Konsep: Kelainan akibat reaksi hipersensitivitas: Dermatitis atopik Istilah Out of place atau strange disease istilah atopi diungkapkan Coca dan Cooke 1923 dari kata atopos (Yunani) (Paller,A.S., 2006; Leung, D.Y.M., 2008) Entry point bahwa dermatitis atopik adalah entry point dari penyakit alergi berikutnya (Paller,A.S., 2006). Kriteria major (harus terdapat 3 History of flexural dermatitis Onset under the age of 2 years Presence of an itchy rash Personal history of asthma History of dry skin Visible flexural dermatitis Kriteria minor (tiga atau lebih) Dry skin lchthyosis Palmar hyperlinearity Keratosis pilaris Type I allergy and increased serum IgE Hand and foot dermatitis Cheilitis Nipple eczema Increasedpresenceof Staphylococcus aureus and Herpes simplex Perifollicular keratosis Pityriasis alba Early age of onset Recurrent conjunctivitis Dennie-Morgan infraorbital fold Keratoconus Cataract Orbital darkening Facial pallor/facial erythema Anterior neck folds Itch when sweating Intolerance to wool and lipid solvents Bagaimana hubungan usia dengan lesi yang berulang? Manifestasi lesi akut gatal, papula eritema dengan ekskoriasi dan esksudasi serosa. Manifestasi lesi kronis likenifikasi akibat perubahan jaringan dan plak, dan kering. Manifestasi lainnya dg ciri kulit kering, pucat, kadar lipid epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat, jari tangan teraba dingin. Gejala utama DA gatal yang hilang timbul (terutama malam hari) akibatnya penderita akan menggaruk akan menyebabkan timbul lesi kulit berupa papula, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta (Paller, A.S., 2006). .. Bagaimana hubungan usia dengan lesi yang berulang? Manifestasi klinis umumnya timbul sebelum bayi berumur 6 bulan jarang di bawah usia 8 minggu. DA dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama dan makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan dermatitis tersebut menetap sampai dewasa sehingga perjalanan penyakit dermatitis atopik sukar diramalkan (Paller, A.S., 2006; Hanifin, J.M., 2003). Bagaimana hubungan asma, rinitis alergika dengan dermaittis atopik? DA mendahului perkembangan asma & rhinitis alergi, yang menunjukkan bahwa DA adalah “entry point” dari penyakit alergi berikutnya. Dalam penelitian yang menguji hubungan dermatitis atopik pada bayi sensitisasi terhadap aeroallergen dan terdapatnya penyakit alergi saluran napas 70% dari bayi yang mengalami DA pada 2 bulan pertama sejak lahir di kemudian hari tersensitisasi oleh aeroalergen dlm usia 5 tahun. Tingkat sensitisasi aeroalergen meningkat sampai 80% pada anak yang kedua orangtuanya mempunyai riwayat positif DA (Eichenfield, 2003). ..bagaimana hubungan asma, rinitis alergika dengan dermaittis atopik? Anak dengan DA menetap mengalami asma yg lebih buruk drpd anak yg mengalami asma namun tidak mengalami DA. Evaluasi selama 10 th pasien asma tanpa DA menunjukkan bahwa 41% dlm keadaan baik, 52% mengalami asma ringan,5% mengalami asma berat. Sebaliknya, diantara pasien asma dgn DA, 34% dalam keadaan baik, 54% mengalami asma ringan, dan 11% mengalami asma berat atau meninggal karena penyakit tersebut. (Eichenfield et.al, 2003). ...bagaimana hubungan asma, rinitis alergika dengan dermaittis atopik? Dapat dinyatakan bahwa sensitisasi alergen melalui kulit pada pasien dgn DA juga menimbulkan respon sistemik alergi yang kuat ditandai kenaikan IgE, eosinofil, makrofag, dan sel T. Penanda biologi dari aktivasi leukosit telah terbukti berhubungan dengan keparahan DA dan juga berperan dalam alergi respiratorik pada individu yang secara genetis mempunyai predisposisi alergi (Eichenfield et.al, 2003). Jadi terdapat bukti kuat bahwa DA adalah faktor risiko untuk terjadinya asma pada masa anak-anak, derajat keparahan, dan juga persistensinya. Mekanisme yang mempengaruhi asma kemungkinan besar berhubungan dengan produksi awal IgE dan alergen-alergen yang disebabkan oleh reaktivitas IgE (Eichenfield, 2003). definisi DA adalah keadaaan peradangan kulit kronis dan residif disertai gatal, berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi (DA, rhinitis alergi, asma bronkial) keluarga penderita (Sularsito dan Djuanda, 2007; Wolff dkk, 2008). Epidemiologi. Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Bila salah satu orang tua menderita atopi lebih dari separuh jlh anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat mjd 80% jika kedua orang tua penderita atopi (Hanifin, J.M.,2003). Etiopatogenesis. Berbagai faktor berpengaruh faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik dan imunologik. Namun konsep dasar patogenesis dermatitis atopik adalah mekanisme imunologik, dibuktikan oleh peningkatan kadar IgE dan eosinofil (Bieber, T.,2008; Leung, D.Y.M., 2008) Imunopatogenesis Etiologi maupun mekanisme belum diketahui dengan pasti demikian pula dengan rasa gatal. Tanpa rasa gatal diagnosis dermatitis atopik tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut epidermal. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara (Leung, D.Y.M., 2008): Imunologis 1.Imunitas bawaan (innate) 2.Imunitas didapat (adaptive) ....Imunopatogenesis B. Non Imunologis Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal antara lain dengan adanya faktor genetik yaitu gejala kulit penderita dermatitis atopik yang cenderung kering (xerosis). Kekeringan ini diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit dlm keadaan demikian nilai ambang rasa gatal menurun sehingga dengan ransangan yang ringan seperti iritasi wol, ransangan mekanik akan menyebabkan rasa gatal. Patofisiologi Gatal Rasa gatal diterima oleh akhiran saraf yang tidak spesifik pada pertemuan lapisan dermis dengan epidermis yi reseptor gatal yang tidak bermielin. Selanjutnya serabut saraf menghantarkan rasa gatal memasuki cornu dorsalis pada substansia grisea pada medula spinalis,yang bersinaps pada neuron sekunder yang menyilang ke tractus spinothalamicus kontralateral dan kemudian menuju thalamus. Kemudian neuron tersier menghantarkan sensasi gatal ke persepsi yang dirasakan secara