Konsep: Kelainan akibat reaksi hipersensitivitas

advertisement
 Konsep:
Kelainan akibat reaksi hipersensitivitas:
Dermatitis atopik
Istilah
 Out of place atau strange disease
 istilah atopi diungkapkan Coca dan Cooke
1923  dari kata atopos (Yunani) (Paller,A.S.,
2006; Leung, D.Y.M., 2008)
 Entry point  bahwa dermatitis atopik
adalah entry point  dari penyakit alergi
berikutnya (Paller,A.S., 2006).
Kriteria major (harus terdapat 3
History of flexural dermatitis
Onset under the age of 2
years
Presence of an itchy rash
Personal history of asthma
History of dry skin
Visible flexural dermatitis
Kriteria minor (tiga atau lebih)
Dry skin
lchthyosis
Palmar hyperlinearity
Keratosis pilaris
Type I allergy and increased serum IgE
Hand and foot dermatitis
Cheilitis
Nipple eczema
Increasedpresenceof Staphylococcus aureus and Herpes
simplex
Perifollicular keratosis
Pityriasis alba
Early age of onset
Recurrent conjunctivitis
Dennie-Morgan infraorbital fold
Keratoconus
Cataract
Orbital darkening
Facial pallor/facial erythema
Anterior neck folds
Itch when sweating
Intolerance to wool and lipid solvents
Bagaimana hubungan usia dengan lesi yang berulang?
 Manifestasi lesi akut  gatal, papula eritema dengan
ekskoriasi dan esksudasi serosa.
 Manifestasi lesi kronis likenifikasi akibat perubahan
jaringan dan plak, dan kering.
 Manifestasi lainnya  dg ciri kulit kering, pucat, kadar
lipid epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat
epidermis meningkat, jari tangan teraba dingin.
 Gejala utama DA  gatal yang hilang timbul (terutama
malam hari)  akibatnya penderita akan menggaruk 
akan menyebabkan timbul lesi kulit  berupa papula,
likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan
krusta (Paller, A.S., 2006).
.. Bagaimana hubungan usia dengan lesi yang berulang?
 Manifestasi klinis  umumnya timbul sebelum bayi
berumur 6 bulan  jarang di bawah usia 8 minggu.
 DA  dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, 
tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat
sampai usia dewasa.
 Terdapat kesan bahwa  makin lama dan makin berat
dermatitis yang diderita semasa bayi  makin besar
kemungkinan dermatitis tersebut menetap sampai
dewasa  sehingga perjalanan penyakit dermatitis atopik
sukar diramalkan (Paller, A.S., 2006; Hanifin, J.M., 2003).
Bagaimana hubungan asma, rinitis alergika dengan
dermaittis atopik?
 DA  mendahului perkembangan asma & rhinitis
alergi, yang menunjukkan  bahwa DA adalah “entry
point” dari penyakit alergi berikutnya.
 Dalam penelitian yang menguji hubungan dermatitis
atopik pada bayi  sensitisasi terhadap aeroallergen
dan terdapatnya penyakit alergi saluran napas 70%
dari bayi yang mengalami DA pada 2 bulan pertama
sejak lahir  di kemudian hari tersensitisasi oleh
aeroalergen dlm usia 5 tahun.
 Tingkat sensitisasi aeroalergen meningkat sampai 80%
pada anak yang kedua orangtuanya mempunyai
riwayat positif DA (Eichenfield, 2003).
..bagaimana hubungan asma, rinitis alergika
dengan dermaittis atopik?
 Anak dengan DA menetap  mengalami asma yg lebih
buruk drpd  anak yg mengalami asma namun tidak
mengalami DA.
 Evaluasi selama 10 th pasien asma tanpa DA 
menunjukkan bahwa 41% dlm keadaan baik, 52%
mengalami asma ringan,5% mengalami asma berat.
 Sebaliknya, diantara pasien asma dgn DA, 34% dalam
keadaan baik, 54% mengalami asma ringan, dan 11%
mengalami asma berat atau meninggal karena penyakit
tersebut. (Eichenfield et.al, 2003).




...bagaimana hubungan asma, rinitis alergika
dengan dermaittis atopik?
Dapat dinyatakan bahwa sensitisasi alergen melalui kulit pada
pasien dgn DA  juga menimbulkan respon sistemik alergi
yang kuat  ditandai kenaikan IgE, eosinofil, makrofag, dan
sel T.
Penanda biologi dari aktivasi leukosit telah terbukti
berhubungan dengan keparahan DA dan juga berperan dalam
alergi respiratorik pada individu yang secara genetis
mempunyai predisposisi alergi (Eichenfield et.al, 2003).
Jadi terdapat bukti kuat  bahwa DA adalah faktor risiko 
untuk terjadinya asma pada masa anak-anak, derajat
keparahan, dan juga persistensinya.
Mekanisme yang mempengaruhi asma kemungkinan besar
berhubungan dengan produksi awal IgE dan alergen-alergen
yang disebabkan oleh reaktivitas IgE (Eichenfield, 2003).
definisi
DA adalah keadaaan peradangan kulit kronis dan
residif disertai gatal, berhubungan dengan
peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi
(DA, rhinitis alergi, asma bronkial) keluarga
penderita (Sularsito dan Djuanda, 2007; Wolff
dkk, 2008).
Epidemiologi.
 Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Bila
salah satu orang tua menderita atopi
  lebih dari separuh jlh anak akan
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun,
dan meningkat mjd 80% jika kedua orang tua
penderita atopi (Hanifin, J.M.,2003).
Etiopatogenesis.
 Berbagai faktor berpengaruh  faktor genetik,
lingkungan, sawar kulit, farmakologik dan
imunologik. Namun konsep dasar patogenesis
dermatitis atopik adalah mekanisme imunologik,
dibuktikan oleh peningkatan kadar IgE dan
eosinofil
(Bieber, T.,2008; Leung, D.Y.M., 2008)
Imunopatogenesis
 Etiologi maupun mekanisme  belum diketahui dengan
pasti  demikian pula dengan rasa gatal.
 Tanpa rasa gatal diagnosis dermatitis atopik tidak dapat
ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama
memiliki reseptor di taut epidermal.
 Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara
(Leung, D.Y.M., 2008):
 Imunologis
1.Imunitas bawaan (innate)
2.Imunitas didapat (adaptive)
....Imunopatogenesis
B. Non Imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal
antara lain dengan adanya faktor genetik yaitu gejala kulit
penderita dermatitis atopik yang cenderung kering
(xerosis).
Kekeringan ini diperberat oleh udara yang lembab dan
panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang
berasal dari sabun.
Kulit dlm keadaan demikian  nilai ambang rasa gatal
menurun  sehingga dengan ransangan yang ringan
seperti iritasi wol, ransangan mekanik akan menyebabkan
rasa gatal.
Patofisiologi Gatal
Rasa gatal diterima oleh akhiran saraf yang tidak spesifik pada
pertemuan lapisan dermis dengan epidermis  yi reseptor gatal
yang tidak bermielin.
Selanjutnya  serabut saraf menghantarkan rasa gatal
memasuki cornu dorsalis pada substansia grisea pada medula
spinalis,yang bersinaps pada neuron sekunder yang menyilang
ke tractus spinothalamicus kontralateral dan kemudian menuju
thalamus. Kemudian neuron tersier menghantarkan sensasi gatal
ke persepsi yang dirasakan secara sadar di cortex cerebri
(Barnes, K.C., 2010).
