BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan mengenai

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan
penelitian. Bagian pertama menjelaskan pengertian Psychological well-being,
dimensi-dimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan
psychological well-being, dilanjutkan dengan bagian kedua yaitu pembahasan
pengertian waria, karakteristik waria, perbedaan transeksual, homoseksual dan
transvestis. Bagian ketiga adalah pembahasan mengenai masa dewasa akhir
(lansia), karakteristik dewasa akhir, tugas perkembangan psikososial dewas akhir,
pengertian panti jompo, kelebihan dan kekurangan tinggal di panti jompo. Bagian
terakhir adalah pembahasan mengenai psychological well-being dan waria lansia.
2.1.
Psychological well-being
2.1.1
Pengertian Psychological well-being
Ryff & Keyes dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “The Structure of
Psychological Well-Being Revisited” (1995) mengatakan bahwa manusia
memiliki dua fungsi positif untuk meningkatkan kesejahteraan psikologisnya.
Yang pertama adalah tentang bagaimana individu membedakan hal positif dan
negatif akan memberikan pengaruh untuk pengertian kebahagiaan. Konsep yang
kedua adalah menekankan kepuasan hidup sebagai kunci utama kesejahteraan.
10
11
Kesejahteraan
psikologis
(psychology
well-being)
adalah
tingkat
kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, memebentuk
hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial,
mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup, serta merealisasikan
potensi dirinya secara kontinyu (Ryff & Keyes, 1995).
Menurut Ryff (1989) manusia dapat dikatakan memiliki kesejahteraan
psikologis yang baik adalah bukan sekedar bebas dari indikator kesehatan mental
negatif, seperti terbebas dari kecemasan, tercapainya kebahagiaan dan lain-lain.
Tetapi hal yang lebih penting untuk di perhatikan adalah kepemilikan akan
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, kemampuan untuk
memiliki rasa akan pertumbuhan dan pengembangan pribadi secara berkelanjutan.
Ryff juga menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis mengambarkan sejauh
mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian
subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka
sendiri.
Menurut Doyle, Hanks, & MacDonald (dalam skripsi Psychological WellBeing Perempuan Bekerja Dengan Status Menikah dan Belum Menikah, Lakoy,
2009), kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah refleksi dari
happiness, emotional well being, dan positive mental health. Emotional well being
adalah pikiran dan perhatian berkenaan dengan perasaan depresi, anxiety dan
frustasi, harapan hidup, kemampuan untuk relaks, dan berbahagia dengan hidup.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis (psychological well being) adalah tingkatan kemampuan individu
12
dalam menerima diri sendiri apa adanya, memiliki hubungan yang baik dengan
lingkungan dan orang lain, dapat mengembangkan potensi dan bakat yang
dimiliki, dapat mengontrol otonomi untuk tujuan hidupnya, optimis, kemampuan
untuk memiliki rasa akan pertumbuhan dan pengembangan pribadi secara
berkelanjutan, dapat menghadapi tekanan sosial dengan mengontol lingkungan
eksternal, dan memiliki stabilitas emosi dan pemaknaan diri yang baik.
2.1.2
Dimensi-dimensi Psychological well-being
Ryff dalam jurnal ilmiah berjudul ”Happiness Is Everything, or Is It?
Explorations
On
The
Meaning
of
Psychological
Well-Being”
(1989)
mengembangkan kesejahteraan psikologis menjadi 6 (enam) dimensi dan akan
dijabarkan sebagai berikut :
1. Penerimaan diri (Self-Acceptance)
Penerimaaan diri adalah bagaimana individu tersebut menerima
diri sendiri secara apa adanya dan pengalamanya. Dengan adanya
penerimaan diri secara apa adanya, baikdari segi positif maupun dari segi
negatif, individu dimungkinkan memiliki sikap positif pada diri sendiri.
Dengan adanya penerimaan diri secara positif, maka sikap toleransi
terhadap frustasi dan pengalaman tidak menyenangkan akan meningkat.
Penerimaan diri juga dapat di definisikan sebagai karakteristik aktualisasi
diri, fungsi optimal dan kematangan perjalanan hidup.
Definisi penerimaan diri dapat di kaitkan dengan rasa percaya diri.
Individu dapat menerima dirinya dalam kondisi apapun dan dengan masa
13
lalu baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, segala
bentuk kegagalan, dan keberhasilan. Cara memandang masa lalu adalah
poin utama dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan psikologis.
Menurut Ryff (1995), semakin individu dapat menerima dirinya
sendiri, maka akan semakin tinggi sikap positif individu tersebut terhadap
diri sendiri, memahami, menerima semua aspek diri, termasuk kualitas diri
yang buruk dan memandang masa lalu sebagai sesuatu yang baik.
Sebaliknya, semakin rendah penerimaan individu terhadap diri sendiri
maka individu tersebut akan semakin tidak puas dengan dirinya sendiri,
akan kecewa dengan masa lalu, dan kualitas diri sehingga menimbulkan
perasaan ingin menjadi orang lain.
2. Hubungan yang postif dengan orang lain (Positive Relations with
Others)
Hubungan
positif
dengan
orang
lain
merupakan
tingkat
kemampuan dalam berhubungan hangat dengan orang lain, hubungan
interpersonal yang didasari oleh kepercayaan, serta perasaan empati,
mencintai dan kasih sayang yang kuat. Hubungan tersebut bukan hanya
sekedar menjalin hubungan dengan orang lain guna memenuhi kebutuhan
psikologis seperti keintiman, tetapi hubungan tersebut sudah melibatkan
pengalaman diri sebagai metafisik yang dihubungkan dengan kemampuan
menggabungkan identitas diri dengan orang lain serta menghindarkan diri
dari perasaan terisolasi dan sendiri.
14
Menurut Ryff (1995), semakin besar kemampuan individu dalam
membina hubungan interpersonal, maka hal ini menunjukan bahwa
individu tersebut memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain,
mampu berempati, menyayangi, menjalin keintiman dengan orang lain,
memahami konsep memberi dan menerima dalam membangun sebuah
hubungan. Dan sebaliknya individu yang tidak dapat membangun
hubungan interpersonal dengan baik maka individu tersebut akan merasa
terisolasi, kurang terbuka, kurang bisa bersikap hangat, dan tidak bisa
memperhatikan kesejahteraan orang lain dan tidak bersedia berkompromi
untuk mempertahankan hubungan yang penting dengan orang lain.
