, teks-teks tersebut tidak dapat secara langsung dikonsumsi, akan tetapi harus diolah dan dicerna terlebih dulu mengenai kapan, bagaimana, mengapa serta dimana teks itu muncul, dengan demikian maka kita tidak akan terjebak dalam memaknai suatu teks keagamaan (al-Qur’an dan sunnah). Banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa perempuan adalah mahluk sekunder, sementara mereka mengatakan mempunyai sebuah landasan yang kuat, yakni dari teks (dalil) al-Qur’an dan sunnah) itu sendiri. Padahal Islam itu datang untuk membebaskan manusia (laki-laki dan perempuan) dari belenggu ketidakadilan dan kebodohan, bukan sebagai pendiskriditan sekelompok orang tertentu yang berbeda jenis kelaminnya. Islamlah pelopor utama yang menempatkan perempuan berada pada proporsinya yang layak, terhormat dan sederajat dengan laki-laki, karena Islam memandang perempuan dan laki-laki itu adalah sama-sama manusia.28 Islam menjamin hak-hak perempuan sebagai individual yang bebas dan 27 Teks-teks misoginis, adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh Fatima Mernisi, seorang feminis Muslim kelahiran Maroko. Istilah misoginis ini adalah untuk menyebut dalil-dalil yang secara teks dzahirnya menyudutkan perempuan. 28 Dr. A.M. Saefuddin, Ijtihad Politik Cendekiawan Muslim, dalam “Hak Wanita Dalam Isalam”, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet. ke-I, hlm. 27. 28 merdeka, mereka dapat menjual, membeli, memiliki, menyewakan, menggadaikan serta bertindak bebas terhadap hak miliknya, dapat mewarisi dan diwarisi29 dan berhak mengekspresikan kemampuannya baik fisik maupun intelektualitas yang dimilikinya. Al-Qur’an bukan sekedar koleksi hukum an sich, kitab suci ini bukan hanya berisi tentang serangkaian perintah dan hukum yang kering tanpa komentar-komentar30. Tetapi al-Qur’an berisi hukum sekaligus sejarah, seruan sekaligus interpretasi tentang penciptaan serta pokok-pokok lain yang tidak terhitung jumlahnya31. Teks-teks yang dianggap misoginis seperti surat an-Nisa’ ayat 34: ﺍﻟﺭﺠﺎل ﻗﻭﺍﻤﻭﻥ ﻋﻠﻰﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺒﻤﺎﻓﻀل ﺍﷲ ﺒﻌﻀﻬﻡ ﻋﻠﻰ ﺒﻌﺽ ﻭﺒﻤﺎ ﺍﻨﻔﻘﻭﺍ ﻤﻥ (٣٤ :ﺍﻤﻭﺍﻟﻬﻡ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”32. Oleh sebagian mufassir kata qowwam disini diartikan sebagai lakilaki adalah pemimpin dalam berbagai hal termasuk dalam urusan di luar rumah tangganya. Sebab pemimpin disini termasuk juga sebagai penanggung 29 Ibid. Murtadha Muthahari, Hk-Hak Wanita Dalam Islam, terj., The Rights Women in Islam, Jakarta: PT Lentera Basri Tama, 2000, hlm. 74. 31 Ibid. 32 Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 66. 30 29 jawab, pengatur, sekaligus pendidik yang harus ditaati. Mereka (para mufassir) banyak yang berpendapat bahwa superioritas laki-laki atas perempuan adalah mutlak adanya, karena hal itu telah diciptakan oleh Tuhan sehingga tidak pernah dapat berubah33. Apabila kita cermati sebuah hadits riwayat Bukhari: ﻋﻥ ﺍﺒﻥ ﻋﻤﺭ ﺭﻀﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺍﻥ ﺭﺴﻭل ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎل ﺍﻻ ﻜﻠﻜﻡ ﺭﺍﻉ ﻭﻜﻠﻜﻡ ﻤﺴﺌﻭل ﻋﻥ ﺭﻋﻴﺘﻪ … ﻭﺍﻟﺭﺠل ﺭﺍﻉ ﻋﻠﻰ ﺍﻫل ﺒﻴﺘﻪ ﻭﻫﻭ ﺍﻟﺤﺩﻴﺙ )ﺭﻭﺍﻩ...ﻤﺴﺌﻭل ﻋﻥ ﺭﻋﻴﺘﻪ ﻭﺍﻟﻤﺭﺍﺓ ﺭﺍﻋﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻫل ﺒﻴﺕ ﺯﻭﺠﻬﺎ ٣٤ Artinya: (ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ “Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi seluruh anggota rumahnya, dan seorang perempuan (istri) adalah pemimpin rumah tangga dan bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya”. Hadits di atas merupakan reinterpretasi nabi atas ayat 34 dari surat an-Nisa, bahwa kepemimpinan (qowwam) laki-laki atas perempuan disini diartikan sebagai terbatas pada kepemimpinan dalam rumah tangga, ini pun dikarenakan laki-laki bertanggungjawab untuk menafkahi seluruh anggota keluarganya. 33 Dan apabila laki-laki dalam hal ini tidak mampu Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender Yogyakarta: LkiS, 2001, hlm. 20. 34 Imam Bukhari, op.cit. Bab Ahkam Juz VIII, hlm. 104. 