Patofisiologi Gatal
 Terdapat dua tipe sensasi gatal, yaitu sensasi gatal
lokal dan sensasi gatal difus.
 Sensasi lokal  bersifat spontan, terjadi dlm waktu
singkat setelah stimulus hilang, dan disampaikan
oleh serabut delta „A‟, yang bermyelin dan cepat
menghantarkan stimulus.
 Sensasi difus  melibatkan sekeliling area tertentu,
dan tidak spontan, melainkan terangsang oleh
sentuhan ringan stimulus kecil (Barnes, K.C., 2010):
...Patofisiologi Gatal
Sensasi gatal diklasifikasikan: (Leung, D.Y.M., 2008; Barnes, K.C., 2010):
1. Prurioreseptif ( kutaneus, misalnya scabies),
2. Neuropatik (adanya lesi di jalur aferen saraf, contoh neuritis
perifer, tumor otak),
3. Neurogenik (karena mediator yang bersifat sentral yang tidak
merusak system saraf pusat, contohnya peptide opioid pada
kolestasis), dan
4. Psikogenik.
 Mediator kimia terlibat 
Histamine, produk peptida dari protease, takikinin, peptida opioid
dan naloxone, prostaglandin dan eikosanoid yang terkait, platelet
activating factor (PAF), sitokin.
klasifikasi
Dermatitis atopik
instrinsik
Non
alergi
Prevalensi kejadian
sekitar 20 % sampai 30%
pasien dewasa disertai
dengan rendahnya kadar
serum igE dan tidak
terdeteksi sensitisasi
alergi
Dermatitis atopik
ekstrinsik
alergi
Prevalensi kejadian 70%80%dari pasien dewasa
dengan dermatitis atopik
yang terjadi karena
sensitifitas terhadap alergen
yang berasal dari lingkungan
dan terjadi peningkatan
kadar serum igE
Etiologi
Faktor endogen
•
•
•
•
Faktor Genetik
Respon imun pada kulit
Respon sistemik
Sawar kulit
Faktor eksogen
• Faktor lingkungan
• Agen mikrobial
Genetik
 Terdapatnya atopi pada orangtua, terutama dermatitis atopik,
berhubungan erat dengan manifestasi dan derajat keparahan
dermatitis atopik pada fase anak,

Terdapat 2 kromosom yang berkaitan erat dengan DA  yaitu
kromosom 1q21 dan kromosom 17q25, meski masih
paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan kromosom
yang sama walaupun sajian klinis keduanya berbeda dan
kedua kromosom tersebut tidak terkait dengan penyakit atopi
lainnya.

Juga ditemukan peran kromosom 5q31-33 yang menyandi gen
sitokin Th2.
Faktor pemicu
 Tungau debu rumah
penderita dermatitis atopik setelah menghirup tungau debu rumah
akan mengalami eksaserbasi ditempat lesi lama dan timbul pula lesi
baru.
 Makanan
Makanan dapat berperan dalam dermatitis atopik pada anak kecil
tetapi tidak pada penderita dermatitits atopik yang lebih tua
 Stress emosi
Stress emosi tidak menyebabkan dermatitis atopik, namun sering
menjadi faktor pencetus kekambuhan penyakit.
 Hormonal
sepertiga penderita dermatitis atopik menunjukan eksaserbasi pada
waktu premenstrual. Kehamilan dapat mencetuskan dermatitis
atopik terutama pada trimester 1 dan 2
Patogenesis respon imun pada kulit
antigen terpajan ke kulit
individu dengan
kecenderungan atopi
ditangkap IgE, sel Langerhans melalui,
kemudian diproses untuk selanjutnya
dengan bekerjasama dengan MHC II
akan dipresentasikan ke nodus limfa
perifer
diferensiasi sel T pada
tahap awal aktivasi
yang menentukan
perkembangan sel T ke
arah TH1 atau TH2
Sel TH1 akan
mengeluarkan
sitokin IFN-γ,
TNF, IL-2 dan IL17, sedangkan
sel TH2
memproduksi
IL-4, IL-5 dan IL13
ditangkap IgE yang ada
pada permukaan sel mas
atau IgE yang ada di
membran sel langerhans
epidermis
menyebabkan
degranulasi sel mas
dan akan keluar
histamin Reaksi ini
disebut reaksi
hipersensitif tipe cepat
.Pada pemeriksaan
histopatologi akan
nampak sebukan sel
eosinofil.
Respon sistemik
Sekresi IL-4, IL-5 dan
IL-13 oleh sel TH2
meningkat
Sekresi IFN-γ oleh
sel TH1 menurun
IgE spesifik
terhadap alergen
ganda meningkat.
Eosinofilia
Kadar reseptor IL2 yang dapat larut
meningkat.
Ekspresi CD23
pada sel B dan
monosit
meningkat.
Respons
hipersensitivitas
lambat terganggu
Sintesis IgE
meningkat
Kadar CAMPPhosphodiesteras
e monosit
meningkat disertai
peningkatan IL-13
dan PGE2.
Sawar kulit
sawar kulit
rusak dan
memudahkan
mikroorganism
e dan bahan
iritan masuk
ke kulit
Kulit kering
karena kadar
lipid
epidermis
yang
menurun
trans epidermal
water loss
meningkat
ambang
rangsang gatal
menjadi relatif
rendah dan
menimbulkan
sensasi untuk
menggaruk
skin capacitance
(kemampuan
stratum korneum
mengikat air)
menurun
 Transepidermal.
 Perlemahan fungsi barier kulit tersebut pada
dematitis atopik menyebabkan peningkatan
absorpsi antigen, yang berkontribusi
terhadap hipereaktivitas kulit pada dematitis
atopik.
 Ceramide merupakan molekul penahan air
pada ruang ekstraseluler.
Fungsi epidermis sebagai barier proteksi kulit.
(Sumber: Jansen., 2005)
(inside-outside insenssible/ water loss),
 Fungsi barier ini cenderung menjaga apa yang
seharusnya ada di luar, ya di luar, dan apa yang
seharusnya ada di dalam, ya di dalam
 Membatasi air yang hilang dari tubuh serta
mencegah masuknya zat-zat kimia dan agen
infeksius dari epidermis yang berada di
bawahnya
Filaggrin, filament-associated protein
 Mutasi gen pemengatur produksi filagrin
dapat mempengaruhi fungsinya
 DA banyak mengalami mutasi gen filagrin &
kebocoran ("leaky skin")
 kehilangan cairan (water loss) dg kerawanan
timbulnya iritasi kulit ok alergen lingkungan.
(Palmer, 2006 dan Barne, 2010)
.
Mediator yg menginduksi pruritus pada
dermatitis atopik
 Asetilkolin yang meningkat pada pasien DA merupakan
neurotransmitter utama  yang mengaktivasi kelenjar
keringat.
 Hal tersebut dapat menerangkan terjadinya pruritus
generalisata saat dan setelah berkeringat.
Tabel 1. Beberapa mediator yang menginduksi gatal
Mediator
Histamin
Neuropeptida
- Substance
P
- Asetilkolin
Triptase
Provokasi/induk
si gatal pada
Mekanisme
kulit
+
Berikatan pada reseptor histamin pada serabut
saraf sensorik.
