BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi ini, setiap perusahaan berusaha meningkatkan dan
mengembangkan perusahaan dengan mengadakan berbagai cara yang tersusun
dalam program untuk meningkat produktivitas. Dalam hal ini Kemajuan ilmu
pengetahuan yang semakin pesat terutama dalam bidang teknologi sangatlah
berperan, namun ini dapat menurunkan penggunaan tenaga manusia dalam bidang
industri.
Dengan
diketemukannya
mesin-mesin
serta
penggunaanya
telah
mendesak fungsi dari tenaga manusia di dalam kerja. Sekalipun demikian tenaga
manusia tetap memegang peranan yang cukup penting. Betapapun sempurnanya
peralatan dan mesin mesin kerja suatu perusahaan namun tetap dibutuhkan tenaga
manusia didalam mencapai tujuan perusahaan atau sering kita sebut sumber daya
manusia.
Sumber daya manusia merupakan sumber daya organisasi selain sumber daya
alam dan sumber daya modal. Sumber daya manusia harus dikelola dengan hatihati, karena masing-masing manusia mempunyai cipta, rasa dan karsa yang
membentuk sikap. Sikap inilah yang kemudian mendasari manusia dalam tingkah
laku dan perbuatan manusia sehari-harinya.
Agar sumber daya manusia dapat memberikan kontribusi yang optimum
terhadap kemajuan perusahaan, diperlukan manajemen sumber daya manusia.
Pengertian manajemen sumber daya manusia atau manajemen personalia menurut
2
Edwin B. Flippo (1990:5) adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan
kegiatan-kegiatan
pengadaan,
pengembangan,
pemberian
kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia
agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.
Dari pengertian manajemen sumber daya manusia di atas dapat diketahui
bahwa fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia di dalam organisasi pada
dasarnya
sama
dengan
fungsi-fungsi
manajemen
pada
umumnya,
hanya
penekanannya pada sumber daya manusia.
Di dalam perusahaan, sumber daya manusia dapat berupa pemilik perusahaan
dan karyawan perusahaan. Pemilik perusahaan merupakan orang yang memiliki
semua sumber daya perusahaan. Karyawan perusahaan merupakan orang-orang
yang secara langsung melakukan kerja di dalam perusahaan. Dalam uraian ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor sumber daya manusia ternyata cukup berperan
dalam mencapai hasil sesuai dengan tujuan perusahaan.
Suatu perusahaan atau organisasi harus memperhatikan aspek sumber daya
manusia yang dimilikinya agar terciptanya karyawan yang profesional, tangguh,
cerdas dan berpandangan ke depan. Karyawan sebagai sumber daya yang paling
berharga dimiliki oleh suatu perusahaan diharapkan dapat memberikan kontribusi
yang besar terhadap kemajuan perusahaan tersebut dalam mensiasati perubahan
zaman ini,
karena untuk
mewujudkan tujuan perusahaan seluruh kegiatan
perusahaan melibatkan manusia yaitu karyawan di dalamnya. Jika kualitas sumber
daya manusia tidak diperhatikan, maka perusahaan akan mengalami penurunan
3
kinerja
yang
berdampak
pada merosotnya kinerja karyawan pada suatu
perusahaan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah gaya
kepemimpinan dari seorang atasan atau manajer pada suatu perusahaan. Dalam
membawa anak buahnya untuk mencapai kinerja secara maksimal seorang
pemimpin hendaknya menggunakan gaya kepemimpinan yang dapat membawa
perusahan untuk maju dan dapat berkembang berdasarkan visi, misi dan tujuan
bersama. Dengan adanya hal ini pemimpin dituntut oleh organisasi untuk bisa
fleksibel dalam menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat.
Mulyadi dan
Rivai (2009 : 107) menerangkan bahwa gaya kepemimpinan
merupakan pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh
seorang pemimpin dalam rangka mencapai sasaran organisasi. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan yaitu pola perilaku dan strategi
yang disukai dan sering diterapkan pemimpin, dengan menyatukan tujuan
organisasi dengan tujuan individu atau pegawai, dalam rangka mencapai tujuan
atau sasaran yang telah menjadi komitmen bersama. Pendapat yang dikemukakan
oleh Hersey dan Blanchard
menyebutkan bahwasanya gaya kepemimpinan
bukanlah soal bagaimana pendapat pemimpin tentang perilaku mereka sendiri
dalam memimpin, tetapi bagaimana persepsi orang lain, terutama bawahannya,
tentang perilaku pemimpinnya.
Gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi kondisi
kerja, sehingga akan berhubungan dengan bagaimana karyawan menerima suatu
gaya kepemimpinan, penerimaan tersebut dapat berupa persepsi bawahan untuk
4
senang atau tidak, suka atau tidak, yang mana nantinya akan berpengaruh pada
saat karyawan melakukan pekerjannya. Sehingga gaya kepemimpinan tertentu
dapat menyebabkan peningkatan kinerja disisi lain dapat menyebabkan penurunan
kinerja.
Kepemimpinan akan berpengaruh terhadap perilaku dan kinerja baik secara
individual,
bawahan
kelompok
maupun
berhasil menjalankan
organisasi secara keseluruhan.
Sejauh mana
tugas sangat tergantung pada peran yang
dimainkan pemimpin dan keberhasilan seorang pemimpin akan tampak pada
tingkat kinerja karyawan.
PT Cemara Agung Mandiri yang merupakan salah satu perusahaan tekstil
yang terletak di Jalan Raya Cicalengka KM.21 Kabupaten Bandung yang
bertujuan “ Menjadi Perusahaan Tekstil Terdepan di Kabupaten Bandung Pada
Tahun 2020” ini pun tidak terlepas dari permasalahan organisasi yang berkaitan
langsung
dengan
karyawan
khususnya
dalam
masalah
kepemimpinan
organisasinya.
Proses kepemimpinan yang terjadi di PT Cemara Agung Mandiri Cicalengka
selama penulis
melakukan pengamatan melalui studi pendahuluan serta informasi
yang diperoleh melalui wawancara dengan Manajer serta Asisten Personalia
perusahaan, mengalami permasalahan yang cukup serius. Hal ini dapat dilihat dari
struktur kepemimpinan yang sudah bertahun-tahun lamanya, tepatnya selama 11
(sebelas) tahun tidak mengalami perubahan di jajaran middle dan lower
manajemennya.
5
“Karyawan disini banyak mengeluh ke bagian personalia karena kurang
mendapat perhatian dari para atasannya, sehingga kami terus yang harus
menangani permasalahan mereka, karena kami dianggap sebagai salah satu atasan
yang mau mendengar keluhan serta memberikan solusi terbaik, padahal di setiap
bagian ada kepala staff yang bertugas memberi laporan kepada kami apa-apa saja
yang terjadi terhadap karyawan dibawahnya” (pernyataan Agus Gustiara, S.H. ,
Manajer Personalia PT Cemara Agung Mandiri saat dilakukan wawancara pada
studi studi pendahuluan tanggal 04 Juni 2013)
Hal lain yang menjadi indikator dari kinerja karyawan adalah pemanfaatan
waktu kerja (Mathins : 2002). Menurut Rusmiyati (Asisten Personalia PT Cemara
Agung Mandiri), banyak karyawan yang melakukan absen beberapa menit lebih
lambat daripada jadwal masuk kerja yang sudah ditetapkan oleh perusahaan.
Perusahaan beroperasi sejak pukul 08.00-16.00 WIB, akan tetapi banyak
karyawan yang mengetuk absen pada pukul 08.15-08.20 WIB. Hal ini sungguh
merugikan perusahaan terlebih perusahaan memiliki target produksi yang harus
dicapai pada hari tersebut. Telat beberapa menit pun akan sangat merugikan
perusahaan. Setelah ditelusuri, hal ini diakibatkan oleh beberapa hal. Salah
satunya adalah sikap para pimpinan yang juga sering tidak tepat waktu dalam
kedatangannya.
Kesimpulan
ini
diperoleh
karena
banyak
karyawan
yang
mengeluh kepada bagian personalia.
Indikator kinerja selanjutnya adalah kuantitas kerja (Mathins : 2002) yang
merupakan volume kerja yang dihasilkan di bawah kondisi normal. Produksi
6
tahunan yang dihasilkan PT Cemara Agung Mandiri dapat kita lihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 1.1
Data Produksi PT Cemara Agung Mandiri selama 3 (tiga) tahun terakhir
Tahun Produksi
Jenis Kain
2010
2011
2012
Cotton
5.000.000 m
4.997.000 m
4.800.000 m
Polyster
7.000.000 m
6.800.000 m
6.700.000 m
Sumber : Data Base Personalia PT Cemara Agung Mandiri
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa terjadi penurunan volume produksi
pada PT Cemara Agung Mandiri. Hal ini dapat diakibatkan dari penerapan gaya
kepemimpinan yang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan serta kondisi
karyawan
di
PT
Cemara
Agung
Mandiri
sehingga
menurunkan
tingkat
produktivitas perusahaan.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat kita cermati bahwa pemimpin yang baik
tidak hanya mampu untuk tetap mempertahankan bisnis perusahaan, akan tetapi ia
dapat berinteraksi secara baik dengan bawahannya melalui keputusan – keputusan
yang diambil secara konsisten dan sekaligus ia dapat memahami kondisi bawahannya.
Ketika seorang bawahan melakukan suatu pekerjaan, tentunya akan dilatar
belakangi oleh kemampuan yang dimiliki dan bagaimana ia berinteraksi dengan
peralatan kerja yang mendukung kemampuannya tersebut untuk dapat mencapai
tujuan. Hal ini yang disebut dengan kerja. Disamping faktor kemampuan dan
7
fasilitas yang digunakan dalam menunjang pekerjaan, faktor terpenting lainnya
yakni seseorang yang berada dalam posisi tersebut dapat bekerja dibawah
naungan seseorang yaitu pemimpin.
Naungan seorang pemimpin untuk membimbing bawahannya bahkan untuk
sekedar menyuruh akan sangat berdampak psikis bagi seorang bawahan. Bila
pemimpin memberikan suatu tugas pada bawahan untuk melakukan suatu
pekerjaan dengann cara yang kurang baik, misalkan membentak, bias jadi
bawahan bukan tidak bisa untuk melakukan pekerjaan tersebut akan tetapi secara
tidak langsung ia akan merasa bahwasanya pemimpinnya memberi contoh yang
tidak baik dan bawahanpun akan malas untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Begitu juga tercantum pada Al Quran bahwasanya pemimpin yang beriman
harus berpegang teguh pada firman Allah SWT di dalam surat Al Baqarah ayat
147 :
‫ين‬
َ ‫ق ِمنْ َربِّ َك فَال تَ ُكونَ َّن ِم َن ا ْل ُم ْمتَ ِر‬
ُّ ‫ا ْل َح‬
Artinya : Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu.(QS: Al Baqarah ayat 147).
Pemimpin
berpegang
teguh
dan
terus menerus berusaha menegakkan
kebenaran dan berdasarkan tuntunan ajaran islam akan disegani, dihormati, dan
dipatuhi. Disamping itu karena merupakan perwujudan iman/ ketaqwaan, maka
sesuai dengan janji Allah bahwa pemimpin tersebut akan mendapat tempat yang
mulia disisi Allah SWT. Seperti yang tercantum pada agama bahwasanya
pemimpin baik bukan hanya bisa bertanggung jawab diakhirat akan tetapi ia
bertanggung jawab didunia dengan selalu mengamalkan perbuatan baik untuk
8
memajukan perusahaan agar lebih dikenal masyarakat dengan produk terbaik yang
dihasilkan akan tetapi juga para pemimpin dan karyawan yang bertanggung
jawab.
