pola asuh gizi, sanitasi lingkungan, dan pemanfaatan posyandu

advertisement
POLA ASUH GIZI, SANITASI LINGKUNGAN, DAN PEMANFAATAN
POSYANDU DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BADUTA
DI INDONESIA (ANALISIS DATA RISKESDAS TAHUN 2010)
Maya Adiyanti, Besral
Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
[email protected]
Abstrak
Indonesia termasuk kedalam lima negara yang mempunyai angka stunting pada balita tertinggi di dunia setelah
India, Nigeria, Pakistan, dan China. Angka stunting di Indonesia tidak menunjukkan perubahan yang bermakna
selama hampir satu dekade. Stunting selain berdampak langsung pada kesakitan dan kematian, juga berdampak
terhadap perkembangan intelektual, dan produktivitas. Masa dua tahun pertama kehidupan merupakan periode
emas yang telah terbukti secara ilmiah menentukan kualitas kehidupan karena merupakan periode sensitif karena
akibat yang ditimbulkan akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan antara pola asuh gizi, sanitasi lingkungan, dan pemanfaatan posyandu dengan kejadian
stunting pada baduta. Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas tahun 2010 dengan sampel sebanyak
4043 anak. Variabel yang digunakan adalah stunting, ASI ekslusif, MP-ASI, penyapihan, akses air bersih, akses
sanitasi, pemanfaatan posyandu, karakteristik baduta, karakteristik ibu, dan karakteristik kepala keluarga. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa baduta memiliki status gizi yang rendah, sebanyak 34,5% menderita stunting.
Model regresi logistik ganda memperlihatkan bahwa setelah dikontrol oleh umur baduta, anak yang berasal dari
keluarga dengan sumber air yang tidak tertindung dan jenis jamban yang tidak layak mempunyai resiko untuk
menderita stunting 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga dengan sumber air
terlindung dan jenis jamban yang layak. Simpulan: Masalah stunting pada baduta tidak sekedar masalah
kekurangan asupan makanan saja melainkan berkaitan erat dengan masalah lingkungan sehingga dalam
penanganannya memerlukan upaya lintas sektor.
Kata kunci: Stunting; Baduta; Pola Asuh Gizi; Sanitasi Lingkungan; Pemanfaatan Posyandu
NUTRITIONAL CARE, SANITATION, DAN UTILIZATION OF POSYANDU WITH
STUNTING ON BADUTA IN INDONESIA (DATA ANALYSIS RISKESDAS IN 2010)
Abstract
Indonesian belong to the the five countries that have the highest rate of stunting among children under five in the
world after India, Nigeria, Pakistan, and China. Figures stunting in Indonesia showed no significant changes for
almost a decade. Stunting in addition to the direct impact on morbidity and mortality, also have an impact on
intellectual development, and productivity. The first two years of life is the golden period that has been
scientifically proven to determine the quality of life as it is a sensitive period because the impact will be
permanent and cannot be corrected. This study aimed to analyze the relationship between nutritional care,
sanitation, and utilization of posyandu with the incidence of stunting in baduta. This study uses secondary data
Riskesdas in 2010 with a sample of 4043 children. The variables used were stunting, exclusive breastfeeding,
complementary feeding, weaning, access to safe water, access to sanitation, utilization of posyandu, baduta
characteristics, maternal characteristics, and characteristics of the heads of households. Result of this study show
that baduta in Indonesia have a low nutritional status, as 34.5% stunting. Multiple logistic regression model
showed that after controlling by age baduta, children from families with no source of water and improper of
latrines type are at risk from stunting was 1.3 times higher than children who come from families with a source
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
of water protected and proper of latrines types. ConclusionThe problem of stunting in baduta not just problem of
lack of food but is closely related to environmental problems that require multisector intervention.
Keywords: Stunting, Baduta, Nutritional Care, Sanitation, Utilization of Posyandu
Pendahuluan
Status gizi masyarakat yang baik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
pembangunan kesehatan dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional secara
keseluruhan. Saat ini, status gizi masyarakat di Indonesia masih dihadapkan pada 5 masalah
gizi utama, yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Kekurangan Vitamin A (KVA), Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Anemia Gizi Besi (AGB), dan Gizi Lebih. Akibat
masalah gizi ganda, Indonesia masuk dalam ketiga kategori yaitu : A(kurus/pendek),
B(kurang vitamin A & zat besi), dan C(overweight) (Kusharto CM, 2011).
Masalah stunting di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan selama hampir satu
dekade. Dari data yang dikumpulkan berdasarkan hasil Susenas tahun 2005 angka stunting
pada balita sebesar 40.34% (Depkes RI, 2008a). Riskesdas tahun 2007 mendapatkan sebanyak
36.8% balita menderita stunting dan Riskesdas 2010 tidak menunjukkan perubahan yang
bermakna dengan hasil balita stunting sebanyak 35.6%. Hal ini sangat memprihatinkan,
mengingat prevalensi stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat berdasarkan
kesepakatan dunia apabila prevalensinya diatas 20% (Kemenkes 2010).Laporan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 memberikan informasi mengenai keadaan kesehatan
di Indonesia, termasuk persentase stunting pada baduta, pemberian ASI dan MP-ASI, akses
terhadap sanitasi dan air bersih serta pemanfaatan posyandu tetapi analisis untuk mengetahui
hubungan antara pola asuh gizi, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan posyandu dengan
kejadian stunting pada baduta belum dilakukan. Analisis tersebut diperlukan sebagai bahan
masukan program gizi, baik di tingkat pusat maupun di daerah, terutama dalam penanganan
masalah stunting yang hampir selama satu dekade tidak menunjukkan penurunan yang
bermakna.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi stunting pada baduta di Indonesia dan
mengetahui hubungan pola asuh gizi, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan posyandu dengan
kejadian stunting pada baduta dengan dikontrol oleh variabel karakteristik baduta (umur, jenis
kelamin, berat lahir, konsumsi makanan, dan status imunisasi), karakteristik ibu (umur,
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
pendidikan, dan pekerjaan), dan karakteristik kepala keluarga (umur, pendidikan, pekerjaan,
jumlah anggota rumah tangga, kebiasaan merokok, dan sosial ekonomi).
Tinjauan Teoritis
Stunting adalah status gizi yang ditentukan berdasar indeks tinggi badan menurut umur
(TB/U) dengan ambang batas < -2 Standar Deviasi (SD) pada baku rujukan WHO 2005
(Kemenkes, 2011). Stunting juga didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai potensi
pertumbuhan linear disebabkan karena nutrisi yang tidak memadai atau kesehatan yang buruk.
Biasanya stunting merupakan indikator yang baik dari kekurangan gizi jangka panjang di
kalangan anak-anak muda (World Bank, 2006).
