BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ”Kita

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
”Kita memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan. Dunia dengan
keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada
sesamanya, tanda perdamaian dan persaudaraan” (The Prayer)
Kalimat tersebut adalah penggalan syair lagu yang dinyanyikan oleh
Celine Dion dan Andrea Bocelli yang sempat menjadi hits. Populernya lagu ini
bisa jadi mewakili harapan atau kerinduan hadirnya damai di tengah realitas yang
menantang mencakup persoalan perang dan kekerasan yang terjadi di hampir
semua lini kehidupan. Fenomena kekerasan adalah tanda-tanda, atau gambaran
tidak adanya perdamaian (Elias S.Dabur dalam http://innervoice1.wordpress.com
diunduh tanggal 22 Mei 2012). Semua orang di dunia ini mendambakan
perdamaian, namun tetap saja konflik terus bermunculan di antara masyarakat,
dan seringkali mengandung unsur kekerasan.
Harapan masyarakat yang menginginkan terwujudnya perdamaian kini
ada pada generasi muda yang diharapkan dapat mengemban tugas besar, yaitu
mengubah konflik yang diwarnai dengan prasangka menjadi sebuah harmoni
sosial dan kompetisi yang menguntungkan. Namun, sekali lagi harapan tersebut
belum dapat terwujud dalam masa-masa sekarang, karena kenyataannya
generasi muda kini juga tengah berada dalam lingkaran kekerasan. Bukan hanya
sebagai penonton atau pun korban, tapi lebih memprihatinkan dimana anak
muda kini menjadi pelaku dari tindak kekerasan. Seperti fenomena yang saat ini
sedang marak terjadi di kalangan generasi muda yaitu tawuran pelajar.
1
2
Fenomena tawuran di kalangan pelajar merupakan fenomena sosial yang
sudah ada sejak lama terjadi di beberapa kota, dan menjadi suatu keprihatinan
bangsa. Bila kita membuka data di surat kabar atau di kepolisian, deret kasus
tawuran antar pelajar jumlahnya cukup banyak tiap tahunnya, termasuk di
Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang notabene adalah kota pelajar justru seakanakan tidak pernah sepi dari kasus tawuran. Menurut catatan Direktorat
Reskrimum Kepolisian DIY, terdapat peningkatan kasus tawuran antar pelajar
yang dilaporkan selama tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2010 sebanyak 5 kasus,
tahun 2011 sebanyak 7 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 9 kasus.
Peristiwa tawuran menyebabkan banyak kerugian bukan hanya dari pihak
sekolah, namun juga masyarakat luas. Seperti yang terjadi di Yogyakarta,
menurut catatan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta pada tahun 2011 terdapat 12
kasus tawuran antar pelajar yang melibatkan tujuh SMA di kotamadya
Yogyakarta, dan telah menyebabkan puluhan siswa terluka dan seorang siswa
tewas. Menurut Raymond Tambunan, dampak negatif dari perkelahian pelajar
adalah sebagai berikut: 1. pelajar yang terlibat perkelahian dapat mengalami
cedera atau bahkan tewas; 2. rusaknya fasilitas umum (seperti bus, halte) serta
fasilitas pribadi (seperti kaca toko, kendaraan); 3. terganggunya proses belajar di
sekolah; 4. berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian,
dan nilai-nilai hidup (http://kem.ami.or.id, diunduh tanggal 3 September 2011).
Dampak terakhir adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik karena hal
tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup
bermasyarakat di Indonesia.
Winarini
Wilman,
dalam
(http://megapolitan.kompas.com,
diskusi
diunduh
bersama
tanggal
22
Litbang
September
Kompas
2011)
3
mengatakan, fenomena tawuran pelajar itu sudah terjadi selama puluhan tahun.
Kalau melihat kecenderungannya, dari tahun ke tahun, kasusnya meningkat dan
jumlah sekolah yang terlibat bertambah, begitu juga korbannya. Dari kacamata
psikologi, tawuran merupakan perilaku kelompok dimana ada sejarah, tradisi,
dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi dari para
siswa senior kepada para yuniornya. Akibatnya, siswa terperangkap dalam
identitas sosial sekolah dan tradisi tawuran dengan sekolah lain. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalam perilaku tawuran antar pelajar, identitas sosial
memiliki pengaruh besar terhadap kecenderungan perilaku tersebut.
