6 BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Pengertian Pemasaran Menurut Kotler (2005, p10) pemasaran adalah proses sosial yang dengan proses itu individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain. Menurut Madura (2001, p83), pemasaran adalah tindakan berbagai perusahaan untuk merencanakan dan melaksanakan rancangan produk, penentuan harga, distribusi, promosi. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemasaran adalah keseluruhan proses yang dilakukan oleh perusahaan atas produk dan jasa yang bernilai demi memenuhi kebutuhan dan keinginan individu atau kelompok lain. 2.2 Manajemen Pemasaran Menurut pendapat Kotler (2002, p9) manajemen pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang, dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memenuhi sasaransasaran individu dan organisasi. Definisi ini menunjukkan bahwa manajemen pemasaran adalah proses yang melibatkan analisa, perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang mencakup barang dan jasa dengan tujuan menghasilkan kepuasan bagi pihak-pihak yang terlibat. 7 2.3 Perubahan Dunia Bisnis dan Pemasaran Pasar berubah secara radikal sebagai akibat dari sejumlah kekuatan masyarakat yang besar seperti kemajuan teknologi, globalisasi, dan deregulasi. Menurut Kotler (2005, p31), kekuatan-kekuatan besar itu telah menciptakan perilaku dan tantangan baru: Pelanggan semakin mengharapkan mutu dan layanan yang lebih tinggi dan adanya sedikit penyesuaian terhadap kebutuhan masing-masing pelanggan. Merek berpikir bahwa hanya ada sedikit perbedaan produk yang nyata dan menunjukkan lebih sedikit kesetiaan terhadap merek. Mereka menunjukkan kepekan harga yang lebih besar dalam mencari nilai atau manfaat. Perusahaan pabrik bermerek menghadapi persaingan yang besar dari merek dalam negeri dan asing, yang mengakibatkan naiknya biaya promosi dan merosotnya marjin laba. Pengecer berbasiskan toko menjadi menderita. Para pengecer kecil mengalah pada kekuatan pengecer raksasa yang sedang betumbuh. 2.4 Perusahaan Jasa 2.4.1 Kategori Bauran Jasa Tawaran suatu perusahaan ke pasar sering mencakup beberapa jasa. Komponen jasa dapat berupa bagian kecil atau bagian utama dari seluruh tawaran tersebut. Menurut Kotler (2005, p112), ada lima kategori tawaran: 1. Barang berwujud murni: Tawaran tersebut terutama terdiri atas barang berwujud. Tidak satu pun jasa menyertai produk tersebut. 2. Barang berwujud yang disertai jasa: Tawaran tersebut terdiri atas barang berwujud yang disertai oleh satu atau beberapa jasa. 8 3. Campuran: Tawaran tersebut terdiri atas barang dan jasa dengan bagian yang sama. 4. Jasa utama yang disertai barang dan jasa yang sangat kecil: Tawaran tersebut terdiri atas jasa utama bersama jasa tambahan atau barang pendukung. 5. Jasa murni: Tawaran tersebut terutama terdiri atas jasa. Karena bauran barang dan jasa yang berbeda-beda ini, sulit melakukan generalisasi tentang jasa tanpa mencari perbedaan lebih lanjut. Namun menurut Kotler (2005, p112), ada beberapa generalisasi yang dapat digunakan: Pertama, jasa berbeda-beda berdasarkan apakah jasa tersebut berbasis peralatan atau berbasis orang. Jasa berbasis orang berbeda-beda berdasarkan apakah jasa tersebut disediakan karyawan yang tidak terampil, terampil, atau profesional. Kedua, beberapa jasa mengharuskan kehadiran klien dan beberapa tidak mengharuskannya. Ketiga, jasa berbeda-beda dalam hal apakah jasa tersebut memenuhi kebutuhan pribadi (jasa pribadi) atau kebutuhan bisnis (jasa bisnis). Penyedia jasa biasanya mengembangkan program pemasaran yang berbeda untuk pasar pribadi dan bisnis. Keempat, penyedia jasa berbeda-beda dalam tujuan (laba atau nirlaba) dan kepemilikan (swasta atau pemerintah) mereka. 2.4.2 Karakteristik Jasa dan Implikasi Pemasarannya Menurut Kotler (2005, p112), jasa memiliki empat karakteristik utama yang sangat mempengaruhi desain program pemasaran: 9 Tidak berwujud (intangibility) Berbeda dari produk fisik, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum dibeli. Untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli akan mencari bukti mutu jasa tersebut. Mereka akan menarik kesimpulan mengenai mutu dari tempat, orang-orang, peralatan, bahan komunikasi, simbol, dan harga yang mereka lihat. Karena itu, tugas penyedia jasa adalah mengelola bukti tersebut, untuk mewujudkan sesuatu yang tidak berwujud. Tidak terpisahkan (inseparability) Biasanya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. Hal ini tidak berlaku bagi barang-barang fisik, yang diproduksi, disimpan sebagai persediaan, didistribusikan melalui banyak penjual, dan dikonsumsi kemudian. Jika seseorang memberikan jasa tersebut, penyedianya adalah bagian dari jasa itu. Karena klien tersebut juga hadir pada saat jasa itu dihasilkan, interaksi penyedia-klien merupakan ciri khusus pemasaran jasa. Bervariasi (variability) Jasa sangat bervariasi karena bergantung pada siapa memberikannya dan kapan dan di mana diberikan. Pembeli jasa menyadari keragaman ini dan sering bicara dengan orang-orang lain sebelum memilih penyedia jasa. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan jasa dapat mengambil tiga langkah dalam rangka mengendalikan mutu. Pertama, berinvestasi dalam prosedur perekrutan dan pelatihan yang baik. Merekrut karyawan yang tepat dan memberikan pelatihan yang sangat bagus kepada mereka sangat berperan penting, terlepas dari apakah karyawan adalah profesional yang sangat terampil atau pekerja yang memiliki keterampilan rendah. Kedua, menetapkan standar proses 10 pelaksanaan jasa di seluruh organisasi tersebut. Tugas ini dilakukan dengan menyediakan blueprint service yang menggambarkan kejadia-kejadian dan proses dalam grafik alur, dengan tujuan untuk mengenali titik-titik kemungkinan kegagalan. Ketiga, memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan keluhan, survei pelanggan, dan belanja perbandingan. Tidak tahan lama (perishability) Jasa tidak dapat disimpan. Sifat jasa yang mudah rusak tersebut tidak akan menjadi masalah apabila permintaan tetap berjalan lancar. Jika permintaan berfluktuasi, perusahaan-perusahaan jasa menghadapi masalah yang rumit. 2.5 Strategi Pemasaran untuk Perusahaan Jasa 2.5.1 Bauran Pemasaran Jasa Definisi bauran pemasaran menurut Kotler (2002, p18) adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran. Definisi bauran pemasaran menurut Lamb, Hair, dan McDaniel (2002, p55) adalah paduan strategi produk, distribusi, promosi, dan penentuan harga yang bersifat unik yang dirancang untuk menghasilkan pertukaran yang saling memuaskan dengan pasar yang dituju. Definisi bauran pemasaran menurut Madura (2002, p83) adalah kombinasi dari strategi produk, penentuan harga, distribusi, dan promosi yang digunakan untuk menjual berbagai produk. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bauran pemasaran adalah seperangkat program pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan untuk mencapai 11 tujuan pemasaran dan memuaskan pasar yang dituju melalui empat elemen, yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi. Berikut adalah uraian empat elemen tersebut yang lebih dikenal dengan sebutan 4P: 1. Produk (Product) Menurut Kotler (2002, p394), produk adalah segala sesuatu yang ditawarkan kepada pasar untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan. 2. Harga (Price) Menurut Lamb, Hair, dan McDaniel (2001, p268), harga adalah sesuatu yang diserahkan dalam pertukaran untuk mendapatkan suatu barang atau jasa. 3. Distribusi (Place) Distribusi termasuk segala aktivitas perusahaan untuk membuat produk tersedia bagi konsumen sasaran. 4. Promosi (Promotion) Menurut Lamb, Hair, dan McDaniel (2001, p145), promosi adalah komunikasi dari para pemasar yang menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan para calon pembeli suatu produk dalam rangka mempengaruhi pendapat mereka dan memperoleh suatu tanggapan. Pendekatan pemasaran 4P dapat diterapkan untuk barang, tetapi elemen-elemen tambahan perlu diperhatikan dalam bisnis jasa. Kotler (2005, pp116-118) mengungkapkan bahwa Booms dan Bitner mengusulkan 3P tambahan untuk pemasaran jasa: Orang (people) Karena sebagian besar jasa diberikan oleh orang, maka pemilihan, pelatihan, dan motivasi karyawan dapat menghasilkan perbedaan yang sangat besar 12 dalam kepuasan pelanggan. Idealnya, karyawan seharusnya memperlihatkan kompetensi, sikap kepedulian, sikap tanggap, inisiatif, kemampuan memecahkan masalah, dan niat baik. Bukti fisik (physical evidence) Perusahaan-perusahaan juga mencoba memperlihatkan mutu jasanya melalui bukti fisik dan penyajian. Perusahaan-perusahaan jasa dapat memilih di antara berbagai proses yang berbeda-beda untuk menyerahkan jasanya. Proses (process) Mengingat proses yang rumit dalam pemasaran jasa, maka pemasaran yang dilakukan tidak hanya membutuhkan pemasaran ekternal yang tertuju kepada konsumen; tetapi juga pemasaran internal untuk pihak internal perusahaan khususnya karyawan; dan pemasaran interaktif yang menggambarkan kemampuan karyawan melayani klien. 2.5.2 Tugas Perusahaan Jasa Karena jasa biasanya mempunyai kualitas pengalaman dan kepercayaan yang tinggi, akan terdapat lebih banyak risiko dalam pembeliannya. Kotler (2005, pp119-130) berpendapat bahwa hal ini mengandung beberapa konsekuensi. Pertama, konsumen jasa umumnya mengandalkan cerita dari mulut ke mulut daripada iklan. Kedua, mereka sangat mengandalkan harga, petugas, dan petunjuk fisik untuk menilai mutunya. Ketiga, mereka sangat setia pada penyedia jasa yang memuaskan mereka. Oleh karena itu, perusahaan jasa menghadapi tiga tugas yang saling berinteraksi: 13 Mengelola diferensiasi persaingan Pemasar sering mengeluh tentang sulitnya membedakan jasa mereka. Sejauh pelanggan melihat suatu jasa cukup homogen, mereka akan kurang peduli dengan penyedianya dibandingkan dengan harganya. Namun jasa dapat dibedakan. Alternatif persaingan harga yang dapat dilakukan adalah mengembangkan tawaran yang inovatif, penyerahan yang lebih cepat dan lebih baik, atau citra jasa yang terdiferensiasi. Mengelola mutu jasa Mutu jasa suatu perusahaan diuji dalam setiap pertemuan jasa. Jika karyawankaryawan eceran merasa bosan, tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana, atau saling berkunjung pada saat pelanggan sedang menunggu, pelanggan akan berpikir dua kali untuk melakukan bisnis lagi dengan penjual tersebut. Pelanggan menciptakan harapan-harapan layanan dari pengalaman masa lalu, cerita dari mulut ke mulut, dan iklan. Pelanggan membandingkan jasa yang dipersepsikan dengan jasa yang diharapkan. Jika persepsi berada di bawah jasa yang diharapkan, pelanggan akan kecewa. Jika persepsi jasa memenuhi atau melebihi harapan mereka, mereka akan cenderung menggunakan penyedia tersebut lagi. Ada 5 penentu mutu jasa: - Keandalan: kemampuan melaksanakan layanan yang dijanjikan secara meyakinkan dan akurat. - Daya tanggap: Kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat. - Jaminan: Pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka menyampaikan kepercayaan dan keyakinan. 