BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Ventilasi Mekanik 2. 1. 1 Defenisi

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1
Ventilasi Mekanik
2. 1. 1 Defenisi
Ventilasi merupakan proses perpindahan udara dari lingkungan luar tubuh
ke dalam paru-paru. Respirasi merupakan proses pertukaran gas O2 dan CO2 yang
terjadi di alveolus dalam paru-paru. Alveolus merupakan kantong udara di ujung
percabangan bronkus dalam paru-paru. O2 berdifusi melalui dinding alveolus
menembus pembuluh darah dan CO2 berdifusi ke luar pembuluh darah..
Diafragma adalah otot utama untuk inspirasi, bersama dengan otot
interkosta. Ketika otot-otot pernapasan mengalami paralisis, bernapas menjadi
sulit bahkan tidak mungkin. Ventilasi mekanik mengambil alih proses ventilasi
dan memudahkan pernapasan dengan membantu otot pernapasan yang mengalami
paralisis. Otot abdomen juga penting dalam proses ekspirasi dan batuk. Otot
ekspirasi pernapasan yang lemah menghasilkan batuk yang lemah juga
ketidakmampuan pengeluaran sekret yang dapat menyebabkan infeksi saluran
pernapasan dan penumonia (International Ventilator Users Network, 2014).
Ventilator, dikenal juga dengan istilah respirator, merupakan alat bantu
mekanik yang mempertahankan udara dapat mengalir ke dalam paru-paru. Banyak
orang mengenal penggunaaan ventilator pada rumah sakit, sepeti di ICU, dimana
penggunaan ventilator akut dan kompleks banyak dijumpai.
Ventilasi mekanik rutin diperlukan pada pasien dewasa kritis di unit
perawatan intensif. Tujuan utama penggunaan ventilator mekanik adalah untuk
menormalkan kadar gas darah arteri dan keseimbangan asam basa dengan
memberi ventilasi adekuat dan oksigenasi. (Grossbach, 2011).
Ventilasi mekanik memiliki prinsip yang berlawanan dengan fisiologi
ventilasi, yaitu dengan menghasilkan tekanan positif sebagai pengganti tekanan
negatif untuk mengembangkan paru-paru.
Universitas Sumatera Utara
2. 1. 2 Tipe Ventilator
Menurut West (2003), ventilator dibagi atas tiga jenis:
(1)
Ventilator Volume-Konstan
Ventilator ini memberikan gas dalam volume yang diatur
sebelumnya kepada pasien, biasanya melalui piston pengatur bermotor
dalam sebuah silinder atau peniup bermotor. Curah dan frekuensi pompa
dapat disesuaikan untuk memberi ventilasi yang diperlukan. Rasio
inspirasi terhadap waktu ekspirasi dapat dikendalikan oleh mekanisme
kenop khusus. Oksigen dapat ditambahkan ke udara inspirasi sesuai
keperluan, dan sebuah pelembab dimasukkan dalam sirkuit.
Ventilator volume-konstan adalah mesin kuat dan dapat diandalkan
yang cocok untuk ventilasi jangka lama. Alat ini banyak digunakan dalam
anestesia. Alat ini memiliki keuntungan dapat mengetahui volume yang
diberikan ke pasien walaupun terjadi perubahan sifat elastik paru atau
dinding dada maupun peningkatan resistensi jalan napas. Kekurangannya
adalah dapat terjadi tekanan tinggi. Akan tetapi, dalam praktik sebuah
katup pengaman aliran mencegah tekanan mencapai tingkat berbahaya.
Memperkirakan ventilasi pasien dari volume stroke dan frekuensi pompa
dapat menyebabkan kesalahan penting karena kompresibilitas gas dan
kebocoran, dan lebih baik mengukur ventilasi ekspirasi dengan spirometer.
(2)
Ventilator Tekanan-Konstan
Ventilator ini memberi gas pada tekanan yang diatur sebelumnya
dan merupakan mesin yang kecil dan relatif tidak mahal. Alat ini tidak
memerlukan tenaga listrik, tetapi bekerja dari sumber gas terkompresi
bertekanan minimal 50 pon/inci persegi. Kekurangan utamanya, yaitu jika
digunakan sebagai metode tunggal ventilasi, volume gas yang diberikan
dipengaruhi perubahan komplians paru atau dinding dada. Peningkatan
resistensi jalan napas juga dapat mengurangi ventilasi karena mungkin
tidak cukup waktu untuk menyeimbangkan tekanan yang terjadi antara
mesin dan alveoli. Oleh karena itu, volume ekspirasi harus dipantau. Ini
sulit pada beberapa ventilator. Kekurangan lain ventilator tekanan-konstan
Universitas Sumatera Utara
adalah konsentrasi oksigen inspirasinya bervariasi sesuai kecepatan aliran
inspirasi.
