Analisis Keterkaitan Kredit Dan Konsumsi Rumah

advertisement
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Masalah Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua provinsi
di Indonesia. Provinsi yang miskin menghadapi masalah klasik, yaitu
pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Kemiskinan setidaknya dapat dilihat
dari dua sisi yaitu : Pertama, kemiskinan absolut, dimana dengan pendekatan ini
diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan tertentu.
Kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan daerah yang diterima oleh
masing-masing golongan pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif
berkaitan dengan masalah distribusi pendapatan (Kuncoro 2006).
2.1.1 Indikator Kemiskinan
Pengertian kemiskinan yang perlu diketahui dan dipahami adalah sebagai
berikut: 1) Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya
dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari,
2) Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila:
a) Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, b) Seluruh anggota
keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, c) Seluruh anggota keluarga tidak
memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian,
d) Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah, e) Tidak mampu membawa
anggota keluarga ke sarana kesehatan, 3) Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah
keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00
per hari (Kuncoro 2006).
Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang
mencakup banyak segi, dan ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan
yang nantinya menjadi ketimpangan antar sektor, wilayah dan kelompok atau
golongan masyarakat (sosial). Keadaan kemiskinan pada umumnya diukur dengan
tingkat pendapatan. Kondisi kemiskian dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat
pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan kondisi
keterisolasian, motivasi dan kesadaran untuk lepas dari kungkungan kemiskinan
yang menghimpit.
Untuk mengidentifikasi kemiskinan selama ini yang sering digunakan
adalah garis kemiskinan (poverty line), yaitu suatu tolok ukur yang menunjukkan
ketidakmampuan penduduk melampaui ukuran garis kemiskinan atau suatu
ukuran yang didasarkan pada kebutuhan atau pengeluaran konsumsi minimum,
misalnya konsumsi pangan dan konsumsi nonpangan (kebutuhan perumahan,
pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang lain, dan jasa).
Kuncoro (2006), menyatakan bahwa garis kemiskinan lain yang paling
dikenal adalah garis kemiskinan Sajogyo, yang dalam studinya menggunakan
suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga dasar beras. Sajogyo
mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita
setahun yang sama dengan beras. Namun demikian, pendekatan Sajogyo memiliki
kelemahan mendasar, yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan tingkat biaya
riil. Dengan menerapkan garis kemiskinan ini ke dalam data Susenas (Survei
Sosial Ekonomi Nasional) dari tahun 1976 sampai dengan 1987, akan diperoleh
persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Oleh karena itu, Esmara menetapkan suatu garis kemiskinan dipandang
dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial. Karena
ukuran Esmara mampu menangkap dampak inflasi maupun dampak penghasilan
riil yang meningkat terhadap kualitas barang-barang esensial yang dikonsumsi
(Kuncoro 2006).
Beberapa penetapan tolok ukur kemiskinan (Rustiadi, et al. 2006) sebagai
berikut: a) Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good-service Ratio, GSR),
yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar
persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk konsumsi jasa,
b) Persentase atau rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan,
yang bertolok berdasarkan semakin rendah persentase pengeluaran untuk
makanan
terhadap
total
pendapatan
seseorang,
semakin
tinggi
tingkat
kesejahterannya, c) Pendapatan setara harga beras, hal ini didasarkan pada
kebutuhan kalori sebesar 120 kkal/kapita/tahun, ditentukan ambang batas
kemiskinan di wilayah masing-masing jika pendapatannya kurang dari 240
kkal/kapita/tahun, d) Kebutuhan pokok, pengukuran kesejahteraan berdasarkan
kebutuhan sembilan bahan pokok.
2.1.2 Penyebab Kemiskinan
Ada banyak penyebab kemiskinan. Pertama, secara mikro, kemiskinan
muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang
menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya
memiliki sumberdaya yang dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua,
kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia.
Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang
pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini
karena pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau
karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam
modal.
Kekayaan alam kurang dikembangkan (1)
Kekayaan alam kurang dikembangkan (1)
Masyarakat masih terbelakang (2)
Masyarakat masih terbelakang (2)
Kekurangan
modal (3)
(3)
Kekurangan modal
Pembentukan modal rendah (8)
Rangsangan investasi rendah (7)
Tabungan rendah (6)
Produktivitas rendah (4)
Pendapatan Rill rendah (5)
Gambar 1 Lingkaran perangkap kemiskinan.
Ketiga penyebab kemiskinan bermuara pada akibat adanya berbagai
dualisme sosial ekonomi, yaitu lingkaran perangkap kemiskinan masyarakat
tradisional (Rustiadi, et al. 2006). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan
pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya
produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima.
Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi.
Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan. Lingkaran perangkap
kemiskinan ini diformulasikan oleh Geertz sebagai Agriculture Involution yang
sebelumnya diungkapkan oleh Nurkse (1953), diacu dalam Rustiadi, et al. (2006)
sebagai “The Vicious Circles”. Skematik lingkaran perangkap kemiskinan dapat
dilihat pada Gambar 1.
2.2 Disparitas Antar Wilayah
Disparitas pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata.
Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi
makro cenderung akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar
wilayah yang cukup besar. Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena
keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar
wilayah dan mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara
menyeluruh. Dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, kemiskinan
disuatu tempat akan sangat berbahaya bagi wilayah lainnya (Rustiadi, et al. 2006).
Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas
antar wilayah. Faktor-faktor ini antara lain adalah: 1) Geografi, 2) Sejarah,
3) Politik, 4) Kebijakan pemerintah, 5) Administrasi, 6) Sosial budaya, dan
7) Ekonomi. Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas
adalah: 1) Faktor ekonomi yang terkait dengan perbedaan kuantitas dan kualitas
dari faktor produksi yang dimiliki, 2) Faktor ekonomi yang terkait dengan
akumulasi dari berbagai faktor yang salah satunya adalah lingkaran setan
kemiskinan, 3) Faktor ekonomi yang terkait dengan pasar bebas dan pengaruhnya
terhadap spread effect dan backwash effect, serta 4) Faktor ekonomi yang
berkaitan dengan distorsi pasar.
Untuk membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi terjadinya
disparitas antar wilayah, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan antara
lain (Rustiadi, et al. 2006):
1.
Mendorong pemerataan investasi, investasi harus terjadi pada semua sektor
dan wilayah secara simultan sehingga infrastruktur bisa berkembang.
2.
Mendorong pemerataan permintaan (demand).
3.
Mendorong pemerataan tabungan, tabungan sangat diperlukan untuk bisa
memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah meningkat
maka potensi investasi juga akan meningkat.
Faktor sosial ekonomi dapat memiliki efek positif atau negatif yang
berantai terhadap disparitas antar wilayah. Faktor sosial seperti tingkat pendidikan
dan kesehatan masyarakat yang rendah, selanjutnya akan menyebabkan tingkat
produksi yang rendah, akibatnya pendapatan yang menentukan tingkat
kesejahteraan masyarakatpun juga rendah dan ini akan menjadi lingkaran setan
yang membuat suatu wilayah makin terbelakang.
2.3 Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah akan berimplikasi luas
dalam sistem peningkatan aktivitas perekonomian daerah, pemerintah daerah akan
memiliki kewenangan yang lebih besar dalam merencanakan arah pembangunan
di daerahnya. Disisi lain pemerintah daerah akan semakin dituntut lebih mandiri
dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan di daerahnya masing-masing.
Penyelenggaraan desentralisasi erat kaitannya dengan pola pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini karena penyelenggaraan desentralisasi
terdapat dua elemen penting yang salah satu elemennya sangat terkait dengan
pembagian kekuasaan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan
kekuasaan secara hukum untuk mengatur dan mengurus bidang-bidang
pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum
(Kunarjo 2002).
Pembangunan pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari pelayanan
yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat umum. Ini berarti pembangunan merupakan impelementasi dari tugas
pelayanan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam melaksanakan kegiatan
pembangunan, pertimbangan atas upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat luas
harus menjadi perhatian utama. Oleh karena itu untuk melihat/mengukur berhasil
tidaknya suatu proses pembangunan adalah sampai sejauh mana atau seberapa
besar tingkat kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilihat dari bagaimana masyarakat
dapat menikmati hasil-hasil pembangunan dengan mudah, seperti listrik, air
bersih, BBM, sarana prasarana penghubung/transportasi, dan sebagainya.
Pemenuhan kebutuhan tersebut akan mengarah pada tingkat kepuasan masyarakat,
yang dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang diberikan
pemerintah. Untuk mencapai hal itu, konsep pembangunan sejak dari perencanaan
harus diarahkan pada perwujudan pada pusat-pusat pelayanan secara adil dan
merata (Riyadi dan Bratakusumah 2005).
Banyak masalah-masalah yang dihadapi negara sedang berkembang yaitu
masalah rendahnya pendapatan, tingkat pengangguran yang tinggi, distribusi
pendapatan yang tidak merata dan tingkat kesehatan, gizi, pendidikan yang relatif
rendah. Kesulitan perhitungan pendapatan nasional, penentuan tingkat pendapatan
sebagai batas antara maju dan belum maju adalah tidak tepat. Tetapi pendapatan
per kapita tetap dipakai sebagai indeks perkembangan karena memiliki beberapa
alasan sebagai berikut: 1) Pendapatan per kapita merupakan indeks tunggal yang
dipunyai, 2) Memang tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan
pendapatan dan mengurangi kemiskinan, 3) Pendapatan per kapita merupakan
petunjuk yang cukup baik bagi struktur ekonomi dan sosial masyarakat (Irawan
dan Suparmoko 2002).
Rustiadi, et al. (2006) menyatakan pengembangan wilayah dapat dianggap
sebagai suatu intervensi positif terhadap suatu wilayah. Terdapat teori
pengembangan wilayah, yaitu demand side strategy dan supply side strategy.
1.
Strategi Demand Side
Strategi ”Demand Side” adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang
diupayakan melalui peningkatan barang dan jasa dari masyarakat setempat
melalui kegiatan produksi total. Tujuannya adalah meningkatkan taraf hidup
penduduk. Peningkatan taraf hidup diharapkan akan meningkatkan permintaan
terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut
akan meningkatkan perkembangan industri dan jasa yang lebih mendorong
perkembangan wilayah tersebut.
2.
