II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masalah Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua provinsi di Indonesia. Provinsi yang miskin menghadapi masalah klasik, yaitu pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Kemiskinan setidaknya dapat dilihat dari dua sisi yaitu : Pertama, kemiskinan absolut, dimana dengan pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan daerah yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif berkaitan dengan masalah distribusi pendapatan (Kuncoro 2006). 2.1.1 Indikator Kemiskinan Pengertian kemiskinan yang perlu diketahui dan dipahami adalah sebagai berikut: 1) Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari, 2) Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila: a) Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, b) Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, c) Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, d) Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah, e) Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan, 3) Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari (Kuncoro 2006). Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang mencakup banyak segi, dan ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan yang nantinya menjadi ketimpangan antar sektor, wilayah dan kelompok atau golongan masyarakat (sosial). Keadaan kemiskinan pada umumnya diukur dengan tingkat pendapatan. Kondisi kemiskian dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan kondisi keterisolasian, motivasi dan kesadaran untuk lepas dari kungkungan kemiskinan yang menghimpit. Untuk mengidentifikasi kemiskinan selama ini yang sering digunakan adalah garis kemiskinan (poverty line), yaitu suatu tolok ukur yang menunjukkan ketidakmampuan penduduk melampaui ukuran garis kemiskinan atau suatu ukuran yang didasarkan pada kebutuhan atau pengeluaran konsumsi minimum, misalnya konsumsi pangan dan konsumsi nonpangan (kebutuhan perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang lain, dan jasa). Kuncoro (2006), menyatakan bahwa garis kemiskinan lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan Sajogyo, yang dalam studinya menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga dasar beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Namun demikian, pendekatan Sajogyo memiliki kelemahan mendasar, yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan tingkat biaya riil. Dengan menerapkan garis kemiskinan ini ke dalam data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) dari tahun 1976 sampai dengan 1987, akan diperoleh persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, Esmara menetapkan suatu garis kemiskinan dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial. Karena ukuran Esmara mampu menangkap dampak inflasi maupun dampak penghasilan riil yang meningkat terhadap kualitas barang-barang esensial yang dikonsumsi (Kuncoro 2006). Beberapa penetapan tolok ukur kemiskinan (Rustiadi, et al. 2006) sebagai berikut: a) Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good-service Ratio, GSR), yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk konsumsi jasa, b) Persentase atau rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan, yang bertolok berdasarkan semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahterannya, c) Pendapatan setara harga beras, hal ini didasarkan pada kebutuhan kalori sebesar 120 kkal/kapita/tahun, ditentukan ambang batas kemiskinan di wilayah masing-masing jika pendapatannya kurang dari 240 kkal/kapita/tahun, d) Kebutuhan pokok, pengukuran kesejahteraan berdasarkan kebutuhan sembilan bahan pokok. 2.1.2 Penyebab Kemiskinan Ada banyak penyebab kemiskinan. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya yang dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Kekayaan alam kurang dikembangkan (1) Kekayaan alam kurang dikembangkan (1) Masyarakat masih terbelakang (2) Masyarakat masih terbelakang (2) Kekurangan modal (3) (3) Kekurangan modal Pembentukan modal rendah (8) Rangsangan investasi rendah (7) Tabungan rendah (6) Produktivitas rendah (4) Pendapatan Rill rendah (5) Gambar 1 Lingkaran perangkap kemiskinan. Ketiga penyebab kemiskinan bermuara pada akibat adanya berbagai dualisme sosial ekonomi, yaitu lingkaran perangkap kemiskinan masyarakat tradisional (Rustiadi, et al. 2006). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan. Lingkaran perangkap kemiskinan ini diformulasikan oleh Geertz sebagai Agriculture Involution yang sebelumnya diungkapkan oleh Nurkse (1953), diacu dalam Rustiadi, et al. (2006) sebagai “The Vicious Circles”. Skematik lingkaran perangkap kemiskinan dapat dilihat pada Gambar 1. 