Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 PENELITIAN AWAL GUNUNG API PURBA DI DAERAH MANGGARAI BARAT, FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR, INDONESIA Hill. Gendoet Hartono Pengajar di Jurusan Teknik Geologi, STTNAS, Yogyakarta E-mail: [email protected] Abstrak Pulau Flores terletak di antara busur Sunda di bagian barat dan busur Banda di bagian timur serta di perbatasan antara cekungan Flores di utara dan cekungan Savu di selatan. Secara umum tataan geologi Pulau Flores bagian utara sangat rumit, tersusun oleh batuan berumur Tersier seperti batuan beku, klastika gunung api dan batuan sedimen, sedangkan bagian selatan terdapat gunung api aktif. Daerah penelitian terletak di Gololajang, Manggarai Barat tersusun sebagian besar oleh batuan gunung api yang membentuk bentang alam berelief kasar dan beberapa diantaranya memperlihatkan bentuk bulan sabit dengan batuan intrusi di bagian dalamnya. Genesis yang meliputi proses, umur, sumber material dan lingkungan pengendapan hingga saat ini masih diperdebatkan dan diteliti oleh para ahli kebumian. Stratigrafi yang ada mencerminkan kerumitan tersebut terlebih bila dikaitkan dengan pentarikhan umur absolut terhadap batuan beku dan batuan gunung api yang terletak berdekatan dengan batuan sedimen yang menjadi dasar penyatuan. Metode pendekatan yang dilakukan adalah pembelajaran geologi gunung api. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Formasi Kiro, Formasi Nangapanda dan Formasi Bari sebagai penyusun utama. Formasi Kiro dan Nangapanda umumnya disusun oleh material asal gunung api yang terdiri atas batuan intrusi, batuan gunung api produk lelehan dan letusan dengan berbagai variasi komposisinya. Berdasarkan analisis bentang alam dan stratigrafi gunung api maka daerah Gololajang dan sekitarnya disusun oleh satuan gunung api Khuluk Gololajang, Khuluk Tueng, Khuluk Mawe, yang berkembang di dalam Bregada Ruteng. Kata-kata kunci: Pulau Flores, gunung api, khuluk, bregada. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 PENDAHULUAN Pulau Flores terletak di antara busur Sunda di bagian barat dan busur Banda di bagian timur serta di perbatasan antara cekungan Flores di utara dan cekungan Savu di selatan (Gambar 1). Busur Banda terbentang dari Bali ke arah timur melalui Sumbawa, Flores dan pulau-pulau kecil timur Flores serta melengkung ke arah utara menyerupai bentuk sendok (Katili, 1975; Hamilton, 1978). Keberadaan Pulau Flores khususnya dan kepulauan Indonesia bagian timur tidak terlepas dari peran gerak-gerak tektonik lempeng samudera dan lempeng benua yang menyertainya. Gambar 1. Peta yang memperlihatkan Pulau Flores yang terletak diantara busur Sunda di bagian barat dan busur Banda di bagian timur (Wensink dan van Bergen, 1995). Penelitian geologi telah banyak dilakukan, sebagai contoh Abbot dan Chamalaun (1981); Katili dan Sudradjat (1989); Abdullah et al. (2000); dan Soeria-Atmadja et al. (2001), namun penelitian tentang keberadaan gunung api purba yang dikaitkan dengan genesis, lokasi sumber erupsinya belum banyak dilakukan, terlebih bila dihubungkan dengan keberadaan mineralisasi primer. Tujuan penelitian awal ini adalah untuk mengungkap keberadaan tubuh gunung api purba dan suksesi pembentukan batuan gunung api di Daerah Manggarai Barat, Flores berdasar litostratigrafi yang dilandasi pemahaman volkanologi dan citra Landsat. Metode pendekatan yang dilakukan adalah penelitian geologi permukaan, sedangkan untuk mengetahui keberadaan gunung api purba dengan menerapkan prinsip geologi ”The present is the key to the past” serta pemerian berbagai jenis batuan gunung api yang tersingkap di permukaan bumi, dan kompilasi data sekunder yang terkait dengan topik bahasan. Lokasi daerah yang menjadi fokus pembahasan adalah Desa Gololajang, Desa Goloriwu, Kecamatan Macang Pacar dan sekitarnya, lebih kurang 30 km sebelah baratlaut dari kota Ruteng, Manggarai Barat (Gambar 2). Lokasi ini dipilih karena terkait dengan pekerjaan pemetaan mineral ekonomi mangan (Mn) yang diberikan oleh pihak PT. GEORE bekerja sama dengan Jurusan Teknik Geologi STTNAS. Pekerjaan lapangan berlangsung selama satu bulan pada bulan Nopember tahun 2008. