7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus DM merupakan

advertisement
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.1
2.1.1 Klasifikasi DM1
a. Tipe 1: Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut.
 Autoimun
 Idiopatik
b. Tipe 2: Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin
disertai resisten insulin.
c. Tipe lain: Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia,
infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM.
d. Diabetes Mellitus Gestasional.
2.1.2 Diagnosis DM1
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM yaitu; poliuria, polidipsia,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan
Universitas Sumatera Utara
8
keluhan lain seperti; lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria Diagnosis DM;
 Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam, atau
 Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram, atau
 Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik,
atau
 Pemeriksaan Hemoglobin A1C (HbA1c) ≥6,5% dengan menggunakan
metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).
2.1.3 Penatalaksanaan DM1
Tujuan penatalaksanaan DM meliputi:
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup dan mengurangi risiko komplikasi akut.
b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien
secara komprehensif.
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat
(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
Langkah-langkah Penatalaksanaan DM yaitu;
a. Edukasi
b. Terapi Nutrisi medis
c. Latihan jasmani
d. Terapi farmakologis
Universitas Sumatera Utara
9
2.1.4. Metformin
Terapi farmakologis pada penderita DM diberikan bersamaan dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.1 Ketika upaya perubahan gaya hidup
saja tidak dapat mempertahankan tujuan glikemik maka Metformin sebagai
monoterapi harus ditambahkan, kecuali ada kontraindikasi atau intoleransi.
Metformin sudah terbukti akan efikasi dan keamanannya, murah, dan dapat
mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan kematian.17
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa dijaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM Tipe 2.
Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dengan
glomerular filtration rate (GFR) 30-60 ml/menit/1,75m2). Metformin tidak boleh
diberikan pada beberapa keadaan seperti: GFR<30 ml/menit/1,73 m2, adanya
gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), gagal jantung New York Heart Association Functional
Classification (NYHA FC) III-IV. Efek samping yang mungkin berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.1
2.2. Stres Oksidatif Pada Diabetes Mellitus
Stres oksidatif didefinisikan secara umum sebagai kelebihan pembentukan
dan/atau tidak cukup penghapusan molekul yang sangat reaktif seperti reactive
oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS). ROS termasuk radikal
bebas seperti superoksida (O2•-), hidroksil (OH•), peroksil (RO2•), hidroperoxil
(HRO2•-) serta spesies nonradikal seperti hidrogen peroksida (H2O2) dan asam
hidroklor (HOCl). RNS termasuk radikal bebas seperti nitrat oksida (NO•) dan
nitrogen dioksida (NO2•-), Serta nonradikal seperti peroksinitrit (ONOO-), nitrit
oksida (HNO2) dan peroksinitrat alkil (RONOO). 18
Radikal bebas yang dihasilkan dalam kondisi fisiologis dipertahankan pada
tingkat steady state oleh antioksidan endogen atau eksogen (eksternal dipasok
melalui makanan atau suplemen) yang bertindak sebagai penangkap radikal bebas.
Namun, stres oksidatif terjadi ketika produksi radikal bebas melebihi kapasitas
Universitas Sumatera Utara
10
detoksifikasi sistem antioksidan seluler yang menyebabkan kerusakan biologis.19
Oksidan dihasilkan dari metabolisme intraseluler normal dalam mitokondria dan
peroksisom, serta dari berbagai sistem enzim sitosol. Selain itu sejumlah agen
eksternal dapat memicu produksi ROS. Sistem pertahanan antioksidan enzimatik
dan nonenzimatik termasuk SOD, CAT dan GSH melawan dan mengatur
keseluruhan tingkat ROS untuk mempertahankan homeostasis fisiologis.
Menurunkan kadar ROS di bawah set point homeostatis dapat mengganggu peran
fisiologis oksidan pada proliferasi seluler dan mekanisme pertahanan. Demikian
pula, peningkatan ROS juga dapat merugikan dan menyebabkan kematian sel atau
percepatan dalam penuaan dan penyakit yang berkaitan dengan usia (gambar
2.1).2
Gambar 2.1. Sumber dan Respon Seluler terhadap ROS.