3. Otonomi (Autonomy)
Otonomi adalah tingkat kemampuan individu dalam menentukan
nasib sendiri, kebebasan, pengendalian internal, individual, dan pengaturan
perilaku internal. Atribut ini merupakan dasar kepercayaan bahwa pikiran
dan tindakan individu berasal dari dirinya sendiri, tanpa adanya kendali
dari orang lain.
Individu yang berhasil mengaktualisasikan dirinya menunjukkan
fungsi otonomi dan ketahanan terhadap keterasingan budaya. Orang yang
memiliki otonomi digambarkan mampu mengatur dirinya sendiri dan
memiliki keinginan sesuai dengan standard individu tersebut sehingga
membentuk kepercayaan pada diri sendiri, bukan pada kepercayaan orang
banyak.
15
Ryff (1995) mengatakan bahwa, orang yang memiliki otonomi
tinggi mampu menentukan keputusan bagi dirinya sendiri, dalam arti
mampu melepaskan tekanan sosial dan sebaliknya, orang yang memiliki
otonomi rendah akan mengevaluasi dirinya melalui pandangan orang lain
dan menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial.
4. Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery)
Penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memilih atau
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis. Menurut Ryff
(1995) individu yang memliliki penguasaan lingkungan yang tinggi
memiliki rasa menguasai, berkompetensi dalam mengatur lingkungan,
mampu
mengontrol
kegiatan-kegiatan
eksternal
yang
kompleks,
menggunakan kesempatan yang di tawarkan lingkungan secara efektif dan
mampu memilih atau menciptakan konteks lingkungan yang sesuai dengan
kebutuhan dan nilai pribadinya. Dan sebaliknya penguasan lingkungan
yang rendah akan membuat individu cenderung sulit mengembangkan
lingkungan sekitar, kurang menyadari kesempatan yang di tawarkan di
lingkungan dan kurang memliliki kontrol terhadap dunia di luar diri.
5. Tujuan dalam Hidup (Purpose in Life)
Individu yang positif pasti memliliki tujuan, kehendak, dan merasa
hidupnya terarah pada tujuan tertentu, yang memberikan kontribusi pada
perasaan bahwa hidupnya berarti. Dalam penjelasannya, Ryff (1995),
bahwa individu yang memiliki tujuan hidup yang baik dikatakan memiliki
tujuan hidup dan arah kehidupan, merasa memiliki arti tersendiri dari
16
pengalaman hidup masa kini dan masa lalu, percaya pada belief tertentu
yang memberikan arah hidupnya serta memiliki cita-cita atau tujuan
hidupnya. Dan sebaliknya, individu yang kurang memiliki tujuan hidup
hanya memiliki sedikit keinginan dan cita-cita saja, kurang memilki arah
kehidupan yang jelas dan tidak melihat pengalamannya di masa lalu serta
tidak memiliki bakat yang menjadi kehidupannya lebih berarti.
6. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Pertumbuhan pribadi merupakan tingkat kemampuan individu
dalam mengembangkan potensinya secara terus-menerus, menumbuhkan
dan memperluas diri sebagai orang (person). Kemampuan ini merupakan
gagasan dari individu untuk terus memperkuat kondisi internal
alamiahnya. Dalam diri individu terdapat suatu kekuatan yang terus
berjuang dan melawan rintangan eksternal, sehingga pada akhirnya
individu berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan dari pada sekedar
memenuhi aturan moral.
2.1.3
Faktor-faktor yang berkaitan dengan Psychological Well-Being
Manusia pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang
berbeda-beda. Ryff (1995), menyatakan bahwa empat faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis manusia adalah sebagai berikut :
17
1.
Faktor Demografis
Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial
ekonomi, dan budaya. Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan
oleh Ryff dan Singer (1996) menemukan bahwa faktor-faktor demografis
seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya
mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.
a) Usia
Hasil penelitian Ryff dan Singer (1996) bertujuan melihat
pengaruh usia pada kesejahteraan psikologis terhadap responden
usia dewasa muda (18-29 tahun), dewasa madya (30-64 tahun), dan
lanjut usia (65 tahun keatas) menunjukkan hasil sebagai berikut:
beberapa aspek dari kesejahteraan psikologis seperti penguasaan
lingkungan dan otonomi, menunjukkan pola yang meningkat
sejalan dengan usia, khususnya dari usia dewasa muda ke dewasa
madya. Aspek lain seperti pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup
menunjukkan pola yang meningkat sejalan dengan usia, khususnya
dari dewasa muda ke dewasa madya. Aspek lain seperti
pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukkan pola menurun
khususnya dari dewasa madya ke usia lanjut. Hubungan positif
dengan orang lain dan penerimaan diri menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan bila ditinjau berdasarkan usia.
18
b) Jenis Kelamin
Hasil penelitian Ryff dan Singer (1996) menunjukkan
bahwa dibandingkan pria, wanita dari segala usia menilai dirinya
lebih tinggi dalam hal memiliki hubungan positif dengan orang lain
dan juga pada dimensi pertumbuhan diri, hal ini didukung oleh
pendapat Gray (1997) yang mengemukakan bahwa wanita lebih
menaruh perhatian pada kehidupan bersama dan berbagi perasaan
atau makna diri wanita banyak didominasi oleh kualitas
hubungannya dengan orang lain sedangkan empat aspek lainnya
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pria dan
wanita.
c) Status Sosial Ekonomi
Hasil penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff &
Singer, 1996) menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis lebih
tinggi pada individu yang mempunyai pendidikan lebih tinggi,
terutama untuk dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi,
baik pada wanita ataupun pria. Selanjutnya individu yang
mempunyai penghasilan dan jabatan lebih tinggi menunjukkan
kesejahteraan psikologis yang lebih baik.
d) Budaya
Hasil
Psychological
penelitian
Ryff
Well-Being:
dan
Singer
Meaning,
dalam
Measurement,
Jurnal
and
19
Implication for Psychotherapy Health (Lakoy, 2009) menyatakan
bahwa ada perbedaan kesejahteraan psikologis antara masyarakat
yang memiliki budaya yang berorientasi pada individualisme dan
kemandirian seperti dalam aspek penerimaan diri atau otonomi
lebih menonjol dalam konteks budaya barat. Sementara itu,
masyarakat yang memiliki budaya yang berorientasi kolektif dan
saling ketergantungan dalam konteks budaya timur seperti yang
termasuk dalam aspek hubungan positif dengan orang yang bersifat
kekeluargaan.
