TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Karat Daun Krisan Penyakit karat pada krisan disebabkan oleh dua macam cendawan yaitu Puccinia chrysanthemi Roze (karat hitam) dan P. horiana Henn (karat putih). Di daerah tropis seperti Indonesia, serangan karat putih lebih umum dijumpai daripada karat hitam. Gejala serangan karat putih berupa bintil-bintil (pustul) putih pada permukaan bawah daun yang berisi telium (teliospora) cendawan dan terjadi lekukan-lekukan mendalam berwarna pucat pada permukaan daun bagian atas. Teliospora bersel dua dan berdinding tebal. Pada serangan lebih lanjut, penyakit ini dapat menghambat perkembangan bunga. Selain pada daun, penyakit ini juga terjadi pada kelopak dan bunga. Pengendalian penyakit ini antara lain dengan menggunakan varietas yang resisten, penyemprotan fungisida, dan menggunakan agens antagonis (EPPO 1983). Cendawan P. horiana merupakan cendawan obligat, tidak memiliki inang alternatif. Cendawan ini tidak dapat ditumbuhkan pada media artifisial seperti Potato Dextrose Agar (PDA). Spora cendawan ini dapat menyebar melalui angin, air, ataupun menempel pada berbagai permukaan. Ada dua jenis spora dari cendawan ini, yaitu teliospora dan basidiospora. Teliospora adalah bentuk spora bersel dua berdinding tebal yang tahan terhadap kondisi kering dan kondisi yang tidak menguntungkan. Spora ini dapat bertahan hingga delapan minggu pada kondisi yang tidak menguntungkan. Badiospora adalah struktur yang sensitif terhadap kekeringan. Basidiospora memerlukan kelembaban yang tinggi, sekitar 90% dan air untuk dapat berkecambah (Agrios 2005). Perkecambahan teliospora membutuhkan kondisi lingkungan dengan kelembaban 95% atau lebih, kisaran suhu antara 13 sampai 27 ° C, dengan suhu optimum 17 ° C. Basidiospora akan dilepaskan 2 sampai 6 jam setelah teliospora berkecambah dan akan segera berkecambah pada permukaan daun krisan jika terdapat air. Gejala akan muncul antara 9 sampai 10 hari pada kondisi rumah kaca. Siklus akan terjadi 7 hari setelah basidiospora berkecambah. Secara in vitro pustul akan muncul 20 hari setelah inokulasi pada kondisi gelap (Contreras & García, 2008). Proses perkecambahan teliospora diawali dengan pembentukan sel sporagen yang merupakan permulaan terbentuknya sel teliospora. Setelah terjadinya pembagian inti sel dan sekat menjadi dua, sehingga terbentuk teliospora yang memiliki dua sel dengan dua inti pada setiap selnya. Kematangan teliospora diikuti oleh meningkatnya kerapatan sitoplasma, menghilangnya vakuola, dan akumulasi kandungan lemak dan material glikogen. Selanjutnya terbentuk tabung kecambah dan diikuti dengan beberapa kali proses meiosis yang merupakan proses pemanjangan tabung kecambah. Tahapan selanjutnya adalah pembentukan basidiospora (Harder 1977). Kelembaban udara, suhu, dan inang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan (Contreras & García 2008). Teliospora merupakan bentuk spora yang mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Jika kelembaban udara mencapai 95% dan suhu udara mencapai 17 ºC yang merupakan suhu optimumnya, maka dormansi dari teliospora tersebut berhenti dan akan mulai berkecambah. Inang sangat erat kaitannya dengan sifat cendawan ini yang termasuk parasit obligat. Hal ini berarti keberadaan inang menjadi salah satu faktor penting karena cendawan ini tidak dapat hidup dan berkembang tanpa adanya inang. Pengendalian Hayati Pengendalian hayati atau biokontrol adalah pengurangan jumlah inokulum atau aktivitas terjadinya penyakit oleh patogen dengan menggunakan satu atau beberapa organisme lain selain manusia (Baker & Cook 1996). Aktivitas ini meliputi pengambatan pertumbuhan, kemampuan menginfeksi, keganasan, virulensi, dan berbagai aktivitas dari patogen lainnya. Proses infeksi, perkembangan gejala, dan reproduksi termasuk aktivitas yang dihambat dalam pengendalian hayati. Organisme yang digunakan dalam pengendalian hayati antara lain individu atau populasi yang avirulen atau hipovirulen yang terdapat pada spesies patogen