Strategi Supply Side
Strategi ” Supply Side” adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang
terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan produksi. Dengan
adanya peningkatan penawaran diharapkan dapat meningkatkan pendapatan lokal.
2.4 Kredit
2.4.1 Pengertian Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti
kepercayaan (truth atau faith). Kredit dalam arti ekonomi adalah penundaan
pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang,
uang maupun jasa. Suyatno, et al. (1999) menyatakan bahwa kredit adalah hak
untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada
waktu yang diminta, atau pada waktu yang akan datang, karena penyerahan
barang-barang sekarang.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok-Pokok
Perbankan mendefinisikan kredit sebagai berikut:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan”.
Menurut Suyatno, et al. (1999), unsur-unsur yang terdapat dalam kredit
sebagai berikut: 1) Kepercayaan, yaitu dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang,
2) Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan
kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang, 3) Degree of risk,
yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka
waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang
akan diterima kemudian hari, 4) Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan
dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa.
Menurut Muljono (1996), terdapat unsur-unsur kredit antara lain :
1.
Waktu, yang menyatakan bahwa ada jarak antara saat persetujuan
pemberian kredit dan pelunasannya.
2.
Kepercayaan, yang mendasari pemberian kredit oleh pihak kreditur kepada
debitur, bahwa setelah jangka waktu tertentu debitur akan mengembalikan
sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak.
3.
Penyerahan, yang menyatakan bahwa pihak debitur menyerahkan nilai
ekonomi kepada debitur yang harus dikembalikan setelah jatuh tempo.
4.
Risiko, yang menyatakan adanya risiko yang mungkin timbul sepanjang
jarak antara saat memberikan dan pelunasannya.
5.
Persetujuan dan perjanjian, yang menyatakan bahwa antara kreditur dan
debitur terdapat suatu persetujuan dan dibuktikan dengan suatu perjanjian.
Jenis-Jenis Kredit Perbankan Untuk Masyarakat (Suyatno, et al. 1999)
sebagai berikut :
1.
Kredit Dilihat dari Sudut Tujuannya
• Kredit konsumtif, yaitu kredit yang digunakan untuk membiayai
pembelian barang-barang dan jasa-jasa yang dapat memberikan
kepuasan langsung kepada konsumen. Jenis kredit ini digunakan untuk
membiayai hal-hal yang bersifat konsumtif seperti kredit perumahan,
kredit kendaraan, serta kredit untuk membeli makanan dan pakaian.
Secara tidak langsung kredit konsumtif akan memberikan efek
produktif dengan cara meningkatkan produksi dari barang dan jasa
yang telah dibeli olen peminjam.
• Kredit produktif, yaitu kredit yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang
produktif. Kredit ini dipakai untuk membeli barang-barang modal yang
bersifat tetap maupun untuk membiayai kegiatan pengadaan barang
yang habis dalam sekali produksi.
2.
Kredit Dilihat dari Sudut Jangka Waktunya
•
Kredit jangka pendek (short term loan), yaitu kredit yang berjangka
waktu maksimum 1 tahun. Yang dapat berbentuk kredit rekening
koran, kredit penjualan, kredit pembeli, kredit wesel, kredit eksploitasi.
•
Kredit jangka menengah (medium term loan), yaitu kredit yang
berjangka waktu antara 1 sampai 3 tahun.
•
Kredit jangka panjang (long term loan), yaitu kredit yang berjangka
waktu lebih dari 3 tahun.
3.
Kredit Dilihat dari Sudut Jaminannya
ƒ
Kredit tanpa jaminan
ƒ
Kredit dengan jaminan
4.
Kredit Dilihat dari Sudut Penggunaannya
ƒ
Kredit ekploitasi, yaitu kredit berjangka waktu pendek yang diberikan
oleh suatu bank kepada perusahan untuk membiayai kebutuhan modal
kerja perusahaan sehingga lancar.
ƒ
Kredit investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang
diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk melakukan
investasi atau penanaman modal.
2.4.2 Peranan Kredit
Fungsi Kredit dalam Perekonomian dan Perdagangan (Suyatno, et al.
1999) sebagai berikut:
a.
Kredit pada hakikatnya dapat meningkatkan daya guna uang, 1) Para
pemilik uang/modal dapat secara langsung meminjamkan uangnya kepada
para pengusaha yang memerlukan, untuk meningkatkan produksi atau
usahanya, 2) Para pemilik uang/modal dapat menyimpan uangnya pada
lembaga-lembaga keuangan.
b.
Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, kredit uang
yang disalurkan melalui rekening giro dapat menciptakan pembayaran baru
seperti cek, giro, bilyet dan wesel sehingga dapat meningkatkan peredaran
uang giral. Kredit yang ditarik secara tunai dapat pula meningkatkan
peredaran uang kartal, sehingga arus lalu lintas uang akan berkembang.
c.
Kredit dapat meningkatkan daya guna dan peredaran barang, dengan
mendapat kredit, para pengusaha dapat memproes bahan baku menjadi
barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat.
d.
Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi, kebijaksanaan diarahkan
kepada
usaha:
1)
Pengendalian
inflasi,
2)
Peningkatan
ekspor,
3) Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.
e.
Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha, bantuan kredit yang
diberikan oleh bank akan dapat mengatasi kekurangmampuan para
pengusaha di bidang permodalan, sehingga para pengusaha akan dapat
meningkatkan usahanya.
f.
Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan, bantuan kredit dapat
memperluas usaha pengusaha dan dapat mendirikan proyek-proyek baru,
sehingga dapat terserapnya tenaga kerja yang akhirnya terjadi pemerataan
pendapatan.
g.
Kredit sebagai alat untuk meningkatkan hubungan internasional, bankbank besar di luar negeri yang mempunyai jaringan usaha dapat
memberikan bantuan dalam bentuk kredit, baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Bantuan
dalam bentuk kredit dapat mempererat hubungan ekonomi antarnegara yang
bersangkutan tetapi juga meningkatkan hubungan internasional.
Muljono (1996), menyatakan fungsi pokok kredit pada dasarnya ialah
pemenuhan untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan
memperlancar perdagangan, mendorong dan melancarkan produksi, jasa-jasa dan
bahkan konsumsi yang semuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk menaikkan
taraf hidup manusia.
2.4.3 Aspek Sosial Ekonomi dalam Analisis Kredit
Bahsan (2003), menyatakan bahwa suatu usaha (kegiatan) antara lain yang
dilakukan di bidang perekonomian, akan mempunyai suatu pengaruh terhadap
kegiatan lainnya. Dalam hal ini dapat diperhatikan terjadinya keterkaitan atau
dampak yang disebut sebagai aspek sosio ekonomi dari suatu usaha (kegiatan).
Pengaruh suatu usaha dalam analisis kredit berdampak pada:
1.
Adanya Nilai Tambah Terhadap Produk yang Dihasilkan
Pendirian suatu usaha (kegiatan) diharapkan dapat memberikan nilai
tambah terhadap jumlah produk nasional dan regional, yaitu berupa
penambahan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan. Barang yang
dihasilkan oleh usaha dapat berupa barang mentah, barang setengah jadi
ataupun barang jadi. Terdapatnya usaha (kegiatan) baru yang melakukan
pengolahan lebih lanjut dari suatu produk yang berupa barang mentah
menjadi barang jadi ataupun barang setengah jadi akan lebih meningkatkan
jumlah produk yang dihasilkan secara keseluruhan.
2.
Penggunaan Sumber Dalam Negeri
Suatu usaha (kegiatan) yang baru didirikan dapat dipastikan memerlukan
berbagai kebutuhan. Sebagian diantara kebutuhan itu dapat dipenuhi dari
dalam negeri terutama dari daerah setempat, misalnya berupa tenaga kerja,
barang mentah atau barang setengah jadi, peralatan, dan lain-lain.
Penggunaan tenaga keja dari daerah setempat akan memberikan pengaruh
positif terhadap: a) Pengurangan pengangguran karena adanya lapangan
kerja baru, b) Penambahan penghasilan terhadap penduduk yang
dipekerjakan, c) Peningkatan ketrampilan dan keahlian penduduk yang
dipekerjakan, d) Pengurangan masalah tindak kejahatan yang mengganggu
keamanan masyarakat, e) Peningkatan harga diri dari penduduk yang
dipekerjakan, f) Pengurangan urbanisasi, dan lain-lain.
Sementara itu suatu usaha yang menggunakan bahan baku yang dihasilkan
oleh produsen-produsen di dalam negeri akan sangat mendorong
peningkatan produksi barang mentah dan barang setengah jadi yang sudah
ada. Terjadinya pengolahan barang mentah dan barang setengah jadi oleh
pihak lain sehingga menghasilkan barang baru sebagai barang jadi akan
memberikan banyak pengaruh positif.
3.
Pengaruh Terhadap Timbulnya Usaha (Kegiatan) Lain
Suatu usaha (kegiatan) yang baru dibuka sering mendorong pembukaan
usaha lain. Usaha lain tersebut dapat mempunyai keterkaitan langsung atau
tidak langsung dengan usaha yang didirikan. Keterkaitan langsung berupa
timbulnya usaha lain sebagai pemasok bahan baku, sedangkan keterkaitan
tidak langsung berupa usaha penyewaan tempat tinggal, rumah makan, dll.
Juga terdapat keterkaitan antara industri seperti keterkaitan industri hulu
dengan industri hilir.
4.
Pengaruh Terhadap Perekonomian Regional
Lokasi pendirian usaha mempunyai dampak terhadap pembangunan di
sekitarnya, terutama bila didirikan di luar daerah yang berpenduduk padat.
Mengingat beberapa kota besar terutama yang terletak di Pulau Jawa secara
umum sudah sangat berkembang perekonomiannya, maka pendirian usaha
baru
di
daerah
lainnya
akan
sangat
mendukung
perkembangan
perekonomian di daerah tempat berdirinya usaha.
5.
Pengaruh Terhadap Penerimaan Pemerintah
Salah satu penerimaan Pemerintah berasal dari pungutan pajak. Sejauh
mana dari suatu usaha yang baru didirikan dapat memberikan sumbangan
bagi penerimaan Pemerintah melalui pembayaran berbagai pungutan pajak
yang terkait. Pembayaran pajak diperlukan dalam rangka membantu
penerimaan pendapatan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
6.