2.
Dukungan Sosial
Dalam istilah sederhana sosial ada ketika kita percaya bahwa orang
lain peduli, menerima kita dan menyediakan bantuan jika dibutuhkan serta
kita merasa puas dengan hubungan yang kita miliki. Dukungan sosial
meliputi aspek positif (kekaguman, penghargaan, kesukaan, cinta) afirmasi
(persetujuan dengan atau menyatakan kecocokan beberapa perilaku atau
pernyataan), dan bantuan (beberapa bentuk bantuan) khan, Wethington,
dan Ingersoll-Dayton, 1987 (dalam Fransisca, 2009). Menurut Lemme
(1995) dukungan sosial umumnya dipercaya memiliki efek positif baik
pada kesejahteraan fisik maupun kesejahteraan psikologis. Robinson
(1991, dalam Rubbyk, 2005) juga menemukan bahwa orang-orang yang
mendapat dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang
lebih tinggi. Dukungan sosial dari orang lain yang sangat berarti dalam
hidup kita tidak hanya memiliki manfaat langsung bagi well-being tetapi
20
juga penghalang bagi seseorang dari efek peristiwa menyakitkan dalam
hidup seperti tidak bekerja, kecelakaan, sakit (dalam Fransisca, 2009).
3.
Pemberian Arti Terhadap Hidup
Psychological well-being berkaitan erat dengan pemberian arti
terhadap pengalaman hidup sehari-hari yang dianggap penting. Menurut
Ryff (1989), pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi
kontribusi yang sangat besar terhadap pencapaian psychological wellbeing. Pengalaman hidup tersebut dapat berupa pengalaman religius,
pengalaman pernah abuse, dan lain-lain. Pengalaman hidup yang dialami
tergantung dari cara individu mengevaluasi atau mempersepsi peristiwa
hidup yang dialaminya sebagai sesuatu yang positif, negatif atau netral.
Jika individu mengevaluasi peristiwa hidup yang dialaminya sebagai
sesuatu
yang positif
maka diperkirakan
individu
tersebut
akan
memandangnya sebagai pengalaman hidup yang positif sehingga membuat
kesejahteraan psikologisnya baik.
2.2.
Waria
2.2.1. Definisi Waria
Waria merupakan singkatan dari kata wanita dan pria. Secara fisik waria
adalah seorang laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal namun secara
psikologis mereka merasa dirinya perempuan, dimana dalam kehidupan seharihari, cara berjalan berbicara dan dandanan mereka seperti perempuan.
21
Koeswinarno (dalam Hapsari, 2011). Dalam ilmu psikologi waria termasuk
sebagai penderita transeksualisme (Heuken
dalam Koeswinarno,
2004).
Transeksualisme terbagi menjadi 2 jenis, yaitu pria transeksual dan wanita
transeksual. Namun penelitian ini akan fokus pada pria transeksual.
Rathus, Nevid, dan Fichner-Rathus, (dalam Dwi A, 2008) menjelaskan
bahwa kaum transeksual selalu mengalami ketidaknyamanan dan ketidak cocokan
gender dengan genital yang dimiliki, berharap dapat keluar dari masalah tersebut,
dan memiliki keinginan untuk hidup sebagai individu yang memiliki jenis kelamin
yang berlawanan.
Kring,
Jonson,
Davison,
dan
Neale
(2010)
mengatakan
bahwa
transeksualisme juga dapat disebut dengan gangguan identitas jender (gender
identity disorder). Individu yang mengalami gangguan identitas jender merasa
jauh di dalam dirinya bahwa mereka adalah orang yang berlawanan dengan jenis
kelaminnya, gejala ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanak. Hal ini tidak
dipengaruhi oleh jenis alat kelamin mereka serta persepsi orang lain terhadap
jender mereka (Kring dkk, 2010). Kaplan, Sadock, dan Grebb (1994)
menyebutkan bahwa penderita gangguan transeksualisme memiliki karakteristik
perasaan yang menetap dalam diri seseorang tentang ketidaknyamanan memiliki
jenis kelamin tersebut (dalam Fausiah dan Widuri, 2008).
Dalam kaitannya antara transeksual dan orientasi seksualnya menurut Faiz
(Laksono, 2006) gender terdiri dari dua aspek, yaitu identitas gender dan fungsi
gender. Identitas gender adalah persepsi internal dan pengalaman seseorang
22
tentang gendernya. Identitas gender menggambarkan identifikasi psikologis dalam
otak seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan fungsi gender atau
peran gender adalah merupakan cara hidup dalam masyarakat dan berinteraksi
dengan orang lain berdasarkan identitas gender mereka yang dipelajari dari
lingkungannya. Adapun identitas gender dan orientasi seksual adalah dua hal yang
berbeda dan terpisah. Jadi seorang transeksual bisa memiliki orientasi seksual
homo,hetero, atau biseksual.
Dalam American Psychological Association (dalam Hapsari, 2011)
dijelaskan bahwa terdapat dua komponen yang harus dipenuhi untuk membuat
diagnosis mengenai gangguan identitas jender. Komponen pertama adalah adanya
identifikasi yang kuat dan persisten terhadap jenis kelamin yang berlawanan, yaitu
adanya dorongan atau desakan untuk menjadi individu dengan jenis kelamin yang
berlawanan dengan jenis kelaminnya. Komponen kedua adalah munculnya
perasaan tidak nyaman yang konsisten mengenai jenis kelamin yang dimilikinya
atau perasaan tidak cocok dengan peran jender dari jenis kelaminnya. Individu
tersebut akan terokupasi dengan keinginan mereka untuk hidup sebagai anggota
dari lawan jenisnya. Preokupasi ini akan termanifestasi dalam bentuk dorongan
yang kuat untuk mengadopsi peran sosial dari lawan jenisnya atau untuk memiliki
penampilan fisik yang seperti lawan jenisnya melalui manipulasi hormon atau
pembedahan. Dalam derajat yang bervariasi, mereka akan mengadopsi perilaku,
pakaian, dan tata krama dari lawan jenisnya.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh diatas dapat
disimpulkan bahwa transeksualisme adalah gangguan identitas jender, dimana
23
orang yang mengalaminya akan merasa tidak nyaman dengan jenis kelamin
biologisnya serta merasa bahwa dirinya adalah orang yang terperangkap ke dalam
jenis kelamin yang salah sehingga memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi
individu dengan jenis kelamin yang berlawanan dengan jenis kelamin biologisnya.
