BAB 1

advertisement
6
BAB 2
LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Pengertian Pemasaran
Menurut Kotler (2005, p10) pemasaran adalah proses sosial yang dengan proses
itu individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan
dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa
yang bernilai dengan pihak lain.
Menurut Madura (2001, p83), pemasaran adalah tindakan berbagai perusahaan
untuk merencanakan dan melaksanakan rancangan produk, penentuan harga, distribusi,
promosi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemasaran adalah keseluruhan
proses yang dilakukan oleh perusahaan atas produk dan jasa yang bernilai demi
memenuhi kebutuhan dan keinginan individu atau kelompok lain.
2.2 Manajemen Pemasaran
Menurut pendapat Kotler (2002, p9) manajemen pemasaran adalah proses
perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran
gagasan, barang, dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memenuhi sasaransasaran individu dan organisasi. Definisi ini menunjukkan bahwa manajemen pemasaran
adalah proses yang melibatkan analisa, perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian
yang mencakup barang dan jasa dengan tujuan menghasilkan kepuasan bagi pihak-pihak
yang terlibat.
7
2.3 Perubahan Dunia Bisnis dan Pemasaran
Pasar berubah secara radikal sebagai akibat dari sejumlah kekuatan masyarakat
yang besar seperti kemajuan teknologi, globalisasi, dan deregulasi. Menurut Kotler
(2005, p31), kekuatan-kekuatan besar itu telah menciptakan perilaku dan tantangan
baru:
ƒ
Pelanggan semakin mengharapkan mutu dan layanan yang lebih tinggi dan
adanya sedikit penyesuaian terhadap kebutuhan masing-masing pelanggan.
Merek berpikir bahwa hanya ada sedikit perbedaan produk yang nyata dan
menunjukkan lebih sedikit kesetiaan terhadap merek. Mereka menunjukkan
kepekan harga yang lebih besar dalam mencari nilai atau manfaat.
ƒ
Perusahaan pabrik bermerek menghadapi persaingan yang besar dari merek
dalam negeri dan asing, yang mengakibatkan naiknya biaya promosi dan
merosotnya marjin laba.
ƒ
Pengecer berbasiskan toko menjadi menderita. Para pengecer kecil mengalah
pada kekuatan pengecer raksasa yang sedang betumbuh.
2.4 Perusahaan Jasa
2.4.1 Kategori Bauran Jasa
Tawaran suatu perusahaan ke pasar sering mencakup beberapa jasa. Komponen
jasa dapat berupa bagian kecil atau bagian utama dari seluruh tawaran tersebut.
Menurut Kotler (2005, p112), ada lima kategori tawaran:
1. Barang berwujud murni: Tawaran tersebut terutama terdiri atas barang
berwujud. Tidak satu pun jasa menyertai produk tersebut.
2. Barang berwujud yang disertai jasa: Tawaran tersebut terdiri atas barang
berwujud yang disertai oleh satu atau beberapa jasa.
8
3. Campuran: Tawaran tersebut terdiri atas barang dan jasa dengan bagian yang
sama.
4. Jasa utama yang disertai barang dan jasa yang sangat kecil: Tawaran tersebut
terdiri atas jasa utama bersama jasa tambahan atau barang pendukung.
5. Jasa murni: Tawaran tersebut terutama terdiri atas jasa.
Karena bauran barang dan jasa yang berbeda-beda ini, sulit melakukan
generalisasi tentang jasa tanpa mencari perbedaan lebih lanjut. Namun menurut Kotler
(2005, p112), ada beberapa generalisasi yang dapat digunakan:
Pertama, jasa berbeda-beda berdasarkan apakah jasa tersebut berbasis peralatan
atau berbasis orang. Jasa berbasis orang berbeda-beda berdasarkan apakah jasa
tersebut disediakan karyawan yang tidak terampil, terampil, atau profesional.
Kedua, beberapa jasa mengharuskan kehadiran klien dan beberapa tidak
mengharuskannya.
Ketiga, jasa berbeda-beda dalam hal apakah jasa tersebut memenuhi kebutuhan
pribadi (jasa pribadi) atau kebutuhan bisnis (jasa bisnis). Penyedia jasa biasanya
mengembangkan program pemasaran yang berbeda untuk pasar pribadi dan bisnis.
Keempat, penyedia jasa berbeda-beda dalam tujuan (laba atau nirlaba) dan
kepemilikan (swasta atau pemerintah) mereka.
2.4.2 Karakteristik Jasa dan Implikasi Pemasarannya
Menurut Kotler (2005, p112), jasa memiliki empat karakteristik utama yang sangat
mempengaruhi desain program pemasaran:
9
ƒ
Tidak berwujud (intangibility)
Berbeda dari produk fisik, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar,
atau dicium sebelum dibeli.
Untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli akan mencari bukti mutu jasa
tersebut. Mereka akan menarik kesimpulan mengenai mutu dari tempat,
orang-orang, peralatan, bahan komunikasi, simbol, dan harga yang mereka
lihat. Karena itu, tugas penyedia jasa adalah mengelola bukti tersebut, untuk
mewujudkan sesuatu yang tidak berwujud.
ƒ
Tidak terpisahkan (inseparability)
Biasanya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. Hal ini tidak
berlaku
bagi
barang-barang
fisik,
yang
diproduksi,
disimpan
sebagai
persediaan, didistribusikan melalui banyak penjual, dan dikonsumsi kemudian.
Jika seseorang memberikan jasa tersebut, penyedianya adalah bagian dari jasa
itu. Karena klien tersebut juga hadir pada saat jasa itu dihasilkan, interaksi
penyedia-klien merupakan ciri khusus pemasaran jasa.
ƒ
Bervariasi (variability)
Jasa sangat bervariasi karena bergantung pada siapa memberikannya dan
kapan dan di mana diberikan. Pembeli jasa menyadari keragaman ini dan
sering bicara dengan orang-orang lain sebelum memilih penyedia jasa. Oleh
karena itu, perusahaan-perusahaan jasa dapat mengambil tiga langkah dalam
rangka mengendalikan mutu. Pertama, berinvestasi dalam prosedur perekrutan
dan pelatihan yang baik. Merekrut karyawan yang tepat dan memberikan
pelatihan yang sangat bagus kepada mereka sangat berperan penting, terlepas
dari apakah karyawan adalah profesional yang sangat terampil atau pekerja
yang memiliki keterampilan rendah. Kedua, menetapkan standar proses
10
pelaksanaan jasa di seluruh organisasi tersebut. Tugas ini dilakukan dengan
menyediakan blueprint service yang menggambarkan kejadia-kejadian dan
proses
dalam
grafik
alur,
dengan
tujuan
untuk
mengenali
titik-titik
kemungkinan kegagalan. Ketiga, memantau kepuasan pelanggan melalui
sistem saran dan keluhan, survei pelanggan, dan belanja perbandingan.
ƒ
Tidak tahan lama (perishability)
Jasa tidak dapat disimpan. Sifat jasa yang mudah rusak tersebut tidak akan
menjadi masalah apabila permintaan tetap berjalan lancar. Jika permintaan
berfluktuasi, perusahaan-perusahaan jasa menghadapi masalah yang rumit.
2.5 Strategi Pemasaran untuk Perusahaan Jasa
2.5.1 Bauran Pemasaran Jasa
Definisi bauran pemasaran menurut Kotler (2002, p18) adalah seperangkat alat
pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan
pemasarannya di pasar sasaran.
Definisi bauran pemasaran menurut Lamb, Hair, dan McDaniel (2002, p55) adalah
paduan strategi produk, distribusi, promosi, dan penentuan harga yang bersifat unik
yang dirancang untuk menghasilkan pertukaran yang saling memuaskan dengan pasar
yang dituju.
Definisi bauran pemasaran menurut Madura (2002, p83) adalah kombinasi dari
strategi produk, penentuan harga, distribusi, dan promosi yang digunakan untuk menjual
berbagai produk.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bauran pemasaran adalah
seperangkat program pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan untuk mencapai
11
tujuan pemasaran dan memuaskan pasar yang dituju melalui empat elemen, yaitu
produk, harga, distribusi, dan promosi. Berikut adalah uraian empat elemen tersebut
yang lebih dikenal dengan sebutan 4P:
1. Produk (Product)
Menurut Kotler (2002, p394), produk adalah segala sesuatu yang ditawarkan
kepada pasar untuk memuaskan keinginan atau kebutuhan.
2. Harga (Price)
Menurut Lamb, Hair, dan McDaniel (2001, p268), harga adalah sesuatu yang
diserahkan dalam pertukaran untuk mendapatkan suatu barang atau jasa.
3. Distribusi (Place)
Distribusi termasuk segala aktivitas perusahaan untuk membuat produk
tersedia bagi konsumen sasaran.
4. Promosi (Promotion)
Menurut Lamb, Hair, dan McDaniel (2001, p145), promosi adalah komunikasi
dari para pemasar yang menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan
para calon pembeli suatu produk dalam rangka mempengaruhi pendapat
mereka dan memperoleh suatu tanggapan.
Pendekatan pemasaran 4P dapat diterapkan untuk barang, tetapi elemen-elemen
tambahan
perlu
diperhatikan
dalam
bisnis
jasa.
Kotler
(2005,
pp116-118)
mengungkapkan bahwa Booms dan Bitner mengusulkan 3P tambahan untuk pemasaran
jasa:
ƒ
Orang (people)
Karena sebagian besar jasa diberikan oleh orang, maka pemilihan, pelatihan,
dan motivasi karyawan dapat menghasilkan perbedaan yang sangat besar
12
dalam kepuasan pelanggan. Idealnya, karyawan seharusnya memperlihatkan
kompetensi,
sikap
kepedulian,
sikap
tanggap,
inisiatif,
kemampuan
memecahkan masalah, dan niat baik.
ƒ
Bukti fisik (physical evidence)
Perusahaan-perusahaan juga mencoba memperlihatkan mutu jasanya melalui
bukti fisik dan penyajian. Perusahaan-perusahaan jasa dapat memilih di antara
berbagai proses yang berbeda-beda untuk menyerahkan jasanya.
ƒ
Proses (process)
Mengingat proses yang rumit dalam pemasaran jasa, maka pemasaran yang
dilakukan tidak hanya membutuhkan pemasaran ekternal yang tertuju kepada
konsumen; tetapi juga pemasaran internal untuk pihak internal perusahaan
khususnya karyawan; dan pemasaran interaktif yang menggambarkan
kemampuan karyawan melayani klien.
2.5.2 Tugas Perusahaan Jasa
Karena jasa biasanya mempunyai kualitas pengalaman dan kepercayaan yang
tinggi, akan terdapat lebih banyak risiko dalam pembeliannya. Kotler (2005, pp119-130)
berpendapat bahwa hal ini mengandung beberapa konsekuensi. Pertama, konsumen jasa
umumnya mengandalkan cerita dari mulut ke mulut daripada iklan. Kedua, mereka
sangat mengandalkan harga, petugas, dan petunjuk fisik untuk menilai mutunya. Ketiga,
mereka sangat setia pada penyedia jasa yang memuaskan mereka. Oleh karena itu,
perusahaan jasa menghadapi tiga tugas yang saling berinteraksi:
13
ƒ
Mengelola diferensiasi persaingan
Pemasar sering mengeluh tentang sulitnya membedakan jasa mereka. Sejauh
pelanggan melihat suatu jasa cukup homogen, mereka akan kurang peduli
dengan penyedianya dibandingkan dengan harganya. Namun jasa dapat
dibedakan.
Alternatif
persaingan
harga
yang
dapat
dilakukan
adalah
mengembangkan tawaran yang inovatif, penyerahan yang lebih cepat dan
lebih baik, atau citra jasa yang terdiferensiasi.
ƒ
Mengelola mutu jasa
Mutu jasa suatu perusahaan diuji dalam setiap pertemuan jasa. Jika karyawankaryawan eceran merasa bosan, tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana,
atau saling berkunjung pada saat pelanggan sedang menunggu, pelanggan
akan berpikir dua kali untuk melakukan bisnis lagi dengan penjual tersebut.
Pelanggan menciptakan harapan-harapan layanan dari pengalaman masa lalu,
cerita dari mulut ke mulut, dan iklan. Pelanggan membandingkan jasa yang
dipersepsikan dengan jasa yang diharapkan. Jika persepsi berada di bawah
jasa yang diharapkan, pelanggan akan kecewa. Jika persepsi jasa memenuhi
atau melebihi harapan mereka, mereka akan cenderung menggunakan
penyedia tersebut lagi.
Ada 5 penentu mutu jasa:
-
Keandalan: kemampuan melaksanakan layanan yang dijanjikan secara
meyakinkan dan akurat.