Keterkaitan Beban Biaya Investasi dengan Kerugian Masyarakat
Suatu usaha dapat disimpulkan akan merugikan masyarakat dengan
memperhatikan beban biaya investasi yang harus ditanggung Pemerintah.
Keputusan untuk melaksanakan suatu investasi di bidang publik merupakan
wewenang penuh dari Pemerintah meskipun terdapat kemungkinan
kerugian bagi masyarakat.
7.
Dampak Terhadap Fasilitas Sosial
Berdirinya
usaha
dapat
memberikan
pengaruh
positif
terhadap
kesejahteraan masyarakat disekitarnya antara lain adanya pembukaan rumah
sakit, sekolah, pasar. Fasilitas sosial tersebut akan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat
guna
meningkatkan
kesehatan,
pendidikan,
pelayanan
kebutuhan sehari-hari.
2.5 Permintaan Turunan (Derived Demand) dan Penawaran kredit
Permintaan terhadap suatu produk dapat berupa permintaan primer
(primary demand) dan atau permintaan turunan (derived demand). Derived
demand digunakan untuk menunjukkan daftar permintaan bagi input yang dipakai
dalam menghasilkan produk akhir. Derived demand juga menyangkut sistem
pemasaran secara keseluruhan ataupun fungsi permintaan ditingkat petani. Kurva
derived demand dapat berubah salah satunya karena pergeseran kurva primary
demand (Tomek dan Robinson 1972).
Harga
Pr
Pf
Primary demand
Derived demand
Jumlah per unit waktu
Sumber: Tomek dan Robinson 1972
Gambar 2 Kurva primary demand dan derived demand.
Derived demand merupakan demand untuk sebuah input yang tergantung
pada, dan berasal dari tingkat output dari perusahaan dan harga input (Pindyck
dan Rubinfeld 2005). Dalam menghasilkan produk atau output hasil pertanian
diperlukan input antara (faktor produksi) yang terdiri dari faktor produksi yang
tetap dan tidak tetap (variabel). Bila sektor pertanian ingin meningkatkan
produksi, salah satunya adalah dengan meningkatkan penggunaan input. Kredit
yang diperoleh petani dapat digunakan sebagai penambah modal untuk membiayai
input produksi sehingga petani dapat meningkatkan produknya pada tingkat yang
lebih tinggi. Input yang dibiayai dengan
kredit juga akan memiliki biaya
tambahan sebesar bunga kredit dan biaya transaksi lainnya.
Suku
bunga
kredit
S1
D1
r2
r1
B
A
r3
S2
C
Keterangan:
S1 : Kurva penawaran
kredit pertama
S2 : Kurva Penawaran
kredit kedua
D1 : Kurva permintaan
kredit pertama
D2 : Kurva permintaan
kredit kedua
D2
Q1 Q2
Q3
Jumlah
Sumber: Stevens dan Jabara 1988
Gambar 3 Pengaruh elastisitas permintaan kredit dan elastisitas penawaran kredit
terhadap suku bunga.
Bunga pinjaman (kredit) ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran kredit. Stevens dan Jabara (1988) menyatakan bunga pinjaman yang
tinggi di pedesaan disebabkan oleh permintaan dan penawaran kredit yang tidak
elastis (inelastis) seperti terlihat pada Gambar 3.
Lebih lanjut Stevens dan Jabara (1988) menyatakan bunga pinjaman dapat
menjadi lebih rendah dengan cara mengeser kurva penawaran dengan (supply)
kredit yang lebih elastis ke kanan. Pergeseran kurva penawaran ini ke kanan dapat
ditempuh dengan cara: 1) Memperluas sumber-sumber kredit di pedesaan.
Semakin banyak sumber kredit maka kurva penawaran kredit akan bergeser ke
kanan, yang berarti pada tingkat bunga pinjaman yang sama besar maka jumlah
kredit yang tersedia akan lebih besar, 2) Memperbanyak jenis-jenis pelayanan
yang sudah ada. Semakin banyak jenis pelayanan yang dapat diberikan bank
(tabungan, deposito, kredit, pengiriman uang) maka semakin besar nasabah yang
dapat dilayani bank, yang berarti juga akan menggeser kurva penawaran bank ke
kanan, 3) Perubahan teknologi dari kelembagaan kredit. Perubahan teknologi akan
membuat produktivitas masukan meningkat, sehingga biaya marginal semakin
rendah. Perubahan teknologi akan membuat kurva penawaran bergeser ke kanan
dan kurva ini mempunyai elastisitas lebih besar dibandingkan dengan kurva
penawaran semula.
Dalam dunia perbankan terdapat istilah Credit Crunch, yang didefinisikan
sebagai suatu situasi dimana terjadi penurunan supply kredit perbankan secara
tajam sebagai akibat dari menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit
kepada dunia usaha (Agung, et al. 2001). Dalam kondisi yang ekstrim terjadi
dalam bentuk credit rationing, yaitu bank menolak dalam memberikan kredit
terhadap nasabah tertentu atau sebagian besar nasabah pada tingkat suku bunga
manapun.