Menurut kerangka yang dikembangkan oleh Unicef tahun 1998 dalam State of the World’s
Children, terjadinya stunting dapat disebabkan oleh faktor langsung dan faktor tidak langsung
serta faktor yang paling mendasar.
Kurang Gizi, Kematian, dan
Cacat
Kurang Konsumsi
Makanan
Ketersediaan
dan Pola
Konsumsi
Rumah Tangga Dampak
Penyakit Infeksi
Pola Asuh (Gizi,
Psikososial,
Kebersihan &
Sanitasi) tdk
memadai Yankes /Sanitasi
dan air bersih
yang tidak
memadai
Penyebab
Langsung
Penyebab
Tidak
Langsung
Daya Beli, Akses Pangan, Akses
Informasi, Akses Pelayanan
Kemiskinan, Ketahanan Pangan
dan Gizi, Pendidikan
Pembangunan Ekonomi, Politik,
Sosial, Budaya
Sumber: Unicef, 1998
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
Akar Masalah
Gambar 1 Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Stunting
Bukti dari India menunjukkan bahwa anak yang kurang gizi lebih cenderung menjadi dewasa
pendek yang cenderung melahirkan bayi kecil dan pada akhirnya mempunyai prestasi
pendidikan yang rendah dan status ekonomi yang rendah. Sedangkan stunting pada usia dini
dapat memprediksikan kinerja kognitif dan resiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh
darah pada saat dewasa, lebih baik dibandingkan underweight (Chandrakant L, 2008).
Penelitian kohort di 5 negara menunjukkan bahwa gizi yang cukup di dalam kandungan
sampai usia 2 tahun pertama kehidupan sangat mempengaruhi untuk pembangunan sumber
daya manusia (Victoria et al, 2008).
Metode Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah potong lintang (cross sectional) dengan
pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas tahun 2010.
Variabel dependent adalah stunting pada baduta dan variabel independent adalah pola asuh
gizi, sanitasi lingkungan, dan pemanfaatan posyandu. Variabel confounding adalah
karakteristik baduta (umur, jenis kelamin, berat lahir, konsumsi makanan, dan status
imunisasi); karakteristik ibu (umur, pendidikan, dan pekerjaan ibu); karakteristik kepala
rumah tangga (umur, pendidikan, pekerjaan, perilaku merokok, sosial ekonomi, dan jumlah
anggota rumah tangga).
Populasi adalah seluruh baduta yang terdapat pada data Riskesdas tahun 2010. Sedangkan
sampel pada penelitian ini adalah balita 0-23 bulan yang mempunyai kelengkapan data sesuai
dengan variabel penelitian.
Data Baduta yang telah berhasil dikumpulkan pada Riskesdas 2010 sebanyak 8496. Kriteria
inklusi sampel penelitian ini adalah baduta yang memiliki kelengkapan variabel penelitian
yang telah ditetapkan dengan nilai z score berada pada kisaran -6 dan + 6 maka diperoleh
jumlah baduta sebanyak 4034 orang.
Manajemen data meliputi editing, coding dan cleaning. Pengolahan data diawali dengan
mengonversi nilai tinggi badan dan umur menjadi nilai z score dengan menggunakan software
antropometri 2005 kemudian dibuat tabel sebaran sampel berdasarkan kelompok stunting
menurut Kemenkes (2011), yaitu: normal jika nilai z score antar -2 SD sampai dengan > 2 SD
dan stunting jika nilai z score <-2 SD.
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
Selanjutnya analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu analisis univariate, bivariate, dan
multivariate. Analisis univariate ditujukan untuk mengetahui sebaran nilai masing-masing
variabel. Sementara analisis bivariate bertujuan untuk mengetahui hubungan dependent variable,
yaitu stunting pada baduta dengan independent variable (Pola Asuh Gizi,Sanitasi Lingkungan,
Pemanfaatan Posyandu) dan Confounding variabel (Karakteristik Baduta, Karakteristik ibu, dan
Karakteristik Kepala Keluarga) dengan uji Chi-square. Tahap analisis multivariate ditujukan
untuk mengetahui hubungan pola asuh gizi, sanitasi lingkungan, dan pemanfaatan posyandu
dengan kejadian stunting pada baduta dengan dikontrol oleh confounding variables (Karakteristik
Baduta, Karakteristik ibu, dan Karakteristik Kepala Keluarga) dengan menggunakan analisis
regresi logistik model faktor risiko. Semua analisis di atas menggunakan perangkat lunak statistik.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U)
anak baduta di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan status gizi anak yang dijadikan
standar oleh WHO. Prevalensi stunting pada baduta diperoleh sebesar 34,5% dengan rata-rata
nilai z score sebesar -0,98. Kurva distribusi nilai Z score dapat dilihat pada gambar 2 yang
menunjukkan nilai Z score tinggi badan menurut umur pada anak baduta di Indonesia
Gambar 2
Kurva Distribusi Nilai Z score
berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tabel 1 menunjukkan distribusi responden berdasarkan karakeristik baduta ibu dan kepala
keluarga. Pada karakteristik baduta umur anak baduta sebagian besar berada di kisaran umur 1223 bulan sebesar (53,6%). Jenis kelamin laki-laki (50,3%) lebih banyak dibanding perempuan
(49,7%). Sebagian besar (95,3%) lahir dengan berat lahir normal diatas 2500 gram. Status
imunisasi 3,5% tidak diimunisasi, dan yang diimunisasi lengkap hanya 20,0%. Hanya 16,6%
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
baduta yang diketahui mengkonsumsi makanan yang mencukupi kebutuhan energi dan protein
yang dianjurkan.
Pada karakteristik ibu umur ibu sebagian besar berada di kisaran 25-34 sebesar 56,2%. Sebanyak
39,3% berpendidikan SMA/sederajat keatas, dan 43,5% tidak bekerja. Pada karakteristik kepala
keluarga, umur kepala keluarga sebagian besar (48,4%) pada kelompok umur 25-34 tahun,
dengan tingkat pendidikan 43,1% SMA/sederajat+, bekerja disektor non formal yaitu
petani/nelayan/buruh sebesar 45,1%, sebagian besar sebagai perokok 65,9%, dan status ekonomi
bervariasi dari kuintil 1 sampai kuintil 5. Banyaknya anggota rumah tangga sebagian besar
(61,4%) 3-4 orang.
