BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ”Kita memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan. Dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda perdamaian dan persaudaraan” (The Prayer) Kalimat tersebut adalah penggalan syair lagu yang dinyanyikan oleh Celine Dion dan Andrea Bocelli yang sempat menjadi hits. Populernya lagu ini bisa jadi mewakili harapan atau kerinduan hadirnya damai di tengah realitas yang menantang mencakup persoalan perang dan kekerasan yang terjadi di hampir semua lini kehidupan. Fenomena kekerasan adalah tanda-tanda, atau gambaran tidak adanya perdamaian (Elias S.Dabur dalam http://innervoice1.wordpress.com diunduh tanggal 22 Mei 2012). Semua orang di dunia ini mendambakan perdamaian, namun tetap saja konflik terus bermunculan di antara masyarakat, dan seringkali mengandung unsur kekerasan. Harapan masyarakat yang menginginkan terwujudnya perdamaian kini ada pada generasi muda yang diharapkan dapat mengemban tugas besar, yaitu mengubah konflik yang diwarnai dengan prasangka menjadi sebuah harmoni sosial dan kompetisi yang menguntungkan. Namun, sekali lagi harapan tersebut belum dapat terwujud dalam masa-masa sekarang, karena kenyataannya generasi muda kini juga tengah berada dalam lingkaran kekerasan. Bukan hanya sebagai penonton atau pun korban, tapi lebih memprihatinkan dimana anak muda kini menjadi pelaku dari tindak kekerasan. Seperti fenomena yang saat ini sedang marak terjadi di kalangan generasi muda yaitu tawuran pelajar. 1 2 Fenomena tawuran di kalangan pelajar merupakan fenomena sosial yang sudah ada sejak lama terjadi di beberapa kota, dan menjadi suatu keprihatinan bangsa. Bila kita membuka data di surat kabar atau di kepolisian, deret kasus tawuran antar pelajar jumlahnya cukup banyak tiap tahunnya, termasuk di Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang notabene adalah kota pelajar justru seakanakan tidak pernah sepi dari kasus tawuran. Menurut catatan Direktorat Reskrimum Kepolisian DIY, terdapat peningkatan kasus tawuran antar pelajar yang dilaporkan selama tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2010 sebanyak 5 kasus, tahun 2011 sebanyak 7 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 9 kasus. Peristiwa tawuran menyebabkan banyak kerugian bukan hanya dari pihak sekolah, namun juga masyarakat luas. Seperti yang terjadi di Yogyakarta, menurut catatan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta pada tahun 2011 terdapat 12 kasus tawuran antar pelajar yang melibatkan tujuh SMA di kotamadya Yogyakarta, dan telah menyebabkan puluhan siswa terluka dan seorang siswa tewas. Menurut Raymond Tambunan, dampak negatif dari perkelahian pelajar adalah sebagai berikut: 1. pelajar yang terlibat perkelahian dapat mengalami cedera atau bahkan tewas; 2. rusaknya fasilitas umum (seperti bus, halte) serta fasilitas pribadi (seperti kaca toko, kendaraan); 3. terganggunya proses belajar di sekolah; 4. berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian, dan nilai-nilai hidup (http://kem.ami.or.id, diunduh tanggal 3 September 2011). Dampak terakhir adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik karena hal tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia. Winarini Wilman, dalam (http://megapolitan.kompas.com, diskusi diunduh bersama tanggal 22 Litbang September Kompas 2011) 3 mengatakan, fenomena tawuran pelajar itu sudah terjadi selama puluhan tahun. Kalau melihat kecenderungannya, dari tahun ke tahun, kasusnya meningkat dan jumlah sekolah yang terlibat bertambah, begitu juga korbannya. Dari kacamata psikologi, tawuran merupakan perilaku kelompok dimana ada sejarah, tradisi, dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi dari para siswa senior kepada para yuniornya. Akibatnya, siswa terperangkap dalam identitas sosial sekolah dan tradisi tawuran dengan sekolah lain. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam perilaku tawuran antar pelajar, identitas sosial memiliki pengaruh besar terhadap kecenderungan perilaku tersebut. Banyak yang menyatakan tawuran di kalangan pelajar ini tidak lagi hanya sebagai sebuah perilaku menyimpang, namun juga telah masuk ke perilaku kriminal. Beberapa sekolah di Yogyakarta yang siswanya sering terlibat tawuran mengaku telah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan tawuran, namun belum berhasil. Kesulitan menghentikan aksi tawuran yang dilakukan oleh pelajar di sejumlah sekolah antara lain terdapatnya sebuah rantai generasi sehingga pelaku tawuran selalu ada meskipun tiap tahun terjadi pergantian siswa. Lemahnya penindakan aparat terhadap pelaku tawuran karena anggapan tawuran bukan sebagai tindak kriminal melainkan kenakalan anak juga menyebabkan tidak adanya efek jera. Meskipun begitu, tawuran pelajar bukan tidak dapat diatasi. Kasus tawuran pelajar sebenarnya dapat diatasi dan sedikit demi sedikit frekuensi kejadiannya dapat berkurang bahkan hilang sama sekali. Hal ini telah dibuktikan oleh salah satu sekolah menengah atas di Yogyakarta, sebut saja SMA ‘C’, yang telah berhasil mengatasi permasalahan tawuran yang dulu sering dilakukan oleh siswanya. Keberhasilan SMA ‘C’ dalam memutus rantai tawuran banyak dibahas oleh berbagai pihak sebagai alternatif solusi 4 terkait dengan kasus tawuran antar dua SMA di Jakarta yang belum lama terjadi dan menyebabkan seorang wartawan menjadi korban. Untuk dapat mengetahui lebih jelas bagaimana SMA ‘C’ dapat menghentikan tawuran yang dilakukan siswanya, maka perlu dijelaskan lebih dulu bagaimana kondisi SMA ‘C’ saat itu. Menurut keterangan dari Bapak A, guru BK SMA ‘C’, dulu tawuran yang dilakukan oleh siswanya sangat sering terjadi. Biasanya ada masa-masa tertentu pasti terjadi tawuran, antara lain saat awal semester tahun ajaran baru dan masa-masa setelah ujian, baik ujian mid maupun ujian akhir. Tawuran yang dilakukan pada awal semester tahun ajaran baru merupakan tawuran yang sengaja dilakukan dengan mengajak adik kelas sebagai ajang latihan tawur dengan tujuan kaderisasi. Pelaku tawuran adalah kelompok siswa laki-laki yang tergabung dalam satu komunitas atau geng, dimana ketika siswa ini dianggap pantas masuk komunitas ini akan ditandai dengan pembaiatan, begitu istilah yang digunakan oleh para siswa. Komunitas atau geng pelajar SMA ‘C’ memiliki sebutan ‘geng Mantab’ (bukan nama sebenarnya). Komunitas ini mulai menanamkan prinsip solidaritas dan dendam terhadap kelompok pelajar dari beberapa SMA lain. Jika ada anggota komunitas yang diserang kelompok pelajar lain atau terjadi pelecehan nama sekolah oleh SMA lain, dengan alasan solidaritas atau pun membela nama sekolah maka dengan mudah terjadi tawuran. Dalam komunitas inilah tradisi tawuran diturunkan dari kakak kelas ke adik kelas. Perasaan permusuhan merupakan warisan dari kakak kelas mereka, yang ditanamkan melalui cerita-cerita para senior yang telah lulus. Senior menanamkan ‘sejarah’ permusuhan atau memanas-manasi siswa, sehingga siswa yang tadinya tidak 5 memiliki sikap negatif apa-apa terhadap kelompok pelajar lain, tanpa alasan yang jelas jadi membenci kelompok pelajar dari sekolah lain tersebut. Dalam satu bulan tidak selalu terjadi tawuran, namun biasanya jika sudah terlibat tawuran maka akan terjadi beberapa kali karena adanya aksi balas dendam