BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Acute Coronary

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup
spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia miokard secara akut,
diakibatkan karena ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan
kebutuhannya (Dipiro et al., 2009). ACS dapat diklasifikasikan menurut perubahan
electrocardiographic (ECG) yaitu mulai dari Non ST-Elevasi Miocard Infraction
(NSTEMI), ST-Elevasi Miocard Infraction (STEMI) sampai ke unstable angina
(UA). ACS merupakan salah satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK)
dan saat ini telah menempati angka prevalensi 7,2% pada tahun 2007 di Indonesia.
Walaupun angka prevalensi PJK tidak setinggi penyakit lain seperti penyakit
infeksi, PJK masih dianggap sebagai penyumbang angka kematian tertinggi di
Indonesia (Kementrian Kesehatan, 2008).
Menurut laporan Rumah Sakit di Yogyakarta pada tahun 2009, penyakit
jantung dan pembuluh darah yang merupakan penyakit kardiovaskular menunjukan
dominasi kematian mencapai 80%. Penyakit kardiovaskular menempati urutan
teratas dari penyebab kematian dan jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga
semakin meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena peningkatan status ekonomi,
perubahan gaya hidup dan efek samping modernisasi (Anonim, 2012).
Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita Acute
Coronary Syndrome (ACS). Faktor risiko Acute Coronary Syndrome (ACS)
meliputi jenis kelamin (pria sedikit lebih tinggi risikonya), usia (pria > 45 tahun dan
1
2
wanita > 55 tahun), riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktor
risiko yang dimodifikasi. Faktor risiko yang dimodifikasi meliputi hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes melitus, gaya hidup, dan kebiasaan merokok (Huffman et
al., 2010).
Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan
penderita ACS. Perlu adanya suatu sistem yang secara terus – menerus memonitor
terapi yang diterima pasien agar pengobatan serta penatalaksanaan pasien ACS
berlangsung secara optimal, efektif, dan efisien sesuai dengan pedoman atau
standar terapi yang telah ditetapkan (Muchid et al., 2006).
Kebutuhan pasien akan terapi obat meliputi ketepatan indikasi, keefektifan,
keamanan, dan kesesuaian. Apabila kebutuhan akan pengobatan atau drug related
needs tersebut tidak tercapai, maka hal tersebut didefinisikan sebagai drug related
problems
(DRPs).
DRPs
merupakan
kejadian
atau
pengalaman
tidak
menyenangkan yang dialami pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan
terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi
pasien (Cipolle et al., 1998).
Pelaksanaan secara optimal Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
dalam penatalaksanaan pasien PJK, yang meliputi manajemen DRPs adalah pilihan
yang tepat dan strategis. Dalam upaya menunjang tenaga kesehatan bekerjasama
untuk mencapai dan menjamin proses terapi medis yang optimal. Proses
pengobatan juga diharapakan dapat berjalan sesuai dengan standar pelayanan
profesi dan kode etik yang telah ditetapkan (Muchid et al., 2006).
3
Suatu penelitian menunjukan bahwa pasien dengan penyakit kardiovaskular
mendapatkan sejumlah besar kejadian DRPs yang sebenarnya dapat dicegah dengan
intervensi farmasis. DRPs lebih sering terjadi pada pasien hipertensi, penyakit
jantung koroner dan gagal jantung kongestif. Review pengobatan yang dilakukan
farmasis menghasilkan rekomendasi untuk meningkatkan hasil pengobatan pasien
dengan penyakit kardiovaskular (Abraham, 2013).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Abraham (2013) ditemukan kejadian
DRPs yang tinggi pada penggunaan obat kardiovaskular yaitu kategori obat
antihipertensi, antiplatelet, antikoagulan, antihiperlipidemia, dan antiulcer. DRPs
yang sering terjadi antara lain; interaksi obat (46,19%), dosis obat terlalu tinggi
(17,26%), duplikasi obat (11,17%) dan dosis obat terlalu rendah (10,41%). DRPs
ditemukan sebanyak 71 kejadian (18,02%) pada pasien penyakit jantung koroner.