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Baduta
Karakteristik Responden
Karakteristik Baduta
Umur Baduta
0-5 bulan
6-11 bulan
12-23 bulan
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Berat Lahir
BBLC
BBLR
Status Imunisasi
Lengkap
Tidak Lengkap
Tidak Imunisasi
Tidak Tahu
Konsumsi Makan
Protein & Energi tidak cukup
Cukup Protein saja
Cukup Energi saja
Protein & Energi cukup
Karakteristik Ibu
Umur Ibu
< 25 tahun
25-34 tahun
≥ 35 tahun
Pendidikan Ibu
SMA/Sederajat +
SMP/sederajat
≤ SD/sederajat
Pekerjaan Ibu
Tidak bekerja/IRT
Bekerja
%
19,2
27,2
53,6
50,3
49,7
95,3
4,7
20,0
59,1
3,5
17,3
48,8
33,3
1,3
16,6
20,5
56,2
23,2
Karakteristik Responden
%
Karakteristik Kepala Keluarga
Umur Kepala Keluarga
< 25 tahun
5,8
25-34 tahun
48,4
≥ 35 tahun
45,9
Pendidikan Kepala Keluarga
SMA/Sederajat +
43,1
SMP/sederajat
21,4
≤ SD/sederajat
35,5
Pekerjaan Kepala Keluarga
Tidak bekerja
2,8
Pegawai/karyawan
13,4
Wiraswasta/Berdagang
38,6
Petani/nelayan/buruh/lainnya
45,1
Anggota Rumah Tangga
3-4 orang
61,4
5-6 orang
31,1
≥ 7 orang
7,5
Kebisaan Merokok
Tidak
34,1
Ya
65,9
Sosial Ekonomi
Kuintil 5
21,8
Kuintil 4
22,3
Kuintil 3
21,4
Kuintil 2
19,3
Kuintil 1
15,1
39,3
24,2
36,3
56,5
43,5
Tabel 2 menunjukkan gambaran pola asuh gizi, sanitasi lingkungan, dan pemanfaatan
posyandu. Menurut hasil penelitian, pada pola asuh gizi hanya sebesar 4,8% baduta yang
mendapatkan ASI secara ekslusif selama 6 bulan. Sebagian besar baduta (62,2%)
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
mendapatkan MP-ASI terlalu dini yaitu kurang dari 6 bulan. Dan hanya 19,7% baduta yang
sudah disapih.
Untuk sanitasi lingkungan akses air bersih berupa sumber air terlindung sebesar 79,5%,
sumber air minum terlindung 85%, sebagian besar (73,8%) jarak sumber air ke sumber
pencemaran < 10 meter. 81,5% air mudah didapat, 90,5% kualitas air baik, namun 79,2%
sumber air jauh dari tempat tinggal. Sedangkan untuk akses sanitasi sebanyak 28,8% keluarga
menggunakan fasilitas buang air besar yang kurang baik. Jenis jamban yang digunakan masih
ada yang belum menggunakan leher angsa sebesar 31,2% dan 34,8% keluarga membuang
kotoran bukan pada septic tanc atau SPAL. Kegiatan pemantauan pertumbuhan berupa
penimbangan sebagian besar 46,4% dilakukan di posyandu dan sebanyak 35,3% baduta tidak
pernah ditimbang dal am 6 bulan terakhir.
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Pola Asuh Gizi, Sanitasi Lingkungan, dan Pemanfaatan Posyandu
Variabel
Pola Asuh Gizi
ASI Ekslusif
Ya
Tidak
MP-ASI dini
Ya
Tidak
Sudah disapih
Ya
Tidak
Akses Air Bersih
Sumber air terlindung
Ya
Tidak
Sumber air minum Terlindung
Ya
Tidak
Jarak ke sumber pencemaran
>=10 meter
<10 meter
Mudah didapat sepanjang tahun
Ya
Tidak
%
4,8
95,2
62,2
37,8
19,7
80,3
79,5
20,5
85,0
15,0
26,2
73,8
Variabel
Lanjutan Akses Air Bersih
Kualitas fisik air
Baik
Tidak
Jarak ke sumber air ke tempat tinggal
Jauh
Dekat
Akses Sanitasi
Fasilitas BAB
Baik
Tidak
Jenis jamban yang dipakai
Baik
Tidak
Tempat akhir pembuangan tinja
Baik
Tidak
Pemanfaatan Posyandu
Tidak memanfaatkan posyandu
Memanfaatkan posyandu
Memanfaatkan faskes lainnya
%
90,5
9,5
79,2
20,8
71,2
28,8
68,8
31,2
65,2
34,8
35,3
46,4
18,1
81,5
18,5
Tabel 3 menunjukkan hasil analisis bivariate dan multivariate hubungan pola asuh gizi,
sanitasi lingkungan, dan pemanfaatan posyandu denga kejadian stunting pada baduta.
Proporsi stunting pada baduta yang tidak mendapat ASI ekslusif didapat sebesar 34,9% lebih
besar dibandingkan dengan proporsi stunting pada baduta yang mendapat ASI ekslusif
sebesar 26,9%. Proporsi stunting pada baduta yang mendapatkan MP-ASI dini dan yang tepat
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
waktu tidak berbeda berkisar pada angka 34%, sejalan dengan proporsi stunting pada baduta
yang disapih dan yang tidak berkisar pada angka 34%. Hasil analisis bivariate diperoleh
hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian stunting pada
baduta. Dari nilai OR dapat disimpulkan bahwa anak yang tidak mendapatkan ASI ekslusif
cenderung untuk menderita stunting 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang
mendapatkan ASI ekslusif.
Tabel 3
Hasil Analisis Bivariate dan Multivariate Pola Asuh Gizi, Sanitasi Lingkungan, dan
Pemanfaatan Posyandu dengan Kejadian Stunting pada Baduta
Variabel
Pola Asuh Gizi
ASI Ekslusif
Ya
Tidak
MP-ASI dini
Ya
Tidak
Sudah disapih
Ya
Tidak
Akses Air Bersih
Sumber air terlindung
Ya
Tidak
Sumber air minum
Terlindung
Ya
Tidak
Jarak ke sumber
pencemaran
>=10 meter
<10 meter
Mudah didapat
sepanjang tahun
Ya
Tidak
Kualitas fisik air
Baik
Tidak
Jarak ke sumber air ke
tempat tinggal
Jauh
Dekat
Akses Sanitasi
Fasilitas BAB
Baik
Tidak
Jenis jamban yang
dipakai
Baik
Tidak
Tempat akhir
pembuangan tinja
Baik
Normal Stunting Nilai
(n=2649) (n=1394)
P
73,1
65,1
26,9
34,9
0,016
65,8
65,1
34,2
34,9
65,8
65,5
66,7
60,9
OR
Crude
95% CI
LL
UL
Nilai
P
OR
Adjt
95% CI
LL
UL
0,481
1,46
1,06
1,99
0,663
0,97
0,85
1,10
34,2
34,5
0,858
0,98
0,84
1,15
33,3
39,1
0,001
1,14
0,79
1,66
0,531
0,96
0,83
1,10
0,084
0,87*
0,74
1,02
1,26*
1,03
1,55
0,95
0,75
1,20
0,91
0,77
1,06
0,85*
0,72
1,00
1,09
0,87
1,36
1,04
0,88
1,23
1,02
0,87
1,20
1,32*
1,07
1,62
0,87
0,71
1,06
0,029
1,28
1,11
1,49
0,670
66,1
62,1
33,9
37,9
0,037
1,19
1,01
1,41
0,219
63,2
66,3
36,8
33,7
0,066
0,87
0,76
1,01
0,052
65,2
66,9
34,8
33,1
0,345
0,93
0,79
1,09
0,447
65,9
62,2
34,1
37,8
0,142
65,6
65,1
34,4
34,9
0,776
66,5
63,1
33,5
36,9
0,029
1,18
0,95
1,46
0,676
1,02
0,88
1,19
0,803
1,16
1,02
1,33
0,011
67,3
61,6
32,7
38,4
0,000
1,29
1,12
1,47
0,166
66,6
33,4
0,051
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
Tidak
Pemanfaatan
Posyandu
Tidak memanfaatkan
Memanfaatkan
posyandu
Memanfaatkan Faskes
lainnya
Umur
0-5 bulan
6-11 bulan
12-23 bulan
63,5
36,5
1,14
1,00
1,31
0,585
64,8
64,6
35,2
35,4
69,1
30,9
0,049
1,01
0,88
1,16
0,82
0,70
0,98
1,00
0,92
0,87
0,77
1,16
1,10
1,10
1,62
0,88
1,31
1,37
2,01
0,000
Proporsi stunting pada keluarga dengan sumber air yang tidak terlindung sebesar 39,1% lebih
besar dibandingkan proporsi stunting pada keluarga dengan sumber air yang terlindung.