2.2 Disparitas Antar Wilayah Disparitas pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro cenderung akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, kemiskinan disuatu tempat akan sangat berbahaya bagi wilayah lainnya (Rustiadi, et al. 2006). Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah. Faktor-faktor ini antara lain adalah: 1) Geografi, 2) Sejarah, 3) Politik, 4) Kebijakan pemerintah, 5) Administrasi, 6) Sosial budaya, dan 7) Ekonomi. Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas adalah: 1) Faktor ekonomi yang terkait dengan perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki, 2) Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor yang salah satunya adalah lingkaran setan kemiskinan, 3) Faktor ekonomi yang terkait dengan pasar bebas dan pengaruhnya terhadap spread effect dan backwash effect, serta 4) Faktor ekonomi yang berkaitan dengan distorsi pasar. Untuk membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi terjadinya disparitas antar wilayah, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain (Rustiadi, et al. 2006): 1. Mendorong pemerataan investasi, investasi harus terjadi pada semua sektor dan wilayah secara simultan sehingga infrastruktur bisa berkembang. 2. Mendorong pemerataan permintaan (demand). 3. Mendorong pemerataan tabungan, tabungan sangat diperlukan untuk bisa memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah meningkat maka potensi investasi juga akan meningkat. Faktor sosial ekonomi dapat memiliki efek positif atau negatif yang berantai terhadap disparitas antar wilayah. Faktor sosial seperti tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah, selanjutnya akan menyebabkan tingkat produksi yang rendah, akibatnya pendapatan yang menentukan tingkat kesejahteraan masyarakatpun juga rendah dan ini akan menjadi lingkaran setan yang membuat suatu wilayah makin terbelakang. 2.3 Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah akan berimplikasi luas dalam sistem peningkatan aktivitas perekonomian daerah, pemerintah daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar dalam merencanakan arah pembangunan di daerahnya. Disisi lain pemerintah daerah akan semakin dituntut lebih mandiri dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan di daerahnya masing-masing. Penyelenggaraan desentralisasi erat kaitannya dengan pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini karena penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen penting yang salah satu elemennya sangat terkait dengan pembagian kekuasaan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk mengatur dan mengurus bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum (Kunarjo 2002). Pembangunan pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Ini berarti pembangunan merupakan impelementasi dari tugas pelayanan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, pertimbangan atas upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat luas harus menjadi perhatian utama. Oleh karena itu untuk melihat/mengukur berhasil tidaknya suatu proses pembangunan adalah sampai sejauh mana atau seberapa besar tingkat kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilihat dari bagaimana masyarakat dapat menikmati hasil-hasil pembangunan dengan mudah, seperti listrik, air bersih, BBM, sarana prasarana penghubung/transportasi, dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan tersebut akan mengarah pada tingkat kepuasan masyarakat, yang dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah. Untuk mencapai hal itu, konsep pembangunan sejak dari perencanaan harus diarahkan pada perwujudan pada pusat-pusat pelayanan secara adil dan merata (Riyadi dan Bratakusumah 2005). Banyak masalah-masalah yang dihadapi negara sedang berkembang yaitu masalah rendahnya pendapatan, tingkat pengangguran yang tinggi, distribusi pendapatan yang tidak merata dan tingkat kesehatan, gizi, pendidikan yang relatif rendah. Kesulitan perhitungan pendapatan nasional, penentuan tingkat pendapatan sebagai batas antara maju dan belum maju adalah tidak tepat. Tetapi pendapatan per kapita tetap dipakai sebagai indeks perkembangan karena memiliki beberapa alasan sebagai berikut: 1) Pendapatan per kapita merupakan indeks tunggal yang dipunyai, 2) Memang tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan, 3) Pendapatan per kapita merupakan petunjuk yang cukup baik bagi struktur ekonomi dan sosial masyarakat (Irawan dan Suparmoko 2002). Rustiadi, et al. (2006) menyatakan pengembangan wilayah dapat dianggap sebagai suatu intervensi positif terhadap suatu wilayah. Terdapat teori pengembangan wilayah, yaitu demand side strategy dan supply side strategy. 