Ventilator tekanan-konstan kini terutama
digunakan untuk
“ventilasi bantuan-tekanan”, yaitu membantu pasien yang diintubasi
mengatasi peningkatan kerja napas yang terjadi karena slang endotrakeal
yang relatif sempit. Pemakaian dengan cara ini berguna untuk melepaskan
pasien dari ventilator, yaitu peralihan dari ventilasi mekanik ke ventilasi
spontan.
(3)
Ventilator Tangki
Ventilator tipe (1) dan (2) adalah ventilator tekanan-positif karena
memberi tekanan positif ke jalan napas. Sebaliknya, respirator tangki
memberi tekanan negatif (kurang dari atmosferik) ke luar dada dan tubuh
lain, kecuali kepala. Ventilator tangki terdiri dari sebuah kotak kaku (“paru
besi”) yang dihubungkan dengan pompa bervolume besar, bertekanan
rendah yang mengendalikan siklus pernapasan.
Ventilator tangki tdak lagi digunakan dalam penanganan gagal
napas akut karena membatasi akses ke pasien, ukuran besar, dan tidak
nyaman. Alat ini dipergunakan secara luas untuk ventilasi pasien dengan
penyakit neuromuskular kronik yang perlu diventilasi selama berbulanbulan atau bertahun-tahun. Sebuah modifikasi ventilator tangki adalah
perisai yang pas di atas toraks dan abdomen serta menghasilkan tekanan
negatif. Ini biasanya dicadangkan bagi pasien yang sudah sembuh parsial
dari gagal napas neuromuskular.
(4)
Patient-Cycled Ventilators
Pada ventilator ini, fase inspirasi dapat dipicu oleh pasien ketika ia
melakukan upaya inspirasi. Istilah “ventilasi bantuan” terkadang diberikan
untuk cara kerja ini. Banyak ventilasi tekanan-konstan memiliki
kemampuan ini. Ventilator ini berguna pada terapi pasien yang sembuh
dari gagal napas dan sedang dilepas dari penggunaan ventilasi terkendali.
Universitas Sumatera Utara
2. 1. 3 Pola Ventilasi
Menurut West (2003), pola ventilasi dibagi menjadi:
(1)
Intermittent Posiive Pressure Ventilation (IPPV)
Intermittent
Posiive Pressure Ventilation (IPPV) terkadang
disebut pernapasan tekanan positif intermiten (Intermitten Positive
Pressure
Breathing/IPPB)
dan
merupakan
pola
umum
berupa
pengembangan paru oleh penerapan tekanan positif ke jalan napas dan
dapat mengempis secara pasif pada FRC. Dengan ventilator modern,
variabel utama yang dapat dikendalikan meliputi volume tidal, frekuensi
napas, durasi inspirasi versus ekspirasi, kecepatan aliran inspirasi, dan
konsentrasi oksigen inspirasi.
Pada pasien dengan obstrksi jalan napas, perpanjangan waktu
ekspirasi memiliki keuntungan karena daerah paru dengan konstan waktu
yang lama akan memiliki waktu untuk mengosongkan diri. Di sisi lain,
tekanan jalan napas positif yang lama dapat mengganggu aliran balik vena
ke toraks. Umumnya, dipilih frekuensi yang relatif rendah dan waktu
ekspirasi yang lebih besar dari inspirasi, tetapi setiap pasien memerlukan
perhatian yang berbeda-beda.
(2)
Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)
Pada pasien ARDS, perbaikan PO2 arterial yang besar sering kali
dapat dicapai dengan mempertahankan tekanan jalan napas positif yang
kecil pada akhir ekspirasi. Nilai sekecil 5 cm H2O sering kali bermanfaat.
Akan tetapi, tekanan setinggi 20 cm H2O atau lebih kadang kala
digunakan. Katup khusus tersedia untuk memberi tekanan. Keuntungan
PEEP adalah alat ini memungkinkan konsentrasi oksigen inspirasi
diturunkan sehingga mengurangi risiko toksisitas oksigen.
Beberapa mekanisme mungkin berperan pada peningkatan PO 2
arterial yang dihasilkan dari PEEP. Tekanan positif meningkatkan FRC,
yang tipikalnya kecil pada pasien ini karena pengingkatan rekoil elastik
paru. Volume paru yang kecil menyebaban penutupan jalan napas dan
ventilasi intermiten (atau tidak ada ventilasi sama sekali) di beberapa
Universitas Sumatera Utara
daerah, terutama di daerah dependen, dan absorpsi atelektasis. PEEP
cenderung membalikkan perubahan ini. Pasien dengan edema jalan
napasnya juga mendapat keuntungan, mungkin karena cairan bregeser ke
dalam jalan napas perifer kecil atau alveoli, memungkinkan beberapa
daerah paru diventilasi ulang.
Tabel 2.1 Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)