Di sisi lain bekerja bagi seorang muslim adalah salah satu upaya yang
sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan zikirnya untuk
mengaktualissikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
dapat menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat terbaik. Secara lebih
hakiki, bekerja bagi seorang muslim merupakan suatu ibadah, bukti pengabdian
dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan ilahi agar mampu
menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian
bagi mereka yang memiliki etos terbaik.
Dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan, sedangkan pada penelitian
lainnya dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap
kinerja karyawan.
Menurut
Fathorrahman
(2006)
dalam penelitiannya yang berjudul :
“Pengaruh Budaya Organisasi, Kemampuan Individu, Gaya Kepemimpinan dan
Motivasi terhadap Prestasi Kerja Pembina Tebu Rakyat Intensifikasi. (Effect of
Organizational Culture, Individual Ability, Leadership Styles and Motivation
Toward Achievement Working People Sugarcane Intensification of Trustees)”
menyatakan bahwa prestasi kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh motivasi
kerja
dan
kemampuan
individu.
Pengaruhnya
signifikan
dan
mempunyai
9
hubungan
positif.
Sedangkan
gaya
kepemimpinan
dan
budaya
organisasi
“Pengaruh
Perilaku
berpengaruh negatif terhadap prestasi kerja karyawan.
Ulfa
(2010)
melakukan
penelitian
dengan
judul
Kepemimpinan Situasional Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada PT. Bank
Syariah Bukopin Bukopin Cabang Medan Jl. S.Parman No.77 Medan). Dari hasil
penelitian tersebut, menunjukkan bahwa: Hasil penghitungan koefisien korelasi
product moment sebesar 0,830 bernilai positif, hal ini memperlihatkan bahwa
koefisien korelasi yang diperoleh adalah positif. Hal ini berarti ada hubungan
antara perilaku kepemimpinan situasional terhadap kinerja karyawan pada PT
Bank Syariah Bukopin Cabang Medan.
Dan menurut
Soegihartono (2011)
pada penelitiannya yang berjudul
“Pengaruh Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja dengan Mediasi
Komitmen (di PT Alam Kayu Sakti Semarang)” menyatakan bahwa penelitian ini
dapat membuktikan kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja. Ini
sesuai dengan teorinya Bass (1990).
Berdasarkan permasalahan yang terjadi pada PT Cemara Agung Mandiri di
atas dan gambaran akan pentingnya kepemimpinan dalam menunjang kinerja
karyawan serta adanya perbedaan dari hasil penelitian yang dilakukan maka
penulis
tertarik
melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH GAYA
KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN”
1.2 Identifikasi Masalah
10
Lewin, Lippitt, dan White (Dunford, 1995), pada tahun 30-an melakukan studi
terkait dengan tingkat keketatan pengendalian, dan melahirkan terminologi gaya
kepemimpinan autocratic, democratic, dan laissez-faire.
Kepemimpinan otokratis merujuk kepada tingkat pengendalian yang tinggi
tanpa kebebasan dan partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan. Pemimpin
bersifat otoriter, tidak bersedia mendelegasikan wewenang dan tidak menyukai
partisipasi anggota.
Kepemimpinan
demokratik
merujuk
kepada
tingkat
pengendalian
yang
longgar, namun pemimpin sangat aktif dalam menstimulasi diskusi kelompok dan
pengambilan keputusan kelompok, kebijakan atau keputusan diambil bersama,
komunikasi berlangsung timbal balik, dan prakarsa dapat berasal dari pimpinan
maupun dari anggota.
Kepemimpinan laissez-faire, menyerahkan atau membiarkan anggota untuk
mengambil keputusan sendiri, pemimpin memainkan peran pasif, dan hampir
tidak ada pengendalian/pengawasan, sehingga keberhasilan organisasi ditentukan
oleh individu atau orang per orang.
Penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai dan tepat tentu akan sangat
berpengaruh
terhadap
produktivitas
perusahaan
terutama
terhadap
kinerja
karyawannya. Ketiga gaya kepemimpinan diatas adalah beberapa dari banyaknya
teori dalam gaya kepemimpinan. PT Cemara Agung Mandiri tentu sangat
membutuhkan gaya kepemimpinan yang sesuai. Tiga gaya kepemimpinan diatas
diharap
dapat menjadi salah satu gaya kepemimpinan yang sesuai untuk
11
diterapkan pada perusahaan untuk lebih meningkatkatkan produktivitas di segala
lini.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan di
atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan berikut :
1. Seberapa besar pengaruh gaya kepemimpinan demokratik terhadap kinerja
karyawan PT Cemara Agung Mandiri Cicalengka?
2. Seberapa besar pengaruh gaya kepemimpinan autokratik terhadap kinerja
karyawan PT Cemara Agung Mandiri Cicalengka?
3. Seberapa besar pengaruh gaya kepemimpinan laissez faire terhadap kinerja
karyawan PT Cemara Agung Mandiri Cicalengka?
1.4 Tujuan penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui
besarnya
pengaruh
gaya
kepemimpinan
demokratik
terhadap kinerja karyawan PT Cemara Agung Mandiri Cicalengka
2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh gaya kepemimpinan autokratik terhadap
kinerja karyawan PT Cemara Agung Mandiri Cicalengka
3. Untuk
mengetahui besarnya pengaruh gaya kepemimpinan laissez faire
terhadap kinerja karyawan PT Cemara Agung Mandiri Cicalengka
12
1.5 Kegunaan Penelitian
1. Akademis
Penulis berharap bahwa penelitian ini bisa dijadikan bahan untuk penelitian
lebih lanjut dan disamping itu hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi
mahasiswa yang akan menulis laporan penelitian dikemudian hari.
2. Praktis
a. Bagi penulis
Bagi penulis penelitian ini berguna untuk mengetahui sampai sejauh mana
ilmu
yang telah dipelajari selama dibangku perkuliahan.
Serta bagaimana
mengimplementasikan dalam dunia nyata. Disamping itu dapat juga menambah
wawasan bagi penulis tentang pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja
karyawan.
b. Untuk Perusahaan
Untuk perusahaan melalui hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini,
diharapkan membantu para manajer sebagai bahan acuan untuk dapat terus
meningkatkan kepemimpinan yang
efektif untuk meningkatkan kinerja karyawan
sehingga menguntungkan perusahaan.
c. Untuk Lembaga
Untuk lembaga, kegunaan penelitian ini adalah untuk lebih memperkenalkan
lembaga ke dunia luar. Disamping itu hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi
bagi mahasiswa yang akan menulis laporan penelitian dikemudian hari.
13
1.6 Kerangka Pemikiran
Gaya Kepemimpinan Autokratik, disebut juga kepemimpinan direktif atau
diktator.
Menurut
kepemimpinan
yang
Rivai
(2003),
menggunakan
kepemimpinan
metode
autokratis
pendekatan
adalah
kekuasaan
gaya
dalam
mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang
paling diuntungkan dalam organisasi (p. 61). Robbins dan Coulter (2002)
menyatakan gaya kepemimpinan autokratis mendeskripsikan pemimpin yang
cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana
tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi
partisipasi karyawan (p. 460). Lebih lanjut Sukanto (1987) menyebutkan ciri-ciri
gaya kepemimpinan autokratis (pp. 196-198)
1. Semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin.
2. Teknik dan langkah-langkah kegiatannya didikte oleh atasan setiap waktu,
sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk
tingkatan yang luas.
3. Pemimpin biasanya membagi tugas kerja bagian dan kerjasama setiap
anggota.
Sedangkan menurut Handoko dan Reksohadiprodjo (1997) ciri-ciri gaya
kepemimpinan autokratis (p. 304):
1. Pemimpin kurang memperhatikan kebutuhan bawahan.
2. Komunikasi hanya satu arah yaitu kebawah saja.
3. Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan kecamannya
terhadap kerja setiap anggota.
14
4. Pemimpin mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila
menunjukan keahliannya
Dalam penerapannya
dilapangan,
gaya kepemimpinan ini akan sangat
menonjolkan sikap kepemimpinan atasan yang memiliki kekuasaan mutlak untuk
menentukan kebijakan serta keputusan yang menurutnya terbaik bagi perusahaan.
Kepemimpinan ini tidak terlalu memperhatikan aspirasi dari para karyawannya
sehingga terkadang keputusan yang diambil tidak sesuai dengan keinginan
karyawan bahkan merugikan bagi karyawan itu sendiri. Keunggulan dari gaya
kepemimpinan ini adalah pemimpin dapat secara cepat memutuskan hal yang
dianggap sangat penting bagi perusahaan disaat musyawarah sudah tidak mungkin
lagi untuk dilaksanakan sehingga banyak menyelamatkan keberlangsungan hidup
perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan Amaliah pada tahun 2011 dengan
judul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT
Katingan Timber Celebes Bagian Produksi” memberikan gambaran gaya
kepemimpinan otoriter hanya mampu memberi nilai pengaruh sebesar 17,5%,
yang mempunyai arti bahwa apabila pimpinan mengadopsi gaya kepemimpinan
otoriter , maka akan mendorong peningkatan kinerja karyawan sebesar 17,5%.
Nilai tingkat keeratan hubungan antara gaya kepemimpimpinan otoriter terhadap
kinerja, dikategorikan sebagai hubungan yang sangat lemah . Sangat lemahnya
hubungan ini mengindikasikan bahwa pada umumnya karyawan tidak setuju
apabila pimpinan menerapkan gaya tersebut.
15
Gaya Kepemimpinan Demokratik, ditandai oleh adanya suatu struktur yang
pengembangannya
menggunakan
pendekatan
pengambilan
keputusan
yang
kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratik bawahan cenderung bermoral
tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri
sendiri. Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratik
mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam
pengambilan
keputusan,
mendelegasikan
kekuasaan,
mendorong
partisipasi
karyawan dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin
dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih
karyawan(p. 460). Jerris (1999) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang
menghargai
kemampuan
karyawan
untuk
mendistribusikan
knowledge
dan
kreativitas untuk meningkatkan servis, mengembangkan usaha, dan menghasilkan
banyak keuntungan dapat menjadi motivator bagi karyawan dalam bekerja
(p.203).
Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratik (Sukanto, 1987, pp. 196-198):
1. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil
dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin.
2. Kegiatan-kegiatan
didiskusikan,
langkah-langkah
umum
untuk
tujuan
kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin
menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan
pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.
16
Lebih
lanjut
ciri-ciri
gaya
kepemimpinan
demokratik
(Handoko
dan
Reksohadiprodjo, 1997, p. 304):
1. Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.
3. Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan kecamannya
dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan
semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan.
Dalam penerapannya dilapangan, kepemimpinan ini sangat memperhatikan
aspirasi dari setiap karyawannya sehingga pengambilan kebijakan atau keputusan
perusahaan sering dilakukan secara musyawarah. Hal ini membuat karyawan
berperan aktif sehingga tingkat penolakan terhadap kebijakan perusahaan sedikit
berkurang. Kelemahan dari kepemimpinan ini, dibutuhkan waktu yang cukup
lama bagi pimpinan untuk menentukan kebijakan karena harus memperhatikan
aspirasi yang berkembang pada karyawan. Masih pada penelitian yang dilakukan
Amaliah pada tahun 2011 dengan judul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT Katingan Timber Celebes Bagian
Produksi”
memberikan gambaran gaya kepemimpinan demokratik,
mampu
memberi nilai sebesar 46,6%, yang mempunyai arti apabila pimpinan menerapkan
gaya kepemimpinan ini , maka akan mendorong peningkatan kinerja sebesar
46,6%. Dimana tingkat keeratan hubungan ini dikategorikan sebagai hubungan
yang sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa karyawan mampu melihat dan
merasakan, selama ini pimpinan di kantor telah menerapkan gaya kepemimpinan
ini, dan mayoritas karyawan sangat setuju dengan hal tersebut. Karyawan
17
merasakan bahwa pimpinan mereka adalah sosok figur yang mampu memberikan
kesempatan yang luas pada anggota organisasi untuk berpartisipasi dalam setiap
kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing- masing.