Universitas Sumatera Utara
11
Sejumlah tertentu ROS diperlukan untuk proses metabolisme normal karena
ROS memainkan berbagai peran regulasi dalam sel. ROS diproduksi
oleh
neutrofil dan makrofag selama proses pernapasan untuk eliminasi antigen, juga
berfungsi untuk merangsang sinyal dari beberapa gen yang menyandikan faktor
transkripsi, diferensiasi, dan pengembangan maupun merangsang adhesi sel-sel,
pemberi sinyal pada sel, keterlibatan dalam vasoregulasi, proliferasi fibroblast,
dan peningkatan ekspresi enzim antioksidan. Namun produksi ROS yang tidak
terkendali atau berlebihan akan merusak.20 Stres oksidatif menggambarkan
keberadaan produk yang disebut radikal bebas dan ROS yang terbentuk dalam
kondisi fisiologis normal tetapi menjadi merusak ketika tidak dalam keadaan
seimbang dengan sistem antioksidan. Ada bukti meyakinkan baik eksperimental
dan klinis bahwa pembentukan ROS meningkat pada kedua jenis diabetes dan
bahwa onset diabetes sangat erat kaitannya dengan stres oksidatif.21
Beberapa mekanisme molekuler menjelaskan berbagai komplikasi diabetes
yang diinduksi oleh keadaan hiperglikemia. Mekanisme yang paling banyak
dipelajari meliputi peningkatan jalur poliol, aktivasi jalur diasilgliserol (DAG) /
protein kinase C (PKC), peningkatan stres oksidatif, peningkatan pembentukan
dan efek advanced glycation end products (AGE), dan peningkatan jalur
hexosamine. Selain itu, perubahan dari sinyal transduksi yang disebabkan oleh
hiperglikemia atau metabolit beracun menyebabkan disfungsi pembuluh darah dan
saraf,
seperti
gangguan
aliran
darah,
peningkatan
laju
apoptosis,
hiperpermeabilitas dan akumulasi matriks ekstraselular pada pembuluh darah oleh
perubahan ekspresi gen atau fungsi protein. Hiperglikemia juga dapat
menghambat faktor pelindung endogen pada jaringan pembuluh darah, seperti
insulin, vascular endothelial growth factor (VEGF), platelet derived growth
factor (PDGF), dan activated protein C (APC), yang memainkan peran penting
dalam
mempertahankan
homeostasis
pembuluh
darah
dan
menetralisir
hiperglikemia yang menginduksi senyawa toksik termasuk stres oksidatif, AGE
atau aktivasi nuclear factor-kB (NF-kB), sehingga dapat mencegah dan menunda
perkembangan komplikasi diabetes.22
Tingginya tingkat radikal bebas yang abnormal dan penurunan secara
simultan sistem pertahanan antioksidan dapat menyebabkan kerusakan organel sel
Universitas Sumatera Utara
12
dan enzim, peningkatan peroksidasi lipid dan berkembangnya komplikasi diabetes
mellitus.21 Stress oksidatif akibat kelainan metabolik pada diabetes akan
menyebabkan kelebihan produksi superoksida mitokondria pada sel-sel endotel
baik pada pembuluh darah besar dan kecil serta pada miokard. Stress oksidatif
bertindak sebagai mediator resistensi insulin dan perkembangan intoleransi
glukosa pada diabetes mellitus yang menyebabkan komplikasi aterosklerosis dan
berkontribusi pada munculnya banyak komplikasi mikro dan makrovaskuler.20
Gambar 2.2. Pembentukan ROS dan Akibatnya pada Diabetes.
