205 BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan Perbendaharaan Bahasa Ungkap Emosi Anak Usia Dini Untuk mewujudkan sikap empatik harus ditunjang oleh penguasaan bahasa ungkap sebagai media dalam berkomunikasi. Keterampilan menggunakan bahasa ungkap hanya bisa dicapai melalui proses latihan secara terus-menerus sejak usia dini. Kepasihan dalam menggunakan bahasa ungkap akan memperkuat makna komunikasi antar individu. Bahasa sebagai alat komunikasi, merupakan sarana yang sangat penting dalam kehidupan anak. Mengingat besarnya peranan pengembangan bahasa bagi kehidupan anak, maka perlu dikembangkan pada anak didik sejak usia TK baik bahasa verbal maupun bahasa non-verbal. Bahasa Verbal Anak-anak TKLPU yang dijadikan subjek penelitian, pada umumnya memiliki kemampuan fonem yang cukup baik. Karena mereka rata-rata berasal dari keluarga yang peduli pada pendidikan anak. Mereka adalah anak-anak dan cucu-cucu dosen serta karyawan UPI yang sangat paham tentang bagaimana mengembangkan potensi anak. Pengembangan leksikon sanggat bergantung pada prekuensi interaksi sosial anak dengan lingkungannya. Semakin sarat perjumpaan anak dengan orang lain dan melakukan komunikasi verbal, maka akan semakin banyak perbendaharaan kata-kata yang diperoleh melalui perjumpaan itu. Perolehan katakata bagi anak usia dini dipengaruhi oleh lingkungan wacana verbal baik langsung 206 maupun tidak langsung (melalui media) yang sering dilakukan. Selain pengalaman mendengar, perbendaharaan kata anak usia dini, dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya dalam keseharian. Pengucapan kata-kata yang dibarengi dengan pemahaman akan mengesankan keyakinan dalam penyajiannya. Dengan demikian komunikasi akan berjalan lancar karena pendengar tidak merasa sanksi atas kebenaran katakatanya. Jika pembicaraan mendapat respon yang positif dari pendengar akan menciptakan kondisi interaksi yang selaras dengan tujuan. Pembicara akan merasa dihargai karena respons positif dari pendengar, sementara pendengar akan mendapat pengetahuan dari kebenaran kata-kata yang diucapkan pembicara. Drama dalam proses dan produksinya merupakan kegiatan eksploitasi maknamakna, baik makna kata, kalimat, maupun perilaku. Melalui drama anak-anak dibawa masuk ke dalam proses pembelajaran makna-makna. Kemampuan merangkai kata-kata menjadi kalimat bagi anak usia dini membutuhkan proses yang relatif panjang. Sebab kemampuan sintaksis sangat ditentukan oleh kemampuan semantik dan leksikon. Drama kurang efektif untuk mengembangkan kemampuan sintaksis anak-anak. Struktur-struktur kalimat dalam drama lebih mengutamakan nilai komunikasi daripada ketaatannya pada kaidah-kaidah bahasa. Penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat dalam berkomunikasi berhubungan erat dengan konteks. Presentasi drama verbal adalah bagaimana manyampaikan ide-ide itu melalui permainan kata-kata. Dengan demikian 207 bagaimana kata-kata itu dikemas sedemikian rupa sehingga memiliki kekuatan komunikasi untuk menyampaikan gagasan. Bahasa Nonverbal Berdasarkan pengamatan peneliti menunjukan bahwa pada umumnya anak sudah mampu menggerakan bagian-bagian tubuhnya kecuali gerak-gerak pada bagian kaki. Mereka kesulitan dalam melakukan gerak lompat satu kaki, baik kaki kiri maupun kaki kanan. Anak-anak pada umumnya kekurangan waktu dan kesempatan untuk melakukan latihan gerak-gerak koordinasi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sarana bermain anak yang mengarah kepada kemampuan gerakgerak koordinatif. Kegiatan anak-anak dalam bermain dibatasi oleh kepedulian orang tua dan guru yang berlebihan. Namun, kemampuan dalam meragakan kembali pengalaman kegiatan fisik mereka terutama menggunakan anggauta tubuh tangan dan bagian kepala (mata, hidung, dan mulut), sangat memuaskan. Ketika mereka berbicara, hampir seluruh informasi dipertegas oleh tangan dengan gerak-gerak spontan. Kepekaan terhadap Perasaan Orang Lain Kepekaan anak usia dini terhadap bahasa verbal, nampak pada responsnya yang spontan ketika mendengar kata-kata yang diucapkan oleh orang lain. Bentuk respons terhadap kata-kata yang didengarkan berupa refleksi fisik yang tampak pada ekspresi wajah dan biasanya dipertegas oleh anggotan badan yang lain. Kepekaan bahasa nonverbal meliputi ketajaman melihat, mendengar, dan keterampilan melakukan respons nonverbal. Kepekaan Mendengar nada bicara 208 telah dimiliki oleh