Manajemen DRPs merupakan proses yang menjamin terapi obat kepada
pasien yang aman, efektif dan ekonomis. Manajemen DRPs meliputi identifikasi
masalah-masalah yang berkaitan dengan DRPs baik yang potensial maupun aktual,
mengatasi DRPs yang aktual dan mencegah terjadinya DRPs yang potensial.
Implikasi dari manajemen DRPs terjadi optimalisasi peran apoteker dan terciptanya
komunikasi bersama antara apoteker, pasien, dan tenaga kesehatan lain dengan
tujuan yang sama yaitu untuk kesembuhan pasien (Muchid et al., 2006).
4
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah:
1.
Bagaimana gambaran terapi pada pasien Acute Coronary Syndrome (ACS) yang
menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
2.
Berapa angka kejadian DRPs dan apa saja jenis DRPs pada terapi Acute Coronary
Syndrome (ACS)?
C. PENTINGNYA PENELITIAN DIUSULKAN
Penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak rumah sakit untuk melihat
gambaran drug related problems (DRPs) pada terapi pasien Acute Coronary
Syndrome (ACS) sehingga farmasis di rumah sakit dapat mengatasi dan mencegah
kejadian DRPs tersebut dikemudian hari. Selain itu, dengan adanya penelitian ini,
penulis mengharapkan dapat mendukung pengembangan penerapan farmasi klinik
di Indonesia.
D. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini antara lain:
1.
Mengetahui gambaran terapi pada pasien Acute Coronary Syndrome (ACS)
yang menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2.
Mengetahui angka kejadian DRPs dan mengetahui jenis DRPs pada terapi
Acute Coronary Syndrome (ACS) yang menjalani perawatan di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta.
5
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS)
a. Definisi
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup
spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia miokard secara akut,
diakibatkan karena ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan
kebutuhannya. Berbeda dengan angina stabil, ACS berasal dari berkurangnya aliran
darah pada miokard akibat adanya total oklusif atau subtotal oklusif trombus arteri
koroner.
ACS
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
perubahan
gambaran
electrocardiographic (ECG) yaitu : (1) ST-segment-elevation ACS (STE ACS atau
STEMI) dan (2) Non-ST-segment-elevation ACS (NSTE ACS), yang termasuk di
dalamnya non-ST-segment-elevation myocardial infraction (NSTE MI) dan
unstable angina (UA) (Dipiro et al., 2009).
b. Epidemiologi
Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita Acute
Coronary Syndrome (ACS) (Huffman et al., 2010). Di Inggris sekitar 114 ribu
pasien masuk rumah sakit dengan acute coronary syndrome (ACS) dan lebih dari
5,5 juta pasien di Amerika Serikat masuk UGD dengan gejala nyeri dada atau gejala
lain yang mengarah kepada ciri – ciri ACS (Peters dkk., 2007). WHO mencatat
bahwa kejadian iskemik yang merupakan salah satu tanda dari ACS mengalami
peningkatan angka yang signifikan sebagai penyebab kematian tertinggi. Tercatat
bahwa pada tahun 2012, angka kematian mencapai 7,4 juta per tahun sedangkan
pada tahun 2000 menempati angka 6 juta per tahun (WHO, 2015). Di Indonesia
6
sendiri prevalensi dari penyakit jantung koroner termasuk ACS mencapai angka
7,2% dari total populasi (Kementrian Kesehatan, 2008).
c. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari ACS adalah iskemia miokard yang
disebabkan karena ketersediaan oksigen yang tidak mencukupi (inadekuat) dengan
kebutuhan oksigen miokard. Kebutuhan oksigen pada miokard ditentukan oleh
denyut jantung, afterload, kontraktilitas dan ketegangan otot jantung. Aliran
oksigen yang tidak adekuat tersebut diakibatkan adanya penyumbatan pembuluh
darah arteri karena aterosklerosis. Biasanya penurunan aliran darah koroner tidak
menyebabkan gejala iskemik pada saat istirahat sampai penyumbatan di pembuluh
arteri melebihi 95%. Namun gejala iskemik dapat muncul karena peningkatan
aktivitas fisik yang mampu meningkatkan jumlah kebutuhan oksigen pada miokard
dengan sedikitnya 60% penyumbatan di pembuluh arteri (Diop and Aghababian,
2001).
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark mioard). Infark miokard tidak selalu
disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang
disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat juga menyebabkan terjadinya iskemia
dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Beberapa faktor ekstrinsik juga dapat
menjadi pencetus terjadinya ACS pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardi (PERKI,
2015).
7
d. Tanda dan Gejala
Gejala yang khas pada ACS adalah adanya nyeri dada (chest pain) yaitu
dada terasa terbakar dan tertekan, nyeri ditempat lain pada tubuh seperti lengan atas
bagian kiri atau bagian rahang, mual (nausea), muntah (vomiting), nafas menjadi
pendek (dyspnea), dan keringat dingin (diaphoresis) (Mayo Clinic Staff, 2013).
e. Diagnosis
Diagnosis pada ACS dapat menggunakan :
1). Electrocardiography (ECG)
Pasien dengan gejala ACS pemeriksaan ECG pada saat istirahat memiliki
peranan yang sangat penting. Pada ACS, perubahan morfologi dapat terjadi
pada gelombang T, segmen ST, komplek QRS dan bahkan segmen PR (Kurz
et al., 2008)
2). Chest Radiography
Biasanya diperoleh pada saat awal penerimaan pasien sehingga pasien dapat
dievaluasi untuk penyebab lain dari nyeri dada dan dilihat adanya kongesti
paru, yang menunjukan prognosis buruk (Kurz et al., 2008).
3). Petanda Biokimia Jantung
Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai
nilai prognostik yang lebih baik daripada CKMB. Troponin ini merupakan
petanda biokimia primer untuk sindrom koroner akut. Bila kadar troponin
negatif saat < 6 jam harus diulang saat 6 – 12 jam setelah onset nyeri dada
(Kemenkes, 2006).
8
4). Kondisi Klinis
Pada ACS yang paling umum diamati adalah adanya nyeri dada disertai
dengan rasa terbakar atau rasa tertekan. Terkadang nyeri tidak dirasakan pada
dada, tetapi bisa pada leher, rahang bawah sampai ke bahu (Kumar dan
Canon, 2009).
5). Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan intensitas nyeri,
irama jantung (heart rate), pemeriksaan tekanan darah, anemia, stenosis aorta
berat, kardiomiopati dan kondisi lain seperti penyakit paru (Kemenkes, 2006).
f. Klasifikasi (PERKI,2015)
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Acute Coronary Syndrome (ACS) dibagi
menjadi:
1). Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI: ST segmen elevation
myocardial infraction)
2). Infark Miokard dengan Non Elevasi Segmen ST (NSTEMI: Non ST
segmen elevation myocardial infraction)
3). Angina Pektoris Tidak Stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris)
Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi
miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau
secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer (PCI). Diagnosis STEMI
9
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST
yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkata marka jantung (PERKI,
2015)
Diagnosis NSTEMI dan UAP ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Sedangkan UAP dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian
infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung
yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CKMB. Bila hasil pemeriksaan
biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi
NSTEMI. Pada UAP, marka jantung tidak meningkat secara bermakna (PERKI,
2015).
