BAB III PEMERIKSAAN POSTMORTEM PADA RAHANG BAWAH DENGAN MENGGUNAKAN METODE MANDIBULA CANINA INDEX UNTUK MENENTUKAN JENIS KELAMIN DITINJAU DARI SEGI ISLAM 3.1. Pemeriksaan Postmortem Pada Rahang Bawah untuk Kepentingan Penegakan Hukum menurut Islam Dalam suatu negara diperlukan tegaknya hukum yang seadil-adilnya untuk digunakan sebagai pengatur umatnya. Dalam hal ini penegak hukum dengan disertai kesadaran seluruh warga negara tersebut. Penegakan hukum suatu kasus dilakukan dengan pemeriksaan identifikasi forensik yang bekerja sama dengan ahli forensik. Pemeriksaan identifikasi menggunakan pemeriksaan post-mortem dalam hal ini menggunakan manusia sebagai obyeknya dan ante-mortem benda sebelum korban meninggal (Mahjudin, 1992). Al-Quran menegaskan bahwa ‘manusia adalah mahluk yang mulia’. Dengan kemudian tersebut manusia harus diperlakukan secara terhormat dan adil, baik saat hidup maupun mati, seperti ditegaskan dalam ayat Al-Quran : Artinya :“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S An-Nisa (4): 58).” 50 Untuk menyikap dan mengungkapkan kebenaran suatu obyek tertentu, manusia memerlukan ilmu khusus yang terkait dengan obyek tertentu. Mengingat keterbatasan manusia untuk dapan menguasai semua cabang ilmu pengetahuan, maka diperlukan orang yang ahli di bidang ilmu tertentu untuk dapat menjawab persoalan yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan penegasan pada ayat Al-Quran : Artinya : "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahu (Q.S. Al-Nahl (16): 43).” Peralatan modern terkadang sulit untuk membuktikan sebab kematian dan identitas seseorang dengan hanya penyelidikan dari bagian tubuh manusia. Kesulitan tersebut menjadi alasan untuk memperbolehkan pembedahan mayat dengan memeriksa rahang bawah sebagai obyek penyidikan, karena dianggap sangat dihajatkan dalam menegakkan hukum dan Jika berkepentingan tersebut berkaitan dengan penegakkan hukum. Untuk alasan mashlahah tersebut di atas maka seharusnya penegak hukum berkerjasama dengan dokter ahli terkait (ahli forensik, ahli gigi forensik, patologi forensik, dll) yang dapat dipercaya kejujurannya tersebut mendapatkan visum et repertum, sehingga dari hasil penyelidikan itu dapat memberi keterangan kepada para penegak hukum untuk mengetahui identitas seseorang, sekaligus pelaku tindak pidana tersebut (Mahjudin, 2008). 51 Dalam melakukan pemeriksaan post-mortem maupun ante-mortem sebaiknya dengan tujuan untuk penengakan hukum. Dan bersifat darurat untuk kemaslahatan. Dengan melakukan pemeriksaan pada rahang bawah yang menggunakan pengukuran mandibula pada manusia atau pada anggota tubuh manusia yang lainnya itu semata hanya untuk penegakan hukum. Pemeriksaan tidak hanya pada bagian tubuh manusia saja ada yang menggunakan dokumen seperti foto, properti, ktp dan masih banyak lagi yang dapat digunakan dalam penegakan hukum suatu kasus (Mahjudin, 2008). Salah satu tujuan menjatuhkan sanksi hukum kepada terdakwa adalah dalam rangka memberikan pelajaran kepada mereka dan menakut-nakuti orang lain yang masih mempunyai niat seperti terdakwa. Karena itu menjatuhkan sanksi hukum, tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak manusiawi. Bahkan Allah di dalam Al-Quran memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman potong tangan bagi pencuri, karena Islam mengutamakan ketentraman orang banyak (Mahjudin, 2008). Kalau penegak hukum tidak mau mengusut kejahatan karena yang dianiaya sudah mati lalu takut melakukan pengusutan dengan melalui pembedahan mayat berarti penegak hukum tersebut telah memberi jalan kepada penjahat agar tidak takut beraksi (Mahjudin, 2008). 