BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan penelitian. Bagian pertama menjelaskan pengertian Psychological well-being, dimensi-dimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, dilanjutkan dengan bagian kedua yaitu pembahasan pengertian waria, karakteristik waria, perbedaan transeksual, homoseksual dan transvestis. Bagian ketiga adalah pembahasan mengenai masa dewasa akhir (lansia), karakteristik dewasa akhir, tugas perkembangan psikososial dewas akhir, pengertian panti jompo, kelebihan dan kekurangan tinggal di panti jompo. Bagian terakhir adalah pembahasan mengenai psychological well-being dan waria lansia. 2.1. Psychological well-being 2.1.1 Pengertian Psychological well-being Ryff & Keyes dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “The Structure of Psychological Well-Being Revisited” (1995) mengatakan bahwa manusia memiliki dua fungsi positif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Yang pertama adalah tentang bagaimana individu membedakan hal positif dan negatif akan memberikan pengaruh untuk pengertian kebahagiaan. Konsep yang kedua adalah menekankan kepuasan hidup sebagai kunci utama kesejahteraan. 10 11 Kesejahteraan psikologis (psychology well-being) adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, memebentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup, serta merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu (Ryff & Keyes, 1995). Menurut Ryff (1989) manusia dapat dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah bukan sekedar bebas dari indikator kesehatan mental negatif, seperti terbebas dari kecemasan, tercapainya kebahagiaan dan lain-lain. Tetapi hal yang lebih penting untuk di perhatikan adalah kepemilikan akan penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, kemampuan untuk memiliki rasa akan pertumbuhan dan pengembangan pribadi secara berkelanjutan. Ryff juga menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis mengambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri. Menurut Doyle, Hanks, & MacDonald (dalam skripsi Psychological WellBeing Perempuan Bekerja Dengan Status Menikah dan Belum Menikah, Lakoy, 2009), kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah refleksi dari happiness, emotional well being, dan positive mental health. Emotional well being adalah pikiran dan perhatian berkenaan dengan perasaan depresi, anxiety dan frustasi, harapan hidup, kemampuan untuk relaks, dan berbahagia dengan hidup. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis (psychological well being) adalah tingkatan kemampuan individu 12 dalam menerima diri sendiri apa adanya, memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan dan orang lain, dapat mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki, dapat mengontrol otonomi untuk tujuan hidupnya, optimis, kemampuan untuk memiliki rasa akan pertumbuhan dan pengembangan pribadi secara berkelanjutan, dapat menghadapi tekanan sosial dengan mengontol lingkungan eksternal, dan memiliki stabilitas emosi dan pemaknaan diri yang baik. 2.1.2 Dimensi-dimensi Psychological well-being Ryff dalam jurnal ilmiah berjudul ”Happiness Is Everything, or Is It? Explorations On The Meaning of Psychological Well-Being” (1989) mengembangkan kesejahteraan psikologis menjadi 6 (enam) dimensi dan akan dijabarkan sebagai berikut : 1. Penerimaan diri (Self-Acceptance) Penerimaaan diri adalah bagaimana individu tersebut menerima diri sendiri secara apa adanya dan pengalamanya. Dengan adanya penerimaan diri secara apa adanya, baikdari segi positif maupun dari segi negatif, individu dimungkinkan memiliki sikap positif pada diri sendiri. Dengan adanya penerimaan diri secara positif, maka sikap toleransi terhadap frustasi dan pengalaman tidak menyenangkan akan meningkat. Penerimaan diri juga dapat di definisikan sebagai karakteristik aktualisasi diri, fungsi optimal dan kematangan perjalanan hidup. Definisi penerimaan diri dapat di kaitkan dengan rasa percaya diri. Individu dapat menerima dirinya dalam kondisi apapun dan dengan masa 13 lalu baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, segala bentuk kegagalan, dan keberhasilan. Cara memandang masa lalu adalah poin utama dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan psikologis. Menurut Ryff (1995), semakin individu dapat menerima dirinya sendiri, maka akan semakin tinggi sikap positif individu tersebut terhadap diri sendiri, memahami, menerima semua aspek diri, termasuk kualitas diri yang buruk dan memandang masa lalu sebagai sesuatu yang baik. Sebaliknya, semakin rendah penerimaan individu terhadap diri sendiri maka individu tersebut akan semakin tidak puas dengan dirinya sendiri, akan kecewa dengan masa lalu, dan kualitas diri sehingga menimbulkan perasaan ingin menjadi orang lain. 2. Hubungan yang postif dengan orang lain (Positive Relations with Others) Hubungan positif dengan orang lain merupakan tingkat kemampuan dalam berhubungan hangat dengan orang lain, hubungan interpersonal yang didasari oleh kepercayaan, serta perasaan empati, mencintai dan kasih sayang yang kuat. Hubungan tersebut bukan hanya sekedar menjalin hubungan dengan orang lain guna memenuhi kebutuhan psikologis seperti keintiman, tetapi hubungan tersebut sudah melibatkan pengalaman diri sebagai metafisik yang dihubungkan dengan kemampuan menggabungkan identitas diri dengan orang lain serta menghindarkan diri dari perasaan terisolasi dan sendiri. 