sadar di cortex cerebri (Barnes, K.C., 2010). Patofisiologi Gatal Terdapat dua tipe sensasi gatal, yaitu sensasi gatal lokal dan sensasi gatal difus. Sensasi lokal bersifat spontan, terjadi dlm waktu singkat setelah stimulus hilang, dan disampaikan oleh serabut delta „A‟, yang bermyelin dan cepat menghantarkan stimulus. Sensasi difus melibatkan sekeliling area tertentu, dan tidak spontan, melainkan terangsang oleh sentuhan ringan stimulus kecil (Barnes, K.C., 2010): ...Patofisiologi Gatal Sensasi gatal diklasifikasikan: (Leung, D.Y.M., 2008; Barnes, K.C., 2010): 1. Prurioreseptif ( kutaneus, misalnya scabies), 2. Neuropatik (adanya lesi di jalur aferen saraf, contoh neuritis perifer, tumor otak), 3. Neurogenik (karena mediator yang bersifat sentral yang tidak merusak system saraf pusat, contohnya peptide opioid pada kolestasis), dan 4. Psikogenik. Mediator kimia terlibat Histamine, produk peptida dari protease, takikinin, peptida opioid dan naloxone, prostaglandin dan eikosanoid yang terkait, platelet activating factor (PAF), sitokin. klasifikasi Dermatitis atopik instrinsik Non alergi Prevalensi kejadian sekitar 20 % sampai 30% pasien dewasa disertai dengan rendahnya kadar serum igE dan tidak terdeteksi sensitisasi alergi Dermatitis atopik ekstrinsik alergi Prevalensi kejadian 70%80%dari pasien dewasa dengan dermatitis atopik yang terjadi karena sensitifitas terhadap alergen yang berasal dari lingkungan dan terjadi peningkatan kadar serum igE Etiologi Faktor endogen • • • • Faktor Genetik Respon imun pada kulit Respon sistemik Sawar kulit Faktor eksogen • Faktor lingkungan • Agen mikrobial Genetik Terdapatnya atopi pada orangtua, terutama dermatitis atopik, berhubungan erat dengan manifestasi dan derajat keparahan dermatitis atopik pada fase anak, Terdapat 2 kromosom yang berkaitan erat dengan DA yaitu kromosom 1q21 dan kromosom 17q25, meski masih paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan kromosom yang sama walaupun sajian klinis keduanya berbeda dan kedua kromosom tersebut tidak terkait dengan penyakit atopi lainnya. Juga ditemukan peran kromosom 5q31-33 yang menyandi gen sitokin Th2. Faktor pemicu Tungau debu rumah penderita dermatitis atopik setelah menghirup tungau debu rumah akan mengalami eksaserbasi ditempat lesi lama dan timbul pula lesi baru. Makanan Makanan dapat berperan dalam dermatitis atopik pada anak kecil tetapi tidak pada penderita dermatitits atopik yang lebih tua Stress emosi Stress emosi tidak menyebabkan dermatitis atopik, namun sering menjadi faktor pencetus kekambuhan penyakit. Hormonal sepertiga penderita dermatitis atopik menunjukan eksaserbasi pada waktu premenstrual. Kehamilan dapat mencetuskan dermatitis atopik terutama pada trimester 1 dan 2 Patogenesis respon imun pada kulit antigen terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi ditangkap IgE, sel Langerhans melalui, kemudian diproses untuk selanjutnya dengan bekerjasama dengan MHC II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2 Sel TH1 akan mengeluarkan sitokin IFN-γ, TNF, IL-2 dan IL17, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL13 ditangkap IgE yang ada pada permukaan sel mas atau IgE yang ada di membran sel langerhans epidermis menyebabkan degranulasi sel mas dan akan keluar histamin Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe cepat .Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak sebukan sel eosinofil. Respon sistemik Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat Sekresi IFN-γ oleh sel TH1 menurun IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat. Eosinofilia Kadar reseptor IL2 yang dapat larut meningkat. Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat. Respons hipersensitivitas lambat terganggu Sintesis IgE meningkat Kadar CAMPPhosphodiesteras e monosit meningkat disertai peningkatan IL-13 dan PGE2. Sawar kulit sawar kulit rusak dan memudahkan mikroorganism e dan bahan iritan masuk ke kulit Kulit kering karena kadar lipid epidermis yang menurun trans epidermal water loss meningkat ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk menggaruk skin capacitance (kemampuan stratum korneum mengikat air) menurun Transepidermal. Perlemahan fungsi barier kulit tersebut pada dematitis atopik menyebabkan peningkatan absorpsi antigen, yang berkontribusi terhadap hipereaktivitas kulit pada dematitis atopik. Ceramide merupakan molekul penahan air pada ruang ekstraseluler. Fungsi epidermis sebagai barier proteksi kulit. (Sumber: Jansen., 2005) (inside-outside insenssible/ water loss), Fungsi barier ini cenderung menjaga apa yang seharusnya ada di luar, ya di luar, dan apa yang seharusnya ada di dalam, ya di dalam Membatasi air yang hilang dari tubuh serta mencegah masuknya zat-zat kimia dan agen infeksius dari epidermis yang berada di bawahnya Filaggrin, filament-associated protein Mutasi gen pemengatur produksi filagrin dapat mempengaruhi fungsinya DA banyak mengalami mutasi gen filagrin & kebocoran ("leaky skin") kehilangan cairan (water loss) dg kerawanan timbulnya iritasi kulit ok alergen lingkungan. (Palmer, 2006 dan Barne, 2010) . Mediator yg menginduksi pruritus pada dermatitis atopik Asetilkolin yang meningkat pada pasien DA merupakan neurotransmitter utama yang mengaktivasi kelenjar keringat. Hal tersebut dapat menerangkan terjadinya pruritus generalisata saat dan setelah berkeringat. Tabel 1. Beberapa mediator yang menginduksi gatal Mediator Histamin Neuropeptida - Substance P - Asetilkolin Triptase Provokasi/induk si gatal pada Mekanisme kulit + Berikatan pada reseptor histamin pada serabut saraf sensorik. + + - Degranulasi sel mas, konsentrasi meningkat pada , lesi kulit. I -Sensitisasi 1 sentral (?) + Berikatan pada protease activated receptor 2 (PAR2) serabut saraf L sensorik. 