14 - Empati: Kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus kepada masing-masing pelanggan. - Benda berwujud: Penampilan fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan, dan bahan komunikasi. Mengelola produktivitas Ada tujuh pendekatan untuk meningkatkan produktivitas jasa: - Meminta penyedia jasa bekerja lebih terampil. Perusahaan tersebut dapat merekrut dan mengembangkan pekerja yang lebih terampil melalui pemilihan dan pelatihan yang lebih baik. - Meningkatkan kuantitas jasa dengan melepas sebagian mutu. - Mengindustrialisasikan jasa dengan menambah peralatan dan menstandardisasi produksi. - Mengurangi atau menghilangkan kebutuhan jasa dengan menemukan solusi produk. - Merancang jasa yang lebih efektif. - Memberikan insentif kepada pelanggan untuk mengganti tenaga kerja perusahaan dengan tenaga kerja mereka sendiri. - Memanfaatkan kekuatan teknologi untuk memberi akses kepada pelanggan ke layanan yang lebih baik dan menjadikan pekerja jasa lebih produktif. 2.6 Perdagangan Eceran Menurut Kotler (2005, p215) eceran (retailing) meliputi semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa langsung kepada konsumen akhir untuk 15 penggunaan pribadi dan non-bisnis. Pengecer (retailer) atau toko eceran (retail store) adalah setiap usaha bisnis yang volume penjualannya terutama berasal dari eceran. Setiap organisasi yang melakukan penjualan kepada konsumen akhir, baik itu produsen, pedagang besar, atau pengecer, disebut melakukan eceran, tanpa mempermasalahkan bagaimana barang atau jasa tersebut dijual (melalui orang, surat, telepon, atau mesin penjaja, atau internet) atau di mana dijual (di toko, di pinggir jalan, atau di rumah konsumen). Menurut Ma’ruf (2005, pp7-8), perdagangan eceran adalah kegiatan usaha menjual barang atau jasa kepada perorangan untuk keperluan diri sendiri, keluarga, atau rumah tangga. Mereka menjual barang atau jasa langsung kepada konsumen. Istilah konsumen atau pembeli atau pelanggan (customer) menunjuk maksud yang sama, yaitu seseorang yang membeli barang dan jasa untuk keperluan dirinya sendiri atau keperluan keluarganya. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perdagangan eceran adalah seluruh kegiatan penjualan barang atau jasa yang ditujukan langsung kepada konsumen akhir. Dalam pengertian lazimnya, retailer atau pedagang eceran adalah mata rantai terakhir dalam proses distribusi. Pedagang eceran merupakan mitra dari agen/ distributor yang memiliki nama lain wholesaler (pedagang partai besar). Arti partai besar di sini adalah volume produk. Menurut Kismono (2001, p371), kategori pengecer berdasar faktor-faktor jenis pelayanan, strategi harga, kelengkapan produk, dan banyak pengecer, adalah sebagai berikut: 1. Department Store Toko pengecer besar yang dikelola menjadi departemen-departemen terpisah, seperti peralatan rumah tangga, peralatan olahraga, dan menawarkan suatu lini pelayanan penuh dan bauran produk yang luas. 16 2. Discount Store Toko pengecer yang menawarkan berbagai macam barang dan pelayanan yang minimal. 3. Specialty Store Toko pengecer yang hanya menawarkan lini produk tertentu. 4. Hypermarket Toko pengecer yang menggabungkan supermarket dan discount store, produk yang ditawarkan lebih dari 50.000 item, meliputi bahan makanan, pakaian, dan perabotan rumah tangga. 5. Supermarket Toko pengecer besar dengan sistem swalayan yang menyediakan berbagai macam bahan makanan dan sejumlah produk non-makanan. 6. Convenience Store Toko pengecer kecil yang berlokasi di tempat nyaman dan dibuka untuk waktu yang lama dan jumlah item terbatas. 7. Catalog Store Toko yang menyediakan persediaan barang dalam jumlah banyak, dimana pembeli bisa memperoleh informasi produk dari katalog yang dikirimkan pada konsumen. 8. Chain Store Satu dari dua atau lebih toko yang sama yang dimiliki oleh perusahaan yang sama. 2.6.1 Potensi Pasar Eceran Pasar eceran di Indonesia merupakan pasar besar dengan jumlah penduduk pada awal tahun 2004 sekitar 215 juta jiwa (data P4B/ Panitia Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan pada pertengahan tahun 2003 menunjukkan angka 213 juta lebih). Jumlah 215 juta merupakan peningkatan 4,37% sejak tahun 2000. Dengan penduduk sebanyak itu, total belanja rumah tangga mencapai Rp 600 triliun setahun (Bisnis Indonesia, 2004). Belanja tersebut mencakup seluruh kebutuhan rumah 17 tangga, mulai dari kebutuhan sehari-hari seperti gula, sabun mandi, pakaian, hingga kebutuhan barang tahan lama, seperti kulkas, emas, mobil. Perkembangan demografi merupakan titik awal dalam mengamati potensi pasar ritel. Dari segi jumlah penduduk, pulau Jawa adalah target sangat bagus karena jumlah penduduk yang besar membuat pendistribusian lebih ekonomis. Bagi pengecer berupa department store dan supermarket, pulau Jawa menjadi sasaran pertama sebelum merambah ke provinsi luar Jawa. Dua provinsi di luar pulau Jawa yang menarik para pengecer besar adalah Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan (Ma’ruf, 2005, pp21-22). Jumlah penduduk yang besar membutuhkan barang dan jasa dalam jumlah besar. Mereka memerlukan barang dan jasa untuk kebutuhan pribadi dan rumah tangga. 2.6.2 Pertumbuhan Pasar Eceran Pasar eceran dapat terus tumbuh sebagai akibat dari perkembangan berbagai bidang. Pasar eceran yang tumbuh secara nasional tidak saja menguntungkan pedagang eceran besar atau produsen barang eceran melainkan juga para pedagang eceran kecil yang melayani masyarakat setempat. Menurut Ma’ruf (2005, pp24-25), bidang utama yang mempengaruhi pertumbuhan pasar eceran adalah perkembangan demografi. Jumlah penduduk yang bertambah menyebabkan semua barang dan jasa meningkat. Komposisi penduduk menurut usia yang berubah, misalnya karena harapan hidup yang meningkat, membuat ragam produk pun mengikuti, baik dalam jumlah maupun jenis. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan pasar eceran adalah: ¾ Pertumbuhan ekonomi secara umum, dan sektor-sektor ekonomi secara khusus, mempunyai dampak langsung yang segera. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat membuka lapangan kerja baru yang cukup besar. Banyaknya 18 karyawan baru menyebabkan pasar eceran pun segera mengikuti karena munculnya permintaan-permintaan akan barang dan jasa. ¾ Bidang sosial budaya masyarakat turut menjadi faktor pertumbuhan pasar eceran. Masyarakat yang semakin aktif dalam kehidupan sosial akan meningkatkan aktivitas pengadaan barang dan jasa guna memfasilitasi kegiatan mereka. ¾ Budaya yang dipengaruhi agama misalnya, akan menimbulkan permintaan barang dan jasa yang berkenaan dengan kegiatan dalam budaya dan keagamaan. ¾ Kemajuan teknologi memberi kesempatan kepada produsen untuk menawarkan produk baru yang lebih memikat. Produk baru menciptakan permintaan baru, sementara penurunan harga atas produk model sebelumnya yang kalah bersaing dapat menciptakan permintaan. ¾ Globalisasi juga merupakan faktor utama terciptanya permintaan atau meningkatnya permintaan produk dan jasa eceran. Gaya hidup adalah salah satu aspek kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor ini. Karena itu, banyak pedagang eceran besar mengamati perkembangan globalisasi, khususnya perkembangan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. ¾ Infrastruktur yang berkembang akan memperbesar kesempatan tumbuhnya pasar eceran. Infrastruktur di pulau atau daerah yang satu dengan yang lain bervariasi kelengkapan dan kondisinya. ¾ Bidang hukum dan peraturan juga mempengaruhi pertumbuhan pasar eceran. 19 2.6.3 Konsep Store Environment Konsep Store Environment merupakan bagian dari Konsep Place. Retailing adalah semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang dan jasa langsung kepada konsumen akhir untuk pengggunaan yang sifatnya pribadi, bukan bisnis. Salah satu retailer atau badan usaha yang melakukan eceran adalah toko dengan segala macam bentuknya. Pada dasarnya sebuah retail mempunyai dua hal penting yang dapat ditawarkan kepada konsumen, yaitu produk dan teknik menampilkan produk tersebut sehingga terlihat menarik. Menurut Umar (2005, p60), store environment adalah suasana lingkungan toko yang hendaknya terasa nyaman dan menyenangkan bagi para pengunjung sehingga merangsang para konsumen untuk menghabiskan waktu dan berbelanja dalam toko. Store environment mampu mempengaruhi perilaku membeli konsumen. Menurut Dale M. Lewinson (Umar, 2005, p60), store environment memiliki tiga elemen penting, yaitu: store image, store atmospheries, dan store theatries. Berikut adalah skemanya: Store Environment Store Image Store Atmospheries - External Impression - Internal Impression - Sight Appeal - Sound Appeal - Scent Appeal - Touch Appeal Store Theatries - Decor Themes - Store Events Gambar 2.1 Elemen Store Environment Sumber: Umar (2005, p60) Store Image adalah sebuah toko yang menggambarkan apa yang dilihat dan dirasakan oleh konsumen terhadap toko tertentu. Citra konsumen terhadap sebuah toko 20 terdiri atas kesan terhadap eksterior dan interiornya. Store Imange merupakan hal penting bagi retailer untuk menarik dan memenuhi kepuasan konsumen. Store Atmospherics adalah keseluruhan efek emosional yang diciptakan oleh atribut fisik toko di mana ia hendaknya mampu memuaskan kedua belah pihak yang terkait, retailer dan para konsumennya. Atmosfir toko yang menyenangkan hendaknya dapat dilihat dari atribut yang dapat menarik ke lima indera manusia, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa. Store Theatrics adalah suatu pameran atau pergelaran produk yang memicu konsumen untuk membeli produk yang dipamerkan. Store theatrics dapat merupakan senjata yang ampuh bagi kebanyakan retailer untuk mendapatkan competitive advantage yang mampu membedakan anatara satu retailer dengan yang lainnya. Store theatrics dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu decor themes dan store event . Decor themes merupakan tema dekorasi toko baik untuk sisi eksternal dan internal sehingga menarik perhatian ke lima indera konsumen. Store events adalah peristiwa yang spesial, seperti acara hiburan, program promosi, demonstrasi produk, program sosial, dan yang sejenisnya, yang diadakan untuk menarik pembeli potensial ke dalam toko dengan harapan untuk mencapai tujuan sebagai berikut: menciptakan awareness toko, menyediakan informasi pada konsumen, membangun store image, serta meningkatkan frekuensi berkunjung konsumen. 