BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Karat Daun Krisan
Penyakit karat pada krisan disebabkan oleh dua macam cendawan yaitu
Puccinia chrysanthemi Roze (karat hitam) dan P. horiana Henn (karat putih). Di
daerah tropis seperti Indonesia, serangan karat putih lebih umum dijumpai
daripada karat hitam. Gejala serangan karat putih berupa bintil-bintil (pustul)
putih pada permukaan bawah daun yang berisi telium (teliospora) cendawan dan
terjadi lekukan-lekukan mendalam berwarna pucat pada permukaan daun bagian
atas. Teliospora bersel dua dan berdinding tebal. Pada serangan lebih lanjut,
penyakit ini dapat menghambat perkembangan bunga. Selain pada daun, penyakit
ini juga terjadi pada kelopak dan bunga. Pengendalian penyakit ini antara lain
dengan menggunakan varietas yang resisten, penyemprotan fungisida, dan
menggunakan agens antagonis (EPPO 1983).
Cendawan P. horiana merupakan cendawan obligat, tidak memiliki inang
alternatif. Cendawan ini tidak dapat ditumbuhkan pada media artifisial seperti
Potato Dextrose Agar (PDA). Spora cendawan ini dapat menyebar melalui angin,
air, ataupun menempel pada berbagai permukaan. Ada dua jenis spora dari
cendawan ini, yaitu teliospora dan basidiospora. Teliospora adalah bentuk spora
bersel dua berdinding tebal yang tahan terhadap kondisi kering dan kondisi yang
tidak menguntungkan. Spora ini dapat bertahan hingga delapan minggu pada
kondisi yang tidak menguntungkan. Badiospora adalah struktur yang sensitif
terhadap kekeringan. Basidiospora memerlukan kelembaban yang tinggi, sekitar
90% dan air untuk dapat berkecambah (Agrios 2005).
Perkecambahan teliospora membutuhkan kondisi lingkungan dengan
kelembaban 95% atau lebih, kisaran suhu antara 13 sampai 27 ° C, dengan suhu
optimum 17 ° C. Basidiospora akan dilepaskan 2 sampai 6 jam setelah teliospora
berkecambah dan akan segera berkecambah pada permukaan daun krisan jika
terdapat air. Gejala akan muncul antara 9 sampai 10 hari pada kondisi rumah kaca.
Siklus akan terjadi 7 hari setelah basidiospora berkecambah. Secara in vitro pustul
akan muncul 20 hari setelah inokulasi pada kondisi gelap (Contreras & García,
2008).
Proses perkecambahan teliospora diawali dengan pembentukan sel
sporagen yang merupakan permulaan terbentuknya sel teliospora. Setelah
terjadinya pembagian inti sel
dan sekat menjadi dua, sehingga terbentuk
teliospora yang memiliki dua sel dengan dua inti pada setiap selnya. Kematangan
teliospora diikuti oleh meningkatnya kerapatan sitoplasma, menghilangnya
vakuola, dan akumulasi kandungan lemak dan material glikogen. Selanjutnya
terbentuk tabung kecambah dan diikuti dengan beberapa kali proses meiosis yang
merupakan proses pemanjangan tabung kecambah. Tahapan selanjutnya adalah
pembentukan basidiospora (Harder 1977).
Kelembaban udara, suhu, dan inang merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkecambahan (Contreras & García 2008). Teliospora merupakan
bentuk spora yang mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan. Jika kelembaban udara mencapai 95% dan suhu udara mencapai
17 ºC yang merupakan suhu optimumnya, maka dormansi dari teliospora tersebut
berhenti dan akan mulai berkecambah. Inang sangat erat kaitannya dengan sifat
cendawan ini yang termasuk parasit obligat. Hal ini berarti keberadaan inang
menjadi salah satu faktor penting karena cendawan ini tidak dapat hidup dan
berkembang tanpa adanya inang.
Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati atau biokontrol adalah pengurangan jumlah inokulum
atau aktivitas terjadinya penyakit oleh patogen dengan menggunakan satu atau
beberapa organisme lain selain manusia (Baker & Cook 1996). Aktivitas ini
meliputi pengambatan pertumbuhan, kemampuan menginfeksi, keganasan,
virulensi, dan berbagai aktivitas dari patogen lainnya. Proses infeksi,
perkembangan gejala, dan reproduksi termasuk aktivitas yang dihambat dalam
pengendalian hayati. Organisme yang digunakan dalam pengendalian hayati
antara lain individu atau populasi yang avirulen atau hipovirulen yang terdapat
pada spesies patogen tersebut, tanaman inang yang telah dimanipulasi secara
genetik secara kultur teknis atau menggunakan organisme lain sehingga tanaman
menjadi resisten terhadap patogen, dan yang terkakhir adalah antagonis yang
merupakan musuh alami dari patogen. Oleh karena itu pengendalian hayati
meliputi kultur teknis (manajemen habitat) yang dapat menciptakan lingkungan
yang sesuai untuk antagonis, resistensi tanaman inang melalui pemulian tanaman
yang dapat meningkatkan resistensi terhadap patogen atau sesuai dengan aktivitas
antagonis, dan introduksi secara masal antagonis, strain yang nonpatogen, atau
organisme yang menguntungkan lainnya.