Ada beberapa sumber stres oksidatif pada diabetes termasuk nonenzimatik,
enzimatik dan jalur mitokondria. Sumber stres oksidatif nonenzimatik berasal dari
biokimia oksidatif glukosa. Hiperglikemia dapat langsung menyebabkan
peningkatan ROS. Glukosa dapat mengalami autoksidasi dan menghasilkan
radikal OH•.18 Glukosa juga bereaksi dengan protein secara nonenzimatik yang
mengarah ke pembentukan AGE, stimulasi jalur poliol (sorbitol), aktivasi protein
Universitas Sumatera Utara
13
kinase C (PKC), yang juga meningkatkan produksi O2•-.18,19,21 Sumber enzimatik
yang menghasilkan spesies reaktif pada diabetes termasuk nitric oxide synthase
(NOS), Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen (NADPH)
oxidase dan xantin oksidase. Rantai respirasi mitokondria adalah sumber lain
pembentukan spesies reaktif nonenzimatik. Selama proses fosforilasi oksidatif,
elektron ditransfer dari pembawa elektron Nicotinamide adenine dinucleotide
hydrogen (NADH) dan flavin adenine dinucleotide hydrogen (FADH2) kepada
oksigen yang menghasilkan adenosine triphosphate (ATP).18 Dalam kondisi
normal O2•- segera dihilangkan oleh mekanisme pertahanan alami. Hiperglikemia
persisten mengakibatkan jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel tidak
proporsional, sehingga influks glukosa ditingkatkan melalui glikolisis dan siklus
asam trikarboksilat (TCA), yang mengakibatkan peningkatan transpor rantai
elektron mitokondria, yang menghasilkan jumlah O2•- yang lebih besar, lebih dari
SOD
mitokondria
yang
dapat
dismutasekan.
Hal
ini
mengakibatkan
ketidakseimbangan antara produksi ROS mitokondria dan degradasi ROS
mitokondria, sehingga stres oksidatif terjadi. Bukti menunjukkan bahwa
hiperglikemia menginduksi
produksi O2•- mitokondria berlebihan, yang
memainkan peran penting dalam menghasilkan spesies reaktif lain pada diabetes
mellitus. (Gambar 2.2).18,23
2. 3. SOD (Superoxide Dismutase) Dan Diabetes Mellitus
Superoksida dismutase (SOD) adalah enzim yang berfungsi untuk
mengkatalis konversi radikal superoksida (O2•-) menjadi oksigen (O2) dan
hidrogen peroksida (H2O2). Berdasarkan
kofaktor logam, SOD dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kelompok; besi-SOD (Fe-SOD), mangan-SOD
(Mn-SOD), tembaga-seng-SOD (CuZn-SOD), dan nikel-SOD (Ni-SOD).24
Tiga bentuk superoxide dismutase pada manusia; Cu-Zn-SOD atau SOD1
terletak pada sitosol dan nuklesus, Mn-SOD atau SOD2 dalam mitokondria, dan
extracellular SOD (EC-SOD) atau SOD3 adalah ekstraseluler. SOD1 dan SOD3
mengandung tembaga dan seng, sedangkan SOD2, enzim mitokondria
mengandung mangan.