2.6.4 Loyalitas Pelanggan Toko Eceran Menurut Ma’ruf (2005, pp69-70), loyalitas pelanggan dapat dilihat pada frekuensi kunjungan dan persentase belanja mereka. Seseorang pelanggan yang rutin berbelanja di suatu gerai dengan total belanja sebulannya kurang lebih sama, dapat dikatakan loyal 21 pada gerai itu. Jika hanya memperhatikan frekuensi kunjungan saja, ada empat jenis loyalitas berdasarkan komitmen dan banyaknya gerai yang dikunjungi. Berikut adalah tabel loyalitas pelanggan eceran berdasarkan komitmen dan banyaknya gerai yang dikunjungi: Tabel 2.1 Kategori Loyalitas Pelanggan Eceran Jumlah gerai yang dikunjungi Tinggi Sedikit Loyal murni Banyak Repertoire (”daftar lagu”): loyalitas terpendam Komitmen Habituals: Switcher (suka berganti): loyalitas palsu tidak ada loyalitas Rendah Sumber: Ma’ruf (2005, p70) 2.7 Merek 2.7.1 Pengertian Merek Menurut Iman (2001, p19) merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan yang digunakan dalam kegiatan perdagangan atau jasa. Pengertian merek menurut Kotler dan Susanto (2001, p575) adalah nama, istilah, atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut yang dimaksudkan untuk 22 mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Menurut Lamb (2000, p421), merek adalah suatu nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi dari semuanya, yang mengidentifikasikan produk para penjual dan membedakannya dari produk pesaing. Jadi merek mengidentifikasikan penjual atau pembuat. Merek dapat berupa nama, merek dagang, logo, atau simbol lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa merek selain berguna untuk membedakan suatu produk dengan produk pesaingnya, juga untuk mempermudah konsumen untuk mengenali dan mengidentifikasi barang atau jasa yang hendak dibeli. Merek merupakan simbol yang rumit yang bisa menyampaikan enam tingkat pesan menurut Kotler (2002, p404) yaitu: 1. Sifat (Attributes) : Merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu. Sebuah merek bisa menyampaikan sejumlah sifat dalam benak konsumen. 2. Manfaat (Benefits) : Suatu merek lebih dari serangkaian atribut atau sifat. Sifat harus diterjemahkan ke dalam manfaat fungsional dan emosional. 3. Nilai (Values) : Merek mencerminkan nilai-nilai yang dipegang oleh produsen. 4. Budaya (Culture) : Merek bisa mewakili budaya tertentu. 5. Kepribadian (Personality) : Merek mencerminkan pribadi tertentu. 6. Pemakai (User) Merek : menunjukkan jenis konsumen yang membeli dan menggunakan produk. Perusahaan perlu melakukan penelitian mengenai posisi mereknya di benak para konsumen. Salah satu caranya dengan memvisualisasikan sebuah piramida merek (a 23 brand pyramid) ketika sedang membangun citra sebuah merek. Tingkat yang paling rendah adalah sifat merek (brand attributes), tingkat selanjutnya adalah keuntungan merek (brand’s benefits), dan yang paling puncak adalah keyakinan dan nilai merek (brand’s beliefs and values). Apa yang membedakan sebuah merek dari produk saingannya yang tak bermerek adalah persepsi dan perasaan konsumen mengenai dan pengalamannya terhadap produk tersebut. Menurut Kotler, et al (2005, pp98-99) ada tiga pendekatan penelitian yang biasa digunakan untuk mengetahui makna merek: 1. Asosiasi kata (word association). Masyarakat dapat ditanya apa yang terlintas di benak mereka ketika mereka mendengar nama sebuah merek. 2. Mempersonifikasikan merek tersebut (personifying the brand). Masyarakat dapat ditanya mengenai orang atau binatang macam apa yang terlintas di benak mereka ketika merek tersebut disebutkan. Persona merek tersebut dapat menyampaikan gambaran karakter yang lebih manusiawi mengenai merek tersebut. 3. Perjenjangan ke atas hingga menemukan esensi merek (laddering up to find the brand essence). Esensi merek terkait dengan tujuan yang lebih dalam dan abstrak yang konsumen coba penuhi dengan merek tersebut. Pertanyaan mengapa merupakan teknik yang dikenal sebagai laddering up. Pertanyaan ini membantu pemasar mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai motivasi seseorang. Jawaban-jawaban yang diberikan dapat menunjukkan sejumlah kampanye pemasaran yang mungkin dilakukan. 24 2.7.2 Peran Merek Merek memegang peranan sangat penting, salah satunya adalah menjembatani harapan konsumen pada saat produsen menjanjikan sesuatu kepada konsumen. Dengan demikian dapat diketahui adanya ikatan emosional yang tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing bisa saja menawarkan produk yang mirip, tapi mereka tidak mungkin menawarkan janji emosional yang sama. Menurut Kotler, et al (2005, p101) sebuah merek lebih dari sekadar nama, logo, warna, tagline (slogan), atau simbol. Semua itu hanya alat dan taktik pemasaran. Sebuah merek pada intinya adalah janji pemasar untuk menyampaikan sejumlah fitur, keuntungan, dan pelayanan yang konsisten kepada pembeli. Pemasar harus menetapkan sebuah misi untuk merek tersebut dan visi mengenai ingin menjadi apa dan apa yang bisa dilakukan merek tersebut. Pemasar harus berpikir bahwa ia menawarkan sebuah kontrak kepada konsumen mengenai bagaimana merek tersebut akan berkinerja. Kontrak merek tersebut harus jujur. 2.7.3 Manfaat merek Menurut Tjiptono (2005, pp20-22), merek bermanfaat bagi produsen dan konsumen. Bagi produsen, merek berperan penting sebagai: Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian sediaan dan pencatatan akuntansi. Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik. Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi di lain waktu. Loyalitas merek seperti ini menghasilkan predictability dan security permintaan bagi 25 perusahaan dan menciptakan hambatan masuk yang menyulitkan perusahaan lain untuk memasuki pasar. Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari para pesaing. Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen. Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa datang. Bagi konsumen, merek bisa memberikan beraneka macam nilai melalui sejumlah fungsi dan manfaat potensial. Tabel 2.2 Fungsi Merek Bagi Konsumen No 1. FUNGSI Identifikasi MANFAAT BAGI PELANGGAN Bisa dilihat dengan jelas; memberikan makna bagi produk; gampang mengidentifikasi produk yang dibutuhkan atau dicari. 2. Praktikalitas Memfasilitasi penghematan waktu dan energi melalui pembelian ulang identik dan loyalitas. 3. Jaminan Memberikan jaminan bagi konsumen bahwa mereka bisa mendapatkan kualitas yang sama sekalipun pembelian dilakukan pada waktu dan di tempat berbeda. 4. Optimisasi Memberikan kepastian bahwa konsumen dapat membeli alternatif terbaik dalam kategori produk tertentu dan pilihan terbaik untuk tujuan spesifik. 26 5. Karakterisasi Mendapatkan konfirmasi mengenai citra diri konsumen atau citra yang ditampilkannya kepada orang lain. 6. Kontinuitas Kepuasan terwujud melalui familiaritas dan intimasi dengan merek yang telah digunakan atau dikonsumsi pelanggan selama bertahun-tahun. 7. Hedonistik Kepuasan terkait dengan daya tarik merek, logo, dan komunikasinya. 8. Etis Kepuasan berkaitan dengan perilaku bertanggung jawab merek bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat. Sumber: Kapferer (Tjiptono,2005, pp21-22) Tjiptono (2005, p23) juga membagi manfaat-manfaat merek berdasarkan manfaat ekonomik, manfaat fungsional, dan manfaat psikologis. Tabel 2.3 Manfaat-manfaat Merek No. 1. MANFAAT MEREK Manfaat ekonomik DESKRIPSI Merek merupakan sarana bagi perusahaan untuk saling bersaing memperebutkan pasar. Konsumen memilih merek berdasarkan value for money yang ditawarkan berbagai macam merek. Relasi antara merek dan konsumen dimulai dengan penjualan. Premium harga bisa berfungsi layaknya asuransi risiko bagi perusahaan. Sebagian besar konsumen lebih suka memilih penyedia jasa yang 27 lebih mahal namun diyakininya bakal memuaskannya ketimbang memilih penyedia jasa lebih murah yang tidak jelas kinerjanya. 2. Manfaat fungsional Merek memberikan peluang bagi diferensiasi. Selain memperbaiki kualitas (diferensiasi vertikal), perusahaan-perusahaan juga memperluas mereknya dengan tipe-tipe produk baru (diferensiasi horizontal). Merek memberikan jaminan kualitas. Apabila konsumen membeli merek yang sama lagi, maka ada jaminan bahwa kinerja merek tersebut akan konsisten dengan sebelumnya. Pemasar merek berempati dengan para pemakai akhir dan masalah yang akan diatasi merek yang ditawarkan. Merek memfasilitasi ketersediaan produk secara luas. 3. Manfaat psikologis Merek memudahkan iklan dan sponsorship. Merek merupakan penyederhanaan atau simplifikasi dari semua informasi produk yang perlu diketahui konsumen. Pilihan merek tidak selalu didasarkan pada pertimbangan rasional. Dalam banyak kasus, faktor emosional memainkan peran dominan dalam 28 keputusan pembelian. Merek bisa memperkuat citra diri dan persepsi orang lain terhadap pemakai/ pemiliknya. Brand symbolism tidak hanya berpengaruh pada persepsi orang lain, namun juga pada identifikasi diri sendiri dengan obyek tertentu. Sumber: Tjiptono (2005, p23) 2.7.4 Karakteristik Merek Yang Baik Sebelum produk diluncurkan ke pasar, perusahaan harus terlebih dahulu memilih nama merek yang cermat. Sebuah nama merek yang baik dapat menunjang keberhasilan dan suksesnya suatu produk. Pemilihan nama merek harus meliputi tujuan produk, manfaat, pasar sasaran dan strategi pemasarannya. Berdasarkan pendapat Rangkuti (2002, p142), kriteria merek yang baik adalah: a. Merek harus menggambarkan sesuatu mengenai sifat produk. b. Merek harus menggambarkan kualitas, kegiatan warna, dan sebagainya. c. Merek harus mudah diucapkan, dikenali, dan diingat. d. Merek harus khas. e. Tersedia untuk digunakan (bukan sedang digunakan oleh perusahaan lain). f. Tidak mengandung arti yang buruk bagi negara dan bahasa lain. 2.7.5 Strategi Merek Berdasarkan pendapat Kotler (2002, pp471-474), keputusan strategi merek adalah sebagai berikut: 29 1. Perluasan lini (Line Extension) Merupakan keputusan perusahaan untuk memperkenalkan unit produk tambahan dalam kategori produk yang sama dengan merek yang sama, biasanya dengan tampilan baru, seperti rasa, bentuk, warna baru, ukuran, kemasan, dan lainnya. 2. Perluasan merek (Brand Extension) Merupakan keputusan perusahaan untuk menggunakan merek yang sudah ada untuk meluncurkan suatu produk dalam kategori baru. 3. Multi-merek (Multibrand) Merupakan keputusan perusahaan yang memperkenalkan merek tambahan dalam kategori produk yang sama. 4. Merek baru (New Brand) Merupakan tindakan perusahaan untuk meluncurkan produk dalam suatu kategori baru dan perusahaan menemukan bahwa tidak satupun merek yang dimilikinya yang tepat untuk produk tersebut. 5. Merek bersama (Cobrand/ Dual Branding) Merupakan dua atau lebih merek yang terkenal dikombinasikan dalam satu tawaran. 2.8 Ekuitas Merek Merek berbeda-beda dalam jumlah kekuatan dan nilai yang dimilikinya di pasar. Pada satu sisi terdapat merek yang tidak dikenal sebagian besar pembeli. Kemudian, ada merek yang memperoleh tingkat kesadaran merek yang tinggi, ada juga yang memiliki tingkat penerimaan merek yang tinggi,. Kemudian, ada merek yang menikmati tingkat 30 preferensi merek yang tinggi. Akhirnya, ada merek yang memiliki tingkat kesetiaan merek yang tinggi. Ekuitas merek yang tinggi merupakan aset bagi perusahaan. Menurut Kotler, et al (2005, pp102-103) ekuitas merek didefinisikan sebagai dampak pembeda positif setelah mengetahui nama merek terhadap respons konsumen kepada produk atau jasa dengan merek tersebut. Ekuitas merek menghasilkan konsumen yang mempunyai pilihan (preference) jika dihadapkan pada dua produk yang pada dasarnya hampir sama. Sejauh mana konsumen bersedia membayar lebih untuk merek tertentu merupakan ukuran untuk menilai ekuitas merek. Menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004, pp1-2), ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa kepada perusahaan maupun pada pelanggan. Menurut Knapp (2001, p3), ekuitas merek adalah totalitas dari persepsi merek, mencakup kualitas relatif dari produk dan jasa, kinerja keuangan, loyalitas pelanggan, kepuasan, dan keseluruhan penghargaan terhadap merek. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ekuitas merek adalah seperangkat nilai atas merek produk atau jasa yang merupakan hasil tanggapan konsumen, yang mampu menunjukkan keseluruhan penghargaan atas merek tersebut. Ekuitas merek mempunyai lima kategori, yaitu: a. Brand Awareness (Kesadaran Merek) b. Brand Associations (Asosiasi-asosiasi Merek) c. Perceived Quality (Persepsi Kualitas) d. Brand Loyalty (Loyalitas Merek) e. Other Proprietary Brand Assets (seperti paten, merek dagang, channel, relationships dan lain-lain). 31 Aset ekuitas merek pada umumnya menambahkan atau mengurangi nilai bagi para konsumen. Aset-aset ini membantu mereka menafsirkan, berproses, dan menyimpan informasi dalam jumlah besar mengenai produk dan merek. Ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa percaya dari konsumen dalam mengambil keputusan pembelian. Yang lebih penting adalah kenyataan bahwa kesan kualitas dan asosiasi merek bisa menguatkan keputusan konsumen dengan pengalaman menggunakannya. Selain memberikan nilai kepada konsumen, ekuitas merek juga dapat memberikan nilai pada perusahaan. Sebagai bagian dari perannya dalam menambahkan nilai konsumen, menurut Kotler (2005, pp86-87) ekuitas merek memiliki potensi untuk menambah nilai bagi perusahaan dan memberikan sejumlah keunggulan bersaing: a. Perusahaan tersebut akan memiliki pengaruh perdagangan yang lebih besar dalam melakukan tawar-menawar dengan distributor dan pengecer karena pelanggan mengharapkannya menjual merek tersebut. b. Perusahaan tersebut dapat mengenakan harga yang lebih tinggi daripada pesaing-pesaingnya karena merek itu memiliki persepsi mutu yang lebih tinggi. c. Perusahaan tersebut dapat lebih mudah melakukan perluasan produk karena nama merek itu menyandang kredibilitas yang tinggi. d. Merek tersebut menawarkan kepada perusahaan itu suatu pertahanan terhadap persaingan harga. Sebuah merek harus secara cermat dikelola sehingga ekuitasnya tidak terdepresiasi atau menurun. Ini membutuhkan upaya menjaga dan meningkatkan kesadaran merek, kualitas dan fungsi yang dipersepsikan, dan asosiasi positif. Berbagai kegiatan ini membutuhkan investasi Litbang (Penelitian dan Pengembangan) yang terusmenerus, upaya iklan yang terampil, transaksi dan layanan konsumen yang sangat baik. 32 Sejumlah pengamat memandang merek sebagai hal yang paling bertahan lebih lama dari produk dan fasilitas tertentu dari perusahaan. Mereka melihat merek sebagai aset utama perusahaan yang bertahan lama. Setiap merek yang kuat sebenarnya menggambarkan kelompok konsumen yang loyal. Ekuitas merek merupakan penyumbang terbesar bagi ekuitas konsumen (customer equity). Fokus perencanaan pemasaran yang tepat adalah untuk memperpanjang nilai sepanjang hidup konsumen (customer life time value), dengan manajemen merek sebagai alat pemasaran yang utama. 2.8.1 KESADARAN MEREK (BRAND AWARENESS) Menurut Durianto, Sugiarto, Budiman (2004, p29), kesadaran merek adalah kesanggupan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Kesadaran merek merupakan komponen penyusun ekuitas merek yang sangat penting. Tingkatan brand awareness dapat digambarkan seperti di bawah ini: 33 Top of Mind Puncak pikiran Pengingatan kembali merek Pengenalan merek Tidak mengenali merek Brand Recall Brand Recognition Unaware of Brand Gambar 2.2 : Piramida Kesadaran Sumber : Aaker (1997, p92) Penjelasan mengenai piramida kesadaran dari tingkat terendah sampai tertinggi adalah: a. Tidak mengenali merek (Unaware of Brand) Merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida brand awareness dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek. b. Pengenalan merek (Brand Recognition) Tingkat minimal dari kesadaran merek, di mana pengenalan suatu merek muncul lagi setelah dilakukan pengingatan kembali lewat bantuan. c. Mengingat kembali merek (Brand Recall) Mengingat kembali merek berdasarkan pada permintaan seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini dinamakan 34 dengan mengingat kembali tanpa bantuan, berbeda dengan tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk memunculkan merek tersebut. Top of mind dan familiar brand merupakan brand recall, yaitu merek yang dapat diingat di luar kepala. Familiar brand merupakan merek-merek yang muncul kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya dalam ingatan. d. Puncak Pikiran (Top of Mind) Merek yang disebutkan pertama dalam tugas mengingat kembali tanpa bantuan adalah posisi yang istimewa. Merek tersebut menjadi pemimpin dari berbagai merek yang ada dalam pikiran seseorang. Menurut Simamora (2001, p84), pengukuran kesadaran merek dimaksudkan untuk mengetahui apakah merek dikenal atau tidak. Kalau dikenal, bagaimana tingkat pengenalan konsumen terhadap merek tersebut. Untuk mengelompokkan responden berdasarkan tingkat pengenalan mereka, perlu diketahui terlebih dahulu hubungan antar kategori, seperti disajikan dalam gambar berikut: 35 MEREK Tidak diingat (brand unaware) Diingat (brand aware) Dengan alat bantu (brand recognition) Tanpa alat bantu (brand recall) Diingat pertama kali (top of mind) Diingat bukan pertama (familiar brand) Gambar 2.3 : Hubungan Antarkategori Kesadaran Merek Sumber : Simamora (2001, p85) 2.8.2 ASOSIASI-ASOSIASI MEREK (BRAND ASSOCIATIONS) Definisi asosiasi merek menurut Aaker (1997, p160) adalah segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Asosiasi ini tidak hanya ada, namun juga mempunyai suatu tingkat kekuatan. Kaitan pada merek akan lebih kuat jika dilandaskan pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikannya. Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai sehingga membentuk brand image dalam benak konsumen. Secara sederhana, pengertian merek adalah sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk pada benak konsumen. Macam-macam asosiasi yang menciptakan nilai untuk perusahaan dan para pelanggannya adalah membantu memproses informasi, membedakan merek tersebut, membangkitkan alasan untuk membeli, menciptakan sikap positif dan memberikan 36 landasan bagi perluasan. Adapun gambar mengenai nilai asosiasi merek adalah sebagai berikut: Membantu proses / penyusunan informasi Diferensiasi / posisi Asosiasi Merek Alasan untuk membeli Menciptakan sikap / perasaan positif Basis perluasan Gambar 2.4: Nilai Asosiasi Merek Sumber: Aaker (1997) Penjelasan mengenai nilai asosiasi merek adalah: a. Membantu proses / penyusunan informasi Asosiasi-asosiasi dapat membantu mengikhtisarkan sekumpulan fakta dan spesifikasi yang mungkin sulit diproses dan diakses para pelanggan dan dapat menjadi mahal bagi perusahaan untuk mengkomunikasikannya. Sebuah asosiasi dapat menciptakan informasi bagi pelanggan yang memberikan suatu cara untuk menghadapinya. 37 b. Perbedaan Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi usaha membedakan. Asosiasi-asosiasi merek dapat memainkan suatu peran yang sangat penting dalam membedakan suatu merek dari merek lain. c. Alasan untuk Membeli Banyak asosiasi merek membutuhkan berbagai atribut produk atau manfaat pelanggan yang dapat menyumbangkan suatu alasan spesifik untuk membeli dan menggunakan merek tersebut. d. Menciptakan sikap / perasaan positif Beberapa asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya merembet ke merek yang bersangkutan. e. Landasan untuk perluasan Suatu asosiasi dapat menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian antara merek dan sebuah produk baru. 38 Ada sebelas tipe asosiasi seperti yang ditunjukkan dalam gambar di bawah ini: Atribut Produk Negara/ wilayah geografis Barang-barang tak berwujud Kompetitor Kelas Produk Merek Nama dan Simbol Gaya hidup / personalitas Orang tersohor / biasa Manfaat bagi pelanggan Harga relatif Penggunaan / aplikasi Pengguna / pelanggan Gambar 2.5 Asosiasi-asosiasi Merek Sumber: Aaker (1997) Penjelasan mengenai tipe asosiasi adalah: a. Atribut produk Penekanan pada atribut, ciri atau karakteristik produk merupakan strategi positioning yang paling sering digunakan agar konsumen dapat dengan mudah mengasosiasikan suatu merek dengan atribut produknya. b. Barang-barang tak berwujud Asosiasi ini berkaitan dengan atribut tidak berwujud seperti teknologi, nutrisi inovasi, dan lain-lain. 39 c. Manfaat bagi pelanggan Manfaat bagi pelanggan dapat dibagi dua yaitu rational benefit dan pyschological benefit. Rational benefit berhubungan dengan atribut produk yang dipertimbangkan dalam keputusan pembelian secara rasional. Sedangkan pyschological benefit berkaitan dengan sikap atau perasaan seseorang yang timbul ketika membeli atau menggunakan merek tersebut. d. Harga relatif Tingkat harga relatif bisa membentuk asosiasi di benak konsumen karena umumnya konsumen sering membanding-bandingkan tngkat harga produkproduk dalam berbagai merek. e. Penggunaan / aplikasi Cara penggunaan suatu produk dapat dijadikan salah satu penekanan dalam membentuk asosiasi merek. f. Pengguna / pelanggan Merek dapat diasosiasikan dengan tipe-tipe pengguna atau pelanggan. g. Orang terkenal atau biasa Penggunaan selebritis atau tokoh terkenal sebagai model akan sangat membantu dalam membentuk asosiasi karena keberadaan selebritis atau tokoh mengingatkan konsumen pada merek tertentu. h. Gaya hidup / personalitas Mengidentifikasi produk berdasarkan gaya hidup penggunanya. i. Kelas produk Asosiasi yang berkaitan dengan kelas produk dapat membantu konsumen untuk mengidentifikasikan suatu produk ke dalam klasifikasi tertentu. 40 j. Kompetitor Membentuk asosiasi yang berkaitan dengan kompetitor bisa menjadi cara yang efektif untuk membentuk brand image yang berbeda dengan kompetitor. k. Negara atau wilayah geografis Sebuah negara dapat mewakili dan menjadi simbol dari suatu produk yang dapat dikaitkan dengan merek dari negara asal produk tersebut. 2.8.3 KESAN KUALITAS (PERCEIVED QUALITY) Definisi kesan kualitas menurut Aaker (1997, p124) adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan. Kesan kualitas memberikan nilai dalam beberapa bentuk seperti gambar di bawah ini: Alasan untuk membeli Diferensiasi / Posisi Kesan Kualitas Harga optimum Minat saluran distribusi Perluasan merek Gambar 2.6 Nilai Dari Kesan Kualitas Sumber : Aaker (1997, p124) 41 Adapun penjelasan mengenai nilai dari kesan kualitas sebagai berikut : a. Alasan untuk membeli (Reason to buy) Kesan kualitas sebuah merek memberikan alasan yang penting untuk membeli, mempengaruhi merek-merek mana yang akan dipertimbangkan, kemudian selanjutnya mempengaruhi merek apa yang akan dipilih. b. Diferensiasi / posisi (Differentiation / position) Suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi kesan kualitas. c. Harga optimum (Price premium) Keuntungan kesan kualitas memberikan pilihan-pilihan dalam menetapkan harga optimum d. Minat saluran distribusi (Channel member interest) Kesan kualitas punya arti penting bagi para pengecer, distributor, dan saluran distribusi lainnya. Para pengecer dan distributor akan termotivasi untuk menjadi penyalur produk / merek dengan kesan kualitas yang tinggi. e. Perluasan merek (Brand Extensions) Suatu merek dengan kesan kualitas kuat dapat dieksploitasi ke arah perluasan merek dan dapat digunakan untuk memperkenalkan kategori produk baru, yang beranekaragam. Produk dengan merek yang kesan kualitasnya kuat akan punya kemungkinan sukses dibanding dengan merek yang kesan kualitasnya lemah, sehingga perluasan produk dari merek yang kesan kualitasnya kuat memungkinkan perolehan pangsa pasar yang lebih besar (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2004). 