30 bertanggungjawab atas nafkah itu maka bisa jadi ketentuan tersebut tidak berlaku. Keunggulan laki-laki atas perempuan bukanlah pada jenis kelaminnya. Tetapi karena keunggulan fungsional yang mana laki-laki memberi nafkah kepada kaum perempuan dan keluarganya, dan fungsi sosial yang dibebankan pada laki-laki itu setara dengan tugas sosial yang diemban oleh perempuan dalam rumah tangganya35. Para feminis muslim seperti Asghar Ali Engineer mempersoalkan mengapa Al-Qur’an menyatakan adanya kelebihan laki-laki atas perempuan karena nafkah yang telah diberikan. Hal ini dikarenakan adanya dua hal yang melatarbelakanginya yaitu: karena kesadaran sosial perempuan masa itu masih sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan, serta karena laki-laki menganggap dirinya lebih unggul sebab kekerasan dan kemampuan mereka dalam mencari nafkah serta membelanjakannya untuk perempuan36. Dalam sebuah kritiknya Asghar mengatakan: Perempuan di sepanjang zaman feodal begitu tertekan dan dibatasi ruang geraknya, sehingga tidak ada makna lain dari makna qowwam yang tersedia bagi para mufassir. Bagi mereka makna diatas adalah makna “jelas” sebagaimana sangat “jelas” bagi mereka bahwa perempuan harus melayani laki-laki sebagai bagian dari tugas mereka37. 35 Zaitunah Subhan, op.cit., hlm. 108. Yunahar Ilyas, op.cit., hlm. 82. 37 Ibid., hlm. 83. 36 31 Adapun menurut Amina Wadud, laki-laki dapat menjadi pemimpin dalam rumah tangga hanya apabila disertai dengan dua catatan yaitu: apabila laki-laki mempunyai kelebihan dan sekaligus mampu membuktikannya, dan apabila laki-laki mendukung perempuan dengan menggunakan harta bendanya.38 Masih menurut Amina Wadud bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menyatakan bentuk kelebihan laki-laki atas perempuan. Kelebihan laki-laki yang dijamin oleh Al-Qur’an hanya terbatas pada warisan, sebagaimana yang diterangkan dalam surat an-Nisa ayat 11 (١١ :ﻟﻠﺫﻜﺭ ﻤﺜل ﺤﻅ ﺍﻻﻨﺜﻴﻴﻥ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Artinya: “Bagian seorang laki-laki itu sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.39 Dan ini pun karena laki-laki memiliki tanggung jawab menggunakan kekayaannya untuk mendukung perempuan sekaligus menafkahi keluarganya, sehingga baginya dapat memperoleh warisan sebanyak dua kali lipat bagian perempuan40. Asbabunnuzul atau sebab turunnya surat al- nisa’ ayat 34 adalah bukan menyangkut kepemimpinan siapapun tetapi karena adanya pengaduan dari Ummu Habibah kepada nabi bahwa, ia baru saja dipukul oleh suaminya sehingga tubuhnya memar-memar, kemudian nabi menyuruhnya pulang dan 38 Yunahar Ilyas, op.cit., hlm. 84. Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 62. 40 Yunahar Ilyas, Loc.cit. 39 32 melakukan pembalasan yang sama untuk memukul suaminya. Namun dalam perjalanan menuju rumah turunlah ayat yang mengingatkan bahwa laki-laki adalah qowwamuna terhadap perempuan, bukan untuk memukuli perempuan sehingga babak belur41. Makna qowwamuna yang kemudian karena besarnya pengaruh budaya patriarki dalam masyarakat maka hanya diterjemahkan sebagai pemimpin, yang kemudian dipakai untuk melegitimasi kepemimpinan laki-laki di dunia politik42. Untuk terjadinya suatu kemungkinan proses perubahan maka harus dipahami bahwa penafsiran itu bersifat sosiologis dan kontekstual. Dengan demikian akan diperoleh sebuah penafsiran bahwa perempuan bukanlah mahluk Tuhan yang selalu dipandang rendah sebagaimana yang berlaku pada masyarakat Patriarki43. Dengan metode penafsiran yang demikian maka perempuan tidak akan selalu dianggap salah ketika ingin berperan di sektor publik, seperti menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat laki-laki, sepanjang hal itu tetap dalam kerangka kerahmatan, keadilan dan kemaslahatan masyarakat secara luas.44 41 Anita Rahman, Masih Adakah Keraguan Terhadap Wanita Untuk Menjadi Pemimpin Nnegara: Tinjauan Dalam Pandangan Islam, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Bandung: Penerbit Alumni, 2000, hlm.355. 42 Ibid., hlm. 356. 43 Husein Muhammad, cp.cit., hlm. 23. 44 Loc.cit. 33 2. Hak Dan Kewajiban Perempuan Dalam Perspektif Siyasah Dalam Islam posisi perempuan tidaklah dipandang sebagai lebih rendah dari pada laki-laki, surat an-Nisa ayat 32 menjelaskan (٣٢ :ﻟﻠﺭﺠﺎل ﻨﺼﻴﺏ ﻤﻤﺎ ﺍﻜﺘﺴﺒﻭﺍ ﻭﻟﻠﻨﺴﺎﺀ ﻨﺼﻴﺏ ﻤﻤﺎ ﺍﻜﺘﺴﺒﻥ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Artinya: “Bagi laki-laki hak / bagian dari apa yang dianugerahkan kepadanya / diusahakannya, dan bagi perempuan hak / bagian dari apa yang dianugerahkan kepadanya / diusahakannya”. 45 Al-Qur’an banyak berbicara tentang perempuan yang menyangkut berbagai sisi kehidupan, yakni membincangkan tentang hak dan kewajibannya maupun yang menguraikan tentang keistimewaan-keistimewaan tokoh perempuan dalam sejarah kemanusiaan. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam pandangan Islam adalah sama-sama berhak sekaligus berkewajiban untuk saling nasihatmenasihati serta menyuruh dalam hal kebaikan (amar ma’ruf nahi munkar), seperti yang tertuang dalam surat at-Taubah ayat 71 sebagai berikut: ﻭﺍﻟﻤﺅﻤﻨﻭﻥ ﻭﺍﻟﻤﺅﻤﻨﺎﺕ ﺒﻌﻀﻬﻡ ﺍﻭﻟﻴﺎﺀ ﺒﻌﺽ ﻴﺄﻤﺭﻭﻥ ﺒﺎﻟﻤﻌﺭﻭﻑ ﻭﻴﻨﻬﻭﻥ ﻋﻥ ﺍﻟﻤﻨﻜﺭﻭﻴﻘﻴﻤﻭﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻴﺅﺘﻭﻥ ﺍﻟﺯﻜﻭﺓﻭﻴﻁﻴﻌﻭﻥ ﺍﷲ ﻭﺭﺴﻭﻟﻪ ﺃﻭﻟﺌﻙ ﺴﻴﺭﺤﻤﻬﻡ (٧١ : )ﺍﻟﺘﻭﺒﺎﺕ ﺍﷲ Artinya: “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. 45 Muhammad Quraish Shihab, op. cit., hlm. 7. 34 Mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itulah akan diberi rahmat oleh Allah”46 Secara umum ayat diatas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam bidang politik. Kekuasaan legislatif dalam arti meminta pertanggungjawaban pada hakekatnya adalah sejalan dengan pemahaman istilah amar ma’ruf nahi munkar (memberikan nasihat karena agama). Amar ma’ruf mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa (pemerintah). Berdasarkan ayat 71 dari surat at-Taubah maka jelaslah bahwa tidak ada larangan bagi perempuan untuk tidak boleh mengoreksi dan melakukan tindakan legislatif dalam arti meminta pertanggungjawaban, sebab pernyataan surat at-Taubah ayat 71 tersebut tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, yakni (setiap laki-laki dan perempuan yang beriman berhak menyuruh untuk berbuat baik dan melarang untuk berbuat jahat). Jamaluddin Muhammad Mahmud mengatakan bahwa: Tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya pada kaum laki-laki47. 46 47 Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 158. Muhammad Quraish Shihab, op.cit., hlm. 14. 35 Tugas utama kekuasaan legislatif adalah membuat undang-undang, dan pada hakikatnya pembuat undang-undang yang utama itu adalah Allah. Dasar-dasar legislasi baik yang berupa perintah maupun larangan itu hanya berasal dari Allah, manusia hanya diberi kesempatan untuk berijtihad menentukan segala sesuatu yang belum ada hukumnya, menggali hukum, merinci, menjelaskan serta menyesuaikan 48 . Sedangkan dalam Islam ijtihad itu terbuka bagi laki-laki dan perempuan, artinya tidak ada aturan mengenai syarat ijtihad itu harus laki-laki adapun perempuan tidak boleh melakukannya49. Al- Mawardi dan Abu Ya’la menetapkan sejumlah syarat untuk keanggotaan lembaga legislatif, yakni: adil, kemampuan memilih calon kepala negara, dan keahlian memilih kepala negara50.hal ini menerangkan tidak secara eksplisit melarang keanggotaan perempuan untuk terlibat dalam lembaga ini. menurut keduanya (Al-Mawardi dan Abu Ya’la) jabatan tersebut memerlukan kemampuan dan keahlian, dimana unsur ini menjadi unsur paling dominan dalam jabatan legislatif tersebut51. Sementara Said Ramadhan al- Buthi seorang tokoh ulama Syiria menyatakan: syura (permusyawaratan) dalam pandangan mayoritas ulama memiliki kesamaan dengan fatwa. Menurutnya anggota parlemen memiliki 48 Abdullah Kelib, Asas-Asas Hukum Islam, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1983, hlm. 63. 49 Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 217. 50 Husein Muhammad, op.cit., hlm. 149. 51 Op.cit., hlm. 214. 36 fungsi yang sama dengan mufti dan seluruh ulama sepakat bahwa perempuan boleh menjadi mufti, dengan demikian perempuan dapat dibenarkan untuk menjadi anggota parlemen52. Adapun mengenai masalah syura (musyawarah), al-Qur’an menjelaskan dalam surat as-Syura ayat 38 sebagai berikut: (٣٨ :ﻭﺃﻤﺭﻫﻡ ﺸﻭﺭﻯ ﺒﻴﻨﻬﻡ )ﺍﻟﺸﻭﺭﻯ Artinya: “Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah diantara mereka”53 . Musyawarah telah menjadi salah satu prinsip dalam pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama termasuk kehidupan politik, artinya setiap warga negara / masyarakat (laki-laki dan perempuan) dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah54. Dengan demikian tidak ada persoalan dalam Islam mengenai perempuan untuk terlibat secara langsung dalam dunia politik praktis. Kenyataan sejarah telah membuktikan sekian banyak diantara perempuan yang terlibat langsung pada persoalan politik praktis dan ini dibenarkan oleh rasulullah serta dilegitimasi oleh Al-Qur’an. Memberikan peluang terhadap perempuan untuk menduduki jabatan politik baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif itu tidak berarti 52 Op.cit., hlm 145. Al-Qur’an Dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 389. 