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 Gambar 2. Lokasi daerah penelitian, daerah pemetaan mineral mangan PT. GEORE (tanda kotak). Daerah penelitian menjadi penting untuk studi magmatisme-volkanisme, stratigrafi gunung api karena di bagian selatan dan tenggara dibangun oleh tubuh gunung api berumur Kuarter yaitu G. Wae Sano dan G. Anak Ranakah, sedangkan di bagian utara Pulau Flores dibangun oleh batuan asal gunung api berumur Tersier. Sementara itu di bagian timulaut daerah penelitian tepatnya di Teluk Reo dijumpai eksplorasi dan eksploitasi mineral ekonomi asal gunung api. Di sisi lain penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap tataan geologi gunung api Pulau Flores bagian barat dan dapat menjadi konsep pendukung pencarian sumber daya geologi asal gunung api. DASAR TEORI Secara sederhana magma didefinisikan sebagai material induk pembentuk batuan beku atau disebut sebagai zat batuan yang mencair. Magma dicirikan oleh komposisi yang didominasi silika (SiO 2), bersuhu tinggi dan mempunyai kemampuan untuk mengalir. Grove (2000) mendifinikasn magma sebagai batuan pijar yang terdiri dari tiga atau lebih komponen lelehan cair silikat, kristal padat dan gelembung gas. Magma yang membeku di dalam bumi akan menghasilkan batuan intrusi atau batuan plutonik, sedangkan lava adalah magma yang membeku di permukaan bumi. Di pihak lain, Condie (1982) menyebutkan bahwa kebanyakan kemunculan magma dihasilkan di batas lempeng, kecuali pada sesar transform yang bilamanapun ada dihasilkan magma dalam jumlah sedikit. Lingkungan dimana magma dihasilkan dapat dikelompokkan ke dalam lingkungan tepi lempeng (plate margin) dan bagian tengah lempeng (intraplate). Macdonald (1972) mendifinisikan gunung api sebagai tempat atau bukaan yang menjadi titik awal bagi batuan pijar dan atau gas yang keluar ke permukaan bumi dan bahan sebagai produk yang menumpuk di sekitar bukaan Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 tersebut membentuk bukit atau gunung. Tempat atau bukaan tersebut disebut kawah atau kaldera, sedangkan batuan pijar dan gas adalah magma. Batuan atau endapan gunung api adalah bahan padat berupa batuan atau endapan yang terbentuk sebagai akibat kegiatan gunung api, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hartono (2009, in press) menyebutkan bahwa bentuk tubuh gunung api komposit yang dibangun oleh perselingan berbagai jenis batuan gunung api (koheren lava dan piroklastika) membentuk suatu keteraturan-keteraturan sesuai jarak pengendapan dari pusat erupsinya. Peneliti sebelumnya seperti Williams dan MacBirney (1979) membagi sebuah kerucut gunung api komposit menjadi tiga zona (Gambar 3), yakni Zona Pusat (Central Zone; di dalam sekitar 0,5 hingga 2 km dari zona pusat), Zona Proksi (Proximal Zone; di atas 5 hingga 15 km dari zona pusat), dan Zona Distal (Distal Zone; lebih daripada 5 hingga 15 dari zona pusat). (1) Zona Pusat disusun oleh batuan intrusi dan kubah lava; (2) Zona Proksi disusun oleh aliran lava dan bahan piroklastika, serta perselingan antara lava dan bahan piroklastika; (3) Zona Distal disusun oleh material hasil pengerjaan ulang bahan asal gunung api. TATAAN GEOLOGI Indonesia merupakan tempat pertemuan, interaksi dan tumbukan tiga lempeng kerak tektonik. Ketiga lempeng tektonik yang terlibat tersebut meliputi Lempeng Pasifik, Lempeng Hindia-Australia, dan