14 Menurut Ryff (1995), semakin besar kemampuan individu dalam membina hubungan interpersonal, maka hal ini menunjukan bahwa individu tersebut memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, mampu berempati, menyayangi, menjalin keintiman dengan orang lain, memahami konsep memberi dan menerima dalam membangun sebuah hubungan. Dan sebaliknya individu yang tidak dapat membangun hubungan interpersonal dengan baik maka individu tersebut akan merasa terisolasi, kurang terbuka, kurang bisa bersikap hangat, dan tidak bisa memperhatikan kesejahteraan orang lain dan tidak bersedia berkompromi untuk mempertahankan hubungan yang penting dengan orang lain. 3. Otonomi (Autonomy) Otonomi adalah tingkat kemampuan individu dalam menentukan nasib sendiri, kebebasan, pengendalian internal, individual, dan pengaturan perilaku internal. Atribut ini merupakan dasar kepercayaan bahwa pikiran dan tindakan individu berasal dari dirinya sendiri, tanpa adanya kendali dari orang lain. Individu yang berhasil mengaktualisasikan dirinya menunjukkan fungsi otonomi dan ketahanan terhadap keterasingan budaya. Orang yang memiliki otonomi digambarkan mampu mengatur dirinya sendiri dan memiliki keinginan sesuai dengan standard individu tersebut sehingga membentuk kepercayaan pada diri sendiri, bukan pada kepercayaan orang banyak. 15 Ryff (1995) mengatakan bahwa, orang yang memiliki otonomi tinggi mampu menentukan keputusan bagi dirinya sendiri, dalam arti mampu melepaskan tekanan sosial dan sebaliknya, orang yang memiliki otonomi rendah akan mengevaluasi dirinya melalui pandangan orang lain dan menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial. 4. Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery) Penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis. Menurut Ryff (1995) individu yang memliliki penguasaan lingkungan yang tinggi memiliki rasa menguasai, berkompetensi dalam mengatur lingkungan, mampu mengontrol kegiatan-kegiatan eksternal yang kompleks, menggunakan kesempatan yang di tawarkan lingkungan secara efektif dan mampu memilih atau menciptakan konteks lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadinya. Dan sebaliknya penguasan lingkungan yang rendah akan membuat individu cenderung sulit mengembangkan lingkungan sekitar, kurang menyadari kesempatan yang di tawarkan di lingkungan dan kurang memliliki kontrol terhadap dunia di luar diri. 5. Tujuan dalam Hidup (Purpose in Life) Individu yang positif pasti memliliki tujuan, kehendak, dan merasa hidupnya terarah pada tujuan tertentu, yang memberikan kontribusi pada perasaan bahwa hidupnya berarti. Dalam penjelasannya, Ryff (1995), bahwa individu yang memiliki tujuan hidup yang baik dikatakan memiliki tujuan hidup dan arah kehidupan, merasa memiliki arti tersendiri dari 16 pengalaman hidup masa kini dan masa lalu, percaya pada belief tertentu yang memberikan arah hidupnya serta memiliki cita-cita atau tujuan hidupnya. Dan sebaliknya, individu yang kurang memiliki tujuan hidup hanya memiliki sedikit keinginan dan cita-cita saja, kurang memilki arah kehidupan yang jelas dan tidak melihat pengalamannya di masa lalu serta tidak memiliki bakat yang menjadi kehidupannya lebih berarti. 6. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Pertumbuhan pribadi merupakan tingkat kemampuan individu dalam mengembangkan potensinya secara terus-menerus, menumbuhkan dan memperluas diri sebagai orang (person). Kemampuan ini merupakan gagasan dari individu untuk terus memperkuat kondisi internal alamiahnya. Dalam diri individu terdapat suatu kekuatan yang terus berjuang dan melawan rintangan eksternal, sehingga pada akhirnya individu berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan dari pada sekedar memenuhi aturan moral. 2.1.3 Faktor-faktor yang berkaitan dengan Psychological Well-Being Manusia pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang berbeda-beda. Ryff (1995), menyatakan bahwa empat faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis manusia adalah sebagai berikut : 17 1. Faktor Demografis Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan budaya. Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Ryff dan Singer (1996) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang. a) Usia Hasil penelitian Ryff dan Singer (1996) bertujuan melihat pengaruh usia pada kesejahteraan psikologis terhadap responden usia dewasa muda (18-29 tahun), dewasa madya (30-64 tahun), dan lanjut usia (65 tahun keatas) menunjukkan hasil sebagai berikut: beberapa aspek dari kesejahteraan psikologis seperti penguasaan lingkungan dan otonomi, menunjukkan pola yang meningkat sejalan dengan usia, khususnya dari usia dewasa muda ke dewasa madya. Aspek lain seperti pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukkan pola yang meningkat sejalan dengan usia, khususnya dari dewasa muda ke dewasa madya. Aspek lain seperti pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukkan pola menurun khususnya dari dewasa madya ke usia lanjut. Hubungan positif dengan orang lain dan penerimaan diri menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan bila ditinjau berdasarkan usia. 18 b) Jenis Kelamin Hasil penelitian Ryff dan Singer (1996) menunjukkan bahwa dibandingkan pria, wanita dari segala usia menilai dirinya lebih tinggi dalam hal memiliki hubungan positif dengan orang lain dan juga pada dimensi pertumbuhan diri, hal ini didukung oleh pendapat Gray (1997) yang mengemukakan bahwa wanita lebih menaruh perhatian pada kehidupan bersama dan berbagi perasaan atau makna diri wanita banyak didominasi oleh kualitas hubungannya dengan orang lain sedangkan