Dengan adanya credit crunch, fungsi intermediasi perbankan akan
terganggu. Perbankan yang seharusnya menjadi perantara antara sektor moneter
dengan sektor riil menjadi tidak mampu lagi menggerakkan perkembangan dunia
usaha melalui kredit yang mereka salurkan. Dengan terhambatnya penyaluran
kredit oleh perbankan pada dunia usaha, maka dunia usaha akan mengalami
kelesuan. Investasi dan aktivitas ekonomi lainnya akan mengalami stagnasi
bahkan kemunduran sehingga pendapatan nasional (output) pada akhirnya akan
mengalami penurunan. Adapun penurunan kredit yang disalurkan perbankan
tersebut bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi demand maupun
supply.
Penurunan kredit akibat faktor-faktor permintaan (demand) merupakan
sesuatu yang wajar terjadi ketika perekonomian suatu bangsa mengalami kelesuan
(resesi). Dari sisi mikro perusahaan, masalah struktural seperti penyesuaian untuk
mengurangi debt-equity ratio yang meningkat akibat krisis merupakan penyebab
turunnya permintaan kredit. Adanya ketidakpastian (uncertainty) dan iklim
berusaha (business confidence) yang rendah juga merupakan penyebab rendahnya
keinginan untuk melakukan investasi sehingga permintaan kredit juga mengalami
penurunan, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4.
Suku Bunga
Kredit
S
Keterangan:
S : Kurva penawaran kredit
D0 : Kurva permintaan kredit
mula-mula
D1 : Kurva permintaan kredit
bergeser ke kiri
E0
r0
r1
E1
D1
L1 L0
D0
Kuantitas Kredit
Sumber: Agung, et al. 2001
Gambar 4 Penurunan kredit akibat menurunnya permintaan.
Penurunan kredit dari sisi penawaran disebabkan oleh turunnya kemauan
bank untuk memberikan pinjaman pada tingkat suku bunga yang berlaku. Faktorfaktor yang dapat menyebabkan menurunnya keinginan perbankan untuk
memberikan kredit dapat bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal
(Agung, et al. 2001). Faktor internal berupa rendahnya kualitas aset perbankan,
tingginya non-performing loans (NPLs) dan anjloknya modal perbankan akibat
depresiasi dan negative interest margin menurunkan kemampuan bank untuk
memberikan kredit. Faktor eksternal berupa menurunnya tingkat kelayakan kredit
(creditworthiness) dari debitur akibat melemahnya kondisi keuangan perusahaan,
sehingga bank akan mengalami kesulitan untuk membedakan creditworthiness
dari debitur.
S1
Suku Bunga
Kredit
S0
E1
r1
E0
r0
Keterangan:
S0 : Kurva penawaran
kredit mula-mula
S1 : Kurva penawaran
kredit bergeser ke kiri
D : Kurva permintaan
kredit
D
L1
L0
Kuantitas
Kredit
Sumber: Agung, et al. 2001
Gambar 5 Penurunan kredit akibat menurunnya penawaran.
2.6 Kajian Pola Konsumsi
Konsumsi agregat merupakan salah satu komponen penentu tingkat
kegiatan ekonomi dari pengeluaran agregat yang mendorong kenaikan pendapatan
nasional/daerah. Tingkat konsumsi masyarakat terutama ditentukan oleh tingkat
pendapatan rumah tangga, dan besarnya permintaan konsumsi tersebut tergantung
pada kecenderungan untuk mengkonsumsi atau Marginal Propensity to Consume
(MPC) yang dirumuskan menjadi ∆C/∆Y dimana C = konsumsi, Y = pendapatan
agregat. Jurang antara pendapatan dan konsumsi dijembatani oleh investasi
dimana tingkat investasi yang dibutuhkan relatif sedikit atau menurun, maka
tingkat permintaan agregat akan menurun (Mankiw 2003). Hal tersebut
disebabkan turunnya investasi mengakibatkan kesempatan kerja berkurang
sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada akhirnya akan
menurunkan jumlah konsumsi barang didalam perekonomian. Jadi dapat
disimpulkan bahwa konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif.
Disamping pendapatan, faktor lain yang menentukan jumlah konsumsi adalah:
1) Jumlah kekayaan, 2) Tingkat suku bunga, 3) Kondisi perekonomian, dan
4) Distribusi pendapatan.
Menurut Tarigan (2002), untuk dapat menghitung pendapatan regional,
salah satu metode yang di pakai adalah metode langsung dengan pendekatan
pengeluaran, dimana pendekatan ini menjumlahkan nilai penggunaan akhir dari
barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Dari segi penggunaan maka total
penyediaan/produksi barang dan jasa itu digunakan untuk: 1) Konsumsi rumah
tangga, 2) Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung, 3) Konsumsi
pemerintah, 4) Pembentukan modal tetap bruto (investasi), 5) Perubahan stok, dan
6) Eksport.
Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menduga pendapatan
masyarakat adalah tingkat pengeluaran rumah tangga. Dari analisis data Susenas
dapat disimpulkan bahwa: 1) Perbedaan pengeluaran antara kota dan pedesaan
lebih besar perbedaan pengeluaran antar wilayah, 2) Secara umum ketimpangan
pengeluaran di kota lebih besar dari ketimpangan di desa, 3) Rumah tangga
pedesaan mengeluarkan 39,4 sampai 44,2 persen dari pendapatannya untuk
makanan pokok, sedangkan rumah tangga perkotaan hanya berkisar antara 22,8
sampai 33,9 persen (Hermanto dan Andriati 1985).