1 Sitokin: interleukin 2 + Kemungkinan F melepaskan 1 berbagai I mediator. I Neurotrofin 4 + Tidak diketahui Eosinofil + Melepaskan mediator, misalnya-PAF, leukotrien, 1 histamin, ; proteinase PAF + Melepaskan histamine Leukotrien + Tidak diketahui Faktor lingkungan Superantigen stafilokokus yang disekresi di permukaan kulit dapat berpenetrasi di daerah inflamasi dan merangsang makrofag epidermal atau sel Langerhans untuk memproduksi IL-1, TNF, dan IL-12. Semua mekanisme tersebut meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan peningkatan kolonisasi stafilokokus. Demikian pula jenis toksin atau protein stafilokokus yang lain dapat menginduksi inflamasi kulit melalui sekresi TNF-a oleh keratinosit atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit.1 Faktor pencetus DA garukan, alergen dan infeksi Faktor lingkungan Mendukung teori hygiene hypothesis, Malassezia furfur Staphylococcus aureus Varicella zoster parasit Gambaran klinis Dermatitis atopik infantil • Lesi mula-mula tampak didaerah muka (dahi-pipi) berupa eritema, papul-vesikel pecah karena garukan sehingga lesi menjadi eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta • Lesi bisa meluas ke kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi bisa ditemukan didaerah ekstensor ekstremitas Dermatitis atopik pada anak • Lokasi lesi di lipatan siku/lutut, bagian fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher. • Ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi, hiperkeratosis dan mungkin infeksi sekunder. Dermatitis atopik berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu pertumbuhan Dermatitis pada remaja dan dewasa • Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut, samping leher, dahi, sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik • Ruam berupa likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar cenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit skuama. Bisa didapati ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan akhirnya menjadi hiperpigmentasi. diagnosis minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor Kriteria mayor • Pruritus • Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak • Dermatitis di fleksura pada dewasa • Dermatitis kronis atau residif • Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya Kriteria minor •Xerosis •Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks) •Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki •Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris •Pitiriasis alba •Dermatitis di papila mame •White dermatografism dan delayed blanched response •Keilitis •Lipatan infra orbital Dennie – Morgan •Konjungtivitis berulang •Keratokonus •Katarak subkapsular anterior •Orbita menjadi gelap •Muka pucat dan eritema •Gatal bila berkeringat •Intolerans perifolikular •Hipersensitif terhadap makanan •Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi •Tes alergi kulit tipe dadakan positif •Kadar IgE dalam serum meningkat •Awitan pada usia dini Kriteria major (harus terdapat 3 History of flexural dermatitis Onset under the age of 2 years Presence of an itchy rash Personal history of asthma History of dry skin Visible flexural dermatitis Kriteria minor (tiga atau lebih) Dry skin lchthyosis Palmar hyperlinearity Keratosis pilaris Type I allergy and increased serum IgE Hand and foot dermatitis Cheilitis Nipple eczema Increasedpresenceof Staphylococcus aureus and Herpes simplex Perifollicular keratosis Pityriasis alba Early age of onset Recurrent conjunctivitis Dennie-Morgan infraorbital fold Keratoconus Cataract Orbital darkening Facial pallor/facial erythema Anterior neck folds Itch when sweating Intolerance to wool and lipid solvents Sistem skoring derajat haifin-rajka Kondisi Skor 1. luas penyakit a. Pada anak - Kurang dari 9% luas tubuh - 9-36% luas tubuh - Lebih dari 36% luas tubuh b. Fase infantil - Kurang dari 18% luas tubuh - 18-54% luas tubuh =1 =2 =3 =1 =2 =3 - Lebih dari 54% luas tubuh 2. kekambuhan 3. intensitas - Lebih dari 3 bulan remisi / tahun - Kurang dari 3 bulan remisi / tahun =1 =2 - Lebih dari 54% luas tubuh =3 - Gatal ringan, kadang-kadang mengganggu tidur malam hari - Gatal sedang, sering mengganggu tidur malam hari(tidak terus-menerus) - Gatal hebat, mengganggu tidur sepanjang malam =1 (terus-menerus) Total skor: Nilai 3.0.4.0 4.5.7.5 8.0.9.0 Artinya Ringan Sedang Berat =2 =3 Kriteria william untuk dermatitis atopik I II Harus ada: Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil Ditambah 3 atau lebih tanda berikut 1. Riwayat perubahan kulit/ kering di fosa kubiti, fosa poplitea, bagian anterior dorsum pedis atau seputar leher ( termasuk kedua pipi pada anak < 10 tahun ) 2. Riwayat asma atau hay fever pada anak ( riwayat atopi pada anak < 4 tahun pada generasi-1 dalam keluarga 3. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun 4. Dermatitis di fleksural ( pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada anak < 4 tahun ) 5. Awitan dibawah umur 2 tahun ( tidak dinyatakan pada anak < 4 tahun ) Diagnosis banding Dermatitis Seboroik Dermatitis Kontak Dermatitis Numularis Scabies Iktiosis Psoriasis Dematitis Herpetiformis Sindrom Sezary Penyakit Letterer-Siwe. Pada bayi, Dermatitis atopik dapat pula didiagnosis banding dengan: Sindrom Wiskott-Aldrich Sindrom Hiper Ige. Pemeriksaan Penunjang Uji kulit White dermografisme, Puncture, prick test, Uji eliminasi dan provokasi Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin: darah tepi, urin, tinja, eosinofil count. Serologi (IgE spesifik dan non) Pemeriksaan gigi, telinga-hidungtenggorok, serta usapan vagina untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal Island in your face Eksema hipopigmentasi skuama halus UV pigmen(-) penebalan str.korneum gangguan melanisasi sel epidermis Kultur SDA + oliv oil Gambaran darah tepi Beberapa tanda kelainan darah tepi dapat diamati pada pasien dermatitis atopik, termasuk peningkatan kadar IgE, eosinofil, aktivasi kronik makrofag dengan peningkatan sekresi GM-CSF, prostaglandin E2 (PGE2), dan IL-10, Peningkatan jumlah sel Th2 yang mensekresi IL-4 dan IL-5, penurunan jumlah sel Th1 yang mensekresi IFN-y, serta peningkatan pelepasan histamin oleh basofil. Peningkatan kadar IgE serum disertai eosinofilia menggambarkan kelainan ekspresi sitokin yang diproduksi oleh