empat aspek lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. c) Status Sosial Ekonomi Hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer, 1996) menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis lebih tinggi pada individu yang mempunyai pendidikan lebih tinggi, terutama untuk dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi, baik pada wanita ataupun pria. Selanjutnya individu yang mempunyai penghasilan dan jabatan lebih tinggi menunjukkan kesejahteraan psikologis yang lebih baik. d) Budaya Hasil Psychological penelitian Ryff Well-Being: dan Singer Meaning, dalam Measurement, Jurnal and 19 Implication for Psychotherapy Health (Lakoy, 2009) menyatakan bahwa ada perbedaan kesejahteraan psikologis antara masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi pada individualisme dan kemandirian seperti dalam aspek penerimaan diri atau otonomi lebih menonjol dalam konteks budaya barat. Sementara itu, masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektif dan saling ketergantungan dalam konteks budaya timur seperti yang termasuk dalam aspek hubungan positif dengan orang yang bersifat kekeluargaan. 2. Dukungan Sosial Dalam istilah sederhana sosial ada ketika kita percaya bahwa orang lain peduli, menerima kita dan menyediakan bantuan jika dibutuhkan serta kita merasa puas dengan hubungan yang kita miliki. Dukungan sosial meliputi aspek positif (kekaguman, penghargaan, kesukaan, cinta) afirmasi (persetujuan dengan atau menyatakan kecocokan beberapa perilaku atau pernyataan), dan bantuan (beberapa bentuk bantuan) khan, Wethington, dan Ingersoll-Dayton, 1987 (dalam Fransisca, 2009). Menurut Lemme (1995) dukungan sosial umumnya dipercaya memiliki efek positif baik pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Robinson (1991, dalam Rubbyk, 2005) juga menemukan bahwa orang-orang yang mendapat dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi. Dukungan sosial dari orang lain yang sangat berarti dalam hidup kita tidak hanya memiliki manfaat langsung bagi well-being tetapi 20 juga penghalang bagi seseorang dari efek peristiwa menyakitkan dalam hidup seperti tidak bekerja, kecelakaan, sakit (dalam Fransisca, 2009). 3. Pemberian Arti Terhadap Hidup Psychological well-being berkaitan erat dengan pemberian arti terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang dianggap penting. Menurut Ryff (1989), pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi kontribusi yang sangat besar terhadap pencapaian psychological wellbeing. Pengalaman hidup tersebut dapat berupa pengalaman religius, pengalaman pernah abuse, dan lain-lain. Pengalaman hidup yang dialami tergantung dari cara individu mengevaluasi atau mempersepsi peristiwa hidup yang dialaminya sebagai sesuatu yang positif, negatif atau netral. Jika individu mengevaluasi peristiwa hidup yang dialaminya sebagai sesuatu yang positif maka diperkirakan individu tersebut akan memandangnya sebagai pengalaman hidup yang positif sehingga membuat kesejahteraan psikologisnya baik. 2.2. Waria 2.2.1. Definisi Waria Waria merupakan singkatan dari kata wanita dan pria. Secara fisik waria adalah seorang laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal namun secara psikologis mereka merasa dirinya perempuan, dimana dalam kehidupan seharihari, cara berjalan berbicara dan dandanan mereka seperti perempuan. 21 Koeswinarno (dalam Hapsari, 2011). Dalam ilmu psikologi waria termasuk sebagai penderita transeksualisme (Heuken dalam Koeswinarno, 2004). Transeksualisme terbagi menjadi 2 jenis, yaitu pria transeksual dan wanita transeksual. Namun penelitian ini akan fokus pada pria transeksual. Rathus, Nevid, dan Fichner-Rathus, (dalam Dwi A, 2008) menjelaskan bahwa kaum transeksual selalu mengalami ketidaknyamanan dan ketidak cocokan gender dengan genital yang dimiliki, berharap dapat keluar dari masalah tersebut, dan memiliki keinginan untuk hidup sebagai individu yang memiliki jenis kelamin yang berlawanan. Kring, Jonson, Davison, dan Neale (2010) mengatakan bahwa transeksualisme juga dapat disebut dengan gangguan identitas jender (gender identity disorder). Individu yang mengalami gangguan identitas jender merasa jauh di dalam dirinya bahwa mereka adalah orang yang berlawanan dengan jenis kelaminnya, gejala ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanak. Hal ini tidak dipengaruhi oleh jenis alat kelamin mereka serta persepsi orang lain terhadap jender mereka (Kring dkk, 2010). Kaplan, Sadock, dan Grebb (1994) menyebutkan bahwa penderita gangguan transeksualisme memiliki karakteristik perasaan yang menetap dalam diri seseorang tentang ketidaknyamanan memiliki jenis kelamin tersebut (dalam Fausiah dan Widuri, 2008). Dalam kaitannya antara transeksual dan orientasi seksualnya menurut Faiz (Laksono, 2006) gender terdiri dari dua aspek, yaitu identitas gender dan fungsi gender. Identitas gender adalah persepsi internal dan pengalaman seseorang 22 tentang gendernya. Identitas gender menggambarkan identifikasi psikologis dalam otak seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan fungsi gender atau peran gender adalah merupakan cara hidup dalam masyarakat dan berinteraksi dengan orang lain berdasarkan identitas gender mereka yang dipelajari dari lingkungannya. Adapun identitas gender dan orientasi seksual adalah dua hal yang berbeda dan terpisah. Jadi seorang transeksual bisa memiliki orientasi seksual homo,hetero, atau biseksual. Dalam American Psychological Association (dalam Hapsari, 2011) dijelaskan bahwa terdapat dua