S1
Harga
barang
konsumsi
S2
D2
D1
P1
W1
P0
W2
P2
Q0
Jumlah barang
konsumen
Q1 Q2
Sumber: Hermanto dan Andriati 1985
Gambar 6 Perubahan permintaan barang konsumsi.
Keterangan Gambar :
S1
: kurva penawaran mula-mula
S2
: kurva penawaran bergeser ke kanan
D1
: kurva permintaan mula-mula
D2
: kurva permintaan bergeser ke kanan
W1
: kebijaksanaan yang menggeser kurva permintaan ke kanan
W2
: kebijaksanaan yang menggeser kurva penawaran ke kanan
Banyak
ragam
kebijaksanaan
yang
dilakukan
pemerintah
untuk
meningkatkan konsumsi masyarakat. Dari berbagai alternatif kebijaksanaan
tersebut dapat dibedakan kedalam tiga kategori kebijaksanaan. Yang pertama
adalah kelompok kebijaksanaan yang dapat menggeser kurva penawaran ke
kanan. Kedua adalah kelompok kebijaksanaan yang menggeser kurva permintaan
ke kanan. Dan ketiga, kelompok kebijaksanaan yang memberikan subsidi harga,
baik kepada konsumen maupun kepada produsen. Secara grafis kerangka
pemikiran dapat dilihat pada Gambar 6 (Hermanto dan Andriati 1985).
Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi bahan makanan menunjukkan
indikasi adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walaupun demikian ada
suatu indikator yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan
masyarakat semakin kecil proporsi pengeluaran yang dipergunakan untuk
pembelian bahan makanan pokok yaitu beras, tetapi proporsi pengeluaran yang
gunakan untuk pembelian bahan makanan sumber protein semakin meningkat.
Konsumsi bahan bakar mempunyai kedudukan penting setelah konsumsi
bahan makanan. Kebutuhan bahan bakar bensin dari pengeluaran bahan bakar
memberikan indikator tingginya mobilitas penduduk. Makin besar konsumsi
bensin yang dipakai untuk menjalankan kendaran bermotor perorangan, semakin
banyak pula jarak yang ditempuh per satuan waktu. Semakin jauh jarak yang
dapat ditempuh per satuan waktu, berarti makin tinggi mobilitas pengendara.
Begitu juga pola konsumsi untuk melengkapi kesejahteraannya, seperti kebutuhan
akan pakaian, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi/transportasi dan
estetika, dikenal dengan kelompok kebutuhan untuk non pangan dan energi. Halhal di atas mengindikasikan adanya pemenuhan kesejahteraan masyarakat
(Kuntjoro 1984).
2.7 Penelitian Terdahulu Mengenai Perkreditan
Pursito (2003), dalam kajian efektivitas dan faktor-faktor penyaluran
kredit dalam pembiayaan industri kecil menengah pangan oleh Bank Rakyat
Indonesia di Semarang, menyatakan bahwa pemberian kredit perbankan di Jawa
Tengah mengalami peningkatan walaupun kecil (0,7%). Hal ini menunjukan
bahwa dalam berbagai sektor usaha perekonomian yang ada masih membutuhkan
suntikan dana, walaupun di sisi lain banyak juga yang masih enggan untuk
mengambil kredit, karena suku bunga yang masih dianggap terlalu tinggi (1927%). Penyaluran kredit secara sektoral, perbankan Jawa Tengah pada triwulan I2002 masih cenderung menyalurkan kredit pada sektor ekonomi tertentu, yaitu
sektor perindustrian dan sektor perdagangan serta jasa (restoran dan hotel), yang
masing-masing mencapai pangsa sebesar 38,9 persen dan 24,5 persen dari total
kredit perbankan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari posisi Jawa Tengah sebagai
salah satu kawasan industri utama di Indonesia dan memberikan andil terhadap
pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Jika dilihat dari penggolongan kredit
menurut jenis penggunaannya adalah investasi sebesar 62,9 persen, modal sebesar
16 persen dan konsumsi sebesar 21,1 persen.
Sudarma (1991), dalam analisis permintaan kredit usahatani padi sawah di
Provinsi Bali, menyatakan bahwa besarnya pendapatan petani ditentukan oleh
besarnya penerimaan dan biaya yang diinvestasikan untuk kegiatan usahatani.
Dari model analisis diturunkan fungsi permintaan kredit dari fungsi keuntungan.
Besarnya elastisitas permintaan kredit oleh petani ditentukan oleh harga produksi
dan besarnya nilai masukan tetap, hal ini apabila petani tidak memaksimumkan
keuntungan. Jika petani memaksimumkan keuntungan maka besarnya elastisitas
permintaan kredit oleh petani ditentukan oleh faktor harga produksi dan besarnya
keuntungan yang diraih pada musim tanam sebelumnya.