Tabel I.Spektrum Klinis ACS (Kemenkes, 2006)
Jenis
UAP
STEMI
NSTEMI
Nyeri Dada
EKG
Enzim
Jantung
Angina
pada
waktu Depresi segmen T > 0,05 Tidak
istirahat/aktivitas ringan. mV
meningkat
Hilang dengan nitrat
Inversi gelombang T >
0,2 mV
Tidak ada gelombang Q
Lebih berat dan lama Hiperakut T
Meningkat
(>30 menit).
Elevasi segmen T
minimal 2
Tidak hilang dengan Gelombang Q
kali batas
nitrat, perlu opium
Inversi gelombang T > atas normal
0,2 mV
Lebih berat dan lama Inversi gelombang T > Meningkat
(>30 menit).
0,2 mV
minimal 2
Tidak hilang dengan Depresi segmen ST
kali batas
nitrat, perlu opium
atas normal
10
g. Tata Laksana Terapi Acute Coronary Syndrome
Menurut American Heart Association (AHA) tahun 2014, sasaran terapi
dari Acute Coronary Syndrome adalah :
1). Mengurangi nekrosis miokard yang terjadi pada pasien dengan acute miokard
infraction (AMI) sehingga dapat menjaga fungsi ventrikel kiri, mencegah
kegagalan jantung dan membatasi komplikasi kardiovaskular lainnya.
2). Mencegah Major Adverse Cardiac Events (MACE) : kematian, non fatal MI
dan kebutuhan revaskularisasi yang mendesak.
Perlakuan pada kondisi akut meliputi perlakuan yang mengancam jiwa pada
ACS seperti fibrilasi ventrikel (FV), takikardi dari nadi ventrikel, takikardi yang
tidak stabil dan menunjukkan gejala bradikardi, edema pulmonal, shock
kardiogenik, serta komplikasi mekanik pada AMI. Setelah pelaksanaan medis
segera, pemeriksaan penunjang dan terapi selanjutnya ditentukan oleh apakah
pasien memiliki risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jantung lebih lanjut. Faktor
– faktor yang berkaitan dengan risiko tinggi diantaranya : 1) depresi segmen ST
pada EKG saat datang dan /atau kenaikan kadar troponin (10 kali atau lebih dari
batas yang terdeteksi). 2) episode nyeri dada rekuren. 3) diabetes, AMI sebelumnya,
gangguan fungsi ventrikel kiri, gagal jantung. 4) pasien tanpa faktor – faktor ini,
dengan gejala nyeri dada menghilang, dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa.
Jika tetap timbul nyeri, harus dilakukan EKG saat latihan. Terjadi iskemia yang
diinduksi (depresi segmen ST > 2 mm atau angina) pada beban kerja yang rendah,
termasuk ke dalam pasien berisiko tinggi (Davey, 2006).
11
h. Standar Terapi dalam Penanganan Acute Coronary Syndrome
Menurut American Heart Association (AHA) 2014 Guidline for the
Management of Patients With NSTEMI dan American Heart Association (AHA)
2013 Guidline for the Management of Patients With STEMI :
Terapi standar untuk pasien yang menunjukan ACS, termasuk gejala
kambuhan, perubahan ECG, atau troponin yang positif, adalah termasuk dalam
manajemen terapi rawat inap. Tujuan dari terapi adalah menghilangkan iskemia dan
mencegah Myocard Infark (MI) dan kematian. Pasien direkomendasikan diobati
dengan antiiskemik, antiplatelet dan antikoagulan.
1). Rekomendasi terapi analgesik
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2
– 8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama
untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI maupun UA/NSTEMI. Morfin
dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok
jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg (O’Gara et al., 2013).
2). Rekomendasi terapi oksigen kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri< 90%, gangguan pernafasan atau faktor risiko lain dari hipoksemia. Pada
pasien UA/NSTEMI dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama setelah
diketahui bahwa pemberiaannya aman dan dapat mengurai hipoksemia
(Amsterdam et al., 2014). Begitu pula pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama (O’Gara et al., 2013).