Mekanisme biokontrol dapat terjadi melalui hiperparasitisme atau predasi,
antibiosis, produksi enzim litik dan senyawa-senyawa lain, serta kompetisi.
Mekanisme biokontrol yang pertama adalah hiperparasitisme. Pada mekanisme
ini, patogen diserang secara langsung. Agens biokontrol akan membunuh
propagul atau patogen itu secara langsung. Secara umum hiperparasit terbagi
menjadi empat kelompok besar yaitu bakteri patogen obligat, hipovirus, parasit
fakultatif, dan predator. Mikroorganisme yang memiliki kemampuan predasi pada
umumnya patogen
yang menjadi targetnya tidak spesifik tetapi hasil
pengendaliannya tidak dapat diprediksi.
Antibiosis adalah mekanisme yang disebabkan oleh aktivitas antibiotik.
Antibiotik adalah senyawa racun yang dihasilkan mikroorganisme dan konsentrasi
rendah dapat meracuni atau membunuh mikroorganisme lainnya. Antibiotik yang
diproduksi oleh mikroorganisme khususnya agens antagonis sangat efektif untuk
menekan perkembangan patogen tanaman. Beberapa strain agens antagonis dapat
menghasilkan beberapa antibiotik yang dapat menekan satu atau banyak patogen,
contohnya adalah kelompok Bacillus dan Pseudomonas. Bacillus cereus strain
UW85 yang memproduksi zwittermisin dan kanosamin. Agens antagonis
Pseudomonas putida WC358r dapat memproduksi fenazin dan DAPG yang dapat
menekan beberapa penyakit tanaman di lahan gandum (Glandorf et al. 2001).
Mekanisme ketiga adalah produksi enzim litik dan senyawa-senyawa
lainnya. Enzim litik ini memiliki kemampuan untuk menghidrolisis berbagai
senyawa polimer seperti kitin, selulosa, hemiselulosa, protein, dan DNA.
Senyawa-senyawa polimer tersebut merupakan bagian dari penyusun strukturstruktur sel patogen. Aktivitas dari enzim-enzim litik tersebut secara tidak
langsung dapat menghambat patogen tanaman. Salah satu contohnya adalah
Lysobacter dan Myxobacteria yang menghasilkan berbagai enzim litik dalam
jumlah banyak dan beberapa isolat efektif dalam menekan cendawan patogen
tanaman (Bull et al. 2002). Asam sianida dan senyawa volatil seperti amonia
adalah senyawa lain yang dapat menghambat patogen tanaman selain enzimenzim litik.
Mekanisme yang keempat adalah kompetisi. Bagi mikroorganisme, tanah
dan permukaan tanaman menjadi habitat dengan keterbatasan nutrisi. Oleh karena
itu, antar mikroorganisme yang ada saling berkompetisi untuk mendapatkan
nutrisi agar dapat bertahan. Jika kompetisi ini melibatkan agens biokontrol dan
patogen maka dapat berperan dalam menekan penyakit tanaman. Hal ini terjadi
jika agens biokontrol dapat menguasai nutrisi yang tersedia dengan jumlah
populasi yang melebihi populasi patogen. Nutrisi yang paling esensial adalah besi
(Fe). Besi yang tersedia di alam tidak dapat larut dalam air dengan konsentrasi
sangat rendah yaitu 10-18 Molar. Oleh karena itu agar dapat memanfaatkan Fe,
mikroorganisme harus memiliki strategi tertentu untuk mendapatkannya.
Siderofor adalah senyawa yang dapat mengikat Fe. Di alam, mekansimemekanisme tersebut dapat bekerja secara sinergis artinya dalam mengendalikan
suatu penyakit empat mekanisme tersebut berperan (Baker & Cook 1996).
Chromobacterium sp.