54 Muhammad Quraish Shihab, op.cit., hlm. 15. 53 37 menyalahi syari’at, meski sampai saat ini masih juga terdapat pendapat yang tidak membolehkan perempuan untuk terlibat secara langsung serta menyarankan mereka untuk tetap berada di dalam rumah, karena dikhawatirkan akan mendatangkan madlarat yang besar bagi dirinya dan keluarganya atau bahkan masyarakatnya. Dalam pernyataannya Yusuf Qardhawi menjelaskan: Ketika mengangkat perempuan menjadi seorang menteri, anggota DPR, atau jabatan-jabatan yang lain itu tidak berarti bahwa masyarakat itu mengangkat seorang perempuan menjadi pemimpin dan menyerahkan segala persoalan kepadanya. Tanggung jawab yang dipikulnya adalah tanggung jawab kolektif dan kekuasaannya adalah kekuasaan bersama, dan semuanya dipikul oleh sejumlah lembaga dan aparat55. Keterlibatan perempuan di politik sejak dari awal Islam telah banyak membuktikan keberhasilan yang pantas untuk dijadikan suri tauladan, kita mengenal siapa Umm Hani yang telah berani menjamin keselamatan kepada sementara orang musyrik, yang mana hal ini didukung dan dibenarkan oleh nabi, A’isyah binti Abu Bakar yang menjadi panglima perang jamal, Fatimah binti Rasulullah yang terkenal sebagai orator ulung serta mati-matian membela dan mencalonkan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama, Assyifa yang menjadi penasehat khalifah Umar bin Khathab dan mendapat tugas untuk mengurusi pasar, Ghazalah seorang perempuan yang gagah berani di medan pertempuran, dan lain-lain, masih banyak lagi perempuan-perempuan 55 Yusuf Qardhawi, op.cit., hlm. 227. 38 yang terlibat langsung dalam dunia politik dimasa rasulullah maupun masa setelahnya56. Perempuan sebagaimana sabda rasulullah SAW adalah syaqo’iq arrijal (saudara-saudara sekandung laki-laki), sehingga kedudukan dan hakhaknya hampir dapat dikatakan sama dan kalaupun ada yang membedakan maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaanperbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain57. B. PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF PERPOLITIKAN DI INDONESIA 1. Tinjauan Umum Tentang Politik Kata politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota, dan dibatasi pada kajian tentang negara, mempunyai makna yang beragam58. E.E. Schattschneider menyebut ilmu politik adalah suatu gunung data yang mengitari suatu ruang hampa, adapun Bernard Crick mengomentari bahwa politik adalah politik, yakni apa yang dikatakan oleh ilmuwan politik tentang politik itu sendiri59. Sedangkan Plato dan Ariestoteles memandang politik 56 Huzaemah T, Konsep Wanita Menurut Qu’an, Sunnah, Dan Fikih dalam kumpulan makalah seminar Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: 1991, hlm 29-30. 57 Muhammad Quraish Shihab, op.cit., hlm. 16. 58 Abdullah Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 2001, cet-I, hlm. 16. 59 Ibid. 39 terutama dalam terma-terma tujuan-tujuan moral yang dicari oleh para pembuat keputusan, yakni dengan mencari kebaikan umumnya, kebaikan warga dan kesempurnaan moral60. Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan dari sistem-sistem itu serta melaksanakan tujuan-tujuannya61. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu kebijakankebijakan yang menyangkut pengaturan dan pembagian alokasi dari sumbersumber yang ada. Dan untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan itu diperlukan kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) sebagai ajang untuk kerja sama dan penyelesaian konflik yang mungkin timbul dalam proses merealisasikan tujuan-tujuan itu. Yang menjadi tujuan dalam sistem politik adalah menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih, karena politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) bukan merupakan tujuan pribadi (privat goals). Beberapa ilmuwan politik akhir-akhir ini memegang posisi yang sama dan mempersamakan aktivitas politik dengan keyakinan-keyakinan moral, mereka menganggap konflik mengenai hakikat kehidupan yang baik sebagai 60 61 hlm. 8. Ibid., hlm. 21. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, 40 inti pokok, dan mereka mendukung politik sebagai seni hidup dan kerja sama62. Menurut Karl W. Deutch, politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan mengenai tindakan umum, yakni apa yang akan dilakukan dan siapa mendapat apa63. Dalam kamus bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya)64. Sedangkan dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasa diterjemahkan dengan siyasah, diambil dari kata sasa-yasusu artinya mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya65. Dalam perkembangan ilmu politik dikenal dengan lima pandangan tentang politik yaitu: pertama politik adalah usaha-usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum. Kelima politik sebagai konflik dalam 62 Abdulah Rasyid Moten, Loc.cit. Ibid. 64 w.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, 63 hlm. 763. 65 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan Media Utama, 2000, hlm. 416. 41 rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting66. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa parpol adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum67. Partai politik (parpol) mempunyai beberapa fungsi68 , yaitu: 1. Sebagai sarana komunikasi politik, yakni sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk kemudian diatur sedemikian rupa sehingga menjadi satu alur yang selaras dan sejalan. Disamping juga sebagai proses penyampaian informasi politik dari pemerintah ke masyarakat dan demikian juga sebaliknya. 2. Sebagai sarana sosialisasi politik, yakni merupakan proses melalui mana seseorang itu memperoleh sikap dan orientasi politik. 3. Sebagai sarana rekrutmen politik, yakni penyeleksian terhadap orang yang bersedia sekaligus juga berbakat untuk turun aktif berperan dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. 66 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992, hlm. 1-9. 67 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Th.2002 Tentang Partai Politik, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, cet-I, hlm. 3. 68 Miriam Budiardjo, Op.Cit., hlm. 163-164. 42 4. Sebagai sarana pengatur konflik, yakni sebagai sarana dalam proses mengatasi konflik politik di masyarakat (apabila hal itu terjadi). 5. Sebagai fungsi pelembagaan partisipasi politik, yakni sebagai pembuka kesempatan, mendorong serta mengajak masyarakat untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. 6. Fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan, yakni untuk menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang beragam menjadi satu alternatif kebijakan, yang kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. 7. Fungsi kontrol politik, yakni melakukan berbagai kritik dan kontrol terhadap berbagai kegiatan (perbuatan dan pelaksanaan) keputusan politik. Dalam prakteknya, realita perpolitikan yang ada sekarang ini tidaklah demikian. Pada umumnya parpol-parpol tidak dapat menjalankan fungsinya secara sempurna seperti yang diharapkan. Selama ini parpol (khususnya di Indonesia) apabila dicermati bersama hanya mampu menjalankan fungsinya sebagai rekrutmen politik dan sosialisasi politik, sementara fungsi yang lain belum dapat direalisasikan, hal ini mengakibatkan kegelisahan serta perpecahan di masyarakat. Dalam parpol sampai saat ini yang dikejar sebagai sasaran utamanya adalah bukan lagi kepentingan nasional (masyarakat secara umum) melainkan hanya sekedar kepentingan golongan (kepentingan partai 43 politik) an sich. Dan inilah yang mengakibatkan berbagai konflik yang tidak terpecahkan dan justru semakin meruncing serta menajam69. Berdasarkan pasal I ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum, disebutkan bahwa pemilihan umum yang selanjutnya disebut sebagai pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara kesatuan republik Indonesia tahun 194570. Indonesia menganut sistem kedaulatan rakyat (demokrasi), artinya rakyat tidak ikut terlibat secara langsung dalam menentukan jalannya pemerintahan, akan tetapi dengan melalui wakil-wakilnya dalam badan perwakilan rakyat, ini disebut sebagai demokrasi perwakilan (representative democracy) yang bertujuan untuk menciptakan suatu pemerintahan dengan perwakilan (representative government)71. Dengan sistem ini mau tidak mau dalam memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di badan perwakilan rakyat maka pemerintah harus menyelenggarakan pemilihan umum. Ada dua macam sistem pemilihan umum72 yaitu: 69 Ibid., hlm. 164. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, cet-I, hlm. 31. 71 Moh. Kusnardi dan Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti, 1988, hlm. 132-133. 72 Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 177. 