atau serangan balik dari sekolah yang menjadi musuhnya. Komunitas tersebut sering nongkrong yang biasa dilakukan di lingkungan sekolah sebagai upaya mempertahankan sekolah dari serangan SMA lain. Penelitian Mochammad Enoch Markum (Indopos, 3 Februari 2006) menyebutkan bahwa perilaku tawuran dapat dilihat sebagai perilaku konformitas, dan dapat juga itu merupakan sebuah perilaku kepatuhan terhadap senior. Istilah solidaritas menjadi bentuk pembenaran bagi remaja yang berkelahi secara rombongan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2010) menunjukkan bahwa siswa yang terlibat tawuran memiliki prasangka terhadap kelompok siswa sekolah lain yang lebih tinggi dan konformitas terhadap kelompok teman sebaya lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak terlibat tawuran. Demikian juga penelitian Zang dkk (Sarwono, 2005) di Cina menunjukkan bahwa agresivitas yang dilakukan pelajar didasari oleh solidaritas terhadap temantemannya. Dalam penelitian untuk disertasi berjudul Student Involvement in Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among Male High School Students in Jakarta sekitar tahun 1996-1997, Winarini menemukan adanya fenomena barisan siswa (basis), yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan mereka (http://megapolitan.kompas.com, diunduh tanggal 22 September 2011). 6 Menurut Bapak Wj, Kepala SMA ‘C’ periode 2001-2003, siswa yang terlibat tawuran tidak semuanya jelek, bahkan banyak dari mereka yang merupakan anak-anak dengan sikap baik, dan berasal dari keluarga berada, namun mereka terpengaruh oleh teman-teman yang lain, dan mengatasnamakan pembelaan terhadap nama sekolah. Siswa yang terlibat tawuran sudah sangat solid dengan kelompoknya. Hal ini dapat dijelaskan, karena fenomena tawuran merupakan bentuk perilaku agresif yang ditunjukkan dalam konteks kelompok, dimana perilaku agresif yang dilakukan secara berkelompok tidak sama dengan perilaku agresif yang dilakukan secara individu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Crips, Heuston, Farr, Matthew dan Turner (2007) ditemukan bahwa perilaku agresif kelompok suporter sepakbola berkaitan dengan teori emosi antar kelompok dan teori identitas sosial, yaitu bahwa ketika keanggotaan kelompok sangat penting, orang akan bereaksi secara emosional ketika situasi atau kejadian mempengaruhi kelompok mereka. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Maksum (2009) menyebutkan faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik kekerasan antar dua kelompok pencak silat (SHT dan SHW) antara lain adanya pembelajaran kekerasan, prasangka kelompok, dan solidaritas kelompok. Dengan mempelajari lebih dulu mengenai bagaimana tawuran yang dilakukan oleh siswanya, sebab-sebabnya, dan bagaimana kondisi sekolah secara keseluruhan, maka pihak SMA ‘C’ melakukan beberapa langkah untuk menghentikan tawuran dan menertibkan sekolah. Tepatnya pada tahun 2001 ketika SMA ‘C’ mendapatkan Kepala Sekolah baru setelah selama beberapa bulan mengalami kekosongan posisi Kepala Sekolah. Kepala Sekolah tersebut yaitu Bapak Wj, yang awalnya kaget dengan kondisi sekolah yang boleh dikatakan rusak karena tidak adanya kedisiplinan pada seluruh jajaran sekolah. 