Chromobacterium sp. adalah bakteri gram negatif yang hidup bebas dan
banyak terdapat di tanah dan air pada daerah tropis sampai subtropis. Bakteri ini
bersifat anaerobik fakultatif dan oksidase positif. Sebagai sumber energi,
Chromobacterium
sp.
memfermentasi
glukosa,
sukrosa,
trehalosa,
N-
asetilglukosamin, dan glukonat. Bakteri ini dapat ditumbuhkan pada media
nutrient agar dengan bentuk koloni cembung datar dan licin dengan warna ungu
karena memproduksi pigmen berwarna ungu yang disebut violacein. Namun
pigmentasi ini bisa berbeda antara satu strain dengan strain lainnya. Bakteri ini
tidak dapat tumbuh pada suhu 4 °C dan dapat tumbuh baik antara suhu 15 °C
sampai 37 °C. Chromobacterium sp. bukan bakteri patogen manusia tetapi
terkadang dapat menginfeksi manusia dan dapat menyebabkan luka di kulit yang
disebut septisemia (Kaufman et al. 1986; Lee et al. 1999).
Genom dari Chromobacterium sp. telah dikarakterisasi dan berpotensi
untuk dikembangkan untuk beberapa aplikasi bioteknologi (Brazilian National
Genome Project Consortium 2003). Aspek yang dapat dikembangkan antara lain
detoksifikasi racun-racun yang ada di lingkungan, penghasil senyawa-senyawa
yang bersifat antagonis terhadap hama dan penyakit tanaman, serta perakitan
varietas tanaman yang tahan herbisida di bidang pertanian, penghasil antibiotik
seperti fenazin dan antibiotik lainnya dengan potensi sebagai antitumor,
hemolisin, dan antikoagulan di bidang kedokteran. Di bidang industri, bakteri ini
dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan plastik yang dapat didegradasi dan juga
menghasilkan selulosa.
Senyawa-senyawa
penting
dan
bersifat
racun
yang
dihasilkan
Chromobacterium sp. antara lain violacein, asam sianida (HCN), enzim kitinase,
dan beberapa antibiotik (McClean et al. 1997; Durán & Menck 2001; Brazilian
National Genome Project Consortium 2003). Violacein adalah turunan dari
senyawa indol yang bersifat antitumor, antimikrobial, antiviral, dan antiparasit
(Durán et al. 2007). Hidrogen sianida adalah senyawa yang dapat menghambat
kerja dari enzim sitokrom c oksidase yang ditemukan pada membran mitokondria
sel eukariot (Isom & Way 1984). Ikatan antara sianida dengan kompleks enzim ini
akan mengganggu transfer elektron ke oksigen sehingga secara aerobik tidak
dapat menghasilkan ATP untuk energi. Jadi senyawa ini dapat digunakan untuk
mengontrol cendawan patogen yang merupakan organisme eukariot.
Kitinase adalah enzim yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi
senyawa kitin dan mekanisme kerjanya adalah menghidrolisis ikatan β-1,4
glikosidase
yang
menghubungkan
monomer-monomer
GlcNAc
(N-
asetilglukosamin). Enzim ini dapat menguraikan dinding sel cendawan dan hasil
hidrolisisnya digunakan oleh bakteri kitinolitik sebagai sumber karbon, energi
(oligosakarida), dan nitrogen (Chernin et al. 1995; Boer et al. 2001).
Chromobacterium sp. menghasilkan beberapa antibiotik seperti fenazin
yang dalam bidang kedokteran berpotensi sebagai antitumor sedangkan dalam
bidang pertanian untuk mengendalikan cendawan patogen, hemolisin yang
memiliki potensi sebagai antikoagulan, aztreonam yang merupakan antibiotik
monobaktam dan aktif terhadap gram negatif yang aerobik, aerosianidin efektif
untuk organisme gram positif, dan aerocavin yang efektif untuk gram negatif dan
positif. Pigmen ungu violacein juga memiliki sifat antibiotik terhadap Amoeba dan
Trypanosoma.
Chromobacterium sp. berpotensi sebagai agens antagonis untuk patogen
tanaman karena menghasilkan beberapa senyawa yang bersifat anticendawan
seperti asam sianida (HCN), enzim kitinase, dan antibiotik fenazin. Rhizoctonia
solani, Fusarium sp., Phomopsis sp., Cercospora kikuchi, Corynespora sp.,
Aspergillus sp, dan Colletotrichum sp. adalah cendawan-cedawan patogen yang
berhasil dikendalikan oleh bakteri ini ( Barreto et al. 2008; Park et al. 2005).
Analisis Genetika dengan Menggunakan Transposon
Transposon adalah elemen DNA yang dapat meloncat dan menyisip pada
DNA lain. DNA yang disisipi oleh transposon dapat mengalami mutasi dan akan
dihasilkan banyak mutan. Hal ini terjadi karena transposon akan menyisip pada
sekuens DNA secara random. Teknik ini dinamakan transposon mutagenesis.
Transposon yang digunakan untuk mutagenesis memiliki beberapa syarat antara
lain frekuensi untuk transposisi harus besar, memiliki target yang tidak spesifik,
harus membawa sifat resistensi antibiotik tertentu, dan memiliki kisaran inang
yang luas.