tersebut, tanaman inang yang telah dimanipulasi secara genetik secara kultur teknis atau menggunakan organisme lain sehingga tanaman menjadi resisten terhadap patogen, dan yang terkakhir adalah antagonis yang merupakan musuh alami dari patogen. Oleh karena itu pengendalian hayati meliputi kultur teknis (manajemen habitat) yang dapat menciptakan lingkungan yang sesuai untuk antagonis, resistensi tanaman inang melalui pemulian tanaman yang dapat meningkatkan resistensi terhadap patogen atau sesuai dengan aktivitas antagonis, dan introduksi secara masal antagonis, strain yang nonpatogen, atau organisme yang menguntungkan lainnya. Mekanisme biokontrol dapat terjadi melalui hiperparasitisme atau predasi, antibiosis, produksi enzim litik dan senyawa-senyawa lain, serta kompetisi. Mekanisme biokontrol yang pertama adalah hiperparasitisme. Pada mekanisme ini, patogen diserang secara langsung. Agens biokontrol akan membunuh propagul atau patogen itu secara langsung. Secara umum hiperparasit terbagi menjadi empat kelompok besar yaitu bakteri patogen obligat, hipovirus, parasit fakultatif, dan predator. Mikroorganisme yang memiliki kemampuan predasi pada umumnya patogen yang menjadi targetnya tidak spesifik tetapi hasil pengendaliannya tidak dapat diprediksi. Antibiosis adalah mekanisme yang disebabkan oleh aktivitas antibiotik. Antibiotik adalah senyawa racun yang dihasilkan mikroorganisme dan konsentrasi rendah dapat meracuni atau membunuh mikroorganisme lainnya. Antibiotik yang diproduksi oleh mikroorganisme khususnya agens antagonis sangat efektif untuk menekan perkembangan patogen tanaman. Beberapa strain agens antagonis dapat menghasilkan beberapa antibiotik yang dapat menekan satu atau banyak patogen, contohnya adalah kelompok Bacillus dan Pseudomonas. Bacillus cereus strain UW85 yang memproduksi zwittermisin dan kanosamin. Agens antagonis Pseudomonas putida WC358r dapat memproduksi fenazin dan DAPG yang dapat menekan beberapa penyakit tanaman di lahan gandum (Glandorf et al. 2001). Mekanisme ketiga adalah produksi enzim litik dan senyawa-senyawa lainnya. Enzim litik ini memiliki kemampuan untuk menghidrolisis berbagai senyawa polimer seperti kitin, selulosa, hemiselulosa, protein, dan DNA. Senyawa-senyawa polimer tersebut merupakan bagian dari penyusun strukturstruktur sel patogen. Aktivitas dari enzim-enzim litik tersebut secara tidak langsung dapat menghambat patogen tanaman. Salah satu contohnya adalah Lysobacter dan Myxobacteria yang menghasilkan berbagai enzim litik dalam jumlah banyak dan beberapa isolat efektif dalam menekan cendawan patogen tanaman (Bull et al. 2002). Asam sianida dan senyawa volatil seperti amonia adalah senyawa lain yang dapat menghambat patogen tanaman selain enzimenzim litik. Mekanisme yang keempat adalah kompetisi. Bagi mikroorganisme, tanah dan permukaan tanaman menjadi habitat dengan keterbatasan nutrisi. Oleh karena itu, antar mikroorganisme yang ada saling berkompetisi untuk mendapatkan nutrisi agar dapat bertahan. Jika kompetisi ini melibatkan agens biokontrol dan patogen maka dapat berperan dalam menekan penyakit tanaman. Hal ini terjadi jika agens biokontrol dapat menguasai nutrisi yang tersedia dengan jumlah populasi yang melebihi populasi patogen. Nutrisi yang paling esensial adalah besi (Fe). Besi yang tersedia di alam tidak dapat larut dalam air dengan konsentrasi sangat rendah yaitu 10-18 Molar. Oleh karena itu agar dapat memanfaatkan Fe, mikroorganisme harus memiliki strategi tertentu untuk mendapatkannya. Siderofor adalah senyawa yang dapat mengikat Fe. Di alam, mekansimemekanisme tersebut dapat bekerja secara sinergis artinya dalam mengendalikan suatu penyakit empat mekanisme tersebut berperan (Baker & Cook 1996). Chromobacterium sp. Chromobacterium sp. adalah bakteri gram negatif yang hidup bebas dan banyak terdapat di tanah dan air pada daerah tropis sampai subtropis. Bakteri ini bersifat anaerobik fakultatif dan oksidase positif. Sebagai sumber energi, Chromobacterium sp. memfermentasi glukosa, sukrosa, trehalosa, N- asetilglukosamin, dan glukonat. Bakteri ini dapat ditumbuhkan pada media nutrient agar dengan bentuk koloni cembung datar dan licin dengan warna ungu karena memproduksi pigmen berwarna ungu yang disebut violacein. Namun pigmentasi ini bisa berbeda antara satu strain dengan strain lainnya. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada suhu 4 °C dan dapat tumbuh baik antara suhu 15 °C sampai 37 °C. Chromobacterium sp. bukan bakteri patogen manusia tetapi terkadang dapat menginfeksi manusia dan dapat menyebabkan luka di kulit yang disebut septisemia (Kaufman et al. 1986; Lee et al. 1999). Genom dari Chromobacterium sp. telah dikarakterisasi dan berpotensi untuk dikembangkan untuk beberapa aplikasi bioteknologi (Brazilian National Genome Project Consortium 2003). Aspek yang dapat dikembangkan antara lain detoksifikasi racun-racun yang ada di lingkungan, penghasil senyawa-senyawa yang bersifat antagonis terhadap hama dan penyakit tanaman, serta perakitan varietas tanaman yang tahan herbisida di bidang pertanian, penghasil antibiotik seperti fenazin dan antibiotik lainnya dengan potensi sebagai antitumor, hemolisin, dan antikoagulan di bidang kedokteran. Di bidang industri, bakteri ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan plastik yang dapat didegradasi dan juga menghasilkan selulosa. Senyawa-senyawa penting dan bersifat racun yang dihasilkan Chromobacterium sp. antara lain violacein, asam sianida (HCN), enzim kitinase, dan beberapa antibiotik (McClean et al. 1997; Durán & Menck 2001; Brazilian National Genome Project Consortium 2003). Violacein adalah turunan dari senyawa indol yang bersifat antitumor, antimikrobial, antiviral, dan antiparasit (Durán et al. 2007). Hidrogen sianida adalah senyawa yang dapat menghambat kerja dari enzim sitokrom c oksidase yang ditemukan pada membran mitokondria sel eukariot (Isom & Way 1984). Ikatan antara sianida dengan kompleks enzim ini akan mengganggu transfer elektron ke oksigen sehingga secara aerobik tidak dapat menghasilkan ATP untuk energi. Jadi senyawa ini dapat digunakan untuk mengontrol cendawan patogen yang merupakan organisme eukariot. Kitinase adalah enzim yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi senyawa kitin dan mekanisme kerjanya adalah menghidrolisis ikatan β-1,4 glikosidase yang menghubungkan monomer-monomer GlcNAc (N- asetilglukosamin). Enzim ini dapat menguraikan dinding sel cendawan dan hasil hidrolisisnya digunakan oleh bakteri kitinolitik sebagai sumber karbon, energi (oligosakarida), dan nitrogen (Chernin et al. 1995; Boer et al. 2001). Chromobacterium sp. menghasilkan beberapa antibiotik seperti fenazin yang dalam bidang kedokteran berpotensi sebagai antitumor sedangkan dalam bidang pertanian untuk mengendalikan cendawan patogen, hemolisin yang memiliki potensi sebagai antikoagulan, aztreonam yang merupakan antibiotik monobaktam dan aktif terhadap gram negatif yang aerobik, aerosianidin efektif untuk organisme gram positif, dan aerocavin yang efektif untuk gram negatif dan positif. Pigmen ungu violacein juga memiliki sifat antibiotik terhadap Amoeba dan Trypanosoma. Chromobacterium sp. berpotensi sebagai agens antagonis untuk patogen tanaman karena menghasilkan beberapa senyawa yang bersifat anticendawan seperti asam sianida (HCN), enzim kitinase, dan antibiotik fenazin. Rhizoctonia solani, Fusarium sp., Phomopsis sp., Cercospora kikuchi, Corynespora sp., Aspergillus sp, dan Colletotrichum sp. adalah cendawan-cedawan patogen yang berhasil dikendalikan oleh bakteri ini ( Barreto et al. 2008; Park et al. 2005). Analisis Genetika dengan Menggunakan Transposon Transposon adalah elemen DNA yang dapat meloncat dan menyisip pada DNA lain. DNA yang disisipi oleh transposon dapat mengalami mutasi dan akan dihasilkan banyak mutan. Hal ini terjadi karena transposon akan menyisip pada sekuens DNA secara random. Teknik ini dinamakan transposon mutagenesis. Transposon yang digunakan untuk mutagenesis memiliki beberapa syarat