2.3.
Karakteristik Transeksual
Karakteristik transeksual dikemukakan oleh beberapa peneliti (dalam Dwi
A, 2008), antara lain:
1. Merasa dirinya terperangakap dalam tubuh denagn jenis kelamin
yang salah
2. Individu biasanya tidak merasa nyaman dengan anatomi seksual
dirinya
3. Ingin memiliki karakteristik fisik dan sosial dari lawan jenis
kelamin (Cohen-Kattenis & Gooren, dalam Kelly, 2001).
4. Sadar bahwa mereka sebenarnya memiliki apa yang menjadi
pemikiran dan kepribadian jenis kelamin yang berlawanan ketika
masih dalam usia yang muda dan sering merasa mereka terlahir
ditubuh yang salah (Kelly, 2001).
Selain itu, dalam DSM-IV TR disebutkan pula beberapa kriteria diagnostik
individu dikategorikan mengalami gangguan identitas gender, yaitu American
Psychiatric Associantion, 2000 (dalam Dwi A, 2008):
24
A. Adanya idntifikasi yang kuat dan persisten dengan lawan jenis (bukan
semata-mata karena adanya dorongan untuk mendapatkan keuntungan
sosial budaya dengan menjadi lawan jenisnya). Pada anak-anak
gangguan tersebut dutunjukkan oleh empat atau lebih karakteristik
dibawah ini:
a) Berulangkali mengatakan keinginan untuk menjadi individu
dengan jenis kelamin yang berlawanan atau mengatakan bahwa
dirinya adalah individu dengan jenis kelamin yang berlawanan.
b) Pada laki-laki, lebih memilih untuk menggunakan pakaian
perempuan; pada perempuan memaksakan untuk menggunakan
pakaian yang sesuai dengan streotipe laki-laki.
c) Secara kuat dan persisten memilih peran yang berlawanan
dengan jenis kelaminnya ketika bermain peran atau selalu
berfantasi untuk menjadi lawan jenisnya.
d) Adanya dorongan yang kuat untuk terlibat permainan dan
hiburan yang sesuai dengan streotipe lawan jenisnya.
e) Secara kuat memilih teman bermain yang jenis kelaminnya
berlawanan dengan individu tersebut.
Sedangkan pada remaja dan dewasa, terdapat gejala-gejala seprti:
a) Adanya keinginan untuk menjadi lawan jenisnya.
25
b) Berprilaku seolah-olah individu tersebut merupakan bagian dari
lawan jenisnya.
c) Adanya keinginan untuk diperlakukan seperti bagian dari lawan
jenisnya.
d) Adanya keyakinan bahwa dirinya memiliki perasaan serta
reaksi yang sama dengan lawan jenisnya.
B. Secara persisten merasa tidak nyaman dengan jenis kelaminnya atau
munculnya perasaan tidak cocok terhadap peran jender dari jenis
kelaminnya.
Pada anak-anak gangguan tersebut ditunjukkan melalui ciri-ciri
sebagai berikut: untuk anak laki-laki, adanya pernyataan yang tegas
bahwa penis atau testisnya mengganggu atau akan hilang atau
pernyataan yang tegas bahwa akan lebih baik jika ia tidak memiliki
penis atau testis, atau adanya keengganan untuk bermain rough-andtumble play serta penolakan terhadap permainan atau aktifitas yang
sesuai dengan streotipe anak laki-laki. Pada anak perempuan,
melakukan penolakan untuk membuang air kecil dengan posisi duduk,
menyatakan dengan tegas bahwa dia memiliki atau akan memiliki
penis, atau menyatakan dengan tegas bahwa dia tidak mau
payudaranya tumbuh serta mengalami menstruasi, atau menyatakan
keengganan mengguanakan pakaian perempuan.
26
Pada remaja dan dewasa, gangguan ditunjukkan oleh adanya gejala
seperti terpreokupasi dengan karakteristik seks primer dan sekunder
(seperti meminta suntikan hormon, operasi, atau berbagai prosedur
lainnya untuk mengubah karakteristik seks menjadi seperti lawan
jenisnya) atau memiliki keyakinan bahwa dirinya terlahir dengan alat
kelamin yang salah.
C. Tidak bersamaan dengan physical intersex condition. Menurut Kaplan,
Sadock, dan Grebb (1994) physical intersex condition adalah berbagai
jenis sindrom yang menyebabkan individu memiliki anatomi atau
aspek fisiologis dari jenis kelamin yang berlawanan.
D. Gejala tersebut menyebabkan distress yang signifikan secara klinis
atau kerusakan pada fungsi sosial, pekerjaan, ataupun fungsi pada area
lainnya yang penting.
2.4.
Perbedaan Transeksual, Homoseksual, dan Transvestis
Masyarakat terkadang menganggap bahwa waria itu sama dengan istilah
homoseksual, namun sebenarnya kedua istilah ini merupakan dua hal yang
berbeda. Transeksual
merupakan
gangguan
identitas gender, sedangkan
homoseksual berkaitan dengan orientasi seksual individu. Kaplan, Sadock, dan
Grebb (1994) menjelaskan identitas gender adalah keadaan psikologis yang
merefleksikan perasaan dalam diri seseorang, berkaitan dengan keberadaan diri
sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas gender sangat berkaitan dengan
budaya, berkenaan dengan serangkaian sikap, pola perilaku, dan atribut lain yang
27
biasanya dihubungkan dengan maskulinitas dan feminimitas. Istilah ini harus
dibedakan dengan orientasi seksual, yang didefinisikan sebagai kecenderungan
respon-erotik seseorang (misalnya: homoseksual atau heteroseksual), dan
mempenagruhi pilihan obyek serta kehidupan fantasinya. Burdge (2007) pun
menjelaskan perbedaan antara identitas gender dan orientasi seksual, ia
menjelaskan bahwa identitas gender mengacu pada penghayatan individu sebagai
wanita, pria, ataupun gender lainnya (baik transgender maupun tidak keduanya)
sedangkan orientasi seksual mengacu pada ketertarikan individu secara seksual
dan emosional.
