BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia miokard secara akut, diakibatkan karena ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan kebutuhannya (Dipiro et al., 2009). ACS dapat diklasifikasikan menurut perubahan electrocardiographic (ECG) yaitu mulai dari Non ST-Elevasi Miocard Infraction (NSTEMI), ST-Elevasi Miocard Infraction (STEMI) sampai ke unstable angina (UA). ACS merupakan salah satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK) dan saat ini telah menempati angka prevalensi 7,2% pada tahun 2007 di Indonesia. Walaupun angka prevalensi PJK tidak setinggi penyakit lain seperti penyakit infeksi, PJK masih dianggap sebagai penyumbang angka kematian tertinggi di Indonesia (Kementrian Kesehatan, 2008). Menurut laporan Rumah Sakit di Yogyakarta pada tahun 2009, penyakit jantung dan pembuluh darah yang merupakan penyakit kardiovaskular menunjukan dominasi kematian mencapai 80%. Penyakit kardiovaskular menempati urutan teratas dari penyebab kematian dan jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek samping modernisasi (Anonim, 2012). Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita Acute Coronary Syndrome (ACS). Faktor risiko Acute Coronary Syndrome (ACS) meliputi jenis kelamin (pria sedikit lebih tinggi risikonya), usia (pria > 45 tahun dan 1 2 wanita > 55 tahun), riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler, dan faktor risiko yang dimodifikasi. Faktor risiko yang dimodifikasi meliputi hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, gaya hidup, dan kebiasaan merokok (Huffman et al., 2010). Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan penderita ACS. Perlu adanya suatu sistem yang secara terus – menerus memonitor terapi yang diterima pasien agar pengobatan serta penatalaksanaan pasien ACS berlangsung secara optimal, efektif, dan efisien sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan (Muchid et al., 2006). Kebutuhan pasien akan terapi obat meliputi ketepatan indikasi, keefektifan, keamanan, dan kesesuaian. Apabila kebutuhan akan pengobatan atau drug related needs tersebut tidak tercapai, maka hal tersebut didefinisikan sebagai drug related problems (DRPs). DRPs merupakan kejadian atau pengalaman tidak menyenangkan yang dialami pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien (Cipolle et al., 1998). Pelaksanaan secara optimal Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) dalam penatalaksanaan pasien PJK, yang meliputi manajemen DRPs adalah pilihan yang tepat dan strategis. Dalam upaya menunjang tenaga kesehatan bekerjasama untuk mencapai dan menjamin proses terapi medis yang optimal. Proses pengobatan juga diharapakan dapat berjalan sesuai dengan standar pelayanan profesi dan kode etik yang telah ditetapkan (Muchid et al., 2006). 3 Suatu penelitian menunjukan bahwa pasien dengan penyakit kardiovaskular mendapatkan sejumlah besar kejadian DRPs yang sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi farmasis. DRPs lebih sering terjadi pada pasien hipertensi, penyakit jantung koroner dan gagal jantung kongestif. Review pengobatan yang dilakukan farmasis menghasilkan rekomendasi untuk meningkatkan hasil pengobatan pasien dengan penyakit kardiovaskular (Abraham, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Abraham (2013) ditemukan kejadian DRPs yang tinggi pada penggunaan obat kardiovaskular yaitu kategori obat antihipertensi, antiplatelet, antikoagulan, antihiperlipidemia, dan antiulcer. DRPs yang sering terjadi antara lain; interaksi obat (46,19%), dosis obat terlalu tinggi (17,26%), duplikasi obat (11,17%) dan dosis obat terlalu rendah (10,41%). DRPs ditemukan sebanyak 71 kejadian (18,02%) pada pasien penyakit jantung koroner. Manajemen DRPs merupakan proses yang menjamin terapi obat kepada pasien yang aman, efektif dan ekonomis. Manajemen DRPs meliputi identifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan DRPs baik yang potensial maupun aktual, mengatasi DRPs yang aktual dan mencegah terjadinya DRPs yang potensial. Implikasi dari manajemen DRPs terjadi optimalisasi peran apoteker dan terciptanya komunikasi bersama antara apoteker, pasien, dan tenaga kesehatan lain dengan tujuan yang sama yaitu untuk kesembuhan pasien (Muchid et al., 2006). 4 B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran terapi pada pasien Acute Coronary Syndrome (ACS) yang menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 2. Berapa angka kejadian DRPs dan apa saja jenis DRPs pada terapi Acute Coronary Syndrome (ACS)? C. PENTINGNYA PENELITIAN DIUSULKAN Penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak rumah sakit untuk melihat gambaran drug related problems (DRPs) pada terapi pasien Acute Coronary Syndrome (ACS) sehingga farmasis di rumah sakit dapat mengatasi dan mencegah kejadian DRPs tersebut dikemudian hari. Selain itu, dengan adanya penelitian ini, penulis mengharapkan dapat mendukung pengembangan penerapan farmasi klinik di Indonesia. D. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui gambaran terapi pada pasien Acute Coronary Syndrome (ACS) yang menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Mengetahui angka kejadian DRPs dan mengetahui jenis DRPs pada terapi Acute Coronary Syndrome (ACS) yang menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 5 E. TINJAUAN PUSTAKA 1. ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) a. Definisi Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup spektrum kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia miokard secara akut, diakibatkan karena ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan kebutuhannya. Berbeda dengan angina stabil, ACS berasal dari berkurangnya aliran darah pada miokard akibat adanya total oklusif atau subtotal oklusif trombus arteri koroner. ACS dapat diklasifikasikan berdasarkan perubahan gambaran electrocardiographic (ECG) yaitu : (1) ST-segment-elevation ACS (STE ACS atau STEMI) dan (2) Non-ST-segment-elevation ACS (NSTE ACS), yang termasuk di dalamnya non-ST-segment-elevation myocardial infraction (NSTE MI) dan unstable angina (UA) (Dipiro et al., 2009). b. Epidemiologi Setiap tahun, lebih dari satu juta penduduk Amerika menderita Acute Coronary Syndrome (ACS) (Huffman et al., 2010). Di Inggris sekitar 114 ribu pasien masuk rumah sakit dengan acute coronary syndrome (ACS) dan lebih dari 5,5 juta pasien di Amerika Serikat masuk UGD dengan gejala nyeri dada atau gejala lain yang mengarah kepada ciri – ciri ACS (Peters dkk., 2007). WHO mencatat bahwa kejadian iskemik yang merupakan salah satu tanda dari ACS mengalami peningkatan angka yang signifikan sebagai penyebab kematian tertinggi. Tercatat bahwa pada tahun 2012, angka kematian mencapai 7,4 juta per tahun sedangkan pada tahun 2000 menempati angka 6 juta per tahun (WHO, 2015). Di Indonesia 6 sendiri prevalensi dari penyakit jantung koroner termasuk ACS mencapai angka 7,2% dari total populasi (Kementrian Kesehatan, 2008). c. Patofisiologi Patofisiologi yang mendasari ACS adalah iskemia miokard yang disebabkan karena ketersediaan oksigen yang tidak mencukupi (inadekuat) dengan kebutuhan oksigen miokard. Kebutuhan oksigen pada miokard ditentukan oleh denyut jantung, afterload, kontraktilitas dan ketegangan otot jantung. Aliran oksigen yang tidak adekuat tersebut diakibatkan adanya penyumbatan pembuluh darah arteri karena aterosklerosis. Biasanya penurunan aliran darah koroner tidak menyebabkan gejala iskemik pada saat istirahat sampai penyumbatan di pembuluh arteri melebihi 95%. Namun gejala iskemik dapat muncul karena peningkatan aktivitas fisik yang mampu meningkatkan jumlah kebutuhan oksigen pada miokard dengan sedikitnya 60% penyumbatan di pembuluh arteri (Diop and Aghababian, 2001). Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark mioard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat juga menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Beberapa faktor ekstrinsik juga dapat menjadi pencetus terjadinya ACS pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardi (PERKI, 2015). 7 d. Tanda dan Gejala Gejala yang khas pada ACS adalah adanya nyeri dada (chest pain) yaitu dada terasa terbakar dan tertekan, nyeri ditempat lain pada tubuh seperti lengan atas bagian kiri atau bagian rahang, mual (nausea), muntah (vomiting), nafas menjadi pendek (dyspnea), dan keringat dingin (diaphoresis) (Mayo Clinic Staff, 2013). e. Diagnosis Diagnosis pada ACS dapat menggunakan : 1). Electrocardiography (ECG) Pasien dengan gejala ACS pemeriksaan ECG pada saat istirahat memiliki peranan yang sangat penting. Pada ACS, perubahan morfologi dapat terjadi pada gelombang T, segmen ST, komplek QRS dan bahkan segmen PR (Kurz et al., 2008) 2). Chest Radiography Biasanya diperoleh pada saat awal penerimaan pasien sehingga pasien dapat dievaluasi untuk penyebab lain dari nyeri dada dan dilihat adanya kongesti paru, yang menunjukan prognosis buruk (Kurz et al., 2008). 3). Petanda Biokimia Jantung Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik daripada CKMB. Troponin ini merupakan petanda biokimia primer untuk sindrom koroner akut. Bila kadar troponin negatif saat < 6 jam harus diulang saat 6 – 12 jam setelah onset nyeri dada (Kemenkes, 2006). 