70 44 1. Sistem Distrik (single-member constituency), yakni setiap kesatuan geografis atau satu daerah pemilihan mempunyai satu wakil di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 2. Sistem Perwakilan Berimbang (multi-member constituency atau proportional representation), yakni jumlah kursi yang diperoleh dalam suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Pemilihan umum dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil73. 1. Langsung, artinya rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. 2. Umum, artinya pada dasarnya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti pemilu. Menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin kedaerahan, pekerjaan dan status sosial. 3. Bebas, artinya setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di 73 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003. op.cit, hlm. 32. 45 dalam melaksanakan haknya setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan hati nurani dan kepentingannya. 4. Rahasia, artinya dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. 5. Jujur, artinya dalam penyelenggaraan pemilu setiap penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6. Adil, artinya dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Pada pemilihan umum 2004 kemarin, dalam bab I pasal 6 UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 disebutkan bahwa: (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. (2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem Distrik berwakil banyak74. Pada pemilu sebelumnya (pemilu tahun 1999) menggunakan sistem perwakilan berimbang, dimana jumlah kursi yang diperoleh dalam suatu golongan (partai politik) adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Perbedaan ini 74 . Ibid 46 membawa sebuah konsekuensi, yakni bagi partai politik yang jumlah perolehan suaranya kecil akan terpangkas, sehingga suara minoritas dengan demikian relatif terabaikan. Akan tetapi dengan sistem pemilu seperti sekarang ini dapat memberi sumbangsih besar sebagai pembelajaran politik rakyat, karena pemilih (rakyat) dapat menentukan pilihannya secara langsung dan bebas tidak terikat, ini sangat membantu rakyat dalam berfikir dewasa dalam politik. Pemilihan umum diadakan dengan tujuan75: 1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib. 2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. 3. Untuk melaksanakan hak asasi warga negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Keanggotaan MPR terdiri dari Utusan Daerah (UD) ditambah dengan Utusan Golongan (UG) menurut aturan yang ditetapkan oleh undang-undang76. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut77: 1. Sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi atau pemegang kedaulatan rakyat. 75 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 330. Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 200. 77 Loc.cit. 76 47 2. Sebagai pembuat ketetapan yang sifatnya legislatif dalam arti peraturan perundang-undangan, yaitu: a. Menetapkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (Pasal 3 UUD 1945). b. Mengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dengan ketentuan 2/3 dari jumlah anggota MPR harus hadir dan putusan diambil dengan persetujuan 2/3 dari anggota MPR yang hadir (Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945). 3. Sebagai pembuat ketetapan yang sifatnya non legislatif. 4. Fungsi lainnya (diluar yang telah diatur dalam UUD 1945) yaitu: a. Mencabut mandat dan memberhentikan presiden apabila sungguhsungguh melanggar Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). b. Mengatur tata tertib MPR. c. Menafsirkan UUD 1945. d. Menafsirkan GBHN. Adapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga tinggi negara yang melaksanakan fungsi legislatif dan mempunyai tugas utama di bidang perundang-undangan. DPR sebagai lembaga yang bertugas sekaligus sebagai bagian dari badan legislatif menurut UUD 1945 bekerja dalam suatu sistem yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan tugas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif secara konstitusional adalah memberikan persetujuan atas setiap 48 rancangan undang-undang, disamping itu anggota DPR mempunyai hak sebagai anggota dewan dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi dewan78, yaitu: 1. Hak untuk mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota, yaitu setiap anggota dewan baik secara individual maupun kolektif dapat mengajukan pertanyaan kepada presiden. 