7 Terutama yang membuatnya sangat prihatin yaitu kebiasaan siswanya melakukan aksi tawuran dengan siswa sekolah lain. Menurutnya, mengapa siswa berkelakuan seperti itu dikarenakan tidak adanya aturan sekolah yang tegas dan kuat, tata tertib yang saat itu berlaku dianggapnya sangat lemah. Selain itu juga menurutnya keberadaan para guru yang kurang disiplin dan kurang tegas menyebabkan para siswa merasa tidak sungkan kepada guru. Bagaimana tidak, ketika suatu kali seluruh siswa laki-laki keluar dari sekolah saat jam pelajaran berlangsung, dan tidak ada satu pun guru yang berani mencegah. Maka pada saat itu Kepala Sekolah segera membuat tata tertib sekolah selengkap mungkin dengan sanksi yang tegas dan dikuatkan dengan tanda tangan orangtua sebagai persetujuan terhadap isi tata tertib. Selain tata tertib, Kepala Sekolah saat itu membuat berbagai program yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kedisiplinan guru dan karyawan, sehingga nantinya akan dapat menjalar juga pada kedisiplinan siswa. Hal ini penting, karena menurutnya citra buruk yang melekat pada SMA ‘C’ ini harus segera diperbaiki. Salah satu caranya yaitu dengan menggiatkan kegiatan yang positif bagi siswa. Kemudian saat itu Kepala Sekolah berpikir untuk menjadikan SMA ‘C’ sebagai sekolah perempuan, dengan pertimbangan karena yang melakukan kenakalan-kenakalan itu adalah siswa laki-laki, jadi lebih baik meniadakan siswa laki-laki. Ketika ide tersebut disampaikan maka terjadi pro dan kontra baik dari pihak sekolah sendiri, pihak Dinas Pendidikan, dan juga pihak masyarakat luas. Meskipun tidak mendapatkan persetujuan dari pihak Dinas, namun tujuan dari Bapak Wj kurang lebih dapat tercapai. Wacana SMA ‘C’ menjadi sekolah perempuan ditanggapi oleh masyarakat dengan cerdas, di mana pada saat 8 penerimaan siswa baru tahun 2002/2003 terjadi perbandingan yang sangat drastis antara siswa laki-laki dan siswa perempuan yang masuk. Siswa laki-laki saat itu hanya 28,5%, yang oleh Bapak Wj kemudian disatukan menjadi dua kelas, sehingga saat itu terdapat 5 kelas siswa perempuan, dan 2 kelas siswa laki-laki. Hal ini dilakukan dengan tujuan supaya lebih mudah melakukan kontrol, terutama terhadap siswa laki-laki. Bapak Wj juga membangun relasi dengan masyarakat sekitar sekolah dengan tujuan membentuk kepedulian di kalangan masyarakat terhadap perilaku siswa. Mulai tahun 2003 langkah Bapak Wj dilanjutkan oleh Bapak Sr (Alm), Kepala Sekolah baru. Pada saat itulah, berdasarkan keterangan Bapak Sk, wakil kepala SMA ‘C’, Bapak Sr (Alm) bersama segenap jajaran sekolah melakukan beberapa strategi baru yang akhirnya membuat sekolah berhasil menurunkan angka tawuran dari tahun ke tahun hingga tidak terjadi tawuran sama sekali selama beberapa tahun. Berikut ini data mengenai kasus tawuran siswa SMA ‘C’ antara tahun 2000 sampai 2010. Tabel 1 Data Tawuran Siswa SMA ‘C’ Tahun 1999-2001 Frekuensi Tawuran 4 kali Sanksi bagi Pelaku Surat peringatan, 2 siswa di skors, 1 siswa dikembalikan ke orangtua 2002-2003 2 kali 5 siswa di skors, 8 siswa dikembalikan ke orangtua 2004-2010 0 kali Sumber: Hasil wawancara dengan Ft didukung dengan Dokumen Bagian Kesiswaan SMA ‘C’. Berdasarkan data Tabel 1 di atas terlihat jelas bahwa terdapat penurunan frekuensi secara bertahap dari tahun ke tahun. Periode tahun 2002 hingga 2003 saat SMA ‘C’ melakukan langkah-langkah upaya penghentian tawuran, beberapa 9 kali masih terjadi tawuran walaupun frekuensinya menurun jika dibandingkan sebelum tahun 2002. Perbedaan sanksi pelaku tawuran juga sangat jelas antara sebelum dan sesudah tahun 2002. Setelah tahun 2002 pihak sekolah lebih tegas memberikan sanksi kepada pelaku tawuran yaitu dikembalikan kepada orangtua. Apa yang dilakukan oleh Kepala Sekolah ini adalah upaya untuk memutus rantai tawuran dengan cara membangun citra positif sekolah disertai aturan yang tegas dan kuat. Sesuai dengan pernyataan Winarini bahwa fenomena tawuran yang terus berulang itu perlu diputus mata rantainya supaya tawuran pelajar bisa (http://megapolitan.kompas.com, ditekan, diunduh tanggal bahkan 22 