Lempeng Eropa-Asia serta ketiganya bergerak dengan kecepatan yang tidak sama. Pergerakan lempenglempeng itulah yang diperkirakan bertanggung jawab terhadap kehadiran ratusan gunung api aktif dan tidak aktif di wilayah Indonesia (Katili, 1975). Gambar 3. Penampang variasi fasies dasar batuan gunung api yang berkaitan dengan pusat gunung api (modifikasi dari Williams dan MacBirney, 1979). Pulau Flores sedikitnya terdapat 13 gunung api aktif yang berjajar di bagian selatan berarah barat – timur dan terdapat sekurangnya 5 gunung api yang merupakan lapangan panas bumi, sedangkan gunung api yang kegiatannya terjadi pada masa prasejarah lebih kurang sejumlah 4 buah (van Padang, 1951). Di pihak lain, Soeria-Atmadja et al. (2001) menyebutkan bahwa terdapat dua jalur magmatik sejajar yang menyusun busur Sunda – Banda yaitu jalur magmatik berumur Tersier Awal dan Tersier Akhir – Kuarter (Gambar 4). Hendaryono et al. (2001) memperkirakan bahwa di Pulau Flores, Indonesia Timur mengalami dua siklus kegiatan magmatisme yang didasarkan pada Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 sistesa penampang stratigrafi yang didukung pentharikan umur radiometri 40 40 K- Ar. Volkanisme pertama berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Atas. Kegiatan volkanisme tertua menunjukkan umur 27,7 – 25 juta tahun lalu dan periode yang lebih muda menunjukkan umur 16 – 8,4 juta tahun lalu. Volkanisme kedua terjadi pada akhir Miosen hingga Plio-Kuarter yang menunjuk pada angka 6,7 hingga 1,2 juta tahun lalu. Selain hal tersebut, peneliti ini juga memperlihatkan analisis unsure oksida utama dengan kisaran kandungan silika antara 50 – 70 % berat dan kandungan K2O umumnya kurang dari 1 % berat yang menunjuk pada tipe magma tholeiit hingga kapur alkali normal. Selain pernyataan yang disebutkan sebelumnya, Katili (1975) juga menyatakan bahwa terdapat perbedaan tataan geologi antara sistem palung busur Jawa dengan sistem palung busur Timor. Pada Gambar 5 memperlihatkan adanya dua fase perkembangan busur Banda. Di dalam fase awal, lempeng samudera Hindia-Australia menunjam di bawah lempeng samudera Banda, dan dalam fase akhir diikuti oleh subduksi kerak benua Australia ke dalam zona subduksi busur Banda sebagai pengapungan Australia yang menerus ke arah utara. Genrich et al. (1996) menyebutkan bahwa pengukuran geodetik sistem informasi geografis pada 30 lokasi di Indonesia (termasuk di Ruteng) dan 4 lokasi di Australia menunjukkan bahwa daerah pinggir benua Australia tumbuh di busur kepulauan Banda. Peristiwa ini memberikan gambaran adanya persentuhan kerak benua Australia dengan kerak benua Eurasia, yang memberikan pengaruh perkembangan struktur geologi, stratigrafi, geokimia, magmatisme dan volkanisme pada wilayah Indonesia bagian timur (Carter et al. 1976; Elburg et al. ?; McCaffrey dan Abers, 1991; Macpherson dan Hall, 1999). Gambar 4. Jalur gunung api Oligosen-Miosen dan Pliosen-Kuarter dalam Busur SundaBanda (Sumatra-Flores) menurut Soeria-Atmadja et al. (2001). Bacharudin (1988; dalam Katili dan Sudradjat, 1989) melakukan analisis berdasarkan citra Landsat daerah Flores Barat. Hasil analisis memperlihatkan adanya dominasi litologi berupa batuan sedimen berumur Miosen di bagian utara dan batuan gunung api berumur Kuarter di bagian selatan, yang kedua batuan tersebut memperlihatkan penyebaran barat – timur (Gambar 6). Namun, di pihak lain (Koesoemadinata et al. 1994) menyatakan bahwa bagian utara terutama Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 disusun oleh batuan gunung api yang dimasukkan ke dalam kelompok Formasi Kiro (Tmk) berumur Miosen Awal. Formasi Kiro merupakan batuan tertua di Flores Barat terdiri dari breksi, lava, tuf dengan sisipan batupasir tuf yang mempunyai kedudukan jurus tenggara