Kalangi (1993) dalam peranan perkreditan dalam pembangunan pertanian
di Provinsi Sulawesi Utara, menyatakan bahwa situasi dan kondisi dengan adanya
Pakto 27 (Paket 27 Oktober 1988) mendorong perbankan untuk lebih
meningkatkan efisiensi dan efektivitas usahanya agar tetap hidup dan
berkembang, sehingga dikeluarkan peraturan tentang Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat, diharapkan sektor-sektor ataupun pelaku-pelaku ekonomi
yang belum tersentuh oleh perbankan merasakan keuntungan-keuntungan dari
kredit perbankan. Pada bulan April 1993, posisi kredit pada Bank Perkreditan
Rakyat sebesar 5,835 juta rupiah, dimana kredit untuk modal kerja 3,301 juta
rupiah, kredit konsumsi 2,132 juta rupiah dan yang paling kecil kredit investasi
402 juta rupiah. Sehingga sektor 36,5 persen yang disalurkan oleh Bank
Perkreditan Rakyat di Sulawesi Utara adalah kredit konsumsi. Sedangkan pada
waktu yang sama kredit konsumsi yang disalurkan oleh seluruh bank di Sulawesi
Utara sebesar 96,253 juta rupiah atau 12,7 persen dari kredit yang disalurkan.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa kredit yang disalurkan oleh Bank Perkreditan
Rakyat digunakan oleh masyarakat menengah ke bawah karena besarnya kredit
untuk konsumsi berarti masyarakat ini menggunakan kredit yang diperoleh untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya dahulu.
Suciani (1996), dalam peranan lembaga perkreditan terhadap peningkatan
usaha masyarakat pedesaan di Kabupaten Tabanan Bali, menyatakan bahwa
pendapatan nasabah sebelum dan setelah menerima kredit pada Bank Perkreditan
Rakyat menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata, walaupun pendapatan
nasabah Bank Perkreditan Rakyat mengalami peningkatan secara absolut. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar kredit yang diterima nasabah menggunakan
kredit untuk kredit konsumtif dan hanya sebagian kecil nasabah menggunakan
untuk hal produktif. Sehingga rata-rata peningkatan pendapatan secara absolut
kelihatan meningkat tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata,
dimana jenis penggunaan modal kerja berperan besar terhadap kredit perbankan di
Bali yaitu 59,7 persen, kredit investasi sebesar 28,6 persen dan kredit konsumsi
sebesar 11,7 persen.
Sariwulan (2000), dalam perkreditan perdesaan dan dampaknya terhadap
kesejahteraan masyarakat kecil, menyatakan bahwa salah satu indikator yang
digunakan untuk menilai keberhasilan suatu program kredit adalah perubahan
pendapatan, karena pada dasarnya program kredit selain berorientasi pada
peningkatan produktivitas atau optimalisasi penggunaan sumberdaya yang lain,
juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga, perbaikan
ekonomi masyarakat di pedesaan, meningkatkan taraf hidup rumah tangga,
meningkatkan pendidikan anak-anak, dan kesejahteraan lainnya.
Rachmina (1994), dalam analisis permintaan kredit pada industri kecil
(kasus Jawa Barat dan Jawa Timur), menyatakan dalam mengantisipasi
permasalahan dana, terutama di pedesaan, pemerintah Indonesia telah banyak
mengembangkan program dan kebijaksanaan tentang perkreditan. Kebijaksanaan
tersebut tidak hanya ditujukan untuk petani, melainkan juga pedagang, industri
rumah dan kecil, dan usaha kecil lainnya.
Sartiyah (2001), dalam dampak implementasi desentralisasi fiskal terhadap
pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara: Suatu
analisis simulasi, menyatakan turunnya investasi mengakibatkan kesempatan kerja
berkurang sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada
akhirnya akan menurunkan jumlah konsumsi barang di dalam peerkonomian.
Demikian sebaliknya konsumsi akan meningkat pada tingkat investasi yang
tinggi, karena kesempatan kerja akan meningkat dan menambah pendapatan
masyarakat. Sehingga dapat dikatakan konsumsi dan pendapatan mempunyai
hubungan yang positif.
Surbakti (2004), dalam sistem pengorganisasian kredit mikro dan
dampaknya
terhadap
kinerjanya,
menyatakan
pemberdayaan
masyarakat
dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan sosial budaya, dan
pemberdayaan pendidikan. Pemberdayaan ekonomi dengan upaya untuk
menumbuhkan mata pencaharian orang/keluarga miskin, sehingga mereka mampu
memperoleh penghasilan tetap dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri
dan keluarganya secara layak yang dilaksanakan melalui pemberian kredit mikro
kepada kelompok-kelompok usaha yang dibentuk.
Karina (2005), dalam faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit
bank umum terhadap usaha kecil di indonesia, menyatakan peran bank umum
dalam memberdayakan usaha kecil adalah dengan mendorong perbankan untuk
membiayai usaha mikro, kecil, dan menengah, yaitu dengan meningkatkan
kerjasama antara usaha kecil dan perbankan. Pada kenyataannya programprogram tersebut belum direalisasi secara sempurna karena perbankan masih
berhati-hati dalam penyaluran kredit kepada sektor riil. Hal ini dikarenakan
perbankan dituntut untuk meningkatkan sistem manajemen berbasis risiko,
dimana dari sisi aset kredit belum memberikan jaminan bagi perbankan, serta
perbankan masih berupaya mengoptimalkan pendapatannya dari sisi aset
nonkreditnya.
Download