1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan tuna (Thunnus sp.) merupakan salah satu komoditas ekonomis penting perikanan baik di pasar global maupun di Indonesia. FAO (2005) menyatakan bahwa ikan golongan scombroid sejauh ini menjadi salah satu komoditas paling ekonomis di dunia. Hal ini dibuktikan dengan jumlah total ekspor tuna dunia pada tahun 2008 yang mencapai angka 7,5 miliar US$ (Josupeit 2010). Indonesia sebagai salah satu negara eksportir tuna mengekspor sebesar 121.136 ton pada tahun 2005, dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 134.673 ton (BRKP 2009). Peningkatan jumlah tersebut juga disebabkan meningkatnya permintaan pasar, bukan hanya untuk produk segar, melainkan juga untuk produk olahannya seperti tuna loin, tuna fillet, hingga tuna dalam kaleng. Produk tuna dalam kaleng mengalami peningkatan permintaan terkait dengan gaya hidup serba cepat dan produktif yang membutuhkan makanan yang relatif cepat, mudah disiapkan, mudah disimpan dan tahan lama. Daya tahan produk tuna kaleng sendiri didapat dari proses sterilisasi komersial yang menyebabkan mikroba dalam makanan kaleng tidak dapat hidup dan berkembang biak (Winarno 2004). Sterilisasi yang mengandalkan suhu tinggi tentu saja mengubah bentuk bahan baku tuna yang digunakan baik secara fisik maupun kimia. Perubahan bentuk ini dapat menyebabkan kesulitan dalam autentikasi bahan baku. Autentikasi bahan baku tuna dalam kaleng sangat penting dilakukan terkait dengan pelabelan dan penilaian harga. Tuna merupakan produk yang menjadi salah satu target dari kecurangan dagang (economical fraud), yang disebut juga “aliud pro alio”, dimana spesies mahal, digantikan dengan yang lebih murah (Colombo et al. 2005). Autentikasi yang umumnya menggunakan identifikasi fisik, melalui pengamatan morfologi dan morfometrik, atau identifikasi protein, dengan elektroforesis protein, tidak dapat lagi digunakan karena ikan sudah dipreparasi sedemikian hingga bentuknya tidak utuh lagi dan proteinnya sudah mengalami denaturasi akibat pengolahan dengan suhu tinggi, begitu juga dengan DNA, namun teknik amplifikasi fragmen-fragmen DNA telah berhasil dikembangkan (Mackie et al. 1999). Hal inilah yang dapat digunakan sebagai solusi untuk melakukan proses autentifikasi tuna dalam kaleng. Autentikasi tuna dalam kaleng dengan menggunakan teknik amplifikasi DNA berkembang sangat pesat di Eropa, Amerika dan beberapa negara Asia. Prinsip utama kebanyakan prosedur autentikasi yang dapat dilakukan ialah reaksi berantai polimerase atau polymerase chain reaction (PCR). PCR merupakan metode yang memanfaatkan oligonukleotida sebagai primer, prinsip thermal dan enzim sebagai perantara untuk mengamplifikasi fragmen DNA tertentu dalam suatu thermocycler (Muladno 2002). Gen yang dijadikan sebagai target pada penelitian ini adalah gen sitokromb (cyt-b) dari DNA mitokondria. Gen cyt-b dijadikan sebagai target karena beberapa kelebihan yang dimilikinya yaitu bentuk yang sirkular relatif lebih resisten terhadap suhu tinggi, kelimpahan dalam sel tinggi, mengikuti garis keturunan ibu, tidak mengalami rekombinasi dan tingkat mutasi sangat tinggi sehingga dapat digunakan untuk studi filogenetik (Baker 2000). DNA yang teramplifikasi (amplikon) akan ditentukan urutan basanya melalui sebuah proses yang disebut sequencing. Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan kondisi optimal untuk metode autentikasi produk ikan tuna dalam kaleng yang menggunakan gen sitokrom-b sebagai primer dalam metode berbasis PCRsequencing. Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi spesies ikan dengan penentuan urutan basa dari amplikon yang diduga berukuran 750 pb pada ikan segar dan <123 pb pada ikan kaleng. 1.2 Tujuan Penelitian „Autentikasi Produk Tuna (Thunnus sp.) Kaleng dengan Metode Polymerase Chain Reaction‟ ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak DNA ikan tuna segar dari perusahaan eksportir tuna dan tuna kaleng yang diperoleh dari pasar-pasar swalayan, mengamplifikasi gen sitokrom-b mitokondria, dan menentukan urutan basa dari amplikon untuk mengidentifikasi spesies ikan yang terdapat dalam makanan kaleng.