hingga timurlaut dan kemiringan antara o o 10 – 20 . Breksi dengan komponen pecahan andesit dan basal, dan di beberapa tempat telah mengalami alterasi dan mineralisasi membentuk magnetit dan mangan. Gambar 5. Penampang utara-selatan yang memotong Timor-Flores (Katili, 1975), memperlihatkan konfigurasi lempeng bawah permukaan dan perkiraan genesis Pulau Timor dan Pulau Flores. Gambar 6. Hasil interpretasi geologi Flores Barat dari citra Landsat (Bacharudin, 1988; dalam Katili dan Sudradjat, 1989). Stratigrafi atau urut-urutan litologi yang menyusun Pulau Flores secara umum dari tua ke muda (Gambar 7) menurut Koesoemadinata et al. (1994) adalah Formasi Kiro (Tmk) berumur Miosen Awal, kemudian menumpang menjari di atasnya Formasi Nangapanda (Tmn), Formasi Bari (Tmb), Formasi Tanahau (Tmt) berumur Miosen Tengah, selanjutnya diterobos batuan granit Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 (Tmg) dan batuan diorit (Tmd) berumur Miosen Akhir. Setelah itu berkembang di atasnya Formasi Waihekang (Tmpw) yang menjari dengan Formasi Laka (Tmpl) berumur Pliosen, dan kemudian ditutupi oleh produk kegiatan gunung api tua (QTv) berumur Pleistosen. Secara tidak selaras di atasnya diendapkan kelompok batuan dan endapan paling muda atau sekarang masih berlangsung pembentukannya yang diwakili oleh batuan gunung api muda (Qhv), undak pantai (Qct), batugamping koral (Ql), dan aluvium (Qal). Gambar 7. Stratigrafi Pulau Flores, Nusa Tenggara pada lembar Ruteng (Koesoemadinata et al. 1994). HASIL PENELITIAN Kegiatan pemetaan lapangan geologi menghasilkan 202 lokasi pengamatan geologi terpilih yang tersebar di daerah penelitian (Gambar 8). Dari hasil pengamatan litologi dan pemerian megaskopis dapat dibagi ke dalam 4 kelompok batuan segar yaitu batuan beku masif, batuan gunung api breksi piroklastik, batuan gunung api tuf, dan batuan sedimen karbonat yaitu batugamping, sedangkan kelompok yang lain terdiri dari 2 kelompok batuan terubah yaitu batuan ubahan yang mengandung mangan dan tubuh bijih mangan (Mn). Hampir setengah dari daerah penelitian terdapat batuan yang mengandung unsur mangan (walaupun diperkirakan dalam kadar kecil) dan hanya sebagian kecil di daerah tenggara yaitu di daerah Tueng kurang lebih satu kilometer persegi disusun oleh tubuh bijih mangan (manganese ore body). Ciri fisik bijih mangan yaitu warna hitam arang-mengkilat, dapat berupa abu hitam dan padat, berat, kenampakan permukaan sering memperlihatkan bentuk membulat. Hasil analisis laboratorium berupa petrografi, geokimia (AAS), dan analisis kadar mangan terhadap sampel terpilih menjadi milik PT. GEORE dan tidak diperbolehkan untuk dipublikasi. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 Gambar 8. Lokasi pengamatan geologi dan pengambilan contoh setangan batuan segar dan batuan yang diperkirakan mengandung mineral bijih mangan (Mn) di daerah penelitian. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis citra Landsat yang dipandu oleh peta topografi, daerah penelitian berbentuk perbukitan bergelombang kuat yang berelief kasar – sangat kasar berarah relatir barat – timur, dan terdapat tonjolan-tonjolan bukit yang membentuk bentang alam anomali yaitu relatif melingkar dan membuka ke suatu arah tertentu (Gambar 9). Pada Gambar 9B memperlihatkan adanya perbedaan pola kontur daerah penelitian bagian barat dan bagian timur. Bentang alam bagian barat membentuk perbukitan bergelombang lemah, berelief relatif landai dengan beda tinggi antara + 825 m dpl. hingga + 625 m dpl. Bentang alam ini diwakili oleh Desa Gololajang dan melandai ke arah bagian barat dan utara, sedangkan bentang alam bagian timur bergelombang kasar – sangat kasar, berelief kuat dengan beda tinggi antara + 1000 m dpl. hingga + 275 m dpl. Bentang alam bagian timur