sel Th2, antara lain peningkatan kadar IL-4, IL-5, IL-13 dan penurunan ekspresi IFN-y. Peningkatan kadar serum protein kation eosinofil dan E- selectin terlarut sejalan dengan aktivitas penyakit Tatalaksana Yang utama adalah edukasi serta menghindari kekambuhan (menghindari factor pencetus). Disamping itu agar pengelolaan berhasil baik, penderita perlu dijadikan partner dalam penenangan pengobatan (“co-therapist”). Cara pemberian terapi adakalanya perlu didemonstrasikan (cara pemakaian “ointment” atau pembalutan/kompres). Tatalaksana Pada terapi eksternal perlu diperhatikan lesi bervariasi mulai dari dermatitis yang basah sampai likenifikasi. Keberhasilan tergantung pada pemilihan vehikulum yang tepat. Pada lesi radang yang berat digunakan krim hidrofolik atau kompres basah (Soebono,2000 dan Leung 2004). tatalaksana khusus Pengobatan topikal Hidrasi kulit Kortikosteroid topikal Imunomodulator topikal Pengobatan sistemik Kortikosteroid (Hanya dipakai untuk mengendalikan Dermatitis atopik eksaserbasi akut) Antihistamin Anti infeksi Siklosporin Terapi sinar (phototherapy) (Dipakai untuk Dermatitis atopik yang berat) Probiotik Edukasi lainnya 1. Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll) 2. Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi. 3. Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat. 4. Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan Dermatitis atopik. 5. Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu. 6. Menghindarkan stres emosi. 7. Mengobati rasa gatal. prognosis Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah : Dermatitis atopik yang luas pada anak. Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale. Riwayat Dermatitis atopik pada orang tua atau saudaranya. Awitan (onset) Dermatitis atopik pada usia muda. Kadar IgE serum sangat tinggi. Diperkirakan 30 – 35% penderita Dermatitis atopik infantil akan berkembang menjadi asma bronkiale. Penderita Dermatitis atopik mempunyai resiko tinggi untuk mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan Imunopatogenesis DA Sel T merupakan pemain pertama dalam orkestra respons imun spesifik yang berperan terhadap alergen asing. Peningkatan jumlah limfosit T terlihat pada semua individu atopik bila dibandingkan dengan individu nonatopik. Pada dermatitis atopik terdapat peningkatan jumlah populasi sel T CD4+ dan CD8+. Juga terlihat peningkatan umum aktivasi sel T pada individu alergik, baik di lesi maupun secara sistemik. Terdapat 2 jenis respons imun yang berperan pada kejadian dermatitis atopik dan keduanya saling terkait.1 Imunitas bawaan (innate) Sistem imunitas innate (bawaan) dapat segera bereaksi terhadap berbagai macam kolonisasi mikroba atau alergen atau iritan, serta berperan terhadap awitan mekanisme imunitas adaptive (didapat). Sel epitel kulit yang merupakan sel yang membatasi tubuh dengan lingkungan, berperan pada mekanisme pertahanan pertama pada sistem imunitas innate. Sel tersebut dilengkapi dengan sarana untuk pengenalan, disebut sebagai pattern recognition reseptor (PRR), misalnya reseptor toll-like (TLR). Dikenal lebih dari 10 macam TLR pada manusia, dapat berikatan secara spesifik dengan dinding sel bakteri, jamur, atau DNA-RNA virus. Toll like receptor dapat berikatan dengan berbagai struktur mikroba karena adanya molekul permukaan pathogen-associated molecular pattern (PAMP). Terikatnya produk mikroba pada permukaan sel epitel akan menyebabkan aktivitas selular dengan mengeluarkan molekul dengan aktivitas anti-mikroba, disebut sebagai anti-microbial peptide (AMP). Pada dermatitis atopik, AMP jumlahnya kurang sehingga menyebabkan pasien dermatitis atopik mudah terinfeksi herpes.1-5 Imunitas didapat (acquired) Reran sel T dan konsep T helper-1 (Th1)/T helper-2 (Th2) merupakan hal penting pada DA. Ketidakseimbangan Th2 sistemik disertai eosinofilia diterima sebagai patogenesis atopi.5 Sitokin yang diproduksi sel Th2, misalnya interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13 dapat dideteksi pada fase akut penyakit, baik pada lesi kulit maupun nonlesi. lnterleukin-4 dan IL-13 terkait dengan inflamasi dan memicu ekspresi molekul adesi di sel endotel. lnterleukin-5 terkait dengan keberadaan eosinofil. Eosinofilia sistemik dan peningkatan eosinophilic cationic protein (ECP) terjadi sesuai dengan aktivitas penyakit dermatitis atopik. Pada dermatitis atopik fase kronik terjadi peningkatan kadar interferon (IFN)-v, IL-12, IL-5, dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) yang merupakan karakteristik dominasi sel Th1/Th0. Kronisitas dermatitis atopik dipengaruhi produksi sitokin oleh sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-18, juga IL-11 dan transforming growth factor (TGF)-pl Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi bifasik, dimulai dengan fase akut terkait dengan sel Th2, dilanjutkan dengan fase kronik terkait dengan selTM. 1-5 Sel dendritik Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen yang profesional dan selanjutnya menyajikannya kepada sel T pada respons imun primer dan sekunder. Ada 2 tipe sel dendritik dermatitis atopik, yaitu sel mieloid dendritik (mDC) dan sel plasmasitoid dendritik (pDC). Pada lesi dermatitis atopik keduanya ditemukan, tetapi pDC lebih sedikit dibandingkan dengan mDC. Pada kulit yang mengalami inflamasi terdapat sel inflamasi dendritik epidermal (inflammatory dendritic epidermal cell -IDEC). Sel Langerhans dan IDEC termasuk mDC dan mengekspresikan reseptor IgE berafinitas tinggi (FceRI) pada lesi dermatitis atopik.1,2 Sel Langerhans dan IDEC berperan sentral pada penyajian antigen ke sel Th1/Th2. Reseptor pada sel Langerhans ditemukan pada kulit normal pada saat eksaserbasi penyakit atopi lain, misalnya asma bronkial atau rinitis alergik, sedangkan FceRI IDEC ditemukan pada lesi. Sel Langerhans berperan aktif pada perkembangan sel T menjadi sel Th2, sedangkan rangsangan FceRI pada IDEC akan memicu ke arah respons sel Th1 dan mengeluarkan petanda proinflamasi yang memicu respons imun alergik.1-3 Plasmasitoid dendritik mengekspresikan