52 3.2 Pandangan Islam Penggunaan Metode Mandibula Canina Index Sebagai Pembedahan Mayat (Autopsi) Pemeriksaan pada rahang bawah manusia berkaitan dengan pembedahan mayat (autopsi). Bedah disebut juga operasi, bedel (untuk mengobati penyakit). Secara bahasa, bedah berarti pengobatan dengan jalan memotong atau mengiris bagian tubuh seseorang. Dalam bahasa Arab disebut al-Tasyrih, al-Jirahah atau al-‘Amaliyyah bi al-Jirahah (melukai atau operasi pembedahan). Bedah mayat sendiri mengandung makna yaitu suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat karena dilandasi maksud atau kepentingan tertentu. Sedangkan autopsi adalah pemeriksaan tubuh dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian ditinjau dari aspek tujuan, bedah mayat (autopsi) dibagi dalam empat kelompok, yaitu autopsi anatomis, autopsi klinis, dan autopsi forensik, bedah mayat bertujuan untuk menyelamatkan janin yang ada di dalam kandungan atau untuk mengeluarkan benda berharga. Autopsi forensik merupakan pembedahan terhadap mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, misalnya dugaan pembunuhan, kecelakaan, bunuh diri, bencana dan lain-lain. Pembedahan seperti ini biasanya dilakukan atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian seseorang. Hasil visum dokter (visum et repertum) ini akan mempengaruhi keputusan hakim dalam menentukan suatu perkara (Amirudin,2008); (Zuhroni,2008). Pemeriksaan rahang bawah atau dikenal dengan pemeriksaan odontologi forensik dengan mengukur rahang bawah sendiri merupakan bagian dari pemeriksaan autopsi forensik yang berfungsi dalam penelitian serta proses identifikasi untuk menentukan jenis kelamin seseorang. Tujuan autopsi forensik 53 sejalan dengan prinsip islam, yaitu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan penentuan hukum (Aminudin,2008). 3.2.1 Hukum Islam Mengenai Pembedahan Mayat (Autopsi) Syariat Islam sangan memuliakan jiwa dan jasad seorang muslim setelah wafat sekalipun. Sehingga secara umum, melukai atau melakukan tindakan tidak hormat pada mayat seorang muslim diharamkan (Sadeli, 2008). Dlam hadist nabawi tidak ada keterangan yang sharih tentang hukum melakukan autopsi. Sebab, autopsi seperti zaman sekarang ini belum dikenal di masa lalu, yang dapat ditemukan hanyalah dalil-dalil dari sunnah nabiwiyah yang beberapa perbedaan pendapat diantara para ulama tentang hukum membedah mayat (Sarwat, 2008); (Zuhroni, 2008). Ada beberapa pokok hukum agama Islam dalam meninjau masalah hambatan yang timbul dalam pelaksanaan bedah mayat : 1. Islam menyuruh menghormati manusia, baik ketika masih hidup maupun ketika sudah mati, hal tesebut terdapat pada ayat : Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.s, Al-Isra (17): 70) 54 2. Islam melarang merusak tubuh orang yang sudah mati. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan perawi lain. Dijelaskan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at Tirmidzi bahwa jika duduk di atas kuburan tidak diperkenankan, maka untuk hal lain berupa tindakan tidak pantas, lebih tidak diperbolehkan (Ahmad, 2008); (Muhammad, 2008). 3. Islam melarang melihat aurat orang lain, hal tersebut terdapat pada ayat Al-Quran: Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, 55 atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. Annur (24):31) 4. Allah mensyariatkan agama Islam agar memelihara mashlahat. 