diwakili oleh Desa Goloriwu dan Desa Tueng. Kedua bentang alam utama tersebut dibatasi oleh aliran sungai utama Wae Songkang yang arah alirannya ke utara hingga bermuara di Teluk Reo (lihat Gambar 9A). Pada Gambar 9C terdapat bentukan – bentukan yang relatif melingkar – setengah melingkar menyerupai bulan sabit (half moon) atau menyerupai bentuk tapal kuda (horseshoe shape). Daerah penelitian sedikitnya disusun oleh tiga bentuk – bentuk bentang alam melingkar – setengah melingkar yaitu di bagian timur diwakili oleh Desa Gololajang dan Desa Tueng, sedangkan di bagian barat diwakili oleh Desa Golomawe. Tampak bagian dalam pada ketiga tinggian yang membentuk bentang alam anomali ini terdapat bentuk tonjolan dan rendahan. Bentuk tonjolan tersebut disusun oleh batuan terobosan (Gambar 10), sedangkan bentuk rendahan disusun oleh batuan yang telah mengalami alterasi dan tererosi sehingga membentuk cekungan. Bentuk lengkungan bagian luar yang lebih besar disusun oleh perselingan breksi gunung api dan lava membentuk gawir terjal. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 Gambar 9. Lokasi penelitian bagian dari wilayah Flores Barat: A) Tampak dari citra Landsat; B) Tampak pola kontur dan pola aliran sungai, dan C) Tampak hasil olahan tiga dimensi yang menunjukkan relief kasar melingkar-setengah melingkar menyerupai bentuk bulan sabit. Gambar 10. Batuan intrusi andesit yang memperlihatkan bentuk kerucut simetri di Desa Gololajang. A) Tampak dekat, dan B) tampak jauh dengan latarbelakang gawir terjal yang melingkupinya. Tampak juga pada Gambar 9C bahwa daerah bukaan dikuasai oleh aliran lava dan material gunung api lainnya, kecuali pada daerah bukaan yang menempati bagian timurlaut. Pada daerah yang terakhir ini bentuk lengkungannya paling besar dan mempunyai relief lebih rendah dibanding dua bentukan lainnya. Pola pengaliran daerah penelitian dibangun oleh tiga sungai utama yaitu Wai Songkang, Wai Pou – Wai Kodal, dan Wae Raeng. Ketiga sungai utama di daerah penelitian ini kemudian menyatu di sebelah utara yaitu di Desa Kombo Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 pada aliran sungai utama Wai Ncuring yang arah alirannya ke timurlaut dan membelok ke utara menuju Teluk Reo. Cabang – cabang sungai mengalir mengikuti bentuk bentang alamnya yaitu berpola memusat dan kemudian menyatu di daerah bukaan bilamana aliran tersebut di dalam daerah kawah, sedangkan berpola menyebar menjauhi daerah sumber/ kawahnya. Secara umum batuan yang menyusun daerah penelitian berupa batuan beku, breksi andesit, breksi pumis tuf, dan batugamping (Gambar 11). Menurut Koesoemadinata et al. (1994) batuan – batuan tersebut dikelompokkan ke dalam Formasi Kiro, Formasi Nangapanda, dan Formasi Bari. Daerah penelitian dikuasai oleh batuan beku, dan batuan gunung api (Gambar 12). Batuan beku di sini terdiri dari batuan beku intrusi dalam (diorit), dan batuan beku intrusi dangkal (andesit) atau koheren lava. Batuan intrusi ini dilingkupi perselingan breksi andesit, lava, dan tuf. Di bagian barat laut daerah penelitian dijumpai breksi o pumis yang berselingan dengan tuf yang mempunyai kemiringan 15 ke arah baratlaut. Batuan beku intrusi yang tersingkap di Desa Gololajang berkomposisi dari diorit dan andesit porfiri – andesit, sedangkan di Desa Tueng dan Desa Golomawe berkomposisi andesit porfiri – andesit afanit. Breksi andesit disusun oleh komponen bom dan blok gunung api, umumnya berkomposisi andesit. Singkapan breksi andesit ini sering dijumpai berselingan dengan lava andesit dan batutuf. Lava andesit sering memperlihatkan struktur permukaan kasar dan menyudut (breksi autoklastika). Kelompok ini membentuk bentang alam tinggian berelief kasar dan mempunyai kemiringan melandai menjauhi bentang alam intrusi. Gambar 11. Berbagai ragam jenis batuan di daerah penelitian: A) batuan beku andesit; B) breksi andesit; C) batutuf; D) batugamping; E) intrusi sill basal diantara tuf; dan F) batuan beku andesit porfiri dengan struktur kolumnar. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 Batugamping berkembang baik di bagian utara dan bagian timur daerah penelitian, umumnya berlapis dan di beberapa lokasi dijumpai batugamping koral atau reef dalam bentuk bongkah. Batugamping yang tersingkap di utara menempati daerah dataran, sedangkan di timurlaut dan timur menempati daerah dengan lereng terjal menempel di atas breksi gunung api. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa kekar dan sesar mendatar (diperkirakan) mengkiri memotong diagonal berarah baratlaut – tenggara daerah penelitian. Struktur geologi yang lain berupa intrusi, perlapisan batuan (radier), struktur melingkar, dan kekar pendinginan pada batuan beku. Gambar 12. Peta geologi daerah penelitian yang didominasi batuan beku dan batuan gunung api, dan sedikit batuan sedimen. DISKUSI Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, genesis daerah penelitian dapat disimpulkan berasosiasi dengan peran gerak-gerak lempeng tektonik, dan magmatisme – volkanisme (misal: Katili, 1975 dan Soeria-Atmadja et al., 2001). Namun demikian, penelitian awal ini menunjukkan bahwa distribusi produk kegiatan gunung api mempunyai keteraturan-keteraturan yang signifikan, seperti misalnya bentuk struktur setengah melingkar membuka ke suatu arah berasosiasi dengan letusan gunung api sektoral; batuan intrusi dikungkungi atau dilingkupi oleh perselingan batuan beku luar dan piroklastika artinya perselingan batuan ini merupakan produk primer gunung api yang berasosiasi dengan endapan di sekitar lubang kawah; kemiringan batuan gunung api fragmental berupa tuf dan lapili hingga breksi halus berbentuk radier mengikuti bentuk kerucut gunung api, kemiringan perlapisan batuan tersebut berasosiasi dengan kemiringan awal (initial dip) yang dibangun oleh batuan hasil kegiatan erupsi gunung api. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 Bentang alam perbukitan bergelombang kuat dan berelief kasar bukan semata-mata merupakan produk akhir dari suatu kegiatan tektonik rejim kompresif dan pelapukan batuan, melainkan kemungkinan berhubungan dengan sisa tubuh gunung api (volcanic edifice) in situ dan resistensi batuan penyusun. Artinya suatu gunung api membangun tubuhnya sendiri terkait dengan perilaku magmanya. Misalkan magma dengan komposisi menengah hingga asam mempunyai kecenderungan untuk membangun tubuhnya setinggi dan sebesar mungkin, tetapi berbeda dengan magma berkomposisi basa hanya mampu membangun tubuhnya kecil dan landai. Berdasarkan pentharikan umur absolut (K-Ar) yang dilakukan oleh Hendaryono et al. (2001) bahwa batuan intrusi tertua berumur 16 – 13 juta tahun lalu (jtl.); 12 – 8 jtl., dan kemudian disusul intrusi yang menunjukkan umur 6,7 jtl. - 3,9 jtl. dan menerus hingga sekarang. Peneliti tersebut juga menyatakan bahwa batuan intrusi tersebut menerobos seluruh batuan sedimen dan batuan gunung api klastik yang ada. Pernyataan umur batuan intrusi ini menunjukkan bahwa telah terjadi erupsi gunung api secara menerus di daerah Flores, NTT. Hal tersebut dapat diinterpretasikan dengan terjadinya proses pengkayaan unsur di dalam batuan yang mempunyai sifat ekonomi, karena batuan yang diterobos berulang-ulang akan mengalami alterasi dan mungkin juga terjadi mineralisasi. Selain hal tersebut, pentharikan umur juga mendukung terhadap pemahaman terjadinya suksesi gunung api secara umum di daerah penelitian. Menurut hemat penulis berdasarkan hasil analisis awal stratigrafi gunung api bahwa daerah penelitian berkembang secara normal, artinya fase pembangunan membangun gunung