Banyak yang menyatakan tawuran di kalangan pelajar ini tidak lagi hanya
sebagai sebuah perilaku menyimpang, namun juga telah masuk ke perilaku
kriminal. Beberapa sekolah di Yogyakarta yang siswanya sering terlibat tawuran
mengaku telah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan tawuran, namun
belum berhasil. Kesulitan menghentikan aksi tawuran yang dilakukan oleh pelajar
di sejumlah sekolah antara lain terdapatnya sebuah rantai generasi sehingga
pelaku tawuran selalu ada meskipun tiap tahun terjadi pergantian siswa.
Lemahnya penindakan aparat terhadap pelaku tawuran karena anggapan
tawuran bukan sebagai tindak kriminal melainkan kenakalan anak juga
menyebabkan tidak adanya efek jera. Meskipun begitu, tawuran pelajar bukan
tidak dapat diatasi. Kasus tawuran pelajar sebenarnya dapat diatasi dan sedikit
demi sedikit frekuensi kejadiannya dapat berkurang bahkan hilang sama sekali.
Hal ini telah dibuktikan oleh salah satu sekolah menengah atas di Yogyakarta,
sebut saja SMA ‘C’, yang telah berhasil mengatasi permasalahan tawuran yang
dulu sering dilakukan oleh siswanya. Keberhasilan SMA ‘C’ dalam memutus
rantai tawuran banyak dibahas oleh berbagai pihak sebagai alternatif solusi
4
terkait dengan kasus tawuran antar dua SMA di Jakarta yang belum lama terjadi
dan menyebabkan seorang wartawan menjadi korban.
Untuk dapat mengetahui lebih jelas bagaimana SMA ‘C’ dapat
menghentikan tawuran yang dilakukan siswanya, maka perlu dijelaskan lebih
dulu bagaimana kondisi SMA ‘C’ saat itu. Menurut keterangan dari Bapak A,
guru BK SMA ‘C’, dulu tawuran yang dilakukan oleh siswanya sangat sering
terjadi. Biasanya ada masa-masa tertentu pasti terjadi tawuran, antara lain saat
awal semester tahun ajaran baru dan masa-masa setelah ujian, baik ujian mid
maupun ujian akhir. Tawuran yang dilakukan pada awal semester tahun ajaran
baru merupakan tawuran yang sengaja dilakukan dengan mengajak adik kelas
sebagai ajang latihan tawur dengan tujuan kaderisasi.
Pelaku tawuran adalah kelompok siswa laki-laki yang tergabung dalam
satu komunitas atau geng, dimana ketika siswa ini dianggap pantas masuk
komunitas ini akan ditandai dengan pembaiatan, begitu istilah yang digunakan
oleh para siswa. Komunitas atau geng pelajar SMA ‘C’ memiliki sebutan ‘geng
Mantab’ (bukan nama sebenarnya). Komunitas ini mulai menanamkan prinsip
solidaritas dan dendam terhadap kelompok pelajar dari beberapa SMA lain. Jika
ada anggota komunitas yang diserang kelompok pelajar lain atau terjadi
pelecehan nama sekolah oleh SMA lain, dengan alasan solidaritas atau pun
membela nama sekolah maka dengan mudah terjadi tawuran. Dalam komunitas
inilah tradisi tawuran diturunkan dari kakak kelas ke adik kelas. Perasaan
permusuhan merupakan warisan dari kakak kelas mereka, yang ditanamkan
melalui cerita-cerita para senior yang telah lulus. Senior menanamkan ‘sejarah’
permusuhan atau memanas-manasi siswa, sehingga siswa yang tadinya tidak
5
memiliki sikap negatif apa-apa terhadap kelompok pelajar lain, tanpa alasan yang
jelas jadi membenci kelompok pelajar dari sekolah lain tersebut.
Dalam satu bulan tidak selalu terjadi tawuran, namun biasanya jika sudah
terlibat tawuran maka akan terjadi beberapa kali karena adanya aksi balas
dendam atau serangan balik dari sekolah yang menjadi musuhnya. Komunitas
tersebut sering nongkrong yang biasa dilakukan di lingkungan sekolah sebagai
upaya
mempertahankan
sekolah
dari
serangan
SMA
lain.