dihilangkan September 2011). Menurutnya, salah satu solusinya adalah mengubah identitas sosial sekolah. Bisa pindah lokasi, ganti nama, dan jangan menggabung siswa kelas satu dengan senior mereka. Solusi pengubahan identitas ini memang memakan dana besar dan butuh waktu lama. Solusi lain adalah membangun reputasi sekolah secara positif. Cap sekolah tawuran yang melekat pada suatu sekolah harus diubah menjadi citra positif yang membanggakan. Satu lagi kuncinya adalah melepaskan tawuran itu dari kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin tawuran tetap ada. Upaya mengubah citra buruk SMA ‘C’ dengan cara meningkatkan kedisiplinan seluruh jajaran sekolah adalah merupakan upaya mengubah identitas sosial yang sudah melekat. Identitas SMA ‘C’ sebagai sekolah ‘doyan tawur’ ingin diubah menjadi sekolah disiplin dengan gemilang prestasi. Selain itu, terjadinya dominasi siswa perempuan juga ditujukan untuk menekan jumlah angka tawuran yang notabene dilakukan siswa laki-laki. Beberapa strategi yang biasa dilakukan untuk mengubah identitas atau mencapai identitas positif yaitu 10 dengan kreativitas, mobilitas sosial, dan kompetisi sosial (Jackson, dkk., 1996). Jika benar tawuran yang sering terjadi itu karena adanya identitas yang melekat, maka jika saat ini tawuran sudah berhenti dapat dipastikan identitas telah berubah. Strategi apa yang dilakukan pihak sekolah untuk mencapai identitas positif dan sejauh mana identitas ini berperan dalam proses perdamaian di SMA ‘C’ menjadi satu poin penting untuk menganalisis keberhasilan SMA ‘C’ dalam memutus rantai tawuran. Sebagaimana disebutkan oleh Crisp, dkk., (2007) bahwa dalam perilaku agresif kelompok terdapat konflik identitas, sehingga bagaimana identitas individu dalam kelompok memiliki posisi penting untuk diperhatikan dalam rangka mengatasi perilaku agresif kelompok. Kelompok yang menjadi pelaku tawuran memiliki identitas sosial yang kuat sehingga keberadaan kelompoknya yang sering menyerang kelompok pelajar dari sekolah lain menjadi sebuah kebanggaan bagi anggota kelompok ini. Dalam artikel disebutkan salah satu hasil penelitian yang dilakukan Hirt dan rekannya (1992, dalam Crisp dkk., 2007) para penggemar yang menganggap kesetiaan mereka terhadap tim sebagai sebuah bagian yang penting dari identitas mereka, menganggap keberhasilan dan kegagalan tim mereka sebagai kesuksesan dan kegagalan diri mereka sendiri. Emosi dan kecenderungan perilaku dapat berbeda secara kualitatif bergantung pada keadaan di mana orang melihat kelompok yang relevan sebagai sesuatu yang penting bagi konsep diri mereka (Crisp, dkk., 2007). Berkaitan dengan hal tersebut, maka upaya menghentikan perilaku tawuran berarti bagaimana mengubah identitas individu kelompok pelaku tawuran dari yang tadinya merasa bangga ketika melakukan aksi tawuran menjadi tidak bangga, dan mengubah kebanggaannya tersebut pada hal lain yang positif. 11 Kasus SMA ‘C’ menjadi salah satu bukti bahwa tawuran pelajar sebenarnya dapat diatasi. Berikut ini data perbandingan mengenai kondisi sekolah antara tahun 2000 dan tahun 2010. Tabel 2 Perbandingan Kondisi SMA ‘C’ Tahun 2000 dan 2010 Kondisi dan Kegiatan Sekolah Kondisi Tahun 2000 Tahun 2010 (Sebelum Pemutusan (Setelah Pemutusan Rantai Tawuran) Rantai Tawuran) sekolah Kurang secara umum teratur, kotor, Teratur, bersih, gerbang gerbang terbuka 24 jam, tertutup, akses keluar orang luar bebas keluar masuk diawasi satpam masuk sekolah Kegiatan Belajar Tidak tertib, siswa sering Tertib, siswa tidak bisa Mengajar Kegiatan membolos membolos Upacara Sering tidak terlaksana Terlaksana dengan tertib Sekolah karena ketidaktertiban