komponen yang harus dipenuhi untuk membuat diagnosis mengenai gangguan identitas jender. Komponen pertama adalah adanya identifikasi yang kuat dan persisten terhadap jenis kelamin yang berlawanan, yaitu adanya dorongan atau desakan untuk menjadi individu dengan jenis kelamin yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Komponen kedua adalah munculnya perasaan tidak nyaman yang konsisten mengenai jenis kelamin yang dimilikinya atau perasaan tidak cocok dengan peran jender dari jenis kelaminnya. Individu tersebut akan terokupasi dengan keinginan mereka untuk hidup sebagai anggota dari lawan jenisnya. Preokupasi ini akan termanifestasi dalam bentuk dorongan yang kuat untuk mengadopsi peran sosial dari lawan jenisnya atau untuk memiliki penampilan fisik yang seperti lawan jenisnya melalui manipulasi hormon atau pembedahan. Dalam derajat yang bervariasi, mereka akan mengadopsi perilaku, pakaian, dan tata krama dari lawan jenisnya. Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa transeksualisme adalah gangguan identitas jender, dimana 23 orang yang mengalaminya akan merasa tidak nyaman dengan jenis kelamin biologisnya serta merasa bahwa dirinya adalah orang yang terperangkap ke dalam jenis kelamin yang salah sehingga memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi individu dengan jenis kelamin yang berlawanan dengan jenis kelamin biologisnya. 2.3. Karakteristik Transeksual Karakteristik transeksual dikemukakan oleh beberapa peneliti (dalam Dwi A, 2008), antara lain: 1. Merasa dirinya terperangakap dalam tubuh denagn jenis kelamin yang salah 2. Individu biasanya tidak merasa nyaman dengan anatomi seksual dirinya 3. Ingin memiliki karakteristik fisik dan sosial dari lawan jenis kelamin (Cohen-Kattenis & Gooren, dalam Kelly, 2001). 4. Sadar bahwa mereka sebenarnya memiliki apa yang menjadi pemikiran dan kepribadian jenis kelamin yang berlawanan ketika masih dalam usia yang muda dan sering merasa mereka terlahir ditubuh yang salah (Kelly, 2001). Selain itu, dalam DSM-IV TR disebutkan pula beberapa kriteria diagnostik individu dikategorikan mengalami gangguan identitas gender, yaitu American Psychiatric Associantion, 2000 (dalam Dwi A, 2008): 24 A. Adanya idntifikasi yang kuat dan persisten dengan lawan jenis (bukan semata-mata karena adanya dorongan untuk mendapatkan keuntungan sosial budaya dengan menjadi lawan jenisnya). Pada anak-anak gangguan tersebut dutunjukkan oleh empat atau lebih karakteristik dibawah ini: a) Berulangkali mengatakan keinginan untuk menjadi individu dengan jenis kelamin yang berlawanan atau mengatakan bahwa dirinya adalah individu dengan jenis kelamin yang berlawanan. b) Pada laki-laki, lebih memilih untuk menggunakan pakaian perempuan; pada perempuan memaksakan untuk menggunakan pakaian yang sesuai dengan streotipe laki-laki. c) Secara kuat dan persisten memilih peran yang berlawanan dengan jenis kelaminnya ketika bermain peran atau selalu berfantasi untuk menjadi lawan jenisnya. d) Adanya dorongan yang kuat untuk terlibat permainan dan hiburan yang sesuai dengan streotipe lawan jenisnya. e) Secara kuat memilih teman bermain yang jenis kelaminnya berlawanan dengan individu tersebut. Sedangkan pada remaja dan dewasa, terdapat gejala-gejala seprti: a) Adanya keinginan untuk menjadi lawan jenisnya. 25 b) Berprilaku seolah-olah individu tersebut merupakan bagian dari lawan jenisnya. c) Adanya keinginan untuk diperlakukan seperti bagian dari lawan jenisnya. d) Adanya keyakinan bahwa dirinya memiliki perasaan serta reaksi yang sama dengan lawan jenisnya. B. Secara persisten merasa tidak nyaman dengan jenis kelaminnya atau munculnya perasaan tidak cocok terhadap peran jender dari jenis kelaminnya. Pada anak-anak gangguan tersebut ditunjukkan melalui ciri-ciri sebagai berikut: untuk anak laki-laki, adanya pernyataan yang tegas bahwa penis atau testisnya mengganggu atau akan hilang atau pernyataan yang tegas bahwa akan lebih baik jika ia tidak memiliki penis atau testis, atau adanya keengganan untuk bermain rough-andtumble play serta penolakan terhadap permainan atau aktifitas yang sesuai dengan streotipe anak laki-laki. Pada anak perempuan, melakukan penolakan untuk membuang air kecil dengan posisi duduk, menyatakan dengan tegas bahwa dia memiliki atau akan memiliki penis, atau menyatakan dengan tegas bahwa dia tidak mau payudaranya tumbuh serta mengalami menstruasi, atau menyatakan keengganan mengguanakan pakaian perempuan. 26 Pada remaja dan dewasa, gangguan ditunjukkan oleh adanya gejala seperti terpreokupasi dengan karakteristik seks primer dan sekunder (seperti meminta suntikan hormon, operasi, atau berbagai prosedur lainnya untuk mengubah karakteristik seks menjadi seperti lawan jenisnya) atau memiliki keyakinan bahwa dirinya terlahir dengan alat kelamin yang salah. C. Tidak bersamaan dengan physical intersex condition. Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (1994) physical intersex condition adalah berbagai jenis sindrom yang menyebabkan individu memiliki anatomi atau aspek fisiologis dari jenis kelamin yang berlawanan. D. Gejala tersebut menyebabkan distress yang signifikan secara klinis atau kerusakan pada fungsi sosial, pekerjaan, ataupun fungsi pada area lainnya yang penting. 