BABl PENDAHULlJAN 1.1. Latar Relakang Perkembangan Standar dalam pe!aporan keuangan dari Generally Accepted Accounting Principal (GAAP) ke International Financial Reporting standard (IFRS )merupakan pedoman penyusunan laporan keuangan yang dapat diterima secara global. IFRS yang ada saat ini mengalami sejarah yang cukup panjang dalam proses terbentuknya. Mulai dari terbentuknya IASC/IAFB, IASB, hingga menjadi IFRS. Jika IFRS telah digunakan oleh suatu Negara, berarti Negara tersebut telah mengadopsi sistem pelaporan keuangan yang dapat diterima dan diakui secara global di seluruh dunia. Pengadopsian IFRS juga berlaku di Indonesia yang akan berlaku secara penuh pada tahun 2012. Dengan mengadopsi IFRS perusahaan-perusahaan di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan daya informasi dari laporan keuangan. Momentum peralihan dari rule based menjadi principal based ini menyebabkan timbulnya banyak persepsi sehingga memungkinkan timbulnya masalah keagenan dimana banyak para manajer memanfaatkan peluang untuk merekayasa Jaba pada perusahaannya dengan rekayasa akrual untuk mempengaruhi basil akhir dari berbagai keputusan antara lain adanya motifasi bonus, dianggapnya kinerjanya lebih baik atau meminimalkan beban pajak penghasilan yang dibayar oleh pemsahaan. Salah satu kasus pajak yang terjadi adalah kasus pajak yang dilakukan oleh Grup Bakrie, salah satunya adalah kasus PT.Kaltim Prima Coal (KPC) yang 1 mernpakan salah satu pernsahaan tambang batu bara milik Grup Bakrie selain PT.Bumi Resources Thk dan PT.Arntmin Indonesia yang diduga terkait tindak pidana pajak tahun 2007. Dimana KPC diduga (setelah penyelidikan) oleh Ditjen Pajak memiliki kurang bayar sebesar Rpl,5 Triliun dan ditemukan adanya indikasi tindak pidana pajak bernpa rekayasa penjualan yang dilakukan KPC pada tahun 2007 untuk meminimalkan pajak (www.ortax.org). Hal inilah yang dapat menimbulkan praktik manajemen laba yang berhubungan dengan pajak tangguhan daiam merekayasa penjualan untuk meminimalkan pajak yang dibayar. Salah satu contoh kasus manajemen laba yang terjadi adalah kasus PT Ades Alfindo. Kasus ini terungkap pada tahun 2004 ketika manajemen barn PT Ades menemuk.an inkonsistensi pencatatan atas penjualan periode 2001-2004. Sebelwnnya, pada Juni 2004 terjadi perubahan manajemen di PT Ades dengan masuknya Water Partners Bottling Co (Pernsahaan patungan The Coca-Cola Company dan Nestle SA) dengan kepemilikan saham sebesar 65,07%. Pemilik barn inilah yang berhasil menemukan adanya inkonsistensi pencatatan dalam laporan keuangan periode 2001-2004 yang dilakukan oleh manajemen lama. Inkonsistensi pencatatan terjadi antara 2001 dan kuartal kedua 2004. Basil penelusuran menunjukkan, untuk setiap kuartai, angka penjualan lebih tinggi antara 0,6-3,9 juta galon dibandingkan angka produksi. Hal ini tentu tidak logis karena tidak mungkin pernsahaan menjual lebih banyak dari yang diproduksi. Manajemen Ades bam melaporkan angka penjualan riil pada 2001 diperkirakan Iebih rendah Rp l3 miliar dari yang dilaporkan. 2 Pada 2002, perbedaannya mencapai Rp 45 miliar, sedangkan untuk 2003 sebesar Rp55 miliar. Untuk enam bulan pertama 2004, selisihnya kira-kira hampir Rp 2 miliar. Kesalahan tersebut hiput dari pehgamatah publik katena PT Ades tidak memasukkan volume penjualan dalam laporan keuangan yang telah diaudit. Akibatnya, laporan keuangan yang disajikan PT Ades pada 2001 dan 2004 lebih tinggi dari yang seharusnya dilaporkan (overstatedj. Perusahaan di Indonesia dalam menyusun laporan keuangan berpedoman paJa PSAK dan P€raturan Perpajakan, Dalam m€nyiapkan laporan keuangan manaJemen membutuhkan penilaian dan perkiraan. Hal ini memberikan manaJemen fleksibilitas dalam menyusun laporan keuangannya. Fleksibilitas penyusunan laporan keuangan diatur dalam Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 tentang penyajian laporan keuangan dengan pendekatan akrual (accrual basis). lkatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam pemyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) No.46 Akuntansi Pajak Penghasilan untuk mengatur mengenai pengakuan aktiva pajak tangguhan yang berasal dari