-
Daya tanggap: Kesediaan membantu pelanggan dan memberikan jasa
dengan cepat.
-
Jaminan: Pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka
menyampaikan kepercayaan dan keyakinan.
14
-
Empati: Kesediaan memberikan perhatian yang mendalam dan khusus
kepada masing-masing pelanggan.
-
Benda berwujud: Penampilan fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan, dan
bahan komunikasi.
ƒ
Mengelola produktivitas
Ada tujuh pendekatan untuk meningkatkan produktivitas jasa:
-
Meminta penyedia jasa bekerja lebih terampil. Perusahaan tersebut dapat
merekrut dan mengembangkan pekerja yang lebih terampil melalui
pemilihan dan pelatihan yang lebih baik.
-
Meningkatkan kuantitas jasa dengan melepas sebagian mutu.
-
Mengindustrialisasikan
jasa
dengan
menambah
peralatan
dan
menstandardisasi produksi.
-
Mengurangi atau menghilangkan kebutuhan jasa dengan menemukan
solusi produk.
-
Merancang jasa yang lebih efektif.
-
Memberikan insentif kepada pelanggan untuk mengganti tenaga kerja
perusahaan dengan tenaga kerja mereka sendiri.
-
Memanfaatkan
kekuatan
teknologi
untuk
memberi
akses
kepada
pelanggan ke layanan yang lebih baik dan menjadikan pekerja jasa lebih
produktif.
2.6 Perdagangan Eceran
Menurut Kotler (2005, p215) eceran (retailing) meliputi semua kegiatan yang
terlibat dalam penjualan barang atau jasa langsung kepada konsumen akhir untuk
15
penggunaan pribadi dan non-bisnis. Pengecer (retailer) atau toko eceran (retail store)
adalah setiap usaha bisnis yang volume penjualannya terutama berasal dari eceran.
Setiap organisasi yang melakukan penjualan kepada konsumen akhir, baik itu
produsen,
pedagang
besar,
atau
pengecer,
disebut
melakukan
eceran,
tanpa
mempermasalahkan bagaimana barang atau jasa tersebut dijual (melalui orang, surat,
telepon, atau mesin penjaja, atau internet) atau di mana dijual (di toko, di pinggir jalan,
atau di rumah konsumen).
Menurut Ma’ruf (2005, pp7-8), perdagangan eceran adalah kegiatan usaha
menjual barang atau jasa kepada perorangan untuk keperluan diri sendiri, keluarga, atau
rumah tangga. Mereka menjual barang atau jasa langsung kepada konsumen. Istilah
konsumen atau pembeli atau pelanggan (customer) menunjuk maksud yang sama, yaitu
seseorang yang membeli barang dan jasa untuk keperluan dirinya sendiri atau keperluan
keluarganya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perdagangan eceran adalah seluruh
kegiatan penjualan barang atau jasa yang ditujukan langsung kepada konsumen akhir.
Dalam pengertian lazimnya, retailer atau pedagang eceran adalah mata rantai
terakhir dalam proses distribusi. Pedagang eceran merupakan mitra dari agen/ distributor
yang memiliki nama lain wholesaler (pedagang partai besar). Arti partai besar di sini
adalah volume produk.
Menurut Kismono (2001, p371), kategori pengecer berdasar faktor-faktor jenis
pelayanan, strategi harga, kelengkapan produk, dan banyak pengecer, adalah sebagai
berikut:
1. Department Store
Toko pengecer besar yang dikelola menjadi departemen-departemen terpisah,
seperti peralatan rumah tangga, peralatan olahraga, dan menawarkan suatu
lini pelayanan penuh dan bauran produk yang luas.
16
2. Discount Store
Toko pengecer yang menawarkan berbagai macam barang dan pelayanan
yang minimal.
3. Specialty Store
Toko pengecer yang hanya menawarkan lini produk tertentu.
4. Hypermarket
Toko pengecer yang menggabungkan supermarket dan discount store, produk
yang ditawarkan lebih dari 50.000 item, meliputi bahan makanan, pakaian, dan
perabotan rumah tangga.
5. Supermarket
Toko pengecer besar dengan sistem swalayan yang menyediakan berbagai
macam bahan makanan dan sejumlah produk non-makanan.
6. Convenience Store
Toko pengecer kecil yang berlokasi di tempat nyaman dan dibuka untuk waktu
yang lama dan jumlah item terbatas.
7. Catalog Store
Toko yang menyediakan persediaan barang dalam jumlah banyak, dimana
pembeli bisa memperoleh informasi produk dari katalog yang dikirimkan pada
konsumen.
8. Chain Store
Satu dari dua atau lebih toko yang sama yang dimiliki oleh perusahaan yang
sama.
2.6.1 Potensi Pasar Eceran
Pasar eceran di Indonesia merupakan pasar besar dengan jumlah penduduk pada
awal tahun 2004 sekitar 215 juta jiwa (data P4B/ Panitia Pendaftaran Pemilih dan
Pendataan Penduduk Berkelanjutan pada pertengahan tahun 2003 menunjukkan angka
213 juta lebih). Jumlah 215 juta merupakan peningkatan 4,37% sejak tahun 2000.
Dengan penduduk sebanyak itu, total belanja rumah tangga mencapai Rp 600 triliun
setahun (Bisnis Indonesia, 2004). Belanja tersebut mencakup seluruh kebutuhan rumah
17
tangga, mulai dari kebutuhan sehari-hari seperti gula, sabun mandi, pakaian, hingga
kebutuhan barang tahan lama, seperti kulkas, emas, mobil.
Perkembangan demografi merupakan titik awal dalam mengamati potensi pasar
ritel. Dari segi jumlah penduduk, pulau Jawa adalah target sangat bagus karena jumlah
penduduk yang besar membuat pendistribusian lebih ekonomis. Bagi pengecer berupa
department store dan supermarket, pulau Jawa menjadi sasaran pertama sebelum
merambah ke provinsi luar Jawa. Dua provinsi di luar pulau Jawa yang menarik para
pengecer besar adalah Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan (Ma’ruf, 2005, pp21-22).
Jumlah penduduk yang besar membutuhkan barang dan jasa dalam jumlah besar.
Mereka memerlukan barang dan jasa untuk kebutuhan pribadi dan rumah tangga.
2.6.2 Pertumbuhan Pasar Eceran
Pasar eceran dapat terus tumbuh sebagai akibat dari perkembangan berbagai
bidang. Pasar eceran yang tumbuh secara nasional tidak saja menguntungkan pedagang
eceran besar atau produsen barang eceran melainkan juga para pedagang eceran kecil
yang melayani masyarakat setempat. Menurut Ma’ruf (2005, pp24-25), bidang utama
yang mempengaruhi pertumbuhan pasar eceran adalah perkembangan demografi.
Jumlah penduduk yang bertambah menyebabkan semua barang dan jasa meningkat.
Komposisi penduduk menurut usia yang berubah, misalnya karena harapan hidup yang
meningkat, membuat ragam produk pun mengikuti, baik dalam jumlah maupun jenis.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan pasar eceran adalah:
¾
Pertumbuhan ekonomi secara umum, dan sektor-sektor ekonomi secara
khusus, mempunyai dampak langsung yang segera. Pertumbuhan ekonomi
yang meningkat membuka lapangan kerja baru yang cukup besar. Banyaknya
18
karyawan baru menyebabkan pasar eceran pun segera mengikuti karena
munculnya permintaan-permintaan akan barang dan jasa.
¾
Bidang sosial budaya masyarakat turut menjadi faktor pertumbuhan pasar
eceran. Masyarakat yang semakin aktif dalam kehidupan sosial akan
meningkatkan aktivitas pengadaan barang dan jasa guna memfasilitasi
kegiatan mereka.
¾
Budaya yang dipengaruhi agama misalnya, akan menimbulkan permintaan
barang dan jasa yang berkenaan dengan kegiatan dalam budaya dan
keagamaan.
¾
Kemajuan
teknologi
memberi
kesempatan
kepada
produsen
untuk
menawarkan produk baru yang lebih memikat. Produk baru menciptakan
permintaan baru, sementara penurunan harga atas produk model sebelumnya
yang kalah bersaing dapat menciptakan permintaan.
¾
Globalisasi juga merupakan faktor utama terciptanya permintaan atau
meningkatnya permintaan produk dan jasa eceran. Gaya hidup adalah salah
satu aspek kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor ini. Karena itu,
banyak pedagang eceran besar mengamati perkembangan globalisasi,
khususnya perkembangan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat.
¾
Infrastruktur yang berkembang akan memperbesar kesempatan tumbuhnya
pasar eceran. Infrastruktur di pulau atau daerah yang satu dengan yang lain
bervariasi kelengkapan dan kondisinya.
¾
Bidang hukum dan peraturan juga mempengaruhi pertumbuhan pasar eceran.
19
2.6.3 Konsep Store Environment
Konsep Store Environment merupakan bagian dari Konsep Place. Retailing adalah
semua kegiatan yang melibatkan penjualan barang dan jasa langsung kepada konsumen
akhir untuk pengggunaan yang sifatnya pribadi, bukan bisnis. Salah satu retailer atau
badan usaha yang melakukan eceran adalah toko dengan segala macam bentuknya.
Pada dasarnya sebuah retail mempunyai dua hal penting yang dapat ditawarkan kepada
konsumen, yaitu produk dan teknik menampilkan produk tersebut sehingga terlihat
menarik. Menurut Umar (2005, p60), store environment adalah suasana lingkungan toko
yang hendaknya terasa nyaman dan menyenangkan bagi para pengunjung sehingga
merangsang para konsumen untuk menghabiskan waktu dan berbelanja dalam toko.
Store environment mampu mempengaruhi perilaku membeli konsumen. Menurut Dale M.
Lewinson (Umar, 2005, p60), store environment memiliki tiga elemen penting, yaitu:
store image, store atmospheries, dan store theatries. Berikut adalah skemanya:
Store Environment
Store Image
Store Atmospheries
- External Impression
- Internal Impression
- Sight Appeal
- Sound Appeal
- Scent Appeal
- Touch Appeal
Store Theatries
- Decor Themes
- Store Events
Gambar 2.1 Elemen Store Environment
Sumber: Umar (2005, p60)
Store Image adalah sebuah toko yang menggambarkan apa yang dilihat dan
dirasakan oleh konsumen terhadap toko tertentu. Citra konsumen terhadap sebuah toko
20
terdiri atas kesan terhadap eksterior dan interiornya. Store Imange merupakan hal
penting bagi retailer untuk menarik dan memenuhi kepuasan konsumen.
Store Atmospherics adalah keseluruhan efek emosional yang diciptakan oleh
atribut fisik toko di mana ia hendaknya mampu memuaskan kedua belah pihak yang
terkait, retailer dan para konsumennya. Atmosfir toko yang menyenangkan hendaknya
dapat dilihat dari atribut yang dapat menarik ke lima indera manusia, yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, peraba, dan perasa.
Store Theatrics adalah suatu pameran atau pergelaran produk yang memicu
konsumen untuk membeli produk yang dipamerkan. Store theatrics dapat merupakan
senjata yang ampuh bagi kebanyakan retailer untuk mendapatkan competitive
advantage yang mampu membedakan anatara satu retailer dengan yang lainnya. Store
theatrics dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu decor themes dan store event . Decor
themes merupakan tema dekorasi toko baik untuk sisi eksternal dan internal sehingga
menarik perhatian ke lima indera konsumen. Store events adalah peristiwa yang spesial,
seperti acara hiburan, program promosi, demonstrasi produk, program sosial, dan yang
sejenisnya, yang diadakan untuk menarik pembeli potensial ke dalam toko dengan
harapan untuk mencapai tujuan sebagai berikut: menciptakan awareness toko,
menyediakan informasi pada konsumen, membangun store image, serta meningkatkan
frekuensi berkunjung konsumen.
2.6.4 Loyalitas Pelanggan Toko Eceran
Menurut Ma’ruf (2005, pp69-70), loyalitas pelanggan dapat dilihat pada frekuensi
kunjungan dan persentase belanja mereka. Seseorang pelanggan yang rutin berbelanja
di suatu gerai dengan total belanja sebulannya kurang lebih sama, dapat dikatakan loyal
21
pada gerai itu. Jika hanya memperhatikan frekuensi kunjungan saja, ada empat jenis
loyalitas berdasarkan komitmen dan banyaknya gerai yang dikunjungi.
Berikut adalah tabel loyalitas pelanggan eceran berdasarkan komitmen dan
banyaknya gerai yang dikunjungi:
Tabel 2.1 Kategori Loyalitas Pelanggan Eceran
Jumlah gerai yang dikunjungi
Tinggi
Sedikit
Loyal murni
Banyak
Repertoire (”daftar lagu”):
loyalitas terpendam
Komitmen
Habituals:
Switcher (suka berganti):
loyalitas palsu
tidak ada loyalitas
Rendah
Sumber: Ma’ruf (2005, p70)
2.7 Merek
2.7.1 Pengertian Merek
Menurut Iman (2001, p19) merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
yang memiliki daya pembeda dan yang digunakan dalam kegiatan perdagangan atau
jasa.