+
+
- Degranulasi sel mas, konsentrasi meningkat pada ,
lesi kulit. I
-Sensitisasi 1 sentral (?)
+
Berikatan pada protease activated receptor 2 (PAR2) serabut saraf L sensorik. 1
Sitokin:
interleukin 2
+
Kemungkinan F melepaskan 1 berbagai I mediator. I
Neurotrofin 4
+
Tidak diketahui
Eosinofil
+
Melepaskan mediator, misalnya-PAF, leukotrien, 1
histamin, ; proteinase
PAF
+
Melepaskan histamine
Leukotrien
+
Tidak diketahui
Faktor lingkungan
 Superantigen stafilokokus yang disekresi di permukaan kulit
dapat berpenetrasi di daerah inflamasi dan merangsang
makrofag epidermal atau sel Langerhans untuk memproduksi
IL-1, TNF, dan IL-12. Semua mekanisme tersebut
meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan
peningkatan kolonisasi stafilokokus. Demikian pula jenis toksin
atau protein stafilokokus yang lain dapat menginduksi
inflamasi kulit melalui sekresi TNF-a oleh keratinosit atau efek
sitotoksik langsung pada keratinosit.1
Faktor pencetus DA  garukan, alergen dan infeksi
Faktor lingkungan
 Mendukung teori hygiene hypothesis, 
Malassezia furfur
Staphylococcus aureus
Varicella zoster
parasit
Gambaran klinis
Dermatitis atopik infantil
• Lesi mula-mula tampak didaerah muka (dahi-pipi) berupa
eritema, papul-vesikel pecah karena garukan sehingga lesi
menjadi eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta
• Lesi bisa meluas ke kepala, leher, pergelangan tangan dan
tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi bisa ditemukan
didaerah ekstensor ekstremitas
Dermatitis atopik pada anak
• Lokasi lesi di lipatan siku/lutut, bagian fleksor pergelangan
tangan, kelopak mata dan leher.
• Ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi,
hiperkeratosis dan mungkin infeksi sekunder. Dermatitis atopik
berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu
pertumbuhan
Dermatitis pada remaja dan dewasa
• Lokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut, samping leher,
dahi, sekitar mata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik
• Ruam berupa likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar
cenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit
skuama. Bisa didapati ekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan
akhirnya menjadi hiperpigmentasi.
diagnosis
 minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor
Kriteria mayor
• Pruritus
• Dermatitis di muka atau
ekstensor bayi dan anak
• Dermatitis di fleksura pada
dewasa
• Dermatitis kronis atau residif
• Riwayat atopi pada penderita
atau keluarganya
Kriteria minor
•Xerosis
•Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks)
•Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
•Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris
•Pitiriasis alba
•Dermatitis di papila mame
•White dermatografism dan delayed blanched response
•Keilitis
•Lipatan infra orbital Dennie – Morgan
•Konjungtivitis berulang
•Keratokonus
•Katarak subkapsular anterior
•Orbita menjadi gelap
•Muka pucat dan eritema
•Gatal bila berkeringat
•Intolerans perifolikular
•Hipersensitif terhadap makanan
•Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau
emosi
•Tes alergi kulit tipe dadakan positif
•Kadar IgE dalam serum meningkat
•Awitan pada usia dini
Kriteria major (harus terdapat 3
History of flexural dermatitis
Onset under the age of 2
years
Presence of an itchy rash
Personal history of asthma
History of dry skin
Visible flexural dermatitis
Kriteria minor (tiga atau lebih)
Dry skin
lchthyosis
Palmar hyperlinearity
Keratosis pilaris
Type I allergy and increased serum IgE
Hand and foot dermatitis
Cheilitis
Nipple eczema
Increasedpresenceof Staphylococcus aureus and Herpes
simplex
Perifollicular keratosis
Pityriasis alba
Early age of onset
Recurrent conjunctivitis
Dennie-Morgan infraorbital fold
Keratoconus
Cataract
Orbital darkening
Facial pallor/facial erythema
Anterior neck folds
Itch when sweating
Intolerance to wool and lipid solvents
Sistem skoring derajat haifin-rajka
Kondisi
Skor
1. luas penyakit
a. Pada anak
- Kurang dari 9% luas tubuh
- 9-36% luas tubuh
- Lebih dari 36% luas tubuh
b. Fase infantil
- Kurang dari 18% luas tubuh
- 18-54% luas tubuh
=1
=2
=3
=1
=2
=3
- Lebih dari 54% luas tubuh
2. kekambuhan
3. intensitas
- Lebih dari 3 bulan remisi / tahun
- Kurang dari 3 bulan remisi / tahun
=1
=2
- Lebih dari 54% luas tubuh
=3
- Gatal ringan, kadang-kadang mengganggu tidur
malam hari
- Gatal sedang, sering mengganggu tidur malam
hari(tidak terus-menerus)
- Gatal hebat, mengganggu tidur sepanjang malam
=1
(terus-menerus)
Total skor:
Nilai
3.0.4.0
4.5.7.5
8.0.9.0
Artinya
Ringan
Sedang
Berat
=2
=3
Kriteria william untuk
dermatitis atopik
I
II
Harus ada:
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil
Ditambah 3 atau lebih tanda berikut
1. Riwayat perubahan kulit/ kering di fosa kubiti, fosa poplitea, bagian
anterior dorsum pedis atau seputar leher ( termasuk kedua pipi pada
anak < 10 tahun )
2. Riwayat asma atau hay fever pada anak ( riwayat atopi pada anak <
4 tahun pada generasi-1 dalam keluarga
3. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
4. Dermatitis di fleksural ( pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada
anak < 4 tahun )
5. Awitan dibawah umur 2 tahun ( tidak dinyatakan pada anak < 4
tahun )
Diagnosis banding
 Dermatitis Seboroik
 Dermatitis Kontak
 Dermatitis Numularis
 Scabies
 Iktiosis
 Psoriasis
 Dematitis Herpetiformis
 Sindrom Sezary
 Penyakit Letterer-Siwe.
 Pada bayi, Dermatitis atopik dapat pula didiagnosis banding
dengan:
 Sindrom Wiskott-Aldrich
 Sindrom Hiper Ige.
Pemeriksaan Penunjang
Uji kulit
 White dermografisme,
 Puncture,
 prick test,
 Uji eliminasi dan provokasi
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin:
 darah tepi, urin, tinja,
 eosinofil count.
 Serologi (IgE spesifik dan non)
 Pemeriksaan  gigi, telinga-hidungtenggorok, serta usapan vagina  untuk
menyingkirkan adanya infeksi fokal
Island in your face
Eksema  hipopigmentasi  skuama halus  UV  pigmen(-) 
penebalan str.korneum gangguan melanisasi sel epidermis
Kultur SDA + oliv oil
Gambaran darah tepi
 Beberapa tanda kelainan darah tepi dapat diamati pada
pasien dermatitis atopik, termasuk peningkatan kadar IgE,
eosinofil, aktivasi kronik makrofag dengan peningkatan sekresi
GM-CSF, prostaglandin E2 (PGE2), dan IL-10,

 Peningkatan jumlah sel Th2 yang mensekresi IL-4 dan IL-5,
penurunan jumlah sel Th1 yang mensekresi IFN-y, serta
peningkatan pelepasan histamin oleh basofil. Peningkatan
kadar IgE serum disertai eosinofilia menggambarkan kelainan
ekspresi sitokin yang diproduksi oleh sel Th2, antara lain
peningkatan kadar IL-4, IL-5, IL-13 dan penurunan ekspresi
IFN-y.