Kartono
(1989) menjelaskan
bahwa transeksual
berbeda dengan
homoseksual dimana homoseksualitas semata-mata mengacu pada perilaku relasi
seksual, bahwa seseorang merasa tertarik dan mencintai jenis kelamin yang sama.
Hal ini didukung oleh Selvin (dalam Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 1993)
yang menyebutkan hal yang sama bahwa transeksual berbeda dengan
homoseksual. Homoseksual (gay dan lesbian) memiliki ketertarikan terhadap
individu dengan jenis kelamin yang sama. Seorang gay akan mencintai laki-laki
lainnya sebagai pasangannya, dan seorang lesbian akan mencintai wanita lainnya.
Para gay dan lesbian mempersepsikan identitas gender mereka sesuai dengan
anatomi biologis mereka (jenis kelamin). Pola ketertarikan secara seksual bukan
menjadi suatu hal yang penting bagi kaum transeksual. Beberapa kaum
transeksual merupakan “aseksual” (American Psychiatric Association, dalam
Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 1993). Mereka mengemukakan bahwa mereka
tidak pernah memiliki dorongan seksual yang kuat. Kaum transeksual lainnya
28
mengalami ketertarikan dengan individu yang memiliki jenis kelamin yang sama
dengan mereka. Transeksual tidak suka jika dianggap sebagai homoseksual.
Berdasarkan sudut pandang kaum transeksual, mereka merasa bahwa mereka
mencintai lawan jenis. Beberapa kaum transeksual lainnya benar-benar tertarik
dengan individu yang berlawanan jenis dengan mereka.
Kartono (1998) menyebutkan bahwa selain berbeda dengan gejala
homoseksual, gejala transeksual juga berbeda dengan transvestis, yakni sebuah
patologis yang menyebabkan individu senang menggunakan pakaian dari lawan
jenis kelaminnya atau individu hanya akan mendapatkan kepuasan seks jika ia
memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Itu sebabnya, gejala yang terjadi
dalam diri seorang waria sangat berbeda dengan penderita transvestis. Seorang
waria memakai pakaian atau atribut perempuan karena dirinya merasakan sebagai
perempuan secara psikis, sementara seorang laki-laki transvestis memakai pakaian
perempuan hanya ketika ingin mendapatkan kepuasan nafsu seksual. Kring,
Davison, Neale, dan Johnson (2007) mendefinisikan transvestis sebagai gangguan
dimana seorang laki-laki yang dapat terangsang secara seksual dengan
menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya.
Miracle dkk, (dalam Dwi A, 2008) menjelaskan bahwa transeksual
memang terkadang sulit dibedakan dengan transvestis, namun kedua hal tersebut
memang merupakan dua hal yang berbeda. Transvestis biasa disebut dengan
pengguna pakaian lawan jenis (cross-dressers), dimana individu menggunakan
pakaian dari lawan jenis kelamin dengan tujuan untuk memperoleh rangsangan
seksual. Berbeda dengan transeksual dimana mereka menggunakan pakaian lawan
29
jenis kelamin untuk menyesuaikan dengan identitas gender yang mereka miliki,
bukan bertujuan untuk memperoleh rangsangan seksual. Transvestis mungkin saja
menampilkan tingkah laku yang tidak selaras dengan gender dirinya, namun
mereka biasanya memiliki identitas gender yang sesuai dengan anatomi seksual
yang dimilikinya (jenis kelamin biologis).
2.5.
Etiologi
Menurut Birkenfeld-Adams, (dalam Hapsari, 2008) terdapat dua faktor
yang berperan penting dalam perkembangan transeksualisme, yaitu faktor biologis
dan faktor psikologis. Berikut pemaparan mengenai faktor-faktor tersebut.
2.5.1. Pandangan Biologis
Saat ini, area dari penelitian mengenai faktor biologis yang dapat
menyebabkan transeksualisme meliputi maternal stress (Bailey, Willerman, dan
Parks; Dorner, Schneck, Schmeidel, dan Ahrens dalam Heller, 1997), sistem saraf
pusat yang berbeda (Gooren dalam Heller, 1997), faktor genetis (Bailey, dunne, &
Martin; Van Beijsterveldt, Hudziak, Boosma dalam Kring dkk, 2010). Namun
sayangnya, berbagai penelitian mengenai faktor biologis tersebut belum dapat
memberikan kesimpulan mengenai faktor biologis yang berpengaruh terhadap
perkembangan transeksualisme. Penelitian lain menunjukkan tidak adanya
keabnormalan dalam pola kromosom, alat kelamin, anatomi otak, atau derajat dari
sex steroids yang dapat diukur pada transeksualisme (Gooren dalam Heller, 1997).
Walaupun demikian, hal ini bukan berarti faktor biologis tidak memiliki peranan
dalam
perkembangan
transeksualisme.
Faktor
biologis
berperan
dalam
30
perkembangan transeksualisme pada area dimana penelitian lebih lanjut
dibutuhkan dalam upaya meningkatkan pemahaman mengenai perkembangan
identitas jender baik yang normal maupun yang tidak normal (Heller, 1997).
2.5.2. Pandangan Psikoanalisa
Teori psikoaanalisa fokus pada hubungan orang tua dan anak di awal masa
perkembangan anak. Dalam pandangan psikoanalisa pria transeksual memiliki
“close-binding mothers” yaitu hubungan yang sangat dekat dengan ibunya dan
“detached-hostile fathers” yaitu ayah yang absen atau tidak tertarik terhadap
anaknya (Stoller dalam Rathus, Nevid, dan Fichner-Rathus, 1993). Keadaan
keluarga yang seperti ini membantu perkembangan identifikasi yang kuat dengan
ibu, figur yang berlawanan dengan peran dan jender yang sejenis (Rathus, Nevid,
dan Ficher-Rathus, 1993).