2.4. Perbedaan Transeksual, Homoseksual, dan Transvestis Masyarakat terkadang menganggap bahwa waria itu sama dengan istilah homoseksual, namun sebenarnya kedua istilah ini merupakan dua hal yang berbeda. Transeksual merupakan gangguan identitas gender, sedangkan homoseksual berkaitan dengan orientasi seksual individu. Kaplan, Sadock, dan Grebb (1994) menjelaskan identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan dalam diri seseorang, berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas gender sangat berkaitan dengan budaya, berkenaan dengan serangkaian sikap, pola perilaku, dan atribut lain yang 27 biasanya dihubungkan dengan maskulinitas dan feminimitas. Istilah ini harus dibedakan dengan orientasi seksual, yang didefinisikan sebagai kecenderungan respon-erotik seseorang (misalnya: homoseksual atau heteroseksual), dan mempenagruhi pilihan obyek serta kehidupan fantasinya. Burdge (2007) pun menjelaskan perbedaan antara identitas gender dan orientasi seksual, ia menjelaskan bahwa identitas gender mengacu pada penghayatan individu sebagai wanita, pria, ataupun gender lainnya (baik transgender maupun tidak keduanya) sedangkan orientasi seksual mengacu pada ketertarikan individu secara seksual dan emosional. Kartono (1989) menjelaskan bahwa transeksual berbeda dengan homoseksual dimana homoseksualitas semata-mata mengacu pada perilaku relasi seksual, bahwa seseorang merasa tertarik dan mencintai jenis kelamin yang sama. Hal ini didukung oleh Selvin (dalam Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 1993) yang menyebutkan hal yang sama bahwa transeksual berbeda dengan homoseksual. Homoseksual (gay dan lesbian) memiliki ketertarikan terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama. Seorang gay akan mencintai laki-laki lainnya sebagai pasangannya, dan seorang lesbian akan mencintai wanita lainnya. Para gay dan lesbian mempersepsikan identitas gender mereka sesuai dengan anatomi biologis mereka (jenis kelamin). Pola ketertarikan secara seksual bukan menjadi suatu hal yang penting bagi kaum transeksual. Beberapa kaum transeksual merupakan “aseksual” (American Psychiatric Association, dalam Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 1993). Mereka mengemukakan bahwa mereka tidak pernah memiliki dorongan seksual yang kuat. Kaum transeksual lainnya 28 mengalami ketertarikan dengan individu yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan mereka. Transeksual tidak suka jika dianggap sebagai homoseksual. Berdasarkan sudut pandang kaum transeksual, mereka merasa bahwa mereka mencintai lawan jenis. Beberapa kaum transeksual lainnya benar-benar tertarik dengan individu yang berlawanan jenis dengan mereka. Kartono (1998) menyebutkan bahwa selain berbeda dengan gejala homoseksual, gejala transeksual juga berbeda dengan transvestis, yakni sebuah patologis yang menyebabkan individu senang menggunakan pakaian dari lawan jenis kelaminnya atau individu hanya akan mendapatkan kepuasan seks jika ia memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Itu sebabnya, gejala yang terjadi dalam diri seorang waria sangat berbeda dengan penderita transvestis. Seorang waria memakai pakaian atau atribut perempuan karena dirinya merasakan sebagai perempuan secara psikis, sementara seorang laki-laki transvestis memakai pakaian perempuan hanya ketika ingin mendapatkan kepuasan nafsu seksual. Kring, Davison, Neale, dan Johnson (2007) mendefinisikan transvestis sebagai gangguan dimana seorang laki-laki yang dapat terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya. Miracle dkk, (dalam Dwi A, 2008) menjelaskan bahwa transeksual memang terkadang sulit dibedakan dengan transvestis, namun kedua hal tersebut memang merupakan dua hal yang berbeda. Transvestis biasa disebut dengan pengguna pakaian lawan jenis (cross-dressers), dimana individu menggunakan pakaian dari lawan jenis kelamin dengan tujuan untuk memperoleh rangsangan seksual. Berbeda dengan transeksual dimana mereka menggunakan pakaian lawan 29 jenis kelamin untuk menyesuaikan dengan identitas gender yang mereka miliki, bukan bertujuan untuk memperoleh rangsangan seksual. Transvestis mungkin saja menampilkan tingkah laku yang tidak selaras dengan gender dirinya, namun mereka biasanya memiliki identitas gender yang sesuai dengan anatomi seksual yang dimilikinya (jenis kelamin biologis). 2.5. Etiologi Menurut Birkenfeld-Adams, (dalam Hapsari, 2008) terdapat dua faktor yang berperan penting dalam perkembangan transeksualisme, yaitu faktor biologis dan faktor psikologis. Berikut pemaparan mengenai faktor-faktor tersebut. 2.5.1. Pandangan Biologis Saat ini, area dari penelitian mengenai faktor biologis yang dapat menyebabkan transeksualisme meliputi maternal stress (Bailey, Willerman, dan Parks; Dorner, Schneck, Schmeidel, dan Ahrens dalam Heller, 1997), sistem saraf pusat yang berbeda (Gooren dalam Heller, 1997), faktor genetis (Bailey, dunne, & Martin; Van Beijsterveldt, Hudziak, Boosma dalam Kring dkk, 2010). Namun sayangnya, berbagai penelitian mengenai faktor biologis tersebut belum dapat memberikan kesimpulan mengenai faktor biologis yang berpengaruh terhadap perkembangan transeksualisme. Penelitian lain menunjukkan tidak adanya keabnormalan dalam pola kromosom, alat kelamin, anatomi otak, atau derajat dari sex steroids yang dapat diukur pada transeksualisme (Gooren dalam Heller, 1997). Walaupun demikian, hal ini bukan berarti faktor biologis tidak memiliki peranan dalam perkembangan transeksualisme. Faktor biologis berperan dalam 30 perkembangan transeksualisme pada area dimana penelitian lebih lanjut dibutuhkan dalam upaya meningkatkan pemahaman mengenai perkembangan identitas jender baik yang normal maupun yang tidak normal (Heller, 1997). 