Sering berguna untuk meningkatkan PO2 arterial pada pasien dengan
gagal napas

Nilai 5-20 cm H2 lazim dipakai

Memungkinkan konsentrasi O2 inspirasi menurun

Dapat menurunkan curah jantung dengan menghambat aliran balik
vena

PEEP tingkat tinggi dapat merusak kapiler paru
(Sumber: Patofisiologi Paru Esensial Edisi 6, 2003)
Terkadang, penambahan PEEP yang terlalu besar menurunkan PO 2
arteri, bukan meningkatkannya. Mekanisme yang mungkin meliputi: 1)
curah jantung sangat menurun, yang menurunkan PO2 dalam darah vena
campuran dan PO2; 2) penurunan ventilasi daerah berperfusi baik (karena
peningkatan ruang mati dan ventilasi ke daerah berperfusi buruk); 3)
peningkatan aliran darah dari daerah berventilasi ke tidak berventilasi oleh
peningkatan tekanan jalan napas. Akan tetapi, efek PEEP membahayakan
ini pada PO2 ini jarang terjadi.
PEEP cenderung menurunkan curah jantung dengan menghambat
aliran balik vena ke toraks, terutama jika volume darah yang bersirkulasi
menurun karena perdarahan atau syok. Oleh karena itu, nilainya tidak
boleh diukur dari efeknya pada PO2 arteri saja, tetapi bersamaan dengan
jumlah total oksigen yang dikirim ke jaringan. Hasil dari konsentrasi
oksigen arterial dan curah jantung merupakan indeks yang berguna karena
perubahan padanya akan mengubah PO2 darah vena campuran dan
Universitas Sumatera Utara
kemudia PO2 banyak jaringan. Beberapa dokter menggunakan kadar PO2
dalam darah vena campuran sebagai panduan untuk tingkat optimal PEEP.
Dalam
keadaan tertentu, pemasangan PEEP menyebabkan
penurunan seluruh konsumsi oksigen pasien. Konsumsi oksigen menurun
karena perfusi di beberapa jaringan sangat marginal sehingga jika aliran
darahnya menurun lagi, jaringan tidak dapat mengambil oksigen dan
mungkin mati perlahan.
Bahaya PEEP tingkat tinggi yang lain adalah kerusakan pada
kapiler paru akibat regangan tinggi pada dinding alveolar. Dinding
alveolar dapat dianggap sebagai benang kapiler. Tegangan tingkat tinggi
meningkatkan stres pada dinding kapiler yang menyebabkan robekan pada
epitel alveolar, endotel kapiler, atau semua lapisan dinding.
(3)
Continious Positive Airway Pressure (CPAP)
Beberapa pasien yang sedang disapih dari ventilator bernapas
spontan, tetapi masih diintubasi. Pasien demikian mendapat keuntungan
dari tekanan positif yang diberikan kontinu ke jalan napas melalui sistem
katup pada ventilator. Perbaikan oksigenasi dihasilkan dari mekanisme
yang sama seperti PEEP. Suatu bentuk CPAP telah digunakan secara
sukses dalam ARDS. CPAP bentuk lain berguna untuk menangani
gangguan pernapasan saat tidur yang disebabkan oleh obstruksi jalan
napas atas. Di sini, peningkatan tekanan diberikan melalui masker wajah
yang dipakai sepanjang malam.
(4)
Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
Ini merupakan modifikasi IPPV, yaitu pemberian volume tidal
besar pada interval yang relatif jarang kepada pasien diintubasi yang
bernapas spontan. IMV sering dikombinasi dengan PEEP atau CPAP. Pola
ini berguna untuk menyapih ventilator dari pasien, dan mencegah oklusi
jalan napas atas pada apnea tidur obstruktif dengan menggunakan CPAP
nasal pada malam hari.
(5)
Ventilasi Frekuensi Tinggi
Universitas Sumatera Utara
Gas darah dapat dipertahankan normal dengan ventilasi tekanan
positif berfrekuensi tinggi (sekitar 20 siklus/detik) dengan volume
sekuncup yang rendah (50-100 ml). Paru digetarkan bukan dikembangkan
seperti cara konvensional, dan transpor gas terjadi melalui kombinasi
difusi dan konveksi. Salah satu pemakaiannya adalah pada pasien yang
mengalami kebocoran gas dari paru melalui fistula bronkopleura.
2. 1. 4 Efek Fisiologik pada Ventilasi Mekanik
(1)
Penurunan PCO2 Arteri
Hubungan antara PCO2 arterial dan ventilasi alveolar pada paru
normal dinyatalkan dalam persamaan berikut:
PCO2 =
.K
dengan K sebagai konstanta. Pada paru berpenyakit, penyebut V A dalam
persamaan ini kurang dari ventilasi yang masuk ke alveoli karena adanya
ruang mati alveolar, yaitu alveoli tidak berperfusi atau alveoli dengan rasio
ventilasi-perfusi tinggi.
Ada
beberapa
alasan
mengapa
ventilasi
tekanan-positif
meningkatkan ruang mati. Pertama, volume paru biasanya meningkat,