20,25-28
Di antara isoenzim SOD, Mn-SOD adalah yang
pertama dan yang paling penting dari pertahanan terhadap ion superoksida yang
toksik. Yang kedua yaitu CuZn-SOD dalam sitosol juga mendukung fungsi
Universitas Sumatera Utara
14
pelindung dari MnSOD dengan menetralisir O2•- dalam sitosol dan yang bocor
dari mitokondria. EC-SOD akan menetralisir O2•- pada bagian luar permukaan sel
dan dalam matriks ekstraselular dan cairan. Selain melindungi permukaan sel
namun juga menghilangkan O2•- dari pembuluh darah.26
ROS merupakan atom atau molekul kecil yang tidak memiliki pasangan
elektron yang siap menerima elektron lain atau mentransfer elektron yang tidak
berpasangannya ke molekul lain. ROS secara normal diproduksi dari metabolisme
sel, namun perubahan dalam jumlah dan sifat ROS dilepaskan pada berbagai
keadaan penyakit. Di antara ROS yang dihasilkan oleh sel-sel hidup, O2•merupakan senyawa proinflamasi yang merusak sel. O2•- merusak sel endotel,
meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler dan mempromosikan migrasi neutrofil
pada fokus inflammasi.25
Konsentrasi ROS diatur oleh keseimbangan antara produksi dan eliminasi
ROS oleh antioksidan. Keseimbangan yang tepat sangat penting untuk sel normal
dan fungsi jaringan. ROS diproduksi pada banyak proses metabolisme termasuk
respirasi mitokondria dan aktivitas enzim (sitokrom P-450, NADPH oksidase,
myeloperoxidase, NO sintase, dan xanthine oxidase). Enzim antioksidan
menangkap ROS yang ada dalam tubuh termasuk; SOD, glutation peroksidase,
dan katalase. Selain itu, antioksidan larut air (glutation, vitamin C, dan asam urat)
dan antioksidan larut lemak (vitamin E, karotenoid, dan bilirubin) sangat penting
untuk melindungi membran sel dan lipoprotein plasma. SOD mengkatalis
dismutasi O2•- menjadi O2 dan H2O2:25
O2•- + O2•- + 2H+ → H2O2 + O2
Radikal superoksida atau anion (atom bermuatan negatif) yang dihasilkan
ketika oksigen dengan elektron berlebih. Hal ini terjadi melalui proses
metabolisme normal, seperti transformasi katalitik dari berbagai molekul oleh
enzim. SOD bertanggung jawab untuk mengkatalisis konversi superoksida
menjadi oksigen dan hidrogen peroksida. Transformasi ini disebut dismutasi, yang
menjadi nama enzim tersebut.4 Meskipun H2O2 juga merupakan senyawa prooksidan, namun kemudian akan diubah oleh enzim katalase di dalam lisosom atau
glutation peroksidase di dalam mitokondria menjadi air dan oksigen.4,25 Enzim
Universitas Sumatera Utara
15
lain yang penting adalah glutathione reduktase, yang menghasilkan glutathione
yang digunakan sebagai donor hidrogen oleh glutation peroksidase selama
eliminasi H2O2 (Gambar 2.3).4,18,25
Gambar 2.3. Pembentukan Superoksida dan Peran Antioksidan pada Diabetes.
Pembentukan ROS meningkat pada diabetes dan sangat erat kaitannya
dengan onset diabetes.21 Aktivitas SOD sel darah merah sering diukur pada
manusia sebagai indeks pertahanan terhadap superoksida dalam darah. Pada
penderita diabetes, aktivitas eritrosit SOD telah terbukti dapat menurun,
meningkat dan tidak berubah. Dari pengamatan klinis bahwa faktor seperti jenis
dan durasi diabetes, jenis pengobatan, ada atau tidaknya komplikasi yang tidak
dapat diungkapkan pada tes laboratorium rutin akan mempengaruhi perubahan
aktivitas enzim (meningkat, terganggu, tidak berubah). Pengalaman dari beberapa
ahli bahwa ketika gula darah terkontrol secara ketat pada diabetes tipe I dengan
terapi insulin intensif maka tidak disertai dengan perubahan signifikan dalam
keseimbangan prooksidan-antioksidan. Dalam beberapa tahun terakhir telah
Universitas Sumatera Utara
16
dipastikan bahwa pada kontrol metabolik diabetes yang lebih buruk maka semakin
tinggi frekuensi komplikasi lanjut yang terjadi. Stress oksidatif berperan dalam
perkembangan komplikasi ini, dan diharapkan perubahan adaptif dapat diamati
pada sistem pertahanan antioksidan. Perubahan ini akan menunjukkan perbedaan
yang nyata pada kontrol metabolik yang berbeda dan tergantung pada lamanya
waktu keadaan kontrol metabolik yang buruk.29
Penelitian yang dilakukan oleh Renuka P dan Naveen Cr (2014) menilai
kadar SOD eritrosit dan NO pada penderita diabetes dan hubungannya dengan
durasi lamanya diabetes mellitus mendapatkan bahwa SOD eritrosit dan serum
NO meningkat signifikan pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol yang
sehat. Bila dibandingkan antara kelompok durasi diabetes >7 tahun ditemukan
SOD menurun dan NO meningkat signifikan dibandingkan dengan durasi diabetes
<7 tahun.
