Catatan untuk Khotbah 28 Februari 2010 Pengkhotbah: Pdt. Budy Setiawan Nats Alkitab: ................... Ringkasan Khotbah 21 Februari 2010 Pengkhotbah: Pdt. Budy Setiawan Nats Alkitab: Matius 27:45-50 (Yesus mati) Audio khotbah dari minggu-minggu sebelumnya tersedia di website: www.griimelbourne.org Saya dulu mengatakan bahwa memasuki Injil Matius pasal 26 bagaikan masuk ke dalam ruang Maha Suci, di mana Kristus bergumul di taman Getsemani, dan berjuang di tengah puncak dari segala penderitaanNya. Tetapi saya rasa bagian yang akan kita baca hari ini, akan masuk ke dalam intinya, selayaknya Tabut Perjanjian di dalam ruang Maha Suci. Khususnya, ketika Kristus berseru dengan suara nyaring ,”Eli, Eli, lama sabakhtani!”. Inilah satu kengerian yang tidak mungkin kita mampu mengerti seluruhnya. Dalam teriakan ini ada kengerian dosa dan juga kasih yang tidak ada bandingnya. Dan bagian ini tidak akan habis digali oleh manusia. Martin Luther pernah merenungkan akan arti dari ayat ini. Setelah berpikir, merenungkan dan berdoa selama beberapa hari, maka dia berdiri dan memukul mejanya sambil berkata, “Siapa yang dapat mengerti Allah meninggalkan Allah?!” Ini memang bagian yang tidak mungkin kita mengerti seluruhnya, tapi kita masih bisa mengerti sebagian dari apa yang Tuhan nyatakan kepada kita. Kalau kita pernah mengalami apa artinya ditinggal oleh orang yang dekat dengan kita, misalnya ditinggalkan pacar (yang pasti akan membekas di hati kita untuk waktu yang cukup lama), maka kita bisa melihat bahwa semakin dekat suatu relasi, semakin berat pula perpisahan yang akan terjadi. Demikian pula kita bisa jadi lebih mengerti akan teriakan Tuhan Yesus ketika ditinggalkan Allah Bapa. Tapi itu pun kita baru mengerti sedikit, karena Tuhan Yesus dari kekekalan menerima kasih Allah yang tak terbatas. Di dalam kitab Kejadian, ketika Tuhan menciptakan segala sesuatu, sudah ada divine discourse, di mana Allah berkata di dalam keTritunggalannya. Ini menunjukkan satu komunitas yang begitu indah, dekat dan dari kekekalan tak terpisahkan dari satu Pribadi dengan Pribadi yang lain. Tetapi, selama tiga jam dalam ayat yang telah kita baca tadi, Tuhan Yesus harus ditinggalkan oleh Bapa-Nya. Leon Morris mengatakan, “The unbroken communion between the Father and the Son was mysteriously broken”1. Maka ini akan menjadi sumber perenungan yang tak akan habishabisnya untuk mengerti berapa besar kasih Allah kepada kita dan betapa besarnya murka Allah terhadap dosa. Di dalam Alkitab, Daud berkata bahwa ia tidak pernah melihat sejak masa muda sampai masa tuanya, bahwa orang benar ditinggalkan Allah. Begitu pula dari Perjanjian Lama, merupakan satu kerinduan umat Allah agar Tuhan beserta mereka selalu, seperti yang kita lihat ketika Musa berdoa agar agar bangsa Israel tidak melangkah kecuali Tuhan beserta dengan mereka. Ini merupakan kerinduan seluruh orang percaya agar Tuhan tidak meninggalkan mereka. Dan Allah Bapa telah mendeklarasikan ke-berkenanan-Nya pada saat Yesus dibaptis, ini adalah kebenaran yang sudah ada sejak kekekalan. Namun pada waktu tiga jam itu, Allah Bapa meninggalkan Anak-Nya. Kalau kita melihat dari ayat 45, ada kegelapan yang meliputi tempat itu dari jam 12 siang sampai jam 3 sore. Ini adalah kegelapan yang tergelap dalam sejarah manusia, namun bukanlah gerhana matahari, sebab Paskah selalu jatuh pada waktu bulan purnama. Hal ini bisa dilihat sebagai satu keajaiban, bahwa alam pun turut berduka melihat Pencipta mereka itu dipaku di atas kayu salib. Alkitab juga mengajarkan bahwa kegelapan itu menyatakan murka dan kesedihan Allah yang begitu dalam. Habakuk 1:13 mengatakan, “Your eyes are 1 Leon Morris. The Gospel According to Matthew too pure to look on evil; You cannot tolerate wrong”, dan Sang Terang itu pun memalingkan muka-Nya dan Anak Allah yang terkasih itu