42 Berbagai dimensi yang mendasari penilaian kesan kualitas akan bergantung pada konteksnya. Dimensi-dimensi kualitas menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004) terdiri dari: a. Kualitas Produk 1. Tampilan (performance), berkaitan dengan aspek fungsional dari suatu barang dan merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan dalam membeli barang tersebut. 2. Fitur (features), yaitu aspek kedua dari tampilan yang berguna untuk menambah fungsi dasar, berkaitan dengan pilihan-pilihan produk dan pengembangannya. 3. Keandalan (reliability), berkaitan dengan kemungkinan suatu barang berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam periode waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu pula. 4. Konformasi (conformance), berkaitan dengan tingkat kesesuaian terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan. Konformasi menunjukkan derajat ketepatan antara karakteristik desain produk dengan karakteristik kualitas standar yang telah ditetapkan. 5. Daya tahan (durability), menunjukkan umur ekonomis yaitu ukuran daya tahan atau masa pakai suatu barang. 6. Pelayanan (servicebility), yaitu yang berkaitan dengan kecepatan, kompetensi, kemudahan, dan ketepatan dalam memberikan layanan untuk perbaikan. 7. Nilai keindahan (aesthetics), yaitu nilai-nilai estetika yang bersifat subyektif berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan preferensi individual. 43 b. Kualitas Jasa 1. Tangibles, yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil, material komunikasi. 2. Realibility, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara akurat. 3. Assurance, yaitu pengetahuan dan kesopanan para karyawan dan kemampuan mereka untuk menciptakan keyakinan akan kualitas pelayanan dalam diri konsumen. 4. Responsiveness, yaitu kesediaan untuk membantu konsumen dan daya tanggap karyawan terhadap permintaan pelayanan dalam waktu yang singkat. 5. Emphaty, yaitu perhatian dan kesungguhan dalam memahami kebutuhan konsumen. Apabila proses penyampaian jasa dari pemberi jasa sesuai dengan apa yang dipersepsikan konsumen, maka kepuasan konsumen akan terpenuhi. Oleh karena berbagai faktor, seperti subyektivitas yang dipersepsikan konsumen dan pemberi jasa, maka jasa sering disampaikan dengan cara yang berbeda dengan yang dipersepsikan oleh konsumen. Perbedaan cara penyampaian dari apa yang dipersepsikan konsumen itu, menurut Parasuraman yang dikutip Porter, mencakup lima gap (perbedaan). Berikut adalah skemanya. 44 Komunikasi getoktular Kebutuhan Personal Pengalaman masa lalu Jasa yang diharapkan Gap 5 Jasa yang diterima Konsumen Gap 4 Pemasar Penyajian jasa (termasuk sebelum dan sesudah kontrak) Gap 1 Komunikasi eksternal kepada konsumen Gap 3 Penerjemahan persepsi ke dalam spesifikasi kualitas jasa Gap 2 Persepsi manajemen terhadap harapanharapan konsumen Garis pemisah antara pemasar dan konsumen Garis petunjuk proses Garis petunjuk terjadinya gap Gambar 2.7 Model Gap Kualitas Jasa Sumber: Umar (2005, p54) Gap-1: Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen Gap ini muncul sebagai akibat dari ketidaktahuan manajemen tentang kualitas jasa macam apa yang sebenarnya diharapkan konsumen. Akibatnya, desain dan standar jasa 45 yang disampaikan tidak dapat memperlihatkan unjuk kerja seperti yang dijanjikan pada konsumen. Jadi, gap harapan konsumen dengan persepsi manajemen merupakan sumber munculnya gap-gap yang lain. Gap-2: Gap antara persepsi manajemen tentang harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa Pengertian manajemen di sini meliputi semua pihak yang bertanggung jawab dan mempunyai otoritas untuk menciptakan atau mengubah kebijaksanaan, prosedur, dan standar jasa. Gap ini muncul karena para manajer menetapkan spesifikasi kualitas jasa berdasarkan pada apa yang mereka percayai sebagai yang diinginkan konsumen. Padahal pendapat mereka itu belum tentu akurat. Akibatnya, banyak organisasi jasa telah memfokuskan tekanan mereka kepada kualitas teknis, sementara pada kenyataannya hal yang dianggap lebih penting oleh konsumen adalah kualitas yang berkaitan dengan penyajian jasa. Akar dari munculnya gap ini adalah bahwa tidak ada interaksi langsung antara manajemen dengan konsumen, keengganan untuk menanyakan harapan konsumen, dan/atau ketidaksiapan manajemen dalam mengkomunikasikan keduanya. Gap-3: Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan jasa yang disajikan Gap ini biasanya muncul pada jasa yang sistem penyampaiannya sangat tergantung pada karyawan. Persepsi yang akurat tentang harapan konsumen memang penting, tetapi belum cukup untuk menjamin kualitas penyajian jasa yang terbaik. Upaya untuk menjamin bahwa spesifikasi kualitas akan terpenuhi apabila jasa memerlukan unjuk kerja dan penyajian yang segera begitu konsumen hadir di tempat jasa diproses, adalah hal yang sulit. Para manajer mengalami kesulitan dalam menerjemahkan pemahaman 46 mereka terhadap harapan konsumen ke dalam spesifikasi kualitas jasa. Oleh karena itu, syarat lain yang perlu dipenuhi adalah diciptakannya desain dan standar unjuk kerja jasa yang mencerminkan persepsi akurat tentang harapan konsumen. Gap ini mengindikasikan perlunya ditetapkan desain dan standar jasa yang berorientasi kepada konsumen yang dibangun berdasarkan kepada keperluan pokok konsumen yang mudah dipahami oleh konsumen dan diukur oleh konsumen. Standar-standar ini terdiri dari standar-standar operasi yang ditetapkan sesuai dengan harapan dan prioritas konsumen, tidak dari sudut kepentingan perusahaan seperti efisiensi dan efektivitas. Gap-4: Gap antara penyampaian jasa aktual dan komunikasi eksternal kepada konsumen Janji yang disampaikan mungkin secara potensial bukan hanya meningkatkan harapan yang akan dijadikan sebagai standar kualitas jasa yang akan diterima konsumen, akan tetapi juga akan meningkatkan persepsi tentang jasa yang akan disampaikan kepada mereka. Kegagalan dalam memenuhi jasa yang dijanjikan dengan faktanya akan memperlebar gap ini. Gap-5: Gap antara jasa yang diharapkan dan jasa aktual yang diterima konsumen Gap ini mencerminkan perbedaan antara unjuk kerja aktual yang diterima konsumen dan unjuk kerja yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan kepuasan konsumen, unjuk kerja faktual yang lebih besar dari harapan mencerminkan bahwa konsumen berada pada keadaan terpuaskan. 47 2.8.4 LOYALITAS MEREK (BRAND LOYALTY) Pengertian loyalitas merek menurut Rangkuti (2002, p60) adalah ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari ekuitas merek yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran. Apabila loyalitas merek meningkat, maka serangan kelompok pesaing dapat dikurangi. Hal ini merupakan suatu indikator dari ekuitas merek yang berkaitan dengan perolehan laba di masa yang akan datang, karena menurut Rangkuti (2002, p61) loyalitas merek secara langsung dapat diartikan sebagai penjualan di masa depan. Menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004, p126) loyalitas merek merupakan ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk yang lain, terutama jika pada merek tersebut didapat adanya perubahan harga, ataupun atribut yang lain. Berdasarkan pendapat Peter dan Jerry (2000, p162) loyalitas merek adalah keinginan melakukan dan perilaku pembelian ulang. Pengertian loyalitas merek menurut Aaker (1997, pp56-57) adalah ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek, loyalitas merek merupakan inti dari ekuitas merek yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran yang merupakan satu ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek. Durianto, Sugiarto, dan Budiman (2004, pp19-20) memaparkan tingkatan loyalitas merek sebagai berikut: a. Switcher/ price buyer (pembeli yang berpindah-pindah) Adalah tingkat loyalitas yang paling dasar. Semakin sering pembelian konsumen berpindah dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan bahwa mereka tidak loyal, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini 48 merek memegang peranan yang kecil dalam keputusan pembelian. Ciri paling jelas dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah. b. Habitual Buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan) Adalah pembeli yang tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengonsumsi suatu merek produk. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Jadi, ia membeli suatu merek karena alasan kebiasaan. c. Satisfied Buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan) Adalah kategori pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi. Namun mereka dapat saja berpindah merek dengan menanggung switching cost (biaya peralihan), seperti waktu, biaya, atau risiko yang timbul akibat tindakan peralihan merek tersebut. d. Likes the Brand (menyukai merek) Adalah kategori pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Rasa suka didasari oleh asosiasi yang berkaitan dengan simbol, rangkaian pengalaman menggunakan merek itu sebelumnya, atau persepsi kualitas yang tinggi. e. Committed Buyer (pembeli yang berkomitmen) Adalah kategori pembeli yang setia. Mereka mempunyai kebanggaan dalam menggunakan suatu merek. Merek tersebut bahkan menjadi sangat penting baik dari segi fungsi maupun sebagai ekspresi siapa sebenarnya penggunanya. Ciri yang tampak pada kategori ini adalah tindakan pembeli untuk 49 merekomendasikan/ mempromosikan merek yang ia gunakan kepada orang lain. Committed Buyer Likes the Brand Satisfied Buyer Habitual Buyer Switcher/ Price Buyer Gambar 2.8 Piramida Loyalitas Merek Sumber: Aaker (1997, p92) Loyalitas dari para pelanggan yang ada mewakili suatu aset strategis jika dikelola dan dieksploitasi dengan benar, mempunyai potensi untuk memberikan nilai dalam beberapa bentuk menurut Aaker (1997, p60), yakni: a. Mengurangi biaya pemasaran Pelanggan yang memiliki loyalitas merek dapat mengurangi biaya pemasaran perusahaan. Biaya akan lebih murah untuk mempertahankan pelanggan dibandingkan berusaha untuk mendapatkan para pelanggan baru. b. Meningkatkan perdagangan Loyalitas merek menghasikan peningkatan perdagangan. Loyalitas yang kuat akan meyakinkan pihak pertokoan untuk memajang di rak-raknya karena 50 mereka mengetahui bahwa para pelanggan akan mencantumkan merek-merek tersebut dalam daftar belanjanya. c. Menarik minat para pelanggan baru Pelanggan yang puas dan menyukai merek tertentu dapat menimbulkan keyakinan bagi calon pelanggan, khususnya bila pembelian itu agak mengandung risiko. Pelanggan yang puas akan merekomendasikan pada orang lain sehingga akan menarik pelanggan baru. d. Memberi waktu untuk merespons ancaman-ancaman persaingan Loyalitas merek memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk merespons gerakan-gerakan kompetitif. Jika salah satu kompetitor mengembangkan produk yang unggul, pelanggan yang loyal akan memberi waktu pada perusahaan tersebut agar memperbaharui menyesuaikan atau menetralisasikannya. produknya dengan cara 51 Pengurangan Biaya Pemasaran Peningkatan Perdagangan Loyalitas Merek Memikat para pelanggan baru: -Menciptakan kesadaran merek -Meyakinkan kembali Waktu merespons ancaman kompetitif Gambar 2.9 Nilai Loyalitas Merek Sumber: Aaker (1997, p60) Menurut Aaker (1997), perusahaan harus terus-menerus berusaha meningkatkan dan mempertahankan loyalitas konsumen terhadap mereknya karena loyalitas merek merupakan bagian terpenting dari ekuitas merek. Cara-cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan loyalitas merek sebagai berikut: a. Memperhatikan hak pelanggan Perusahaan harus menawarkan barang atau jasa sesuai dengan yang diharapkan oleh konsumen supaya konsumen tidak memiliki alasan untuk pindah ke merek lain sebagai dasar untuk meningkatkan loyalitas. 