Merujuk pada Green (dalam Cook, 1999), kedekatan tidak biasa yang
muncul antara ibu dan anak memotivasi anak untuk mengimitasi ibunya, serta
anak menjadi tertarik terhadap apa yang dimiliki ibunya. Kemudian ibu tersebut
merasa senang dan secara sadar maupun tidak merespon dengan penguatan
positif. Sedangkan ayahnya tidak melakukan tindakan untuk melarang perbuatan
anaknya, namun justru menarik diri sebagai respon dari perasaan ditolak oleh
anaknya yang lebih memilih ibunya. Teori Green mengenai faktor ayah ini
didukung oleh hasil penelitiannya. Dalam penelitiannya, ayah dari anak laki-laki
yang mengalami transeksualisme secara signifikan lebih sedikit meluangkan
waktu bersama anaknya dan memiliki inisiatif yang lebih kecil dalam perencanaan
31
aktifitas keluarga dibandingkan dengan ayah dari anak laki-laki pada kelompok
kontrol, yaitu yang tidak mengalami transeksualisme.
2.5.3. Pandangan Teori Behavioral
Jika dilihat berdasarkan terori behavioral, pemberian reinforcement yang
secara sadar maupun tidak sadar diberikan orang tua dan keluarga ketika anaknya
menampilkan perilaku yang berlawanan dengan peran jendernya turut berperan
dalam perkembangan transeksualisme. Sebagian besar anak-anak menampilkan
perilaku yang berlawanan dengan peran jendernya dalam suatu waktu. Pada masamasa ini, terdapat beberapa orang tua dan keluarga yang memberikan
reinforcement pada perilaku tersebut. Orang tua dari anak yang menampilkan
tanda-tanda transeksualisme seringkali menyatakan bahwa mereka tidak melarang
ketika anaknya menggunakan pakaian yang berlawanan dengan jenis kelaminnya.
Hali ini terutama terjadi pada anak laki-lak, dimana ornag tua dan keluarga
tersebut dapat berkontribusi dalam pembentukan identitas jender anak (Zucker
dalam Kring dkk, 2010).
2.6.
Lansia
2.6.1
Definisi Lansia
Aiken (dalam Ninggiasari, 2006) mendefinisikan lansia sebagai individu
yang telah memasuki dekade ketujuh dalam hidupnya. Secara tradisional yang
tergolong dalam lansia adalaha mereka yang berusia 65 tahun atau lebih.
32
2.6.2
Tahapan Usia Lansia
Para ahli mempelajari mengenai lansia (dalam Papalia, Olds & Feldman,
2004) mengelompokkan tahapan lansia menjadi:
-
Young old, yaitu individu yang berusia 65-74 yang umumnya masih aktif,
penuh perhatian dan bersemangat,
-
Old old, yaitu individu yang berusia 75-84,
-
Oldest old, yaitu individu yang berusia 85 tahun atau lebih yang umumnya
lemah dan sulit untuk mengatur aktivitas sehari-hari.
Selain itu, terdapat pula klasifikasi berdasarkan functional age yaitu sejauh
mana individu berfungsi dengan baik pada lingkungan fisik maupun sosial jika
dibandingkan dengan individu lain pada usia kronologis yang sama. Pada kriteria
tersebut, istilah young old digunakan untuk lansia yang sehat dan aktif, dan old
old bagi lansia yang lemah tanpa melihat usia kronologisnya (Papalia, Olds &
Feldman, 2004).
Sedangkan di Indonesia sendiri, batasan lanjut usia adalah individu yang
berusia 60 tahun dan lebih (Supartondo, 2002). Oleh karena itu, dalam penelitian
kali ini, batasan lansia yang akan digunakan adalah individu yang mencapai umur
65-70 tahun lebih dan masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
33
2.6.3
Karakteristik Lansia
Karakteristik Fisik
Individu pada masa lansia memiliki perubahan fisik yang dapat terlihat.
Perubahan tersebut antara lain kulit yang mengeriput dan kurang elastis serta
rambut yang memutih. Tubuh lansia juga terlihat lebih pendek karena tulang yang
membungkuk dan menipis (Papalia, Olds & Feldman, 2004).
Selain itu, terdapat perubahan-perubahan fisik lain yang lebih kurang
dapat terlihat (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Perubahan-perubahan tersebut
antara lain:
- Penurunan berat otak yang semakin bertambah akibat hilangnya neuron
dalam otak yang akhirnya menyebabkan penurunan koordinasi fisik
maupun kognitif sehingga kemampuan merespon juga menurun.
- Munculnya masalah pada alat-alat indera, antara lain berupa kesulitan
dalam mempersepsikan kedalaman atau warna ataupun kesulitan dalam
membaca, menjahit dan sebagainya; kurangnya kemampuan mendengar
suara dengan nada tinggi; penurunan pada indera pengecap dan
penciuman yang menyebabkan lansia kurang dapat menikmati makanan;
serta penurunan kekuatan dan keseimbangan sehingga sudah kurang
mampu untuk melakukan aktivitas yang memerlukan tenaga besar dalam
waktu yang lama.
34
- Pada dasarnya kemampuan fungsi seksual dapat dijaga dengan aktivitas
seksual yang konsisten selama bertahun-tahun. Hanya saja waktu yang
diperlukan lebih lama pada lansia laki-laki untuk ereksi dan ejakulasi,
sedang pada lansia perempuan tanda-tanda rangsangan seksual akan
menjadi kurang kuat dibanding sebelumnya.
- Selain itu, lansia juga memiliki kecenderungan untuk mengalami dementia
atau penurunan fungsi kognitif dan tingkah laku yang disebabkan karena
perubahan fisiologis yang terjadi sejalan pertambahan usia. Salah satu
jenis dementia yang biasanya dialami lansia adalah penyakit alzeimer
(penurunan fungsi kognitif dan hilangnya kontrol terhadap fungsi tubuh
akibat
kelainan
pada
otak).
Selain
itu,
lansia
juga
memiliki
kecenderungan parkinson dengan gejala tremor, kekakuan, pergerakan
yang lambat dan postur yang tidak stabil akibat kelainan neurologis.