Pengertian merek menurut Kotler dan Susanto (2001, p575) adalah nama, istilah,
atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut yang dimaksudkan untuk
22
mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk
membedakannya dari produk pesaing.
Menurut Lamb (2000, p421), merek adalah suatu nama, istilah, tanda, simbol, atau
desain, atau kombinasi dari semuanya, yang mengidentifikasikan produk para penjual
dan membedakannya dari produk pesaing. Jadi merek mengidentifikasikan penjual atau
pembuat. Merek dapat berupa nama, merek dagang, logo, atau simbol lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa merek selain berguna untuk
membedakan suatu produk dengan produk pesaingnya, juga untuk mempermudah
konsumen untuk mengenali dan mengidentifikasi barang atau jasa yang hendak dibeli.
Merek merupakan simbol yang rumit yang bisa menyampaikan enam tingkat pesan
menurut Kotler (2002, p404) yaitu:
1. Sifat (Attributes)
:
Merek
mengingatkan
pada
atribut-atribut
tertentu. Sebuah merek bisa menyampaikan
sejumlah sifat dalam benak konsumen.
2. Manfaat (Benefits)
:
Suatu merek lebih dari serangkaian atribut atau
sifat. Sifat harus diterjemahkan ke dalam
manfaat fungsional dan emosional.
3. Nilai (Values)
:
Merek mencerminkan nilai-nilai yang dipegang
oleh produsen.
4. Budaya (Culture)
:
Merek bisa mewakili budaya tertentu.
5. Kepribadian (Personality) :
Merek mencerminkan pribadi tertentu.
6. Pemakai (User)
Merek
:
menunjukkan
jenis
konsumen
yang
membeli dan menggunakan produk.
Perusahaan perlu melakukan penelitian mengenai posisi mereknya di benak para
konsumen. Salah satu caranya dengan memvisualisasikan sebuah piramida merek (a
23
brand pyramid) ketika sedang membangun citra sebuah merek. Tingkat yang paling
rendah adalah sifat merek (brand attributes), tingkat selanjutnya adalah keuntungan
merek (brand’s benefits), dan yang paling puncak adalah keyakinan dan nilai merek
(brand’s beliefs and values).
Apa yang membedakan sebuah merek dari produk saingannya yang tak bermerek
adalah persepsi dan perasaan konsumen mengenai dan pengalamannya terhadap produk
tersebut. Menurut Kotler, et al (2005, pp98-99) ada tiga pendekatan penelitian yang
biasa digunakan untuk mengetahui makna merek:
1. Asosiasi kata (word association).
Masyarakat dapat ditanya apa yang terlintas di benak mereka ketika mereka
mendengar nama sebuah merek.
2. Mempersonifikasikan merek tersebut (personifying the brand).
Masyarakat dapat ditanya mengenai orang atau binatang macam apa yang
terlintas di benak mereka ketika merek tersebut disebutkan. Persona merek
tersebut dapat menyampaikan gambaran karakter yang lebih manusiawi
mengenai merek tersebut.
3. Perjenjangan ke atas hingga menemukan esensi merek (laddering up to find
the brand essence).
Esensi merek terkait dengan tujuan yang lebih dalam dan abstrak yang
konsumen coba penuhi dengan merek tersebut. Pertanyaan mengapa
merupakan teknik yang dikenal sebagai laddering up. Pertanyaan ini
membantu pemasar mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai
motivasi seseorang. Jawaban-jawaban yang diberikan dapat menunjukkan
sejumlah kampanye pemasaran yang mungkin dilakukan.
24
2.7.2 Peran Merek
Merek memegang peranan sangat penting, salah satunya adalah menjembatani
harapan konsumen pada saat produsen menjanjikan sesuatu kepada konsumen. Dengan
demikian dapat diketahui adanya ikatan emosional yang tercipta antara konsumen
dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing bisa saja menawarkan
produk yang mirip, tapi mereka tidak mungkin menawarkan janji emosional yang sama.
Menurut Kotler, et al (2005, p101) sebuah merek lebih dari sekadar nama, logo,
warna, tagline (slogan), atau simbol. Semua itu hanya alat dan taktik pemasaran.
Sebuah merek pada intinya adalah janji pemasar untuk menyampaikan sejumlah fitur,
keuntungan, dan pelayanan yang konsisten kepada pembeli. Pemasar harus menetapkan
sebuah misi untuk merek tersebut dan visi mengenai ingin menjadi apa dan apa yang
bisa dilakukan merek tersebut. Pemasar harus berpikir bahwa ia menawarkan sebuah
kontrak kepada konsumen mengenai bagaimana merek tersebut akan berkinerja.
Kontrak merek tersebut harus jujur.
2.7.3 Manfaat merek
Menurut Tjiptono (2005, pp20-22), merek bermanfaat bagi produsen dan
konsumen. Bagi produsen, merek berperan penting sebagai:
ƒ
Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan
produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian sediaan dan
pencatatan akuntansi.
ƒ
Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik.
ƒ
Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa
dengan mudah memilih dan membelinya lagi di lain waktu. Loyalitas merek
seperti
ini
menghasilkan
predictability
dan
security
permintaan
bagi
25
perusahaan dan menciptakan hambatan masuk yang menyulitkan perusahaan
lain untuk memasuki pasar.
ƒ
Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari
para pesaing.
ƒ
Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum,
loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen.
ƒ
Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa datang.
Bagi konsumen, merek bisa memberikan beraneka macam nilai melalui sejumlah
fungsi dan manfaat potensial.
Tabel 2.2 Fungsi Merek Bagi Konsumen
No
1.
FUNGSI
Identifikasi
MANFAAT BAGI PELANGGAN
Bisa dilihat dengan jelas; memberikan makna bagi produk;
gampang mengidentifikasi produk yang dibutuhkan atau dicari.
2.
Praktikalitas
Memfasilitasi penghematan waktu dan energi melalui pembelian
ulang identik dan loyalitas.
3.
Jaminan
Memberikan jaminan bagi konsumen bahwa mereka bisa
mendapatkan kualitas yang sama sekalipun pembelian dilakukan
pada waktu dan di tempat berbeda.
4.
Optimisasi
Memberikan kepastian bahwa konsumen dapat membeli alternatif
terbaik dalam kategori produk tertentu dan pilihan terbaik untuk
tujuan spesifik.
26
5.
Karakterisasi
Mendapatkan konfirmasi mengenai citra diri konsumen atau citra
yang ditampilkannya kepada orang lain.
6.
Kontinuitas
Kepuasan terwujud melalui familiaritas dan intimasi dengan
merek yang telah digunakan atau dikonsumsi pelanggan selama
bertahun-tahun.
7.
Hedonistik
Kepuasan
terkait
dengan
daya
tarik
merek,
logo,
dan
komunikasinya.
8.
Etis
Kepuasan berkaitan dengan perilaku bertanggung jawab merek
bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat.
Sumber: Kapferer (Tjiptono,2005, pp21-22)
Tjiptono (2005, p23) juga membagi manfaat-manfaat merek berdasarkan manfaat
ekonomik, manfaat fungsional, dan manfaat psikologis.
Tabel 2.3 Manfaat-manfaat Merek
No.
1.
MANFAAT MEREK
Manfaat ekonomik
DESKRIPSI
ƒ
Merek merupakan sarana bagi perusahaan untuk
saling bersaing memperebutkan pasar.
ƒ
Konsumen memilih merek berdasarkan value for
money yang ditawarkan berbagai macam merek.
ƒ
Relasi antara merek dan konsumen dimulai dengan
penjualan. Premium harga bisa berfungsi layaknya
asuransi risiko bagi perusahaan. Sebagian besar
konsumen lebih suka memilih penyedia jasa yang
27
lebih
mahal
namun
diyakininya
bakal
memuaskannya ketimbang memilih penyedia jasa
lebih murah yang tidak jelas kinerjanya.
2.
Manfaat fungsional
ƒ
Merek memberikan peluang bagi diferensiasi. Selain
memperbaiki
kualitas
(diferensiasi
vertikal),
perusahaan-perusahaan juga memperluas mereknya
dengan
tipe-tipe
produk
baru
(diferensiasi
horizontal).
ƒ
Merek
memberikan
jaminan
kualitas.
Apabila
konsumen membeli merek yang sama lagi, maka
ada jaminan bahwa kinerja merek tersebut akan
konsisten dengan sebelumnya.
ƒ
Pemasar merek berempati dengan para pemakai
akhir dan masalah yang akan diatasi merek yang
ditawarkan.
ƒ
Merek memfasilitasi ketersediaan produk secara
luas.
3.
Manfaat psikologis
ƒ
Merek memudahkan iklan dan sponsorship.
ƒ
Merek merupakan penyederhanaan atau simplifikasi
dari semua informasi produk yang perlu diketahui
konsumen.
ƒ
Pilihan
merek
tidak
selalu
didasarkan
pada
pertimbangan rasional. Dalam banyak kasus, faktor
emosional
memainkan
peran
dominan
dalam
28
keputusan pembelian.
ƒ
Merek bisa memperkuat citra diri dan persepsi orang
lain terhadap pemakai/ pemiliknya.
ƒ
Brand symbolism tidak hanya berpengaruh pada
persepsi orang lain, namun juga pada identifikasi
diri sendiri dengan obyek tertentu.
Sumber: Tjiptono (2005, p23)
2.7.4 Karakteristik Merek Yang Baik
Sebelum produk diluncurkan ke pasar, perusahaan harus terlebih dahulu memilih
nama merek yang cermat. Sebuah nama merek yang baik dapat menunjang keberhasilan
dan suksesnya suatu produk. Pemilihan nama merek harus meliputi tujuan produk,
manfaat, pasar sasaran dan strategi pemasarannya. Berdasarkan pendapat Rangkuti
(2002, p142), kriteria merek yang baik adalah:
a. Merek harus menggambarkan sesuatu mengenai sifat produk.
b. Merek harus menggambarkan kualitas, kegiatan warna, dan sebagainya.
c.
Merek harus mudah diucapkan, dikenali, dan diingat.
d. Merek harus khas.
e. Tersedia untuk digunakan (bukan sedang digunakan oleh perusahaan lain).
f.
Tidak mengandung arti yang buruk bagi negara dan bahasa lain.
2.7.5 Strategi Merek
Berdasarkan pendapat Kotler (2002, pp471-474), keputusan strategi merek adalah
sebagai berikut:
29
1. Perluasan lini (Line Extension)
Merupakan keputusan perusahaan untuk memperkenalkan unit produk
tambahan dalam kategori produk yang sama dengan merek yang sama,
biasanya dengan tampilan baru, seperti rasa, bentuk, warna baru, ukuran,
kemasan, dan lainnya.
2. Perluasan merek (Brand Extension)
Merupakan keputusan perusahaan untuk menggunakan merek yang sudah ada
untuk meluncurkan suatu produk dalam kategori baru.
3. Multi-merek (Multibrand)
Merupakan keputusan perusahaan yang memperkenalkan merek tambahan
dalam kategori produk yang sama.
4. Merek baru (New Brand)
Merupakan tindakan perusahaan untuk meluncurkan produk dalam suatu
kategori baru dan perusahaan menemukan bahwa tidak satupun merek yang
dimilikinya yang tepat untuk produk tersebut.
5. Merek bersama (Cobrand/ Dual Branding)
Merupakan dua atau lebih merek yang terkenal dikombinasikan dalam satu
tawaran.
2.8 Ekuitas Merek
Merek berbeda-beda dalam jumlah kekuatan dan nilai yang dimilikinya di pasar.
Pada satu sisi terdapat merek yang tidak dikenal sebagian besar pembeli. Kemudian, ada
merek yang memperoleh tingkat kesadaran merek yang tinggi, ada juga yang memiliki
tingkat penerimaan merek yang tinggi,. Kemudian, ada merek yang menikmati tingkat
30
preferensi merek yang tinggi. Akhirnya, ada merek yang memiliki tingkat kesetiaan
merek yang tinggi. Ekuitas merek yang tinggi merupakan aset bagi perusahaan.
Menurut Kotler, et al (2005, pp102-103) ekuitas merek didefinisikan sebagai
dampak pembeda positif setelah mengetahui nama merek terhadap respons konsumen
kepada produk atau jasa dengan merek tersebut. Ekuitas merek menghasilkan konsumen
yang mempunyai pilihan (preference) jika dihadapkan pada dua produk yang pada
dasarnya hampir sama. Sejauh mana konsumen bersedia membayar lebih untuk merek
tertentu merupakan ukuran untuk menilai ekuitas merek.
Menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004, pp1-2), ekuitas merek adalah
seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol
yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau
jasa kepada perusahaan maupun pada pelanggan.
Menurut Knapp (2001, p3), ekuitas merek adalah totalitas dari persepsi merek,
mencakup kualitas relatif dari produk dan jasa, kinerja keuangan, loyalitas pelanggan,
kepuasan, dan keseluruhan penghargaan terhadap merek.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ekuitas merek adalah seperangkat
nilai atas merek produk atau jasa yang merupakan hasil tanggapan konsumen, yang
mampu menunjukkan keseluruhan penghargaan atas merek tersebut.
Ekuitas merek mempunyai lima kategori, yaitu:
a. Brand Awareness (Kesadaran Merek)
b. Brand Associations (Asosiasi-asosiasi Merek)
c.
Perceived Quality (Persepsi Kualitas)
d. Brand Loyalty (Loyalitas Merek)
e. Other Proprietary Brand Assets (seperti paten, merek dagang, channel, relationships
dan lain-lain).
31
Aset ekuitas merek pada umumnya menambahkan atau mengurangi nilai bagi para
konsumen. Aset-aset ini membantu mereka menafsirkan, berproses, dan menyimpan
informasi dalam jumlah besar mengenai produk dan merek. Ekuitas merek juga bisa
mempengaruhi rasa percaya dari konsumen dalam mengambil keputusan pembelian.
Yang lebih penting adalah kenyataan bahwa kesan kualitas dan asosiasi merek bisa
menguatkan keputusan konsumen dengan pengalaman menggunakannya.
Selain memberikan nilai kepada konsumen, ekuitas merek juga dapat memberikan
nilai pada perusahaan. Sebagai bagian dari perannya dalam menambahkan nilai
konsumen, menurut Kotler (2005, pp86-87) ekuitas merek memiliki potensi untuk
menambah nilai bagi perusahaan dan memberikan sejumlah keunggulan bersaing:
a. Perusahaan tersebut akan memiliki pengaruh perdagangan yang lebih besar
dalam melakukan tawar-menawar dengan distributor dan pengecer karena
pelanggan mengharapkannya menjual merek tersebut.
b. Perusahaan tersebut dapat mengenakan harga yang lebih tinggi daripada
pesaing-pesaingnya karena merek itu memiliki persepsi mutu yang lebih tinggi.
c.
Perusahaan tersebut dapat lebih mudah melakukan perluasan produk karena
nama merek itu menyandang kredibilitas yang tinggi.
d. Merek tersebut menawarkan kepada perusahaan itu suatu pertahanan
terhadap persaingan harga.
Sebuah
merek
harus
secara
cermat
dikelola
sehingga
ekuitasnya
tidak
terdepresiasi atau menurun. Ini membutuhkan upaya menjaga dan meningkatkan
kesadaran merek, kualitas dan fungsi yang dipersepsikan, dan asosiasi positif. Berbagai
kegiatan ini membutuhkan investasi Litbang (Penelitian dan Pengembangan) yang terusmenerus, upaya iklan yang terampil, transaksi dan layanan konsumen yang sangat baik.
32
Sejumlah pengamat memandang merek sebagai hal yang paling bertahan lebih
lama dari produk dan fasilitas tertentu dari perusahaan. Mereka melihat merek sebagai
aset utama perusahaan yang bertahan lama. Setiap merek yang kuat sebenarnya
menggambarkan
kelompok
konsumen
yang
loyal.
Ekuitas
merek
merupakan
penyumbang terbesar bagi ekuitas konsumen (customer equity). Fokus perencanaan
pemasaran yang tepat adalah untuk memperpanjang nilai sepanjang hidup konsumen
(customer life time value), dengan manajemen merek sebagai alat pemasaran yang
utama.
2.8.1 KESADARAN MEREK (BRAND AWARENESS)
Menurut Durianto, Sugiarto, Budiman (2004, p29), kesadaran merek adalah
kesanggupan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa merek
merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Kesadaran merek merupakan
komponen penyusun ekuitas merek yang sangat penting.
Tingkatan brand awareness dapat digambarkan seperti di bawah ini:
33
Top of Mind
Puncak
pikiran
Pengingatan
kembali
merek
Pengenalan merek
Tidak mengenali merek
Brand Recall
Brand Recognition
Unaware of Brand
Gambar 2.2 : Piramida Kesadaran
Sumber : Aaker (1997, p92)
Penjelasan mengenai piramida kesadaran dari tingkat terendah sampai tertinggi
adalah:
a. Tidak mengenali merek (Unaware of Brand)
Merupakan tingkat yang paling rendah dalam piramida brand awareness
dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek.
b. Pengenalan merek (Brand Recognition)
Tingkat minimal dari kesadaran merek, di mana pengenalan suatu merek
muncul lagi setelah dilakukan pengingatan kembali lewat bantuan.
c.
Mengingat kembali merek (Brand Recall)
Mengingat kembali merek berdasarkan pada permintaan seseorang untuk
menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini dinamakan
34
dengan mengingat kembali tanpa bantuan, berbeda dengan tugas pengenalan,
responden tidak perlu dibantu untuk memunculkan merek tersebut. Top of
mind dan familiar brand merupakan brand recall, yaitu merek yang dapat
diingat di luar kepala. Familiar brand merupakan merek-merek yang muncul
kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya dalam ingatan.
d. Puncak Pikiran (Top of Mind)
Merek yang disebutkan pertama dalam tugas mengingat kembali tanpa
bantuan adalah posisi yang istimewa. Merek tersebut menjadi pemimpin dari
berbagai merek yang ada dalam pikiran seseorang.
Menurut Simamora (2001, p84), pengukuran kesadaran merek dimaksudkan untuk
mengetahui apakah merek dikenal atau tidak. Kalau dikenal, bagaimana tingkat
pengenalan konsumen terhadap merek tersebut. Untuk mengelompokkan responden
berdasarkan tingkat pengenalan mereka, perlu diketahui terlebih dahulu hubungan antar
kategori, seperti disajikan dalam gambar berikut:
35
MEREK
Tidak diingat
(brand unaware)
Diingat
(brand aware)
Dengan alat bantu
(brand recognition)
Tanpa alat bantu
(brand recall)
Diingat pertama kali
(top of mind)
Diingat bukan pertama
(familiar brand)
Gambar 2.3 : Hubungan Antarkategori Kesadaran Merek
Sumber : Simamora (2001, p85)
2.8.2 ASOSIASI-ASOSIASI MEREK (BRAND ASSOCIATIONS)
Definisi asosiasi merek menurut Aaker (1997, p160) adalah segala hal yang
berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek. Asosiasi ini tidak hanya ada, namun
juga mempunyai suatu tingkat kekuatan. Kaitan pada merek akan lebih kuat jika
dilandaskan pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikannya.
Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai sehingga membentuk brand
image dalam benak konsumen. Secara sederhana, pengertian merek adalah sekumpulan
asosiasi merek yang terbentuk pada benak konsumen.
Macam-macam asosiasi yang menciptakan nilai untuk perusahaan dan para
pelanggannya adalah membantu memproses informasi, membedakan merek tersebut,
membangkitkan alasan untuk membeli, menciptakan sikap positif dan memberikan
36
landasan bagi perluasan. Adapun gambar mengenai nilai asosiasi merek adalah sebagai
berikut:
Membantu proses / penyusunan informasi
Diferensiasi / posisi
Asosiasi Merek
Alasan untuk membeli
Menciptakan sikap / perasaan positif
Basis perluasan
Gambar 2.4: Nilai Asosiasi Merek
Sumber: Aaker (1997)
Penjelasan mengenai nilai asosiasi merek adalah:
a. Membantu proses / penyusunan informasi
Asosiasi-asosiasi dapat membantu mengikhtisarkan sekumpulan fakta dan
spesifikasi yang mungkin sulit diproses dan diakses para pelanggan dan dapat
menjadi mahal bagi perusahaan untuk mengkomunikasikannya. Sebuah
asosiasi dapat menciptakan informasi bagi pelanggan yang memberikan suatu
cara untuk menghadapinya.
37
b. Perbedaan
Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi usaha
membedakan. Asosiasi-asosiasi merek dapat memainkan suatu peran yang
sangat penting dalam membedakan suatu merek dari merek lain.
c.
Alasan untuk Membeli
Banyak asosiasi merek membutuhkan berbagai atribut produk atau manfaat
pelanggan yang dapat menyumbangkan suatu alasan spesifik untuk membeli
dan menggunakan merek tersebut.
d. Menciptakan sikap / perasaan positif
Beberapa asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada
gilirannya merembet ke merek yang bersangkutan.
e. Landasan untuk perluasan
Suatu asosiasi dapat menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan
menciptakan rasa kesesuaian antara merek dan sebuah produk baru.
38
Ada sebelas tipe asosiasi seperti yang ditunjukkan dalam gambar di bawah ini:
Atribut
Produk
Negara/ wilayah
geografis
Barang-barang
tak berwujud
Kompetitor
Kelas
Produk
Merek
Nama dan
Simbol
Gaya hidup / personalitas
Orang tersohor / biasa
Manfaat
bagi
pelanggan
Harga relatif
Penggunaan / aplikasi
Pengguna /
pelanggan
Gambar 2.5 Asosiasi-asosiasi Merek
Sumber: Aaker (1997)
Penjelasan mengenai tipe asosiasi adalah:
a. Atribut produk
Penekanan pada atribut, ciri atau karakteristik produk merupakan strategi
positioning yang paling sering digunakan agar konsumen dapat dengan mudah
mengasosiasikan suatu merek dengan atribut produknya.
b. Barang-barang tak berwujud
Asosiasi ini berkaitan dengan atribut tidak berwujud seperti teknologi, nutrisi
inovasi, dan lain-lain.
39
c.
Manfaat bagi pelanggan
Manfaat bagi pelanggan dapat dibagi dua yaitu rational benefit dan
pyschological benefit. Rational benefit berhubungan dengan atribut produk
yang dipertimbangkan dalam keputusan pembelian secara rasional. Sedangkan
pyschological benefit berkaitan dengan sikap atau perasaan seseorang yang
timbul ketika membeli atau menggunakan merek tersebut.
d. Harga relatif
Tingkat harga relatif bisa membentuk asosiasi di benak konsumen karena
umumnya konsumen sering membanding-bandingkan tngkat harga produkproduk dalam berbagai merek.
e. Penggunaan / aplikasi
Cara penggunaan suatu produk dapat dijadikan salah satu penekanan dalam
membentuk asosiasi merek.
f.
Pengguna / pelanggan
Merek dapat diasosiasikan dengan tipe-tipe pengguna atau pelanggan.
g. Orang terkenal atau biasa
Penggunaan selebritis atau tokoh terkenal sebagai model akan sangat
membantu dalam membentuk asosiasi karena keberadaan selebritis atau tokoh
mengingatkan konsumen pada merek tertentu.
h. Gaya hidup / personalitas
Mengidentifikasi produk berdasarkan gaya hidup penggunanya.
i.
Kelas produk
Asosiasi yang berkaitan dengan kelas produk dapat membantu konsumen
untuk mengidentifikasikan suatu produk ke dalam klasifikasi tertentu.
40
j.
Kompetitor
Membentuk asosiasi yang berkaitan dengan kompetitor bisa menjadi cara yang
efektif untuk membentuk brand image yang berbeda dengan kompetitor.
k. Negara atau wilayah geografis
Sebuah negara dapat mewakili dan menjadi simbol dari suatu produk yang
dapat dikaitkan dengan merek dari negara asal produk tersebut.
2.8.3 KESAN KUALITAS (PERCEIVED QUALITY)
Definisi kesan kualitas menurut Aaker (1997, p124) adalah persepsi pelanggan
terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan
berkenaan dengan maksud yang diharapkan.
Kesan kualitas memberikan nilai dalam beberapa bentuk seperti gambar di bawah
ini:
Alasan untuk membeli
Diferensiasi / Posisi
Kesan Kualitas
Harga optimum
Minat saluran distribusi
Perluasan merek
Gambar 2.6 Nilai Dari Kesan Kualitas
Sumber : Aaker (1997, p124)
41
Adapun penjelasan mengenai nilai dari kesan kualitas sebagai berikut :
a. Alasan untuk membeli (Reason to buy)
Kesan kualitas sebuah merek memberikan alasan yang penting untuk membeli,
mempengaruhi merek-merek mana yang akan dipertimbangkan, kemudian
selanjutnya mempengaruhi merek apa yang akan dipilih.
b. Diferensiasi / posisi (Differentiation / position)
Suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi kesan
kualitas.
c.