12
3). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
a) Nitrat
Pasien dengan nyeri iskemik yang berlanjut sebaiknya mendapat
nitrogliserin (NTG) sublingual 0,3 mg – 0,4 mg tiap 5 menit dengan total tiga dosis,
kemudian penilaian sebaiknya dilakukan terhadap perlunya NTG intravena jika
tidak kontraindikasi. NTG intravena diindikasikan terhadap pasien UA/NSTEMI
maupun STEMI untuk pengobatan iskemia persisten, gagal jantung atau hipertensi
(Amsterdam et al., 2014).
b) Beta-Adrenergik Blocker
Terapi beta-blocker oral sebaiknya diinisiasi dalam 24 jam pertama untuk
pasien yang tidak memiliki beberapa kondisi berikut: 1) tanda – tanda gagal
jantung, 2) bukti terdapat kondisi output jantung rendah, 3) peningkatan risiko syok
kardiogenik, atau 4) kontraindikasi terhadap beta blocker (interval PR >0,24 detik,
blok jantung derajat 2 atau 3, asma aktif, atau penyakit saluran nafas reaktif)
(Amsterdam et al., 2014). Regimen yang biasa digunakan adalah metoprolol 5 mg
setiap 2-5 menit sampai total tiga dosis. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam
dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam (O’Gara et al., 2013).
c) Calcium-Channel Blocker (CCB)
CCB nondihidropiridin (verapamil atau diltiazem) sebaiknya diberikan
sebagai terapi awal jika pasien UA/NSTEMI yang kontraindikasi terhadap beta
blocker, tidak ada disfungsi ventrikel kiri yang signifikan secara klinik atau
13
kontraindikasi lain pada pasien dengan iskemia berulang atau berlanjut (Amsterdam
et al., 2014).
d) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor
Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) sebaiknya diberikan
kepada pasien dengan kongesti paru atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <0,04 dengan
tidak adanya hipotensi (<100 mmHg/ <30 mmHg) atau kontraindikasi yang
diketahui terhadap kelas obat tersebut (Amsterdam et al., 2014). ACEI dapat
diberikan pada 24 jam pertama (O’Gara et al., 2013). Angiotensin receptor blocker
(ARB) sebaiknya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap ACEI dan
memiliki tanda – tanda gagal jantung baik secara klinik atau radiologik atau fraksi
ejeksi ventrikel kiri <0,04 (Amsterdam et al., 2014).
4). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIa (manfaat melebihi risiko)
a) Beta-Adrenergik Blocker
Terapi beta blocker dapat dilanjutkan pada pasien yang memiliki fungsi LV
yang normal pada UA/NSTEMI (Amsterdam et al., 2014). Pemberian beta blocker
secara intravena (i.v.) dapat digunakan pada pasien STEMI yang tidak ada
kontraindikasi (O’Gara et al., 2013).
b) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor
ARB dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang
intoleran terhadap pemberian ACEI (Amsterdam et al., 2014).
5). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko)
a) Nitrat
14
Nitrat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang telah mendapat
fosfodiesterase inhibitor dalam 24 jam penggunaan sildenafil atau 48 jam
penggunaan tadalafil (Amsterdam et al., 2014).
b) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor
Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) dapat digunakan pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular (Amsterdam et al., 2014).
6). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas III (tidak bermanfaat atau berbahaya)
a) Beta-Adrenergik Blocker
Pemberian beta blocker secara intravena potensial menimbulkan bahaya
pada pasien UA/NSTEMI yang punya faktor risiko syok (Amsterdam et al., 2014).
b) Calcium-Channel Blocker (CCB)
Pemberian nifedipin (immediate-relase) sebaiknya tidak diberikan pada
pasien UA/NSTEMI yang tidak diberikan beta blocker (Amsterdam et al., 2014).
Sedangkan pemberian nifedipin adalah kontraindikasi untuk pasien STEMI karena
efek hipotensi dan aktivasi refleks simpatis dengan takikardi (O’Gara et al., 2013).