Karakteristik Psikososial
Pada fungsi psikososial, lansia mengalami perubahan pada gaya hidup
(pensiun dan waktu luang), pada hubungan sosial, serta pada hubungan
konsensual yaitu pernikahan, menjanda, hidup sendiri.
Lansia mengoptimalkan aktivitasnya dengan memberi prioritas pada
kegiatan yang sesuai dengan kapasitasnya, kegiatan yang diperlukan untuk
pemeliharaan diri, atau menjadi pusat dari kepuasan hidupnya. Batles, Wahl, &
Schmid-Fuurstoss (dalam Ningiassari, 2006) menemukan bahwa kegiatan seperti
35
berbelanja, beristirahat, dan berpergian, merupakan mayoritas kegiatan sehari-hari
lansia.
Latihan fisik menjadi fokus dalam ativitas waktu luang pada sejumlah
lansia karena bermanfaat untuk kesehatan, kepercayaan diri dan semangat hidup
(Newman & Newman, dalam Ningiassari, 2006). Kegiatan lain yang paling
banyak dilakukan lansia adalah kegiatan belajar non formal antara lain melalui
media cetak seperti buku, koran dan majalah, serta menggunakan media
elektronik.
Memiliki keinginan untuk melanjutkan aktivitas berperan sebagai tujuan
yang bermakna bagi lansia (Reker et al. dalam, Ningiassari, 2006). Aktivitas
waktu luang pada lansia juga bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan akan
persahabatan, kebutuhan untuk mengalami hal baru dan berbeda, untuk
melepaskan diri dari tekanan dalam berhubungan dengan orang lain, untuk
menemukan ketenangan dan keamanan, dan menemukan kesempatan memperoleh
stimulasi intelektual, ekspresi diri, dan pelayanan (Tinsley et al. dalam
Ningiassari, 2006).
Pengaturan tempat tinggal juga menjadi tema penting pada masa lansia.
Lansia pada umumnya akan tinggal bersama anak dan cucunya atau tinggal di
suatu tempat institusi. Di negara berkembang, para lansia baik pria maupun
wanita biasanya tinggal dengan anak-anaknya dan cucu-cucunya (Papalia, Olds &
Feldman, 2004). Sedangkan lansia ya g memiliki resiko tinggi untuk tinggal di
institusi adalah mereka yang hidup sendiri, yang tidak mengambil bagian dalam
36
aktivitas sosial, yang memiliki keterbatasan kesehatan dan kemampuan, serta
mereka yang memiliki keluarga yang terbebani dengan kehadiran mereka (McFall
& Miller dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004).
Dalam hubungan sosial umumnya lansia diperkaya dengan kehadiran
teman lama dan keluarga. Walaupun mereka lebih jarang untuk bertemu dengan
orang lain, hubungan personal tetap menjadi hal yang penting bahkan lebih dari
sebelumnya. Penelitian menemukan bahwa lansia biasanya melewatkan
kesempatan untuk meningkatkan kontak sosial dan lebih puas dengan jaringan
yang lebih kecil (Papalia, Olds & Feldman, 2004).
Makna dari persahabatan hanya berubah sedikit sepanjang hidup, akan
tetapi konteks dan isinya berubah. Diantara lansia, persahabatan tidak lagi
berhubungan dengan pekerjaan dan pengasuhan anak, melainkan lebih berfokus
kepada kedekatan
(companionship) dan
dukungan.
Lansia
yang
dapat
mengungkapkan perasaan, pikiran, dan kekahawatiran dengan temannya dapat
menghadapi dengan lebih baik perubahan dan krisis penuaan.
Keakraban (intimacy) merupakan kesempatan penting bagi lansia agar
dapat mengetahui bahwa dirinya masih berharga dan diinginkan meskipun
memiliki penurunan fisik dan penurunan lainnya (dalam Papalia, Olds &
Feldman, 2004). Lansia biasanya mencari kedekatan dengan teman sebayanya
(Hamovitch & Peterson dalam, Ningiassari, 2006). Hal ini dapat dikarenakan
teman-teman cenderung lebih memberikan bantuan emosional (misalnya nasihat
mengenai masalah-masalahnya), layanan-layanan kecil (misalnya meminjamkan
37
barang), dan persahabatan (companionship) misalnya dengan berbagai ide dan
melakukan kegiatan bersama-sama (Wellman & Worthley dalam Ningiassari,
2006).
2.6.4
Tugas Perkembangan Psikososial Lansia
Seperti dalam tahap perkembangan lainnya, lansia juga memiliki tugas
perkembangannya sendiri. Berdasarka karakteristik perkembangan yang dialami
lansia dari Papalia, Olds, & Feldman (2004) seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, maka tugas perkembangan lansia antara lain:
-
Menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan fisik dan kognitif.
Selain itu, dalam Ningiassari (2006), juga diungkapkan bahwa lansia perlu
menjaga kesehatannya dan memodifikasi gaya hidupnya agar sesuai
dengan perubahannya tadi.
-
Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun dan waktu luang dengan
menemukan aktivitas lain.
-
Mengatur tempat tinggalnya, baik itu tinggal bersama anak-anak atau
keluarganya, hidup sendiri, atau tinggal di institusi.
-
Membina hubungan dengan teman sebaya.
-
Menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan, teman-teman, ataupun
saudara.
38
Selain itu, menerima kenyataan yang terjadi dalam kehidupan yang
dijalaninya, menemukan tujuan hidup, mencapai kepuasan hidup, serta
mengembangkan pemikiran bahwa kematian merupakan kenyataan dan hal yang
alami dalam kehidupan juga merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh lansia
(Ningiassari, 2006).
2.7.
Panti Jompo
2.7.1
Pengertian panti Jompo
Panti Jompo adalah tempat tinggal yang dirancang khusus untuk orang
lanjut usia, yang di dalamnya disediakan semua fasilitas lengkap yang dibutuhkan
orang lanjut usia (Hurlock, 1996). Menurut Santrock (2002) panti jompo
merupakan lembaga perawatan atau rumah perawatan yang dikhususkan untuk
orang-orang dewasa lanjut. Disana tersedia berbagai macam kebutuhan yang
dibutuhkan oleh para orang-orang lanjut usia dan tersedia juga fasilitas kesehatan.