FceRI secara alami dan meningkat pada dermatitis atopik, penting untuk penanggulangan infeksi virus dengan cara mengeluarkan interferon.1,4 Sel Th0 dapat berkembang menjadi sel Th1 atau sel Th2 dan rangkaian reaksi selanjutnya bergantung pada berbagai faktor, termasuk lingkungan, sitokin setempat, latar belakang genetik pejamu, faktor farmakologik, dan petanda tambahan terkait dengan aktivasi sel T.5 Pada saat pajanan alergen lingkungan sitokin berperan penting pada perubahan sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th1 dipicu oleh IL12 yang diproduksi makrofag dan sel dendritik. Interleukin-4 menghambat produksi IFN-y dan menekan diferensiasi ke arah sel Th1. Pada kulit nonlesi dan lesi akut sel T mengekspresikan peningkatan jumlah IL-4, IL-5, dan IL-13, namun sedikit IFN-y. Lingkungan sitokin tersebut cenderung memicu perkembangan ke arah sel Th2 dan mengurangi produksi sel Thl5 Faktor genetik juga berpengaruh pada diferensiasi sel T helper. Perbedaan genetik pada aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi terjadinya dermatitis atopik. Faktor farmakologis juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel T helper. Leukosit pasien dermatitis atopik mempunyai peningkatan aktivitas enzim cyclic adenosine monophosphate (c/\MP)-phosphodiesterase (PDE). Hal tersebut mempengaruhi peningkatan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T pada DA. Ekspresi sitokin dengan pola bifasik pada lesi dermatitis atopik Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada umur lesi kulit. Pada inflamasi akut terutama terlihat ekspresi sitokin IL-4 dan IL-13, sedangkan pada lesi kronik terutama terlihat ekspresi IL-5 dan IFN-y. lnterleukin-12 berperan pada perkembangan sel Th-1 dan pada lesi kronik ekspresinya pada eosinofil dan makrofag memicu perubahan ke arah Th-1. Dapat ditambahkan, IL-16 memicu diferensiasi sel T CD4+ ke arah lesi akut dan GM-CSF meningkatkan ketahanan hidup sel eosinofil dan makrofag pada lesi kronik. Ekspresi sitokin dengan pola bifasik pada lesi dermatitis atopik Peningkatan ekspresi IL-4 dapat diamati 24 jam setelah terpajan alergen, setelah itu akan terjadi penurunan ekspresi tersebut. Sedangkan ekspresi IFN-v tidak ditemukan dalam 24 jam setelah terpajan alergen, namun terlihat ekspresi berlebihan 48-72 jam setelah terpajan alergen. Hasil tersebut sesuai dengan temuan sel Th2 spesifik pada masa awal reaksi uji tempel, sedangkan pola utama sitokin sel Th1 atau Th0 didapati setelah 48 jam. Ekspresi IFNy pada uji tempel atopi didahului eskpresi puncak IL-12, membuktikan peran IL-12 pada perkembangan respons Th1. Peningkatan ekspresi IL-12 bersamaan dengan infiltrasi makrofag dan eosinofil, sel yang mengekspresikan IL-12. Hal tersebut menggambarkan bahwa fase awal dermatitis atopik dipicu oleh alergen yang mengaktifkan sel Th2, sedangkan pada respons inflamasi kronik didominasi oleh respons sel Th1 yang dipicu pula oleh keberadaan makrofag dan eosinofil yang mengekspresikan IL-12.1,6 Respons sel Th2 terhadap kulit dermatitis atopik Rinitis alergik dan asma bronkial terjadi pada 80% anak dengan dermatitis atopik dan pada banyak pasien DA terjadi perburukan bila mengalami alergi saluran napas. Hal tersebut sesuai konsep bahwa ekspresi klinis penyakit alergi ditentukan sebagian oleh sensitisasi alergen di jaringan lokal dan respons imun di kulit dibandingkan dengan mukosa saluran napas. Karena penyakit alergi terkait respons inflamasi yang spesifik pada organ, maka sel T akan bermigrasi ke berbagai jaringan. Sel T yang bermigrasi tersebut, disebut sebagai sel J-homing, terutama diatur oleh interaksi antara reseptor sel T-homing dengan antigen permukaan sel endotel vaskular yang pada manusia disebut cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) dan pasangan reseptornya, yaitu E-selectin. Ekspresi sel T yang dipicu oleh CLA diatur oleh berbagai sitokin. Transforming growth factor (TGF)(3, IL-12 dan IL-6 meningkatkan ekspresi CLA, tetapi tidak IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-7, dan IFN-y. Peran multifungsi IgE pada inflamasi kulit atopik Imunoglobulin E berperan pada infiltrat sel inflamasi dermatitis atopik melalui berbagai mekanisme termasuk reaksi bifasik, presentasi alergen oleh sel Langerhans penyandang IgE, aktivasi makrofag penyandang IgE yang dipicu alergen, dan autoreaktivitas IgE terhadap protein manusia. Kelainan klinis dipicu oleh alergen terkait respons bifasik dan bergantung pada IgE. Sel mas penyandang IgE yang sesuai dengan alergen pemicu akan mengeluarkan berbagai mediator ke jaringan setempat dalam waktu 15-60 menit pasca pajanan. Hal tersebut menyebabkan pruritus dan eritema akut. Tiga sampai 4 jam kemudian, setelah reaksi akut menghilang akan terjadi reaksi lambat (late phase reaction-LPR). Reaksi ditandai dengan ekspresi molekul adhesi pada endotel kapiler, diikuti infiltrasi eosinofil, neutrofil, dan infiltrat mononuklear sekitar 24 - 48 jam setelah awitan LPR. Infiltrat tersebut menunjukkan peningkatan ekspresi mRNA untuk IL-3, IL-4, IL-5, dan GM-CSF, sehingga timbul dugaan bahwa infiltrat terdiri atas sel Th2. ...Peran multifungsi IgE pada inflamasi kulit atopik Permukaan sel Langerhans dan makrofag yang menginfiltrasi lesi dermatitis atopik menyandang IgE. Terdapat 2 macam reseptor IgE, yaitu reseptor berafinitas tinggi dan yang berafinitas rendah.5 Reseptor IgE pada sel Langerhans berafinitas tinggi, sedangkan reseptor IgE pada makrofag berafinitas rendah. Penelitian menemukan bahwa autoreaktivitas terhadap IgE merupakan faktor yang berperan pada patogenesis dermatitis atopik. Sebagian besar pasien DA mempunyai antibodi IgE yang bersirkulasi terhadap protein manusia. Respons imun IgE diawali oleh alergen lingkungan dan inflamasi dipertahankan oleh alergen endogen manusia tersebut. ....Peran multifungsi IgE pada inflamasi kulit atopik Pruritus akut pada DA dipicu oleh pelepasan berbagai macam mediator ke kulit setelah terpajan alergen, meski perkembangan lesi eksematosa bergantung pada trauma kulit akibat garukan.6 