30
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian oleh Ahmed M A dkk
(2016), yang selain menilai durasi lamanya penyakit (≤5tahun, 6-10 tahun, ≥10
tahun) juga kontrol glikemik pada diabetes, menyimpulkan bahwa diabetes
dengan durasi yang lebih lama dan kontrol glikemik yang buruk berhubungan
dengan penurunan SOD.5
Pembentukan radikal bebas bersamaan dengan defisiensi antioksidan pada
DM tipe 2 meningkat seiring waktu yang disebabkan oleh hiperglikemia yang
berkepanjangan dan berperan penting pada komplikasi diabetes seperti nefropati,
retinipati, neuropati, penyakit arteri perifer dan aterosklerosis.31 Durasi penyakit
yang semakin lama maka aktivitas enzim antioksidan pada eritrosit ditemukan
akan menurun dan meminimalkan mekanisme penangkapan radikal bebas.
Peningkatan kadar SOD mungkin karena peningkatan sintesis dalam respon
terhadap stres oksidatif. Meskipun tingkat SOD pada awalnya meningkat dalam
menanggapi radikal bebas, semakin lama durasi diabetes menyebabkan penurunan
kadar SOD, yang mungkin menjadi alasan untuk meningkatnya kadar NO karena
mekanisme SOD dalam menghilangkan O2•- yang menurun. Hasil yang sama
ditunjukkan dalam studi oleh Satoh M dkk (2005), menyatakan bahwa aktivitas
SOD eritrosit tertinggi pada awal diabetes dan kemudian menurun. Kawamura
dkk (1992), menunjukkan peningkatan SOD eritrosit terglikasi yang akan
menyebabkan penurunan aktivitasnya pada pasien diabetes. Enzim SOD
Universitas Sumatera Utara
17
diregulasi dalam menanggapi peningkatan stres oksidatif. Perpanjangan durasi
penyakit dan aktivitas SOD yang menurun dapat dijelaskan oleh adanya paparan
jangka panjang enzim terhadap konsentrasi glukosa yang tinggi mengarah pada
peningkatan pembentukan SOD terglikasi, yang kurang aktif dibandingkan
dengan enzim normal.30
Dalam suatu penelitian oleh Prechl J dkk (1997), menilai hubungan
antara durasi diabetes dengan pengukuran variasi dari berbagai aktivitas
antioksidan di dalam darah, ditemukan bahwa SOD eritrosit berkurang pada
pasien yang telah menderita diabetes selama lebih dari 10 tahun dibandingkan
yang belum, sementara Gpx darah dan aktivitas katalase eritrosit tidak berbeda.29
Penurunan SOD telah diamati pada eritrosit pasien diabetes dan jaringan
dari hewan diabetes pada berbagai penelitian.32 Pada suatu studi case-control
cross-sectional deskriptif oleh Nazeri dkk (2011) terhadap 80 pasien DM tipe 2
dan 74 sukarelawan sehat sebagai kelompok kontrol, dijumpai jumlah total
kapasitas antioksidan, katalase dan aktivitas superoksida dismutase menurun
secara bermakna pada kelompok diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol
(p <0,05).33 Hal ini sesuai dengan dengan penelitian sebelumnya (M.E Rahbaninobar dkk, 1999) yang menilai perubahan status enzim antioksidan yang
dievaluasi pada sampel eritrosit yang diperoleh dari 125 pasien diabetes (tipe 1
dan 2) dan 120 subjek sehat sebagai kelompok kontrol (jenis kelamin dan umur
disesuaikan) bahwa aktivitas SOD secara signifikan rendah pada kedua jenis
diabetes.34 Sementara Farah J dkk (2013), Wan Ting Hsu dkk (2006) dan
Kesavulu dkk (2000), mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
ditemukan dalam aktivitas SOD antara kelompok diabetes dan kontrol.35-37
Hiperglikemia
memberikan
dampak
oksidan
yang
ditandai
oleh
peningkatan yang signifikan dalam produk lipid peroksidasi serta penurunan yang
signifikan antioksidan termasuk SOD, CAT, Cp (ceruloplasmin) dan GSH.