8 4). Kondisi Klinis Pada ACS yang paling umum diamati adalah adanya nyeri dada disertai dengan rasa terbakar atau rasa tertekan. Terkadang nyeri tidak dirasakan pada dada, tetapi bisa pada leher, rahang bawah sampai ke bahu (Kumar dan Canon, 2009). 5). Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan intensitas nyeri, irama jantung (heart rate), pemeriksaan tekanan darah, anemia, stenosis aorta berat, kardiomiopati dan kondisi lain seperti penyakit paru (Kemenkes, 2006). f. Klasifikasi (PERKI,2015) Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Acute Coronary Syndrome (ACS) dibagi menjadi: 1). Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI: ST segmen elevation myocardial infraction) 2). Infark Miokard dengan Non Elevasi Segmen ST (NSTEMI: Non ST segmen elevation myocardial infraction) 3). Angina Pektoris Tidak Stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris) Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer (PCI). Diagnosis STEMI 9 ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkata marka jantung (PERKI, 2015) Diagnosis NSTEMI dan UAP ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Sedangkan UAP dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CKMB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi NSTEMI. Pada UAP, marka jantung tidak meningkat secara bermakna (PERKI, 2015). Tabel I.Spektrum Klinis ACS (Kemenkes, 2006) Jenis UAP STEMI NSTEMI Nyeri Dada EKG Enzim Jantung Angina pada waktu Depresi segmen T > 0,05 Tidak istirahat/aktivitas ringan. mV meningkat Hilang dengan nitrat Inversi gelombang T > 0,2 mV Tidak ada gelombang Q Lebih berat dan lama Hiperakut T Meningkat (>30 menit). Elevasi segmen T minimal 2 Tidak hilang dengan Gelombang Q kali batas nitrat, perlu opium Inversi gelombang T > atas normal 0,2 mV Lebih berat dan lama Inversi gelombang T > Meningkat (>30 menit). 0,2 mV minimal 2 Tidak hilang dengan Depresi segmen ST kali batas nitrat, perlu opium atas normal 10 g. Tata Laksana Terapi Acute Coronary Syndrome Menurut American Heart Association (AHA) tahun 2014, sasaran terapi dari Acute Coronary Syndrome adalah : 1). Mengurangi nekrosis miokard yang terjadi pada pasien dengan acute miokard infraction (AMI) sehingga dapat menjaga fungsi ventrikel kiri, mencegah kegagalan jantung dan membatasi komplikasi kardiovaskular lainnya. 2). Mencegah Major Adverse Cardiac Events (MACE) : kematian, non fatal MI dan kebutuhan revaskularisasi yang mendesak. Perlakuan pada kondisi akut meliputi perlakuan yang mengancam jiwa pada ACS seperti fibrilasi ventrikel (FV), takikardi dari nadi ventrikel, takikardi yang tidak stabil dan menunjukkan gejala bradikardi, edema pulmonal, shock kardiogenik, serta komplikasi mekanik pada AMI. Setelah pelaksanaan medis segera, pemeriksaan penunjang dan terapi selanjutnya ditentukan oleh apakah pasien memiliki risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jantung lebih lanjut. Faktor – faktor yang berkaitan dengan risiko tinggi diantaranya : 1) depresi segmen ST pada EKG saat datang dan /atau kenaikan kadar troponin (10 kali atau lebih dari batas yang terdeteksi). 2) episode nyeri dada rekuren. 3) diabetes, AMI sebelumnya, gangguan fungsi ventrikel kiri, gagal jantung. 4) pasien tanpa faktor – faktor ini, dengan gejala nyeri dada menghilang, dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Jika tetap timbul nyeri, harus dilakukan EKG saat latihan. Terjadi iskemia yang diinduksi (depresi segmen ST > 2 mm atau angina) pada beban kerja yang rendah, termasuk ke dalam pasien berisiko tinggi (Davey, 2006). 11 h. Standar Terapi dalam Penanganan Acute Coronary Syndrome Menurut American Heart Association (AHA) 2014 Guidline for the Management of Patients With NSTEMI dan American Heart Association (AHA) 2013 Guidline for the Management of Patients With STEMI : Terapi standar untuk pasien yang menunjukan ACS, termasuk gejala kambuhan, perubahan ECG, atau troponin yang positif, adalah termasuk dalam manajemen terapi rawat inap. Tujuan dari terapi adalah menghilangkan iskemia dan mencegah Myocard Infark (MI) dan kematian. Pasien direkomendasikan diobati dengan antiiskemik, antiplatelet dan antikoagulan. 1). Rekomendasi terapi analgesik Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI maupun UA/NSTEMI. Morfin dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg (O’Gara et al., 2013). 2). Rekomendasi terapi oksigen kelas I (manfaat jauh melebihi risiko) Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri< 90%, gangguan pernafasan atau faktor risiko lain dari hipoksemia. Pada pasien UA/NSTEMI dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama setelah diketahui bahwa pemberiaannya aman dan dapat mengurai hipoksemia (Amsterdam et al., 2014). Begitu pula pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama (O’Gara et al., 2013). 