siswa Tindak kekerasan Sering terjadi pemukulan, Tidak antar siswa penelanjangan, terjadi lagi di sekolah penganiayaan Basis kurikulum Tidak ada Basis penelitian sekolah Image di masyarakat Sekolah doyan tawur The Research School of Jogja Sumber: Wawancara dengan Bapak Ft dan Hasil Observasi Keberhasilan SMA ‘C’ dalam memutus rantai tawuran merupakan hasil dari sebuah proses perubahan dari kondisi kekerasan menuju perdamaian. Menurut Greene (2005) perilaku agresif atau kekerasan merupakan kebalikan 12 dari perilaku damai (peaceful behavior). Program yang diperuntukkan siswa untuk penegakan dan atau pengoperasian pencegahan kekerasan merupakan strategi menuju perdamaian. Berdasarkan konsep yang dibuat oleh Galtung (1969) dalam proses perdamaian terdapat beberapa konsep yaitu peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding. Peacekeeping merupakan proses penghentian atau pengurangan aksi kekerasan; peacemaking mempertemukan atau merekonsiliasi sikap dari pihak- pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan; sedangkan peacebuilding merupakan proses implementasi perubahan demi terciptanya perdamaian dalam artian positive peace. Proses perdamaian yang terjadi di SMA ‘C’ ini merupakan proses perdamaian yang telah berlangsung untuk menghentikan kekerasan di kalangan pelajar dalam bentuk tawuran. Namun harapan terjalinnya perdamaian bukanlah berhenti pada berakhirnya aksi tawuran yang dilakukan pelajar, karena jika proses tersebut berhenti pada titik tersebut, maka tidak mustahil bahwa kondisi kekerasan akan muncul kembali. Di tengah-tengah maraknya kasus tawuran pelajar saat ini, serta kewalahan yang dialami banyak sekolah dalam menangani kasus tawuran yang dilakukan oleh siswanya, maka penelitian empiris yang mengangkat kasus SMA ‘C’ dalam memutus rantai tawuran sangat diperlukan. Penelitian ini fokus pada peristiwa keberhasilan SMA ‘C’ menghentikan tawuran, sehingga melalui pendekatan studi kasus ditujukan akan dapat mengungkap secara mendalam proses perdamaian yang terjadi. Temuan-temuan dalam penelitian ini nantinya akan dikaji dan dianalisis sehingga dihasilkan sebuah deskripsi analitis mengenai proses perdamaian yang berlangsung di SMA ‘C’. 13 B. Perumusan Masalah Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan mengenai: 1. Bagaimana proses yang terjadi sehingga tawuran yang sebelumnya banyak terjadi dapat berhenti? 2. Apakah berhentinya tawuran berarti telah terjadi perdamaian di sekolah tersebut? 3. Apakah proses berhentinya tawuran atau perdamaian di SMA ‘C’ dapat menjadi contoh baik untuk penanganan tawuran antar pelajar? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi selengkap mungkin mengenai putusnya rantai tawuran di SMA ‘C’, menganalisis aspek psikologis dalam proses perdamaian yang terjadi, serta membuat kajian apakah proses tersebut dapat menjadi contoh baik untuk dijadikan model pengembangan perdamaian secara umum, khususnya dalam penanganan kasus tawuran antar pelajar. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan fakta empiris terkait dengan keberhasilan SMA ‘C’ dalam memutus rantai tawuran. Manfaat penelitian secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi ilmiah dalam ilmu psikologi, khususnya ilmu psikologi sosial. Manfaat secara praktis, apabila penelitian ini dapat mengungkap proses perdamaian dalam menghentikan 14 tawuran dan kondisi perdamaian yang terjalin, terutama jika dihasilkan sebuah model pengembangan perdamaian, maka diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak terkait guna mengatasi dan menghentikan tawuran pelajar antar sekolah di Yogyakarta, dan kota lain pada umumnya.