terutama jika ditambah dengan PEEP, dan traksi radial pada jalan napas
yang dihasilkan meningkatkan ruang mati anatomik. Kemudian, tekanan
jalan napas yang meningkat itu cenderung mengalihkan aliran darah dari
daerah yang berventilasi sehingga menyebabkan daerah dengan rasio
ventilasi-perfusi tinggi atau bahkan daerah tidak berperfusi. Ini khususnya
terjadi di daerah paru paling atas yang memiliki tekanan arteri pulmonal
yang relatif rendah karena efek hidrostatik. Tentu, jika tekanan dalam
kapiler turun di bawah tekanan jalan napas, kapiler dapat kolaps
seluruhnya, menyebabkan paru tidak berperfusi. Kolaps ini didukung oleh
dua faktor: 1) tekanan jalan napas yang abnormal tinggi dan 2) penurunan
aliran balik vena dan diikuti oleh hipoperfusi paru. Faktor yang terakhir
lebih mungkin jika terjadi penurunan volume darah yang bersirkulasi.
Universitas Sumatera Utara
Kecenderungan PCO2 arterial meningkat akibat peningkatan ruang
mati dapat diatasi dengan mengatur ulang ventilator untuk meningkatkan
ventilasi total. Dalam praktik, banyak pasien yang diventilasi secara
mekanik mengalami PCO2 arteri abnormal rendah karena diventilasi
berlebihan. PCO2 arteri yang terlalu rendah perlu dihindari karena hal ini
mengurangi aliran darah serebral sehingga menyebabkan hipoksia
serebral.
Bahaya lain ventilasi berlebihan pada pasien dengan retensi CO 2
adalah kalium serum yang rendah, yang mencetuskan irama jantung
abnormal. Ketika CO2 ditahan, kalium bergerak keluar sel ke dalam
plasma dan diekskresi oleh ginjal. Jika PCO2 berkurang
dengan
cepat,
kalium kembali masuk ke dalam sel sehingga mengurangi plasma.
(2)
Peningkatan PO2 Arteri
Pada beberapa pasien gagal napas, PCO2 arterinya sering tidak
meningkat dan tujuan ventilasi mekanik adalah meningkatkan PO2. Dalam
praktik, pasien seperti ini selalu diventilasi dengan yang diperkaya
oksigen, dan kombinasi ini biasanya efektif untuk mengurangi hipoksemia.
Konsentrasi oksigen inspirasi idealnya harus cukup untuk meningkatkan
PO2 arteri paling tidak menjadi 60 mmHg, tetapi konsenrasi inspirasi yang
terlalu tinggi perlu dihindari karena bahaya toksisitas oksigen dan
atelektasis.
(3)
Efek pada Aliran Balik Vena
Ventilasi mekanik cenderung mengganggu kembalinya darah ke
dalam toraks sehingga mengurangi curah jatung. Pada pasien yang
terlentang relaks, kembalinya darah ke toraks bergantung pada perbedaan
antara tekanan vena perifer dan tekanan intratoraks rata-rata. Jika tekanan
jalan napas ditingkatkan oleh ventilator, tekanan intratoraks rata-rata
meningkat dan menghambat aliran balik vena. Bahkan, jika tekanan jalan
napas tetap sesuai atmosfer, aliran balik vena cenderung turun karena
tekanan vena prifer dikurangi oleh tekanan negatid. Aliran balik vena
hampir tidak terpengaruh hanya pada respirator perisai (cuirass).
Universitas Sumatera Utara
Efek ventilasi tekanan-positif pada aliran balik vena bergantung
pada besar dan durasi tekanan inspirasi dan khususnya, penambahan
PEEP. Pola ideal dari titik tolak ini adalah fase inspirasi pendek dengan
tekanan yang relatif rendah diikuti oleh fase ekspirasi yang panjang serta
tekanan ekspirasi akhir menjadi nol. Namun, pola seperti itu mendukung
volume paru yang rendah dan mengakibatkan hipoksemua sehingga
umumnya perlu dipertimbangkan.
Determinan penting pada aliran balik vena adalah besarnya volume
darah yang bersirkulasi. Jika hal ini berkurang, misalnya karena
perdarahan atau syok, ventilasi tekanan-positif sering menyebabkan curah
jantung sangat menurun dan terjadi hipotensi sistemik. Oleh karena itu,
deplesi volume harus dikoreksi dengan penggantian cairan yang sesuai.
Tekanan vena sentral sering dipantau sebagai panduan, tetapi sebaiknya
berdasarkan dengan tekanan jalan napas. Tekanan jalan napas positif
sendiri meningkatkan tekanan vena sentral. Faktor lain yang sering
menyebabkan turunnya curah jantung selama ventilasi mekanik adalah
hipokapnia yang disebabkan ventilasi berlebihan.
Universitas Sumatera Utara
2. 1. 5 Indikasi Pemasangan Ventilasi Mekanik
Adapun indikasi pemasangan ventilasi mekanik dibagi atas:
Tabel 2. 2 Indikasi untuk ventilasi atau bantuan mekanis pada orang dewasa
Pembedahan