52 b. Tetap dekat dengan pelanggan Jika perusahaan menjalin hubungan dengan pelanggannya maka perusahaan dapat mengetahui hal yang diharapkan konsumen dari produk yang ditawarkan. c. Mengukur kepuasan pelanggan Survei yang dilakukan secara berkala mengenai kepuasan konsumen sangat berguna untuk memahami bagaimana perasaan konsumen terhadap suatu produk. Survei ini harus dilakukan secara komprehensif agar perusahaan dapat mengetahui perubahan-perubahan tingkat kepuasan konsumen. Dengan demikian, perusahaan dapat melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap produknya. 2.9 Konsep Perilaku Konsumen Perilaku konsumen yang tidak dapat secara langsung dikendalikan oleh perusahaan perlu dicari informasinya semaksimal mungkin. Banyak pengertian perilaku konsumen yang dikemukakan para ahli. Berikut beberapa pendapat para ahli mengenai perilaku konsumen. Menurut Prasetijo dan Ihalauw (2005, p9), perilaku konsumen adalah studi tentang bagaimana pembuat keputusan (decision units), baik individu, kelompok, ataupun organisasi, membuat keputusan-keputusan beli atau melakukan transaksi pembelian suatu produk dan mengkonsumsinya. Menurut Schiffman dan Kanuk (2004, p6), studi perilaku konsumen terpusat pada cara individu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya mereka yang tersedia (waktu, uang, usaha) guna membeli barang-barang yang berhubungan dengan konsumsi. Hal ini mencakup apa yang mereka beli, mengapa mereka membeli, kapan 53 mereka membeli, di mana mereka membeli, seberapa sering mereka membeli, dan seberapa sering mereka menggunakannya. Perilaku konsumen adalah proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk, jasa, maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya. Menurut Adiputra, Hendraarso dan Atriza (2004, p126), perilaku konsumen sebagai tindakan yang dilakukan individu dalam mendapatkan dan memakai barang dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan tersebut. Menurut Mowen dan Minor (2002, p6), perilaku konsumen adalah studi tentang unit pembelian dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi, dan pembuangan barang, jasa, pengalaman, serta ide-ide. Jadi, dapat disimpulkan perilaku konsumen adalah segala tindakan yang berhubungan dengan proses mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa oleh individu atau kelompok, termasuk proses keputusan sebelum dan sesudah tindakan tersebut. Perilaku konsumen terbagi dua bagian, yang pertama adalah perilaku yang tampak, misalnya jumlah pembelian, waktu, karena siapa, dengan siapa, dan bagaimana konsumen melakukan pembelian. Yang kedua adalah perilaku yang tak tampak, misalnya persepsi, ingatan terhadap informasi dan perasaan kepemilikan oleh konsumen. 2.9.1 Kerangka Kerja Untuk Analisis Konsumen Menurut Peter dan Olson (1996, p19), ada empat elemen utama analisis konsumen, yakni: 54 Afeksi dan Kognisi Strategi Pemasaran Perilaku Lingkungan Gambar 2.10 Elemen Utama Analisis Konsumen Sumber: Peter dan Olson (1996, p19) 1. Afeksi dan Kognisi Afeksi dan kognisi mengacu pada dua tipe tanggapan internal psikologis yang dimiliki konsumen terhadap rangsangan lingkungan dan kejadian yang berlangsung. Dalam bahasa yang lebih sederhana, afeksi melibatkan perasaan, sementara kognisi melibatkan pemikiran. 2. Perilaku Perilaku mengacu pada tindakan nyata konsumen yang dapat diobservasi secara langsung. 3. Lingkungan Lingkungan mengacu pada rangsangan fisik dan sosial yang kompleks di dunia eksternal konsumen. 55 4. Strategi Pemasaran Strategi pemasaran terdiri dari berbagai rangsangan fisik dan sosial. Yang termasuk di dalam rangsangan tersebut adalah produk dan jasa, materi promosi (iklan), tempat pertukaran (toko eceran), dan informasi tentang harga (label harga yang ditempel pada produk). Penerapan strategi pemasaran melibatkan penempatan rangsangan pemasaran tersebut di lingkungan konsumen agar dapat mempengaruhi afeksi, kognisi, dan perilaku mereka. 2.9.2 Jenis Perilaku Pembelian Pengambilan keputusan konsumen berbeda-beda, bergantung pada jenis keputusan pembelian. Kotler (2005, pp221-222) mengungkapkan bahwa Henry Assael membedakan empat jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat perbedaan antarmerek. Perilaku pembelian yang rumit Perilaku pembelian yang rumit terdiri dari proses tiga langkah. Pertama, pembeli mengembangkan keyakinan tentang produk tertentu. Kedua, ia membangun sikap tentang produk tersebut. Ketiga, ia membuat pilihan pembelian yang cermat. Konsumen terlibat dalam perilaku pembelian yang rumit bila mereka sangat terlibat dalam pembelian dan sadar akan adanya perbedaan besar antarmerek. Perilaku pembelian yang rumit itu lazim terjadi bila produknya mahal, jarang dibeli, berisiko, dan sangat mengekspresikan diri. Pemasar produk dengan keterlibatan tinggi harus memahami pengumpulan informasi dan evaluasi perilaku konsumen. Pemasar perlu menyusun strategi yang dapat membantu pembeli mempelajari atribut-atribut produk dan tingkat kepentingan relatif atribut tersebut, serta yang dapat menarik perhatian 56 konsumen terhadap reputasi merek perusahaan tersebut dalam memberikan atribut-atribut yang lebih penting. Perilaku pembelian pengurang ketidaknyamanan Kadang-kadang konsumen sangat terlibat dalam pembelian namun melihat sedikit perbedan antarmerek. Keterlibatan yang tinggi didasari oleh fakta bahwa pembelian tersebut mahal, jarang dilakukan, dan berisiko. Dalam kasus itu, pembeli akan berbelanja dengan berkeliling untuk mempelajari merek yang tersedia. Jika konsumen menemukan perbedaan mutu antarmerek tersebut, dia mungkin akan lebih memilih harga yang lebih tinggi. Jika konsumen menemukan perbedaan kecil dia mungkin akan membeli semata-mata berdasarkan harga dan kenyamanan. Perilaku pembelian karena kebiasaan Banyak produk dibeli pada kondisi rendahnya keterlibatan konsumen dan tidak adanya perbedaan antarmerek yang signifikan. Para konsumen memiliki sedikit keterlibatan pada jenis produk itu. Mereka pergi ke toko dan mengambil merek tertentu. Jika mereka tetap mengambil merek yang sama, hal itu karena kebiasaan, bukan karena kesetiaan yang kuat terhadap merek. Perilaku konsumen dalam kasus produk dengan keterlibatan rendah tidak melalui urutan umum keyakinan, sikap, dan perilaku. Konsumen tidak secara luas mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik merek, dan memutuskan merek apa yang akan dibeli. Melainkan, konsumen menjadi penerima informasi pasif melalui menonton televisi atau melihat iklan di media cetak. Pengulangan iklan menciptakan keakraban merek, bukannya keyakinan merek. 57 Perilaku pembelian yang mencari variasi Beberapa situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen yang rendah tetapi perbedaan antarmerek signifikan. Dalam situasi itu, konsumen sering melakukan peralihan merek. Peralihan merek terjadi karena mencari variasi dan bukannya karena ketidakpuasan. Tabel 2.4 Empat Jenis Perilaku Pembelian Keterlibatan Tinggi Perbedaan Besar Antar Merek Perbedaan Kecil Antar Merek Perilaku pembelian yang rumit Perilaku pembelian yang mengurangi ketidaknyamanan Keterlibatan Rendah Perilaku pembelian yang mencari variasi Perilaku pembelian yang rutin/ biasa Sumber: Kotler (2005, p221) 2.9.3 Mempengaruhi Perilaku Konsumen Menurut Kotler (2005, pp202-203), titik tolak untuk memahami perilaku pembeli adalah model rangsangan-tanggapan (stimulus-respond model) seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut: 58 Rangsangan Rangsangan Ciri-ciri Proses keputusan pemasaran lain pembeli pembeli Keputusan pembeli Produk Ekonomi Budaya Pemahaman masalah Pemilihan produk Harga Teknologi Sosial Pencarian informasi Pemilihan merek Saluran Politik Pribadi Pemilihan alternatif Pemilihan saluran Budaya Psikologi Keputusan pembelian pemasaran Promosi Perilaku pascapembelian pembelian Penentuan waktu pembelian Jumlah pembelian Gambar 2.11 Model Perilaku Pembeli Sumber: Kotler (2005, p203) Rangsangan pemasaran dan lingkungan masuk ke kesadaran pembeli. Karakteristik pembeli dan proses pengambilan keputusannya akan menimbulkan keputusan pembelian tertentu. Tugas pemasar adalah memahami apa yang terjadi pada kesadaran pembeli sejak masuknya rangsangan dari luar hingga munculnya keputusan pembelian. Menurut Kotler (2005, pp203-218), perilaku pembelian konsumen ini dipengaruhi oleh: Faktor budaya Budaya, sub-budaya, dan kelas sosial sangat penting bagi perilaku pembelian. Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling dasar. Masingmasing budaya terdiri dari sejumlah sub-budaya yang lebih menampakkan identifikasi dan sosialisasi khusus bagi para anggotanya. Sub-budaya mencakup kebangsaan, agama, kelompok ras, dan wilayah geografis. 