api komposit (Ruteng) hingga mencapai ketinggian maksimum, kemudian mengalami fase penghancuran berupa letusan kuat yang diikuti pembentukan bregada (kaldera), terbukti dengan adanya produk letusan berupa breksi pumis tuf dan tersingkapnya batuan beku dalam berkomposisi diorit. Suksesi berikutnya terbentuklah beberapa gunung api komposit (Khuluk Gololajang, Khuluk Tueng, dan Khuluk Golomawe) di dalam kaldera. Suksesi gunung api berlanjut namun kegiatannya terletak di sebelah selatan gunung api purbanya (misal: G. Anak Ranakah, G. Mawe Sano, dan G. Todo). Hal ini berbeda dengan perkembangan suksesi gunung api yang terjadi di Pulau Jawa yaitu terbalik, artinya gunung api komposit Kuarter berkembang atau terjadi di sebelah utara gunung api purbanya. Permasalahan ini kemungkinan berhubungan dengan penunjaman, yaitu di Pulau Flores lempeng yang menunjam menjadi pendek dan terjal, sedangkan di Pulau Jawa panjang dan sudut tunjamannya landai. Berdasarkan kenampakan geomorfologi gunung api (Gambar 9C) Khuluk Gololajang yang terletak di timurlaut memperlihatkan bentang alam berelief kasar dan sudah rusak, bentuk kawah melebar sebagai akibat peran erosi lanjut. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh bentuk gunung api komposit Tueng dan Golomawe yang masih cukup jelas yaitu struktur bukaan relatif masih sempit dan bentuk aliran lava yang mengalir ke arah selatan menjauhi daerah sumber dan mengisi daerah bukaan masih dapat diamati. Batuan intrusi dalam pada kedua khuluk yang disebut terakhir ini tidak dijumpai. Oleh sebab itu, kenampakan bentang alam di daerah penelitian dibangun oleh bentang alam gunung api berupa produk erupsi lelehan dan produk erupsi letusan serta batuan intrusi, namun kedudukan gunung apinya dikendalikan oleh keberadaan tataan tektoniknya. Sehubungan dengan proses pelapukan lanjut dan erosi yang cukup intensif di daerah penelitian terutama di bagian utara dan tengah, kemungkinan Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 hal inilah yang menjadi penyebab kenapa produk alterasi dan mineralisasi tidak dijumpai secara ekonomis. Kemungkinan yang pertama adalah produk akhir alterasi dan mineralisasi telah tererosi dan tertransport secara alami dalam waktu yang panjang ke tempat lain melalui sungai-sungai utama dan mengendap di daerah muara Reo, sedangkan kemungkinan kedua yaitu proses magmatisme – volkanisme tidak menghasilkan atau tidak terjadi pengkayaan bijih primer. KESIMPULAN Dari hasil analisis bentang alam, pemerian rinci batuan, dan hasil diskusi dapat disimpulkan bahwa : Bentuk bentang alam daerah penelitian dibangun oleh kegiatan gunung api purba yaitu kegiatan intrusi, erupsi meleleh, dan erupsi letusan, serta proses eksogenik yang sekarang masih berlangsung. Daerah penelitian yang umumnya disusun oleh stratigrafi batuan beku plutonik dan koheren lava (intrusi dangkal dan batuan gunung api) yang tergabung dalam Formasi Kiro, Formasi Nangapanda dan Formasi Bari membentuk Khuluk Gololajang, Khuluk Tueng, Khuluk Mawe, dan merupakan bagian dari Bregada Ruteng. Daerah penelitian merupakan bagian suksesi gunung api Bregada (Kaldera) dan gunung api Khuluk. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada pimpinan dan tim redaksi Jurnal Ilmiah MTG, UPN ”Veteran” Yogyakarta atas terbitnya makalah ini, para mahasiswa Faidzil Chabib dan Onesimus Kambu yang telah membantu menyiapkan bahan makalah ini, dan kepada pimpinan PT. GEORE yang telah memfasilitasi selama observasi di lapangan serta Bapak Benny Padjo, kepala Dinas Kamar Dagang dan Industri Labuan Bajo, Manggarai Barat atas kerjasamanya yang baik selama kerja lapangan. DAFTAR PUSTAKA Abbot M.J, dan Chamalaun F.H. 1981. Geochronology of Some Banda Arc Volcanics. The Geology and Tectonics of Eastern Indonesia, Geological