7). Rekomendasi terapi antiplatelet kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Aspirin chewable (162 mg – 325 mg) sebaiknya diberikan seawal mungkin
ada pasien UA/NSTEMI yang tidak kontraindikasi setelah masuk rumah sakit dan
diteruskan dengan dosis terapi (81 mg/hari – 325 mg/hari) (Baigent et al., 2009).
Pada pasien yang tidak dapat menerima aspirin karena hipersensitivitas atau
intoleransi saluran GI mayor, diberikan klopidogrel dengan dosis muatan yang
diikuti dengan dosis maintenance (Gollapudi et al., 2004 ).
15
Klopidogrel atau tikagrelor (P2Y12 Receptor Inhibitor) sebaiknya
ditambahkan pada aspirin dan terapi antikoagulan seawal mungkin setelah masuk
rumah sakit dan diberikan sampai 12 bulan pada pasien yang akan menjalani
strategi awal konservatif (noninvasif) (James et al.,2011).
Pilihan regimen dosisnya : i) Klopidogrel 300 mg – 600 mg sebagai dosis
muatan dan diikuti dosis maintenance 75 mg per hari (Yusuf et al.,2001), ii)
Tikagrelor 180 mg sebagai dosis muatan dan diikuti dosis maintenance 90 mg dua
kali sehari (Wallentin et al., 2009). Dosis muatan P2Y12 Receptor Inhibitor
sebaiknya diberikan untuk pasien STEMI segera mungkin. Pilihan regimen
dosisnya: i) Klopidogrel 600 mg, ii) Prasugrel 60 mg, iii) Tikagrelor 180 mg
(O’Gara et al., 2013).
8). Rekomendasi terapi antiplatelet kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko)
Klopidogrel dapat digunakan dengan dosis muatan 600 mg dan diikuti dosis
maintenance yang lebih tinggi yaitu 150 mg per hari selama 6 hari kemudian 75 mg
per hari pada pasien yang tidak ada risiko tinggi perdarahan pada pasien yang
menjalani PCI sebagai bagian dari strategi awal invasif (Mehta et al., 2010).
9). Rekomendasi terapi antikoagulan kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Terapi antikoagulan sebaiknya ditambahkan pada terapi antiplatelet pada
pasien UA/NSTEMI se awal mungkin setelah masuk rumah sakit. Rejimen
menggunakan enoksaparin, atau unfractioned heparin (UFH), atau fondaparinuks
memiliki efikasi yang telah terbukti pada pasien yang akan menjalani strategi
konservatif. Fondaparinuks lebih disarankan pada pasien yang akan menjalani
strategi konservatif yang memiliki risiko perdarahan yang meningkat (Amsterdam
16
et al., 2014). Untuk pasien STEMI rejimen yang direkomendasikan bisa dengan
unfractioned
heparin
(UFH)
atau
bivalirudin.
UFH
diperlukan
untuk
mempertahankan terapi aktivasi level waktu pembekuan darah. Bivalirudin
digunakan dengan atau tidak terapi utama (UFH) (O’Gara et al., 2013).
10). Rekomendasi terapi antikoagulan kelas IIa (manfaat melebihi risiko)
Pemberian enoksaparin atau fondaparinuks lebih disarankan daripada UFH
sebagai terapi antikoagulan kecuali coronary artery bypass grafting (CABG)
direncanakan dalam 24 jam pada pasien yang akan menjalani strategi awal
konservatif (Amsterdam et al., 2014). Pada pasien STEMI yang memiliki risiko
tinggi perdarahan, perlu digunakan bivalirudin (monoterapi) atau direferensikan
kombinasi dengan UFH (O’Gara et al., 2013).
11). Rekomendasi terapi antikoagulan kelas III (tidak bermanfaat atau
berbahaya)
Pemberian Fondaparinuks tidak dianjurkan sebagai antikoagulan untuk
mendukung PCI karena risiko pembekuan darah pada kateter (O’Gara et al., 2013).