sisa rugi yang dapat dikompensasikan ke tahun berikutnya dengan penyajian pajak penghasilan pada laporan keuangan, dan pengungkapan infonnasi dalam peraturan perpajakan dengan ketentuan akuntansi. Sebelum diberlakukatmya PSAK No. 46 tersebut, perusahaan hanya menghitung dan mengakui besamya beban pajak penghasilan untuk ta}mn berjalan saja tanpa menghitung dan mengakui pajak tangguhan. Pajak tangguhan (deferred tax) adalah efek pajak yang diakui pada saat diadakan penyesuaian dengan beban pajak penghasilan periode yang akan datang 3 (Murhaban, 2003:66). Pengakuan Pajak Tangguhan (deferred tax) dalam laporan keuangan perusahaan adalah satu hal yang relatif baru dalam dunia akuntansi di Indonesia. Walaupun opsi penerapan pajak tangguhan dalam Akuntansi Pajak Penghasilan telah diperkenankan, akan tetapi masih banyak yang kurang memahami tentang pajak tangguhan tersebut baik dari segi pengertian atau pemahaman konseptual maupw1 aplikasinya ke dalam laporan keuangan perusahaan di Indonesia. Pemahaman masyarakat mengenai pajak tangguhan (deferred tax) secara umum terkesan menimbulkan keragu-raguan, masyarakat mengartikan bahwa telah terdapat pajak yang ditangguhkan untuk dibayarkan kembali. Pemahaman masyarakat tersebut bertolak belakang dengan konsep pajak tangguhan (deferred tax) setelah diaplikasikan yaitu pada waktu dikenakan pajak tangguhan ternyata sama sekali tidak berkaitan dengan pembayaran pajak. Behan pajak penghasilan dihitung denga., menggunakan aturan perpajakan atas basil usaha perusahaan selama periode tahun yang bersangkutan. Aturan-aturan perpajakan tersebut mengharuskan perusahaan melakukan koreksi-koreksi fiskal (perbedaan permanen) karena terdapat perbedaan konsep pendapatan, cara pengukuran pendapatan, konsep biaya, cara pengukuran biaya, dan cara alokasi biaya antara Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan Peraturan Perpajakan. Aturan perpajakan tetap menggunakan data dan informasi akuntansi yang telah diatur oleh Standar Akuntansi Keuangan sebagai dasar untuk menentukan koreksi-koreksi tersebut berdasarkan aturan perpajakan yang berlaku. Selisih laba komersial dan laba fiskal (book-tax differences) dapat menginformasikan tentang 4 diskresi manaJemen dalam proses akrual. Selisih tersebut dinamakan koreksi fiskal yang berupa koreksi negatif dan koreksi positif Koreksi negatif akan menghasilkan kewajiban pajak tangguhan sedangkan koreksi positif akan menghasilkan ak-tiva pajak tangguhan (Djamaluddin, 2008:58). Kewajiban pajak tangguhan (deje1red tax liabilities) adalah jumlah pajak penghasiJan yang terutang untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak (Purba, 2009:35), sedangkan aktiva pajak tangguhan adalah aktiva yang terjadi apabila perbedaan waktu menyebabkan koreksi positif yang berakibat beban pajak menwut akuntansi komersial lebih kecil dibanding beban pajak menurut Undang-Undang pajak (Waluyo, 2008:217). Behan pajak tangguhan dan aktiva pajak tangguhan memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan celah dalam merekayasa laporan keuangannya. Menurut Philips et a!. (2003 ), ada tiga motivasi utama yang mendorong perusahaan melakukan manajemen laba yaitu menghindari penurunan laba, menghindari kerugian dan menghindari kegagalan peramalan yang dibuat analis. Motivasi pertama bertujuan untuk menghindari melaporkan penurunan laba yang berhubungan dengan hipotesis perataan laba atau Income Smoothing Hypothesis. Motivasi kedua bertujuan untuk menghindari kerugian, dimana hal ini dilakukan banyak alasan yang mendorong perusahaan dalam menghambat perkembangan perusahaan, faktanya bahwa perusahaan mengalami kerugian juga berpotensi menurunkan harga saham, menurunkan kepercayaan investor dan kreditur serta mendorong dilakukannya pemeriksaan pajak oleh aparat pajak. Motivasi ketiga bertujuan untuk menghindari kegagalan yang dibuat analisis. 