Gaya Kepemimpinan Laissez Faire yaitu memberikan kekuasaan penuh pada
bawahan, struktur organisasi bersifat longgar, pemimpin bersifat pasif. Peran
utama pimpinan adalah menyediakan materi pendukung dan berpartisipasi jika
diminta bawahan. Gaya kepemimpinan kendali bebas mendeskripsikan pemimpin
yang secara keseluruhan memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan
dalam pembuatan keputusan dan menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang
menurut karyawannya paling sesuai (Robbins dan Coulter, 2002, p. 460).
Menurut Sukanto (1987) ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas (pp.196-198):
1. Kebebasan
penuh
bagi keputusan
kelompok
atau
individu
dengan
partisipasi minimal dari pemimpin.
2. Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang
membuat orang selalu siap bila dia akan memberi informasi pada saat
ditanya.
3. Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penentuan tugas.
4. Kadang-kadang memberi komentar spontan terhadap kegiatan anggota atau
pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian.
Ciri-ciri
gaya
kepemimpinan
kendali
bebas
(Handoko
Reksohadiprodjo, 1997, p. 304):
1. Pemimpin membiarkan bawahannya untuk mengatur dirinya sendiri.
2. Pemimpin hanya menentukan kebijaksanaan dan tujuan umum.
dan
18
3. Bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan untuk mencapai
tujuan dalam segala hal yang mereka anggap cocok.
Dalam penerapannya dilapangan, gaya kepemimpinan ini dapat menjadikan
karyawan menjadi kreatif Karena karyawan dituntut untuk dapat bekerja sendiri
dengan sedikit arahan yang diberikan oleh pimpinan. Hal ini baik bagi mereka
yang senang bekerja tidak dibawah tekanan, akan tetapi akan berpengaruh buruk
bagi mereka yang bekerja harus menggunakan komandoi atasannya. Dalam
penelitian yang dilakukan Amaliah pada tahun 2011 dengan judul “Pengaruh
Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT Katingan Timber
Celebes Bagian Produksi” memberikan gambaran gaya kepemimpinan Laissez
Faire hanya mampu memberi nilai pengaruh sebesar 21,7% yang berarti apabila
pemimpin mengadopsi gaya kepemimpinan ini akan mendorong kinerja karyawan
sebesar 21,7%. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh gaya kepemimpinan laissez
faire terhadap kinerja dikategorikan sebagai hubungan yang lemah.
Untuk menunjang keberhasilan manajemen dibutuhkan seorang pemimpin
yang dapat melaksanakan tugas dan fungsi manajemen. Seorang pemimpin yang
baik harus dapat memberikan motivasi agar dapat mencapai produktivitas kerja
dan meningkatkan kinerja bawahannya. Dapat dikatakan bahwa kepemimpinanlah
yang memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi
dalam menyelenggarakan berbagai kegiatannya terutama terlihat dalam kinerja
para pegawainya (Siagian, 2003:3).
19
Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka
penyusunan penelitian ini. Kegunaannya adalah untuk mengetahui hasil yang
telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu.
Lastiar
(2008)
melakukan
penelitian
dengan
judul
Pengaruh
Gaya
Kepemimpinan Terhadap Motivasi Kerja Pegawai Pada PT. Indosat, Tbk. Divisi
Regional Wilayah Barat Medan”. Hasil penelitian Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Koefisien Determinasi (R Square) sebesar 0.654. Untuk regresi berganda
menggunakan Adjusted R Square yang disesuaikan dengan jumlah variabel
independen yang digunakan dalam penelitian yaitu 0.428 yang berarti 42,8 %
variasi variabel terikat
(Motivasi Kerja)
mampu dijelaskan oleh variabel
independen gaya kepemimpinan demokratik, gaya kepemimpinan otoriter, dan
gaya kepemimpinan laissez faire dan 57,2 % lagi dipengaruhi oleh variabel lain
yang tidak diikut sertakan dalam penelitian ini. Berdasarkan pengujian hipotesis
dengan uji Fhitung sebesar 9,988 dan Ftabel sebesar 4,08 sehingga Fhitung >
Ftabel (9,988 > 4,08) pada α = 5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel
gaya
kepemimpinan
demokratik,
gaya
kepemimpinan
otoriter,
dan
gaya
kepemimpinan laissez faire secara bersama-sama berpengaruh terhadap motivasi
kerja pegawai pada PT. Indosat, Tbk. Divisi Regional Wilayah Barat Medan. Pada
uji t, variabel gaya kepemimpinan demokratik berpengaruh positif dan signifikan
terhadap motivasi kerja pegawai.
Ulfa
(2010)
melakukan
penelitian
dengan
judul
“Pengaruh
Perilaku
Kepemimpinan Situasional Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Pada PT. Bank
Syariah Bukopin Bukopin Cabang Medan Jl. S.Parman No.77 Medan). Dari hasil
20
penelitian tersebut, menunjukkan bahwa: Hasil penghitungan koefisien korelasi
product moment sebesar 0,830 bernilai positif, hal ini memperlihatkan bahwa
koefisien korelasi yang diperoleh adalah positif. Hal ini berarti ada hubungan
antara perilaku kepemimpinan situasional terhadap kinerja karyawan pada PT
Bank Syariah Bukopin Cabang Medan.
Adapun
perbedaan
penelitian
yang
dilakukan
Lastiar
(2008)
dengan
penelitian ini sendiri adalah, penelitian yang dilakukan Lastiar (2008) bertujuan
untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan di dalam organisasi terhadap
motivasi, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gaya
kepemimpinan
terhadap
kinerja
karyawan.
Selanjutnya,
yang
membedakan
penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulfa (2010) adalah,
penelitian yang dilakukan Ulfa (2010) adalah untuk mengetahui pengaruh gaya
kepemimpinan situasional terhadap kinerja karyawan. Penelitian Ulfa (2010)
memnggunaka gaya kepemimpinan situasional sebagai variabel X, sedangkan
penelitian ini menggunakan gaya kepemimpinan yang terdiri dari 3 dimensi yaitu
gaya kepemimpinan otoriter, demokratik, dan Laissez Faire sebagai variabel X, dan
kinerja karyawan sebagai variabel Y.
Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan untuk
menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Kinerja merupakan perilaku nyata yang
ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai
sesuai dengan perannya dalam instansi. Kinerja karyawan merupakan suatu hal
yang sangat penting dalam upaya instansi untuk mencapai tujuan. Menurut Prabu
(2000 ; 67) bahwa kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara
21
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai
Bernadin
dan
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut
Russel yang dikutip
Gomes Lardoso
Faustino
(2000;135)
mengemukakan definisi kinerja karyawan sebagai outcome yang dihasilkan dari
fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode tertentu.
Saat ini, orang-orang termasuk karyawan di dalamnya mulai memikirkan
cara yang benar dalam bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat
sesuai dengan harapan organisasi atau perusahaan, karena semua itu dilakukan
untuk mendapatkan kinerja yang maksimal. Dengan kinerja karyawan yang tinggi,
baik itu kinerja karyawan tidak tetap ataupun karyawan tetap diharapkan dapat
memberi sumbangan yang sangat berarti bagi kinerja dan kemajuan organisasi.
Kinerja atau prestasi kerja pada dasarnya adalah hasil kerja seorang karyawan
selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya
standar, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan
telah disepakati bersama.
Kinerja merupakan hasil dan keluaran yang dihasilkan oleh seorang pegawai
sesuai dengan perannya dalam organisasi dalam suatu periode tertentu. Kinerja
pegawai yang baik adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam upaya
instansi untuk meningkatkan produktivitas. Kinerja merupakan indicator dalam
menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi
dalam suatu organisasi atau instansi.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kinerja SDM adalah Hasil kerja
(ouput) baik secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seorang
22
karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya selama satu periode tertentu.
Berikut ini adalah kerangka pemikiran yang menggambarkan keterkaitan
antara Gaya Kepemimpinan Autokratik, Demokratik dan Laissez Faire
terhadap
Kinerja Karyawan :
Kepemimpinan
Autokratik (X1)
Kepemimpinan
Kinerja(Y)
Demokratik (X2)
Kepemimpinan
Laissez Faire(X2)
Gambar 1.6.1 Kerangka Pemikiran yang menggambarkan Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Autokratik, Demokratik dan Laissez Faire terhadap Kinerja Karyawan .
1.7 Hipotesis
Hipotesis
merupakan
jawaban
sementara
terhadap
rumusan
masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam
bentuk
kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris
23
yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan
sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban
yang empiris (Sugiyono,2008:93).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikemukankan hipotesis sebagai
berikut:
Hipotesis 1
Ho : Tidak terdapat pengaruh positif dari Gaya Kepemimpinan
Autokratik
terhadap Kinerja Karyawan.
Ha : Terdapat pengaruh positif dari Gaya Kepemimpinan
Autokratik
terhadap Kinerja Karyawan.
Hipotesis 2
Ho : Tidak terdapat pengaruh positif dari Gaya Kepemimpinan
Demokratik
terhadap Kinerja Karyawan.
Ha : Terdapat pengaruh positif dari Gaya Kepemimpinan
Demokratik
terhadap Kinerja Karyawan.
Hipotesis 3
Ho : Tidak terdapat pengaruh positif dari Gaya Kepemimpinan Laissez
Faire terhadap Kinerja Karyawan.
Ha : Terdapat pengaruh positif dari Gaya Kepemimpinan Laissez Faire
terhadap Kinerja Karyawan.
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Salah satu sumber daya yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan adalah
Sumber Daya Manusia yaitu meliputi semua orang yang melakukan aktivitas.
Dalam Istilah ”manajemen” mempunyai arti sebagai kumpulan pengetahuan
tentang bagaimana seharusnya memanage (mengelola) sumber daya manusia.
Pada umumnya, kegiatan kegiatan di bidang SDM dapat dilihat dari dua sudut
pandang.
Sudut pandang yang pertama adalah sisi pekerjaaan, di mana
kegiatankegiatan itu meliputi analisis pekerjaan dan evaluasi pekerjaan. Dan sudut
pandang yang kedua adalah dari sisi pekerja yang terdiri dari pengadaan tenaga
kerja,
penilaian
prestasi
kerja,
pelatihan
dan
pengembangan,
promosi,
kompensasi, dan pemutusan hubungan kerja.
Sulistiyani dan Rosidah (2003:7) menyatakan bahwa ”manajemen sumber
daya manusia adalah usaha untuk mengarahkan dan mengelola sumber daya
manusia di dalam organisasi agar mampu berpikir dan bertindak sebagaimana
yang diinginkan oleh organisasi”. Panggabean (2004:15) mengemukakan bahwa:
”Manajemen sumber daya manusia adalah suatu proses yang terdiri perencanaan,
pengorganisasian,
berkaitan
dengan
pemimpinan,
analisis
dan
pengendalian
pekerjaan,
evaluasi
kegiatan-kegiatan
pekerjaan,
yang
pengadaan,
pengembangan, kompensasi, promosi, dan pemutusan hubungan kerja guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
25
Manajemen SDM merupakan sistem yang terdiri dari banyak aktivitas
interdependen (saling terkait satu sama lain). Aktivitas ini tidak berlangsung
menurut isolasi : yang jelas setiap aktivitas mempengaruhi SDM lain. Misalnya
keputusan buruk menyangkut kebutuhan staffing bisa menyebabkan persoalan
ketenaga-kerjaan,
penempatan,
kepatuhan
sosial,
hubungan
serikat
buruh,
manajemen dan kompensasi. Bila aktivitas SDM dilibatkan secara keseluruhan,
maka
aktivitas
tersebut
membantu
sistem
manajemen
SDM
perusahaan.