Anestesi
Kerusakan pada spinalis servikal di
umum
dengan
blokade atas C4

neuromuskular

Fraktur leher
Penatalaksanaan pascaoperasi bedah
mayor
Gangguan neuromuskular – bila vc
Depresi pusat respirasi

PaCO2 >7-8 kPa (50-60 mmHg)

Cedera kepala

Guillain-Barré

Overdosis obat (opiat, barbiturat)

Miastenia gravis

Peningkatan

Poliomielitis

Polineuritis
tekanan
intrakranial:
perdarahan
<20-30 ml/kg
serebral/tumor/meningitis/ensefalitis

Status epileptikus
Penyakit paru
Gangguan dinding dada

Pneumonia

Kifoskoliosis

Sindrom gawat napas akut (ARDS)

Trauma:

Serangan asma berat

Eksaserbasi
akut
terutama
flail
segment (fraktur banyak iga
PPOK,
→ potongan dinding dada
fibrosis
kistik

Trauma-kontusio paru

Edema paru
yang tidak menempel)
Lain-lain

Henti jantung

Syok sirkulasi berat

Hipoksia resisten pada gagal
napas tipe 1 (berkurangnya
oksigen)
(Sumber: At a Glance Sistem Respirasi, 2008)
Universitas Sumatera Utara
2. 1. 6 Komplikasi
Tabel 2. 3 Komplikasi Pemasangan Ventilasi Mekanis
Risiko selama intubasi endotrakeal Risiko yang dihubungkan dengan sendi
atau trakeostomi
dan paralisis
Depresi miokardial akibat anestetik
Depresi jantung
Aspirasi isi lambung
Depresi dorongan respirasi (menunda
Penurunan PaO2 selama apnea
pelepasan)
Bronkokonstriksi
refleks
dan Meningkatkan
laringospasme
Risiko
bahaya
kegagalan
diskoneksi/ventilator
intubasi
endotrakeal
dan Risiko
yang
dihubungkan
dengan
trakeostomi
ventilasi mekanis
Intubasi esofagus
Tekanan
Intubasi bronkus
barotrauma
Blokade/ekstubasi yang tidak disengaja
Overdistensi alveolar → volutrauma:

Kerusaka/stenosis trakea/laring
Infeksi
Risiko
jalan
napas
tinggi
→
Pneumotoraks,
pneumomediastinum
yang
dihubungkan
dengan