Penurunan aktivitas SOD mungkin dikaitkan dengan alasan-alasan berikut: (1)
Hiperglikemia mengaktifkan berbagai jalur biokimia seperti autoksidasi glukosa,
glikasi protein nonenzimatik (proses glikoksidasi AGE) dan aktivasi protein
kinase C, yang pada gilirannya kelebihan oksidan seperti superoksida dan radikal
hidroksil serta hidrogen peroksida. (2) Peningkatan SOD glikosilasi yang
Universitas Sumatera Utara
18
mengarah ke inaktivasi enzim ini. (3) Kehilangan dua factor; Zn2+ dan Cu2+. Hal
ini selaras dengan temuan bahwa pada pasien diabetes, seperti pada orang sehat,
ada korelasi yang erat antara penurunan aktivitas SOD dan hilangnya dua faktor
yang, Zn2+ dan Cu2+.32
2.4. Prinsip Pemeriksaan SOD
Pada penelitian ini aktivitas SOD diukur pada sampel eritrosit menggunakan
kit Ransel; Randox Laboratories Crumlin U.K, dimana peranan SOD adalah untuk
mempercepat dismutasi radikal superoksida yang toksik (O2•-) yang diproduksi
selama proses energi oksidatif menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen.
Metode ini menggunakan xanthine dan xanthine oxidase (XOD) untuk
menghasilkan radikal superoksida yang bereaksi dengan 2-(4-iodophenyl)-3-(4nitrofenol)-5-phenyltetrazolium klorida (I.N.T.) untuk membentuk pewarna
formazan merah. Aktivitas superoxide dismutase kemudian diukur dengan tingkat
penghambatan reaksi ini. Satu unit SOD adalah yang menyebabkan 50%
penghambatan dari laju pengurangan INT dalam kondisi pengujian tersebut.38
XOD
Xanthine
Uric acid + O2•-
O2•I.N.T.
O2•- + O2•-+ 2H+
formazan dye
atau
SOD
O2 + H2O2
Nilai rujukan normal SOD sesuai dengan nilai yang tertera pada kit yang
dipakai pada penelitian ini yaitu 1102 - 1601 U/gHb, namun disarankan bahwa
setiap laboratorium yang melakukan pemeriksaan membuat rentang referensi
sendiri untuk mencerminkan usia, jenis kelamin, diet dan letak geografis
penduduk.38
2.5. Punguntano Dan Antioksidan
Puguntano (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) merupakan tanaman
berbatang basah, berbaring dan tumbuh merambat. Tangkai daunnya tumbuh
berhadapan, permukaanya tidak berbulu, rata, tipis dan bergerigi. Bagian tandan
Universitas Sumatera Utara
19
bunga tanaman ini nampak berwarna merah (Gambar 2.4). Puguntano dahulu
diletakkan dalam famili Scrophulariaceae sekarang diletakkan dalam famili
Linderniaceae. Puguntano di Indonesia tersebar di daerah Sumatera, Jawa,
Kalimantan dan Maluku. Di beberapa daerah tanaman ini juga dikenal nama
Tamah raheut (Sunda), Mempedu tanah, daun Kukurang (Maluku), dan Papaita
(Ternate).8,39
Gambar 2.4. Tanaman Puguntano
Beberapa penelitian telah mempelajari kandungan senyawa kimia pada
Puguntano dan efeknya untuk kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Juwita (2008) menunjukkan bahwa tanaman daun Puguntano mempunyai potensi
sebagai antiinflamasi mengandung senyawa kimia golongan glikosida, falavonoid,
tanin dan steroid/triterpenoid.9 Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh
Urip Harahap dkk (2013) dengan metode perkolasi dan sokletasi mendapatkan
bahwa ekstrak etanol daun Puguntano yang diperoleh memiliki kandungan
fitokimia yaitu flavonoid, saponin, tannin, glikosida, dan steroid/terpenoid.