Research and Development Centre, Eds: Barber A.J. dan Wiryosujono. Spec. Publ. No. 2. hal. 253-268. Abdullah C.I., Rampnoux J.P., Bellon H., Maury R.C., dan Soeria-Atmadja R. 2000. The Evolution On Sumba Island (Indonesia) Revisited in The Light of New Data On The Geochronology and Geochemistry of The Magmatic Rocks. J. Asian Earth Sci., 18, hal. 533-546. Carter D.J., Audley-Charles M.G., dan Barber A.J. 1976. Stratigraphical analysis of island arc—continental margin collision in eastern Indonesia. Journal of the Geological Society. Vol. 132. issue 2. hal. 179-198. Condie, K.C., 1982. Plate Tectonics & Crustal Evolution, Pergamon Press. 2nd Ed. 310 hal. Elburg M.A., van Bergen M.J., dan Foden J.D. Subducted Upper and Lower Continental Crust Contributes to Magmatism in The Collision Sector of The Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1, Januari 2010 Sunda-BandaArc, Indonesia. www.geophysics.rice.Edu/sota/papers/Elburg, MarlinaElburgSOTA.pdf Genrich J.F., Bock Y., McCaffrey R., Calais E., Stevens C.W., dan Subarya C. 1996. Accretion of The Southern Banda Arc to The Australian Plate Margin Determined by Global Positioning System Meauserement, Tectonics, Vol. 2, No. 15. hal. 288-295. Grove T.L. 2000. Origin of Magma, in Sigurdsson, H., Houghton, B., McNutt, S.R., Rymer, H., Stix, J., (Ed.), Encyclopedia of Volcanoes, Academic Press., San Diego, hal. 133-147. Hamilton W. 1979. Tectonics of The Indonesian Region, Geol. Surv. Prof. Pap. 1078. 345 hal. Hartono, G., 2009. Petrologi Batuan Beku dan Gunung Api, UNPAD Press., 105 hal. In press. Hendaryono, Rampnoux J.P., Bellon H., Maury R.C., Abdullah C.I., dan SoeriaAtmadja R. 2001. New Data on The Geology and Geodynamic of Flores Island, Eastern Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke 30 IAGI dan ke 10 GEOSEA: Dedicating Geoscience to Regional Prosperity and Conservation, IAGI, Yogyakarta, hal. 195-199. Katili J.A. 1975. Volcanism and Plate Tectonics in The Indonesian Island Arcs. Tectonophysics, 26. in Geotectonics of Indonesia: A Modern View. hal. 200-224. Katili J.A., dan Sudradjat A. 1989. A Short Note on The Birth of a Volcano in Flores Island. Geologi Indonesia. Majalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Volume Khusus 60 Tahun Prof. Dr. J.A. Katili. IAGI. Eds: Sudradjat A., Tjia H.D., Asikin S., dan Katili, A.N. Jakarta. hal.397-411. Koesoemadinata S., Noya Y., dan Kadarisman, D. 1994. Peta Geologi Lembar Ruteng, Nusa Tenggara, Skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Macdonald, A.G., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, 510h. Macpherson C.G., dan Hall R. 1999. Tectonic Control of Geochemical Evolution in Arc Magmatism of SE Asia. Proceeding 4th PACRIM Congress, Australian Institute of Mining and Metallurgy. hal. 359-368. McCaffrey R., dan Abers G.A. 1991. Orogeny in Arc-Continent Collision: The Banda Arc and Western New Guinea. Geology. Vol. 19. hal. 563-566. Neumann van Padang M., 1951. Catalogue of The Active Volcanoes of The World Including Solfatara Fields: Indonesia, Part 1. International Volcanological Association. 271 hal. Soeria-Atmadja R., Sunarya Y., Sutanto, dan Hendaryono, 2001. Epithermal Gold-Copper Mineralization, Late Neogene Calc-Alkaline to Potassic CalcAlcaline Magmatism and Cristal Extensión in The Sunda-Banda Arc. Indonesian Island Arcs: Magmatism. Mineralization, and Tectonic Setting. Eds: R.P. Koesoemadinata dan D. Noeradi. Penerbit ITB. hal. 100-111. Wensink H., dan van Bergen M.J. 1995. The Tectonic Emplacement of Sumba in The Sunda – Banda Arc: Paleomagnetic and Geochemical Evidence From The Early Miocene Jawila Volcanics, Tectonophysics, 250. hal. 15-30. Williams dan Mac Birney. 1979. Volcanology, Freeman, Cooper & Co., San Francisco. 397 hal.