Penelitian
Mochammad Enoch Markum (Indopos, 3 Februari 2006) menyebutkan bahwa
perilaku tawuran dapat dilihat sebagai perilaku konformitas, dan dapat juga itu
merupakan sebuah perilaku kepatuhan terhadap senior. Istilah solidaritas
menjadi bentuk pembenaran bagi remaja yang berkelahi secara rombongan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2010) menunjukkan
bahwa siswa yang terlibat tawuran memiliki prasangka terhadap kelompok siswa
sekolah lain yang lebih tinggi dan konformitas terhadap kelompok teman sebaya
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak terlibat tawuran. Demikian
juga penelitian Zang dkk (Sarwono, 2005) di Cina menunjukkan bahwa
agresivitas yang dilakukan pelajar didasari oleh solidaritas terhadap temantemannya. Dalam penelitian untuk disertasi berjudul Student Involvement in
Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among
Male High School Students in Jakarta sekitar tahun 1996-1997, Winarini
menemukan adanya fenomena barisan siswa (basis), yang terdiri atas 10-40
siswa. Mereka bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis
itu terbentuk berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah
musuh bebuyutan mereka (http://megapolitan.kompas.com, diunduh tanggal 22
September 2011).
6
Menurut Bapak Wj, Kepala SMA ‘C’ periode 2001-2003, siswa yang
terlibat tawuran tidak semuanya jelek, bahkan banyak dari mereka yang
merupakan anak-anak dengan sikap baik, dan berasal dari keluarga berada,
namun mereka terpengaruh oleh teman-teman yang lain, dan mengatasnamakan
pembelaan terhadap nama sekolah. Siswa yang terlibat tawuran sudah sangat
solid dengan kelompoknya. Hal ini dapat dijelaskan,
karena fenomena tawuran
merupakan bentuk perilaku agresif yang ditunjukkan dalam konteks kelompok,
dimana perilaku agresif yang dilakukan secara berkelompok tidak sama dengan
perilaku agresif yang dilakukan secara individu. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Crips, Heuston, Farr, Matthew dan Turner (2007) ditemukan bahwa perilaku
agresif kelompok suporter sepakbola berkaitan dengan teori emosi antar
kelompok dan teori identitas sosial, yaitu bahwa ketika keanggotaan kelompok
sangat penting, orang akan bereaksi secara emosional ketika situasi atau
kejadian mempengaruhi kelompok mereka. Kemudian penelitian yang dilakukan
oleh Maksum (2009) menyebutkan faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik
kekerasan antar dua kelompok pencak silat (SHT dan SHW) antara lain adanya
pembelajaran kekerasan, prasangka kelompok, dan solidaritas kelompok.
Dengan mempelajari lebih dulu mengenai bagaimana tawuran yang
dilakukan oleh siswanya, sebab-sebabnya, dan bagaimana kondisi sekolah
secara keseluruhan, maka pihak SMA ‘C’ melakukan beberapa langkah untuk
menghentikan tawuran dan menertibkan sekolah. Tepatnya pada tahun 2001
ketika SMA ‘C’ mendapatkan Kepala Sekolah baru setelah selama beberapa
bulan mengalami kekosongan posisi Kepala Sekolah. Kepala Sekolah tersebut
yaitu Bapak Wj, yang awalnya kaget dengan kondisi sekolah yang boleh
dikatakan rusak karena tidak adanya kedisiplinan pada seluruh jajaran sekolah.
7
Terutama yang membuatnya sangat prihatin yaitu kebiasaan siswanya
melakukan aksi tawuran dengan siswa sekolah lain. Menurutnya, mengapa siswa
berkelakuan seperti itu dikarenakan tidak adanya aturan sekolah yang tegas dan
kuat, tata tertib yang saat itu berlaku dianggapnya sangat lemah. Selain itu juga
menurutnya keberadaan para guru yang kurang disiplin dan kurang tegas
menyebabkan para siswa merasa tidak sungkan kepada guru. Bagaimana tidak,
ketika suatu kali seluruh siswa laki-laki keluar dari sekolah saat jam pelajaran
berlangsung, dan tidak ada satu pun guru yang berani mencegah. Maka pada
saat itu Kepala Sekolah segera membuat tata tertib sekolah selengkap mungkin
dengan sanksi yang tegas dan dikuatkan dengan tanda tangan orangtua sebagai
persetujuan terhadap isi tata tertib.