1. Strategi Demand Side Strategi ”Demand Side” adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi total. Tujuannya adalah meningkatkan taraf hidup penduduk. Peningkatan taraf hidup diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan industri dan jasa yang lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut. 2. Strategi Supply Side Strategi ” Supply Side” adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan produksi. Dengan adanya peningkatan penawaran diharapkan dapat meningkatkan pendapatan lokal. 2.4 Kredit 2.4.1 Pengertian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Kredit dalam arti ekonomi adalah penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang, uang maupun jasa. Suyatno, et al. (1999) menyatakan bahwa kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang diminta, atau pada waktu yang akan datang, karena penyerahan barang-barang sekarang. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok-Pokok Perbankan mendefinisikan kredit sebagai berikut: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. Menurut Suyatno, et al. (1999), unsur-unsur yang terdapat dalam kredit sebagai berikut: 1) Kepercayaan, yaitu dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang, 2) Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang, 3) Degree of risk, yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari, 4) Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Menurut Muljono (1996), terdapat unsur-unsur kredit antara lain : 1. Waktu, yang menyatakan bahwa ada jarak antara saat persetujuan pemberian kredit dan pelunasannya. 2. Kepercayaan, yang mendasari pemberian kredit oleh pihak kreditur kepada debitur, bahwa setelah jangka waktu tertentu debitur akan mengembalikan sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak. 3. Penyerahan, yang menyatakan bahwa pihak debitur menyerahkan nilai ekonomi kepada debitur yang harus dikembalikan setelah jatuh tempo. 4. Risiko, yang menyatakan adanya risiko yang mungkin timbul sepanjang jarak antara saat memberikan dan pelunasannya. 5. Persetujuan dan perjanjian, yang menyatakan bahwa antara kreditur dan debitur terdapat suatu persetujuan dan dibuktikan dengan suatu perjanjian. Jenis-Jenis Kredit Perbankan Untuk Masyarakat (Suyatno, et al. 1999) sebagai berikut : 1. Kredit Dilihat dari Sudut Tujuannya • Kredit konsumtif, yaitu kredit yang digunakan untuk membiayai pembelian barang-barang dan jasa-jasa yang dapat memberikan kepuasan langsung kepada konsumen. Jenis kredit ini digunakan untuk membiayai hal-hal yang bersifat konsumtif seperti kredit perumahan, kredit kendaraan, serta kredit untuk membeli makanan dan pakaian. Secara tidak langsung kredit konsumtif akan memberikan efek produktif dengan cara meningkatkan produksi dari barang dan jasa yang telah dibeli olen peminjam. • Kredit produktif, yaitu kredit yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang produktif. Kredit ini dipakai untuk membeli barang-barang modal yang bersifat tetap maupun untuk membiayai kegiatan pengadaan barang yang habis dalam sekali produksi. 2. Kredit Dilihat dari Sudut Jangka Waktunya • Kredit jangka pendek (short term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 tahun. Yang dapat berbentuk kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli, kredit wesel, kredit eksploitasi. • Kredit jangka menengah (medium term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu antara 1 sampai 3 tahun. • Kredit jangka panjang (long term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun. 3. Kredit Dilihat dari Sudut Jaminannya Kredit tanpa jaminan Kredit dengan jaminan 4. Kredit Dilihat dari Sudut Penggunaannya Kredit ekploitasi, yaitu kredit berjangka waktu pendek yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahan untuk membiayai kebutuhan modal kerja perusahaan sehingga lancar. Kredit investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk melakukan investasi atau penanaman modal. 2.4.2 Peranan Kredit Fungsi Kredit dalam Perekonomian dan Perdagangan (Suyatno, et al. 1999) sebagai berikut: a. Kredit pada hakikatnya dapat meningkatkan daya guna uang, 1) Para pemilik uang/modal dapat secara langsung meminjamkan uangnya kepada para pengusaha yang memerlukan, untuk meningkatkan produksi atau usahanya, 2) Para pemilik uang/modal dapat menyimpan uangnya pada lembaga-lembaga keuangan. b. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, kredit uang yang disalurkan melalui rekening giro dapat menciptakan pembayaran baru seperti cek, giro, bilyet dan wesel sehingga dapat meningkatkan peredaran uang giral. Kredit yang ditarik secara tunai dapat pula meningkatkan peredaran uang kartal, sehingga arus lalu lintas uang akan berkembang. c. Kredit dapat meningkatkan daya guna dan peredaran barang, dengan mendapat kredit, para pengusaha dapat memproes bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat. d. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi, kebijaksanaan diarahkan kepada usaha: 1) Pengendalian inflasi, 2) Peningkatan ekspor, 3) Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. e. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha, bantuan kredit yang diberikan oleh bank akan dapat mengatasi kekurangmampuan para pengusaha di bidang permodalan, sehingga para pengusaha akan dapat meningkatkan usahanya. f. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan, bantuan kredit dapat memperluas usaha pengusaha dan dapat mendirikan proyek-proyek baru, sehingga dapat terserapnya tenaga kerja yang akhirnya terjadi pemerataan pendapatan. g. Kredit sebagai alat untuk meningkatkan hubungan internasional, bankbank besar di luar negeri yang mempunyai jaringan usaha dapat memberikan bantuan dalam bentuk kredit, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Bantuan dalam bentuk kredit dapat mempererat hubungan ekonomi antarnegara yang bersangkutan tetapi juga meningkatkan hubungan internasional. Muljono (1996), menyatakan fungsi pokok kredit pada dasarnya ialah pemenuhan untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan memperlancar perdagangan, mendorong dan melancarkan produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang semuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk menaikkan taraf hidup manusia. 2.4.3 Aspek Sosial Ekonomi dalam Analisis Kredit Bahsan (2003), menyatakan bahwa suatu usaha (kegiatan) antara lain yang dilakukan di bidang perekonomian, akan mempunyai suatu pengaruh terhadap kegiatan lainnya. Dalam hal ini dapat diperhatikan terjadinya keterkaitan atau dampak yang disebut sebagai aspek sosio ekonomi dari suatu usaha (kegiatan). Pengaruh suatu usaha dalam analisis kredit berdampak pada: 1. Adanya Nilai Tambah Terhadap Produk yang Dihasilkan Pendirian suatu usaha (kegiatan) diharapkan dapat memberikan nilai tambah terhadap jumlah produk nasional dan regional, yaitu berupa penambahan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan. Barang yang dihasilkan oleh usaha dapat berupa barang mentah, barang setengah jadi ataupun barang jadi. Terdapatnya usaha (kegiatan) baru yang melakukan pengolahan lebih lanjut dari suatu produk yang berupa barang mentah menjadi barang jadi ataupun barang setengah jadi akan lebih meningkatkan jumlah produk yang dihasilkan secara keseluruhan. 2. Penggunaan Sumber Dalam Negeri Suatu usaha (kegiatan) yang baru didirikan dapat dipastikan memerlukan berbagai kebutuhan. Sebagian diantara kebutuhan itu dapat dipenuhi dari dalam negeri terutama dari daerah setempat, misalnya berupa tenaga kerja, barang mentah atau barang setengah jadi, peralatan, dan lain-lain. Penggunaan tenaga keja dari daerah setempat akan memberikan pengaruh positif terhadap: a) Pengurangan pengangguran karena adanya lapangan kerja baru, b) Penambahan penghasilan terhadap penduduk yang dipekerjakan, c) Peningkatan ketrampilan dan keahlian penduduk yang dipekerjakan, d) Pengurangan masalah tindak kejahatan yang mengganggu keamanan masyarakat, e) Peningkatan harga diri dari penduduk yang dipekerjakan, f) Pengurangan urbanisasi, dan lain-lain. Sementara itu suatu usaha yang menggunakan bahan baku yang dihasilkan oleh produsen-produsen di dalam negeri akan sangat mendorong peningkatan produksi barang mentah dan barang setengah jadi yang sudah ada. Terjadinya pengolahan barang mentah dan barang setengah jadi oleh pihak lain sehingga menghasilkan barang baru sebagai barang jadi akan memberikan banyak pengaruh positif. 3. Pengaruh Terhadap Timbulnya Usaha (Kegiatan) Lain Suatu usaha (kegiatan) yang baru dibuka sering mendorong pembukaan usaha lain. Usaha lain tersebut dapat mempunyai keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan usaha yang didirikan. Keterkaitan langsung berupa timbulnya usaha lain sebagai pemasok bahan baku, sedangkan keterkaitan tidak langsung berupa usaha penyewaan tempat tinggal, rumah makan, dll. Juga terdapat keterkaitan antara industri seperti keterkaitan industri hulu dengan industri hilir. 4. Pengaruh Terhadap Perekonomian Regional Lokasi pendirian usaha mempunyai dampak terhadap pembangunan di sekitarnya, terutama bila didirikan di luar daerah yang berpenduduk padat. Mengingat beberapa kota besar terutama yang terletak di Pulau Jawa secara umum sudah sangat berkembang perekonomiannya, maka pendirian usaha baru di daerah lainnya akan sangat mendukung perkembangan perekonomian di daerah tempat berdirinya usaha. 