Emfisema subkutan (= udara di
kulit)
oksigen inspirasi yang tinggi

Kerusakan struktural pada paru,
jalan napas, dan kapiler

Displasia bronkopulmonal
(Sumber: At a Glance Sistem Respirasi, 2008)
Universitas Sumatera Utara
2. 2
Ventilator Associated Pneumonia
2. 2. 1 Defenisi
Ventilator associated pneumonia didefenisikan sebagai pneumonia yang
terjadi pada pasien yang ≥ 48 jam diintubasi dan dipasang ventilasi mekanik. VAP
diklasifikasikan berdasarkan onsetnya yaitu onset dini (terjadi dalam 96 jam
pertama sejak dipasang ventilasi mekanik) atau onset lambat (terjadi ≥ 96 jam
sejak dipasang ventilasi mekanik) (Hunter, 2005).
2. 2. 2 Epidemiologi
Insidensi bervariasi antara 5 - 10 episode per 1000 orang yang keluar dari
rumah sakit dan paling tinggi terjadi di bangsal pembedahan, ICU, dan rumah
sakit pendidikan. Hal ini memperpanjang masa rawat inap pasien di rumah sakit
yang mencapai 3 - 14 hari per pasien. Ventilator associated pneumonia terjadi
sampai 80% dari total kejadian hospital associated pneumonia dan 9 sampai 27%
pada pasien yang diintubasi.
Angka kematian VAP mencapai 30% - 70%. VAP onset dini (<4 hari di
rumah sakit) banyak disebabkan oleh bakteri yang sensitif antibiotik, sehingga
prognosis menjadi lebih baik daripada VAP onset lambat (>4 hari di rumah sakit)
yang banyak disebabkan multi drug resistent pathogen (patogen MDR).
Namun, VAP onset dini, pasien mendapat terapi antibiotik sebelumnya,
atau perawatan di rumah sakit menjadi predisposisi terhadap patogen MDR yang
akhirnya ditatalaksana seperti VAP onset lambat (Ward et al., 2006)
Universitas Sumatera Utara
2. 2. 3 Etiologi
Ward et al (2006) membagi dua klasifikasi patogen yang menyebabkan
VAP yaitu:
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenza
Onset dini (<4 hari di
S. aureus (sensitif metisilin)
rumah sakit) +
Basil Gram-negatif sensitif
Tidak ada faktor risiko
antibiotik (E. Coli, Proteus
untuk patogen MDR
spp., Klebsiella pneumonia,
Serratia)
VAP
Semua onset dini patogen
Onset lambat (> 4 hari
VAP + Patogen MDR
di rumah sakit) +
(Pseudomonas aeruginosa,
faktor risiko untuk
Klebsiella pneumonia,
patogen MDR
Acinobacter spp., MRS,
Legionella pneumophilia)
Gambar 2. 1 Patogen penyebab VAP
(Sumber: Ward et al., 2006)
Chastre (2003) dalam Marino (2014) memaparkan frekuensi kejadian VAP
berdasarkan patogen penyebab yang ditampilkan pada tabel 2. 4.
Tabel 2. 4 Isolasi Patogen pada Ventilator Associated Pneumonia
Organisme
Frekuensi
Basil Gram-negatif
56,5%

Pseudomonas auruginosa
18,9%

Escheria coli
9,2%

Hemophilus spp
7,1%

Enterobacter spp
3,8%

Preoteus
3,8%

Klebsiella pneumoniae
3,2%

Lain
10,5%
Universitas Sumatera Utara
Kokus Gram-positif
42,1%

Staphylococcus aureus
18,9%

Streptococcus pneumniae
13,2%

Hemophilus spp
1,4%

Lain
8,6%
Jamur
1,3%
2. 2. 4 Faktor Risiko
Meskipun pasien dengan pemasangan endotrachel tube ≥ 48 jam menjadi
salah satu risiko terjadinya VAP, beberapa pasien juga memiliki risiko yang lebih
tinggi. Faktor risiko terjadinya VAP dapat dibagi menjadi tiga faktor utama, yaitu
faktor pejamu, faktor terkait peralatan, dan faktor individu. (Augustyn, 2007).
Ward et al (2006) membagi faktor risiko terjadinya VAP menjadi:
Tabel 2. 5 Faktor Risiko yang Dapat dan Tidak Dapat Dimodifikasi dari VAP
Faktor
risiko
yang
tidak
dapat Faktor risiko yang dapat dimodifikas
dimodifikasi
1. Terkait Pejamu
1. Terkait Pejamu