Transposon Tn5 telah banyak digunakan dalam transposon mutagenesis
khususnya untuk bakteri gram negatif dan telah dibuat beberapa turunannya dan
disebut minitransposon. Turunan-turunan ini masing-masing membawa gen
resisten antibiotik yang spesifik seperti kanamisin, kloramfenikol, streptomisinspektinomisin, dan tetrasiklin. Selain itu beberapa turunannya juga telah disisipi
oleh beberapa gen lain yang berfungsi untuk berpindah dari sel donor serta
ekspresi gen di dalam sel resipien (De Lorenzo et al. 1990).
Menurut Goryshin & Reznikoff (1998) ada 3 makromolekul penting yang
berhubungan dengan proses transposisi dari Tn5 ini. Ketiga makromolekul
tersebut adalah DNA transposon yang terdapat pada DNA donor, transposase
yang panjangnya 476 asam amino dan berperan dalam mengkatalis transposisi
atau perpindahan DNA transposon ke DNA target. Makromolekul yang ketiga
adalah urutan DNA target yang komplemen dengan DNA transposon. Sehingga
ketiga komponen tersebut harus ada dalam proses transposisi.
Salah satu transposon turunan dari Tn5 adalah transposon mini-Tn5Km1
(Herrero et al. 1990; De Lorenzo et al. 1990). Pada minitransposon terdapat gen
pembawa sifat resistensi terhadap beberapa antibiotik seperti kanamisin,
kloramfenikol, streptomisin-spektinomisin, dan tetratsiklin yang berfungsi sebagai
penanda seleksi.
A
B
Gambar 1 Plasmid pUT Mini-Tn5Km1. A. Peta plasmid pUT Mini-Tn5Km1. Transposon
yang terdapat pada plasmid ini membawa sifat resistensi terhadap kanamisin. Gen
pengkode transposase (tnp) berada di luar dari transposon dan plasmid ini
memiliki gen pengkode untuk berpindah (mobRP4) dengan cara konjugasi. B.
Peta situs restriksi dari Mini-Tn5Km1. Transposon ini memiliki situs kloning
NotI yang memudahkan untuk proses kloning
kloning yang diapit oleh dua sekuens yang
berulang (IS) masing-masing sebanyak 19 pasang basa.
Selain itu, pada transposon terdapat situs kloning yang sangat unik, yaitu
NotI yang mempermudah proses kloning. Hal ini berarti bahwa transposon dapat
dijadikan vektor kloning untuk penyisipan gen tertentu pada kromosom. Situs ini
diapit oleh sekuens berulang sebanyak 19 pasang basa yang berasal dari
transposon Tn5 (Gambar 1A). Enzim transposase dari transposon ini berada di
luar bagian dari transposon. Transposase ini
ini berada pada genom dari plasmid yang
membawanya, yaitu pUT (Gambar 1B). Plasmid ini akan berpindah dari donor,
yaitu bakteri pembawa plasmid pUT (Escherichia coli S17-1λλ pir) ke sel resipien
melalui proses konjugasi. Setelah berpindah, transposase akan bekerja
melompatkan transposon pada DNA genom resipien secara random. Plasmid pUT
ini tidak akan bertahan lama pada sel resipien dan akhirnya hancur beserta
transposase karena tidak akan direplikasi oleh sel resipien. Oleh karena itu, satu
sel resipien dapat disisipi oleh minitransposon lainnya dan hanya dibatasi oleh
kemampuan penanda seleksi yang berbeda-beda.
Transposon mutagenesis adalah teknik yang banyak digunakan untuk
mengidentifikasi gen yang mengkode beberapa senyawa metabolisme dan fungsi
khusus dari suatu organisme (Mills 1985). Dalam bidang biokontrol, Boucher et
al. (1989) memanfaatkan transposon Tn5 untuk membuat mutan Pseudomonas
solanacearum yang avirulen dan digunakan untuk mengendalikan bakteri yang
virulen. Transposon ini juga dapat digunakan untuk mutasi fungsi dari suatu gen
dan menyebabkan gen lain memproduksi senyawa tertentu secara terus menerus
seperti yang dilakukan oleh Schnider et al. (1995) yaitu ekspresi dari gen pqq
dihentikan sehingga bakteri tersebut dapat memproduksi antibiotik pyoluteorin
secara terus menerus. Anderson et al. (2004) juga menggunakan Tn5 untuk
mengkloning gen pengkode enzim protease ekstraselular dari P. fluorescens
sehingga meningkatkan produksi antibiotik Pantoea agglomerans untuk
mengendalikan Erwinia amylovora.
Download