Panti Jompo swasta didefinisikan sebagai usaha yang menyediakan
akomodasi, perawatan, layanan makanan dan manajemen kesehatan bagi satu atau
lebih orang lanjut usia (Nusantara, 2009). Panti Jompo merupakan unit
pelaksanaan teknis yang memberikan pelayanan sosial bagi lanjut usia, yaitu
berupa pemberian penampungan, jaminan hidup seperti makanan dan pakaian,
pemeliharaan kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan
sosial, mental serta agama, sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan
diliputi ketentraman lahir batin (DEPSOS RI, 2003).
39
2.7.2
Kekurangan Dan Kekurangan Tinggal Di Panti Jompo
a. Keuntungan
Menurut Hurlock (1996) Ada beberapa keuntungan yang akan didapat para
lansia bila tinggal di Panti Jompo adalah sebagai berikut :
1) Perawatan dan perbaikan wisma dan perlengkapannya dikerjakan oleh
lembaga;
2) Semua makanan mudah didapat dengan biaya yang memadai;
3) Perabotan dibuat untuk rekreasi dan hiburan;
4) Terdapat kemungkinan untuk berhubungan dengan teman seusia yang
mempunyai minat dan kemampuan yang sama;
5) Kesempatan yang besar untuk dapat diterima secara temporer oleh teman seusia
daripada dengan orang yang lebih muda;
6) Menghilangkan kesepian karena orang-orang di situ dapat dijadikan teman;
7) Perayaan hari libur bagi mereka yang tidak mempunyai keluarga tersedia di
sini;
8) Ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi di masa lalu
kesempatan semacam ini tidak mungkin terjadi dalam kelompok orang-orang
muda.
40
b. Kerugian
Selain mendapat beberapa keuntungan terdapat pula beberapa kerugian bila
tinggal di Panti Jompo, diantaranya adalah :
1) Biaya hidup yang lebih mahal daripada tinggal di Rumah sendiri
2) Seperti halnya makanan di semua lembaga, biasanya kurang menarik daripada
masakan rumah sendiri
3) Pilihan makanan terbatas dan seringkali diulang-ulang
4) Berhubungan dekat dan menetap dengan beberapa orang yang mungkin tidak
menyenangkan
5) Letaknya seringkali jauh dari tempat pertokoan, hiburan dan organisasi
masyarakat
6) Tempat tinggalnya cenderung lebih kecil daripada rumah yang dulu.
2.8.
Psychological Well-Being Waria Lansia Yang Tinggal Di Panti Jompo
Menurut ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI), Yulianus
Rettoblaut mengatakan jumlah waria di Indonesia mencapai tujuh juta orang, dari
jumlah tujuh juta, terdapat 800 waria lanjut usia yang tidak memiliki tempat
tinggal. Banyak waria lansia yang tinggal dijalan-jalan, sakit, menganggur dan
terpaksa hidup dengan kondisi buruk. Waria lansia menghadapi kehidupan yang
sulit dimasa tuanya akibat diusir oleh keluarga mereka, yang sebenarnya menjadi
tanggung jawab mereka. Hidup waria lansia sangat sulit dan bahkan banyak yang
41
berada di bawah garis kemiskinan, mereka tidak memiliki pilihan selain hidup
dijalan dan tinggal di bawah kolong jembatan. (http://www.unio-indonesia.org).
Oleh karenanya panti jompo yang dibangun oleh Yulianus dikhususkan untuk
waria lansia yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga, walaupun panti
jompo ini kecil namun layak untuk menjadi tempat tinggal mereka. (wawancara
dengan Yulianus, 2013).
Didalam panti jompo terkadang lansia mengalami beberapa masalah yang
menyebabkan lansia merasa tidak betah didalam panti jompo masalah tersebut
diantaranya adalah kesepian, keterasingan dari lingkungan, ketidakberdayaan,
ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lansia yang
miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal tersebut dapat
mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat, harapan,
ketenangan pikiran dan kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup,
hubungan yang bersahabat dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati
kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada perubahan sosial antara lain terjadinya
penurunan aktivitas, peran dan partisipasi sosial (Erlangga, 2010).
Namun jika waria lansia yang tinggal dipanti jompo memiliki
Psychological well-being maka dapat membuat lansia menikmati kehidupannya
didalam panti jompo, karena individu yang memiliki psychological well-being
yang baik pada umumnya individu merasa nyaman, damai, dan bahagia
berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian
potensi-potensi mereka sendiri. Seseorang yang memiliki psychological wellbeing yang baik adalah bukan sekedar bebas dari indikator kesehatan mental
42
negatif, seperti terbebas dari kecemasan, tercapainya kebahagiaan dan lain-lain.
Tetapi hal yang lebih penting untuk di perhatikan adalah kepemilikan akan
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, kemampuan untuk
memiliki rasa akan pertumbuhan dan pengembangan pribadi secara berkelanjutan.
2.9.
Kerangka Berpikir
Proses Menjadi Waria & Kehiduapan sebagai Waria
Merasa Diri Sebagai
Waria
Menjalani Hidup Sebagai
Waria Dalam Keluarga
Menjalani Hidup Sebagai
Waria Dengan Sesama Waria
Kehidupan Sebagai Waria Lansia
Sosial
Kehidupan dalam
Masyarakat &
Keluarga
Dewasa
akhir(lansia)
Psikologis
Perasaan berdasarkan
kehidupan & aktivitas
yang dijalankan di
usia lanjut
Aktivitas
sehari-hari di
usia lanjut
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Psychological well-being:
Demografis (usia, status sosial ekonomi,
budaya), Dukungan Sosial, Pemberian
Arti Terhadap Hidup.
0)
Karakteristik Dewasa
akhir (lansia) :
-
Karakteristik fisik
-
Karakteristik
Psikososial
Tugas
Perkembangan
Dewasa akhir
(lansia)
Dimensi Psychological well-being:
Penerimaan Diri, Hubungan Positif
dengan orang lain, Otonomi,
Penguasaan Lingkungan, Tujuan Dalam
Hidup, Pertumbuhan Pribadi
Gambaran Psychological
Well-Being
43
Download