 Peningkatan kadar serum protein kation eosinofil dan E-
selectin terlarut sejalan dengan aktivitas penyakit
Tatalaksana
 Yang utama adalah  edukasi serta menghindari
kekambuhan (menghindari factor pencetus).
 Disamping itu agar pengelolaan berhasil baik,
penderita perlu dijadikan partner dalam penenangan
pengobatan (“co-therapist”).
 Cara pemberian terapi adakalanya perlu
didemonstrasikan (cara pemakaian “ointment” atau
pembalutan/kompres).
Tatalaksana
 Pada terapi eksternal perlu diperhatikan  lesi
bervariasi mulai dari dermatitis yang basah sampai
likenifikasi.
 Keberhasilan tergantung pada pemilihan vehikulum
yang tepat. Pada lesi radang yang berat digunakan
krim hidrofolik atau kompres basah (Soebono,2000
dan Leung 2004).
tatalaksana khusus
Pengobatan topikal
 Hidrasi kulit
 Kortikosteroid topikal
 Imunomodulator topikal
Pengobatan sistemik
 Kortikosteroid (Hanya dipakai untuk mengendalikan Dermatitis
atopik eksaserbasi akut)
 Antihistamin
 Anti infeksi
 Siklosporin
 Terapi sinar (phototherapy) (Dipakai untuk Dermatitis atopik yang
berat)
 Probiotik
Edukasi lainnya
1.
Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol,
astringen, pemutih, dll)
2.
Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban
tinggi.
3.
Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.
4.
Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat
mencetuskan Dermatitis atopik.
5.
Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen
infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan
berbulu.
6.
Menghindarkan stres emosi.
7.
Mengobati rasa gatal.
prognosis
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah :
 Dermatitis atopik yang luas pada anak.
 Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.
 Riwayat Dermatitis atopik pada orang tua atau saudaranya.
 Awitan (onset) Dermatitis atopik pada usia muda.
 Kadar IgE serum sangat tinggi.
 Diperkirakan 30 – 35% penderita Dermatitis atopik infantil akan
berkembang menjadi asma bronkiale.
 Penderita Dermatitis atopik mempunyai resiko tinggi untuk
mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan
Imunopatogenesis DA
Sel T merupakan pemain pertama dalam orkestra
respons imun spesifik yang berperan terhadap alergen
asing. Peningkatan jumlah limfosit T terlihat pada
semua individu atopik bila dibandingkan dengan
individu nonatopik.
Pada dermatitis atopik terdapat peningkatan jumlah
populasi sel T CD4+ dan CD8+. Juga terlihat
peningkatan umum aktivasi sel T pada individu alergik,
baik di lesi maupun secara sistemik. Terdapat 2 jenis
respons imun yang berperan pada kejadian dermatitis
atopik dan keduanya saling terkait.1
Imunitas bawaan (innate)
 Sistem imunitas innate (bawaan) dapat segera bereaksi terhadap
berbagai macam kolonisasi mikroba atau alergen atau iritan, serta
berperan terhadap awitan mekanisme imunitas adaptive (didapat). Sel
epitel kulit yang merupakan sel yang membatasi tubuh dengan
lingkungan, berperan pada mekanisme pertahanan pertama pada sistem
imunitas innate. Sel tersebut dilengkapi dengan sarana untuk
pengenalan, disebut sebagai pattern recognition reseptor (PRR), misalnya
reseptor toll-like (TLR).
 Dikenal lebih dari 10 macam TLR pada manusia, dapat berikatan secara
spesifik dengan dinding sel bakteri, jamur, atau DNA-RNA virus. Toll like
receptor dapat berikatan dengan berbagai struktur mikroba karena
adanya molekul permukaan pathogen-associated molecular pattern
(PAMP). Terikatnya produk mikroba pada permukaan sel epitel akan
menyebabkan aktivitas selular dengan mengeluarkan molekul dengan
aktivitas anti-mikroba, disebut sebagai anti-microbial peptide (AMP). Pada
dermatitis atopik, AMP jumlahnya kurang sehingga menyebabkan pasien
dermatitis atopik mudah terinfeksi herpes.1-5
Imunitas didapat (acquired)
 Reran sel T dan konsep T helper-1 (Th1)/T helper-2 (Th2) merupakan hal
penting pada DA. Ketidakseimbangan Th2 sistemik disertai eosinofilia
diterima sebagai patogenesis atopi.5 Sitokin yang diproduksi sel Th2,
misalnya interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13 dapat dideteksi pada fase akut
penyakit, baik pada lesi kulit maupun nonlesi. lnterleukin-4 dan IL-13
terkait dengan inflamasi dan memicu ekspresi molekul adesi di sel
endotel. lnterleukin-5 terkait dengan keberadaan eosinofil. Eosinofilia
sistemik dan peningkatan eosinophilic cationic protein (ECP) terjadi sesuai
dengan aktivitas penyakit dermatitis atopik. Pada dermatitis atopik fase
kronik terjadi peningkatan kadar interferon (IFN)-v, IL-12, IL-5, dan
granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) yang
merupakan karakteristik dominasi sel Th1/Th0.
 Kronisitas dermatitis atopik dipengaruhi produksi sitokin oleh sel Th1,
yaitu IL-12 dan IL-18, juga IL-11 dan transforming growth factor (TGF)-pl
Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi bifasik, dimulai dengan
fase akut terkait dengan sel Th2, dilanjutkan dengan fase kronik terkait
dengan selTM. 1-5
Sel dendritik
Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen yang profesional dan
selanjutnya menyajikannya kepada sel T pada respons imun primer dan
sekunder. Ada 2 tipe sel dendritik dermatitis atopik, yaitu sel mieloid
dendritik (mDC) dan sel plasmasitoid dendritik (pDC). Pada lesi dermatitis
atopik keduanya ditemukan, tetapi pDC lebih sedikit dibandingkan dengan
mDC. Pada kulit yang mengalami inflamasi terdapat sel inflamasi dendritik
epidermal (inflammatory dendritic epidermal cell -IDEC). Sel Langerhans
dan IDEC termasuk mDC dan mengekspresikan reseptor IgE berafinitas
tinggi (FceRI) pada lesi dermatitis atopik.1,2 Sel Langerhans dan IDEC
berperan sentral pada penyajian antigen ke sel Th1/Th2. Reseptor pada
sel Langerhans ditemukan pada kulit normal pada saat eksaserbasi
penyakit atopi lain, misalnya asma bronkial atau rinitis alergik, sedangkan
FceRI IDEC ditemukan pada lesi. Sel Langerhans berperan aktif pada
perkembangan sel T menjadi sel Th2, sedangkan rangsangan FceRI pada
IDEC akan memicu ke arah respons sel Th1 dan mengeluarkan petanda
proinflamasi yang memicu respons imun alergik.1-3 Plasmasitoid dendritik
mengekspresikan FceRI secara alami dan meningkat pada dermatitis
atopik, penting untuk penanggulangan infeksi virus dengan cara
mengeluarkan interferon.1,4

Sel Th0 dapat berkembang menjadi sel Th1 atau sel Th2 dan rangkaian
reaksi selanjutnya bergantung pada berbagai faktor, termasuk lingkungan,
sitokin setempat, latar belakang genetik pejamu, faktor farmakologik, dan
petanda tambahan terkait dengan aktivasi sel T.5

Pada saat pajanan alergen lingkungan sitokin berperan penting pada
perubahan sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th1 dipicu oleh IL12 yang diproduksi makrofag dan sel dendritik. Interleukin-4 menghambat
produksi IFN-y dan menekan diferensiasi ke arah sel Th1. Pada kulit
nonlesi dan lesi akut sel T mengekspresikan peningkatan jumlah IL-4, IL-5,
dan IL-13, namun sedikit IFN-y. Lingkungan sitokin tersebut cenderung
memicu perkembangan ke arah sel Th2 dan mengurangi produksi sel Thl5
Faktor genetik juga berpengaruh pada diferensiasi sel T helper.