12). Rekomendasi Manajemen Lipid kelas I (manfaat jauh melebihi risiko)
Terapi menggunakan golongan statin perlu diinisiasi atau diteruskan untuk
pasien UA/NSTEMI maupun STEMI yang tidak kontraindikasi (Amsterdam et al.,
2014).
13). Rekomendasi Manajemen Lipid kelas IIa (manfaat melebihi risiko)
Perlu untuk didapatkan kadar lipid puasa pada pasien UA/NSTEMI maupun
STEMI, sebaiknya dalam waktu 24 jam setelah muncul gejala (Amsterdam et al.,
2014).
17
i. Monitoring Efek Samping Obat (ESO) Terapi ACS
Efek samping obat dan parameter yang harus dipantau dan diwaspadai
selama pemberian obat – obat untuk penanganan UA/NSTEMI maupun STEMI
antara lain:
1). Nitrat (nitrogliserinm, ISDN) : hipotensi, takikardi
2). Morfin : hipotensi, bradipnea, penurunan kesadaran
3). Beta-blocker (atenolol, bisoprolol) : aritmia, bradikardia, hipotensi
4). Calcium-channelnblocker (CCB) dihidropiridin (amlodipin, nifedipin,
nikardipin) : takikardi, hipotensi, edema perifer
5). Calcium-channelnblocker (CCB) nondihidropiridin (verapamil, diltiazem)
: hipotensi, bradikardia, aritmia
6). Aspirin : perdarahan, nyeri lambung
7). Klopidogrel : perdarahan
8). Heparin : anemia, penurun hematokrit, perdarahan, trombositopenia
9). Enoksaparin : trombositopenia, perdarahan
10). Fondaparinuks : trombositopenia, peningkatan kreatinin, perdarahan
11). Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor (kaptopril, lisinopril,
ramipril) : batuk, peningkatan BUN, hiperkalemia, peningkatan kreatinin,
hipotensi.
(Corbett et al., 2014)
2. PHARMACEUTICAL CARE
Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian merupakan suatu praktik
di mana farmasis bertanggungjawab terhadap kebutuhan obat (drug related needs)
pasien. Pelayanan kefarmasian ini dilakukan untuk mencapai hasil terapi yang
18
positif untuk pasien. Praktik profesi pelayanan kesehatan dibentuk untuk
menemukan kebutuhan obat pasien dengan cara mengidentifikasi, menyelesaikan
dan mencegah drug related problems. Pelayanan kefarmasian ini dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan dalam sistem perawatan kesehatan yang timbul karena
beberapa resep pada tiap individu pasien, ledakan produksi serta promosi obat di
pasaran, peningkatan kompleksitas terapi obat dan masih tingginya biaya yang
dikeluarkan pasien karena kesalahan obat (Cipolle et al., 1998).
Dalam pharmaceutical care yang dilakukan apoteker dengan melibatkan
pasien dan tenaga profesional kesehatan lainnya dalam merancang, melaksanakan
dan memantau hasil terapi dari pasien. Hal ini melibatkan tiga fungsi utama yaitu :
1). mengidentifikasi drug related problems yang potensial dan aktual, 2).
menyelesaikan drug related problems yang aktual, dan 3). mencegah drug related
problems yang potensial ( Hepler et al., 1990).
Pharmaceutical care adalah elemen penting dari pelayanan kesehatan dan
harus berintegrasi dengan elemen kesehatan lainnya. Pharmaceutical care
bagaimanpun disediakan untuk dapat memberikan manfaat langsung kepada pasien
dan farmasis bertanggungjawab langsung kepada pasien mengenai kualitas
pelayanan kesehatan yang diberikan. Farmasis memiliki kesempatan yang besar
dalam pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah memberikan pelayanan
terapi obat yang aman dan efektif ( Hepler et al., 1990).