antara lain frekuensi untuk transposisi harus besar, memiliki target yang tidak spesifik, harus membawa sifat resistensi antibiotik tertentu, dan memiliki kisaran inang yang luas. Transposon Tn5 telah banyak digunakan dalam transposon mutagenesis khususnya untuk bakteri gram negatif dan telah dibuat beberapa turunannya dan disebut minitransposon. Turunan-turunan ini masing-masing membawa gen resisten antibiotik yang spesifik seperti kanamisin, kloramfenikol, streptomisinspektinomisin, dan tetrasiklin. Selain itu beberapa turunannya juga telah disisipi oleh beberapa gen lain yang berfungsi untuk berpindah dari sel donor serta ekspresi gen di dalam sel resipien (De Lorenzo et al. 1990). Menurut Goryshin & Reznikoff (1998) ada 3 makromolekul penting yang berhubungan dengan proses transposisi dari Tn5 ini. Ketiga makromolekul tersebut adalah DNA transposon yang terdapat pada DNA donor, transposase yang panjangnya 476 asam amino dan berperan dalam mengkatalis transposisi atau perpindahan DNA transposon ke DNA target. Makromolekul yang ketiga adalah urutan DNA target yang komplemen dengan DNA transposon. Sehingga ketiga komponen tersebut harus ada dalam proses transposisi. Salah satu transposon turunan dari Tn5 adalah transposon mini-Tn5Km1 (Herrero et al. 1990; De Lorenzo et al. 1990). Pada minitransposon terdapat gen pembawa sifat resistensi terhadap beberapa antibiotik seperti kanamisin, kloramfenikol, streptomisin-spektinomisin, dan tetratsiklin yang berfungsi sebagai penanda seleksi. A B Gambar 1 Plasmid pUT Mini-Tn5Km1. A. Peta plasmid pUT Mini-Tn5Km1. Transposon yang terdapat pada plasmid ini membawa sifat resistensi terhadap kanamisin. Gen pengkode transposase (tnp) berada di luar dari transposon dan plasmid ini memiliki gen pengkode untuk berpindah (mobRP4) dengan cara konjugasi. B. Peta situs restriksi dari Mini-Tn5Km1. Transposon ini memiliki situs kloning NotI yang memudahkan untuk proses kloning kloning yang diapit oleh dua sekuens yang berulang (IS) masing-masing sebanyak 19 pasang basa. Selain itu, pada transposon terdapat situs kloning yang sangat unik, yaitu NotI yang mempermudah proses kloning. Hal ini berarti bahwa transposon dapat dijadikan vektor kloning untuk penyisipan gen tertentu pada kromosom. Situs ini diapit oleh sekuens berulang sebanyak 19 pasang basa yang berasal dari transposon Tn5 (Gambar 1A). Enzim transposase dari transposon ini berada di luar bagian dari transposon. Transposase ini ini berada pada genom dari plasmid yang membawanya, yaitu pUT (Gambar 1B). Plasmid ini akan berpindah dari donor, yaitu bakteri pembawa plasmid pUT (Escherichia coli S17-1λλ pir) ke sel resipien melalui proses konjugasi. Setelah berpindah, transposase akan bekerja melompatkan transposon pada DNA genom resipien secara random. Plasmid pUT ini tidak akan bertahan lama pada sel resipien dan akhirnya hancur beserta transposase karena tidak akan direplikasi oleh sel resipien. Oleh karena itu, satu sel resipien dapat disisipi oleh minitransposon lainnya dan hanya dibatasi oleh kemampuan penanda seleksi yang berbeda-beda. Transposon mutagenesis adalah teknik yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi gen yang mengkode beberapa senyawa metabolisme dan fungsi khusus dari suatu organisme (Mills 1985). Dalam bidang biokontrol, Boucher et al. (1989) memanfaatkan transposon Tn5 untuk membuat mutan Pseudomonas solanacearum yang avirulen dan digunakan untuk mengendalikan bakteri yang virulen. Transposon ini juga dapat digunakan untuk mutasi fungsi dari suatu gen dan menyebabkan gen lain memproduksi senyawa tertentu secara terus menerus seperti yang dilakukan oleh Schnider et al. (1995) yaitu ekspresi dari gen pqq dihentikan sehingga bakteri tersebut dapat memproduksi antibiotik pyoluteorin secara terus menerus. Anderson et al. (2004) juga menggunakan Tn5 untuk mengkloning gen pengkode enzim protease ekstraselular dari P. fluorescens sehingga meningkatkan produksi antibiotik Pantoea agglomerans untuk mengendalikan Erwinia amylovora.