anak-anak pada umumnya. Karena sarana untuk belajar tentang hal tersebut sangat banyak. Misalnya di lingkungan keluarga, lingkungan bermain, dan lingkungan sekolah, serta tayangan media televisi. Anak-anak sudah paham bahwa orang marah itu nada bicaranya tinggi dan penuh tekanan, serta pada umumnya membentak-bentak. Sebaliknya nada bisik-bisik dipahami dan direspons oleh anak-anak dengan penuh tanda tanya dan curiga. Empati dari Sudut Pandang Orang Lain Memerankan Tokoh Orang Lain dalam permainan drama sama dengan empati dari sudut pandang orang lain. Bentuk presentasinya merupakan perpaduan berbagai bahasa ungkap. Perpaduan dari perbendaharaan bahasa ungkap emosi dengan kepekaan perasaan dalam istilah drama disebut akting. Presentasi drama merupakan hasil proses transformasi nilai-nilai kehidupan nyata menjadi nilainilai kehidupan pentas yang simbolis. Dapat disimpulkan bahwa proses drama adalah proses empati, karena dengan empati, proses perwujudan nilai-nilai yang digagas oleh para insan drama akan hadir di depan audien dan ditanggapi secara empatik. Melalui drama anak-anak mengalami proses pembiasaan mengolah bahasa ungkap dan kepekaan yang terintegrasi dalam bentuk akting. Format kerja drama sangat efektif dan pedagogis dalam mengembangkan aspek empati anak usia dini serta aspek-aspek lainnya. 209 B. Implikasi Kecerdasan sosial tidak bisa terlepas dari kecerdasan emosional dan kecerdasan moral dalam konteks interaksi sosial. Kecerdasan sosial yang hanya mengandalkan adaftasi terhadap mekanisme sosial yang berlaku nyaris menjadi perilaku yang semu. Tanpa muatan rasa yang mencerminkan kesungguhan berinteraksi. Kesan yang akan diterima oleh mitra komunikasi akan terasa tawar dan kamuplatif. Ini merupakan ancaman bagi kemanusiaan jika segala perilaku bersifat fragmatis dan dilatarbelakangi oleh siasat serta strategi untuk mencapai target tertentu melalui interaksi. Jika demikian adanya, interaksi sosial bukan lagi fitrah makhluk manusia, melainkan hanyalah strategi adaftasi dalam pergaulan semu. Kecerdasan sosial yang sejati tidak cukup hanya dengan fasilitas sosial dan kesadaran sosial, akan tetapi harus disertai dengan kecerdasan emosional. Sehingga performa yang tanpak merupakan perwujudan dari ketulusan dan kejujuran serta keikhlasan hati yang divisualisasikan melalui bahasa nonverbal. Keselarasan tentang apa yang dirasakan dan dilakukan oleh seseorang dalam berkomunikasi, akan mempermudah mitra komunikasi untuk membaca pesan yang disampaikan. Begitu juga bahasa verbal yang kerap menjebak seseorang karena retorikanya harus selaras dengan tindakan dan perasaan. Kecerdasan sosial tanpa disertai dengan kecerdasan emosional akan berkesan kamuplatif sungguhpun dia telah beretika menurut mekanisme soisal, namun etika kamuplatif yang tujuannya untuk mengelabui lawan bicara demi target kesan yang diharapkan. Di samping kecerdasan emosional, kecerdasan sosial juga harus direkatkan dengan kecerdasan moral. Sebab jika tidak, akan terjadi komunikasi 210 tanpa makna. Karena tidak ada substansi moral yang diperjuangkan atau dibela demi tegaknya sistem moral yang dianut. Oleh karena itu seseorang harus memahami dan menggunakan esensi dasar dalam berkomunikasi yaitu empati agar perjumpaan menjadi wahana dalam proses pengembangan diri. Empati yang merupakan intinya dari kecerdasan sosial, emosional, dan moral perlu terus dikembangkan sehingga membentuk kepribadian yang diharapkan. Proses drama sangat efektif dalam mengembangkan empati anak usia dini karena cara kerjanya yang senantiasa mengeksploitasi bahasa ungkap emosi, kepekaan, dan akting. Ketiga aspek yang diolah oleh kegiatan drama adalah juga komponen empati yang pada akhirnya memiliki muara yang sama yaitu tampil baik di depan orang lain. Proses drama menggunakan ”empati segitiga” dalam menghadirkan nilai-nilai dramatik dan presentasi drama juga akan mewujudkan empati bagi penonton. Oleh karena itu, guru harus memiliki kompetensi di bidang drama serta bidangbidang seni lainnya. Paling tidak guru harus menyadari pentingnya pendekatan seni terutama drama dalam rangka pengembangan empati anak. Tugas itu sungguh sangat berat melihat kenyataan sumber daya guru yang seperti sekarang ini. Salah satu strategi untuk mensiasati kondisi yang terjadi, jika tidak memiliki skill di bidang seni, guru bisa mengambil peran sebagai manajer dalam proses kegiatan belajar mengajar. 211