59 Faktor sosial Perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial: - Kelompok acuan Kelompok acuan seseorang terdiri dari semua kelompok yang memiliki pengaruh langsung (tatap muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang tersebut. Kelompok yang memiliki pengaruh langsung terhadap seseorang dinamakan kelompok keanggotaan. Beberapa kelompok keanggotaan merupakan kelompok primer, seperti keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja, yang berinteraksi dengan seseorang secara terus-menerus dan informal. Orang juga menjadi anggota kelompok sekunder, seperti kelompok keagamaan, profesi, dan asosiasi perdagangan, yang cenderung lebih formal dan membutuhkan interaksi yang tidak begitu rutin. Orang sangat dipengaruhi oleh kelompok acuan mereka sekurangkurangnya melalui tiga cara. Kelompok acuan membuat seseorang menjalani perilaku dan gaya hidup baru, dan mempengaruhi perilaku serta konsep pribadi seseorang; kelompok acuan acuan menuntut orang supaya mengikuti kebiasaan kelompok sehingga dapat mempengaruhi pilihan seseorang akan produk dan merek aktual. Orang juga dipengaruhi oleh berbagai kelompok di luar kelompok mereka. Kelompok aspirasi adalah kelompok yang ingin dimasuki seseorang; kelompok dissosiasi adalah kelompok yang nilai atau perilakunya ditolak oleh seseorang. Para pemasar berusaha mengidentifikasi kelompok acuan para pelanggan mereka. Namun, tingkat pengaruh kelompok acuan terhadap produk dan merek adalah berbeda-beda. Pemimpin opini (opinion leader) adalah orang 60 yang komunikasi informalnya atas produk dapat memberikan saran atau informasi tentang produk atau jenis produk tertentu, seperti merek apa yang terbaik atau apa manfaat produk tertentu. Para pemasar berusaha menjangkau para pemimpin opini dengan mengidentifikasi ciri-ciri demografis dan psikografis yang berkaitan dengan kepemimpinan opini, mengidentifikasi media yang dibaca oleh pemimpin opini, dan mengarahkan pesan iklan kepada pemimpin opini. - Keluarga Keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat, dan para anggota keluarga menjadi kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Kita dapat membedakan dua keluarga dalam kehidupan pembeli. Keluarga orientasi terdiri dari orang tua dan saudara kandung seseorang. Dari orang tua seseorang mendapatkan orientasi atas agama, politik, dan ekonomi serta ambisi pribadi, harga diri, dan cinta. Walaupun pembeli tersebut tidak lagi berinteraksi secara mendalam dengan orang tuanya, pengaruh orang tua terhadap perilaku pembeli dapat tetap signifikan. Pengaruh yang lebih langsung terhadap perilaku pembelian sehari-hari adalah keluarga prokreasi, yaitu pasangan dan sejumlah anak seseorang. Para pemasar tertarik pada peran dan pengaruh relatif suami, istri, dan anak-anak pada pembelian beragam produk dan jasa. Peran itu sangat beragam untuk negara dan kelas sosial yang berbeda. - Peran dan status sosial Seseorang berpartisipasi ke dalam banyak kelompok sepanjang hidupnyakeluarga, klub, organisasi. Kedudukan orang itu di masing-masing 61 kelompok dapat ditentukan berdasarkan peran dan statusnya. Peran meliputi kegiatan yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang. Masingmasing peran menghasilkan status. Faktor pribadi Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Karakteristik tersebut meliputi: - Usia dan tahap siklus hidup Orang membeli barang dan jasa berbeda-beda sepanjang hidupnya. Kebutuhan dan selera orang terhadap barang atau jasa berhubungan dengan usia. Konsumsi juga dibentuk oleh siklus hidup keluarga. Para pemasar sering memilih sejumlah kelompok berdasarkan siklus hidup sebagai pasar sasaran mereka. Para pemasar memberikan perhatian yang besar pada perubahan situasi hidup⎯bercerai, menduda/ menjanda, kawin lagi⎯dan dampak situasi itu pada perilaku konsumsi. - Pekerjaan dan lingkungan ekonomi Pekerjaan seseorang juga mempengaruhi pola konsumsinya. Para pemasar berusaha mengidentifikasi kelompok pekerjaan yang memiliki minat di atas rata-rata atas produk dan jasa mereka. Perusahaan bahkan dapat mengkhususkan produknya pada kelompok pekerjaan tertentu. Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi seseorang: penghasilan yang dapat dibelanjakan (level, kestabilan, pola waktunya), tabungan dan aktiva (termasuk persentase aktiva yang lancar/ liquid), utang, kemampuan untuk meminjam, dan sikap terhadap belanja atau menabung. Para pemasar barang yang peka terhadap harga terus- 62 menerus memperhatikan kecenderungan penghasilan pribadi, tabungan, dan tingkat suku bunga. - Gaya hidup Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang terungkap pada aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya. Para pemasar mencari hubungan antara produk mereka dan kelompok gaya hidup. - Kepribadian dan konsep-diri Masing-masing orang memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda yang mempengaruhi perilaku pembeliannya. Yang dimaksud kepribadian adalah ciri bawaan psikologi manusia (human psychologicl traits) yang terbedakan yang menghasilkan tanggapan yang relatif konsisten dan bertahan lama terhadap rangsangan lingkungannya. Kepribadian dapat menjadi variabel yang sangat berguna dalam menganalisis pilihan merek konsumen. Gagasannya adalah bahwa merek juga mempunyai kepribadian, dan bahwa konsumen mungkin memilih merek yang kepribadiannya cocok dengan kepribadian dirinya. Faktor psikologis Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi oleh empat faktor psikologi utama: - Motivasi Seseorang memiliki banyak kebutuhan pada waktu tertentu. Beberapa kebutuhan bersifat biogenis; kebutuhan tersebut muncul dari tekanan biologis seperti lapar, haus, tidak nyaman. Kebutuhan yang lain bersifat psikogenis; kebutuhan itu mencul dari tekanan psikologis seperti kebutuhan akan pengakuan, penghargaan, atau rasa keanggotaan 63 kelompok. Kebutuhan akan menjadi motif jika ia didorong hingga mencapai level intensitas yang memadai. Motif adalah kebutuhan yang memadai untuk mendorong seseorang bertindak. - Persepsi Seseorang yang termotivasi siap bertindak. Bagaimana tindakan sebenarnya seseorang yang termotivasi akan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap situasi tertentu. Persepsi adalah proses yang digunakan oleh individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi dapat sangat beragam antara individu satu dengan yang lain yang mengalami realitas yang sama. - Pembelajaran Pembelajaran meliputi perubahan perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. Sebagian besar perilaku manusia adalah hasil dari belajar. Ahli teori pembelajaran yakin bahwa pembelajaran dihasilkan melalui perpaduan kerja antara pendorong, rangsangan, isyarat bertindak, tanggapan, dan penguatan. - Keyakinan dan sikap Melalui bertindak dan belajar, orang mendapatkan keyakinan dan sikap. Keduanya kemudian mempengaruhi perilaku pembelian mereka. Keyakinan orang tentang produk atau merek mempengaruhi keputusan pembelian mereka. 64 2.9.4 Pengambilan Keputusan Konsumen Para pemasar harus melihat lebih jauh bermacam-macam faktor yang mempengaruhi para pembeli dan mengembangkan pemahaman mengenai cara konsumen melakukan keputusan pembelian. Keputusan selalu mensyaratkan pilihan di antara beberapa perilaku yang berbeda. Menurut Peter dan Olson (1999, pp162-163), semua aspek pengaruh dan kognisi dilibatkan dalam pengambilan keputusan konsumen, termasuk pengetahuan, arti, kepercayaan yang diaktifkan dari ingatan serta proses perhatian dan pemahaman yang terlibat dalam penerjemahan informasi baru di lingkungan. Akan tetapi, inti dari pengambilan keputusan konsumen (consumer decision making) adalah proses pengintegrasian yang mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu di antaranya. Hasil dari proses pengintegrasian ini adalah suatu pilihan (choice), yang disajikan secara kognitif sebagai keinginan berperilaku. Semua perilaku sengaja (voluntary) dilandaskan pada keinginan yang dihasilkan ketika konsumen secara sadar memilih salah satu di antara tindakan alternatif yang ada. Ini tidak berarti bahwa suatu proses pengambilan keputusan sadar harus muncul setiap saat perilaku tersebut dinyatakan. Beberapa perilaku sadar dapat berubah menjadi kebiasaan. Perilaku tersebut didasarkan pada keinginan yang tersimpan di ingatan yang dihasilkan oleh proses pengambilan keputusan masa lampau. Ketika diaktifkan, keinginan atau rencana keputusan yang telah terbentuk sebelumnya ini secara otomatis mempengaruhi perilaku; proses pengambilan keputusan selanjutnya tidak diperlukan lagi. Akhirnya, beberapa perilaku tidak dilakukan secara sengaja dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. 65 EKSPOSUR PADA INFORMASI LINGKUNGAN PROSES KOGNITIF PROSES INTERPRETASI Perhatian Pemahaman INGATAN Pengetahuan, arti, dan kepercayaan Pengetahuan, arti, dan kepercayaan PROSES PENGINTEGRASIAN Sikap dan keinginan Pengambilan keputusan PERILAKU Gambar 2.12 Model Pemrosesan Kognitif Pengambilan Keputusan Konsumen Sumber: Peter dan Olson (1999, p163) Menurut Kotler (2005, pp224-229), para konsumen harus melalui lima urutan tahap ketika membeli produk, namun tidak selalu begitu. Para konsumen dapat melewati atau membalik beberapa tahap. 1. Pengenalan masalah Proses pembelian dimulai ketika pembeli mengenali masalah atau kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal atau eksternal. 66 Para pemasar perlu mengidentifikasi keadaan yang memicu kebutuhan tertentu. 2. Pencarian informasi Konsumen yang terangsang kebutuhannya akan terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak. Ada dua level rangsangan. Situasi pencarian informasi yang lebih ringan dinamakan penguatan perhatian. Pada level itu orang hanya sekedar lebih peka terhadap informasi produk. Pada level selanjutnya, orang itu mungkin masuk ke pencarian informasi secara aktif. Sumber informasi konsumen dapat digolongkan ke dalam empat kelompok: - Sumber pribadi: Keluarga, teman, tetangga, kenalan. - Sumber komersial: Iklan, wiraniaga, penyalur, kemasan, pajangan di toko. - Sumber publik: Media massa, organisasi penentu peringkat konsumen. - Sumber pengalaman: Penanganan, pengkajian, dan pemakaian produk. 3. Evaluasi alternatif Beberapa konsep dasar akan membantu memahami proses evaluasi konsumen. Pertama, konsumen berusaha memenuhi kebutuhan. Kedua, konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi produk. Ketiga, konsumen memandang masing-masing produk sebagai sekumpulan atribut dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan itu. 4. Keputusan pembelian Dalam tahap evaluasi, para konsumen membentuk preferensi atas merekmerek yang ada di dalam kumpulan pikiran. Konsumen tersebut juga dapat membentuk niat untuk membeli merek yang paling disukai. Namun, dua faktor berikut dapat berada di antara niat pembelian dan keputusan pembelian. 67 Faktor pertama adalah sikap orang lain. Faktor kedua adalah faktor situasi yang tidak terantisipasi yang dapat muncul dan mengubah niat pembelian. 5. Perilaku pasca pembelian Setelah membeli produk, konsumen akan mengalami level kepuasan atau ketidakpuasan tertentu. Para pemasar harus memantau kepuasan pasca pembelian, tindakan pasca pembelian, serta pemakaian dan pembuangan produk pasca pembelian. Pengenalan masalah Pencarian informasi Evaluasi alternatif Keputusan pembelian Perilaku pasca pembelian Gambar 2.13 Proses Pembelian Konsumen Model Lima Tahap Sumber: Kotler (2005, p224) 68 2.9.5 Model Sikap dan Perilaku Untuk mengukur sikap dan perilaku konsumen dapat dilakukan dengan model multi-atribut. Menurut Umar (2005, p57), salah satu model sikap yang dapat digunakan adalah model sikap multiatribut dari Fishbein. Model sikap Fishbein ini berfokus pada prediksi sikap yang dibentuk seseorang terhadap obyek tertentu. Model ini mengidentifikasi tiga faktor utama untuk memprediksi sikap. Faktor pertama, keyakinan seseorang terhadap atribut yang menonjol dari obyek. Faktor kedua, adalah kekuatan keyakinan seseorang bahwa atribut memiliki atribut khas. Faktor ketiga adalah evaluasi dari masing-masing keyakinan akan atribut yang menonjol, di mana diukur seberapa baik atau tidak baik keyakinan mereka terhadap atribut-atribut itu. Berikut hubungan antara komponen dalam model perilaku dan sikap Fishbein. 