2. Hak untuk meminta keterangan, (interpelasi), yaitu hak yang dimaksudkan untuk meminta keterangan kepada presiden tentang suatu kebijakan yang dijalankan. 3. Hak untuk mengadakan penyelidikan (hak angket), yaitu hak untuk mengajukan usul penyelidikan mengenai suatu hal sesuai dengan ketentuan undang-undang. 4. Hak untuk mengadakan perubahan atas undang-undang (amandemen), yaitu hak yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan atas suatu undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. 5. Hak untuk mengajukan pernyataan pendapat, yakni hak untuk mengajukan suatu pernyataan pendapat untuk dibicarakan dalam sidang dewan. 6. Hak mengajukan seseorang jika ditentukan oleh undang-undang, hak ini dimaksudkan sebagai hak untuk mengajukan calon guna mengisi suatu jabatan. 78 Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 169-171. 49 7. Hak budget, setiap rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara memerlukan persetujuan dari dewan untuk ditetapkan sebagai undangundang. 2. Kuota Perempuan Dalam Kancah Perpolitikan Nasional Kata kuota dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai jatah (jumlah yang ditentukan)79, yakni jatah yang ditentukan oleh undangundang mengenai jumlah tertentu untuk menduduki sebuah jabatan politik bagi perempuan. Ini merupakan satu fenomena baru dalam percaturan politik di Indonesia, sebab sebelumnya keterwakilan perempuan dalam politik (legislatif) selama ini tidak terlalu diperhatikan. Transisi politik yang terjadi di Indonesia telah memberikan nuansa baru dalam proses pemberdayaan politik perempuan, hal ini memberikan harapan besar bagi perempuan yang hak politiknya selama ini terpasung. Kondisi peran perempuan di politik sangat buruk apalagi jika melihat realitas politik di tingkat massa, dimana perempuan tidak lebih hanya sebagai objek politik yang apatis terhadap perkembangan nasibnya80. Selama ini politik didefinisikan dalam arti laki-laki, yakni sebuah dunia dengan sistem zero sum game81. 79 Kuota n 1 jatah; jumlah yang ditentukan: pemerintah akan menentukan – transmigrasi dari berbagai kabupaten; menurut daerah itu harus memenuhi 25% kebutuhan ternak potong; dll, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 615. 80 Tari Siwi Utami, Perempuan Politik di Parlemen, dalam sebuah oleh Pengantar K H. Abdurrahman Wahid, op.cit., hlm.vii. 81 Ibid. 50 Dalam aturan main demokrasi suara terbanyak itulah yang akan berkuasa. Sedangkan di Indonesia sendiri jumlah kuantitas perempuan itu lebih dari 50% jumlah laki-laki, ini merupakan sebuah peluang bagi perempuan untuk dapat berkumpul dan membentuk sebuah partai politik, kemudian memegang kekuasaan. Akan tetapi untuk menilai partisipasi perempuan di politik tidak dapat dilihat hanya dari indikator tersebut (wacana tentang perempuan dan kuantitas)82. Indikasi tersebut dapat menjadi peluang yang akan terealisir manakala perilaku politik perempuan menempatkan posisinya sebagai subjek politik bukan sebagai objek politik. Dan ini memerlukan kebersamaan secara serius untuk memberdayakan perempuan tanpa ada pembedaan dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Upaya memperkuat posisi perempuan dalam politik diantaranya adalah dengan memperkuat partisipasi peran perempuan dalam politik, dalam konteks ini peran partai politik adalah sangat penting khususnya dalam rangka memainkan perannya dalam proses demokratisasi di berbagai institusi politik untuk melibatkan perempuan. Dengan demikian maka secara kualitas keterlibatan perempuan dalam dunia politik harus diikuti dengan affirmative action artinya, harus ada kuota yang mengharuskan perempuan dilibatkan dalam aktivitas politik, baik di partai maupun di pemerintahan.83 82 83 Ibid., hlm. viii. Ibid., hlm. ix. 51 Upaya maksimal pemberdayaan perempuan semacam ini menunjukkan adanya political will dari pemerintah yang apresiatif terhadap perkembangan pengarusutamaan gender dalam pergulatan politik nasional.84 Yang kemudian dalam upaya lebih lanjut dibuktikan dengan adanya pasal 65 Undang-Undang Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 yang secara tersurat berbunyi: “setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.85 Dengan demikian pada pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004 