Harga optimum (Price premium)
Keuntungan kesan kualitas memberikan pilihan-pilihan dalam menetapkan
harga optimum
d. Minat saluran distribusi (Channel member interest)
Kesan kualitas punya arti penting bagi para pengecer, distributor, dan saluran
distribusi lainnya. Para pengecer dan distributor akan termotivasi untuk
menjadi penyalur produk / merek dengan kesan kualitas yang tinggi.
e. Perluasan merek (Brand Extensions)
Suatu merek dengan kesan kualitas kuat dapat dieksploitasi ke arah perluasan
merek dan dapat digunakan untuk memperkenalkan kategori produk baru,
yang beranekaragam. Produk dengan merek yang kesan kualitasnya kuat akan
punya kemungkinan sukses dibanding dengan merek yang kesan kualitasnya
lemah, sehingga perluasan produk dari merek yang kesan kualitasnya kuat
memungkinkan perolehan pangsa pasar yang lebih besar (Durianto, Sugiarto,
dan Sitinjak, 2004).
42
Berbagai dimensi yang mendasari penilaian kesan kualitas akan bergantung pada
konteksnya. Dimensi-dimensi kualitas menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004)
terdiri dari:
a. Kualitas Produk
1. Tampilan (performance), berkaitan dengan aspek fungsional dari suatu
barang dan merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan
pelanggan dalam membeli barang tersebut.
2. Fitur (features), yaitu aspek kedua dari tampilan yang berguna untuk
menambah fungsi dasar, berkaitan dengan pilihan-pilihan produk dan
pengembangannya.
3. Keandalan (reliability), berkaitan dengan kemungkinan suatu barang
berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam periode waktu
tertentu dan dalam kondisi tertentu pula.
4. Konformasi (conformance), berkaitan dengan tingkat kesesuaian terhadap
spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan
pelanggan.
Konformasi
menunjukkan
derajat
ketepatan
antara
karakteristik desain produk dengan karakteristik kualitas standar yang
telah ditetapkan.
5. Daya tahan (durability), menunjukkan umur ekonomis yaitu ukuran daya
tahan atau masa pakai suatu barang.
6. Pelayanan
(servicebility),
yaitu
yang
berkaitan
dengan
kecepatan,
kompetensi, kemudahan, dan ketepatan dalam memberikan layanan untuk
perbaikan.
7. Nilai keindahan (aesthetics), yaitu nilai-nilai estetika yang bersifat subyektif
berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan preferensi individual.
43
b. Kualitas Jasa
1. Tangibles, yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil, material
komunikasi.
2. Realibility, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan
secara akurat.
3. Assurance, yaitu pengetahuan dan kesopanan para karyawan dan
kemampuan
mereka
untuk
menciptakan
keyakinan
akan
kualitas
pelayanan dalam diri konsumen.
4. Responsiveness, yaitu kesediaan untuk membantu konsumen dan daya
tanggap karyawan terhadap permintaan pelayanan dalam waktu yang
singkat.
5. Emphaty, yaitu perhatian dan kesungguhan dalam memahami kebutuhan
konsumen.
Apabila proses penyampaian jasa dari pemberi jasa sesuai dengan apa yang
dipersepsikan konsumen, maka kepuasan konsumen akan terpenuhi. Oleh karena
berbagai faktor, seperti subyektivitas yang dipersepsikan konsumen dan pemberi jasa,
maka jasa sering disampaikan dengan cara yang berbeda dengan yang dipersepsikan
oleh konsumen. Perbedaan cara penyampaian dari apa yang dipersepsikan konsumen
itu, menurut Parasuraman yang dikutip Porter, mencakup lima gap (perbedaan). Berikut
adalah skemanya.
44
Komunikasi getoktular
Kebutuhan
Personal
Pengalaman
masa lalu
Jasa yang diharapkan
Gap 5
Jasa yang diterima
Konsumen
Gap 4
Pemasar
Penyajian jasa
(termasuk sebelum
dan sesudah kontrak)
Gap 1
Komunikasi
eksternal kepada
konsumen
Gap 3
Penerjemahan persepsi
ke dalam spesifikasi
kualitas jasa
Gap 2
Persepsi manajemen
terhadap harapanharapan konsumen
Garis pemisah antara pemasar dan konsumen
Garis petunjuk proses
Garis petunjuk terjadinya gap
Gambar 2.7 Model Gap Kualitas Jasa
Sumber: Umar (2005, p54)
Gap-1:
Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen
Gap ini muncul sebagai akibat dari ketidaktahuan manajemen tentang kualitas jasa
macam apa yang sebenarnya diharapkan konsumen. Akibatnya, desain dan standar jasa
45
yang disampaikan tidak dapat memperlihatkan unjuk kerja seperti yang dijanjikan pada
konsumen. Jadi, gap harapan konsumen dengan persepsi manajemen merupakan
sumber munculnya gap-gap yang lain.
Gap-2:
Gap antara persepsi manajemen tentang harapan konsumen dan
spesifikasi kualitas jasa
Pengertian manajemen di sini meliputi semua pihak yang bertanggung jawab dan
mempunyai otoritas untuk menciptakan atau mengubah kebijaksanaan, prosedur, dan
standar jasa. Gap ini muncul karena para manajer menetapkan spesifikasi kualitas jasa
berdasarkan pada apa yang mereka percayai sebagai yang diinginkan konsumen.
Padahal pendapat mereka itu belum tentu akurat. Akibatnya, banyak organisasi jasa
telah
memfokuskan
tekanan
mereka
kepada
kualitas
teknis,
sementara
pada
kenyataannya hal yang dianggap lebih penting oleh konsumen adalah kualitas yang
berkaitan dengan penyajian jasa.
Akar dari munculnya gap ini adalah bahwa tidak ada interaksi langsung antara
manajemen dengan konsumen, keengganan untuk menanyakan harapan konsumen,
dan/atau ketidaksiapan manajemen dalam mengkomunikasikan keduanya.
Gap-3:
Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan jasa yang disajikan
Gap ini biasanya muncul pada jasa yang sistem penyampaiannya sangat tergantung
pada karyawan. Persepsi yang akurat tentang harapan konsumen memang penting,
tetapi belum cukup untuk menjamin kualitas penyajian jasa yang terbaik. Upaya untuk
menjamin bahwa spesifikasi kualitas akan terpenuhi apabila jasa memerlukan unjuk kerja
dan penyajian yang segera begitu konsumen hadir di tempat jasa diproses, adalah hal
yang sulit. Para manajer mengalami kesulitan dalam menerjemahkan pemahaman
46
mereka terhadap harapan konsumen ke dalam spesifikasi kualitas jasa. Oleh karena itu,
syarat lain yang perlu dipenuhi adalah diciptakannya desain dan standar unjuk kerja jasa
yang
mencerminkan
persepsi
akurat
tentang
harapan
konsumen.
Gap
ini
mengindikasikan perlunya ditetapkan desain dan standar jasa yang berorientasi kepada
konsumen yang dibangun berdasarkan kepada keperluan pokok konsumen yang mudah
dipahami oleh konsumen dan diukur oleh konsumen. Standar-standar ini terdiri dari
standar-standar operasi yang ditetapkan sesuai dengan harapan dan prioritas konsumen,
tidak dari sudut kepentingan perusahaan seperti efisiensi dan efektivitas.
Gap-4:
Gap antara penyampaian jasa aktual dan komunikasi eksternal
kepada konsumen
Janji yang disampaikan mungkin secara potensial bukan hanya meningkatkan harapan
yang akan dijadikan sebagai standar kualitas jasa yang akan diterima konsumen, akan
tetapi juga akan meningkatkan persepsi tentang jasa yang akan disampaikan kepada
mereka. Kegagalan dalam memenuhi jasa yang dijanjikan dengan faktanya akan
memperlebar gap ini.
Gap-5:
Gap antara jasa yang diharapkan dan jasa aktual yang diterima
konsumen
Gap ini mencerminkan perbedaan antara unjuk kerja aktual yang diterima konsumen dan
unjuk kerja yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan kepuasan konsumen, unjuk kerja
faktual yang lebih besar dari harapan mencerminkan bahwa konsumen berada pada
keadaan terpuaskan.
47
2.8.4 LOYALITAS MEREK (BRAND LOYALTY)
Pengertian loyalitas merek menurut Rangkuti (2002, p60) adalah ukuran dari
kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari ekuitas
merek yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran. Apabila loyalitas merek
meningkat, maka serangan kelompok pesaing dapat dikurangi. Hal ini merupakan suatu
indikator dari ekuitas merek yang berkaitan dengan perolehan laba di masa yang akan
datang, karena menurut Rangkuti (2002, p61) loyalitas merek secara langsung dapat
diartikan sebagai penjualan di masa depan.
Menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004, p126) loyalitas merek merupakan
ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan
gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk yang
lain, terutama jika pada merek tersebut didapat adanya perubahan harga, ataupun
atribut yang lain.
Berdasarkan pendapat Peter dan Jerry (2000, p162) loyalitas merek adalah
keinginan melakukan dan perilaku pembelian ulang.
Pengertian loyalitas merek menurut Aaker (1997, pp56-57) adalah ukuran dari
kesetiaan konsumen terhadap suatu merek, loyalitas merek merupakan inti dari ekuitas
merek yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran yang merupakan satu ukuran
keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek.
Durianto, Sugiarto, dan Budiman (2004, pp19-20) memaparkan tingkatan loyalitas
merek sebagai berikut:
a. Switcher/ price buyer (pembeli yang berpindah-pindah)
Adalah tingkat loyalitas yang paling dasar. Semakin sering pembelian
konsumen berpindah dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan
bahwa mereka tidak loyal, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini
48
merek memegang peranan yang kecil dalam keputusan pembelian. Ciri paling
jelas dalam
kategori ini adalah mereka membeli suatu produk karena
harganya murah.
b. Habitual Buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)
Adalah pembeli yang tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengonsumsi
suatu merek produk. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membeli
merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu
membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Jadi, ia membeli suatu
merek karena alasan kebiasaan.
c.
Satisfied Buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan)
Adalah kategori pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi.
Namun mereka dapat saja berpindah merek dengan menanggung switching
cost (biaya peralihan), seperti waktu, biaya, atau risiko yang timbul akibat
tindakan peralihan merek tersebut.
d. Likes the Brand (menyukai merek)
Adalah kategori pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut.
Rasa suka didasari oleh asosiasi yang berkaitan dengan simbol, rangkaian
pengalaman menggunakan merek itu sebelumnya, atau persepsi kualitas yang
tinggi.
e. Committed Buyer (pembeli yang berkomitmen)
Adalah kategori pembeli yang setia. Mereka mempunyai kebanggaan dalam
menggunakan suatu merek. Merek tersebut bahkan menjadi sangat penting
baik dari segi fungsi maupun sebagai ekspresi siapa sebenarnya penggunanya.
Ciri yang tampak pada kategori ini adalah tindakan pembeli untuk
49
merekomendasikan/ mempromosikan merek yang ia gunakan kepada orang
lain.
Committed
Buyer
Likes the Brand
Satisfied Buyer
Habitual Buyer
Switcher/ Price Buyer
Gambar 2.8 Piramida Loyalitas Merek
Sumber: Aaker (1997, p92)
Loyalitas dari para pelanggan yang ada mewakili suatu aset strategis jika dikelola
dan dieksploitasi dengan benar, mempunyai potensi untuk memberikan nilai dalam
beberapa bentuk menurut Aaker (1997, p60), yakni:
a. Mengurangi biaya pemasaran
Pelanggan yang memiliki loyalitas merek dapat mengurangi biaya pemasaran
perusahaan. Biaya akan lebih murah untuk mempertahankan pelanggan
dibandingkan berusaha untuk mendapatkan para pelanggan baru.
b. Meningkatkan perdagangan
Loyalitas merek menghasikan peningkatan perdagangan. Loyalitas yang kuat
akan meyakinkan pihak pertokoan untuk memajang di rak-raknya karena
50
mereka mengetahui bahwa para pelanggan akan mencantumkan merek-merek
tersebut dalam daftar belanjanya.
c.