Perusahaan dan orang merupakan sistem terbuka karena mereka dipengaruhi oleh
lingkungannya dan juga merupakan sistem terbuka yang dipengaruhi oleh
lingkungan luar.
Mengingat pentingnya peran SDM dalam perusahaan agar tetap dapat
”survive” dalam iklim persaingan bebas tanpa batas, maka peran manajemen
SDM tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab para pegawai atau karyawan, akan
tetapi menjadi tanggungjawab
pimpinan perusahaan. Pengelolaan manajemen
SDM harus dilaksanakan oleh pimpinan yang profesional. Dengan demikian,
manajemen SDM dapat diartikan sebagai pengelolaan dan pendayagunaan
sumberdaya yang ada pada individu. Oleh seorang pemimpin pengelolaan dan
pendayagunaan tersebut dikembangkan secara maksimal di dalam dunia bisnis
untuk mencapai tujuan perusahaan dan pengembangan individu manusia yang ada
dalam perusahaan itu secara terpadu.
Selain
itu,
manajemen
SDM
juga
memberikan
penekanan
terhadap
kepentingan strategi dan proses , manajemen SDM demi kelangsungan aktivitas
perusahaan secara terus-menerus. Selain itu, manajemen SDM juga adalah
26
rangkaian strategis, proses dan aktivitas yang di desain untuk menunjang tujuan
perusahaan
dengan
mengintegrasikan
kebutuhan
perusahaan
dan
individu
SDMnya.
2.2 Pengertian Kepemimpinan
Dalam sebuah perusahaan peran pemimpin memiliki peranan yang penting
hal ini dapat dilihat dari pernyataan berikut: bahwa untuk menunjang keberhasilan
fungsi manajemen dalam organisasi tentunya membutuhkan seorang pemimpin
yang dapat melaksanakan tugas dan fungsi manajemen. Kepemimpinan adalah
suatu faktor kemanusiaan, mengikat suatu kelompok bersama dan member
motivasi untuk
tercapainya
untuk
tujuan organisasi yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tanpa kepemimpinan yang efektif (baik formal maupun informal)
individu-individu maupun kelompok cenderung tidak memiliki arah, tidak puas,
dan kurang termotivasi. (Yuli: 2005, 165).
Berikut adalah beberapa definisi tentang kepemimpinan:
1. Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya
diarahkan mencapai tujuan organisasi (Terry dalam Thoha,2005 :5)
2. Kepemimpinan merupakan kecakapan atau kemampuan seseorang untuk
membujuk orang lain agar bersedia bekerja keras dalam mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan.” (Davis dalam Yuli, 2005 : 167).
3. George R.Terry dalam buku Sutarto (2001:17) “Leadership is the
relationship in which one person, ar the leader, influences others to
work together willingly on related tasks to attain that which the leader
27
desires. (Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri orang
seseorang atau pemimpin mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama
secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai yang diinginkan
pemimpin).
4. Katz & Kahn, dalam buku Gary Y (1998 :2) Kepemimpinan adalah
peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan berada di atas
kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi.
5. Jacobs & Jacques, dalam buku Gary Y (1998: 2) Kepemimpinan adalah
sebuah proses memberi arti ( pengaruh yang berarti) terhadap usaha
kolektif, dan mengakibatkan kesediaan.
6. Menurut Yuki (2005), kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi
orang lain, untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan
dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk
memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama.
7. Menurut Robbins (2006), kepemimpinan merupakan kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya suatu tujuan. Definisi
kepemimpinan
menentukan
mencapai
secara
tujuan
tujuan,
luas
organisasi,
meliputi
proses
memotivasi
mempengaruhi untuk
mempengaruhi
perilaku
pengikut
memperbaiki kelompok
dalam
untuk
dan
budayanya.
8. Menurut Rivai (2004), kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses
mengarahkan
dan
mempengaruhi
aktivitas-aktivitas
yang
ada
28
hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok. Tiga implikasi
penting yang terkandung dalam hal ini yaitu :
1. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun
pengikut.
2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan
anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah
tanpa daya.
3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda
untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara.
Rumusan kepemimpinan dari sejumlah ahli tersebut menunjukkan bahwa
dalam suatu organisasi terdapat orang yang mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi,
mengarahkan,
membimbing
dan
juga
sebagian orang yang
mempunyai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mengikuti apa
yang menjadi kehendak dari pada atasan atau pimpinan mereka. Karena itu,
kepemimpinan dapat dipahami sebagai kemampuan mempengaruhi bawahan agar
terbentuk kerjasama di dalam kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.
Apabila orang-orang yang menjadi pengikut atau bawahan dapat dipengaruhi
oleh kekuatan kepemimpinan yang dimiliki oleh atasan maka mereka akan mau
mengikuti kehendak pimpinannya dengan sadar, rela, dan sepenuh hati.
2.3 Teori-Teori Kepemimpinan
Menurut para peneliti tentang kepemimpinan diketahui ada teori-teori yang
menyatakan bahwa pemimpin itu terjadi karena adanya kelompok-kelompok
29
orang-oarang , dan ia melakukan pertukaran dengan yang dipimpin. ”(Thoha,
2003:31).
Teori mengemukakan bahwa pemimpin timbul karena situasinya
memungkinkan ia ada. Teori yang paling mutakhir melihat kepemimpinan lewat
perilaku organisasi. Orientasi perilaku ini mencoba mengetengahkan pendekatan
yang
bersifat
menekankan
social
bahwa
learning
terdapat
pada
faktor
kepemimpinan.
Moekijat
penentu
timbal
kepemimpinan yaitu pemimpin itu sendiri,
yang
(1999:125)
balik
dalam
situasi lingkungan, dan perilaku
pemimpin. Tiga faktor tersebut merupakan dasar dari teori kepemimpinan yang
diajukan ilmu perilaku organisasi.
Berikut akan dikemukakan teori kepemimpinan secara umum yang dikutip
dari Thoha (2003:98), sebagai berikut:
2.3.1 Teori Sifat (Trait Theory)
Teori ini melihat kepemimpinan dengan pusat perhatiannya pada kata
”pimpinan” itu sendiri. Teori ini di mulai dari suatu pernyataan apakah sifat-sifat
yang membuat seseorang sebagai pemimpin? Teori
tentang sifat dapat ditelusuri
kembali pada zaman yunani kuno dan zaman romawi. Pada waktu itu orang
percaya bahwa pemimpin itu dilahirkan bukannya di buat. Namun, dalam sejarah
juga tercatat Napoleon mempunyai kemampuan alamiah sebagi pemimpin besar
pada setiap situasi.
30
Dengan perbandingan di atas, membuktikan bahwa sifat kepemimpinan itu
tidak seluruhnya dilahirkan, tetapi juga dapat dicapai lewat suatu pendidikan dan
pengalaman. Dengan demikin, perhatian terhadap kepemimpinan dialihkan kepda
sift-sifat
umum
yang
dimiliki oleh
pemimpin,
tidak
menekankan
apakah
pemimpin itu dilahirkan atau dibuat. Oleh karena itu, sejumlah sifat fisik, mental,
kepribadian menjadi pusat perhatian dalam melihat seseorang yang telah menjadi
pemimpin.
Anogara (2001:133) mengemukakan bahwa teori sifat bertitik tolak dari
pemikiran bahwa keberhasilan seseorang pemimpin ditentukan oleh situasi,
perangai, atau ciri yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Sifat-sifat tadi dapat
berupa sifat psikologis dan fisiologis. Atas dasar pemikiran tersebut timbul
anggapan
bahwa
untuk
menjadi seorang
pemimpin
yang
berhasil sangat
ditentukan oleh kemampuan pribadi oleh seorang pemimpin.
Teori sifat atau karakteristik kepribadian berasumsi bahwa seseorang dapat
menjadi pemimpin apabila memiliki sifat-sifat atau karateristik kepribadian yang
dibutuhkan oleh seorang pemimpin, meskipun orang tuanya khususnya ayahnya
bukan seorang pemimpin.
keberhasilan
seorang
Teori ini bertitik
pemimpin
ditentukan
tolak
dari pemikiran bahwa
oleh
sifat-sifat/karakteristik
kepribadian yang dimiliki, baik secara fisik maupun psikologis. Dengan kata lain,
teori ini berasumsi bahwa keefektifan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat,
perangai, atau ciri-ciri kepribadian tertentu yang tidak saja bersumber dari bakat
tetapi juga yang diperoleh dari pengalaman dan hasil belajar.
31
Sifat-sifat itu menurut Cheser (Nawawi, 2006:75) adalah (1) sifat-sifat pribadi
yang meliputi fisik, kecakapan, teknologi, daya tangkap, pengetahuan, daya ingat,
imaginasi, dan (2) sifat-sifat pribadi yang merupakan watak yang lebih subjektif
yakni keunggulan seorang pemimpin dalam keyakinan, ketekunan, daya tahan,
keberanian, dan lain-lain.
Davis (Thoha, 2003:251) mengatakan bahwa ada empat sifat umum yang
efektif terdiri dari (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keleluasaan pandangan
sosial, (3) motivasi diri dan dorongan, (4) sikap-sikap hubungan sosial. Collons
(Nawawi, 2006:76) berpendapat bahwa sifat-sifat yang harus dimiliki seorang
pemimpin agar kepemimpinannya dapat mengefektifkan organisasi adalah (1)
kelancaran berbicara, (2) kemampuan memecahkan masalah, (3) pandangan
kedalam masalah kelompok, (4) keluwesan, (5) kecerdasan, (6) kesediaan
menerima tanggung jawab, (7) keterampilan sosial, dan (8) kesadaran akan diri
sendiri dan lingkungannya.
2.3.2 Teori Perilaku (Behaviour Theory)
Setelah pada tahun lima puluhan teori sifat kepemimpinan semakin tidak
popular.
Studi mengenai kepemimpinan diarahkan pada perilaku pemimpin.
Studi-studi tersebut menghasilkan suatu teori baru dizamannya yang disebut teori
perilaku (Behaviour Theory). Teori ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa
kepemimpinan untuk mengefektifkan organisasi, tergantung pada perilaku atau
gaya bersikap dan atau bertindak seorang pemimpin. Dengan demikian berarti
juga teori ini memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi kepemimpinan.
32
Dengan kata lain, keberhasilan seorang pemimpin dalam mengefektifkan
organisasi sangat tergantung pada perilakunya dalam melaksanakan fungsi-fungsi
kepemimpinan
dalam
strategi
kepemimpinan
tampak
dari cara
kepemimpinannya.
melakukan
Gaya
atau
perilaku
pengambilan keputusan,
cara
memerintah (memberi instruksi), cara memberikan tugas, cara berkomunikasi,
cara mendorong semangat bawahan, cara membimbing dan mengarahkan, cara
menegakkan disiplin, cara mengendalikan dan mengawasi pekerjaan anggota
organisasi, cara memimpin rapat, cara menegur dan memberikan sanksi/hukuman
(Nawawi, 2006:81).