Selain tata tertib, Kepala Sekolah saat itu membuat berbagai program
yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kedisiplinan guru dan karyawan,
sehingga nantinya akan dapat menjalar juga pada kedisiplinan siswa. Hal ini
penting, karena menurutnya citra buruk yang melekat pada SMA ‘C’ ini harus
segera diperbaiki. Salah satu caranya yaitu dengan menggiatkan kegiatan yang
positif bagi siswa.
Kemudian saat itu Kepala Sekolah berpikir untuk menjadikan SMA ‘C’
sebagai sekolah perempuan, dengan pertimbangan karena yang melakukan
kenakalan-kenakalan itu adalah siswa laki-laki, jadi lebih baik meniadakan siswa
laki-laki. Ketika ide tersebut disampaikan maka terjadi pro dan kontra baik dari
pihak sekolah sendiri, pihak Dinas Pendidikan, dan juga pihak masyarakat luas.
Meskipun tidak mendapatkan persetujuan dari pihak Dinas, namun tujuan dari
Bapak Wj kurang lebih dapat tercapai. Wacana SMA ‘C’ menjadi sekolah
perempuan ditanggapi oleh masyarakat dengan cerdas, di mana pada saat
8
penerimaan siswa baru tahun 2002/2003 terjadi perbandingan yang sangat
drastis antara siswa laki-laki dan siswa perempuan yang masuk. Siswa laki-laki
saat itu hanya 28,5%, yang oleh Bapak Wj kemudian disatukan menjadi dua
kelas, sehingga saat itu terdapat 5 kelas siswa perempuan, dan 2 kelas siswa
laki-laki. Hal ini dilakukan dengan tujuan supaya lebih mudah melakukan kontrol,
terutama terhadap siswa laki-laki. Bapak Wj juga membangun relasi dengan
masyarakat sekitar sekolah dengan tujuan membentuk kepedulian di kalangan
masyarakat terhadap perilaku siswa.
Mulai tahun 2003 langkah Bapak Wj dilanjutkan oleh Bapak Sr (Alm),
Kepala Sekolah baru. Pada saat itulah, berdasarkan keterangan Bapak Sk, wakil
kepala SMA ‘C’, Bapak Sr (Alm) bersama segenap jajaran sekolah melakukan
beberapa strategi baru yang akhirnya membuat sekolah berhasil menurunkan
angka tawuran dari tahun ke tahun hingga tidak terjadi tawuran sama sekali
selama beberapa tahun.
Berikut ini data mengenai kasus tawuran siswa SMA
‘C’ antara tahun 2000 sampai 2010.
Tabel 1
Data Tawuran Siswa SMA ‘C’
Tahun
1999-2001
Frekuensi Tawuran
4 kali
Sanksi bagi Pelaku
Surat peringatan, 2 siswa di skors,
1 siswa dikembalikan ke orangtua
2002-2003
2 kali
5
siswa
di
skors,
8
siswa
dikembalikan ke orangtua
2004-2010
0 kali
Sumber: Hasil wawancara dengan Ft didukung dengan Dokumen
Bagian Kesiswaan SMA ‘C’.
Berdasarkan data Tabel 1 di atas terlihat jelas bahwa terdapat penurunan
frekuensi secara bertahap dari tahun ke tahun. Periode tahun 2002 hingga 2003
saat SMA ‘C’ melakukan langkah-langkah upaya penghentian tawuran, beberapa
9
kali masih terjadi tawuran walaupun frekuensinya menurun jika dibandingkan
sebelum tahun 2002. Perbedaan sanksi pelaku tawuran juga sangat jelas antara
sebelum dan sesudah tahun 2002. Setelah tahun 2002 pihak sekolah lebih tegas
memberikan sanksi kepada pelaku tawuran yaitu dikembalikan kepada orangtua.
Apa yang dilakukan oleh Kepala Sekolah ini adalah upaya untuk
memutus rantai tawuran dengan cara membangun citra positif sekolah disertai
aturan yang tegas dan kuat. Sesuai dengan pernyataan Winarini bahwa
fenomena tawuran yang terus berulang itu perlu diputus mata rantainya supaya
tawuran
pelajar
bisa
(http://megapolitan.kompas.com,
ditekan,
diunduh
tanggal
bahkan
22
dihilangkan
September
2011).