harus menerima murka Tuhan atas dosa kita. Saya mengajak kita untuk merenungkan setidaknya dua hal pada sore ini. Yang pertama, bagaimanakah kita boleh mengerti akan teriakan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Dari teriakan ini ada kengerian sekaligus upah dari dosa. Di atas bukit Kalvari ini, seluruh kerusakan manusia terungkap dengan jelas, manusia lebih suka kegelapan daripada terang. Kita telah melihat bagaimana mereka berkonspirasi untuk menjatuhkan hukuman mati walaupun tidak didapati kesalahan dalam diri Yesus. Bahkan Pilatus yang tidak menemukan kesalahan, berusaha melepaskan Yesus Kristus dengan membuat mereka memilih antara Dia dan Barabas. Namun, mereka memilih untuk menyalibkan Yesus Kristus. Arthur Pink menjelaskan bagaimana dosa sejak kitab Kejadian makin lama makin rusak. Ketika Adam dan Hawa berdosa, mereka melakukan bunuh diri. Kemudian Kain membunuh saudaranya sendiri. Namun sekarang, manusia bukan saja membunuh orang lain, tapi membunuh Anak Allah yang Tunggal. Di tengah kengerian dosa inilah, Tuhan Yesus sedang menanggung dosa manusia. Kita bisa melihat juga di atas kayu salib dinyatakan upah dosa, yaitu maut. Jelas kematian ini dimulai dari Adam secara spiritual ketika dia melawan Allah, dan setelah itu kematian secara jasmani juga. Dan jika sebelum kita mengalami kematian jasmani tidak ada anugerah Tuhan, maka kita akan masuk seluruhnya ke dalam kematian yang kekal. Apa artinya kematian kekal? Yaitu kematian di mana kita selama-lamanya terpisah dari Allah, sehingga itu merupakan siksaan yang kekal. Markus mengatakan bahwa di situ ulat-ulat bangkai tidak mati, dan api tidak akan padam. Tapi kita lihat dari perikop hari ini, untuk waktu yang singkat, Tuhan mengalami apa yang disebut neraka tersebut. Dia melalui neraka yang sementara itu, agar kita tidak terpisah dari Allah untuk selama-lamanya. Seorang penulis mengatakan, “Biarlah teriakan Tuhan di atas kayu salib ini, satu-satunya yang ditulis oleh Matius dari tujuh perkataan salib, menghancurkan hati yang paling keras.” Hal yang kedua yang kita renungkan pada kali ini, bahwa teriakan itu menunjuk pada kesucian Tuhan yang absolut dan keadilan-Nya yang tidak berubah. Allah yang adalah adil dan suci itu tidak bisa dirubah atau dipengaruhi apa pun. Banyak orang yang tidak percaya kepada Kristus, bertanya mengapa Anak Allah harus dipaku di atas kayu salib, mengapa Allah tidak bisa memaafkan dosa manusia begitu saja. Namun ada dua kesalahan dari pertanyaan seperti ini. Yang pertama, pertanyaan ini bersumber dari ketidakmengertian akan betapa seriusnya dosa manusia (poin pertama yang dibahas tadi). Kita telah melawan Tuhan dengan segala yang kita miliki, padahal itu semua adalah dari Tuhan (baik itu pikiran, kesehatan, kekuatan dan anugerah lainnya). Yang kedua, di mana sisi yang lain adalah ketidakmengertian akan keadilan dan kesucian Allah. Ketika manusia melihat Allah yang suci, maka ia akan juga langsung sadar akan betapa berdosa dan tidak layaknya dia. Alkitab terus menerus mengatakan itu kepada kita, seperti ketika Yesaya bertemu dengan Tuhan Allah (Yesaya 6:1-5). Padahal, jika kita lihat pada konteksnya, Yesaya merupakan orang yang melayani Tuhan dan sangat dihormati bangsa Israel. Di hadapan Tuhan Allah, dia menyadari keberdosaannya itu. Banyak contoh-contoh di Alkitab (Lukas 5:1-11, Ayub 42:1-6) yang menyatakan orang-orang yang bertemu dan melihat kemuliaan, kesucian dan keadilan Tuhan, bagaimana mereka menjadi sadar bahwa dirinya berdosa. Maka di atas kayu salib inilah puncak dari keadilan dan kesucian-Nya. Di sini Anak Allah yang Tunggal harus memikul seluruh murka Allah terhadap dosa. 1 Yohanes 1:9 mengatakan bahwa jika kita mengaku dosa kita, maka dia adalah Allah yang setia dan adil, sehingga Dia akan mengampuni dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Bukankah