Perbedaan genetik pada aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi
predisposisi terjadinya dermatitis atopik.

Faktor farmakologis juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel T helper.
Leukosit pasien dermatitis atopik mempunyai peningkatan aktivitas enzim
cyclic adenosine monophosphate (c/\MP)-phosphodiesterase (PDE). Hal
tersebut mempengaruhi peningkatan sintesis IgE oleh sel B dan produksi
IL-4 oleh sel T pada DA.
Ekspresi sitokin dengan pola bifasik pada lesi
dermatitis atopik
 Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya
inflamasi di jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola
tersebut bergantung pada umur lesi kulit. Pada inflamasi akut
terutama terlihat ekspresi sitokin IL-4 dan IL-13, sedangkan
pada lesi kronik terutama terlihat ekspresi IL-5 dan IFN-y.
lnterleukin-12 berperan pada perkembangan sel Th-1 dan
pada lesi kronik ekspresinya pada eosinofil dan makrofag
memicu perubahan ke arah Th-1.
 Dapat ditambahkan, IL-16 memicu diferensiasi sel T CD4+ ke
arah lesi akut dan GM-CSF meningkatkan ketahanan hidup
sel eosinofil dan makrofag pada lesi kronik.
Ekspresi sitokin dengan pola bifasik pada lesi
dermatitis atopik
 Peningkatan ekspresi IL-4 dapat diamati 24 jam setelah terpajan
alergen, setelah itu akan terjadi penurunan ekspresi tersebut.
Sedangkan ekspresi IFN-v tidak ditemukan dalam 24 jam setelah
terpajan alergen, namun terlihat ekspresi berlebihan 48-72 jam
setelah terpajan alergen. Hasil tersebut sesuai dengan temuan sel
Th2 spesifik pada masa awal reaksi uji tempel, sedangkan pola
utama sitokin sel Th1 atau Th0 didapati setelah 48 jam. Ekspresi IFNy pada uji tempel atopi didahului eskpresi puncak IL-12, membuktikan
peran IL-12 pada perkembangan respons Th1. Peningkatan ekspresi
IL-12 bersamaan dengan infiltrasi makrofag dan eosinofil, sel yang
mengekspresikan IL-12. Hal tersebut menggambarkan bahwa fase
awal dermatitis atopik dipicu oleh alergen yang mengaktifkan sel Th2,
sedangkan pada respons inflamasi kronik didominasi oleh respons
sel Th1 yang dipicu pula oleh keberadaan makrofag dan eosinofil
yang mengekspresikan IL-12.1,6
Respons sel Th2 terhadap kulit
dermatitis atopik
 Rinitis alergik dan asma bronkial terjadi pada 80% anak dengan
dermatitis atopik dan pada banyak pasien DA terjadi perburukan bila
mengalami alergi saluran napas. Hal tersebut sesuai konsep bahwa
ekspresi klinis penyakit alergi ditentukan sebagian oleh sensitisasi
alergen di jaringan lokal dan respons imun di kulit dibandingkan
dengan mukosa saluran napas. Karena penyakit alergi terkait respons
inflamasi yang spesifik pada organ, maka sel T akan bermigrasi ke
berbagai jaringan. Sel T yang bermigrasi tersebut, disebut sebagai sel
J-homing, terutama diatur oleh interaksi antara reseptor sel T-homing
dengan antigen permukaan sel endotel vaskular yang pada manusia
disebut cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) dan
pasangan reseptornya, yaitu E-selectin.
 Ekspresi sel T yang dipicu oleh CLA diatur oleh berbagai sitokin.
Transforming growth factor (TGF)(3, IL-12 dan IL-6 meningkatkan
ekspresi CLA, tetapi tidak IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-7, dan IFN-y.
Peran multifungsi IgE pada inflamasi
kulit atopik
 Imunoglobulin E berperan pada infiltrat sel inflamasi dermatitis atopik
melalui berbagai mekanisme termasuk reaksi bifasik, presentasi
alergen oleh sel Langerhans penyandang IgE, aktivasi makrofag
penyandang IgE yang dipicu alergen, dan autoreaktivitas IgE
terhadap protein manusia.
 Kelainan klinis dipicu oleh alergen terkait respons bifasik dan
bergantung pada IgE. Sel mas penyandang IgE yang sesuai dengan
alergen pemicu akan mengeluarkan berbagai mediator ke jaringan
setempat dalam waktu 15-60 menit pasca pajanan. Hal tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema akut. Tiga sampai 4 jam
kemudian, setelah reaksi akut menghilang akan terjadi reaksi lambat
(late phase reaction-LPR). Reaksi ditandai dengan ekspresi molekul
adhesi pada endotel kapiler, diikuti infiltrasi eosinofil, neutrofil, dan
infiltrat mononuklear sekitar 24 - 48 jam setelah awitan LPR. Infiltrat
tersebut menunjukkan peningkatan ekspresi mRNA untuk IL-3, IL-4,
IL-5, dan GM-CSF, sehingga timbul dugaan bahwa infiltrat terdiri atas
sel Th2.
...Peran multifungsi IgE pada inflamasi
kulit atopik
 Permukaan sel Langerhans dan makrofag yang menginfiltrasi lesi
dermatitis atopik menyandang IgE. Terdapat 2 macam reseptor
IgE, yaitu reseptor berafinitas tinggi dan yang berafinitas rendah.5
Reseptor IgE pada sel Langerhans berafinitas tinggi, sedangkan
reseptor IgE pada makrofag berafinitas rendah. Penelitian
menemukan bahwa autoreaktivitas terhadap IgE merupakan faktor
yang berperan pada patogenesis dermatitis atopik. Sebagian besar
pasien DA mempunyai antibodi IgE yang bersirkulasi terhadap
protein manusia. Respons imun IgE diawali oleh alergen
lingkungan dan inflamasi dipertahankan oleh alergen endogen
manusia tersebut.