5. Pengaruh Terhadap Penerimaan Pemerintah Salah satu penerimaan Pemerintah berasal dari pungutan pajak. Sejauh mana dari suatu usaha yang baru didirikan dapat memberikan sumbangan bagi penerimaan Pemerintah melalui pembayaran berbagai pungutan pajak yang terkait. Pembayaran pajak diperlukan dalam rangka membantu penerimaan pendapatan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 6. Keterkaitan Beban Biaya Investasi dengan Kerugian Masyarakat Suatu usaha dapat disimpulkan akan merugikan masyarakat dengan memperhatikan beban biaya investasi yang harus ditanggung Pemerintah. Keputusan untuk melaksanakan suatu investasi di bidang publik merupakan wewenang penuh dari Pemerintah meskipun terdapat kemungkinan kerugian bagi masyarakat. 7. Dampak Terhadap Fasilitas Sosial Berdirinya usaha dapat memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat disekitarnya antara lain adanya pembukaan rumah sakit, sekolah, pasar. Fasilitas sosial tersebut akan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna meningkatkan kesehatan, pendidikan, pelayanan kebutuhan sehari-hari. 2.5 Permintaan Turunan (Derived Demand) dan Penawaran kredit Permintaan terhadap suatu produk dapat berupa permintaan primer (primary demand) dan atau permintaan turunan (derived demand). Derived demand digunakan untuk menunjukkan daftar permintaan bagi input yang dipakai dalam menghasilkan produk akhir. Derived demand juga menyangkut sistem pemasaran secara keseluruhan ataupun fungsi permintaan ditingkat petani. Kurva derived demand dapat berubah salah satunya karena pergeseran kurva primary demand (Tomek dan Robinson 1972). Harga Pr Pf Primary demand Derived demand Jumlah per unit waktu Sumber: Tomek dan Robinson 1972 Gambar 2 Kurva primary demand dan derived demand. Derived demand merupakan demand untuk sebuah input yang tergantung pada, dan berasal dari tingkat output dari perusahaan dan harga input (Pindyck dan Rubinfeld 2005). Dalam menghasilkan produk atau output hasil pertanian diperlukan input antara (faktor produksi) yang terdiri dari faktor produksi yang tetap dan tidak tetap (variabel). Bila sektor pertanian ingin meningkatkan produksi, salah satunya adalah dengan meningkatkan penggunaan input. Kredit yang diperoleh petani dapat digunakan sebagai penambah modal untuk membiayai input produksi sehingga petani dapat meningkatkan produknya pada tingkat yang lebih tinggi. Input yang dibiayai dengan kredit juga akan memiliki biaya tambahan sebesar bunga kredit dan biaya transaksi lainnya. Suku bunga kredit S1 D1 r2 r1 B A r3 S2 C Keterangan: S1 : Kurva penawaran kredit pertama S2 : Kurva Penawaran kredit kedua D1 : Kurva permintaan kredit pertama D2 : Kurva permintaan kredit kedua D2 Q1 Q2 Q3 Jumlah Sumber: Stevens dan Jabara 1988 Gambar 3 Pengaruh elastisitas permintaan kredit dan elastisitas penawaran kredit terhadap suku bunga. Bunga pinjaman (kredit) ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran kredit. Stevens dan Jabara (1988) menyatakan bunga pinjaman yang tinggi di pedesaan disebabkan oleh permintaan dan penawaran kredit yang tidak elastis (inelastis) seperti terlihat pada Gambar 3. Lebih lanjut Stevens dan Jabara (1988) menyatakan bunga pinjaman dapat menjadi lebih rendah dengan cara mengeser kurva penawaran dengan (supply) kredit yang lebih elastis ke kanan. Pergeseran kurva penawaran ini ke kanan dapat ditempuh dengan cara: 1) Memperluas sumber-sumber kredit di pedesaan. Semakin banyak sumber kredit maka kurva penawaran kredit akan bergeser ke kanan, yang berarti pada tingkat bunga pinjaman yang sama besar maka jumlah kredit yang tersedia akan lebih besar, 2) Memperbanyak jenis-jenis pelayanan yang sudah ada. Semakin banyak jenis pelayanan yang dapat diberikan bank (tabungan, deposito, kredit, pengiriman uang) maka semakin besar nasabah yang dapat dilayani bank, yang berarti juga akan menggeser kurva penawaran bank ke kanan, 3) Perubahan teknologi dari kelembagaan kredit. Perubahan teknologi akan membuat produktivitas masukan meningkat, sehingga biaya marginal semakin rendah. Perubahan teknologi akan membuat kurva penawaran bergeser ke kanan dan kurva ini mempunyai elastisitas lebih besar dibandingkan dengan kurva penawaran semula. Dalam dunia perbankan terdapat istilah Credit Crunch, yang didefinisikan sebagai suatu situasi dimana terjadi penurunan supply kredit perbankan secara tajam sebagai akibat dari menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit kepada dunia usaha (Agung, et al. 2001). Dalam kondisi yang ekstrim terjadi dalam bentuk credit rationing, yaitu bank