Menurutnya, salah satu solusinya adalah mengubah identitas sosial sekolah.
Bisa pindah lokasi, ganti nama, dan jangan menggabung siswa kelas satu
dengan senior mereka. Solusi pengubahan identitas ini memang memakan dana
besar dan butuh waktu lama. Solusi lain adalah membangun reputasi sekolah
secara positif. Cap sekolah tawuran yang melekat pada suatu sekolah harus
diubah menjadi citra positif yang membanggakan. Satu lagi kuncinya adalah
melepaskan tawuran itu dari kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin tawuran
tetap ada.
Upaya mengubah citra buruk SMA ‘C’ dengan cara meningkatkan
kedisiplinan seluruh jajaran sekolah adalah merupakan upaya mengubah
identitas sosial yang sudah melekat. Identitas SMA ‘C’ sebagai sekolah ‘doyan
tawur’ ingin diubah menjadi sekolah disiplin dengan gemilang prestasi. Selain itu,
terjadinya dominasi siswa perempuan juga ditujukan untuk menekan jumlah
angka tawuran yang notabene dilakukan siswa laki-laki. Beberapa strategi yang
biasa dilakukan untuk mengubah identitas atau mencapai identitas positif yaitu
10
dengan kreativitas, mobilitas sosial, dan kompetisi sosial (Jackson, dkk., 1996).
Jika benar tawuran yang sering terjadi itu karena adanya identitas yang melekat,
maka jika saat ini tawuran sudah berhenti dapat dipastikan identitas telah
berubah. Strategi apa yang dilakukan pihak sekolah untuk mencapai identitas
positif dan sejauh mana identitas ini berperan dalam proses perdamaian di SMA
‘C’ menjadi satu poin penting untuk menganalisis keberhasilan SMA ‘C’ dalam
memutus rantai tawuran.
Sebagaimana disebutkan oleh Crisp, dkk., (2007) bahwa dalam perilaku
agresif kelompok terdapat konflik identitas, sehingga bagaimana identitas
individu dalam kelompok memiliki posisi penting untuk diperhatikan dalam rangka
mengatasi perilaku agresif kelompok. Kelompok yang menjadi pelaku tawuran
memiliki identitas sosial yang kuat sehingga keberadaan kelompoknya yang
sering menyerang kelompok pelajar dari sekolah lain menjadi sebuah
kebanggaan bagi anggota kelompok ini. Dalam artikel disebutkan salah satu hasil
penelitian yang dilakukan Hirt dan rekannya (1992, dalam Crisp dkk., 2007) para
penggemar yang menganggap kesetiaan mereka terhadap tim sebagai sebuah
bagian yang penting dari identitas mereka, menganggap keberhasilan dan
kegagalan tim mereka sebagai kesuksesan dan kegagalan diri mereka sendiri.
Emosi dan kecenderungan perilaku dapat berbeda secara kualitatif
bergantung pada keadaan di mana orang melihat kelompok yang relevan
sebagai sesuatu yang penting bagi konsep diri mereka (Crisp, dkk., 2007).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka upaya menghentikan perilaku tawuran
berarti bagaimana mengubah identitas individu kelompok pelaku tawuran dari
yang tadinya merasa bangga ketika melakukan aksi tawuran menjadi tidak
bangga, dan mengubah kebanggaannya tersebut pada hal lain yang positif.
11
Kasus SMA ‘C’ menjadi salah satu bukti bahwa tawuran pelajar
sebenarnya
dapat diatasi. Berikut ini data perbandingan mengenai kondisi
sekolah antara tahun 2000 dan tahun 2010.