Akan terjadi proses inflamasi sebagai akibat keratinosit mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi, antara lain IL-1, TNF-a, IL-4, dan CC kemokin yang mampu mengarahkan limfosit, eosinofil, dan makrofag ke tempat terjadinya inflamasi. Pada tahap ini sel residen dan sel yang menginfiltrasi akan mengeluarkan sitokin dan mediator yang akan mempertahankan inflamasi. Dermatitis atopik merupakan hasil kombinasi antara berbagai mekanisme selular spesifik maupun nonspesifik yang bertugas memicu dan mempertahankan inflamasi.5,7 Gambaran darah tepi Beberapa tanda kelainan darah tepi dapat diamati pada pasien dermatitis atopik, termasuk peningkatan kadar IgE, eosinofil, aktivasi kronik makrofag dengan peningkatan sekresi GM-CSF, prostaglandin E2 (PGE2), dan IL-10, peningkatan jumlah sel Th2 yang mensekresi IL-4 dan IL-5, penurunan jumlah sel Th1 yang mensekresi IFN-y, serta peningkatan pelepasan histamin oleh basofil. Peningkatan kadar IgE serum disertai eosinofilia menggambarkan kelainan ekspresi sitokin yang diproduksi oleh sel Th2, antara lain peningkatan kadar IL-4, IL-5, IL-13 dan penurunan ekspresi IFN-y. Peningkatan kadar serum protein kation eosinofil dan E-selectin terlarut sejalan dengan aktivitas penyakit Genetik Terdapatnya atopi pada orangtua, terutama dermatitis atopik, berhubungan erat dengan manifestasi dan derajat keparahan dermatitis atopik pada fase anak,1 sedangkan manifestasi atopi lainnya tidak terlalu berpengaruh. Terdapat 2 kromosom yang berkaitan erat dengan dermatitis atopik, yaitu kromosom 1q21 dan kromosom 17q25, meski masih paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan kromosom yang sama walaupun sajian klinis keduanya berbeda dan kedua kromosom tersebut tidak terkait dengan penyakit atopi lainnya. Juga ditemukan peran kromosom 5q31-33 yang menyandi gen sitokin Th2.1,4,8,9 Patofisiologis pruritus pada dermatitis atopik Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah persarafan kulit pasien DA mengalami perubahan; serabut saraf sensorik meningkat tetapi serabut saraf otonom adrenergik menurun. Ini menunjukkan perbedaan peran antara. serabut saraf aferen dan otonom dalam patofisiologi pruritus. Ujung-ujung saraf bebas serabut saraf sensorik dalam keadaan tereksitasi karena selubung sel Schwan-nya berkurang. Produksi nerve growth factor (NGF) oleh keratinosit basal meningkat di dalam darah dan kulit pasien DA. Substance P (SP) dan vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga meningkat di dalam darah pasien DA. Nerve growth factor ini diperlukan untuk perkembangan dan fungsi neuron sentral maupun perifer. Peningkatan NGF berkontribusi dalam perubahan nosiseptif, menyebabkan diameter serabut saraf membesar, menstimulasi proliferasi serabut saraf, dan menginduksi elongasi dan penetrasi C fiber ke dalam epidermis sehingga densitas serabut saraf intraepidermal meningkat. Kandungan neuropeptida juga meningkat dalam serabut saraf yang hiperplastik dengan akson ....Patofisiologis pruritus pada dermatitis atopik Berbeda dengan serabut saraf sensorik, saraf otonom hanya merupakan serabut saraf kulit yang; minoritas. Tetapi observasi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa neurotransmitter asetilkolin, katekolamin, dan VIP yang dikeluarkan oleh saraf simpatik dan parasimpatik berperan selama proses inflamasi kulit. Namun, peran serabut saraf otonom dengan reseptornya dalam patofisiologi pruritus masih belum jelas.28 Peningkatan imunoreaktivitas neuropeptida, yaitu calcitonin gene related peptide (CGRP) dan SP bersamaan dengan perubahan struktur saraf (jumlah dan morfologi) menunjukkan bahwa serabut saraf perifer berperan dalam patofisiologi pruritus pada DA.27 ....Patofisiologis pruritus pada dermatitis atopik Fungsi sawar epidermal yang melemah serta keringnya kulit pasien DA memudahkan iritan, alergen, dan bahan pruritogenik berpenetrasi ke dalam kulit. Perubahan dalam struktur serabut sarafi sensorik beserta mediatornya pada pasien DA menunjukkan penurunan ambang rangsang terhadap stimulus pruritogenik, menyebabkan semakin mudahnya terjadi sensasi gatal akibat proses inflamasi.27,31 Intensitas gatal pada DA sangat berhubungan dengan faktor mental.3(31) Dengan keterangan tersebut di atas, maka gatal pada DA (menurut klasifikasi Twycross dkk, 2003) dapat dimasukkan dalam kategori gatal pruri-toseptif, neurogenik, dan psikogenik.31,32 Fungsi epidermis sebagai barier proteksi kulit. (Sumber: Jansen., 2005) Transepidermal. Perlemahan fungsi barier kulit tersebut pada dematitis atopik menyebabkan peningkatan absorpsi antigen, yang berkontribusi terhadap hipereaktivitas kulit pada dematitis atopik. Ceramide merupakan molekul penahan air pada ruang ekstraseluler. Gangguan barier kulit---kerusakan epidermis (Sumber: Jansen., 2005). (inside-outside insenssible/ water loss), Fungsi barier ini cenderung menjaga apa yang seharusnya ada di luar, ya di luar, dan apa yang seharusnya ada di dalam, ya di dalam Membatasi air yang hilang dari tubuh serta mencegah masuknya zat-zat kimia dan agen infeksius dari epidermis yang berada di bawahnya Filaggrin, filament-associated protein Mutasi gen pemengatur produksi filagrin dapat mempengaruhi fungsinya DA banyak mengalami mutasi gen filagrin & kebocoran ("leaky skin") kehilangan cairan (water loss) dg kerawanan timbulnya iritasi kulit ok alergen lingkungan. (Palmer, 2006 dan Barne, 2010) . Mediator yg menginduksi pruritus pada dermatitis atopik Rasa gatal dicetuskan oleh berbagai mediator kimiawi yang mengikat reseptor khusus pada ujung saraf bebas. Penelitian menunjukkan bahwa histamin bukan merupakan mediator pruritus utama pada DA. Ini terbukti dengan seringnya pemberian antihistamin yang tidak efektif pada terapi DA. Beberapa mediator lain, misalnya platelet activating factor (PAF), leukotrien, neuropeptida, neurotransmitter, sitokin, protease, dan derivat arakidonat terbukti berperan dalam menginduksi pruritus pada DA. Asetilkolin yang meningkat pada pasien DA merupakan neurotransmitter utama yang mengaktivasi kelenjar keringat. Hal tersebut dapat menerangkan terjadinya pruritus generalisata saat dan setelah berkeringat.27'28 Tabel 1. Beberapa mediator yang menginduksi gatal Mediator Histamin Neuropeptida - Substance P - Asetilkolin Triptase Provokasi/induk si gatal pada Mekanisme kulit + Berikatan pada reseptor histamin pada serabut saraf sensorik. + + - Degranulasi sel mas, konsentrasi meningkat pada , lesi kulit. I -Sensitisasi 1 sentral (?) + Berikatan pada protease activated receptor 2 (PAR2) serabut saraf L sensorik. 