Dari uraian di atas, maka yang dimaksud perilaku adalah gaya kepemimpinan
dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi kepemimpinan, yang menurut teori ini
sangat besar pegaruhnya dan bersifat sangat menentukan dalam mengefektifkan
organisasi untuk mencapai tujuannya. Sehubungan dengan itu, apabila perilaku
kepemimpinan ditampilkan berupa tindakan tegas, keras sepihak, tertutup pada
kritik
dan
saran,
mengancam
setiap
pelanggaran,atau
kesalahan
anggota
organisasi dengan sanksi/hukuman yang berat maka disebut kepemimpinan
autokratik. Sebaliknya pemimpin yang berperilaku dalam memberikan pengaruh
dilakukan
secara
simpatik,
interaksinya
berlangsung
secara
timbal
balik,
menghargai pendapat, saran dan kritik, mengajak, memperhatikan perasaan,
membina
hubungan
yang
serasi,
demokratis (Nawawi, 2006:82).
maka
disebut gaya kepemimpinan yang
33
Sebuah
penelitian
memperhitungkan
dan
menunjukkan
membantu
bahwa
para
pengikut-pengikutnya
pemimpin
memunyai
yang
pengaruh
positif terhadap sikap, kepuasan, dan pelaksanaan keja. Menurut Anoraga
(2001:133), teori perilaku bertititk tolak bahwa perilaku kepemimpinan sangat
erat sekali dengan fungsi utama kepemimpinan yaitu menggerakkan orang lain
untuk mencapai tujuan. Ada dua kecenderungan perilaku kepemimpinan, yaitu:
1. Perilaku yang cenderung bersifat konsiderasi, adalah sikap pemimpin yang
berorientasi pada karyawan. Pemimpin ini mempunyai sifat-sifat: (1) ramah
tamah, (2) membela bawahan, (3) memikirkan kesejateraan
bawahan.
2. Perilaku yang cenderung bersifat inisiasi, bahwa perilaku kepemimpinan sangat
berorientasi dan mementingkan tercapainya tujuan organisasi. Struktur organisasi
mempunyai sifat-sifat (a) selalu mengkritik bawahan, (b) selalu memerintah, (c)
selalu memberitahu, (d) standar pekerjaan keras, (e) selalu mengawasi tenaga
kerja.
2.3.3 Teori Kontingensi (Contingency Theory)
Dalam teori yang
telah
dikemukakan
sebelumnya,
ternyata semuanya
berpandangan bahwa untuk mengelola organisasi dapat dilakukan dengan perilaku
atau gaya kepemimpinan tunggal dalam segala situasi. Oleh karena itu, timbul
respon/reaksi terhadap teori-teori kepemimpinan tersebut. Dengan kata lain tidak
mungkin
setiap
oerganisasi
hanya
di
pimpin
oleh
perilaku
atau
gaya
34
kepemimpinan tunggal untuk segala situasi terutama apabila organisasi terus
berkembang menjadi semakin besar atau jumlah anggotanya semakin banyak.
Setiap situasi dan dalam mengelola anggota organisasi yang tidak sama
kepribadian, latar belakang,tingkat kecerdasannya, tidak mungkin dikelola dengan
perilaku atau gaya kepemimpinan tunggal. Respon atau reaksi yang timbul
berfokus pada pendapat bahwa dalam menghadapi situasi yang berbeda
diperlukan perilaku atau gaya kepemimpinan yang berbeda-beda pula. Pendapat
itu di sebut pendekatan atau teori kontingensi.
Disamping itu karena perilaku atau gaya kepemimpinan harus sesuai dengan
situasi yang dihadapi seorang pemimpin, maka teori ini di sebut juga pendekatan
atau teori situasional.
Pada tahun 1940-an, para ahli psikolog mulai meneliti beberapa variable
situasional
yang
mempunyai
pengaruh
terhadap
peranan
kepemimpinan,
kecakapan dan perilakunya, berikut pelaksanaan kerja dan kepuasan para
pengikutnya. Berbagai variabel tersebut diidentifikasikan, tetapi tidak semua
ditarik oleh teori situasional.
Fiedler (Bethel, 1994:39) mengusulkan suatu model berdasarkan situasi dan
efektivitas kepemimpinan. Dia mengembangkan suatu teknik yang unik untuk
mengukur gaya kepemimpinan. Pengukuran ini diciptakan dengan memberikan
nilai/skor yang menunjukkan dugaan kebersamaan, di antara keberlawan dan
teman kerja yang paling sedikit disukai.
35
Menurut Anoraga (2001, 138), teori ini mempunyai dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Faktor-faktor yang penting dalam situasi
2. Gaya kepemimpinan
Pemimpin yang baik menurut teori ini, adalah:
1. Dapat mengubah gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi
2. Memperlakukan bawahan sesuai dengan kebutuhan yang berbeda-beda
Anogara (2001:138) mengemukakan bahwa, daftar kewajiban yang harus
dilakukan oleh seorang pemimpin, nampaklah bahwa seorang pemimpin haruslah
paling sedikit mampu memimpin untuk menangani hubungan antara karyawan:
Siagian (2003:85) mengemukakan bahwa ada beberapa sifat yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin agar bawahannya dapat meningkatkan prestasi
kerja, antara lain:
1.Keinginan untuk menerima tanggung jawab
2.Kemampuan untuk bisa perspektif
3.Kemampuan untuk bersikap objektif
4.Kemampuan untuk menentukan prioritas
5.Kemampuan untuk berkomunikasi.
James A.F. Stoner dan R. Edward Freeman (Nawawi, 2006:111) mengatakan
bahwa perilaku atau gaya kepemimpina memberikan kontribusi besar pada
efektivitas kepemimpinan untuk mengefektifkan organisasi. Faktor-faktor dalam
gaya kepemimpinan yang mempengaruhi dan dapat menjadi tolok ukur efektivitas
kepemimpinan adalah sebagai berikut:
36
1.Kepribadian dan pengalaman masa lalu,
2.Pengharapan dan perilaku atasan,
3.Karakteristik harapan dan perilaku bawahan,
4.Kebutuhan tugas,
5.Iklim dan kebijakan organisasi,
6.Harapan dan perilaku rekanan.
2.4 Gaya Kepemimpinan
Menurut William H.Newman (1968) dalam Miftah Thoha (2003;262)
kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni
mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Dan satu hal
yang perlu diingat bahwa kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan
atau tata karma birokrasi. Kepemimpinan bisa terjadi dimana saja, asalkan
seseorang
menunjukkan
kemampuannya
mempengaruhi
perilaku
orang
lain
kearah tercapainya suatu tujuan tertentu.
Bahasan
mengenai
pemimpin
dan
kepemimpinan
pada
umumnya
menjelaskan bagaimana untuk menjadi pemimpin yang baik, gaya dan sifat yang
sesuai dengan kepemimpinan serta syarat-syarat apa yang perlu dimiliki oleh
seorang pemimpin yang baik. Meskipun demikian masih tetap sulit untuk
menerapkan seluruhnya, sehingga dalam prakteknya hanya beberapa pemimpin
saja yang dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik dan dapat
membawa para pengikutnya kepada
keadaan yang diinginkan. Kepemimpinan
dapat dikategorikan sebagai ilmu sosial terapan (applied social sciences). Hal ini
37
didasarkan kepada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan prinsip-prinsipnya
mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung terhadap upaya mewujudkan
kesejahteraan umat manusia.
Kepemimpinan seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, mempunyai berbagai
fungsi antara lain, menyajikan berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan
dalam kepemimpinan dan memberikan pengaruh dalam menggunakan berbagai
pendekatan dalam hubungannya dengan pemecahan aneka macam persoalan yang
mungkin timbul dalam ekologi kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai salah satu
cabang ilmu pengetahuan, yang mempunyai peran penting dalam rangka proses
administrasi.
Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa peran seorang
pemimpin merupakan implementasi atau penjabaran dari fungsi kepemimpinan.
Fungsi kepemimpinan merupakan salah satu di antara peran administrator dalam
rangka mempengaruhi orang lain atau para bawahan agar mau dengan senang hati
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Gaya
kepemimpinan, mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku
dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin.
Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu.
Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang
disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa
pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu
oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada
dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri,
38
bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan.
Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan
proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan
(p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p,
b, s).
Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat
mempengaruhi
orang
lain
atau
kelompok
untuk
melakukan
unjuk
kerja
maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan
berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan
setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan
teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau
sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut
yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati
bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai
peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan
bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan
dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.
Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang
kondusif,
di
mana
seorang
pimpinan
berusaha
pada
saat-saat
tertentu
mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam
rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan
pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada
saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian,
39
ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan,
bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan
akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan. Agus Dharma (Nawawi,
2006:115) mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku
yang ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba mempengaruhi orang lain.
Definisi yang sama juga dikemukakan oleh Paul Hersey dan Kenneth Blancharg
(Nawawi, 2006: 115) yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola
perilaku pada saat seseorang mencoba mempengaruhi orang lain dan mereka
menerimanya.
Pemimpin
yang
kepemimpinannya
dipimpinnya,
efektif
terlebih
dalam
dahulu
menerapkan
harus
memahami
gaya
tertentu
siapa
bawahan
dalam
yang
mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengerti
bagaimana cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahan
yang mereka miliki. Istilah gaya adalah cara yang dipergunakan pimpinan dalam
mempengaruhi para pengikutnya (Miftah Thoha, 2001).
Sehubungan
dengan
itu
Eungence
Emerson
Jennings
dan
Robert
T.Gelembiewski (Nawawi, 2006:115) mengemukakan ada (enam) tipe atau gaya
kepemimpinan yang terdiri dari (1) kepemimpinan autokratik, (2) kepemimpinan
diktatoris, (3) kepemimpinan demokratis, (4) kepemimpinan kharismatik, (5)
kepemimpinan paternalistic , dan (6) kepemimpinan laissez faire.
Untuk keperluan penelitian, berikut akan dikemukakan tiga dari 6 (enam) tipe atau
gaya kepemimpinan tersebut di atas.
40
1. Gaya Kepemimpinan Autokratik
Gaya Kepemimpinan Autokratik, disebut juga kepemimpinan direktif atau
diktator.
Menurut
kepemimpinan
yang
Rivai
(2003),
menggunakan
kepemimpinan
metode
autokratis
pendekatan
adalah
kekuasaan
gaya
dalam
mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang
paling diuntungkan dalam organisasi (p. 61). Robbins dan Coulter (2002)
menyatakan gaya kepemimpinan autokratis mendeskripsikan pemimpin yang
cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana
tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi
partisipasi karyawan (p. 460). Lebih lanjut Sukanto (1987) menyebutkan ciri-ciri
gaya kepemimpinan autokratis (pp. 196-198)
4. Semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin.
5. Teknik dan langkah-langkah kegiatannya didikte oleh atasan setiap waktu,
sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk
tingkatan yang luas.
6. Pemimpin biasanya membagi tugas kerja bagian dan kerjasama setiap
anggota.
Sedangkan menurut Handoko dan Reksohadiprodjo (1997) ciri-ciri gaya
kepemimpinan autokratis (p. 304):
1. Pemimpin kurang memperhatikan kebutuhan bawahan.
2. Komunikasi hanya satu arah yaitu kebawah saja.
3. Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan kecamannya
terhadap kerja setiap anggota.
41
4. Pemimpin mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila
menunjukan keahliannya
Seorang pemimpin yang autokratik adalah seseorang yang sangat egois.
Egoisme yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang
sebenarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif diinterpretasikan
sebagai
kenyataan.
Egonya
yang
sangat
besar
menumbuhkan
dan
mengembangkan persepsinya bahwa tujuan organisasi identik dengan tujuan
pribadinya dan oleh karenanya organisasi diperlakukannya sebagai alat untuk
mencapai tujuan pribadi tersebut. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan tipe ini
merupakan kepemimpinan yang bersifat sentralistis sebagai satu-satunya penentu,
penguasa dan pengendali anggota organisasi dan kegiatannya dalam usaha
mecapai tujuan organisasi.