Menarik minat para pelanggan baru
Pelanggan yang puas dan menyukai merek tertentu dapat menimbulkan
keyakinan bagi calon pelanggan, khususnya bila pembelian itu agak
mengandung risiko. Pelanggan yang puas akan merekomendasikan pada orang
lain sehingga akan menarik pelanggan baru.
d. Memberi waktu untuk merespons ancaman-ancaman persaingan
Loyalitas merek memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk merespons
gerakan-gerakan kompetitif. Jika salah satu kompetitor mengembangkan
produk yang unggul, pelanggan yang loyal akan memberi waktu pada
perusahaan
tersebut
agar
memperbaharui
menyesuaikan atau menetralisasikannya.
produknya
dengan
cara
51
Pengurangan Biaya Pemasaran
Peningkatan Perdagangan
Loyalitas Merek
Memikat para pelanggan baru:
-Menciptakan kesadaran merek
-Meyakinkan kembali
Waktu merespons ancaman
kompetitif
Gambar 2.9 Nilai Loyalitas Merek
Sumber: Aaker (1997, p60)
Menurut Aaker (1997), perusahaan harus terus-menerus berusaha meningkatkan
dan mempertahankan loyalitas konsumen terhadap mereknya karena loyalitas merek
merupakan bagian terpenting dari ekuitas merek. Cara-cara yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan loyalitas merek sebagai berikut:
a. Memperhatikan hak pelanggan
Perusahaan harus menawarkan barang atau jasa sesuai dengan yang
diharapkan oleh konsumen supaya konsumen tidak memiliki alasan untuk
pindah ke merek lain sebagai dasar untuk meningkatkan loyalitas.
52
b. Tetap dekat dengan pelanggan
Jika perusahaan menjalin hubungan dengan pelanggannya maka perusahaan
dapat mengetahui hal yang diharapkan konsumen dari produk yang
ditawarkan.
c.
Mengukur kepuasan pelanggan
Survei yang dilakukan secara berkala mengenai kepuasan konsumen sangat
berguna untuk memahami bagaimana perasaan konsumen terhadap suatu
produk. Survei ini harus dilakukan secara komprehensif agar perusahaan dapat
mengetahui perubahan-perubahan tingkat kepuasan konsumen. Dengan
demikian, perusahaan dapat melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap
produknya.
2.9 Konsep Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen yang tidak dapat secara langsung dikendalikan oleh
perusahaan perlu dicari informasinya semaksimal mungkin. Banyak pengertian perilaku
konsumen yang dikemukakan para ahli. Berikut beberapa pendapat para ahli mengenai
perilaku konsumen.
Menurut Prasetijo dan Ihalauw (2005, p9), perilaku konsumen adalah studi tentang
bagaimana pembuat keputusan (decision units), baik individu, kelompok, ataupun
organisasi, membuat keputusan-keputusan beli atau melakukan transaksi pembelian
suatu produk dan mengkonsumsinya.
Menurut Schiffman dan Kanuk (2004, p6), studi perilaku konsumen terpusat pada
cara individu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya mereka yang
tersedia (waktu, uang, usaha) guna membeli barang-barang yang berhubungan dengan
konsumsi. Hal ini mencakup apa yang mereka beli, mengapa mereka membeli, kapan
53
mereka membeli, di mana mereka membeli, seberapa sering mereka membeli, dan
seberapa sering mereka menggunakannya. Perilaku konsumen adalah proses yang dilalui
oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak
pasca
konsumsi
produk,
jasa,
maupun
ide
yang
diharapkan
bisa
memenuhi
kebutuhannya.
Menurut Adiputra, Hendraarso dan Atriza (2004, p126), perilaku konsumen sebagai
tindakan yang dilakukan individu dalam mendapatkan dan memakai barang dan jasa
termasuk proses keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan tersebut.
Menurut Mowen dan Minor (2002, p6), perilaku konsumen adalah studi tentang
unit pembelian dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi, dan
pembuangan barang, jasa, pengalaman, serta ide-ide.
Jadi, dapat disimpulkan perilaku konsumen adalah segala tindakan yang
berhubungan dengan proses mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk
atau jasa oleh individu atau kelompok, termasuk proses keputusan sebelum dan sesudah
tindakan tersebut.
Perilaku konsumen terbagi dua bagian, yang pertama adalah perilaku yang
tampak, misalnya jumlah pembelian, waktu, karena siapa, dengan siapa, dan bagaimana
konsumen melakukan pembelian. Yang kedua adalah perilaku yang tak tampak, misalnya
persepsi, ingatan terhadap informasi dan perasaan kepemilikan oleh konsumen.
2.9.1 Kerangka Kerja Untuk Analisis Konsumen
Menurut Peter dan Olson (1996, p19), ada empat elemen utama analisis
konsumen, yakni:
54
Afeksi dan Kognisi
Strategi
Pemasaran
Perilaku
Lingkungan
Gambar 2.10 Elemen Utama Analisis Konsumen
Sumber: Peter dan Olson (1996, p19)
1. Afeksi dan Kognisi
Afeksi dan kognisi mengacu pada dua tipe tanggapan internal psikologis yang
dimiliki konsumen terhadap rangsangan lingkungan dan kejadian yang
berlangsung. Dalam bahasa yang lebih sederhana, afeksi melibatkan perasaan,
sementara kognisi melibatkan pemikiran.
2. Perilaku
Perilaku mengacu pada tindakan nyata konsumen yang dapat diobservasi
secara langsung.
3. Lingkungan
Lingkungan mengacu pada rangsangan fisik dan sosial yang kompleks di dunia
eksternal konsumen.
55
4. Strategi Pemasaran
Strategi pemasaran terdiri dari berbagai rangsangan fisik dan sosial. Yang
termasuk di dalam rangsangan tersebut adalah produk dan jasa, materi
promosi (iklan), tempat pertukaran (toko eceran), dan informasi tentang harga
(label harga yang ditempel pada produk). Penerapan strategi pemasaran
melibatkan penempatan rangsangan pemasaran tersebut di lingkungan
konsumen agar dapat mempengaruhi afeksi, kognisi, dan perilaku mereka.
2.9.2 Jenis Perilaku Pembelian
Pengambilan
keputusan
konsumen
berbeda-beda,
bergantung
pada
jenis
keputusan pembelian. Kotler (2005, pp221-222) mengungkapkan bahwa Henry Assael
membedakan empat jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan
pembeli dan tingkat perbedaan antarmerek.
ƒ
Perilaku pembelian yang rumit
Perilaku pembelian yang rumit terdiri dari proses tiga langkah. Pertama,
pembeli mengembangkan keyakinan tentang produk tertentu. Kedua, ia
membangun sikap tentang produk tersebut. Ketiga, ia membuat pilihan
pembelian yang cermat. Konsumen terlibat dalam perilaku pembelian yang
rumit bila mereka sangat terlibat dalam pembelian dan sadar akan adanya
perbedaan besar antarmerek. Perilaku pembelian yang rumit itu lazim terjadi
bila produknya mahal, jarang dibeli, berisiko, dan sangat mengekspresikan diri.
Pemasar produk dengan keterlibatan tinggi harus memahami pengumpulan
informasi dan evaluasi perilaku konsumen. Pemasar perlu menyusun strategi
yang dapat membantu pembeli mempelajari atribut-atribut produk dan tingkat
kepentingan relatif atribut tersebut, serta yang dapat menarik perhatian
56
konsumen terhadap reputasi merek perusahaan tersebut dalam memberikan
atribut-atribut yang lebih penting.
ƒ
Perilaku pembelian pengurang ketidaknyamanan
Kadang-kadang konsumen sangat terlibat dalam pembelian namun melihat
sedikit perbedan antarmerek. Keterlibatan yang tinggi didasari oleh fakta
bahwa pembelian tersebut mahal, jarang dilakukan, dan berisiko. Dalam kasus
itu, pembeli akan berbelanja dengan berkeliling untuk mempelajari merek yang
tersedia. Jika konsumen menemukan perbedaan mutu antarmerek tersebut,
dia mungkin akan lebih memilih harga yang lebih tinggi. Jika konsumen
menemukan perbedaan kecil dia mungkin akan membeli semata-mata
berdasarkan harga dan kenyamanan.
ƒ
Perilaku pembelian karena kebiasaan
Banyak produk dibeli pada kondisi rendahnya keterlibatan konsumen dan tidak
adanya perbedaan antarmerek yang signifikan. Para konsumen memiliki sedikit
keterlibatan pada jenis produk itu. Mereka pergi ke toko dan mengambil merek
tertentu. Jika mereka tetap mengambil merek yang sama, hal itu karena
kebiasaan, bukan karena kesetiaan yang kuat terhadap merek. Perilaku
konsumen dalam kasus produk dengan keterlibatan rendah tidak melalui
urutan umum keyakinan, sikap, dan perilaku. Konsumen tidak secara luas
mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik merek, dan
memutuskan merek apa yang akan dibeli. Melainkan, konsumen menjadi
penerima informasi pasif melalui menonton televisi atau melihat iklan di media
cetak. Pengulangan iklan menciptakan keakraban merek, bukannya keyakinan
merek.
57
ƒ
Perilaku pembelian yang mencari variasi
Beberapa situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen yang rendah
tetapi perbedaan antarmerek signifikan. Dalam situasi itu, konsumen sering
melakukan peralihan merek. Peralihan merek terjadi karena mencari variasi
dan bukannya karena ketidakpuasan.
Tabel 2.4 Empat Jenis Perilaku Pembelian
Keterlibatan Tinggi
Perbedaan Besar
Antar Merek
Perbedaan Kecil
Antar Merek
Perilaku pembelian
yang rumit
Perilaku pembelian yang
mengurangi
ketidaknyamanan
Keterlibatan Rendah
Perilaku pembelian yang
mencari variasi
Perilaku pembelian yang
rutin/ biasa
Sumber: Kotler (2005, p221)
2.9.3 Mempengaruhi Perilaku Konsumen
Menurut Kotler (2005, pp202-203), titik tolak untuk memahami perilaku pembeli
adalah model rangsangan-tanggapan (stimulus-respond model) seperti yang ditunjukkan
oleh gambar berikut:
58
Rangsangan
Rangsangan
Ciri-ciri
Proses keputusan
pemasaran
lain
pembeli
pembeli
Keputusan pembeli
Produk
Ekonomi
Budaya
Pemahaman masalah
Pemilihan produk
Harga
Teknologi
Sosial
Pencarian informasi
Pemilihan merek
Saluran
Politik
Pribadi
Pemilihan alternatif
Pemilihan saluran
Budaya
Psikologi
Keputusan pembelian
pemasaran
Promosi
Perilaku pascapembelian
pembelian
Penentuan waktu
pembelian
Jumlah pembelian
Gambar 2.11 Model Perilaku Pembeli
Sumber: Kotler (2005, p203)
Rangsangan pemasaran dan lingkungan masuk ke kesadaran pembeli. Karakteristik
pembeli dan proses pengambilan keputusannya akan menimbulkan keputusan pembelian
tertentu. Tugas pemasar adalah memahami apa yang terjadi pada kesadaran pembeli
sejak masuknya rangsangan dari luar hingga munculnya keputusan pembelian. Menurut
Kotler (2005, pp203-218), perilaku pembelian konsumen ini dipengaruhi oleh:
ƒ
Faktor budaya
Budaya, sub-budaya, dan kelas sosial sangat penting bagi perilaku pembelian.
Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling dasar. Masingmasing budaya terdiri dari sejumlah sub-budaya yang lebih menampakkan
identifikasi dan sosialisasi khusus bagi para anggotanya. Sub-budaya
mencakup kebangsaan, agama, kelompok ras, dan wilayah geografis.
59
ƒ
Faktor sosial
Perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial:
-
Kelompok acuan
Kelompok acuan seseorang terdiri dari semua kelompok yang memiliki
pengaruh langsung (tatap muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau
perilaku seseorang tersebut. Kelompok yang memiliki pengaruh langsung
terhadap
seseorang
dinamakan
kelompok
keanggotaan.
Beberapa
kelompok keanggotaan merupakan kelompok primer, seperti keluarga,
teman, tetangga, dan rekan kerja, yang berinteraksi dengan seseorang
secara terus-menerus dan informal. Orang juga menjadi anggota kelompok
sekunder,
seperti
kelompok
keagamaan,
profesi,
dan
asosiasi
perdagangan, yang cenderung lebih formal dan membutuhkan interaksi
yang tidak begitu rutin.
Orang sangat dipengaruhi oleh kelompok acuan mereka sekurangkurangnya melalui tiga cara. Kelompok acuan membuat seseorang
menjalani perilaku dan gaya hidup baru, dan mempengaruhi perilaku serta
konsep pribadi seseorang; kelompok acuan acuan menuntut orang supaya
mengikuti kebiasaan kelompok sehingga dapat mempengaruhi pilihan
seseorang akan produk dan merek aktual. Orang juga dipengaruhi oleh
berbagai kelompok di luar kelompok mereka. Kelompok aspirasi adalah
kelompok yang ingin dimasuki seseorang; kelompok dissosiasi adalah
kelompok yang nilai atau perilakunya ditolak oleh seseorang.