Tabel 2
Perbandingan Kondisi SMA ‘C’ Tahun 2000 dan 2010
Kondisi dan
Kegiatan Sekolah
Kondisi
Tahun 2000
Tahun 2010
(Sebelum Pemutusan
(Setelah Pemutusan
Rantai Tawuran)
Rantai Tawuran)
sekolah Kurang
secara umum
teratur,
kotor, Teratur, bersih, gerbang
gerbang terbuka 24 jam, tertutup,
akses
keluar
orang luar bebas keluar masuk diawasi satpam
masuk sekolah
Kegiatan
Belajar Tidak tertib, siswa sering Tertib, siswa tidak bisa
Mengajar
Kegiatan
membolos
membolos
Upacara Sering tidak terlaksana Terlaksana dengan tertib
Sekolah
karena
ketidaktertiban
siswa
Tindak
kekerasan Sering terjadi pemukulan, Tidak
antar siswa
penelanjangan,
terjadi
lagi
di
sekolah
penganiayaan
Basis
kurikulum Tidak ada
Basis penelitian
sekolah
Image di masyarakat
Sekolah doyan tawur
The Research School of
Jogja
Sumber: Wawancara dengan Bapak Ft dan Hasil Observasi
Keberhasilan SMA ‘C’ dalam memutus rantai tawuran merupakan hasil
dari sebuah proses perubahan dari kondisi kekerasan menuju perdamaian.
Menurut Greene (2005) perilaku agresif atau kekerasan merupakan kebalikan
12
dari perilaku damai (peaceful behavior). Program yang diperuntukkan siswa
untuk penegakan dan atau pengoperasian pencegahan kekerasan merupakan
strategi menuju perdamaian. Berdasarkan konsep yang dibuat oleh
Galtung
(1969) dalam proses perdamaian terdapat beberapa konsep yaitu peacekeeping,
peacemaking, dan peacebuilding. Peacekeeping merupakan proses penghentian
atau
pengurangan
aksi
kekerasan;
peacemaking
mempertemukan
atau
merekonsiliasi sikap dari pihak- pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi,
arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan; sedangkan peacebuilding
merupakan proses implementasi perubahan demi terciptanya perdamaian dalam
artian positive peace.
Proses perdamaian yang terjadi di SMA ‘C’ ini merupakan proses
perdamaian yang telah berlangsung untuk menghentikan kekerasan di kalangan
pelajar dalam bentuk tawuran. Namun harapan terjalinnya perdamaian bukanlah
berhenti pada berakhirnya aksi tawuran yang dilakukan pelajar, karena jika
proses tersebut berhenti pada titik tersebut, maka tidak mustahil bahwa kondisi
kekerasan akan muncul kembali.
Di tengah-tengah maraknya kasus tawuran pelajar saat ini, serta
kewalahan yang dialami banyak sekolah dalam menangani kasus tawuran yang
dilakukan oleh siswanya, maka penelitian empiris yang mengangkat kasus SMA
‘C’ dalam memutus rantai tawuran sangat diperlukan. Penelitian ini fokus pada
peristiwa keberhasilan SMA ‘C’ menghentikan tawuran, sehingga melalui
pendekatan studi kasus ditujukan akan dapat mengungkap secara mendalam
proses perdamaian yang terjadi. Temuan-temuan dalam penelitian ini nantinya
akan dikaji dan dianalisis sehingga dihasilkan sebuah deskripsi analitis mengenai
proses perdamaian yang berlangsung di SMA ‘C’.
13
B. Perumusan Masalah
Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan mengenai:
1. Bagaimana proses yang terjadi sehingga tawuran yang sebelumnya banyak
terjadi dapat berhenti?
2. Apakah berhentinya tawuran berarti telah terjadi perdamaian di sekolah
tersebut?
3. Apakah proses berhentinya tawuran atau perdamaian di SMA ‘C’ dapat
menjadi contoh baik untuk penanganan tawuran antar pelajar?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi selengkap mungkin
mengenai putusnya rantai tawuran di SMA ‘C’, menganalisis aspek psikologis
dalam proses perdamaian yang terjadi, serta membuat kajian apakah proses
tersebut dapat menjadi contoh baik untuk dijadikan model pengembangan
perdamaian secara umum, khususnya dalam penanganan kasus tawuran antar
pelajar.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan fakta empiris terkait dengan
keberhasilan SMA ‘C’ dalam memutus rantai tawuran. Manfaat penelitian secara
teoritis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi ilmiah dalam ilmu
psikologi, khususnya ilmu psikologi sosial. Manfaat secara praktis, apabila
penelitian ini dapat mengungkap proses perdamaian dalam menghentikan
14
tawuran dan kondisi perdamaian yang terjalin, terutama jika dihasilkan sebuah
model pengembangan perdamaian, maka diharapkan dapat memberikan
masukan bagi pihak-pihak terkait guna mengatasi dan menghentikan tawuran
pelajar antar sekolah di Yogyakarta, dan kota lain pada umumnya.
Download