Menurut nawawi (2006:122) dampak dari kepemimpinan autokratik ini
adalah sebagai berikut:
a. Anggota organisasi cenderung pasif, bekerja menunggu perintah, tidak berani
mengambil
keputusan
dalam
memecahkan
masalah
meskipun
menyangkut
masalah yang kecil.
b. Anggota organisasi tidak ikut berpartisipasi aktif bukan karena tidak memiliki
kemampuan, tetapi tidak mau atau enggan menyampaikan inisiatif, gagasan, ide,
kreativitas, saran, pendapat, kritik atau menciptakan kegiatan pekerjaan sendiri
tanpa menunggu perintah.
c. Kepemimpinan autokratik yang mematikan inisiatif, kreativitas, dan lain-lain,
berdampak pada kehidupan organisasi berlangsung statis dengan kegiatan rutin
42
yang sama dari tahun ke tahun sehingga organisasi tidak berkembang secara
dinamis.
d. Pemimpin autokratik tidak membina dan tidak mengembangkan potensi
kepemimpinan anggota organisasinya, dalam arti pemimpin tidak melakukan
kegiatan
suksesi
dan
pengkaderan,
sehingga
berakibat
sulit
memperoleh
pemimpin pengganti diantara anggota organisasi jika keadaan mengharuskan.
e. Disiplin, rajin dalam bekerja dan bersedia bekerja keras serta kepatuhan
dilakukan secara terpaksa dan cenderung berpura-pura, karena takut pada
sanksi/hukuman dilakukan pada saat pemimpin berada di tempat.
f. Secara diam-diam muncul kelompok penantang yang menunggu kesempatan
untuk melawan, menghambat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat
merugikan organisasi terutama pimpinan.
g. Pemimpin cenderung akan kehabisan inisiatif, kreativitas, gagasan, inovasi dan
lain-lain sedang anggota organisasi tidak diberi kesempatan untuk membantu
akibatnya motivasi, gairah, dan semangat kerja anggota organisasi menjadi
rendah/turun.
h. Tidak ada rapat, diskusi atau musyawarah dalam bekerja karena dianggap
membuang-buang waktu.
i. Disiplin diterapkan secara ketat dan kaku sehingga iklim menjadi tegang, saling
mencurigai, dan saling tidak mempercayai antar anggota organisasi yang satu
dengan yang lainnya
j. Pemimpin tidak menyukai perubahan, perbaikan, dan perkembangan organisasi,
dan selalu curiga pada orang luar yang terlihat akrab dengan anggota organisasi
43
dengan prasangka buruk akan menjadi pemicu timbulnya kelompok-kelompok
yang akan melakukan perubahan atau menantang kepemimpinannya.
k. Pemimpin cenderung tidak menyukai dan berusaha menghalangi terbentuknya
organisasi (serikat pekerja) yang dibentuk anggota organisasi, sebaliknya berusaha
untuk membentuk organisasi yang mendukung kepemimpinannya.
Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa gaya kepemimpinan autokratik
cenderung
diwujudkan
melalui
gaya
atau
perilaku
kepemimpinan
yang
berorientasi pada tugas dan hasil, yang secara ekstrim harus seuai dengan
keinginan pemimpin, yang tidak mustahil keluar dari tujuan organisasi.
2. Gaya Kepemimpinan Demokratik
Gaya Kepemimpinan Demokratik, ditandai oleh adanya suatu struktur yang
pengembangannya
menggunakan
pendekatan
pengambilan
keputusan
yang
kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratik bawahan cenderung bermoral
tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri
sendiri. Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratik
mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam
pengambilan
keputusan,
mendelegasikan
kekuasaan,
mendorong
partisipasi
karyawan dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin
dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih
karyawan(p. 460). Jerris (1999) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang
menghargai
kemampuan
karyawan
untuk
mendistribusikan
knowledge
dan
kreativitas untuk meningkatkan servis, mengembangkan usaha, dan menghasilkan
44
banyak keuntungan dapat menjadi motivator bagi karyawan dalam bekerja
(p.203).
Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratik (Sukanto, 1987, pp. 196-198):
1. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil
dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin.
3. Kegiatan-kegiatan
didiskusikan,
langkah-langkah
umum
untuk
tujuan
kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin
menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
4. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan
pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.
Lebih
lanjut
ciri-ciri
gaya
kepemimpinan
demokratik
(Handoko
dan
Reksohadiprodjo, 1997, p. 304):
1. Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.
3. Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan kecamannya
dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan
semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan.
Pemimpin
yang
Demokratis
biasanya
memandang
perannya
selaku
koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga
bergerak sebagai suatu totalitas. Karena itu pendekatannya dalan menjalankan
fungsi-fungsi kepemimpinannya adalah pendekatan yang holistic dan integralistik.
Seorang pemimpin yang demokratis biasanya menyadari bahwa mau tidak mau
organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas
45
aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus dilakukan demi
tercapainya tujuan dan berbagai sasaran organisasi.
Dalam tipe ini pula dikatakan bahwa manusia ditempatkan sebagai faktor
terpenting dalam kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan
orientasi pada hubungan dengan anggota organisasi. Filsafat demokratis yang
mendasari pandangan gaya kepemimpinan demokratik ini adalah pengakuan dan
penerimaan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki harkat dan
martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama.
Nilai-nilai demokratis dalam kepemimpinan tampak dari kebijakan pemimpin
yang orientasinya pada hubungan manusiawi, berupa pengakuan yang sama dan
tidak
membeda-bedakan
anggota
organisasi atas dasar warna kulit,
ras,
kebangsaan, agama, status sosial ekonomi, dan lain-lain. Pengimplementasian
nilai-nilai demokratis di dalam kepemimpinan dilakukan dengan memberikan
kesempatan yang luas pada anggota organsasi untuk berpartisipasi dalam setiap
kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing- masing.
3. Gaya Kepemimpinan laissez faire (bebas)
Gaya Kepemimpinan Laissez Faire yaitu memberikan kekuasaan penuh pada
bawahan, struktur organisasi bersifat longgar, pemimpin bersifat pasif. Peran
utama pimpinan adalah menyediakan materi pendukung dan berpartisipasi jika
diminta bawahan. Gaya kepemimpinan kendali bebas mendeskripsikan pemimpin
yang secara keseluruhan memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan
dalam pembuatan keputusan dan menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang
46
menurut karyawannya paling sesuai (Robbins dan Coulter, 2002, p. 460).
Menurut Sukanto (1987) ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas (pp.196-198):
5. Kebebasan
penuh
bagi keputusan
kelompok
atau
individu
dengan
partisipasi minimal dari pemimpin.
6. Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang
membuat orang selalu siap bila dia akan memberi informasi pada saat
ditanya.
7. Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penentuan tugas.
8. Kadang-kadang memberi komentar spontan terhadap kegiatan anggota atau
pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian.
Ciri-ciri
gaya
kepemimpinan
kendali
bebas
(Handoko
dan
Reksohadiprodjo, 1997, p. 304):
4. Pemimpin membiarkan bawahannya untuk mengatur dirinya sendiri.
5. Pemimpin hanya menentukan kebijaksanaan dan tujuan umum.
6. Bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan untuk mencapai
tujuan dalam segala hal yang mereka anggap cocok.
Gaya
kepemimpinan
ini
pada
dasarnya
berpandangan
bahwa
anggota
organisasinya mampu mandiri dalam membuat keputusan atau mampu mengurus
dirinya masing-masing,
dengan sedikit mungkin pengarahan atau pemberian
petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-masing sebagai bagian dari
tugas pokok organisasi. Sehubungan dengan itu Jenning dan Golembiewski
(Nawawi, 2006:147) mengatakan bahwa pemimpin membiarkan kelompoknya
memantapkan tujuan dan keputusannya. Kontak yang terjadi antara pemimpin dan
47
anggota kelompoknya terjadi apabila pemimpin memberikan informasi yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannnya.
Pemimpin memberikan sedikit dukungan untuk melakukan usaha secara
keseluruhan. Kebebasan anggota kadang-kadang dibatasi oleh pimpinan dengan
menetapkan tujuan yang harus dicapai disertai parameter-parameternya, sedang
yang paling ekstrim adalah pemberian kebebasan sepenuhnya pada anggota
organisasi untuk bertindak tanpa pengarahan dan kontrol kecuali jika di minta.
Gaya
kepemimpinan
ini
merupakan
kebalikan
dari
gaya
kepemimpinan
autokratik, meskipun tidak sama atau kepemimpinan yang demokratis pada titik
ekstrim yang paling rendah.
Kepemimpinan dijalankan tanpa memimpin atau tanpa berbuat sesuatu dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku anggota organisasinya.
Dalam keadaan seperti itu, apabila ada anggota organisasi yang bertindak
melakukan kepemimpinan, maka kepemimpinan yang sebenarnya menjadi tidak
berfungsi. Pemimpin seperti itu pada umumnya seorang yang berusaha mengelak
atau menghindar dari tanggung jawabnya, sehingga apabila terjadi kesalahan atau
penyimpangan, dengan mudah dan tanpa beban mengatakan bukan kesalahan atau
bukan tanggung jawabnya karena bukan keputusannya dan tidak
pernah
memerintahkan pelaksanaannya.
2.3.4 Kepemimpinan Dalam Islam
Makna hakiki kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mewujudkan khilafah
di muka bumi, demi terwujudnya kebaikan. Figur seorang pemimpin yang patut
48
diteladani dan dijadikan contoh adalah Rasulullah, dengan salah satu sifatnya
yaitu Al-Amin (dapat dipercaya / jujur). Mereka pemimpin sejati sangat sadar
bahwa
para
pengikutnya
senantiasa
mengawasi
dirinya,
menilai
dan
memperhatikan bagaimana tindakan pimpinannya. Maka peran seorang pemimpin
tidak hanya menjadi tanggung jawabnya di dunia akan tetapi juga harus
dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Dijelaskan pula dalam Al Quran surat
Al Mujadilah ayat 11 :
ِ ِ
ِ
ِ ِ‫س ُحوا فِي ال َْم َجال‬
‫س ِح اللَّ ُه لَ ُك ْم‬
َّ ‫يل لَ ُك ْم تَ َف‬
َ ‫ين‬
َ ‫س ُحوا يَ ْف‬
َ ْ‫س فَاف‬
َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذ‬
َ ‫آمنُوا إذَا ق‬
ٍ ‫ش ُزوا ي رفَ ِع اللَّ ُه الَّ ِذين آمنُوا ِم ْن ُكم والَّ ِذين أُوتُوا الْعِلْم َدرج‬
ِ ِ
‫ات‬
ُ ‫يل اْن‬
ََ َ
َ َ
ْ َ ُ ‫ش ُزوا فَاْن‬
َ َْ
َ ‫َوإ َذا ق‬
‫َواللَّ ُه بِ َما تَ ْع َملُو َن َخبِير‬
Artinya : Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS : Al Mujadilah ayat 11)
Ayat diatas , memberikan gambaran bahwa seorang pemimpin harus memiliki
pandangan yang luas dan memiliki ide- ide cemerlang. Dengan wawasannya yang
luas seorang pemimpin memberikan inspirasi pada para karyawannya dalam
menghadapi berbagai macam permasalahan yang dihadapi. Selain itu, dengan
49
keluasan
ilmunya
seorang
pemimpin
akan
dihargai
dan
dipercaya
oleh
karyawanya.sehingga pada saat dia memberikan instruksi tentang pekerjaan, maka
karyawan yakin bahwa itu adalah pekerjaan dan cara yang terbaik untuk mencapai
tujuan.