Golongan senyawa metabolit sekunder ekstrak etanol daun Puguntano yang
teridentifikasi dalam penelitian ini juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti
sebelumnya yaitu glikosida (Zhou, et al., 2005; Huang, et al., 1998), flavonoid
Universitas Sumatera Utara
20
(Huang, et al., 1999), saponin (Fang, et al., 2009), dan terpenoid (Wang, et al.,
2006).8 Sementara Panal Sitorus dkk (2014) telah berhasil mengisolasi βSitosterol dari ekstrak n-hexane pada tanaman Puguntano, suatu kandungan yang
diyakini sebagai salah satu efek antidiabetes dari tanaman ini, dan berhasil
membuktikan pemberian ekstrak ini pada mencit selama 10 hari dapat
menurunkan kadar gula darah sebesar 44.47 %.10 Senyawa flavonoid, tanin,
saponin, dan β-sitosterol dari berbagai jenis tanaman diketahui memiliki efek
sebagai antioksidan dari berbagai hasil penelitian sebelumnya.13-18
Tanaman Puguntano telah digunakan secara empiris dalam pengobatan
diabetes mellitus, terutama oleh masyarakat Dairi Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian oleh Finni Harfina ddk (2012) secara observasi klinis membuktikan
bahwa serbuk simplisia daun Puguntano mempunyai efek dalam menurunkan
kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus dengan dosis 2 g, 3 kali sehari
selama 14 hari yang diberikan secara oral dalam bentuk seduhan.9
Senyawa cucurbitacin dalam glikosida yang terkandung pada serbuk simplisia
Puguntano diduga memberikan efek penurunan kadar gula darah yaitu dengan
merangsang sekresi insulin sehingga banyak produksi insulin yang dikeluarkan
untuk mengontrol kadar gula darah menjadi normal. Selain itu, terdapat golongan
fitosterol dalam bentuk β-sitosterol yang juga berperan dalam merangsang
sensitifitas insulin, meningkatkan produksi insulin, dan sebagai antioksidan untuk
mengurangi kerusakan yang terjadi pada sel-sel di Langerhans.9 Sementara
saponin bertindak sebagai antioksidan dengan menangkap superoksida dan
membentuk hidroksiperoksida yang mencegah kerusakan biomolekuler yang
diakibatkan radikal bebas.40
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa flavonoid
mempunyai aktivitas antioksidan yang beragam pada berbagai jenis sereal,
sayuran dan buah-buahan.41 Selain itu flavonoid telah terbukti sebagai:
antibakteri, antivirus, antialergi, antiinflamasi, antitrombotik, antineoplastik,
aktivitas vasodilatasi dan efek antimutagenik dan penghambatan beberapa
enzim.42,43 Sifat antioksidan flavonoid adalah dimana gugus hidroksil fenolik yang
melekat pada struktur cincin dapat bertindak sebagai agen pereduksi, donatur
hidrogen, inhibisi xanthin oxidase, chelators logam, mengaktifkan enzim
Universitas Sumatera Utara
21
antioksidan, mengurangi radikal α-tokoferol, mengurangi stres nitrosatif,
menetralisir radikal superoksida, lipid peroksil, dan hidroksil.41-44 Terdapat
hipotesis bagaimana flavonoid sebagai alternatif pengobatan diabetes mellitus
antara lain dengan menurunkan aldose-reduktase, regenerasi sel pankreas,
meningkatkan pelepasan insulin dan meningkatkan uptake ion Ca2+.45 Studi lain
menyatakn bahwa flavonoid merupakan senyawa fenol dengan aktifitas biologi
yang luas dan memiliki efek pada diabetes melalui inhibisinya pada enzim αglukosidase atau pencegahan absorpsi glukosa dan atau memperbaiki toleransi
glukosa.46
Tanin salah satu kelompok senyawa polifenol yang dikenal sebagai
antioksidan dalam tanaman obat, makanan, dan buah-buahan yang dapat dimakan.