5. Islam menyuruh agar menghukum terhadap sesuatu perkara dengan hukuman yang adil, hal ini terdapat pada ayat Al-Quran : Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(Q.s, al-Ma’idah (5): 45). Meskipun dalam Al-Qur’an tidak ada ayat khusus yang menegaskan hukum bedah mayat, tetapi banyak ayat yang dapat dijadikan sebagai acuan dan 56 landasan dalam menetapkan praktik bedah mayat, misalnya janji Allah yang akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya diangkasa luar dan dalam diri manusia itu sendiri seperti dalam ayat Al-Quran : Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu. (Q.s, al-Ahqaf (41): 53). Pengertian “dalam diri manusia”, pada ayat di atas menurut para mufassir berarti di dalam tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti. Ayat ini dapat dijadikan sebagai acuan perintah untuk melakukan penelitian secara mendalam tentang struktur tubuh manusia, jaringan, otot, tulang dan semua bagian manusia, baik luar maupun dalam (Zuhroni, 2008). 3.2.2 Pertimbangan Maslahah tentang Bedah Mayat terhadap pengukuran Rahang Bawah. Meskipun secara umum termasuk merusak jasad mayit adalah dilarang, namun beberapa ulama kontemporer membolehkan atas dasar pertimbangan maslahat tapi dengan beberapa syarat. Dalam ushul fikih dikenal kaidah yang menyatakan, jika ada dua maslahat yang kontradiktif, maka didahulukan maslahat yang paling besar. Dalam hal ini, maslahat bagi mayit adalah hendaknya jasadnya tidak dirusak. Sedangkan maslahat umatnya, dengan diadakannya autopsi, 57 beberapa masalah terkait bisa mendapatkan solusi. Terkait juga kaidah tentang mafsadah, jika ada dua mafsadah yang bertentangan maka dipilihlah yang paling ringan. Autopsi bisa menyebabkan mafsadah (kerusakan). Sedangkan ketidaktahuan akan sebab kematian, penyakit berbahaya dan tidak berkembangnya ilmu kedokteran adalah mafsadah yang jauh lebih besar (Sadeli, 2008). 3.2.3 Fatwa Ulama tentang Bedah Mayat Beberapa pendapat para Ulama berkenaan dengan pembedahan mayat : a. Syeikh Hasanain Makhluf (mufti dari Mesir) dalam buku Lajnah Fatwa dari Mesir menyatakan, pemeriksaan bedah mayat untuk mayat yang terbunuh dalam rangka mengetahui dan menjelaskan sebab-sebab kematiannya serta untuk menetapkan sekaligus untuk menentukan tindak pidana (jinayat) atasdiri pembunuh atau membebaskannya, maka hal seperti ini tidak dilarang tentang bolehnya, apanila kebenaran tentang jinayat ini tergantung kepadanya. Karena ada dalil-dalil yang menunjukkan wajib berlaku adil dalam hukum, agar tidak terjadi menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan orang yang bersalah. Sudah banyak pemeriksaan mayat yang memperjelas antara yang benar dan yang salah, yang adil dan yang zalim. Ia juga menjelaskan tentang hukum bedah mayat terkait dengan hokum belajar ilmu kedokteran itu sendiri. Dia menyatakan, karena belajar ilmu kedokteran hukumnya fardu kifayah, maka segala ilmu yang dapat menuju kesempurnaannya menjadi wajib pula (Mahjudin, 1992). 58 b. Syeikh Yusuf Ad-dajuy dalam rangka lokakarya Visum et Repertum USU Medan 1981 menyatakan di dalam kitab-kitab fiqih tidak dijumpai keterangan-keterangan yang memuaskan tentang hal ini. Sementara orang mengira pemeriksaan bedah mayat itu haram. Tidak bilehkan syariat karena Islam memuliakan dan menghormati orang mati. Akan tetapi orang yang mengetahui jiwa syariah dan tuntutan0tuntutan akan melihat. Selamanya harus ditimbang berimbang, sehingga akan timbul penetapan hukum yang paling kuat di antara keduanya, berdasarkan hikmah dan pandangan yang benar. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa harus jauh mempertimbangkan maslahat yang kuat sesuai dengan jiwa dan syariat Islam serta disesuaikan pula dengan kepentingan dan kebahagian akhirat. Karena itu dalam melakukan visum , adakalanya merupakan suatu keharusan dalam beberapa hal, seperti apabila seseorang dituduh melakukan jinayat terhadap orang lain. Kecurigaan dan tuduhan itu akan hilang jika telah dilakukan pembuktian dengan melakukan autopsi yang dapat memberikan keterangan bahwa matinya orang tersebut bukan karena mati dianiaya (jinayat). Begitulah kemampuan pemeriksaan bedah mayat itu untuk menyelamatkan orang yang sudah diikat oleh kesulitan dari berbagai segi dan begitu juga sebaliknya. Maka orang yang memikirkan hal tersebut di atas secara global serta keterangan-keterangan lebih lanjut yang lebih terperinci, maka orang 59 tersebut akan berpendapat memperbolehkan tindakan autopsi, itu karena mendahulukan maslahat yang kuat atas mudharat yang lemah. Pemeriksaan bedah mayat dengan maksud tersebut di atas, bukanlah penghinaan atau merusak kehormatan jenazah, karena autopsi dengan maksud tersebut malahan bertujuan untuk kemaslahatan umat. Banyak hadist-hadist yang menonjolkan kemuliaan tubuh manusia dan orang mengira bahwa pemeriksaan bedah mayat tidak dibenarkan untuk alasan apapun. Akan tetapi jika berfikir sedikit tentang kaidah-kaidah syariat dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum syara’ adalah memelihara mashlahat dan menghindari mudharat. Sesuatu yang mengandung mashlahat yang kuat menyuruh setiap muslim untuk mengerjakannya dan segala sesuatu yang mengandung mudharat yang kuat haruslah ditinggalkan. Sudah jelas bahwa pertimbangan antara mafsadah (merusakkan kehormatan/kemulian orang mati) dengan mashlahat (mengobati, menetapkan keadilan, melepaskan orang yang tidak bersalah dari hukuman atas pelaku kejahatan) menunjukkan bahwa mashlahahtnya lebih kuat dari pada mudharatnya (Mahjudin, 1992). c. Majlisul Majma’ al Fiqhi al Islami dari Rabithah al ‘Alam al Islami dalam sebuah darrah di Makkah pada hari Sabtu, 24 Shafar 1480 H menyatakan, berdasarkan atas beberapa faktor darurat yang menuntut adanya autopsi (at-Tasyrih) pada mayat, dan maslahat yang bisa diambil meski dengan merusak mengeluarkan beberapa ketetapan. 60 jasad mayit, maka majelis I. Diperbolehkan melakukan autopsi mayat untuk salah satu tujuan di bawah ini : 1. Investigasi atas tuduhan kriminal untuk mengetahui sebabsebab kematian atau kejahatan yang dilakukan. Hal itu dilakukan manakala seorang hakim kesulitan untuk mendapatkan informasi valid seputar sebab kematian dan autopsi dipandang sebagai jalan keluarnya. 2. Mengetahui dan meneliti penyebab suatu penyakit, yang untuk mengetahunya diharuskan melakukan pembedahan atau autopsi. Sehingga penyakit tesebut bisa diidentifikasi dan dicari cara penanggulangannya. 3. Pembelanjaran medis seperti yang ada di beberapa jurusan kedokteran (Muhammad, 2008). II. Autopsi untuk praktek (pembelajaran) harus menjaga beberapa hal berikut : 1. Jika mayat diketahui identitasnya, maka harus ada ijin dari si mayit sebelum meninggal atau ijin dari ahli warisnya. Sebab, dilarang membedah mayat yang terjaga darahnya (muslim) kecuali karena dalam kondisi darurat. 2. Autopsi hendaknya pada bagian yang dibutuhkan saja agar tidak terjadi hal-hal yang berlebihan. 