1 Sitokin: interleukin 2 + Kemungkinan F melepaskan 1 berbagai I mediator. I Neurotrofin 4 + Tidak diketahui Eosinofil + Melepaskan mediator, misalnya-PAF, leukotrien, 1 histamin, ; proteinase PAF + Melepaskan histamine Leukotrien + Tidak diketahui Faktor pencetus pruritus pada dermatitis atopik Kulit pasien DA menunjukkan kecenderungan lebih mudah timbul gatal walaupun provokasi minimal karena terjadinya penurunan ambang rangsang dan pemanjangan durasi gatal terhadap stimulasi pruritus dibandingkan dengan kulit individu sehat. Berikut dikemukakan berbagai faktor yang dapat men-cetuskan pruritus pada DA.27,28 Faktor pencetus pruritus DA Faktor pencetus endogen Iritan eksogen Aeroalergen dan alergen Kontak Agen mikroba Makanan Contoh Keringat (faktor pencetus tersering pada DA) Xerosis Mikrovaskularisasi kulit Stres emosional Garukan Suhu hangat, air panas Serat wol Pelarut lemak (sabun, detergen) Disinfektan Tungau debu Hewan berbulu Serbuk sari Jamur Human dander Infeksi virus Staphylococcus aureus Pityrosporum yeast, Candida, dermatofita Makanan pedas dan panas Minuman panas Minuman beralkohol Diagnosis DIAGNOSIS, DIAGNOSIS BANDING, DAN KOMPLIKASI Sampai saat ini belum didapatka gambaran klinis maupun hasil pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk DA. Diagnosis ditegakkan berdasarkan identifikasi morfologi yang sering terdapat pada DA dan ditunjang oleh adanya riwayat penyakit DA. Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis DA, antara lain kriteria Hanifin Rajka dan kriteria Williams. Masing-masing kriteria memiliki keunggulan dalam ketepatan dan kecepatan. Uji kulit terhadap berbagai alergen dan pengu-kuran kadar IgE RAST bukan merupakan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis DA, melainkan untuk membuktikan adanya hipersensitivitas terhadap bahan alergen tertentu.1,2 diagnosis Kriteria William merupakan kriteria diagnosis yang lebih sederhana, praktis, dan cepat, karena tidak memasukkan beberapa kriteria minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan pada kurang dari 50% pasien DA, sehingga sering digunakan dalam penelitian di lapangan (studi epidemiologi), seperti terlihat pada tabel 4. Kriteria William lebih spesifik, sedangkan kriteria Hanifin-Rajka lebih sensitif.1,2 Inflamasi kulit persisten pada lesi kronik dapat disebabkan oleh peningkatan ekspresi IL-5 dan GM-CSF pada kulit yang menyebabkan meningkatnya tingkat bertahan hidup eosinofil dan makrofag monosit dan juga sel Langerhans Komplikasi Kepekaan terhadap infeksi jamur dipengaruhi oleh adanya gangguan epidermal barrier function, kelembaban, dan maserasi. Selain itu, faktor individu, dan lingkungan sehari-hari juga berperan penting untuk timbulnya komplikasi ini, misalnya kaus kaki serta olahragawan. Pytrirosporum ovate akhir-akhir ini juga dianggap meningkat pada kulit pasien DA. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa mekanisme imunologis yang berperan adalah melalui induksi IgE oleh Malassezia dan reaksi imunologis yang diperantarai sel T.1,5,6 Dematitis atopik dan Malassezia furfur Gueho, 1987: 4 spesies Mlz pada DA kultur media leeming sugita., 2000: 7 spesies MLZ pada DA kultur media Dixon + nested PCR assay Faergemann, 2002: 9 spesies kultur media SDA Kaneko,2008: 10 spesies DA and MLZ Skin prick test untuk hipersensitivitas tipe I. Clemmensen dan HJorth 171 subyek positip eksema aktif. Skin pacth test Ketokonazol dalam penatalaksanaan penderita dewasa DA positif terhadap Malassezia . Waerstad dan Hjorth Antigenik kultur & biologimolekuler (spesies) Komplikasi Infeksi virus Erupsi Kaposi’s varicelliform adalah komplikasi lain DA, disebabkan oleh virus herpes simpleks atau vaccinia. Kelainan ini dikenal sebagai eksim herpetikum atau eksim vaksinatum, Perkembangan erupsi vesikular yang meningkat pada orang dengan atopi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya erupsi variseliform Kaposi.1,5,6 Komplikasi Eritroderma Komplikasi ini terjadi pada 4-14% kasus DA. Keadaan tersebut dapat terjadi akibat efek withdrawal pemakaian kortikosteroid sistemik pada kasus DA berat. Komplikasi ini cenderung dapat mengancam hidup pasien bila terdapat kegagalan fungsi jantung, sepsis, hipotermia, dan hipo-albuminemia.1'5'6 Komplikasi Infeksi sekunder akibat bakteri Infeksi sekunder bakterial adalah komplikasi yang paling sering pada DA. Biasanya disebabkan oleh bakteri kelompok Streptococci Bhemolytic, studi lain mengungkapkan Staphylococcus merupakan 93% penyebab infeksi sekunder pada lesi dermatitis atopik, 76% pada kulit normal, dan 79% terdapat dari nares anterior. Pioderma yang berhubungan dengan DA biasanya terdapat lesi berupa eritema dengan eksudasi dan krusta, skuama berminyak, dan jerawat kecil pada ujungnya.1,5,6 dikarenakan peningkatan ekspresi gen sitokin profibrotik, IL-11. Gambar 2.Remodeling kulit pada dematitis atopik, (Sumber: Leung, 2000). Pewarnaan Van Gieson (pembesaran asli ×400) dari dematitis atopik akut (A) dan dematitis atopik kronis (B) menunjukkan fibrosis ekstensif pada lesi dematitis atopik yang kronis dibandingkan dengan yang akut. Daftar pustaka William HC. Atopic Dermatitis. N Engl J Med 2005 ; 352: 2314-24 Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves MW. Pathophysiology., and clinical aspects of pruritus. Dalam: Freeberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors, Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th edition. ,- x New York. McGraw-Hill 2008. h.902-11. 