5 Banyak penelitian yang digunakan sebagai indikator mendeteksi manajemen laba yaitu dilakukan dengan menggunakan akrual dan beban pajak tangguhan. Penelitian yang dilakukan Yulianti (2005) menunjukkan bukti empiris bahwa beban pajak tangguhan memiliki hubungan positif signifikan dengan probabilitas perusahaan untuk melakukan manajemen laba guna menghindari kerugian perusahaan. Namun, ditemukan fakta bahwa total akrual memiliki kelemahan. Mengatasi kelemahan total akrual ini, Philips eta/. (2003) mencoba menggunakan beban pajak tangguhan atau Deffered Tax Expense dalam mendeteksi manajemen laba (earning management). Dalam penelitian tersebut digunakan model distribusi laba sebagai pengukur manajemen laba. Dalam penelitian terdahulu menyatakan bahwa dalam mengukur keleluasaan manajer, beban pajak tangguhan lebih baik daripada akrual sebab peraturan akuntansi memberikan lebih banyak keleluasaan bagi manajer dibandingkan dengan peraturan pajak. Kesalahan pengukuran model akrual dapat dikurangi dengan memfokuskan pada beban pajak tangguhan dibandingkan dengan membagi Total Accrual perusahaan menjadi komponen Discretionary dan Non Discretionary. Mengacu pada penelitian tersebut, aku..'ltan manajemen dan profesi akuntan hams dapat meningkatkan kemampuan pertimbangannya dalam menentukan penghasilan masa lalu dan masa yang akan datang yang akan berpengaruh pada penilaian aktiva pajak tangguhan yang dimungkinkan dapat digunakan sebagai indikator adanya manajemen laba. Berdasarkan uraian tersebut, Suranggane (2007) menunjukkan bahwa aktiva pajak tangguhan dan akrual sebagai prediktor manajemen laba. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan 6 bahwa hanya variabel akrual (discretionary accrual) saja yang memiliki pengaruh signifikan paua terjadinya manajemen laba, sedangkan aktiva p~jak tangguhan tidak berpengaruh. Behan pajak tangguhan mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh menurun dan aktiva pajak tangguhan yangjumlahnya diperbesar oleh manajemen memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan laba yang lebih besar di masa yang akan datang sehingga mengurangi besamya pajak yang dibayarkan. Sedangkan, perekayasaan menaikan atau menurunkan akrual antara lain dapat dilakukan dengan cara mempercepat pendapatan atau mempercepat beban. Selain itu Elingga (2008) mengatur laba discreationary men~jukkan sedemikian accruals bahwa ada kecenderungan para manajer untuk rupa (artinya dengan usaha menerapkan untuk income-increasing merekayasa laba dengan menurunkan tingkat laba pada tingkat tertentu untuk membalikkan kebijakan akrual yang dilakukan sebelumnya) Hubungan antara beban pajak tangguhan, dan aktiva pajak tangguhan sangat erat dalam mendeteksi perilaku dari earning management yaitu untuk memaksimumkan bonus yang mereka dapatkan dengan merekayasa angka akrual dan berusaha meminimalkan pajak yang mesti mereka bayarkan, dengan cara meningkatkan akrual untuk menjadikan angka laba lebih rendah. Pengakuan pajak tangguhan dapat mengakhibatkan bertambah atau berk.urangnya laba bersih karena adanya pengakuan beban pajak tangguhan atau manfaat pajak tangguhan. Pengakuan aktiva dan pajak tangguhan didasarkan pada fakta adanya kemungkinan pembayaran pajak pada periode mendatang menjadi lebih besar atau 7 lebih kecil. Hal ini, rnenjadi celah bagi rnanajernen untuk rnernanipulasi jurnlah dari laba bersihnya sehingga bisa rnemperkecil jurnlah pajak yang harus dibayar. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti termotivasi untuk meneliti pengaruh Aktiva Pajak Tangguhan, Behan Pajak Tangguhan dan Leverage Terhadap Manajemen laba. Penelitian ini berdasarkan pada basil penelitian Phillips et a/. (2003) yang menemukan bahwa beban pajak tangguhan yang dihasilkan dari selisih antara aktiva pajak tangguhan dan utang pajak tangguhan, dapat digunakan untuk mendeteksi manajernen laba. Selain itu, penelitian ini juga mengacu penelitian Phillips et a/. (2003) yang memberikan bukti bahwa komponen-kornponen yang terkandung dalam perubahan atas aktiva pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan dapat digunakan untuk menganalisis ada tidaknya praktik manajemen laba untuk menghindari laba rnenurun. Kedua penelitian tersebut didasarkan pada peraturan pajak yang berlaku di Arnerika Serikat. Peraturan pajak yang berbeda antar negara di dunia rnenimbulkan pertanyaan apakah penelitian ini dapat diterapkan di negara-negara