Demikian juga proporsi stunting pada keluarga dengan sumber air minum yang tidak
terlindung lebih besar (37,9%) dibandingkan keluarga sumber air minum terlindung. (33,9%).
Pada keluarga dengan jarak sumber air dari sumber pencemaran yang jauh proporsi stunting
lebih besar (36,8%) dibandingkan dengan yang dekat dari sumber pencemaran (33,7%).
Proporsi stunting pada keluarga dengan sumber air yang mudah didapat dengan jarak tempat
tinggal ke sumber air berkisar 34%. Sedangkan proporsi stunting pada keluarga dengan
kualitas fisik air yang kurang baik lebih besar (37,8%) dibandingkan dengan proporsi stunting
pada keluarga dengan kualitas fisik air yang baik.
Hasil analisis bivariate diperoleh hubungan yang bermakna secara statistik keluarga dengan
sumber air terlindung, sumber air minum terlindung, dan jarak ke sumber pencemaran dengan
kejadian stunting pada baduta. Baduta dengan sumber air yang tidak terlindung mempunyai
resiko 1,3 kali untuk menderita stunting dibandingkan dengan baduta dari keluarga dengan
sumber air terlindung.
Pada keluarga dengan sumber air minum tidak terlindung
kecenderungan badutanya menderita stunting 1,2 kali lebih besar dibandingkan dengan
keluarga yang menggunakan sumber air minum terlindung. Ditemukan kecenderungan 1,2
kali lebih tinggi untuk menderita stunting pada baduta yang menggunakan air dengan kualitas
fisik yang tidak baik meskipun secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna.
Proporsi stunting pada keluarga yang menggunakan fasilitas buang air besar dan tempat
pembuangan akhir kotoran yang tidak layak ditemukan berkisar 36%. Sedangkan proporsi
stunting pada keluarga yang menggunakan jamban/kloset yang tidak layak sebesar 38,4%.
Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada analisis bivariate antara fasilitas
buang air besar, dan jenis jamban yang digunakan dengan kejadian stunting pada baduta. Dari
nilai OR dapat disimpulkan bahwa keluarga yang menggunakan fasilitas buang air besar yang
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
tidak layak, badutanya mempunyai resiko untuk menderita stunting 1,2 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan baduta dari keluarga yang menggunakan fasilitas buang air besar yang
baik. Jenis jamban yang tidak layak digunakan meningkatkan resiko baduta untuk menderita
stunting 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang menggunakan jamban yang
layak.
Proporsi stunting pada baduta yang tidak melakukan penimbangan didapat lebih tinggi
(36,2%) dibandingkan dengan proporsi stunting pada baduta yang ditimbang baik di posyandu
(35%) maupun di fasilitas kesehatan lainnya (30,9%).
Berdasarkan hasil analisis bivariate diperoleh hubungan yang bermakna antara pemanfaatan
posyandu dengan kejadian stunting pada baduta. Resiko untuk menderita stunting pada baduta
yang tidak memanfaatkan posyandu 1,3 kali lebih tinggi untuk menderita stunting dibandingkan
dengan baduta yang ditimbang di fasilitas kesehatan lainnya. Namun resiko stunting pada baduta
yang tidak memanfaatkan posyandu sama dengan yang memanfaatkan posyandu.
Langkah pertama dalam pemodelan analisis regresi logistik model faktor risiko adalah
melakukan identifikasi interaksi dengan memilih variabel yang secara substansi berinteraksi.
Pada tahap ini tidak ditemukan adanya interaksi sehingga langkah berkutnya adalah
melakukan identifikasi confounding dengan mengeluarkan satu persatu variabel yang diduga
sebagai confounding dengan nilai p terbesar. Setelah dilakukan identifikasi confounding
ternyata umur anak merupakan confounding hubungan ASI eklusif dengan kejadian stunting
pada baduta. Pemodelan multivariat tahap akhir ditunjukkan pada tabel 3.
Dari model yang ditunjukkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa variabel sumber air terlindung
dan jenis jamban/kloset yang layak digunakan secara statistik berhubungan bermakna dengan
kejadian stunting. Sumber air yang tidak terlindung dan jenis jamban yang tidak layak
meningkatkan resiko anak untuk menderita stunting sebesar 1,3 kali lebih besar dibandingkan
dengan sumber air yang terlindung, dan jenis jamban yang layak setelah dikontrol oleh
variabel umur anak.
Pada variabel sudah disapih dan air mudah sepanjang tahun terdapat hubungan yang negatif
dengan kejadian stunting.
Baduta yang masih diberi ASI (tidak disapih) mempunyai
kecenderungan untuk menderita stunting 1,1 kali dibandingkan dengan baduta yang sudah
disapih, demikian pula pada variabel air mudah didapat sepanjang tahun. Baduta yang
keluarganya mendapatkan kemudahan mendapatkan air sepanjang tahun mempunyai
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
kecenderungan untuk menderita stunting 1,2 kali dibandingkan dengan baduta yang
keluarganya tidak mudah mendapatkan air sepanjang tahun.