28. Yosipovitch G. Dry skin and impairment of barrier function associated with itch - new insights. International J of Cosmetic Science, 2004; 26:1-7. Jadi, tidak hanya penurunan paparan mikroba di lingkungan, tetapi juga perlemahan pengenalan molekular dari molekul mikroba, dapat meningkatkan respon Th2. Faktor yang perpengaruh terhadap eritema/flares pada dematitis atopik Flare/ erythema pemicu inflamasi antara lain iritan dan alergen. Faktor tersebut memicu goresan/scraching dan membuat terjadinya cascade inflamasi yang diawali dengan pelepasan sitokin proinflamasi dari keratinosit atopik. Stres juga dapat memicu perubahan imunologis dan digabungkan dengan goresan akan memicu eksaserbasi dari dematitis atopik . Dermatitis Atopik Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan kulit kronis yang berkaitan dengan hiperaktivitas kulit terhadap faktor lingkungan dan sering merupakan tahap awal untuk terjadinya atopi yang pada akhirnya menyebabkan asma dan rhinitis alergi (Leung dan Scheider, 2008). Dermatitis Atopik Eritem Papula Vesikel Gejala Skuama Krusta Pruritus (Beiber, 2008). Genetik Polymorfism kromosom Iq21,17q25 70% kembar monozigote Skin barrier fc Cerramide Pajanan Alergen Jamur-bakteri-virus Alergi (hipersensitivas) IgE Atopic march Dermatitis Atopik Kolonisasi Malassezia Skin prick test Pacth test IgE total & spesifik Antigenik ptot 67kDa Alergen recomb Malf-9 42132 Kolonisasi mikro organisme lain Iritan Iklim Defek imunitas selular dan sitokin Faktor psikis Karakteristik kulit DA (kulit kering) IMUNOPATOGENESIS DA Pemaparan pertama, alergen terpapar pada kulit ditangkap oleh sel APC dipresentasikan pada sel T mengalami differensiasi menjadi Th-2 karena mensekresi IL-4 aktivasi sel B menjadi sel plasma menghasilkan IgE IgE berikatan dengan sel mast dan basofil (Bieber, 2008). Pemaparan berikutnya • IgE telah ada di permukaan sel mast terjadi ikatan alergen dan IgE pelepasan histamin dan pelepasan mediator khemis terlihat respon pada jaringan gejala klinis (Bieber, 2008). Fungsi barier ini cenderung menjaga apa yang seharusnya ada di luar, ya di luar, dan apa yang seharusnya ada di dalam, ya di dalam Membatasi air yang hilang dari tubuh serta mencegah masuknya zat-zat kimia dan agen infeksius dari epidermis yang berada di bawahnya Filaggrin, filament-associated protein Mutasi gen pemengatur produksi filagrin dapat mempengaruhi fungsinya DA banyak mengalami mutasi gen filagrin & kebocoran ("leaky skin") kehilangan cairan (water loss) dg kerawanan timbulnya iritasi kulit ok alergen lingkungan. (Palmer, 2006 dan Barne, 2010) . GEJALA KLINIS Gejala Klinis DA dibedakan menjadi 3 kelompok usia (Paller dkk, 2006): 0-2 tahun • Tempat pertama muncul di pipi dan dagu sebagai bercak kemerahan, bersisik dan basah. Sisik tebal berwarna kuning ‘kerak’ pada kepala bayi juga sering meluas ke daerah muka menjadi lesi (Soebaryo, 2009). b. 2-12 tahun Merupakan lanjutan dari fase bayi. Tempat lesi di daerah lipat lutut, lipat siku, sekitar mulut, sekitar leher, pergelangan tangan dan kaki. Tetapi sangat jarang mengenai daerah wajah (Tada, 2002). c. > 12 tahun Penebalan kulit pada umumnya ditemukan di daerah belakang lutut, fleksural siku, serta tengkuk leher, badan bagian atas, dan dorsum pedis (Fleischer, 2008). Kriteria Diagnosis II II William Harus ada : Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil Ditambah 3 atau lebih tanda berikut: Riwayat perubahan kulit/kering di fosa kubiti, fosa poplitea, bagian anterior dorsum pedis, atau seputar leher (termasuk kedua pipi pada anak < 10 tahun). Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak < 4 tahun pada generasi-1 dalam keluarga) Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun Dermatitis fleksural (pipi, dahi, & paha bag lateral pd anak < 4 th) Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak < 4 Kajian Imunologi Sawar Kulit Gambar gangguan fungsi sawar kulit akibat gangguan endogen dan eksogen yang Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang lain: Uji kulit White dermografisme, Puncture, prick test, Uji eliminasi dan provokasi dan pemerksaan serologi Pemeriksaan laboratorium rutin: darah tepi, urin, tinja, eosinofil total, untuk menilai ada tidaknya infeksi. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina untuk enyingkirkan adanya infeksi fokal. Mixed incubate 10 „ DNA Isolation Method Discard supernatant RBC Lysis buffer Whole Blood Centrifuge 30” Lysis buffer RNAase Incubate 370C 15‟ Leucocyte Discard + Amonium asetat Centrifuge isopropanol Wash with ethanol 70% Centrifuge DNA pellets Dry DNA pellets Dissolve with TE buffer POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) (Karl B. Mullis) Teknik Amplifikasi sekuen DNA yang spesifik sehingga dapat dianalisis lebih lanjut PRINSIP: ~ Proses Replikasi DNA - Templat DNA - Primer ( 20 - 25 nukleotida) - Enzim polimerase (Taq Polimerase) - Substrat (dNTP) Perbedaan : Pada PCR pemisahan DNA dengan pengaruh fisik (suhu tinggi) Pada Proses Replikasi memerlukan enzim helikase 3 TAHAP PENTING DALAM PROSES PCR: 1. Denaturasi Terjadi penguraian rantai ganda DNA menjadi rantai tunggal dengan bantuan suhu tinggi (90-940C) 2. Annealling Terjadi penempelan primer pada templat. Diperlukan suhu yang sesuai dengan primer yang dipakai (3-50C dibawah melting temperatur;Tm) Tm = 4(G+C) + 2(A+T) 3. Ekstensi Terjadi proses pemanjangan untaian nukleotida membentuk fragmen berupa komplemen dari DNA templat Suhu yang digunakan 720C merupakan suhu optimal untuk enzim Taq polimerase The following figures show the PCR results. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 286 pb pb Figure 1. DNA electrophoresis -thalassemia homozigot IVS1 nt5 and heterozigot IVS1 nt5 Lane 1 and 16 : Marker X174HaeIII Lane 2,4,6,8,10,12,14 : Sample with primer IVS1 nt5 Normal Jalur 3,5,7,9,11,13,15 : Sample with primer IVS1 nt5 Mutant 1 2 3 4 5 6 7 454 pb 281 pb Figure 2. DNA electrophoresis -thalassemia homozigot, heterozigot, and normal IVS1 nt1 Lane 1 : Marker X174HaeIII Lane 2,4,6 : Sample with primer IVS1 nt1 normal Lane 3,5,7 : Sample with primer IVS1 nt1 mutant