Para pemasar berusaha mengidentifikasi kelompok acuan para pelanggan
mereka. Namun, tingkat pengaruh kelompok acuan terhadap produk dan
merek adalah berbeda-beda. Pemimpin opini (opinion leader) adalah orang
60
yang komunikasi informalnya atas produk dapat memberikan saran atau
informasi tentang produk atau jenis produk tertentu, seperti merek apa
yang terbaik atau apa manfaat produk tertentu. Para pemasar berusaha
menjangkau
para
pemimpin
opini
dengan
mengidentifikasi
ciri-ciri
demografis dan psikografis yang berkaitan dengan kepemimpinan opini,
mengidentifikasi
media
yang
dibaca
oleh
pemimpin
opini,
dan
mengarahkan pesan iklan kepada pemimpin opini.
-
Keluarga
Keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting
dalam masyarakat, dan para anggota keluarga menjadi kelompok acuan
primer yang paling berpengaruh. Kita dapat membedakan dua keluarga
dalam kehidupan pembeli. Keluarga orientasi terdiri dari orang tua dan
saudara kandung seseorang. Dari orang tua seseorang mendapatkan
orientasi atas agama, politik, dan ekonomi serta ambisi pribadi, harga diri,
dan cinta. Walaupun pembeli tersebut tidak lagi berinteraksi secara
mendalam dengan orang tuanya, pengaruh orang tua terhadap perilaku
pembeli dapat tetap signifikan. Pengaruh yang lebih langsung terhadap
perilaku pembelian sehari-hari adalah keluarga prokreasi, yaitu pasangan
dan sejumlah anak seseorang.
Para pemasar tertarik pada peran dan pengaruh relatif suami, istri, dan
anak-anak pada pembelian beragam produk dan jasa. Peran itu sangat
beragam untuk negara dan kelas sosial yang berbeda.
-
Peran dan status sosial
Seseorang berpartisipasi ke dalam banyak kelompok sepanjang hidupnyakeluarga, klub, organisasi. Kedudukan orang itu di masing-masing
61
kelompok dapat ditentukan berdasarkan peran dan statusnya. Peran
meliputi kegiatan yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang. Masingmasing peran menghasilkan status.
ƒ
Faktor pribadi
Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Karakteristik
tersebut meliputi:
-
Usia dan tahap siklus hidup
Orang membeli barang dan jasa berbeda-beda sepanjang hidupnya.
Kebutuhan dan selera orang terhadap barang atau jasa berhubungan
dengan usia. Konsumsi juga dibentuk oleh siklus hidup keluarga. Para
pemasar sering memilih sejumlah kelompok berdasarkan siklus hidup
sebagai pasar sasaran mereka. Para pemasar memberikan perhatian yang
besar pada perubahan situasi hidup⎯bercerai, menduda/ menjanda, kawin
lagi⎯dan dampak situasi itu pada perilaku konsumsi.
-
Pekerjaan dan lingkungan ekonomi
Pekerjaan seseorang juga mempengaruhi pola konsumsinya. Para pemasar
berusaha mengidentifikasi kelompok pekerjaan yang memiliki minat di atas
rata-rata atas produk dan jasa mereka. Perusahaan bahkan dapat
mengkhususkan produknya pada kelompok pekerjaan tertentu.
Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi seseorang:
penghasilan yang dapat dibelanjakan (level, kestabilan, pola waktunya),
tabungan dan aktiva (termasuk persentase aktiva yang lancar/ liquid),
utang, kemampuan untuk meminjam, dan sikap terhadap belanja atau
menabung. Para pemasar barang yang peka terhadap harga terus-
62
menerus memperhatikan kecenderungan penghasilan pribadi, tabungan,
dan tingkat suku bunga.
-
Gaya hidup
Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang terungkap pada
aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan
diri seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya. Para pemasar
mencari hubungan antara produk mereka dan kelompok gaya hidup.
-
Kepribadian dan konsep-diri
Masing-masing orang memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda
yang mempengaruhi perilaku pembeliannya. Yang dimaksud kepribadian
adalah ciri bawaan psikologi manusia (human psychologicl traits) yang
terbedakan yang menghasilkan tanggapan yang relatif konsisten dan
bertahan lama terhadap rangsangan lingkungannya. Kepribadian dapat
menjadi variabel yang sangat berguna dalam menganalisis pilihan merek
konsumen.
Gagasannya
adalah
bahwa
merek
juga
mempunyai
kepribadian, dan bahwa konsumen mungkin memilih merek yang
kepribadiannya cocok dengan kepribadian dirinya.
ƒ
Faktor psikologis
Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi oleh empat faktor psikologi utama:
-
Motivasi
Seseorang memiliki banyak kebutuhan pada waktu tertentu. Beberapa
kebutuhan bersifat biogenis; kebutuhan tersebut muncul dari tekanan
biologis seperti lapar, haus, tidak nyaman. Kebutuhan yang lain bersifat
psikogenis; kebutuhan itu mencul dari tekanan psikologis seperti
kebutuhan akan pengakuan, penghargaan, atau rasa keanggotaan
63
kelompok. Kebutuhan akan menjadi motif jika ia didorong hingga
mencapai level intensitas yang memadai. Motif adalah kebutuhan yang
memadai untuk mendorong seseorang bertindak.
-
Persepsi
Seseorang
yang
termotivasi
siap
bertindak.
Bagaimana
tindakan
sebenarnya seseorang yang termotivasi akan dipengaruhi oleh persepsinya
terhadap situasi tertentu. Persepsi adalah proses yang digunakan oleh
individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan
informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi
dapat sangat beragam antara individu satu dengan yang lain yang
mengalami realitas yang sama.
-
Pembelajaran
Pembelajaran meliputi perubahan perilaku seseorang yang timbul dari
pengalaman. Sebagian besar perilaku manusia adalah hasil dari belajar.
Ahli teori pembelajaran yakin bahwa pembelajaran dihasilkan melalui
perpaduan kerja antara pendorong, rangsangan, isyarat bertindak,
tanggapan, dan penguatan.
-
Keyakinan dan sikap
Melalui bertindak dan belajar, orang mendapatkan keyakinan dan sikap.
Keduanya kemudian mempengaruhi perilaku pembelian mereka. Keyakinan
orang tentang produk atau merek mempengaruhi keputusan pembelian
mereka.
64
2.9.4 Pengambilan Keputusan Konsumen
Para
pemasar
harus
melihat
lebih
jauh
bermacam-macam
faktor
yang
mempengaruhi para pembeli dan mengembangkan pemahaman mengenai cara
konsumen melakukan keputusan pembelian. Keputusan selalu mensyaratkan pilihan di
antara beberapa perilaku yang berbeda. Menurut Peter dan Olson (1999, pp162-163),
semua aspek pengaruh dan kognisi dilibatkan dalam pengambilan keputusan konsumen,
termasuk pengetahuan, arti, kepercayaan yang diaktifkan dari ingatan serta proses
perhatian dan pemahaman yang terlibat dalam penerjemahan informasi baru di
lingkungan. Akan tetapi, inti dari pengambilan keputusan konsumen (consumer decision
making) adalah proses pengintegrasian yang mengkombinasikan pengetahuan untuk
mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu di antaranya.
Hasil dari proses pengintegrasian ini adalah suatu pilihan (choice), yang disajikan secara
kognitif sebagai keinginan berperilaku.
Semua perilaku sengaja (voluntary) dilandaskan pada keinginan yang dihasilkan
ketika konsumen secara sadar memilih salah satu di antara tindakan alternatif yang ada.
Ini tidak berarti bahwa suatu proses pengambilan keputusan sadar harus muncul setiap
saat perilaku tersebut dinyatakan. Beberapa perilaku sadar dapat berubah menjadi
kebiasaan. Perilaku tersebut didasarkan pada keinginan yang tersimpan di ingatan yang
dihasilkan oleh proses pengambilan keputusan masa lampau. Ketika diaktifkan, keinginan
atau rencana keputusan yang telah terbentuk sebelumnya ini secara otomatis
mempengaruhi perilaku; proses pengambilan keputusan selanjutnya tidak diperlukan
lagi. Akhirnya, beberapa perilaku tidak dilakukan secara sengaja dan sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan.
65
EKSPOSUR PADA
INFORMASI LINGKUNGAN
PROSES
KOGNITIF
PROSES INTERPRETASI
Perhatian
Pemahaman
INGATAN
Pengetahuan, arti, dan
kepercayaan
Pengetahuan, arti, dan
kepercayaan
PROSES
PENGINTEGRASIAN
Sikap dan keinginan
Pengambilan keputusan
PERILAKU
Gambar 2.12 Model Pemrosesan Kognitif Pengambilan Keputusan Konsumen
Sumber: Peter dan Olson (1999, p163)
Menurut Kotler (2005, pp224-229), para konsumen harus melalui lima urutan
tahap ketika membeli produk, namun tidak selalu begitu. Para konsumen dapat melewati
atau membalik beberapa tahap.
1. Pengenalan masalah
Proses pembelian dimulai ketika pembeli mengenali masalah atau kebutuhan.
Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal atau eksternal.
66
Para pemasar perlu mengidentifikasi keadaan yang memicu kebutuhan
tertentu.
2. Pencarian informasi
Konsumen yang terangsang kebutuhannya akan terdorong untuk mencari
informasi yang lebih banyak. Ada dua level rangsangan. Situasi pencarian
informasi yang lebih ringan dinamakan penguatan perhatian. Pada level itu
orang hanya sekedar lebih peka terhadap informasi produk. Pada level
selanjutnya, orang itu mungkin masuk ke pencarian informasi secara aktif.
Sumber informasi konsumen dapat digolongkan ke dalam empat kelompok:
-
Sumber pribadi: Keluarga, teman, tetangga, kenalan.
-
Sumber komersial: Iklan, wiraniaga, penyalur, kemasan, pajangan di toko.
-
Sumber publik: Media massa, organisasi penentu peringkat konsumen.
-
Sumber pengalaman: Penanganan, pengkajian, dan pemakaian produk.
3. Evaluasi alternatif
Beberapa
konsep
dasar
akan
membantu
memahami
proses
evaluasi
konsumen. Pertama, konsumen berusaha memenuhi kebutuhan. Kedua,
konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi produk. Ketiga, konsumen
memandang masing-masing produk sebagai sekumpulan atribut dengan
kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang digunakan
untuk memuaskan kebutuhan itu.
4. Keputusan pembelian
Dalam tahap evaluasi, para konsumen membentuk preferensi atas merekmerek yang ada di dalam kumpulan pikiran. Konsumen tersebut juga dapat
membentuk niat untuk membeli merek yang paling disukai. Namun, dua faktor
berikut dapat berada di antara niat pembelian dan keputusan pembelian.
67
Faktor pertama adalah sikap orang lain. Faktor kedua adalah faktor situasi
yang tidak terantisipasi yang dapat muncul dan mengubah niat pembelian.
5. Perilaku pasca pembelian
Setelah membeli produk, konsumen akan mengalami level kepuasan atau
ketidakpuasan tertentu. Para pemasar harus memantau kepuasan pasca
pembelian, tindakan pasca pembelian, serta pemakaian dan pembuangan
produk pasca pembelian.
Pengenalan
masalah
Pencarian
informasi
Evaluasi
alternatif
Keputusan
pembelian
Perilaku pasca
pembelian
Gambar 2.13 Proses Pembelian Konsumen Model Lima Tahap
Sumber: Kotler (2005, p224)
68
2.9.5 Model Sikap dan Perilaku
Untuk mengukur sikap dan perilaku konsumen dapat dilakukan dengan model
multi-atribut. Menurut Umar (2005, p57), salah satu model sikap yang dapat digunakan
adalah model sikap multiatribut dari Fishbein. Model sikap Fishbein ini berfokus pada
prediksi
sikap
yang
dibentuk
seseorang
terhadap
obyek
tertentu.
Model
ini
mengidentifikasi tiga faktor utama untuk memprediksi sikap. Faktor pertama, keyakinan
seseorang terhadap atribut yang menonjol dari obyek. Faktor kedua, adalah kekuatan
keyakinan seseorang bahwa atribut memiliki atribut khas. Faktor ketiga adalah evaluasi
dari masing-masing keyakinan akan atribut yang menonjol, di mana diukur seberapa baik
atau tidak baik keyakinan mereka terhadap atribut-atribut itu.
Berikut hubungan antara komponen dalam model perilaku dan sikap Fishbein.