kalau seorang penjahat mengakui kesalahannya di kantor polisi, ia tetap akan dijatuhi hukuman. Sebab kepolisian adalah institusi yang adil. Bagaimanakah Allah yang adil bisa mengampuni dosa kita? Maka ayat-ayat sebelumnya mengatakan bahwa Yesus Kristus telah mati untuk menebus dosa kita, dan darah-Nya dicurahkan bagi kita. Karena murka terhadap dosa manusia sudah dipuaskan melalui kematian Anak-Nya yang Tunggal. Itulah satu-satunya jalan yang boleh memperdamaikan kita dengan Tuhan. Dan dari sana kita bisa melihat betapa besarnya kasih Tuhan kepada kita. Paulus memakai istilah propitiation di dalam menjelaskan hal ini. Propitiation merujuk pada Allah yang murka terhadap dosa manusia, dan karena kasih-Nya yang begitu besar, Dia tidak ingin manusia binasa akibat dosa mereka. Maka di situlah kita melihat jalan yang Tuhan Yesus ambil: Ia memenuhi kedua-duanya. Dia harus menerima kutukan dosa di atas diri-Nya sendiri, tapi di situ sekaligus menyatakan kasih Tuhan yang begitu besar. Ini berbeda sekali dengan banyak konsep di dalam berbagai agama, mengenai tumbal atau penggantian. Hampir di dalam seluruh agama ada konsep substitusi. Kalau kita mengadakan selametan di rumah, harus ada darah ayam yang dicurahkan. Kalau membangun jembatan, harus ada kepala kerbau yang ditanam di bawah jembatan. Dan ketika gunung meletus di zaman dahulu, maka orang-orang akan memberikan sesajen atau persembahan untuk menenangkan murka dari para dewa yang sedang marah. Namun konsep ini menjadi sangat berbeda di dalam Alkitab. Di manakah perbedaan-Nya? Bukankah ada miripnya ketika Yesus mati dan menanggung murka Tuhan? Perbedaan yang sangat mendasar adalah siapa yang memberikan korban itu. Allah yang murka terhadap manusia berdosa, Dia juga yang mengutus Anak-Nya yang Tunggal sebagai korban. Saya akan menutup dengan mengambil contoh dari Markus 4. Ketika Tuhan Yesus mengajak para murid menyeberang ke danau Galilea dengan perahu, mereka dihadapkan dengan angin badai yang begitu keras sampai mengombang-ambingkan perahu mereka. Mereka adalah nelayan-nelayan yang sehari-harinya menangkap ikan di danau tersebut. Tapi hari itu mereka begitu ketakutan karena dahsyatnya badai. Dan mereka membangunkan Yesus yang sedang tidur, sambil seakan-akan menuduh bahwa Kristus tidak peduli bila mereka mati karena badai. Maka Tuhan Yesus berkata ”Diamlah!”, dan danau tersebut langsung tenang. Kemudian keluar perkataan yang menarik dari Tuhan Yesus, “Mengapa kamu begitu takut?” Ini jelas pertanyaan yang boleh menggugah kita. Murid-murid Tuhan seharusnya bisa membalas pertanyaan-Nya karena mereka sewajarnya boleh takut terlepas kemahiran mereka sebagai nelayan, angin ribut tersebut memang begitu menyeramkan. Di sini kita justru melihat bagaimana kita sebagai orang Kristen harus hidup yang supra-normal. Kita hidup bukan hanya makan minum seperti biasa saja. Karena Kristus sudah dibangkitkan, maka Paulus memberi contoh dengan hidup menderita bagi Tuhan, dan setiap harinya membawa tubuh kematian Kristus. Jangan pikir hidup Kristen itu hanya yang baik-baik, cuma ke gereja, tidak berbuat jahat. Panggilan hidup Kristen ialah hidup yang berjuang untuk kemuliaan Tuhan, yang di dalamnya banyak kesulitan dan penderitaan. Setiap orang yang mau hidup berkenan bagi Tuhan, pasti menderita (2 Tim 3:12). Dan jika kita lihat kembali di dalam Markus, para murid justru merespons dengan sangat ketakutan, bukannya tenang setelah melihat badai yang reda. Kata ’ketakutan’ yang kedua ini justru mengungkapkan bagaimana para murid semakin mengenal Tuhan. Hari ini kita merenungkan bagaimana Sang Terang, yang begitu berkuasa atas angin ribut itu, harus dipaku di atas kayu salib. Tapi puji Tuhan, kegelapan hanya terjadi selama tiga jam saja. Ringkasan oleh Andy Lasmono | Diperiksa oleh Christian Tirtha