setiap partai politik diminta untuk memperhatikan keterwakilan perempuan di legislatif dengan mengajukan calon anggota dewan dari kalangan perempuan dengan kuota minimal 30%. Kuota ini dianggap cukup signifikan karena mengingat dalam pemilu sebelumnya perempuan sangat kurang dilibatkan, dan pemberian kuota ini adalah sebagai pendorong bagi perempuan agar mau dan sekaligus mampu bertindak sebagai aktor (subyek) politik. Berbicara soal politik sebenarnya bukan berbicara mengenai jenis kelamin, akan tetapi politik adalah berbicara soal kepentingan, siapa memperoleh apa serta bagaimana untuk dapat memperoleh suatu jabatan politis. Sehingga dalam hal ini yang dikedepankan adalah kemauan, 84 Ibid., hlm. 3-4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum, op.cit., hlm. 56. 85 52 kemampuan atau keahlian serta kemilitanan untuk memperoleh, mengelola dan menggunakan kekuasaan atau jabatan, bukan siapa berjenis kelamin apa kemudian ditarik untuk ditawari dan diberi sebuah kekuasaan dan jabatan. Persoalan pemberian kuota terhadap perempuan dalam politik ini masih banyak mengundang celah perdebatan, meski dalam pemilihan umum legislatif tahun 2004 kemarin telah banyak dari partai politik peserta pemilu yang sudah dapat merealisasikan pencalonan perempuan di dewan sejumlah 30% atau bahkan ada yang lebih. Pemberian kuota sebesar 30% itu dianggap kurang serius karena dalam redaksional undang-undangnya menggunakan kata dapat, bukan harus atau wajib. Disamping juga ada yang menilai bahwa pemberian kuota ini adalah hanya sebagai bentuk simpatik dan rasa kasihan kaum laki-laki atas kaum perempuan. Terlepas dari anggapan itu semua, kebijakan tentang pemberian kuota sebesar 30% tersebut setidaknya merupakan suatu upaya mengakomodasikan kekuatan politik kaum perempuan.86 Jaminan keterwakilan perempuan telah memiliki dasar konstitusional yang kuat. Dalam pasal 28 huruf H ayat 2 Amandemen Undang Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa, setiap orang berhak mendapatkan 86 Dra. Hj. Zuhar Mahsun, M Si, sebuah makalah, op.cit., hlm.2. 53 kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama dalam mencapai persamaan dan keadilan.87 Jaminan keterwakilan perempuan juga diatur dalam beberapa ketentuan hukum88, seperti: 1. Undang-Undang nomor 68 tahun 1965 tentang ratifikasi konfensi hak politik perempuan. 2. Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konfensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konfensi ini memberi kewajiban kepada negara untuk membuat peraturan khusus guna mempercepat persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan. 3. Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Secara eksplisit pasal 46 Undang-Undang ini menyebutkan bahwa sistem Pemilihan Umum, Kepartaian, Pemilihan Anggota Badan Legislatif, sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai persyaratan yang dibutuhkan. Ketentuan ini secara jelas dan tegas menentukan pentingnya tindakan khusus sementara untuk menjamin keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambil kebijakan. 87 Ida Budhiati, dalam sebuah pengantar diskusi “Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif dalam Pemilu 2004”, yang disampaikan pada Rembuk Perempuan Jawa Tengah: Akselerasi Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik, Upaya Strategis Menyongsong Pemilu 2004, di Hotel Santika, Semarang, 8 Agustus 2003. 88 Ibid 54 4. Tap MPR nomor VI/MPR/2002 merekomendasikan kepada Presiden untuk membuat kebijakan, peraturan dan program khusus untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambil keputusan dengan jumlah minimal 30%. Dengan landasan yuridis konstitusional diatas, maka tidak ada alasan untuk tidak memberlakukan tindakan khusus dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pengambil kebijakan seperti legislatif. Langkah kongkrit yang telah dilakukan Indonesia dalam rangka upaya peningkatan keterwakilan perempuan di politik adalah diundangkannya Undang-Undang Pemilu Nomor 12 tahun 2003, yang dalam pasal 65 memuat tentang ketentuan jumlah kuota sebesar 30% bagi perempuan. Undang-Undang ini seolah-olah telah mampu menjawab masalah keterwakilan perempuan di bidang politik yang selama ini dianggap masih sangat jauh dari representatif, dan memang Undang-Undang ini sengaja dibentuk agar kepentingan politik perempuan lebih dapat terakomodir. 55