lain di luar Amerika Serikat, khususnya Indonesia (Djamaluddin et al. 2008). Dengan dernikian penelitian ini menguji kemampuan beban pajak tangguhan yang dihasilkan dari selisih antara aktiva pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan untuk mendeteksi manajemen laba dan menguji komponen-komponen yang terkandung dalarn perubahan atas akti va pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan yang digunakan untuk rnengelola laba. Salah satu pemicu lainnya rnanajemen laba dalam kaitannya dengan pihakpihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan adalah munculnya kontrak 8 utang. Penyertaan unsure utang sebagai sumber modal merupakan altematif yang bisa dipilih perusahaan bersamaan dengan modal sendiri. Tinggi rendah proporsi utang di dalam struktur modal suatu perusahaan disebut sebagai leverage factor (Rahaijo dan Hartantiningrum, 2006). Dalam pelaksanaannya, terdapat dua kemungkinan yang teijadi yaitu peijanjian utang dipenuhi sesuai dengan peijanjian atau perjanjian utang dilanggar (Herawati dan Baridwan, 2007). Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan indikasi bahwa kenaikkan leverage merupakan faktor potensial untuk melakukan manajemen laba dengan cara mengelola akrual dan pemilihan metode aktmtansi yang dapat menaikkan laba seperti yang disampaikan oleh Jensen (1986) yang konsisten dengan penelitian sebelumya yang menetiti tentang perusahaan yang melakukan manajemen laba untuk menghindari peijanjian utang seperti yang disampaikan oleh Beatty dan Weber (2003); DeFond dan Jiambalvo. (1994); Dichev dan Skinner (2002); Sweeny (1994), kesemuanya dalam Jelinek (2007). Dalam penelitian ini, alasan peneliti tertarik dengan permasalahan yang akan diangkat, yaitu rnengenai pengaruh yang ditimbulkan dari adanya kenaikan leverage perusahaan terhadap keputusan manajemen laba yang mungkin akan dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Permasalahan ini menarik untuk dikaji lebih dalam, karena kebanyakan investor atau pelaku pasar di pasar modal, maupun pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan, akan melakukan keputusan-keputusan investasi ataupun keputusan lainnya hanya dengan melihat laporan laba yang disajikan dalam laporan keuangan saja, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor pendukung lainnya, misalnya beban utang yang 9 mungkin ditanggung oleh perusahaan. Sebagian besar pemakai laporan keuangan mempunyai anggapan bahwa dengan semakin tinggi laba yang dilaporkan dalam laporan keiliillgan maka akan mengha.Silkan retti.ill. investasi dan keuntungankeuntungan ekonomis lainnya. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah aktiva pajak tangguhan berpengaruh terhadap martajemen laba? 2. Apakah beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba? 3. Apakah leverage berpengaruh terhadap manajemen laba? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan latar belakang masalah yang telah dijabarkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh bukti empiris tentang: 1. Pengaruh aldiva pajak tangguhan terhadap manajemen laba. 2. Pengaruh beban pajak tangguhan terhadap manajemen laba. 3. Pengaruh leverage terhadap manajemen laba 1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian m1 diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, yaitu: 10 1. Kontribusi Praktis a. Hasil peneliiian diharapkan dapat memberikan satu pertimbangan untuk menyajikan pengungkapan dan penjelasan memadai tentang pajak tangguhan yang dilaporkan suatu perusahaan b. Memberikan petunjuk bagi manajemen perlunya kemampuan manajemen mengelola perbedaan temporer sedemikian rupa sehingga laba akuntansi tetap dipersepsikan berkualitas atau direspon positif oleh investor. c. Sebagai pertimbangan bagi pemakai laporan keuangan guna mengambil keputusan yang tepat berdasarkan laporan keuangan yang berkualitas, handal dan dapat dipercaya sehingga informasi yang didapat tidak menyesatkan. 2. Kontribusi Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan pemahaman bagi dunia akademik bal1wa besamya pajak tangguhan dan akrual dapat digunakan untuk menilai kinetja yang dilakukan oleh manajemen. 11