KH Didin Hafifudin menjelaskan bahwa setiap pemimpin sebagai individu
untuk mewujudkan kepemimpinan efektif dan diridai oleh Allah SWT dengan
kepribadiannya sebagai orang yang beriman harus menampilkan sikap dan perlaku
sebagai berikut:
1. Mencintai kebenaran dan hanya takut pada Allah SWT
Pemimpin berpegang teguh dan terus menerus berusaha menegakkan
kebenaran dan berdasarkan tuntunan ajaran islam akan disegani, dihormati,
dan dipatuhi. Disamping itu karena merupakan perwujudan iman/ ketaqwaan,
maka sesuai dengan janji Allah bahwa pemimpin tersebut akan mendapat
tempat yang mulia disisi Allah SWT.
2. Dapat dipercaya, bersedia dan mampu mempercayai orang lain
Pemimpin yang dipercaya, mampu mempercayai orang lain dan memiliki
kepercayaan diri, merupakan pemimpin yang bertanggung jawab. Pemimpin
tidak senang mempersalahkan orang lain dengan maksud lari dari tanggung
jawab.
Sebaliknya
mempercayainya
telah
selalu
membela
berbuat
sesuatu
anggota
sesuai
organisasinya,
dengan
karena
perintah
dan
petunjuknnya , yang mungkin saja tidak tepat atau keliru.
Menurut Prijosaksono (2002) ada sebuah jenis kepemimpinan yang disebut
dengan Q Leader. Kepemimpinan Q dalam hal ini memiliki empat makna.
50
Pertama, Q berarti kecerdasan atau intelligence, misalnya IQ (Kecerdasan
Intelektual), EQ (Kecerdasan Emosional), dan SQ (Kecerdasan Spiritual). Q
Leader berarti seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan IQ-EQ-SQ yang
cukup tinggi. Kedua, Q Leader berarti kepemimpinan yang memiliki quality, baik
dari aspek visioner maupun aspek manajerial. Ketiga, Q Leader berarti seorang
pemimpin yang memiliki qi (dibaca „chi‟–bahasa Mandarin yang berarti energi
kehidupan). Makna Q keempat adalah seperti yang dipopulerkan oleh KH
Abdullah Gymnastiar sebagai qolbu atau inner self. Seorang pemimpin sejati
adalah seseorang yang sungguh-sungguh mengenali dirinya (qolbu-nya) dan dapat
mengelola dan mengendalikannya (self management atau qolbu management).
Menjadi seorang pemimpin Q berarti menjadi seorang pemimpin yang selalu
belajar dan bertumbuh senantiasa untuk mencapai tingkat atau kadar Q
(intelligence –quality–qi-qolbu) yang lebih tinggi dalam upaya pencapaian misi
dan tujuan organisasi maupun pencapaian makna kehidupan setiap pribadi seorang
pemimpin. Untuk menutup tulisan ini, saya merangkum kepemimpinan Q dalam
tiga aspek penting dan disingkat menjadi 3C , yaitu:
1. Perubahan karakter dari dalam diri (character change)
2. Visi yang jelas (clear vision)
3. Kemampuan atau kompetensi yang tinggi (competence)
Ketiga hal tersebut dilandasi oleh suatu sikap disiplin yang tinggi untuk
senantiasa
bertumbuh,
belajar
dan
berkembang
baik
secara
internal
(pengembangan kemampuan intrapersonal, kemampuan teknis, pengetahuan, dll)
51
maupun dalam hubungannya dengan orang lain (pengembangan kemampuan
interpersonal dan metode kepemimpinan).
Seperti yang dikatakan oleh John Maxwell: ”The only way that I can keep
leading is to keep growing. The day I stop growing, somebody else takes the
leadership baton. That is the way it always it.” Satu-satunya cara agar saya tetap
menjadi pemimpin adalah saya harus senantiasa bertumbuh. Ketika saya berhenti
bertumbuh, orang lain akan mengambil alih kepemimpinan tersebut.
Sejatinya, seorang pemimpin harus berorientasi pada pelayanan terhadap
yang dipimpinnya. Dalam istilah arab dikenal dengan sebutan al Imamu khodimul
ummah, yang artinya seorang pemimpin itu adalah pelayan bagi rakyat yang
dipimpinnya.
Dalam
pandangan
Islam,
kepemimpinan
merupakan
amanah
dan
tanggungjawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota
yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt.
Jadi,
pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak
horizontal-formal
sesama
manusia,
tetapi
bersifat
hanya
vertical-moral,
bersifat
yakni
tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan
dianggap
lolos
dari
tanggungjawab
formal
dihadapan
orang-orang
yang
dipimpinnya, tetapi belum tentu lolos ketika ia bertanggungjawab dihadapan
Allah Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan,
tetapi merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman: "dan orang-orang yang
memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang
52
yang memelihara sholatnya, mereka itulah yang akan mewarisi surga firdaus,
mereka akan kekal didalamnya" (QS.Al Mukminun 8-9) Seorang pemimpin harus
bersifat amanah, sebab ia akan diserahi tanggungjawab.
Jika pemimpin tidak mempunyai sifat amanah, tentu yang terjadi adalah
penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Itulah
mengapa nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar menjaga amanah
kepemimpinan, sebab hal itu akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun
diakhirat. Nabi bersabda: "setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR. Bukhori)
Nabi Muhammad SAW juga bersabda: "Apabila amanah disia-siakan maka
tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa indikasi
menyianyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila suatu
perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat
kehancurannya" (HR. Bukhori)
Oleh karenanya, kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk
menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus
diemban
dengan
sebaik-baiknya.
Kepemimpinan
juga
bukan
kesewenang-
wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi
dan berbuat dengan seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan dan
kepeloporan dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika
dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai- nilai keadilan.
2.3.4.1 Hukum dan Tujuan Menegakkan Kepemimpinan
53
Pemimpin yang ideal merupakan dambaan bagi setiap orang, sebab pemimpin
itulah yang akan membawa maju-mundurnya suatu organisasi, lembaga, Negara
dan bangsa. Oleh karenanya, pemimpin mutlak dibutuhkan demi tercapainya
kemaslahatan umat. Tidaklah mengherankan jika ada seorang pemimpin yang
kurang mampu, kurang ideal misalnya cacat mental dan fisik, maka cenderung
akan mengundang kontroversi, apakah tetap akan dipertahankan atau di non
aktifkan.
Imam Al-mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyah menyinggung mengenai
hukum dan
tujuan
menegakkan
kepemimpinan.
beliau mengatakan bahwa
menegakkan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan
dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau
mengatakan bahwa keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, artinya,
antara lain karena imamah mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati an
Nubuwwah fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk
menjaga agama. Dan kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau
mengatur urusan dunia.
Dengan
kata
lain
bahwa
tujuan
suatu
kepemimpinan
adalah
untuk
menciptakan rasa aman, keadilan, kemasylahatan, menegakkan amar ma'ruf nahi
munkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan problem-problem yang
dihadapi masyarakat.
Dari
sinilah
para
ulama'
berpendapat
bahwa
menegakkan
suatu
kepemimpinan (Imamah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah suatu
keniscayaan (kewajiban). Sebab imamah merupakan syarat bagi terciptanya suatu
54
masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan serta
terhindar dari kehancuran dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu,
tampilnya seorang pemimpin yang ideal yang menjadi harapan komponen
masyarakat menjadi sangat urgen.
2.3.4.2. Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam
Imam Al Mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyyah-Nya memberikan
beberapa kriteria seorang pemimpin yang ideal agar tampilnya pemimpin tersebut
dapat mengantarkan suatu Negara yang adil dan sejahtera seperti yang diharapkan.
- Seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil ('adalah)
- Memiliki pengetahuan untuk memanage persoalan-persoalan yang ada kaitannya
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Sehat panca indranya seperti pendengaran, penglihatan dan lisannya.
Sehingga
seorang
pemimpin
bisa
secara
langsung
mengetahui
persoalanpersoalan secara langsung bukan dari informasi atau laporan orang lain
yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
- Sehat anggota badan dari kekurangan. Sehingga memungkinkan seorang
pemimpin untuk bergerak lebih lincah dan cepat dalam menghadapi berbagai
persoalan ditengah-tengah masyarakat.
- Seorang pemimpin harus mempunyai misi dan visi yang jelas. Bagaimana
memimpin dan memanage suatu Negara secara berstruktur, sehingga ada
perioritas tertentu, mana yang perlu ditangani terlebih dahulu dan mana yang
dapat ditunda sementara.
55
- Seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini
seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan dalam menegakkan
hukum dan keadilan.
2.5. Kinerja Karyawan
2.5.1 Definisi Kinerja
Prestasi kerja karyawan dipengaruhi oleh bermacam-macam ciri pribadi dari
masing-masing individu. Dalam perkembangan yang kompetitif dan mengglobal,
perusahaan membutuhkan karyawan yang berprestasi tinggi. Pada saat yang sama
pekerja memerlukan umpan balik atas kinerja mereka sebagai pedoman bagi
tindakan-tindakan mereka kepada masa yang akan datang. Oleh karena itu
penilaian seharusnya menggambarkan kinerja karyawan. Istilah kinerja berasal
dari kata job performance atau actual performance yang berarti prestasi kerja atau
prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang.
”Kinerja
merupakan
suatu
fungsi dari motivasi dan
kemampuan.
Untuk
menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki derajat
kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. (Rivai, 2005: 309).
Menurut Winardi (1992) kinerja merupakan konsep yang bersifat universal
yang merupakan efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan
bagian
karyawannya
berdasar standar dan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya, karena organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia, maka
kinerja sesungguhnya merupakan perilaku manusia dalam memainkan peran yang
56
mereka lakukan dalam suatu organisasi untuk memenuhi standar perilaku yang
telah ditetapkan agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan.
Menurut Besnadin dan Russell (1993 : 135) “kinerja adalah catatan yang
dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu
tertentu”. Dari beberapa pengertian kinerja diatas dapat disimpulkan bahwa
kinerja adalah hasil kerja yang dicapai setiap
karyawan sehingga dapat
memberikan kontribusi kepada perusahaan dalam pencapaian tujuan.
2.5.2. Penilaian Kinerja
Dessler (1997) menyatakan bahwa penilaian kinerja adalah memberikan
umpan balik kepada karyawan dengan tujuan memotivasi orang tersebut untuk
menghilangkan kemerosotan kinerja atau berkinerja lebih tinggi lagi. Menurut
Dessler,
penilaian
kerja
terdiri dari tiga langkah,
pertama mendefinisikan
pekerjaan berarti memastikan bahwa atasan dan bawahan sepakat dengan
tugastugasnya dan standar jabatan. Kedua, menilai kinerja berarti membandingkan
kinerja aktual atasan dengan standar-standar yang telah ditetapkan, dan ini
mencakup beberapa jenis tingkat penilaian. Ketiga, sesi umpan balik berarti
kinerja
dan
kemajuan
atasan
dibahas dan rencana-rencana dibuat untuk
perkembangan apa saja yang dituntut.
Penilaian kinerja adalah merupakan Proses mengevaluasi pelaksanaan kerja
individu. Dalam organisasi modern penilaian kinerja memberikan mekanisme
penting
bagi manajemen
untuk
digunakan dalam menjelaskan tujuan dan
57
standarstandar kinerja dan memotivasi kinerja individu di waktu berikutnya
(Simumora, 1997 : 416).