19
3. DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS)
Tabel II. Jenis – jenis DRPs dan penyebab yang mungkin terjadi (Cipolle et al.,2004)
Drug Related Problems (DRPs)
Terapi obat yang tidak perlu
(unnecessary drug therapy)
a.
b.
c.
d.
Memerlukan terapi tambahan
(need for additional drug
therapy)
a.
b.
c.
Obat tidak efektif
(Ineffective drug)
a.
b.
Dosis terlalu rendah
(Dosage too low)
c.
a.
b.
c.
d.
Dosis terlalu tinggi
(Dosage too high)
a.
b.
c.
d.
e.
Reaksi yang tidak dikehendaki
(Adverse drug reaction)
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Ketidakpatuhan pasien
(Noncompliance)
a.
b.
c.
d.
e.
Kemungkinan kasus pada DRPs
Terapi tidak sesuai dengan kondisi saat ini
Menggunakan multiple drugs therapy untuk kondisi
yang seharusnya cukup dengan single drug therapy
Kondisi pengobatan yang lebih baik diobati tanpa terapi
obat (nondrug therapy)
Pasien dengan terapi obat tertentu untuk mencegah efek
samping obat lain
Pasien dengan kondisi membutuhkan terapi obat
Membutuhkan terapi untuk mencegah risiko munculnya
kondisi medis baru
Kondisi kesehatan yang membutuhan kombinasi
farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau
potensiasi
Obat yang diberikan bukanlah obat yang paling efektif
untuk masalah kesehatan tersebut
Menerima obat yang tidak efektif untuk indikasi
pengobatan
Bentuk sediaan dari obat tersebut yang tidak tepat
Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk
menimbulkan respon
Interval dosis yang terlalu jarang untuk menghasilkan
respon
Durasi pemberian obat terlalu singkat untuk
menghasilkan respon
Interaksi obat yang mengurangi jumlah obat aktif dalam
tubuh
Dosis yang diberikan terlalu tinggi
Frekuensi pemberian terlalu singkat
Dosis obat meningkat terlalu cepat
Durasi pemberian obat terlalu panjang
Adanya interaksi obat yang menghasilkan reaksi
keracunan
Obat
menyebabkan
reaksi
yang
tidak
dinginkan/permasalahan lain yang tidak terkait dengan
dosis
Obat yang lebih aman dibutuhkan karena adanya faktor
risiko
Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan yang tidak terkait dengan dosis
Regimen dosis yang diberikan berubah terlalu cepat
Obat yang menyebabkan reaksi alergi
Obat yang dikontraindikasikan karena adanya faktor
risiko
Pasien yang tidak mengerti mengenai aturan pakai
Pasien lupa untuk mengambil obat
Obat yang terlalu mahal untuk pasien
Pasien tidak dapat menelan atau tidak dapat
menggunakan obatnya sendiri dengan tepat
Obat tidak tersedia untuk pasien
20
DRPS merupakan kejadian atau pengalaman yang tidak menyenangkan
yang dialami pasien, melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan
secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien. DRPs aktual
adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang
diberikan pada pasien. DRPs potensial adalah problem yang diperkirakan akan
terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh pasien
(Cipolle et al., 1998).
F. KETERANGAN EMPIRIS
Dalam penggunaan obat, pasien membutuhkan terapi yang tepat, efektif,
aman, rasional sehingga dapat mencapai outcome pengobatan yang diinginkan.
Terkait dengan hal tersebut, bentuk kepedulian farmasi dalam pengobatan
dilakukan melalui farmasi klinik dengan praktek pharmaceutical care. Praktek
pharmaceutical care salah satunya melalui mengidentifikasi, mencegah, dan
menyelesaikan masalah terkait obat (DRPs)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran jenis dan jumlah dari
setiap kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada penggunaan obat untuk
penyakit Acute Coronary Syndrome (ACS) yang menjalani perawatan di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta tahun 2015.
Download