....Peran multifungsi IgE pada inflamasi
kulit atopik
 Pruritus akut pada DA dipicu oleh pelepasan berbagai macam
mediator ke kulit setelah terpajan alergen, meski
perkembangan lesi eksematosa bergantung pada trauma kulit
akibat garukan.6 Akan terjadi proses inflamasi sebagai akibat
keratinosit mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi, antara
lain IL-1, TNF-a, IL-4, dan CC kemokin yang mampu
mengarahkan limfosit, eosinofil, dan makrofag ke tempat
terjadinya inflamasi. Pada tahap ini sel residen dan sel yang
menginfiltrasi akan mengeluarkan sitokin dan mediator yang
akan mempertahankan inflamasi. Dermatitis atopik
merupakan hasil kombinasi antara berbagai mekanisme
selular spesifik maupun nonspesifik yang bertugas memicu
dan mempertahankan inflamasi.5,7
Gambaran darah tepi
 Beberapa tanda kelainan darah tepi dapat diamati pada
pasien dermatitis atopik, termasuk peningkatan kadar IgE,
eosinofil, aktivasi kronik makrofag dengan peningkatan sekresi
GM-CSF, prostaglandin E2 (PGE2), dan IL-10, peningkatan
jumlah sel Th2 yang mensekresi IL-4 dan IL-5, penurunan
jumlah sel Th1 yang mensekresi IFN-y, serta peningkatan
pelepasan histamin oleh basofil. Peningkatan kadar IgE serum
disertai eosinofilia menggambarkan kelainan ekspresi sitokin
yang diproduksi oleh sel Th2, antara lain peningkatan kadar
IL-4, IL-5, IL-13 dan penurunan ekspresi IFN-y. Peningkatan
kadar serum protein kation eosinofil dan E-selectin terlarut
sejalan dengan aktivitas penyakit
Genetik
 Terdapatnya atopi pada orangtua, terutama dermatitis atopik,
berhubungan erat dengan manifestasi dan derajat keparahan
dermatitis atopik pada fase anak,1 sedangkan manifestasi atopi
lainnya tidak terlalu berpengaruh. Terdapat 2 kromosom yang
berkaitan erat dengan dermatitis atopik, yaitu kromosom 1q21
dan kromosom 17q25, meski masih paradoksal karena
psoriasis juga terkait dengan kromosom yang sama walaupun
sajian klinis keduanya berbeda dan kedua kromosom tersebut
tidak terkait dengan penyakit atopi lainnya. Juga ditemukan
peran kromosom 5q31-33 yang menyandi gen sitokin Th2.1,4,8,9
Patofisiologis pruritus pada
dermatitis atopik
 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah persarafan kulit
pasien DA mengalami perubahan; serabut saraf sensorik meningkat
tetapi serabut saraf otonom adrenergik menurun. Ini menunjukkan
perbedaan peran antara. serabut saraf aferen dan otonom dalam
patofisiologi pruritus.
 Ujung-ujung saraf bebas serabut saraf sensorik dalam keadaan
tereksitasi karena selubung sel Schwan-nya berkurang. Produksi
nerve growth factor (NGF) oleh keratinosit basal meningkat di dalam
darah dan kulit pasien DA. Substance P (SP) dan vasoactive
intestinal polypeptide (VIP) juga meningkat di dalam darah pasien
DA. Nerve growth factor ini diperlukan untuk perkembangan dan
fungsi neuron sentral maupun perifer. Peningkatan NGF berkontribusi
dalam perubahan nosiseptif, menyebabkan diameter serabut saraf
membesar, menstimulasi proliferasi serabut saraf, dan menginduksi
elongasi dan penetrasi C fiber ke dalam epidermis sehingga densitas
serabut saraf intraepidermal meningkat. Kandungan neuropeptida
juga meningkat dalam serabut saraf yang hiperplastik dengan akson
....Patofisiologis pruritus pada
dermatitis atopik
 Berbeda dengan serabut saraf sensorik, saraf otonom hanya
merupakan serabut saraf kulit yang; minoritas. Tetapi
observasi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa neurotransmitter
asetilkolin, katekolamin, dan VIP yang dikeluarkan oleh saraf
simpatik dan parasimpatik berperan selama proses inflamasi
kulit. Namun, peran serabut saraf otonom dengan
reseptornya dalam patofisiologi pruritus masih belum jelas.28
 Peningkatan imunoreaktivitas neuropeptida, yaitu calcitonin
gene related peptide (CGRP) dan SP bersamaan dengan
perubahan struktur saraf (jumlah dan morfologi) menunjukkan
bahwa serabut saraf perifer berperan dalam patofisiologi
pruritus pada DA.27
....Patofisiologis pruritus pada
dermatitis atopik
 Fungsi sawar epidermal yang melemah serta keringnya kulit
pasien DA memudahkan iritan, alergen, dan bahan
pruritogenik berpenetrasi ke dalam kulit. Perubahan dalam
struktur serabut sarafi sensorik beserta mediatornya pada
pasien DA menunjukkan penurunan ambang rangsang
terhadap stimulus pruritogenik, menyebabkan semakin
mudahnya terjadi sensasi gatal akibat proses inflamasi.27,31
 Intensitas gatal pada DA sangat berhubungan dengan faktor
mental.3(31)
 Dengan keterangan tersebut di atas, maka gatal pada DA
(menurut klasifikasi Twycross dkk, 2003) dapat dimasukkan
dalam kategori gatal pruri-toseptif, neurogenik, dan
psikogenik.31,32
Fungsi epidermis sebagai barier proteksi kulit.
(Sumber: Jansen., 2005)
 Transepidermal.
 Perlemahan fungsi barier kulit tersebut pada
dematitis atopik menyebabkan peningkatan
absorpsi antigen, yang berkontribusi
terhadap hipereaktivitas kulit pada dematitis
atopik. Ceramide merupakan molekul
penahan air pada ruang ekstraseluler.
Gangguan barier kulit---kerusakan epidermis
(Sumber: Jansen., 2005).
(inside-outside insenssible/ water loss),
 Fungsi barier ini cenderung menjaga apa yang
seharusnya ada di luar, ya di luar, dan apa yang
seharusnya ada di dalam, ya di dalam
 Membatasi air yang hilang dari tubuh serta
mencegah masuknya zat-zat kimia dan agen
infeksius dari epidermis yang berada di
bawahnya
Filaggrin, filament-associated protein
 Mutasi gen pemengatur produksi filagrin
dapat mempengaruhi fungsinya
 DA banyak mengalami mutasi gen filagrin &
kebocoran ("leaky skin")
 kehilangan cairan (water loss) dg kerawanan
timbulnya iritasi kulit ok alergen lingkungan.
(Palmer, 2006 dan Barne, 2010)
.
Mediator yg menginduksi pruritus pada
dermatitis atopik
 Rasa gatal dicetuskan oleh berbagai mediator kimiawi yang
mengikat reseptor khusus pada ujung saraf bebas.
Penelitian menunjukkan bahwa histamin bukan merupakan
mediator pruritus utama pada DA. Ini terbukti dengan
seringnya pemberian antihistamin yang tidak efektif pada
terapi DA. Beberapa mediator lain, misalnya platelet
activating factor (PAF), leukotrien, neuropeptida,
neurotransmitter, sitokin, protease, dan derivat arakidonat
terbukti berperan dalam menginduksi pruritus pada DA.
Asetilkolin yang meningkat pada pasien DA merupakan
neurotransmitter utama yang mengaktivasi kelenjar
keringat. Hal tersebut dapat menerangkan terjadinya
pruritus generalisata saat dan setelah berkeringat.27'28
Tabel 1. Beberapa mediator yang menginduksi gatal
Mediator
Histamin
Neuropeptida
- Substance
P
- Asetilkolin
Triptase
Provokasi/induk
si gatal pada
Mekanisme
kulit
+
Berikatan pada reseptor histamin pada serabut
saraf sensorik.