Malnutrisi


Usia >65 tahun, <5 tahun

Penyakit
nutrisi
(misalnya
pemberian
makanan secara enteral)

kontrol nyeri, fisioterapi
ginjal)

membatasi terapi imunosupresif

Diabetes

postur, tempat tidur kinetik

Supresi imun (misalnya SLE)

berhenti

Ketergantungan alkohol

Aspirasi (misalnya epilepsi)

Penyakit virus yang baru terjadi

Obesitas

merokok
kronik
2. Terkait Terapi

Ventilasi mekanis
(misalnya
merokok
sebelum
operasi
2. Terkait Terapi

Posisi
setengah
telentang
Universitas Sumatera Utara

Pascaoperasi
(kepala naik 30)

Pencabutan dini jalur IV, selang
NT, dan NG

Minimalisasi
penggunaan
sedatif

Hindari overdistensi lambung

Hindari intubasi dan reintubasi

Pertahankan tekanan manset ET
> 20 cm H2O

Aspirasi
subglotik
selama
intubasi

Ubah dan drain sirkuit ventilator

Sucralfate
ulkus
untuk
akibat
profilaksis
stress
(masih
dipertanyakan)
3. Faktor Epidemiologis

3. Kontrol Infeksi

Mencuci tangan, teknik steril
psitakosis)

Isolasi pasien

Pekerjaan (misalnya demam Q)

Surveilans mikrobiologis

Bepergian
Lingkungan
(misalnya
ke
luar
negeri
(paragonomiasis)

Pendingin ruangan (misalnya
Legionella)
(Sumber: Ward et al., 2006)
Adapun menurut Kollef (2003) dalam Rozaliyani dan Swidharmoko
(2010), faktor risiko yang berkaitan dengan VAP yaitu:
Tabel 2. 6 Faktor Risiko yang Berkaitan dengan VAP
Faktor Pejamu
Faktor Intervensi
Albumin serum < 2,2 Antagonis H2  antasid
Faktor Lain
Musim dingin
g/dL
Universitas Sumatera Utara
Usia > 60 tahun
Obat
paralitik,
sedasi Musim panas
intravena
Acute
Respiratory Menerima
Distress
>
4
unit
Syndrome produk darah
(ARDS)
PPOK dan atau penyakit Penilaian
paru
tekanan
intrakranial
Koma
atau
penurunan Ventilasi mekanis > 2
kesadaran
hari
Luka bakar dan trauma
Positive
end-expiratory
pressure
Gagal organ
Reintubasi
Keparahan penyakit
Pipa nasogastric
Aspirasi volume lambung Posisi terlentang
Kolonisasi lambung dan Transpor keluar dari ICU
pH
Kolonisasi saluran napas Antibiotik
atas
sebelumnya
atau tanpa antibiotik
Sinusitis
(Sumber: Rozaliyani dan Swidharmoko, 2010)
2. 2. 5 Patogenesis
Kolonisasi orofaringeal oleh bakteri Gram-negatif enterik terjadi di
sebagian besar rumah sakit karena imobilisasi, gangguan kesadaran, selang
nasogastrik, higiene buruk, inhibisi sekresi asam lambung. Kolonisasi tersebut
akan berlanjut pada aspirasi sekresi nasofaringeal yang menyebabkan terjadinya
VAP (Ward et al., 2006)
Universitas Sumatera Utara
Faktor pejamu
Pemberian awal antibiotik
Alat invasif
Kolonisasi saluran cerna
Obat-obat yang berpengaruh terhadap
pengosongan lambung dan pH
Aspirasi
Air yang terkontaminasi, obat-obat cair,
Alat terapi pernapasan
Inhalasi
Infeksi transtorak
Bakterimia primer
Bronkiolitis
Translokasi gastrointestinal
Bronkopneumonia fokal/multifokal
Bakterimia sekunder
Bronkopneumonia berat
Systemic inflammatory
response syndrome
Disfungsi organ nonpulmoner
Abses paru
Sistemik penjamu dan
mekanisme pertahanan
saluran napas atas
Gambar 2. 2 Skema Patogenesis VAP
(Sumber: Kollef, 1999)
Universitas Sumatera Utara
2. 2. 6 Diagnosis VAP
Uji diagnostik dilakukan untuk dua tujuan yaitu: 1) menegakkan diagnosis
pneumonia dari kumpulan tanda dan gejala, 2) menentukan patogen penyebab
pneumonia.
Beberapa penelitian menyimpulkan gambaran radiografi berupa infiltrat
dan minimal satu dari gejala demam, leukositosis, atau sekret trakea yang purulen,
menjadi kriteria diagnostik yang memiliki sensitivitas tinggi tetapi spesifisitas
rendah.
Semua pasien yang dicurigai VAP harus dilakukan kultur darah untuk
mengenal indikasi pneumonia atau infeksi ekstrapulmoner (American Thoracic
Society dan Infectious Disease Society of America, 2004).
Johansen et al., (1972) dalam Kalanuria et al., (2014) menjelaskan kriteria
klinis untuk diagnosis VAP terdapat pada The Clinical Pulmonary Infection Score
(CPIS) yang dibagi atas gejala klinis, fisiologis, mikrobiologi, dan gambaran
radiografi yang memenuhi angka prediksi ada atau tidak VAP. Skor total dapat
berada di antara 0 – 12 dengan skor ≥ 6 menunjukkan korelasi tegaknya VAP.
Tabel 2. 7 The Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)
Parameter
Temperatur (C)
Leukosit per mm3
Sekret trakea
Oksigenasi (PaO2 / FiO2)
Foto torak
Hasil
36,5 – 38,4 C
38,5 – 38,9 C
 36 atau ≥ 39 C
4000 – 11000/mm3
< 4000 atau > 11000/ mm3
Tidak ada atau sedikit
Ada, tidak purulent
Purulent
> 240 atau ARDS
 240 dan non ARDS
Tidak ada infiltrat
Infiltrat difus
Infiltrat lokal
Skor
0
1
1
0
1
0
1
2
0
2
0
1
2
(Sumber: Kalanuria, 2014)
Universitas Sumatera Utara
2. 2. 7 Terapi Antibiotik
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial di
Indonesia (2003) menyebutkan beberapa klasifikasi terapi antibiotik untuk VAP
sebagai berikut:
Tabel 2. 8 Terapi Antibiotik Awal Secara Empirik untuk VAP pada Pasien Tanpa
Faktor Risiko Patogen MDR, Onset Dini dan Semua Derajat Penyakit (Mengacu
ATS/IDSA 2004)
Patogen potensial
Antibiotik yang direkomendasikan