Pembahasan
Hasil penelitian ini menggambarkan status gizi baduta berdasarkan tinggi badan menurut
umur (TB/U) di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan status gizi anak yang dijadikan
standar oleh WHO. Prevalensi stunting pada baduta dalam penelitian ini sebesar 34,5%, lebih
rendah bila dibandingkan dengan prevalensi stunting di Nepal menurut penelitian yang
dilakukan oleh Pramod Singh et al (2009) sebesar 36,6%. Hasil yang lebih rendah diperoleh
dari penelitian yang dilakukan Meshram et al (2013) di India yang menyebutkan prevalensi
stunting sebesar 29%. Namun demikian berdasarkan hasil ini maka prevalensi stunting pada
baduta di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena nilai ambang
batas yang ditetapkan sebesar 20%.
Hasil penelitian ini tidak mendapatkan hubungan yang signifikan antara pola asuh gizi dengan
kejadian stunting pada baduta baik pada variabel ASI ekslusif, MP-ASI maupun penyapihan
setelah dikontrol oleh umur baduta. Meskipun demikian proporsi kejadian stunting pada
baduta yang mendapatkan ASI ekslusif diperoleh lebih rendah (26,9%) dibandingkan dengan
proporsi stunting pada baduta yang tidak mendapatkan ASI ekslusif (34,9%).
Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Masithah T, Soekirman, dan Martianto D, 2005
yang menyebutkan bahwa pola asuh makan anak tidak berhubungan dengan status gizi,
namun berhubungan dengan kualitas konsumsi makanan anak. Berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ruel MT & Menon P (2002) yang menyebutkan bahwa pemberian pola
asuh makan yang memadai berpengaruh terhadap status gizi terutama tinggi badan menurut
umur (TB/U).
Penelitian yang dilakukan oleh Simondon et al (2001) menemukan bahwa anak yang diberi
ASI dalam jangka waktu yang lama mempunyai kenaikan panjang yang lebih besar
dibandingkan dengan anak yang sudah disapih.
Pemberian MP-ASI seharusnya dimulai pada saat anak memasuki usia 6 bulan. Menurut
Suhardjo (1996), kerugian-kerugian potensial akibat dari pengenalan makanan terlalu dini
selain AS1 adalah terjadinya gangguan penyusuan, alergi terhadap makanan, beban ginjal
yang berlebihan dan hiperosmolitas, gangguan pengaturan selera makan, beban fisiologis
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
pencernaan, serta adanya kemungkinan kontaminasi bahan-bahan tambahan makanan dan
atau kontaminan pathogen lainnya.
Pola asuh gizi dalam penelitian ini terdiri dari 3 variabel yaitu ASI ekslusif, MP-ASI, dan
penyapihan. Hanya sebesar 4,8% baduta yang diberikan ASI secara eklusif selama 6 bulan
tanpa diberikan makanan dan minuman apapun kecuali obat. Sebanyak 62,2% baduta sudah
diberikan makanan pendamping ASI sebelum usia 6 bulan dan 19,7% baduta sudah
disapih/tidak diberikan ASI lagi.
Penyebab rendahnya praktik pemberian AS1 eksklusif menurut Haider R et al (1997) adalah
faktor psikososial dan perilaku ibu, serta faktor lingkungan. Faktor psikosial dan perilaku
seperti kurangnya pengertian manfaat menyusui eksklusif serta iklan yang berlebihan
mengenai susu formula dan makanan formula untuk bayi menimbulkan persepsi yang tidak
benar atau menimbulkan persepsi bahwa menyusui eksklusif menyebabkan bayi kurang
makan. Faktor lingkungan yang berperan terhadap rendahnya praktik pemberian AS1
eksklusif diantaranya pengaruh nenek, suami, teman, tetangga, dan penolong persalinan baik
dukun bayi, bidan, maupun dokter (Widodo Y, Harahap H, Muljati S, dan Triwinarto A ,
2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Partyka et al (2010) menunjukkan bahwa dukungan yang terus
menerus dari lingkungan akan meningkatkan pendidikan dan pengetahuan ibu dalam praktek
pemberian ASI yang tepat dan membantu ibu mengatasi kesulitan dalam menyusui.
Promosi peningkatan ASI esklusif yang telah dilakukan selama ini kurang berhasil karena
kurang memperhatikan sistem dan kebiasaan masyarakat. Di samping itu promosi AS1
eksklusif hanya ditujukan kepada para ibu hamil dan ibu menyusui, padahal keputusan
memberikan AS1 eksklusif bukan hanya ditentukan oleh ibu. Kebanyakan ibu hamil dan ibu
menyusui yang telah mendapat penyuluhan tentang AS1 eksklusif tidak mempraktikan
pengetahuan yang didapatnya karena mereka bukan pengambil keputusan yang utama dalam
keluarga untuk memberikan AS1 eksklusif.
Riskesdas 2010 menyebutkan sebanyak 43,6% bayi sudah mendapatkan makanan prelekteal
sedangkan menurut SDKI tahun 2012, 60% anak yang dilahirkan dalam dua tahun sebelum
survei mendapat makanan pralaktasi selain ASI pada tiga hari pertama kehidupan. Hampir
separuh anak (49%) disusui dalam satu jam setelah kelahiran, dan sekitar dua dari tiga (66%)
disusui dalam satu hari setelah kelahiran. Persentase anak yang disusui dalam satu jam dan
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
dalam satu hari setelah kelahiran menurun menurut pendidikan ibu, walaupun polanya tidak
seragam. Anak yang dilahirkan dari ibu yang pada saat kelahiran ditolong oleh tenaga
kesehatan profesional, cenderung lebih sedikit disusui dalam satu jam atau satu hari setelah
kelahiran dibanding anak yang pada saat kelahiran ditolong oleh penolong persalinan
tradisional atau lainnya (BKKBN, BPS, Kemenkes, & Measure DHS, 2013). Di wilayah
perkotaan, paritas merupakan faktor determinan utama Inisiasi Menyusu Dini (IMD) segera
setelah melahirkan, sedangkan di wilayah pedesaan faktor petugas pemeriksa kehamilan
merupakan faktor determinan utama IMD segera setelah melahirkan (Irawati A, 2010)
Keberhasilan pemberian ASI ekslusif dan IMD tidak pernah terjadi bila iklan susu formula
masih sangat marak dilakukan. Besarnya pengaruh iklan yang berlebihan mengenai susu
formula dan makanan formula, mempengaruhi tenaga kesehatan dan ibu untuk memberikan
susu formula kepada bayi sehingga membutuhkan komitmen dari petugas kesehatan untuk
tetap melakukan promosi tentang ASI eklsusif tidak hanya kepada ibu balita, tetapi juga
melibatkan anggota keluarga, kader, tokoh masyarakat sebagai sasaran promosi. Sanksi dan
upaya yang optimal dari pemerintah bagi pemasaran susu formula yang menyalahi
peraturan, tenaga penolong persalinan maupaun fasilitas persalinan, yang memberikan susu
formula sebagai hadiah kepulangan ibu dan bayi.