+
+
- Degranulasi sel mas, konsentrasi meningkat pada ,
lesi kulit. I
-Sensitisasi 1 sentral (?)
+
Berikatan pada protease activated receptor 2 (PAR2) serabut saraf L sensorik. 1
Sitokin:
interleukin 2
+
Kemungkinan F melepaskan 1 berbagai I mediator. I
Neurotrofin 4
+
Tidak diketahui
Eosinofil
+
Melepaskan mediator, misalnya-PAF, leukotrien, 1
histamin, ; proteinase
PAF
+
Melepaskan histamine
Leukotrien
+
Tidak diketahui
Faktor pencetus pruritus
pada dermatitis atopik
 Kulit pasien DA menunjukkan kecenderungan
lebih mudah timbul gatal walaupun provokasi
minimal karena terjadinya penurunan
ambang rangsang dan pemanjangan durasi
gatal terhadap stimulasi pruritus
dibandingkan dengan kulit individu sehat.
Berikut dikemukakan berbagai faktor yang
dapat men-cetuskan pruritus pada DA.27,28
Faktor pencetus pruritus DA
Faktor pencetus endogen
Iritan eksogen
Aeroalergen dan alergen
Kontak
Agen mikroba
Makanan
Contoh
Keringat (faktor pencetus tersering pada DA)
Xerosis
Mikrovaskularisasi kulit
Stres emosional
Garukan
Suhu hangat, air panas
Serat wol
Pelarut lemak (sabun, detergen)
Disinfektan
Tungau debu
Hewan berbulu
Serbuk sari
Jamur
Human dander
Infeksi virus
Staphylococcus aureus
Pityrosporum yeast, Candida, dermatofita
Makanan pedas dan panas
Minuman panas
Minuman beralkohol
Diagnosis
 DIAGNOSIS, DIAGNOSIS BANDING, DAN KOMPLIKASI
 Sampai saat ini belum didapatka gambaran klinis maupun hasil
pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk DA. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan identifikasi morfologi yang sering terdapat
pada DA dan ditunjang oleh adanya riwayat penyakit DA. Terdapat
beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis DA, antara lain kriteria Hanifin Rajka dan kriteria Williams.
Masing-masing kriteria memiliki keunggulan dalam ketepatan dan
kecepatan.
 Uji kulit terhadap berbagai alergen dan pengu-kuran kadar IgE RAST
bukan merupakan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis DA,
melainkan untuk membuktikan adanya hipersensitivitas terhadap
bahan alergen tertentu.1,2


diagnosis
 Kriteria William merupakan kriteria diagnosis yang lebih sederhana,
praktis, dan cepat, karena tidak memasukkan beberapa kriteria
minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan pada kurang dari 50%
pasien DA, sehingga sering digunakan dalam penelitian di lapangan
(studi epidemiologi), seperti terlihat pada tabel 4. Kriteria William
lebih spesifik, sedangkan kriteria Hanifin-Rajka lebih sensitif.1,2
 Inflamasi kulit persisten pada lesi kronik
dapat disebabkan oleh peningkatan ekspresi
IL-5 dan GM-CSF pada kulit yang
menyebabkan meningkatnya tingkat
bertahan hidup eosinofil dan makrofag
monosit dan juga sel Langerhans
Komplikasi
 Kepekaan terhadap infeksi jamur dipengaruhi oleh
adanya gangguan epidermal barrier function,
kelembaban, dan maserasi. Selain itu, faktor individu,
dan lingkungan sehari-hari juga berperan penting untuk
timbulnya komplikasi ini, misalnya kaus kaki serta
olahragawan.
 Pytrirosporum ovate akhir-akhir ini juga dianggap
meningkat pada kulit pasien DA. Beberapa peneliti
menyimpulkan bahwa mekanisme imunologis yang
berperan adalah melalui induksi IgE oleh Malassezia dan
reaksi imunologis yang diperantarai sel T.1,5,6
Dematitis atopik dan Malassezia furfur
 Gueho, 1987: 4 spesies Mlz pada DA
kultur media leeming
 sugita., 2000: 7 spesies MLZ pada DA
kultur media Dixon + nested PCR assay
 Faergemann, 2002: 9 spesies
kultur media SDA
 Kaneko,2008: 10 spesies
DA and MLZ
 Skin prick test untuk hipersensitivitas tipe I.
Clemmensen dan HJorth  171 subyek 
positip eksema aktif.
Skin pacth test
 Ketokonazol dalam penatalaksanaan penderita
dewasa DA positif terhadap Malassezia . Waerstad dan
Hjorth
 Antigenik kultur & biologimolekuler (spesies)
Komplikasi
 Infeksi virus
 Erupsi Kaposi’s varicelliform adalah komplikasi lain DA,
disebabkan oleh virus herpes simpleks atau vaccinia.
Kelainan ini dikenal sebagai eksim herpetikum atau
eksim vaksinatum, Perkembangan erupsi vesikular yang
meningkat pada orang dengan atopi dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya erupsi
variseliform Kaposi.1,5,6
Komplikasi
 Eritroderma
 Komplikasi ini terjadi pada 4-14% kasus DA. Keadaan
tersebut dapat terjadi akibat efek withdrawal pemakaian
kortikosteroid sistemik pada kasus DA berat. Komplikasi
ini cenderung dapat mengancam hidup pasien bila
terdapat kegagalan fungsi jantung, sepsis, hipotermia,
dan hipo-albuminemia.1'5'6
Komplikasi
 Infeksi sekunder akibat bakteri
 Infeksi sekunder bakterial adalah komplikasi yang paling sering pada
DA. Biasanya disebabkan oleh bakteri kelompok Streptococci Bhemolytic, studi lain mengungkapkan Staphylococcus merupakan
93% penyebab infeksi sekunder pada lesi dermatitis atopik, 76%
pada kulit normal, dan 79% terdapat dari nares anterior. Pioderma
yang berhubungan dengan DA biasanya terdapat lesi berupa
eritema dengan eksudasi dan krusta, skuama berminyak, dan
jerawat kecil pada ujungnya.1,5,6
 dikarenakan peningkatan ekspresi gen sitokin
profibrotik, IL-11.
 Gambar 2.Remodeling kulit pada dematitis atopik,
 (Sumber: Leung, 2000).

 Pewarnaan Van Gieson (pembesaran asli ×400) dari
dematitis atopik akut (A) dan dematitis atopik kronis
(B) menunjukkan fibrosis ekstensif pada lesi
dematitis atopik yang kronis dibandingkan dengan
yang akut.
Daftar pustaka
 William HC. Atopic Dermatitis. N Engl J Med 2005 ; 352: 2314-24
 Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves MW. Pathophysiology., and clinical
aspects of pruritus. Dalam: Freeberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen
KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors, Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 7th edition. ,- x New York. McGraw-Hill 2008.
h.902-11.
 28. Yosipovitch G. Dry skin and impairment of barrier function
associated with itch - new insights. International J of Cosmetic
Science, 2004; 26:1-7.
 Jadi, tidak hanya penurunan paparan mikroba
di lingkungan, tetapi juga perlemahan
pengenalan molekular dari molekul mikroba,
dapat meningkatkan respon Th2.