Streptococcus pneumoniae
Betalaktam + antibetalaktamase

Haemophilus influenzae
(Amoksisilin klavunalat) atau

Metisilin-sensitif
Sefalosporin G3 nonpseudomonal
Staphylococcus aureus
(Seftriakson, sefotaksim) atau Kuinolon
Antibiotik sensitif basil Gram
respirasi (Levofloksasin,
negatif enterik
Moksifloksasin)

-
Escheria coli
-
Klebsiella pneumoniae
-
Enterobacter spp
-
Proteus spp
-
Serratia marcescens
(Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
Tabel 2. 9 Terapi Antibiotik Awal Secara Empirik untuk VAP untuk Semua
Derajat Penyakit pada Pasien Dengan Onset Lanjut atau Terdapat Faktor Risiko
Patogen MDR (Mengacu ATS/IDSA 2004)
Patogen potensial

Terapi antibiotik kombinasi
Patogen MDR tanpa atau
Sefalosporin antipseudomonal
dengan patogen pada Tabel 2. 8
(Sefepim, seftasidim, sefpirom) atau
-
Pseudomonas aeuruginosa
Karbapenem antipseudomonal
-
Klebsiella pneumoniae
(Meropenem, imipenem) atau ß-
(ESBL)
laktam/penghambat ß laktamase
Universitas Sumatera Utara
-
Acinobacter sp
(Piperasilin-tasobaktam)
-
Methicilin resisten
ditambah
staphylococcus aureus
Fluorokuinolon antipseudomonal
(MRSA)
(Siprofloksasin atau levofloksasin) atau
Aminoglikosida (Amikasin, gentamisin,
atau tobramisin)
ditambah
Linesolid atau vankomisin atau
teikoplanin
(Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
2. 2. 8 Pencegahan
Munro dan Ruggiero (2014) menyebutkan beberapa intervensi yang dapat
mencegah terjadinya VAP yaitu:
(1)
Elevasi kepala tempat tidur
(2)
Hentikan sedasi harian dan nilai kesiapan ekstubasi
(3)
Berikan profilaksis ulkus peptikum
(4)
Berikan profilaksis deep vein thrombosis (DVT)
(5)
Perawatan mulut dengan chlorhexidine
Lima langkah di atas menjadi intervensi berdasarkan-bukti yang dapat mencegah
terjadinya VAP.
Universitas Sumatera Utara
Download