69
Keyakinan akan
atribut yang
menonjol
Sikap
Evaluasi atribut
Maksud perilaku
Perilaku
Keyakinan
normatif
Norma subyektif
Motivasi
Faktor lain
Gambar 2.14 Hubungan antara Komponen dalam Model Perilaku
dan Sikap Fishbein
Sumber: Umar (2005, p58)
Model ini digunakan dengan maksud agar diperoleh konsistensi antara sikap dan
perilakunya, sehingga model Fishbein ini memiliki dua komponen, yaitu komponen sikap
dan komponen norma subyektif. Berikut penjelasannya.
a. Komponen sikap
Komponen ini bersifat internal individu, ia berkaitan langsung dengan obyek
penelitian dan atribut-atribut langsungnya yang memiliki peranan yang penting
70
dalam pengukuran perilaku, karena akan menentukan tindakan apa yang akan
dilakukan, dengan tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal.
b. Komponen norma subyektif
Komponen ini bersifat eksternal individu yang mempunyai pengaruh terhadap
perilaku individu. Komponen ini dapat dihitung dengan cara mengkalikan
antara nilai kepercayaan normatif individu terhadap atribut dengan motivasi
bersetuju terhadap atribut tersebut. Kepercayaan normatif mempunyai arti
sebagai suatu kuatnya keyakinan normatif seseorang terhadap atribut yang
ditawarkan dalam mempengaruhi perilakunya terhadap obyek. Sedangkan
motivasi bersetuju merupakan motivasi seseorang untuk bersetuju dengan
atribut
yang
ditawarkan
sebagai
faktor
yang
berpengaruh
terhadap
perilakunya.
2.9.6 Perilaku di Tempat Belanja
Menurut Ma’ruf (2005, p52-53), sifat motivasi juga terjadi dalam perilaku
berbelanja di tempat belanja, khususnya yang berupa pusat perbelanjaan seperti pasar,
mall, plaza, atau trade center. Sifat rasional yang kuat menyebabkan konsumen
berorientasi bahwa tujuan belanja adalah mencari barang yang dibutuhkan atau
diinginkan, sehingga aspek fungsional pusat perbelanjaan lebih diutamakan daripada
suasana yang memikat hati. Sebaliknya, konsumen yang berorientasi ”rekreasi” akan
mencari pusat perbelanjaan yang menyenangkan. Mereka beranggapan bahwa belanja
akan lebih baik jika dalam suasana yang menyenangkan.
Perbedaan orientasi itu mempengaruhi perilaku sebelum belanja, dalam proses
belanja, dan sesudah belanja.
71
Perilaku berbelanja
Orientasi “belanja
adalah belanja” (lebih
mementingkan hal-hal
fungsional)
Orientasi “rekreasi”
(lebih dipengaruhi oleh
suasana lingkungan
tempat belanja)
Prabelanja
(mencari dan memilih gerai)
Prabelanja
(mencari dan memilih gerai)
Lokasi mudah dicapai
Cukup parkir
Dekat dengan gerai lain
Pilihan merchandise pelengkap atau
pengganti
Bergengsi
Ada toko utama (anchor store)
Pilihan barang banyak
Merchandise eksklusif
Selama belanja
Selama belanja
Barang yang tersedia
Harga menarik
Cepat proses pembayaran (antrean
di kasir tidak terlalu panjang)
Daya tarik ambience (suasana
internal)
Paska belanja (antaran barang,
pemasangan, evaluasi, kunjungan
ulang)
Display barang
Area informasi dan petunjuk bagi
konsumen
Visual merchandising
Fasilitas dalam gerai
Pusat barang dan jasa
Fasilitas kredit
Paska belanja (antaran barang,
pemasangan, evaluasi, kunjungan
ulang)
Display tema
Area informasi dan petunjuk bagi
konsumen
Gambar 2.15 Perilaku Berbelanja
Sumber: Ma’ruf (2005, p53)
2.10 Kekuatan Persaingan Menurut Michael E. Porter
Michael Porter telah mengidentifikasi lima kekuatan yang menentukan daya tarik
laba jangka panjang intrisnsik pasar atau segmen pasar tertentu. Lima kekuatan tersebut
adalah para pesaing industri, calon pendatang, substitusi, pembeli, dan pemasok. Lima
ancaman yang ditimbulkan kekuatan tersebut menurut Kotler (2005, pp266-267) adalah:
72
1. Ancaman persaingan segmen yang ketat: Segmen tertentu menjadi tidak
menarik jika ia telah memiliki pesaing yang banyak, kuat, atau agresif. Ia
bahkan menajdi lebih tidak menarik jika segmen tersebut stabil atau menurun,
penambahan kapasitas pabrik dilakukan secara besar-besaran, biaya tetap
tinggi, hambatan untuk keluar besar, atau pesaing memiliki kepentingan yang
besar untuk tinggal di dalam segmen tersebut. Kondisi itu akan menyebabkan
sering terjadinya perang harga, perang iklan, atau pengenalan produk baru,
sehingga akan menjadi sangat mahal bagi perusahaan untuk bersaing.
2. Ancaman pendatang baru: Daya tarik segmen berbeda-beda menurut
tingginya hambatan untuk masuk dan keluarnya. Segmen yang paling menarik
adalah segmen yang memiliki hambatan untuk masuk yang tinggi dan
hambatan untuk keluar yang rendah. Sedikit perusahaan baru yang dapat
memasuki industri, dan perusahaan yang berkinerja buruk dapat dengan
mudah keluar. Jika hambatan masuk dan hambatan untuk keluar tinggi,
potensi laba tinggi, namun perusahaan menghadapi risiko yang lebih besar
karena perusahaan yang berkinerja buruk tinggal dan berjuang keras di sana.
Jika hambatan untuk masuk dan keluar rendah, perusahaan dengan mudah
dapat masuk dan kelaur dari industri, serta tingkat pengembalian investasinya
stabil dan rendah. Kasus terburuk adalah jika hambatan untuk masuk rendah
dan hambatan untuk keluar tinggi: Di sini perusahaan-perusahaan akan masuk
dalam situasi yang menguntungkan namun sulit untuk keluar dari situasi yang
buruk. Akibatnya adalah terjadi kelebihan kapasitas yang kronis dan
penurunan harga dan penghasilan bagi semua pihak.
73
Ada enam sumber utama hambatan masuk:
ƒ
Skala Ekonomis
Skala ekonomis menghalangi masuknya pendatang baru ke suatu industri
karena memaksa pendatang baru ini untuk masuk dengan skala besar atau
harus memikul biaya tinggi (cost disadvantage).
ƒ
Diferensiasi Produk
Identifikasi merek menimbulkan hambatan karena memaksa pendatang
baru untuk mengeluarkan biaya besar guna merebut kesetiaan pelanggan.
ƒ
Kebutuhan Modal
Keharusan menanamkan sumber daya keuangan yang besar agar dapat
bersaing menimbulkan hambatan masuk, khususnya modal dibutuhkan
bukan hanya untuk fasilitas tetap, melainkan juga untuk kredit pelanggan,
sediaan, dan penutup kerugian awal.
ƒ
Hambatan Biaya Bukan Karena Skala
Perusahaan-perusahaan yang sudah ada mungkin memiliki keunggulan
biaya yang tidak dimiliki calon pendatang baru, terlepas dari ukuran dan
skala ekonomis yang dapat mereka capai. Adakalanya keunggulan biaya
diperoleh dari jalan hukum, seperti melalui hak paten.
ƒ
Akses Ke Saluran Distribusi
Pendatang baru, tentu saja harus mengamankan distribusi produk atau
jasa mereka. Makin terbatas saluran pedagang besar dan pengecer yang
ada dan makin erat ikatan perusahaan yang sudah ada dengan saluran ini,
jelas makin sukar usaha masuk ke dalam suatu industri.
74
ƒ
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah dapat membatasi atau bahkan melarang masuknya pendatang
baru ke dalam industri, melalui tindakan-tindakan seperti keharusan
adanya ijin dan pembatasan akses ke bahan baku.
3. Ancaman produk substitusi: Segmen tertentu menjadi tidak menarik jika
terdapat substitusi produk yang aktual atau potensial. Substitusi membatasi
harga dan laba. Perusahaan harus memantau secara dekat tren harga produk
substitusi. Jika kemajuan teknologi atau persaingan meningkat di industri
substitusi tersebut, harga dan laba dalam segmen tersebut cenderung kan
menurun.
4. Ancaman peningkatan kekuatan posisi tawar pembeli: Segmen tertentu
menjadi tidak menarik jika pembeli memiliki kekuatan posisi tawar (bargaining
power) yang kuat atau semakin meningkat. Kekuatan posisi tawar para
pembeli
berkembang
jika
mereka
menjadi
lebih
terkonsentrasi
atau
terorganisasi, produk tersebut merupakan bagian yang signifikan dari biaya
pembeli, produk tersebut tidak terdiferensiasi, biaya perpindahan ke pemasok/
produk lain rendah, pembeli peka terhadap harga karena laba yang rendah,
atau pembeli dapat melakukan integrasi ke hulu. Untuk melindungi diri
mereka, para penjual dapat memilih pembeli yang memiliki kekuatan posisi
tawar yang paling rendah atau yang sulit mengganti pemasok. Pertahanan
yang lebih baik adalah mengembangkan tawaran unggul yang tidak dapat
ditolak oleh para pembeli yang kuat.
5. Ancaman peningkatan kekuatan posisi tawar pemasok: Segmen tertentu
menjadi tidak menarik jika para pemasok perusahaan mampu menaikkan
harga atau mengurangi kuantitas yang mereka pasok. Para pemasok
75
cenderung menjadi kuat jika mereka terkonsentrasi atau terorganisasi,
terdapat sedikit substitusi, produk yang dipasok merupakan input yang
penting, biaya berpindah pemasok tinggi, dan pemasok dapat melakukan
integrasi ke hilir. Pertahanan terbaik adalah membangun hubungan menangmenang dengan para pemasok atau memakai berbagai sumber pasokan.
Kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi persaingan industri menurut Michael E. Porter:
Pendatang baru
potensial
(Ancaman
mobilitas)
Pemasok
(kekuatan
pemasok)
Pesaing-pesaing
industri
(rival segmen)
Pembeli
(Kekuatan
pembeli)
Pengganti/
substitusi
(Ancaman
substitusi)
Gambar 2.16 Lima Kekuatan yang Menentukan Daya Tarik Sruktural Segmen
Sumber: Kotler (2005, p266)
76
2.11 Kerangka Pemikiran
Kini di Indonesia sektor jasa telah mengalami perkembangan yang cukup pesat,
mengakibatkan persaingan menjadi semakin ketat. Persaingan tidak hanya dari produk
dan layanan yang ditawarkan, tetapi juga dari segi merek. RAMAYANA menyadari
pentingnya kekuatan merek sebagai salah satu alat untuk mencapai keunggulan
kompetitif di pasar.
Sebuah merek merupakan hal yang penting untuk mempermudah konsumen
mengidentifikasikan produk atau jasa. Di samping itu, merek bisa membuat pembeli
yakin akan kualitas barang yang sama jika mereka membeli ulang. Merek merupakan
nama, simbol, ataupun desain khusus yang dirancang untuk mengidentifikasi barang
atau jasa sebuah perusahaan dari produk pesaing, sehingga merek merupakan aset
penting bagi perusahaan.
Merek yang kuat berarti memiliki ekuitas merek yang tinggi. Ekuitas merek (brand
equity) menurut Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak (2004, pp1-2) adalah seperangkat aset
dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol mampu menambah
atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa kepada perusahaan
maupun pada pelanggan. Ekuitas merek terdiri dari 4 elemen, yaitu: kesadaran merek,
asosiasi merek, persepsi kualitas, dan loyalitas merek. Empat elemen ini memiliki
implikasi terhadap perilaku konsumen dalam membeli produk atau jasa. Oleh karena itu,
peneliti akan menganalisa terlebih dahulu mengenai keempat elemen ekuitas merek
tersebut, kemudian menilai sikap dan perilaku konsumen. Setelah itu, peneliti akan
mendeskripsikan implikasi ekuitas merek terhadap perilaku konsumen.
77
Perusahaan jasa
Perusahaan pengecer (Retailer)
Department Store
RAMAYANA
Strategi Pemasaran
Bauran Pemasaran Jasa
Product
Price
Merek
Kesadaran Merek
Place
Promotion
People
Physical
evidence
Process
Ekuitas merek
Asosiasi Merek
Persepsi Kualitas
Loyalitas Merek
Perilaku Konsumen
Nilai Sikap dan Perilaku Konsumen
Keyakinan
Membeli
Evaluasi
Atribut
Keyakinan
Normatif
Gambar 2.17 Kerangka Pemikiran
Motivasi
78
2.12 Hipotesis
Hipotesis uji dalam penelitian ini adalah untuk analisis Brand Associations. Berikut
hipotesis uji yang digunakan.
Ho: kemungkinan jawaban Ya sama untuk tiap asosiasi.
Ha: kemungkinan jawaban Ya berbeda untuk tiap asosiasi.
Uji hipotesis ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada keseragaman persepsi
dari setiap responden mengenai atribut-atribut yang melekat pada merek Ramayana.
Download