2.5.2. Pandangan Psikoanalisa Teori psikoaanalisa fokus pada hubungan orang tua dan anak di awal masa perkembangan anak. Dalam pandangan psikoanalisa pria transeksual memiliki “close-binding mothers” yaitu hubungan yang sangat dekat dengan ibunya dan “detached-hostile fathers” yaitu ayah yang absen atau tidak tertarik terhadap anaknya (Stoller dalam Rathus, Nevid, dan Fichner-Rathus, 1993). Keadaan keluarga yang seperti ini membantu perkembangan identifikasi yang kuat dengan ibu, figur yang berlawanan dengan peran dan jender yang sejenis (Rathus, Nevid, dan Ficher-Rathus, 1993). Merujuk pada Green (dalam Cook, 1999), kedekatan tidak biasa yang muncul antara ibu dan anak memotivasi anak untuk mengimitasi ibunya, serta anak menjadi tertarik terhadap apa yang dimiliki ibunya. Kemudian ibu tersebut merasa senang dan secara sadar maupun tidak merespon dengan penguatan positif. Sedangkan ayahnya tidak melakukan tindakan untuk melarang perbuatan anaknya, namun justru menarik diri sebagai respon dari perasaan ditolak oleh anaknya yang lebih memilih ibunya. Teori Green mengenai faktor ayah ini didukung oleh hasil penelitiannya. Dalam penelitiannya, ayah dari anak laki-laki yang mengalami transeksualisme secara signifikan lebih sedikit meluangkan waktu bersama anaknya dan memiliki inisiatif yang lebih kecil dalam perencanaan 31 aktifitas keluarga dibandingkan dengan ayah dari anak laki-laki pada kelompok kontrol, yaitu yang tidak mengalami transeksualisme. 2.5.3. Pandangan Teori Behavioral Jika dilihat berdasarkan terori behavioral, pemberian reinforcement yang secara sadar maupun tidak sadar diberikan orang tua dan keluarga ketika anaknya menampilkan perilaku yang berlawanan dengan peran jendernya turut berperan dalam perkembangan transeksualisme. Sebagian besar anak-anak menampilkan perilaku yang berlawanan dengan peran jendernya dalam suatu waktu. Pada masamasa ini, terdapat beberapa orang tua dan keluarga yang memberikan reinforcement pada perilaku tersebut. Orang tua dari anak yang menampilkan tanda-tanda transeksualisme seringkali menyatakan bahwa mereka tidak melarang ketika anaknya menggunakan pakaian yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Hali ini terutama terjadi pada anak laki-lak, dimana ornag tua dan keluarga tersebut dapat berkontribusi dalam pembentukan identitas jender anak (Zucker dalam Kring dkk, 2010). 2.6. Lansia 2.6.1 Definisi Lansia Aiken (dalam Ninggiasari, 2006) mendefinisikan lansia sebagai individu yang telah memasuki dekade ketujuh dalam hidupnya. Secara tradisional yang tergolong dalam lansia adalaha mereka yang berusia 65 tahun atau lebih. 32 2.6.2 Tahapan Usia Lansia Para ahli mempelajari mengenai lansia (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) mengelompokkan tahapan lansia menjadi: - Young old, yaitu individu yang berusia 65-74 yang umumnya masih aktif, penuh perhatian dan bersemangat, - Old old, yaitu individu yang berusia 75-84, - Oldest old, yaitu individu yang berusia 85 tahun atau lebih yang umumnya lemah dan sulit untuk mengatur aktivitas sehari-hari. Selain itu, terdapat pula klasifikasi berdasarkan functional age yaitu sejauh mana individu berfungsi dengan baik pada lingkungan fisik maupun sosial jika dibandingkan dengan individu lain pada usia kronologis yang sama. Pada kriteria tersebut, istilah young old digunakan untuk lansia yang sehat dan aktif, dan old old bagi lansia yang lemah tanpa melihat usia kronologisnya (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Sedangkan di Indonesia sendiri, batasan lanjut usia adalah individu yang berusia 60 tahun dan lebih (Supartondo, 2002). Oleh karena itu, dalam penelitian kali ini, batasan lansia yang akan digunakan adalah individu yang mencapai umur 65-70 tahun lebih dan masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari. 33 2.6.3 Karakteristik Lansia Karakteristik Fisik Individu pada masa lansia memiliki perubahan fisik yang dapat terlihat. Perubahan tersebut antara lain kulit yang mengeriput dan kurang elastis serta rambut yang memutih. Tubuh lansia juga terlihat lebih pendek karena tulang yang membungkuk dan menipis (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Selain itu, terdapat perubahan-perubahan fisik lain yang lebih kurang dapat terlihat (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Perubahan-perubahan tersebut antara lain: - Penurunan berat otak yang semakin bertambah akibat hilangnya neuron dalam otak yang akhirnya menyebabkan penurunan koordinasi fisik maupun kognitif sehingga kemampuan merespon juga menurun. - Munculnya masalah pada alat-alat indera, antara lain berupa kesulitan dalam mempersepsikan kedalaman atau warna ataupun kesulitan dalam membaca, menjahit dan sebagainya; kurangnya kemampuan mendengar suara dengan nada tinggi; penurunan pada indera pengecap dan penciuman yang menyebabkan lansia kurang dapat menikmati makanan; serta penurunan kekuatan dan keseimbangan sehingga sudah kurang mampu untuk melakukan aktivitas yang memerlukan tenaga besar dalam waktu yang lama. 34 - Pada dasarnya kemampuan fungsi seksual dapat dijaga dengan aktivitas seksual yang konsisten selama bertahun-tahun. Hanya saja waktu yang diperlukan lebih lama pada lansia laki-laki untuk ereksi dan ejakulasi, sedang pada lansia perempuan tanda-tanda rangsangan seksual akan menjadi kurang kuat dibanding sebelumnya. - Selain itu, lansia juga memiliki kecenderungan untuk mengalami dementia atau penurunan fungsi kognitif dan tingkah laku yang disebabkan karena perubahan fisiologis yang terjadi sejalan pertambahan usia. Salah satu jenis dementia yang biasanya dialami