menolak dalam memberikan kredit terhadap nasabah tertentu atau sebagian besar nasabah pada tingkat suku bunga manapun. Dengan adanya credit crunch, fungsi intermediasi perbankan akan terganggu. Perbankan yang seharusnya menjadi perantara antara sektor moneter dengan sektor riil menjadi tidak mampu lagi menggerakkan perkembangan dunia usaha melalui kredit yang mereka salurkan. Dengan terhambatnya penyaluran kredit oleh perbankan pada dunia usaha, maka dunia usaha akan mengalami kelesuan. Investasi dan aktivitas ekonomi lainnya akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran sehingga pendapatan nasional (output) pada akhirnya akan mengalami penurunan. Adapun penurunan kredit yang disalurkan perbankan tersebut bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi demand maupun supply. Penurunan kredit akibat faktor-faktor permintaan (demand) merupakan sesuatu yang wajar terjadi ketika perekonomian suatu bangsa mengalami kelesuan (resesi). Dari sisi mikro perusahaan, masalah struktural seperti penyesuaian untuk mengurangi debt-equity ratio yang meningkat akibat krisis merupakan penyebab turunnya permintaan kredit. Adanya ketidakpastian (uncertainty) dan iklim berusaha (business confidence) yang rendah juga merupakan penyebab rendahnya keinginan untuk melakukan investasi sehingga permintaan kredit juga mengalami penurunan, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4. Suku Bunga Kredit S Keterangan: S : Kurva penawaran kredit D0 : Kurva permintaan kredit mula-mula D1 : Kurva permintaan kredit bergeser ke kiri E0 r0 r1 E1 D1 L1 L0 D0 Kuantitas Kredit Sumber: Agung, et al. 2001 Gambar 4 Penurunan kredit akibat menurunnya permintaan. Penurunan kredit dari sisi penawaran disebabkan oleh turunnya kemauan bank untuk memberikan pinjaman pada tingkat suku bunga yang berlaku. Faktorfaktor yang dapat menyebabkan menurunnya keinginan perbankan untuk memberikan kredit dapat bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal (Agung, et al. 2001). Faktor internal berupa rendahnya kualitas aset perbankan, tingginya non-performing loans (NPLs) dan anjloknya modal perbankan akibat depresiasi dan negative interest margin menurunkan kemampuan bank untuk memberikan kredit. Faktor eksternal berupa menurunnya tingkat kelayakan kredit (creditworthiness) dari debitur akibat melemahnya kondisi keuangan perusahaan, sehingga bank akan mengalami kesulitan untuk membedakan creditworthiness dari debitur. S1 Suku Bunga Kredit S0 E1 r1 E0 r0 Keterangan: S0 : Kurva penawaran kredit mula-mula S1 : Kurva penawaran kredit bergeser ke kiri D : Kurva permintaan kredit D L1 L0 Kuantitas Kredit Sumber: Agung, et al. 2001 Gambar 5 Penurunan kredit akibat menurunnya penawaran. 2.6 Kajian Pola Konsumsi Konsumsi agregat merupakan salah satu komponen penentu tingkat kegiatan ekonomi dari pengeluaran agregat yang mendorong kenaikan pendapatan nasional/daerah. Tingkat konsumsi masyarakat terutama ditentukan oleh tingkat pendapatan rumah tangga, dan besarnya permintaan konsumsi tersebut tergantung pada kecenderungan untuk mengkonsumsi atau Marginal Propensity to Consume (MPC) yang dirumuskan menjadi ∆C/∆Y dimana C = konsumsi, Y = pendapatan agregat. Jurang antara pendapatan dan konsumsi dijembatani oleh investasi dimana tingkat investasi yang dibutuhkan relatif sedikit atau menurun, maka tingkat permintaan agregat akan menurun (Mankiw 2003). Hal tersebut disebabkan turunnya investasi mengakibatkan kesempatan kerja berkurang sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah konsumsi barang didalam perekonomian. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif. Disamping pendapatan, faktor lain yang menentukan jumlah konsumsi adalah: 1) Jumlah kekayaan, 2) Tingkat suku bunga, 3) Kondisi perekonomian, dan 4) Distribusi pendapatan. Menurut Tarigan (2002), untuk dapat menghitung pendapatan regional, salah satu metode yang di pakai adalah metode langsung dengan pendekatan pengeluaran, dimana pendekatan ini menjumlahkan nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Dari segi penggunaan maka total penyediaan/produksi barang dan jasa itu digunakan untuk: 1) Konsumsi rumah tangga, 2) Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung, 3) Konsumsi pemerintah, 4) Pembentukan modal tetap bruto (investasi), 5) Perubahan stok, dan 6) Eksport. Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menduga pendapatan masyarakat adalah tingkat pengeluaran rumah tangga. Dari analisis data Susenas dapat disimpulkan bahwa: 1) Perbedaan pengeluaran antara kota dan pedesaan lebih besar perbedaan pengeluaran antar wilayah, 2) Secara umum ketimpangan pengeluaran di kota lebih besar dari ketimpangan di desa, 3) Rumah tangga pedesaan mengeluarkan 39,4 sampai 44,2 persen dari pendapatannya untuk makanan pokok, sedangkan rumah tangga perkotaan hanya berkisar antara 22,8 sampai 33,9 persen (Hermanto dan Andriati 1985). S1 Harga barang konsumsi S2 D2 D1 P1 W1 P0 W2 P2 Q0 Jumlah barang konsumen Q1 Q2 Sumber: Hermanto dan Andriati 1985 Gambar 6 Perubahan permintaan barang konsumsi. Keterangan Gambar : S1 : kurva penawaran mula-mula S2 : kurva penawaran bergeser ke kanan D1 : kurva permintaan mula-mula D2 : kurva permintaan bergeser ke kanan W1 : kebijaksanaan yang menggeser kurva permintaan ke kanan W2 : kebijaksanaan yang menggeser kurva penawaran ke kanan Banyak ragam kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Dari berbagai alternatif kebijaksanaan tersebut dapat dibedakan kedalam tiga kategori kebijaksanaan. Yang pertama adalah kelompok kebijaksanaan yang dapat menggeser kurva penawaran ke kanan. Kedua adalah kelompok kebijaksanaan yang menggeser kurva permintaan ke kanan. Dan ketiga, kelompok kebijaksanaan yang memberikan subsidi harga, baik kepada konsumen maupun kepada produsen. Secara grafis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 6 (Hermanto dan Andriati 1985). Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi bahan makanan menunjukkan indikasi adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walaupun demikian ada suatu indikator yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat semakin kecil proporsi pengeluaran yang dipergunakan untuk pembelian bahan makanan pokok yaitu beras, tetapi proporsi pengeluaran yang gunakan untuk pembelian bahan makanan sumber protein semakin meningkat. Konsumsi bahan bakar mempunyai kedudukan penting setelah konsumsi bahan makanan. Kebutuhan bahan bakar bensin dari pengeluaran bahan bakar memberikan indikator tingginya mobilitas penduduk. Makin besar konsumsi bensin yang dipakai untuk menjalankan kendaran bermotor perorangan, semakin banyak pula jarak yang ditempuh per satuan waktu. Semakin jauh jarak yang dapat ditempuh per satuan waktu, berarti makin tinggi mobilitas pengendara. Begitu juga pola konsumsi untuk melengkapi kesejahteraannya, seperti kebutuhan akan pakaian, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi/transportasi dan estetika, dikenal dengan kelompok kebutuhan untuk non pangan dan energi. Halhal di atas mengindikasikan adanya pemenuhan kesejahteraan masyarakat (Kuntjoro 1984). 2.7 Penelitian Terdahulu Mengenai Perkreditan Pursito (2003), dalam kajian efektivitas dan faktor-faktor penyaluran kredit dalam pembiayaan industri kecil menengah pangan oleh Bank Rakyat Indonesia di Semarang, menyatakan bahwa pemberian kredit perbankan di Jawa Tengah mengalami peningkatan walaupun kecil (0,7%). Hal ini menunjukan bahwa dalam berbagai sektor usaha perekonomian yang ada masih membutuhkan suntikan dana, walaupun di sisi lain banyak juga yang masih enggan untuk mengambil kredit, karena suku bunga yang masih dianggap terlalu tinggi (1927%). Penyaluran kredit secara sektoral, perbankan Jawa Tengah pada triwulan I2002 masih cenderung menyalurkan kredit pada sektor ekonomi tertentu, yaitu sektor perindustrian dan sektor perdagangan serta jasa (restoran dan hotel), yang masing-masing mencapai pangsa sebesar 38,9 persen dan 24,5 persen dari total kredit perbankan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari posisi Jawa Tengah sebagai salah satu kawasan industri utama di Indonesia dan memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Jika dilihat dari penggolongan kredit menurut jenis penggunaannya adalah investasi sebesar 62,9 persen, modal sebesar 16 persen dan konsumsi sebesar 21,1 persen. Sudarma (1991), dalam analisis permintaan kredit usahatani padi sawah di Provinsi Bali, menyatakan bahwa besarnya pendapatan petani ditentukan oleh besarnya penerimaan dan biaya yang diinvestasikan untuk kegiatan usahatani. Dari model analisis diturunkan fungsi permintaan kredit dari fungsi keuntungan. Besarnya elastisitas permintaan kredit oleh petani ditentukan oleh harga produksi dan besarnya nilai masukan tetap, hal ini apabila petani tidak memaksimumkan keuntungan. Jika petani memaksimumkan keuntungan maka besarnya elastisitas permintaan kredit oleh petani ditentukan oleh faktor harga produksi dan besarnya keuntungan yang diraih pada musim tanam sebelumnya. Kalangi (1993) dalam peranan perkreditan dalam pembangunan pertanian di Provinsi Sulawesi Utara, menyatakan bahwa situasi dan kondisi dengan adanya Pakto 27 (Paket 27 Oktober 1988) mendorong perbankan untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas usahanya agar tetap hidup dan berkembang, sehingga dikeluarkan