69 Keyakinan akan atribut yang menonjol Sikap Evaluasi atribut Maksud perilaku Perilaku Keyakinan normatif Norma subyektif Motivasi Faktor lain Gambar 2.14 Hubungan antara Komponen dalam Model Perilaku dan Sikap Fishbein Sumber: Umar (2005, p58) Model ini digunakan dengan maksud agar diperoleh konsistensi antara sikap dan perilakunya, sehingga model Fishbein ini memiliki dua komponen, yaitu komponen sikap dan komponen norma subyektif. Berikut penjelasannya. a. Komponen sikap Komponen ini bersifat internal individu, ia berkaitan langsung dengan obyek penelitian dan atribut-atribut langsungnya yang memiliki peranan yang penting 70 dalam pengukuran perilaku, karena akan menentukan tindakan apa yang akan dilakukan, dengan tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal. b. Komponen norma subyektif Komponen ini bersifat eksternal individu yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku individu. Komponen ini dapat dihitung dengan cara mengkalikan antara nilai kepercayaan normatif individu terhadap atribut dengan motivasi bersetuju terhadap atribut tersebut. Kepercayaan normatif mempunyai arti sebagai suatu kuatnya keyakinan normatif seseorang terhadap atribut yang ditawarkan dalam mempengaruhi perilakunya terhadap obyek. Sedangkan motivasi bersetuju merupakan motivasi seseorang untuk bersetuju dengan atribut yang ditawarkan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap perilakunya. 2.9.6 Perilaku di Tempat Belanja Menurut Ma’ruf (2005, p52-53), sifat motivasi juga terjadi dalam perilaku berbelanja di tempat belanja, khususnya yang berupa pusat perbelanjaan seperti pasar, mall, plaza, atau trade center. Sifat rasional yang kuat menyebabkan konsumen berorientasi bahwa tujuan belanja adalah mencari barang yang dibutuhkan atau diinginkan, sehingga aspek fungsional pusat perbelanjaan lebih diutamakan daripada suasana yang memikat hati. Sebaliknya, konsumen yang berorientasi ”rekreasi” akan mencari pusat perbelanjaan yang menyenangkan. Mereka beranggapan bahwa belanja akan lebih baik jika dalam suasana yang menyenangkan. Perbedaan orientasi itu mempengaruhi perilaku sebelum belanja, dalam proses belanja, dan sesudah belanja. 71 Perilaku berbelanja Orientasi “belanja adalah belanja” (lebih mementingkan hal-hal fungsional) Orientasi “rekreasi” (lebih dipengaruhi oleh suasana lingkungan tempat belanja) Prabelanja (mencari dan memilih gerai) Prabelanja (mencari dan memilih gerai) Lokasi mudah dicapai Cukup parkir Dekat dengan gerai lain Pilihan merchandise pelengkap atau pengganti Bergengsi Ada toko utama (anchor store) Pilihan barang banyak Merchandise eksklusif Selama belanja Selama belanja Barang yang tersedia Harga menarik Cepat proses pembayaran (antrean di kasir tidak terlalu panjang) Daya tarik ambience (suasana internal) Paska belanja (antaran barang, pemasangan, evaluasi, kunjungan ulang) Display barang Area informasi dan petunjuk bagi konsumen Visual merchandising Fasilitas dalam gerai Pusat barang dan jasa Fasilitas kredit Paska belanja (antaran barang, pemasangan, evaluasi, kunjungan ulang) Display tema Area informasi dan petunjuk bagi konsumen Gambar 2.15 Perilaku Berbelanja Sumber: Ma’ruf (2005, p53) 2.10 Kekuatan Persaingan Menurut Michael E. Porter Michael Porter telah mengidentifikasi lima kekuatan yang menentukan daya tarik laba jangka panjang intrisnsik pasar atau segmen pasar tertentu. Lima kekuatan tersebut adalah para pesaing industri, calon pendatang, substitusi, pembeli, dan pemasok. Lima ancaman yang ditimbulkan kekuatan tersebut menurut Kotler (2005, pp266-267) adalah: 72 1. Ancaman persaingan segmen yang ketat: Segmen tertentu menjadi tidak menarik jika ia telah memiliki pesaing yang banyak, kuat, atau agresif. Ia bahkan menajdi lebih tidak menarik jika segmen tersebut stabil atau menurun, penambahan kapasitas pabrik dilakukan secara besar-besaran, biaya tetap tinggi, hambatan untuk keluar besar, atau pesaing memiliki kepentingan yang besar untuk tinggal di dalam segmen tersebut. Kondisi itu akan menyebabkan sering terjadinya perang harga, perang iklan, atau pengenalan produk baru, sehingga akan menjadi sangat mahal bagi perusahaan untuk bersaing. 2. Ancaman pendatang baru: Daya tarik segmen berbeda-beda menurut tingginya hambatan untuk masuk dan keluarnya. Segmen yang paling menarik adalah segmen yang memiliki hambatan untuk masuk yang tinggi dan hambatan untuk keluar yang rendah. Sedikit perusahaan baru yang dapat memasuki industri, dan perusahaan yang berkinerja buruk dapat dengan mudah keluar. Jika hambatan masuk dan hambatan untuk keluar tinggi, potensi laba tinggi, namun perusahaan menghadapi risiko yang lebih besar karena perusahaan yang berkinerja buruk tinggal dan berjuang keras di sana. Jika hambatan untuk masuk dan keluar rendah, perusahaan dengan mudah dapat masuk dan kelaur dari industri, serta tingkat pengembalian investasinya stabil dan rendah. Kasus terburuk adalah jika hambatan untuk masuk rendah dan hambatan untuk keluar tinggi: Di sini perusahaan-perusahaan akan masuk dalam situasi yang menguntungkan namun sulit untuk keluar dari situasi yang buruk. Akibatnya adalah terjadi kelebihan kapasitas yang kronis dan penurunan harga dan penghasilan bagi semua pihak. 73 Ada enam sumber utama hambatan masuk: Skala Ekonomis Skala ekonomis menghalangi masuknya pendatang baru ke suatu industri karena memaksa pendatang baru ini untuk masuk dengan skala besar atau harus memikul biaya tinggi (cost disadvantage). Diferensiasi Produk Identifikasi merek menimbulkan hambatan karena memaksa pendatang baru untuk mengeluarkan biaya besar guna merebut kesetiaan pelanggan. Kebutuhan Modal Keharusan menanamkan sumber daya keuangan yang besar agar dapat bersaing menimbulkan hambatan masuk, khususnya modal dibutuhkan bukan hanya untuk fasilitas tetap, melainkan juga untuk kredit pelanggan, sediaan, dan penutup kerugian awal. Hambatan Biaya Bukan Karena Skala Perusahaan-perusahaan yang sudah ada mungkin memiliki keunggulan biaya yang tidak dimiliki calon pendatang baru, terlepas dari ukuran dan skala ekonomis yang dapat mereka capai. Adakalanya keunggulan biaya diperoleh dari jalan hukum, seperti melalui hak paten. Akses Ke Saluran Distribusi Pendatang baru, tentu saja harus mengamankan distribusi produk atau jasa mereka. Makin terbatas saluran pedagang besar dan pengecer yang ada dan makin erat ikatan perusahaan yang sudah ada dengan saluran ini, jelas makin sukar usaha masuk ke dalam suatu industri. 74 Kebijakan Pemerintah Pemerintah dapat membatasi atau bahkan melarang masuknya pendatang baru ke dalam industri, melalui tindakan-tindakan seperti keharusan adanya ijin dan pembatasan akses ke bahan baku. 3. Ancaman produk substitusi: Segmen tertentu menjadi tidak menarik jika terdapat substitusi produk yang aktual atau potensial. Substitusi membatasi harga dan laba. Perusahaan harus memantau secara dekat tren harga produk substitusi. Jika kemajuan teknologi atau persaingan meningkat di industri substitusi tersebut, harga dan laba dalam segmen tersebut cenderung kan menurun. 4. Ancaman peningkatan kekuatan posisi tawar pembeli: Segmen tertentu menjadi tidak menarik jika pembeli memiliki kekuatan posisi tawar (bargaining power) yang kuat atau semakin meningkat. Kekuatan posisi tawar para pembeli berkembang jika mereka menjadi lebih terkonsentrasi atau terorganisasi, produk tersebut merupakan bagian yang signifikan dari biaya pembeli, produk tersebut tidak terdiferensiasi, biaya perpindahan ke pemasok/ produk lain rendah, pembeli peka terhadap harga karena laba yang rendah, atau pembeli dapat melakukan integrasi ke hulu. Untuk melindungi diri mereka, para penjual dapat memilih pembeli yang memiliki kekuatan posisi tawar yang paling rendah atau yang sulit mengganti pemasok. Pertahanan yang lebih baik adalah mengembangkan tawaran unggul yang tidak dapat ditolak oleh para pembeli yang kuat. 5. Ancaman peningkatan kekuatan posisi tawar pemasok: Segmen tertentu menjadi tidak menarik jika para pemasok perusahaan mampu menaikkan harga atau mengurangi kuantitas yang mereka pasok. Para pemasok 75 cenderung menjadi kuat jika mereka terkonsentrasi atau terorganisasi, terdapat sedikit substitusi, produk yang dipasok merupakan input yang penting, biaya berpindah pemasok tinggi, dan pemasok dapat melakukan integrasi ke hilir. Pertahanan terbaik adalah membangun hubungan menangmenang dengan para pemasok atau memakai berbagai sumber pasokan. Kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi persaingan industri menurut Michael E. Porter: Pendatang baru potensial (Ancaman mobilitas) Pemasok (kekuatan pemasok) Pesaing-pesaing industri (rival segmen) Pembeli (Kekuatan pembeli) Pengganti/ substitusi (Ancaman substitusi) Gambar 2.16 Lima Kekuatan yang Menentukan Daya Tarik Sruktural Segmen Sumber: Kotler (2005, p266) 76 2.11 Kerangka Pemikiran Kini di Indonesia sektor jasa telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, mengakibatkan persaingan menjadi semakin ketat. Persaingan tidak hanya dari produk dan layanan yang ditawarkan, tetapi juga dari segi merek. RAMAYANA menyadari pentingnya kekuatan merek sebagai salah satu alat untuk mencapai keunggulan kompetitif di pasar. Sebuah merek merupakan hal yang penting untuk mempermudah konsumen mengidentifikasikan produk atau jasa. Di samping itu, merek bisa membuat pembeli yakin akan kualitas barang yang sama jika mereka membeli ulang. Merek merupakan nama, simbol, ataupun desain khusus yang dirancang untuk mengidentifikasi barang atau jasa sebuah perusahaan dari produk pesaing, sehingga merek merupakan aset penting bagi perusahaan. Merek yang kuat berarti memiliki ekuitas merek yang tinggi. Ekuitas merek (brand equity) menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004, pp1-2) adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa kepada perusahaan maupun pada pelanggan. Ekuitas merek terdiri dari 4 elemen, yaitu: kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas, dan loyalitas merek. Empat elemen ini memiliki implikasi terhadap perilaku konsumen dalam membeli produk atau jasa. Oleh karena itu, peneliti akan menganalisa terlebih dahulu mengenai keempat elemen ekuitas merek tersebut, kemudian menilai sikap dan perilaku konsumen. Setelah itu, peneliti akan mendeskripsikan implikasi ekuitas merek terhadap perilaku konsumen. 77 Perusahaan jasa Perusahaan pengecer (Retailer) Department Store RAMAYANA Strategi Pemasaran Bauran Pemasaran Jasa Product Price Merek Kesadaran Merek Place Promotion People Physical evidence Process Ekuitas merek Asosiasi Merek Persepsi Kualitas Loyalitas Merek Perilaku Konsumen Nilai Sikap dan Perilaku Konsumen Keyakinan Membeli Evaluasi Atribut Keyakinan Normatif Gambar 2.17 Kerangka Pemikiran Motivasi 78 2.12 Hipotesis Hipotesis uji dalam penelitian ini adalah untuk analisis Brand Associations. Berikut hipotesis uji yang digunakan. Ho: kemungkinan jawaban Ya sama untuk tiap asosiasi. Ha: kemungkinan jawaban Ya berbeda untuk tiap asosiasi. Uji hipotesis ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada keseragaman persepsi dari setiap responden mengenai atribut-atribut yang melekat pada merek Ramayana.