Pada sanitasi lingkungan berdasarkan hasil analisis diperoleh adanya hubungan yang
bermakna antara jenis jamban yang digunakan, sumber air terlindung, dan sumber air mudah
didapat sepanjang tahun setelah dikontrol oleh umur anak. Jenis jamban yang tidak layak
(bukan leher angsa) mempunyai kecenderungan untuk menderita stunting 1,3 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan
baduta yang mempunyai jamban yang layak. Sumber air tidak
terlindung meningkatkan resiko baduta untuk stunting 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan dengan sumber air terlindung. Sedangkan pada sumber air mudah didapat sepanjang
tahun terdapat hubungan negatif, dimana keluarga yang mudah mendapatkan air sepanjang
tahun cenderung memiliki baduta stunting 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan baduta
dari keluarga yang tidak sepanjang tahun mudah mendapatkan sumber air.
Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Checkley et al (2004)
yang menyebutkan bahwa baduta yang tidak punya akses sanitasi yang baik mengalami deficit
tinggi badan sebesar 0,9 cm dan tinggi badan baduta dengan kondisi sumber air yang buruk
1,0 cm lebih pendek dibandingkan dengan baduta yang sumber airnya baik. Penelitian yang
dilakukan oleh Milman A, Frongillo EA, de Onis M, dan Ji-Yun Hwang (2005) menyatakan
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
hal serupa bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara keluarga yang memiliki akses
terhadap sumber air terlindung dengan kejadian stunting pada anak. Hasil lain yang sejalan
dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Spears, Ghosh, & Cumming
(2013) yang meneliti hubungan antara open defecation dengan stunting setelah dikontrol
variabel confounding yaitu sosial ekonomi, pendidikan ibu, ketersediaan makanan dan
diperoleh hasil bahwa peningkatan 10% dalam open defecation meningkatkan 0,7% stunting.
Penyakit yang sering terjadi pada bayi dan anak-anak pada umumnya adalah penyakit yang
timbulnya berkaitan erat dengan masalah lingkungan dan pola pemberian makan (Moehji S,
1988). Penyakit yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan diantaranya adalah diare.
Penyakit infeksi yang parah dan terjadi berulang pada jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan stunting. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa diare adalah penyakit
infeksi yang sangat mempengaruhi pertumbuhan linier pada usia 24 bulan. Analisis yang
dilakukan di sembilan studi berbasis masyarakat di negara-negara berpenghasilan rendah dengan
rumah tangga yang sering terkena diare dan diukur antropometrinya secara longitudinal
mendapatkan bahwa resiko stunting meningkat (Checkley et al, 2008).
WHO memperkirakan 4 milyar kasus diare terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2,2 juta
diantaranya meninggal, sebagian besar anak-anak dibawah umur 5 tahun. Hal ini sebanding
dengan 1 anak meninggal setiap 15 detik atau 20 jumbo jet kecelakaaan setiap hari (Adisasmito
W, 2007).
Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman berkontribusi
terhadap 88 persen kematian anak akibat diare di seluruh dunia. Angka diare lebih tinggi sebesar
66 persen pada anak-anak dari keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau selokan
dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan fasilitas toilet pribadi dan septik tank. Angka
diare juga tercatat 34 persen lebih tinggi pada anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan
sumur terbuka untuk air minum dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang
menggunakan air ledeng (Unicef Indonesia, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa masalah gizi khususnya stunting bukan
merupakan masalah asupan makanan saja tetapi termasuk didalamnya adalah masalah lingkungan
khususnya sanitasi dan air bersih. Oleh karena itu program pencegahan dan penanggulangan
masalah stunting harus melibatkan lintas sektor. Hal ini dibuktikan pula oleh studi selama 3 tahun
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
yang dilakukan oleh Remans R, et al (2011) di Afrika yang menemukan bahwa intervensi yang
melibatkan multisektor yang dilakukan dapat menurunkan prevalensi stunting sebesar 43%.
Saat ini pemerintah tengah menjalankan program Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
yang bersifat multisektor dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan disingkat menjadi
Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK) yang terdiri dari intervensi gizi
spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik, adalah tindakan atau kegiatan yang dalam
perencanaannya ditujukan khusus untuk kelompok 1000 HPK. Kegiatan ini pada umumnya
dilakukan oleh sektor kesehatan. Intervensi sensitif adalah berbagai kegiatan pembangunan di luar
sektor kesehatan seperti penyediaan air bersih dan sanitasi yang layak, keluarga berencana, dan
pengentasan kemiskinan. Namun demikian ada beberapa kegiatan gizi spesifik yang belum
dilaksanakan yaitu antara lain pemberian kalsium pada ibu hamil dan pemberian Zink pada anak,
selain itu cakupan dari kegiatan program spesifik masih rendah. Kegiatan gizi yang bersifat
sensitif pada dasarnya sudah dilaksanakan sejak lama sejak UPGK, namun masih perlu
ditingkatkan koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi di berbagai tingkat
administrasi (Kementrian Kesra, 2013).
Permasalahan yang dihadapi adalah kegiatan intervensi gizi masih bersifat sektoral khususnya
kesehatan, adanya persepsi bahwa masalah gizi merupakan tanggung jawab dari bidang kesehatan
saja, masalah gizi dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan saja, dan penanggulangan masalah gizi
bukan merupakan tanggung jawab dari pemerintah daerah.
Khusus dibidang sanitasi, sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, Indonesia pada saat
ini juga menghadapi masalah di bidang sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat. Sejak
diterapkan otonomi daerah pada Januari 2001, masalah sanitasi bukan lagi menjadi urusan
Pemerintah Pusat, tetapi menjadi urusan wajib bagi Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai UU No.
32/2004 tentang Otonomi Daerah. Akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak pemerintah
kabupaten/kota yang belum atau kurang mampu mengurus dan memecahkan masalah di bidang
sanitasi dan higiene. Seringkali bidang sanitasi dan higiene lebih merupakan isu pinggiran
(marginal) yang tidak memperoleh prioritas dalam pembangunan (Kemenkes, 2013b).
Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan akses sanitasi diantaranya adalah kesadaran
untuk PHBS rendah, masyarakat masih menganggap buang air besar sembarangan sebagai
sesuatu yang tidak salah, pembangunan jamban bukan prioritas dalam pengeluaran rumah tangga,
lahan untuk jamban komunal dan TPS/TPA sulit didapat karena lahan terbatas sedangkan
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan akses air bersih adalah 90% air permukaan tidak
layak, 85% air tanah tercemar tinja, 14,49% saluran drainase mengalir lambat, 32,68% rumah
tangga tanpa saluran drainase. Selain itu sumber air terkontaminasi sampah, buang sampah di
sungai dianggap sebagai warisan budaya (Kemenkes, 2013b).