61 3. Tidak diperbolehkan mengautopsi mayat wanita selain ahli medis wanita, kecuali jika mereka benar-benar tidak ada. 3.3 Pandangan Islam Pemeriksaan Postmortem Pada Rahang Bawah dengan Metode Canina Index untuk Menentukan Jenis Kelamin dan Penentuan Identitas Seorang Muslim Metode identifikasi dibuat dalam rangka menentukan jenis kelamin dan identitas seseorang, baik itu sebagai korban maupun sebagai tersangka. Penentuan identitas korban sendiri sangatlah penting untuk diketahui, karena itu terkait erat masalah hukum, social, ekonomi, budaya, dan agama. Bagi korban yang telah meninggal dunia dan diketahui bahwa identitasnya adalah seorang muslim, maka hal ini penting dalam beberapa urusan diantaranya adalah : 1. Tata cara pemakaman harus dilakukan menurut agama Islam Dalam hal ini jenazah harus dirawat sesuai syariat Islam, seperti memandikan, mengafani, menyembahyangkan dan menguburkan. Jika jenazah yang digunakan sebagai bahan penyidikan dan pendidikan itu diketahui seorang muslim, maka diharuskan untuk disholatkan terlebih dahulu, sebelum digunakan untuk penyidikan dan pendidikan dalam kedokteran forensik. Jika jenazah tidak diketahui identitasnya sekaligus agamanya, maka haruslah diketahui mayoritas agama tempat jenazah 62 tersebut berasal, jika mayoritas Islam maka jenazah tersebut disholatkan terlebih dahulu (al-Albani, 1999). 2. Pembagian harta warisan Pembagian harta warisan sangat penting bagi keluarga yang ditinggalkan. Hal ini terkait dalam beberapa hal di antaranya adalah penentuan siapa yang berhak menjadi ahli waris (berhubungan dengan nasab), penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. Adanya beberapa hal yang harus dilakukan sebelum pembagian warisan diantaranya adalah : a. Pembayaran utang baik kepada Allah swt (nazar dan zakat) maupun kepada manusia, hutang ini harus dilunasi terlebih dahulu dengan harta waris, sebelum harta waris dibagikan. b. Jika ada biaya perawatan (tahjiz), maka harta waris harus dikurangi dahulu biaya perawatan. c. Pelaksanaan wasiat si mayit, Islam membatasi jumlah wasiat yang akan diberikanyaitu tidak lebih dari 1/3 bagian harta waris. 3. Massa iddah bagi istrinya. 4. Kejelasan nasab bagi anak dan keluarga yang ditinggalkan (Anonim, 2005); (Siddiq, 2006). Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa : 63 1) Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari tinjauan kemaslahatan menurut hukum Islam. Semua penemuan baru sebagai hasil dari perkembangan teknologi tersebut, hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum “Bedah Mayat” menurut pandangan Islam. 2) Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu maksud atau kepentingan tertentu. Jadi, bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang, walaupun hanya sekedar mengambil barang dari tubuh (perut) mayat itu. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi mayat. Apalagi yang ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan penegakan hukum. Autopsi juga dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu yang berdasarkan hukum-hukum Islam, yaitu tindakan ini dilakukan hanya sebatas pada hal-hal yang sangat dibutuhkan (tidak berlebihan) dan harus tetap menghargai serta menghormati hak-hak mayat yang di autopsi. 3) Penentuan Identitas seorang muslim dengan metode odontologi forensik sangat penting dilakukan dikarenakan terkait dengan pengenalan identitas korban termasuk jenis kelamin korban sangat berarti bagi orang-orang yang ditinggalkan terutama bagi keluarga dan anak-anaknya. Selain itu, ada beberapa bidang yang memiliki kepentingan yang erat dalam pengenalan mayat di antaranya adalah hukum, sosial, ekonomi, budaya dan agama. Dalam bidang agama 64 berkaitan dengan tata cara pemakanan sesuai syariat Islam, pembagian harta waris, masa iddah untuk wanita muslim dan menjelaskan nasab seorang anak. Oleh sebab itu autopsi dilakukan sangat bermanfaat bagi seorang muslim. 65