Selain itu tanin juga bersifat kardioprotektif, anti-inflamasi, anti-karsinogenik dan
anti-mutagenik. Efek perlindungan ini terkait dengan kapasitasnya untuk
bertindak sebagai penangkap radikal bebas dan mengaktifkan enzim antioksidan
sehingga dapat memperbaiki keadaan oksidatif patologis pada diabetes. Tanin
meningkatkan penyerapan glukosa melalui mediator dari jalur signaling insulin
seperti PI3K (phosphoinositide 3-kinase), aktivasi p38 MAPK (Mitogen-Activated
Protein Kinase) dan translokasi GLUT-4 (Glucose transporter type 4). Tanin juga
menghambat adipogenesis dan meningkatkan aktivitas insulin sehingga menjadi
obat yang potensial untuk pengobatan NIDDM (non-insulin dependent diabetes
mellitus) Studi terbaru menunjukkan senyawa tanin dari sumber botani adalah
inhibitor alami α-amilase dan α-glukosidase. Dengan efek penghambatan yang
kuat pada α-glukosidase tetapi efek penghambatan ringan pada α-amilase
sehingga dapat digunakan sebagai langkah efektif untuk mencegah hiperglikemia
postprandial dengan efek samping minimal yang secara signifikan menurunkan
hiperglikemia postprandial setelah konsumsi diet karbohidrat campuran dan bisa
menjadi strategi efektif dalam pengendalian diabetes tipe 2.47
2.6. Pembuatan Ekstrak Daun Puguntano
Metode : perkolasi, dengan pelarut etanol 70%. Caranya: sebanyak 300 g
serbuk simplisia dimasukkan ke dalam bejana bertutup dan dibasahi dengan
sejumlah cairan penyari etanol 50%, dimaserasi selama 3 jam. Massa dipindahkan
sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, kemudian cairan penyari dituangkan
Universitas Sumatera Utara
22
secukupnya sampai terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia dan dibiarkan
selama 24 jam. Cairan dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, cairan
penyari ditambahkan berulang-ulang sehingga selalu terdapat selapis cairan
penyari di atas simplisia, perkolasi dihentikan sampai perkolat terakhir yang
keluar tidak berwarna. Perkolat dipekatkan dengan menggunakan rotavapor,
setelah diperoleh ekstrak kental, kemudian dikeringkan pada freeze dryer (Ditjen
POM, 1986).
2.7. Pembuatan Sediaan Kapsul Ekstrak Daun Puguntano
Kapsul ekstrak daun Puguntano dibuat
dengan dosis 100 mg dan
kemudian dicampur dengan bahan pengisi sampai bobot kapsul 500 mg dan
dimasukkan ke dalam kapsul.
Setiap kapsul mengandung:
R/ Ektrak daun Puguntano 100 mg
Amylum manihot
5%
Amylum maydis
2,5 %
Sakarum laktis
qs
Cara pembuatan:
Ekstrak kental daun Puguntano ditimbang lalu digerus sedikit demi sedikit dengan
bahan pengisi dan bahan pengering/pegembang (amylum manihot, amylum
maydis dan sakarum laktis) sehingga diperoleh massa yang kompak, kemudian
dibuat granul dengan mengayak massa tersebut. Dikeringkan di lemari pengering
selama 1 jam sehingga diperoleh granul kering. Diayak kembali dan dicampur
dengan sakarum laktis sampai mencapai bobot yang sesuai. Kemudian
dimasukkan ke dalam cangkang kapsul dengan bantuan alat pengisi kapsul.
Evaluasi penyimpangan bobot sediaan kapsul ekstrak daun Puguntano
dilakukan dengan cara berikut : ditimbang 20 kapsul, ditimbang lagi kapsul satu
persatu. Keluarkan isi semua kapsul, timbang seluruh bagian cangkang kapsul.
Perbedaan dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-rata tiap isi
kapsul tidak boleh lebih dari 5% dan untuk 2 kapsul tidak lebih dari 10%.
Universitas Sumatera Utara
Download