Penilaian kinerja mengacu pada suatu system formal dan terstruktur yang
digunakan untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan
dengan pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran. Dengan
demikian penilaian prestasi adalah merupakan hasil kerja karyawan dalam lingkup
tanggung jawabnya. Di dalam dunia usaha yang berkompetisi secara global,
perusahaan memerlukan kinerja tinggi.
Pada saat yang bersamaan, karyawan memerlukan umpan balik atas hasil
kerja mereka sebagai panduan atas perilaku mereka di masa yang akan datang.
Para pekerja ingin mendapatkan umpan balik bersifat positif atas berbagai hal
yang telah mereka lakukan dengan baik, walaupun kenyataannya hasil penilaian
prestasi tersebut masih lebih banyak berupa koreksi.
2.5.3. Tujuan Penilaian Kinerja
Pada dasarnya dari sisi praktiknya yang lazim di setiap perusahaan tujuan
penilaian kinerja menurut (Rivai, 2005: 313) dapat dibedakan atas dua, yaitu:
1). Tujuan penilaian yang berorientasi pada masa lalu Praktiknya masih banyak
perusahaan yang menerapkan penilaian kinerja yang berorientasi pada masa
lampau, hal ini disebabkan kurangnya pengertian tentang manfaat penilaian
kinerja sebagai sarana untuk mengetahui potensi karyawan. Tujuan penilaian
kinerja yang berorientasi pada masa lalu ini adalah:
58
a)
Mengendalikan
perilaku
karyawan
dengan
menggunakannya
sebagai
instrumen untuk memberikan ganjaran, hukuman, dan ancaman.
b) Mengambil keputusan mengenai kenaikan gaji dan promosi.
c) Menempatkan karyawan agar dapat melaksanakan pekerjaan tertentu.
2). Tujuan penilaian yang berorientasi pada masa depan apabila dirancang secara
tepat sistem penilaian ini dapat:
a) Membantu
tiap
karyawan
untuk
semakin banyak
mengerti tentang
perannya
dan mengetahui secara jelas fungsi- fungsinya.
b) Merupakan
instrumen
kekuatankekuatan
dan
dalam
membantu
kelemahan-kelemahan
tiap
karyawan
sendiri
yang
mengerti
dikaitkan
dengan peran dan fungsi dalam perusahaan.
c) Menambah adanya kebersamaan antara masing- masing karyawan dengan
penyelia sehingga tiap karyawan memiliki motivasi kerja dan merasa
senang
bekerja dan sekaligus mau memberikan kontribusi sebanyak-banyaknya
pada perusahaan.
d) Merupakan instrumen untuk memberikan peluang bagi karyawan untuk
mawas diri dan evaluasi diri serta menetapkan sasaran pribadi sehingga
terjadi pengembangan yang direncanakan dan di monitor sendiri.
e) Membantu mempersiapkan karyawan untuk memegang pekerjaan pada
jenjang
perilaku
yang
lebih tinggi dengan cara terus-menerus meningkatkan
59
dan kualitas bagi posisi-posisi yang tingkatnya lebih tinggi.
f) Membantu dalam berbagai keputusan SDM dengan memberikan data tiap
karyawan secara berkala.
2.5.4. Penilaian Kinerja
Setiap karyawan dalam melaksanakan kewajiban atau tugas merasa bahwa
hasil kerja mereka tidak terlepas dari penilaian atasan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Penilaian kinerja digunakan untuk mengetahui kinerja
seorang karyawan.
Menurut (Rivai, 2005 : 55 ) manfaat penilaian kinerja adalah :
1. Manfaat bagi karyawan yang dinilai antara lain :
a) Meningkatkan motivasi
b) Meningkatkan kepuasaan kerja
c) Adanya kejelasan standar hasil yang diharapkan
d) Adanya kesempatan berkomunikasi ke atasan
e) Peningkatan pengertian tentang nilai pribadi
2. Manfaat bagi penilai
a) Meningkatkan kepuasan kerja
b)
Kesempatan
untuk
mengukur
dan mengidentifikasikan kecenderungan
kinerja
karyawan
c) Meningkatkan kepuasan kerja baik dari para manajer ataupun karyawan
d) Sebagai sarana meningkatkan motivasi karyawan
60
e) Bisa mengidentifikasikan kesempatan untuk rotasi karyawan
3. Manfaat bagi perusahaan
a) Perbaikan seluruh simpul unit-unit yang ada dalam perusahaan
b) Meningkatkan kualitas komunikasi
c) Meningkatkan motivasi karyawan secara keseluruhan
d) Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan
untuk masing-masing karyawan
2.5.5. Faktor dalam penilaian Kinerja
Menurut Dessler (2000) ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer,
yaitu:
1. Prestasi
pekerjaan,
meliputi:
akurasi,
ketelitian,
keterampilan,
dan
penerimaan keluaran
2. Kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan kontribusi
3. Kepemimpinan yang diperlukan, meliputi: membutuhkan saran, arahan
atau perbaikan
4. Kedisiplinan,
meliputi:
kehadiran,
sanksi,
warkat,
regulasi,
dapat
dipercaya/diandalkan dan ketepatan waktu
5. Komunikasi,
meliputi:
hubungan
antar
karyawan
maupun
dengan
pimpinan, media komunikasi.
Sementara Menurut (Hasibun, 2002: 59) unsur-unsur penilaian kinerja adalah
sebagai berikut:
1) Prestasi
61
Penilaian hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang dapat dihasilkan
karyawan.
2) Kedisiplinan
Penilaian disiplin dalam mematuhi peraturan-peraturan yang ada dan melakukan
pekerjaan sesuai dengan intruksi yang diberikan kepadanya.
3) Kreativitas
Penilaian
kemampuan
karyawan
dalam
mengembangkan
kreativitas
untuk
menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat bekerja lebih berdaya guna dan
berhasil guna.
4) Bekerja sama
Penilaian kesediaan karyawan berpartipasi dan bekerja sama dengan karyawan
lain secara vertikal atau horizontal didalam maupun diluar sehingga hasil
pekerjaannya lebih baik.
5) Kecakapan
Penilaian dalam menyatukan dan melaraskan bermacam-macam elemen yang
terlibat dalam menyusun kebijaksanaan dan dalam situasi manajemen.
6) Tanggung jawab
Penilaian
kesediaan
karyawan
dalam
memper
tanggung
jawabkan
kebijaksanaannya, pekerjaan dan hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang
digunakan, serta perilaku pekerjaannya.
2.5.6. Pelaku Penilaian Kinerja
62
Menurut (Robbins, 2006 :687) dalam penilaian kinerja terdapat beberapa
pilihan dalam penentuan mengenai yang sebaiknya melakukan penilaian tersebut
antara lain :
1. Atasan langsung, semua hasil evaluasi kinerja pada tingkat bawah dan
menengah pada umumnya dilakukan oleh atasan langsumg karyawan tersebut.
2. Rekan sekerja, evaluasi ini merupakan salah satu sumber paling handal dari
penilaian. Alasan rekan sekerja yang tindakan dimana interaksi sehari-hari
memberi pandangan menyeluruh terhadap kinerja dalam pekerjaannya.
3. Pengevaluasi diri sendiri, mengevaluasi kinerja mereka sendiri apakah sudah
konsisten dengan nilai-nilai, dengan sukarela dan pemberian kuasa.
4. Bawahan lansung, evaluasi bawahan langsung dapat memberikan informasi
yang tepat dan rinci mengenai perilaku seorang manajer, karena lazimnya
penilaian yang mempunyai kontak yang sering dinilai.
5. Pendekatan menyeluruh, pendekatan ini memberikan umpan balik kinerja dari
lingkungan penuh kontas sehari-hari yang mungkin dimiliki karyawan, yang
disekitar personal, ruang surat sampai kepelanggan atasan rekan sekerja.
2.6 Kinerja dalam Islam
Dalam Al quran surat Yaasin ayat 35 dijelaskan agar manusia bersyukur
kepada Allah SWT dengan cara beriman kepada Nya atas nikmat yang telah
dianugerahkannya. Nikmat tersebut, yaitu: pertama, Allah SWT telah memberi
kesempatan kepada manusia untuk bekerja secara produktif dan sukses dalam
hidupnya, dan kesempatan yang diberikan Allah ini bergantung pada pekerjaan
63
yang dilakukan oleh manusia sendiri disamping menyadarkan diri kepada
kehendakNya. Kedua, kehendak Allah menyediakan lingkungan agar manusia
dapat hidup didalamnya.
Rasio harus dimaksimalkan untuk berpikir. Pemikiran akan membuat garis
lurus dalam kehidupan yang akan membentenginya dari godaan hawa nafsu.
Hawa nafsu tidak dapat mengalahkan pikran kecuali jika manusia banyak
bersantai. Bekerja merupakan tugas dalam hidupnya, karenanya manusia tidak
boleh melakukannya dengan terpaksa. Manusia akan merasakan kenikmatan bila
mengerjakannya dengan penuh kesadaran.
Sedangkan menurut islam, kinerja dari setiap kegiatan tidak hanya didasarkan
pada material tapi tak kalah penting adalah bahwa itu adalah cara untuk lebih
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Kinerja material hanya untuk memenuhi
kebutuhan tubuh yang memfasilitasi ibadah kepada Allah (Alimuddin, 2011:124).
ِ ‫سيَ َرى اللَّ ُه َع َملَ ُك ْم َوَر ُسولُ ُه َوال ُْم ْؤِمنُو َن َو َستُ َردُّو َن إِلَى َعالِ ِم الْغَْي‬
‫ب‬
َ َ‫َوقُ ِل ا ْع َملُوا ف‬
َّ ‫َو‬
‫ادةِ فَ يُ نَبِّئُ ُك ْم بِ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َملُو َن‬
َ ‫الش َه‬
Artinya : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS At-Taubah, 9 : 105)
64
2.7. Hubungan Gaya Kepemimpinan dan Kinerja Karyawan
Perusahaan dapat berkembang merupakan keinginan setiap individu yang
berada dalam sebuah perusahaan, sehingga diharapkan perusahaan dapat bersaing
dan mengikuti kemajuan zaman. Karena itu, tujuan yang diharapkan oleh
perusahaan dapat tercapai dengan baik. Kemajuan perusahaan ini dipengaruhi
oleh banyak faktor-faktor lingkungan yang bersifat internal dan eksternal. Sejauh
mana tujuan perusahaan dapat tercapai dapat dilihat dari seberapa besar
perusahaan memenuhi tuntutan lingkungannya.
Memenuhi tuntutan lingkungan berarti dapat memanfaatkan kesempatan dan
atau mengatasi tantangan atau ancaman dari lingkungan perusahaan. Karena itu
salah faktor untuk perusahaan dalam menjawab tantangan tersebut adalah
tergantung pemimpin dengan gaya kepemimpinannya.
Siagian (1998) menyatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialami
sebagian besar dari organisasi ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang
dimiliki orang-orang yang diserahi tugas memimpin organisasi itu. Pendapat itu
mencerminkan
sehingga
memotivasi,
betapa
seorang
besar
pemimpin
mengarahkan,
peran
kepemimpinan
diharapkan
mempengaruhi,
dalam suatu organisasi,
mempunyai
dan
kemampuan
berkomunikasi
untuk
dengan
bawahannya sehingga tujuan organisasi itu bisa tercapai secara efektif dan efisien.
Jelas terlihat pula bahwa, pemimpin yang memberikan banyak perhatian,
dukungan, peranan yang lebih besar terhadap karyawan akan memberikan
kepuasan tersendiri bagi bawahan, yang juga akan membuat bawahan merasakan
65
kebebasan untuk mengeluarkan kreativitas dan kemampuannya sendiri dalam
menyelesaikan pekerjaan yang kemudian akan meningkatkan kinerja karyawan itu
sendiri.
Download