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemanfaatan posyandu dengan kejadian stunting
pada baduta. Proporsi stunting pada baduta yang memanfaatkan posyandu dengan yang tidak
memanfaatkan didapati sama sebesar 35%. Sedangkan proporsi baduta yang stunting lebih rendah
(30,9%) pada yang memanfaatkan fasilitas kesehatan lainnya. Ini berarti kegiatan pemantauan
pertumbuhan di posyandu belum mampu untuk meningkatkan status stunting pada baduta
dibandingkan dengan fasilitas kesehatan lainnya (puskesmas, rumah sakit, dll).
Rendahnya partisipasi masyarakat untuk memanfaatkan posyandu bisa disebabkan oleh beberapa
faktor. Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasakan sakit
(disease but no illness) tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi
bila mereka terserang penyakit dan merasa sakit, maka akan timbul berbagai macam perilaku dan
usaha untuk mengobati penyakitnya tersebut. Green dalam Notoatmodjo (2012) mengatakan
bahwa perilaku masyarakat berkaitan dengan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yatu predisposisi, pemungkin, dan penguat.
Faktor predisposisi mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan. Agar anak
dipantau pertumbuhannya ke posyandu, diperlukan pengetahuan dan kesadaran orang tua tentang
manfaat memantau pertumbuhan anak ke posyandu. Masyarakat masih menganggap bahwa
posyandu merupakan kepanjangan pelayanan kesehatan sehingga ibu balita hanya datang ke
posyandu bila ada petugas kesehatan pada hari buka posyandu. Selama ini sebagian besar orang
tua yang membawa anaknya ke posyandu hanya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan saja
seperti imunisasi. Ketika umur anak sudah melewati masa pemberian imunisasi maka orang tua
tidak lagi datang ke posyandu karena merasa tidak memerlukan lagi pelayanan di posyandu.
Faktor pemungkin mencakup akses masyarakat terhadap fasilitas posyandu. Tidak adanya
posyandu, jauhnya jarak posyandu ke tempat tinggal atau hari buka posyandu yang tidak rutin
merupakan salah satu sebab mengapa orang tua tidak memanfaatkan posyandu. Akses terhadap
fasilitas pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan.
Faktor penguat meliputi ketersediaan sarana dan prasarana posyandu, keterampilan kader dalam
melakukan kegiatan pemantauan pertumbuhan dan penyuluhan yang masih rendah ditunjang
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
dengan sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas
kesehatan. Perangkat desa masih beranggapan bahwa posyandu adalah milik kesehatan. Toma
dan toga tidak banyak dilibatkan dalam proses sosialisasi, pelatihan maupun penanganan masalah
yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan posyandu. Tingkat partisipasi masyarakat untuk
datang ke posyandu sangat tergantung oleh pergerakan sasaran oleh tokoh masyarakat dan tokoh
agama.
Upaya pemecahan masalah rendahnya pemanfaatan posyandu adalah dengan meningkatkan
komitmen dan peran aktif para pemangku kepentingan dengan mengaktifkan kembali kegiatan
lokakarya mini diberbagai tingkatan mulai dari tingkat desa, puskesmas sampai ke tingkat
kabupaten/kota. Meningkatkan peran aktif organisasi kemasyarakatan, tokoh agama, tokoh
masyarakat, dan LSM melalui pemberian motivasi kepada masyarakat untuk hadir dalam kegiatan
posyandu serta membantu penggalangan dana untuk keperluan operasional posyandu.
Meningkatkan kemitraan dengan pelaku usaha melalui penggunaan bantuan Coorporate Social
Responsibility (CSR) atau sumber lainnya. Revitalisasi posyandu dengan peningkatan kapasitas
kader melalui pelatihan dan pembinaan secara berkelanjutan, peningkatan kualitas posyandu
melalui penambahan sarana penunjang kegiatan.
Faktor lain yang berhubungan dengan kejadian stunting pada baduta adalah jenis kelamin, umur,
dan berat lahir. Pada penelitian ini proporsi stunting semakin meningkat sesuai dengan
peningkatan umur baduta.
Baduta dengan kelompok umur 6-11 bulan mempunyai
kecenderungan untuk menderita stunting 1,1 kali
dan anak 12-23 bulan mempunyai
kecenderungan 1,6 kali untuk menderita stunting dibandingkan dengan baduta dengan kelompok
umur 0-5 bulan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meshram et al (2013),
Pramod Singh et al (2009), Nguyen Ngoc Hien & Nguyen Ngoc Hoa (2009), Ricci & Becker
(1996), yang menyatakan anak yang berada pada kelompok umur lebih muda mempunyai resiko
yang lebih rendah untuk menderita stunting dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih tua.
Anak perempuan mempunyai efek protektif untuk menderita stunting dibandingkan laki-laki.
Sejalan dengan hal tersebut, Meshram et al (2013), Nguyen Ngoc Hien & Nguyen Ngoc Hoa
(2009), Adair & Guilkey (1997) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa kejadian stunting
secara signifikan lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Baduta yang pada saat lahir beratnya dibawah 2500 gr mempunyai kecenderungan untuk
menderita stunting 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan baduta yang dilahirkan dengan berat
badan cukup. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ricci JA & Becker, (1996), Nguyen
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
Ngoc Hien & Nguyen Ngoc Hoa, (2009) yang menyatakan ada hubungan antara berat lahir
rendah dengan stunting pada anak.
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Indonesia masih mengalami masalah kesehatan masyarakat. Satu dari tiga baduta di Indonesia
menderita stunting (34,5%).
2. Faktor yang secara statistik berhubungan dengan kejadian stunting pada baduta adalah pola
asuh gizi berupa penyapihan, akses air bersih berupa sumber air terlindung, air mudah didapat
sepanjang tahun dan akses sanitasi berupa jenis jamban yang digunakan setelah dikontrol oleh
variabel umur anak.
a. Baduta yang tidak mempunyai akses terhadap sumber air terlindung mempunyai resiko
untuk menderita stunting 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan baduta yang
mempunyai akses terhadap sumber air terlindung setelah dikontrol variabel umur
b. Akses sanitasi yang kurang pada jenis jamban yang tidak layak meningkatkan resiko
untuk menderita stunting 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan baduta yang
menggunakan jamban yang layak setelah dikontrol umur anak.
c. Terdapat hubungan negatif antara anak yang disapih dan air mudah didapat sepanjang
tahun dengan kejadian stunting.
3. Faktor lain mempunyai hubungan dengan kejadian stunting pada baduta adalah umur, dan
jenis kelamin
a. Resiko stunting semakin meningkat seiring dengan peningkatan umur baduta. Baduta
pada kelompok umur 12-23 bulan mempunyai resiko 1,6 kali untuk menderita stunting
dibandingkan dengan baduta pada kelompok umur 0-5 bulan.
b. Berat lahir rendah meningkatkan resiko stunting 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
berat lahir cukup
c. Jenis kelamin perempuan mempunyai efek protektif terhadap kejadian stunting
dibandingkan laki-laki
Saran
Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Peningkatan akses sanitasi dan air bersih
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
Perlu adanya sosialisasi kembali STBM keseluruh jajaran pemerintahan untuk selanjutnya
melakukan advokasi regulasi maupun anggaran. Menjadikan PHBS dan STBM menjadi
kurikulum pendidikan di sekolah dapat juga dijadikan sebagai upaya dalam menanamkan
perilaku hidup bersih dan sehat pada usia dini.