lansia adalah penyakit alzeimer (penurunan fungsi kognitif dan hilangnya kontrol terhadap fungsi tubuh akibat kelainan pada otak). Selain itu, lansia juga memiliki kecenderungan parkinson dengan gejala tremor, kekakuan, pergerakan yang lambat dan postur yang tidak stabil akibat kelainan neurologis. Karakteristik Psikososial Pada fungsi psikososial, lansia mengalami perubahan pada gaya hidup (pensiun dan waktu luang), pada hubungan sosial, serta pada hubungan konsensual yaitu pernikahan, menjanda, hidup sendiri. Lansia mengoptimalkan aktivitasnya dengan memberi prioritas pada kegiatan yang sesuai dengan kapasitasnya, kegiatan yang diperlukan untuk pemeliharaan diri, atau menjadi pusat dari kepuasan hidupnya. Batles, Wahl, & Schmid-Fuurstoss (dalam Ningiassari, 2006) menemukan bahwa kegiatan seperti 35 berbelanja, beristirahat, dan berpergian, merupakan mayoritas kegiatan sehari-hari lansia. Latihan fisik menjadi fokus dalam ativitas waktu luang pada sejumlah lansia karena bermanfaat untuk kesehatan, kepercayaan diri dan semangat hidup (Newman & Newman, dalam Ningiassari, 2006). Kegiatan lain yang paling banyak dilakukan lansia adalah kegiatan belajar non formal antara lain melalui media cetak seperti buku, koran dan majalah, serta menggunakan media elektronik. Memiliki keinginan untuk melanjutkan aktivitas berperan sebagai tujuan yang bermakna bagi lansia (Reker et al. dalam, Ningiassari, 2006). Aktivitas waktu luang pada lansia juga bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan akan persahabatan, kebutuhan untuk mengalami hal baru dan berbeda, untuk melepaskan diri dari tekanan dalam berhubungan dengan orang lain, untuk menemukan ketenangan dan keamanan, dan menemukan kesempatan memperoleh stimulasi intelektual, ekspresi diri, dan pelayanan (Tinsley et al. dalam Ningiassari, 2006). Pengaturan tempat tinggal juga menjadi tema penting pada masa lansia. Lansia pada umumnya akan tinggal bersama anak dan cucunya atau tinggal di suatu tempat institusi. Di negara berkembang, para lansia baik pria maupun wanita biasanya tinggal dengan anak-anaknya dan cucu-cucunya (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Sedangkan lansia ya g memiliki resiko tinggi untuk tinggal di institusi adalah mereka yang hidup sendiri, yang tidak mengambil bagian dalam 36 aktivitas sosial, yang memiliki keterbatasan kesehatan dan kemampuan, serta mereka yang memiliki keluarga yang terbebani dengan kehadiran mereka (McFall & Miller dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004). Dalam hubungan sosial umumnya lansia diperkaya dengan kehadiran teman lama dan keluarga. Walaupun mereka lebih jarang untuk bertemu dengan orang lain, hubungan personal tetap menjadi hal yang penting bahkan lebih dari sebelumnya. Penelitian menemukan bahwa lansia biasanya melewatkan kesempatan untuk meningkatkan kontak sosial dan lebih puas dengan jaringan yang lebih kecil (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Makna dari persahabatan hanya berubah sedikit sepanjang hidup, akan tetapi konteks dan isinya berubah. Diantara lansia, persahabatan tidak lagi berhubungan dengan pekerjaan dan pengasuhan anak, melainkan lebih berfokus kepada kedekatan (companionship) dan dukungan. Lansia yang dapat mengungkapkan perasaan, pikiran, dan kekahawatiran dengan temannya dapat menghadapi dengan lebih baik perubahan dan krisis penuaan. Keakraban (intimacy) merupakan kesempatan penting bagi lansia agar dapat mengetahui bahwa dirinya masih berharga dan diinginkan meskipun memiliki penurunan fisik dan penurunan lainnya (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004). Lansia biasanya mencari kedekatan dengan teman sebayanya (Hamovitch & Peterson dalam, Ningiassari, 2006). Hal ini dapat dikarenakan teman-teman cenderung lebih memberikan bantuan emosional (misalnya nasihat mengenai masalah-masalahnya), layanan-layanan kecil (misalnya meminjamkan 37 barang), dan persahabatan (companionship) misalnya dengan berbagai ide dan melakukan kegiatan bersama-sama (Wellman & Worthley dalam Ningiassari, 2006). 2.6.4 Tugas Perkembangan Psikososial Lansia Seperti dalam tahap perkembangan lainnya, lansia juga memiliki tugas perkembangannya sendiri. Berdasarka karakteristik perkembangan yang dialami lansia dari Papalia, Olds, & Feldman (2004) seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka tugas perkembangan lansia antara lain: - Menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan fisik dan kognitif. Selain itu, dalam Ningiassari (2006), juga diungkapkan bahwa lansia perlu menjaga kesehatannya dan memodifikasi gaya hidupnya agar sesuai dengan perubahannya tadi. - Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun dan waktu luang dengan menemukan aktivitas lain. - Mengatur tempat tinggalnya, baik itu tinggal bersama anak-anak atau keluarganya, hidup sendiri, atau tinggal di institusi. - Membina hubungan dengan teman sebaya. - Menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan, teman-teman, ataupun saudara. 38 Selain itu, menerima kenyataan yang terjadi dalam kehidupan yang dijalaninya, menemukan tujuan hidup, mencapai kepuasan hidup, serta mengembangkan pemikiran bahwa kematian merupakan kenyataan dan hal yang alami dalam kehidupan juga merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh lansia (Ningiassari, 2006). 