Faktor yang perpengaruh terhadap eritema/flares pada
dematitis atopik
 Flare/ erythema pemicu inflamasi antara
lain iritan dan alergen. Faktor tersebut
memicu goresan/scraching dan membuat
terjadinya cascade inflamasi yang diawali
dengan pelepasan sitokin proinflamasi dari
keratinosit atopik.
 Stres juga dapat memicu perubahan
imunologis dan digabungkan dengan goresan
akan memicu eksaserbasi dari dematitis
atopik .
Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan
kulit kronis yang berkaitan dengan hiperaktivitas
kulit terhadap faktor lingkungan dan sering
merupakan tahap awal untuk terjadinya atopi yang
pada akhirnya menyebabkan asma dan rhinitis alergi
(Leung dan Scheider, 2008).
Dermatitis Atopik
Eritem
Papula
Vesikel
Gejala
Skuama
Krusta
Pruritus
(Beiber, 2008).
Genetik
Polymorfism
kromosom Iq21,17q25
70% kembar monozigote
Skin barrier fc
Cerramide
Pajanan Alergen
Jamur-bakteri-virus
Alergi
(hipersensitivas)
IgE
Atopic march
Dermatitis
Atopik
Kolonisasi Malassezia
Skin prick test
Pacth test
IgE total & spesifik
Antigenik ptot 67kDa
Alergen recomb Malf-9
42132
Kolonisasi mikro
organisme lain
Iritan
Iklim
Defek imunitas
selular dan sitokin
Faktor
psikis
Karakteristik kulit DA
(kulit kering)
IMUNOPATOGENESIS DA
Pemaparan pertama, alergen  terpapar pada
kulit  ditangkap oleh sel APC 
dipresentasikan pada sel T  mengalami
differensiasi  menjadi Th-2 karena mensekresi
IL-4  aktivasi sel B  menjadi sel plasma 
menghasilkan IgE  IgE berikatan dengan sel
mast dan basofil
(Bieber, 2008).
Pemaparan
berikutnya
• IgE telah ada di permukaan
sel mast  terjadi ikatan
alergen dan IgE  pelepasan
histamin dan pelepasan
mediator khemis  terlihat
respon pada jaringan 
gejala klinis
(Bieber,
2008).
 Fungsi barier ini cenderung menjaga apa
yang seharusnya ada di luar, ya di luar, dan
apa yang seharusnya ada di dalam, ya di
dalam
 Membatasi air yang hilang dari tubuh serta
mencegah masuknya zat-zat kimia dan agen
infeksius dari epidermis yang berada di
bawahnya
Filaggrin, filament-associated
protein
 Mutasi gen pemengatur produksi filagrin dapat
mempengaruhi fungsinya
 DA banyak mengalami mutasi gen filagrin &
kebocoran ("leaky skin")
 kehilangan cairan (water loss) dg kerawanan
timbulnya iritasi kulit ok alergen lingkungan.
(Palmer, 2006 dan Barne, 2010)
.
GEJALA KLINIS
Gejala Klinis DA dibedakan menjadi 3 kelompok
usia (Paller dkk, 2006):
0-2 tahun
• Tempat pertama muncul di pipi
dan dagu sebagai bercak
kemerahan, bersisik dan basah.
Sisik tebal berwarna kuning
‘kerak’ pada kepala bayi juga
sering meluas ke daerah muka
menjadi lesi (Soebaryo, 2009).
b. 2-12 tahun
Merupakan lanjutan dari fase bayi. Tempat
lesi di daerah lipat lutut, lipat siku,
sekitar mulut, sekitar leher,
pergelangan tangan dan kaki. Tetapi
sangat jarang mengenai daerah wajah
(Tada, 2002).
c. > 12 tahun
Penebalan kulit pada umumnya ditemukan
di daerah belakang lutut, fleksural siku,
serta tengkuk leher, badan bagian atas,
dan dorsum pedis (Fleischer, 2008).
Kriteria Diagnosis
II


II






William
Harus ada :
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil
Ditambah 3 atau lebih tanda berikut:
Riwayat perubahan kulit/kering di fosa kubiti, fosa poplitea,
bagian anterior dorsum pedis, atau seputar leher (termasuk
kedua pipi pada anak < 10 tahun).
Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak
< 4 tahun pada generasi-1 dalam keluarga)
Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
Dermatitis fleksural (pipi, dahi, & paha bag lateral pd anak < 4 th)
Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak < 4
Kajian Imunologi
Sawar Kulit
Gambar gangguan fungsi sawar kulit akibat gangguan endogen dan eksogen yang
Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan penunjang lain: Uji kulit White
dermografisme, Puncture, prick test, Uji eliminasi dan
provokasi dan pemerksaan serologi
 Pemeriksaan laboratorium rutin: darah tepi, urin, tinja,
eosinofil total, untuk menilai ada tidaknya infeksi.
 Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta
usapan vagina untuk enyingkirkan adanya infeksi fokal.
Mixed
incubate 10 „
DNA Isolation Method
Discard supernatant
RBC
Lysis buffer
Whole
Blood
Centrifuge 30”
Lysis buffer
RNAase
Incubate 370C
15‟
Leucocyte
Discard
+ Amonium asetat
Centrifuge
isopropanol
Wash with
ethanol 70%
Centrifuge
DNA pellets
Dry DNA pellets
Dissolve with TE buffer
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
(Karl B. Mullis)
Teknik Amplifikasi sekuen DNA yang spesifik sehingga dapat
dianalisis lebih lanjut
PRINSIP: ~ Proses Replikasi DNA
- Templat DNA
- Primer ( 20 - 25 nukleotida)
- Enzim polimerase (Taq Polimerase)
- Substrat (dNTP)
Perbedaan : Pada PCR pemisahan DNA dengan pengaruh fisik
(suhu tinggi)
Pada Proses Replikasi memerlukan enzim helikase
3 TAHAP PENTING DALAM PROSES PCR:
1. Denaturasi
Terjadi penguraian rantai ganda DNA menjadi rantai
tunggal dengan bantuan suhu tinggi (90-940C)
2. Annealling
Terjadi penempelan primer pada templat.
Diperlukan suhu yang sesuai dengan primer yang dipakai
(3-50C dibawah melting temperatur;Tm)
Tm = 4(G+C) + 2(A+T)
3. Ekstensi
Terjadi proses pemanjangan untaian nukleotida membentuk
fragmen berupa komplemen dari DNA templat
Suhu yang digunakan 720C merupakan suhu optimal untuk
enzim Taq polimerase
The following figures show the PCR results.
1
2
3
4 5
6
7
8 9 10 11 12 13 14 15 16
286 pb
pb
Figure 1. DNA electrophoresis -thalassemia homozigot IVS1 nt5 and heterozigot IVS1 nt5
Lane 1
and 16
: Marker X174HaeIII
Lane 2,4,6,8,10,12,14 : Sample with primer IVS1 nt5 Normal
Jalur 3,5,7,9,11,13,15 : Sample with primer IVS1 nt5 Mutant
1
2
3
4
5
6
7
454 pb
281 pb
Figure 2. DNA electrophoresis -thalassemia homozigot, heterozigot,
and normal IVS1 nt1
Lane 1
: Marker X174HaeIII
Lane 2,4,6 : Sample with primer IVS1 nt1 normal
Lane 3,5,7 : Sample with primer IVS1 nt1 mutant
Download