2. Peningkatan status gizi remaja perempuan dan ibu hamil
Kejadian stunting pada baduta pada penelitin ini sangat dipengaruhi oleh berat lahir. Untuk itu
perlu adanya pendidikan persiapan perkawinan yang sehat ditinjau dari usia, dan kesehatan.
Untuk ibu hamil, suplementasi tablet besi, dan pemberian PMT-P tetap dilanjutkan hanya saja
perlu adanya peningkatan perencanaan dan pengawasan yang lebih baik.
Daftar Referensi
Adair LS. and Guilkey DK. (1997). Age-Speciļ¬c Determinants of Stunting in Filipino
Children. J. Nutr. 127: 314–320, 1997.jn.nutrition.org
Adisasmito W. Faktor risiko diare pada bayi dan balita di Indonesia: Systematic review
penelitian akademik bidang kesehatan masyarakat. Makara Kesehatan 2007; 11(1):1-10
Chandrakant L. (2008). The Lancet Series and Indian Perspective. Indian Pediatrics. Vol 45
April 17, 2008. www the lancet.com
Checkley W, et al. (2008). Multi Country Analysis of The Effect of Diarrhea on Childhood
Stunting. Int.J.Epidemol 2008; 37:816-830
Checkley W, Gilman RH, Black RE, Epstein LD, Cabrera L, Sterling CR, dan Moulton LH.
(2004). Effect of water and sanitation on childhood health in a poor Peruvian peri-urban
community. The lancet, vol 363, issue 9403, pages 112-118 Januari 2004
Departemen Kesehatan RI. (2008a). Gizi dalam Angka sampai dengan Tahun 2007.
Direktorat Jenderal
Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Irawati A. (2010). Inisiasi Menyusu Dini dan Faktor Determinannya Pada Anak Balita Di
Indonesia: Analisis Data Sekunder Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2007.
Penelitian Gizi dan Makanan 2010, 33(1):1-13. Puslitbang Gizi dan Makanan. Badan Litbang
Kesehatan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan RI (2013b). Road Map Percepatan Program STBM 2013-2015.
Direktorat Penyehatan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Kementrian Kesehatan RI
Kementrian Kesehatan RI (2011). Keputusan Mentri Kesehatan RI No
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Kemenkes RI
Kementrian Kesehatan RI. (2010a). Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat.Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Kementrian Kesehatan RI
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
Kementrian Kesehatan RI. (2010b). Riskesdas 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Kementrian Kesehatan RI
Kementrian Kesejahteraan Rakyat. (2013) Pedoman Perencanaan Program Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan-Gerakan
HPK RI
Kusharto Clara M. (2011). Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Gizi dan Kesmas:Tantangan &
intervensi gizi menghadapi krisis pangan global. IPB 2011
Masithah T, Soekirman, dan Martianto D. (2005). Hubungan Pola Asuh Makan dan
Kesehatan dengan Status Gizi Anak Batita di Desa Mulyaharja. http//repository ipb ac
id/handle/123456789/52287 diunduh tanggal 1 Januari 2014.
Meshram et al. (2013). Influence of Feeding Practise & Assosiated Factors on The
Nutritional Status of Infant in Rural Areas of Madhya Pradest State, India. Asia Pacific
Journal Public Health. XX(X):1-17, May 10 2013
Milman A, Frongillo EA, de Onis M, dan Ji-Yun Hwang. (2005). Differential Improvement
among Countries in Child Stunting in Assosiated with Long Term Development and Spesific
Interventions. The Journal of Nutrition. 135: 1415-1422:2005
Moehji S. (1988). Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Jakarta
Nguyen Ngoc Hien & Nguyen Ngoc Hoa. (2009). Nutritional Status and Determinant of
Malnutrition in Children Under Three Years of Age in Nghean, Vietnam. Pakistan Journal of
Nutrition. 8 (7):958-964,2009
Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta.
Partyka B, Whiting S, Grenured D, Archibald K, dan Quennel K (2010). Infant in Nutrition
on Saskatoon: Barrier to Infant Food Security. Canadian Journal of Dietetic Practice and
Research, 71 (2): 79-85.
Pramod Singh GC, Nair M, Grubesic, dan Connell. (2009). Factor Associated with
Underweight & Stunting among Children in Rural Terai of Eastern Nepal. Asia Pacific J.
Public Health, 2009; 21:144 (Publish online 26/2/2009)
Remans, R et al (2011). Multisector intervention to accelerate reductions in child stunting: an
observational study from 9 sub-Saharan African countries. Am J Clin Nut 2011; 94 : 1632–
42. www.ajcn.nutrition.org
Ricci Judith A and Becker Stan.(1996). Risk factors for wasting and stunting among children
in Metro Cebu, Philippines. Am J Clin Nuir l996;63:966-975.www.ajcn.org
Ruel, MT & Menon P.( 2002). Child Feeding Practice are Assosiated with Child Nutrition
Status in Latin America: Innnovative Uses of The Demographic and Health Surveys
(Abstrak). J.Nutr.132:1180-1187
Spears D, Ghosh A, & Cumming O. (2013). Open Defecation and Childhood Stunting in
India: An Ecological Analysis of New Data from 112 Districts. September 2013,Volume 8
,Issue 9. www. Plosone.org
Suhardjo. (1996). Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Bumi Aksara bekerjasama dengan Pusat
Antar Universitas-Pangan dan Gizi. IPB.Bogor
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
Unicef Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian, Air Bersih, Sanitasi,& Kebersihan, Oktober
2012. (www. Unicef.or.id)
Unicef. (1998) The State of The World’s Children. Unicef
Unicef. (2001) The State of The World’s Children. Unicef
United Nation (ACC/SCN) in collaboration with International Food Policy Researc Institue
(IFPRI).(2000). 4th Report on The World Nutrition Situation NutritionTtroughout Life Cycle
Victoria CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, dan Sachdev HS. (2008).
Maternal and Child Undernutition: Consequneces for Adult Helath and Human Capital. The
Lancet’s Series on Maternal and Child Undernutrition 2. www the lancet.com Vol 371 January
26, 2008
Widodo Y, Harahap H, Muljati S, dan Triwinarto A. (2003). Strategi Peningkatan Praktik
Pemberian Asi Eksklusif. Puslitbang Gizi dan Makanan. 2003. 26 (1) 31-38.)
World Bank. (2006) Repositioning nutrition as Central to Development, A Strategy For
Large-Scale Action
Pola Asuh..., Maya Adiyanti, FKM UI, 2014
Download