2.7. Panti Jompo 2.7.1 Pengertian panti Jompo Panti Jompo adalah tempat tinggal yang dirancang khusus untuk orang lanjut usia, yang di dalamnya disediakan semua fasilitas lengkap yang dibutuhkan orang lanjut usia (Hurlock, 1996). Menurut Santrock (2002) panti jompo merupakan lembaga perawatan atau rumah perawatan yang dikhususkan untuk orang-orang dewasa lanjut. Disana tersedia berbagai macam kebutuhan yang dibutuhkan oleh para orang-orang lanjut usia dan tersedia juga fasilitas kesehatan. Panti Jompo swasta didefinisikan sebagai usaha yang menyediakan akomodasi, perawatan, layanan makanan dan manajemen kesehatan bagi satu atau lebih orang lanjut usia (Nusantara, 2009). Panti Jompo merupakan unit pelaksanaan teknis yang memberikan pelayanan sosial bagi lanjut usia, yaitu berupa pemberian penampungan, jaminan hidup seperti makanan dan pakaian, pemeliharaan kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta agama, sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir batin (DEPSOS RI, 2003). 39 2.7.2 Kekurangan Dan Kekurangan Tinggal Di Panti Jompo a. Keuntungan Menurut Hurlock (1996) Ada beberapa keuntungan yang akan didapat para lansia bila tinggal di Panti Jompo adalah sebagai berikut : 1) Perawatan dan perbaikan wisma dan perlengkapannya dikerjakan oleh lembaga; 2) Semua makanan mudah didapat dengan biaya yang memadai; 3) Perabotan dibuat untuk rekreasi dan hiburan; 4) Terdapat kemungkinan untuk berhubungan dengan teman seusia yang mempunyai minat dan kemampuan yang sama; 5) Kesempatan yang besar untuk dapat diterima secara temporer oleh teman seusia daripada dengan orang yang lebih muda; 6) Menghilangkan kesepian karena orang-orang di situ dapat dijadikan teman; 7) Perayaan hari libur bagi mereka yang tidak mempunyai keluarga tersedia di sini; 8) Ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi di masa lalu kesempatan semacam ini tidak mungkin terjadi dalam kelompok orang-orang muda. 40 b. Kerugian Selain mendapat beberapa keuntungan terdapat pula beberapa kerugian bila tinggal di Panti Jompo, diantaranya adalah : 1) Biaya hidup yang lebih mahal daripada tinggal di Rumah sendiri 2) Seperti halnya makanan di semua lembaga, biasanya kurang menarik daripada masakan rumah sendiri 3) Pilihan makanan terbatas dan seringkali diulang-ulang 4) Berhubungan dekat dan menetap dengan beberapa orang yang mungkin tidak menyenangkan 5) Letaknya seringkali jauh dari tempat pertokoan, hiburan dan organisasi masyarakat 6) Tempat tinggalnya cenderung lebih kecil daripada rumah yang dulu. 2.8. Psychological Well-Being Waria Lansia Yang Tinggal Di Panti Jompo Menurut ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI), Yulianus Rettoblaut mengatakan jumlah waria di Indonesia mencapai tujuh juta orang, dari jumlah tujuh juta, terdapat 800 waria lanjut usia yang tidak memiliki tempat tinggal. Banyak waria lansia yang tinggal dijalan-jalan, sakit, menganggur dan terpaksa hidup dengan kondisi buruk. Waria lansia menghadapi kehidupan yang sulit dimasa tuanya akibat diusir oleh keluarga mereka, yang sebenarnya menjadi tanggung jawab mereka. Hidup waria lansia sangat sulit dan bahkan banyak yang 41 berada di bawah garis kemiskinan, mereka tidak memiliki pilihan selain hidup dijalan dan tinggal di bawah kolong jembatan. (http://www.unio-indonesia.org). Oleh karenanya panti jompo yang dibangun oleh Yulianus dikhususkan untuk waria lansia yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga, walaupun panti jompo ini kecil namun layak untuk menjadi tempat tinggal mereka. (wawancara dengan Yulianus, 2013). Didalam panti jompo terkadang lansia mengalami beberapa masalah yang menyebabkan lansia merasa tidak betah didalam panti jompo masalah tersebut diantaranya adalah kesepian, keterasingan dari lingkungan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal tersebut dapat mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat, harapan, ketenangan pikiran dan kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada perubahan sosial antara lain terjadinya penurunan aktivitas, peran dan partisipasi sosial (Erlangga, 2010). Namun jika waria lansia yang tinggal dipanti jompo memiliki Psychological well-being maka dapat membuat lansia menikmati kehidupannya didalam panti jompo, karena individu yang memiliki psychological well-being yang baik pada umumnya individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri. Seseorang yang memiliki psychological wellbeing yang baik adalah bukan sekedar bebas dari indikator kesehatan mental 42 negatif, seperti terbebas dari kecemasan, tercapainya kebahagiaan dan lain-lain. Tetapi hal yang lebih penting untuk di perhatikan adalah kepemilikan akan penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, kemampuan untuk memiliki rasa akan pertumbuhan dan pengembangan pribadi secara berkelanjutan. 2.9. Kerangka Berpikir Proses Menjadi Waria & Kehiduapan sebagai Waria Merasa Diri Sebagai Waria Menjalani Hidup Sebagai Waria Dalam Keluarga Menjalani Hidup Sebagai Waria Dengan Sesama Waria Kehidupan Sebagai Waria Lansia Sosial Kehidupan dalam Masyarakat & Keluarga Dewasa akhir(lansia) Psikologis Perasaan berdasarkan kehidupan & aktivitas yang dijalankan di usia lanjut Aktivitas sehari-hari di usia lanjut Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological well-being: Demografis (usia, status sosial ekonomi, budaya), Dukungan Sosial, Pemberian Arti Terhadap Hidup. 0) Karakteristik Dewasa akhir (lansia) : - Karakteristik fisik - Karakteristik Psikososial Tugas Perkembangan Dewasa akhir (lansia) Dimensi Psychological well-being: Penerimaan Diri, Hubungan Positif dengan orang lain, Otonomi, Penguasaan Lingkungan, Tujuan Dalam Hidup, Pertumbuhan Pribadi Gambaran Psychological Well-Being 43