peraturan tentang Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, diharapkan sektor-sektor ataupun pelaku-pelaku ekonomi yang belum tersentuh oleh perbankan merasakan keuntungan-keuntungan dari kredit perbankan. Pada bulan April 1993, posisi kredit pada Bank Perkreditan Rakyat sebesar 5,835 juta rupiah, dimana kredit untuk modal kerja 3,301 juta rupiah, kredit konsumsi 2,132 juta rupiah dan yang paling kecil kredit investasi 402 juta rupiah. Sehingga sektor 36,5 persen yang disalurkan oleh Bank Perkreditan Rakyat di Sulawesi Utara adalah kredit konsumsi. Sedangkan pada waktu yang sama kredit konsumsi yang disalurkan oleh seluruh bank di Sulawesi Utara sebesar 96,253 juta rupiah atau 12,7 persen dari kredit yang disalurkan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kredit yang disalurkan oleh Bank Perkreditan Rakyat digunakan oleh masyarakat menengah ke bawah karena besarnya kredit untuk konsumsi berarti masyarakat ini menggunakan kredit yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dahulu. Suciani (1996), dalam peranan lembaga perkreditan terhadap peningkatan usaha masyarakat pedesaan di Kabupaten Tabanan Bali, menyatakan bahwa pendapatan nasabah sebelum dan setelah menerima kredit pada Bank Perkreditan Rakyat menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata, walaupun pendapatan nasabah Bank Perkreditan Rakyat mengalami peningkatan secara absolut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kredit yang diterima nasabah menggunakan kredit untuk kredit konsumtif dan hanya sebagian kecil nasabah menggunakan untuk hal produktif. Sehingga rata-rata peningkatan pendapatan secara absolut kelihatan meningkat tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata, dimana jenis penggunaan modal kerja berperan besar terhadap kredit perbankan di Bali yaitu 59,7 persen, kredit investasi sebesar 28,6 persen dan kredit konsumsi sebesar 11,7 persen. Sariwulan (2000), dalam perkreditan perdesaan dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat kecil, menyatakan bahwa salah satu indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan suatu program kredit adalah perubahan pendapatan, karena pada dasarnya program kredit selain berorientasi pada peningkatan produktivitas atau optimalisasi penggunaan sumberdaya yang lain, juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga, perbaikan ekonomi masyarakat di pedesaan, meningkatkan taraf hidup rumah tangga, meningkatkan pendidikan anak-anak, dan kesejahteraan lainnya. Rachmina (1994), dalam analisis permintaan kredit pada industri kecil (kasus Jawa Barat dan Jawa Timur), menyatakan dalam mengantisipasi permasalahan dana, terutama di pedesaan, pemerintah Indonesia telah banyak mengembangkan program dan kebijaksanaan tentang perkreditan. Kebijaksanaan tersebut tidak hanya ditujukan untuk petani, melainkan juga pedagang, industri rumah dan kecil, dan usaha kecil lainnya. Sartiyah (2001), dalam dampak implementasi desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara: Suatu analisis simulasi, menyatakan turunnya investasi mengakibatkan kesempatan kerja berkurang sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah konsumsi barang di dalam peerkonomian. Demikian sebaliknya konsumsi akan meningkat pada tingkat investasi yang tinggi, karena kesempatan kerja akan meningkat dan menambah pendapatan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif. Surbakti (2004), dalam sistem pengorganisasian kredit mikro dan dampaknya terhadap kinerjanya, menyatakan pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan sosial budaya, dan pemberdayaan pendidikan. Pemberdayaan ekonomi dengan upaya untuk menumbuhkan mata pencaharian orang/keluarga miskin, sehingga mereka mampu memperoleh penghasilan tetap dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya secara layak yang dilaksanakan melalui pemberian kredit mikro kepada kelompok-kelompok usaha yang dibentuk. Karina (2005), dalam faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit bank umum terhadap usaha kecil di indonesia, menyatakan peran bank umum dalam memberdayakan usaha kecil adalah dengan mendorong perbankan untuk membiayai usaha mikro, kecil, dan menengah, yaitu dengan meningkatkan kerjasama antara usaha kecil dan perbankan. Pada kenyataannya programprogram tersebut belum direalisasi secara sempurna karena perbankan masih berhati-hati dalam penyaluran kredit kepada sektor riil. Hal ini dikarenakan perbankan dituntut untuk meningkatkan sistem manajemen berbasis risiko, dimana dari sisi aset kredit belum memberikan jaminan bagi perbankan, serta perbankan masih berupaya mengoptimalkan pendapatannya dari sisi aset nonkreditnya.