12 3). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas I (manfaat jauh melebihi risiko) a) Nitrat Pasien dengan nyeri iskemik yang berlanjut sebaiknya mendapat nitrogliserin (NTG) sublingual 0,3 mg – 0,4 mg tiap 5 menit dengan total tiga dosis, kemudian penilaian sebaiknya dilakukan terhadap perlunya NTG intravena jika tidak kontraindikasi. NTG intravena diindikasikan terhadap pasien UA/NSTEMI maupun STEMI untuk pengobatan iskemia persisten, gagal jantung atau hipertensi (Amsterdam et al., 2014). b) Beta-Adrenergik Blocker Terapi beta-blocker oral sebaiknya diinisiasi dalam 24 jam pertama untuk pasien yang tidak memiliki beberapa kondisi berikut: 1) tanda – tanda gagal jantung, 2) bukti terdapat kondisi output jantung rendah, 3) peningkatan risiko syok kardiogenik, atau 4) kontraindikasi terhadap beta blocker (interval PR >0,24 detik, blok jantung derajat 2 atau 3, asma aktif, atau penyakit saluran nafas reaktif) (Amsterdam et al., 2014). Regimen yang biasa digunakan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total tiga dosis. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam (O’Gara et al., 2013). c) Calcium-Channel Blocker (CCB) CCB nondihidropiridin (verapamil atau diltiazem) sebaiknya diberikan sebagai terapi awal jika pasien UA/NSTEMI yang kontraindikasi terhadap beta blocker, tidak ada disfungsi ventrikel kiri yang signifikan secara klinik atau 13 kontraindikasi lain pada pasien dengan iskemia berulang atau berlanjut (Amsterdam et al., 2014). d) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) sebaiknya diberikan kepada pasien dengan kongesti paru atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <0,04 dengan tidak adanya hipotensi (<100 mmHg/ <30 mmHg) atau kontraindikasi yang diketahui terhadap kelas obat tersebut (Amsterdam et al., 2014). ACEI dapat diberikan pada 24 jam pertama (O’Gara et al., 2013). Angiotensin receptor blocker (ARB) sebaiknya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap ACEI dan memiliki tanda – tanda gagal jantung baik secara klinik atau radiologik atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <0,04 (Amsterdam et al., 2014). 4). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIa (manfaat melebihi risiko) a) Beta-Adrenergik Blocker Terapi beta blocker dapat dilanjutkan pada pasien yang memiliki fungsi LV yang normal pada UA/NSTEMI (Amsterdam et al., 2014). Pemberian beta blocker secara intravena (i.v.) dapat digunakan pada pasien STEMI yang tidak ada kontraindikasi (O’Gara et al., 2013). b) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor ARB dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang intoleran terhadap pemberian ACEI (Amsterdam et al., 2014). 5). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko) a) Nitrat 14 Nitrat sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang telah mendapat fosfodiesterase inhibitor dalam 24 jam penggunaan sildenafil atau 48 jam penggunaan tadalafil (Amsterdam et al., 2014). b) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor Angiotensin-converting enzym inhibitor (ACEI) dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular (Amsterdam et al., 2014). 6). Rekomendasi terapi antiiskemik kelas III (tidak bermanfaat atau berbahaya) a) Beta-Adrenergik Blocker Pemberian beta blocker secara intravena potensial menimbulkan bahaya pada pasien UA/NSTEMI yang punya faktor risiko syok (Amsterdam et al., 2014). b) Calcium-Channel Blocker (CCB) Pemberian nifedipin (immediate-relase) sebaiknya tidak diberikan pada pasien UA/NSTEMI yang tidak diberikan beta blocker (Amsterdam et al., 2014). Sedangkan pemberian nifedipin adalah kontraindikasi untuk pasien STEMI karena efek hipotensi dan aktivasi refleks simpatis dengan takikardi (O’Gara et al., 2013). 7). Rekomendasi terapi antiplatelet kelas I (manfaat jauh melebihi risiko) Aspirin chewable (162 mg – 325 mg) sebaiknya diberikan seawal mungkin ada pasien UA/NSTEMI yang tidak kontraindikasi setelah masuk rumah sakit dan diteruskan dengan dosis terapi (81 mg/hari – 325 mg/hari) (Baigent et al., 2009). Pada pasien yang tidak dapat menerima aspirin karena hipersensitivitas atau intoleransi saluran GI mayor, diberikan klopidogrel dengan dosis muatan yang diikuti dengan dosis maintenance (Gollapudi et al., 2004 ). 15 Klopidogrel atau tikagrelor (P2Y12 Receptor Inhibitor) sebaiknya ditambahkan pada aspirin dan terapi antikoagulan seawal mungkin setelah masuk rumah sakit dan diberikan sampai 12 bulan pada pasien yang akan menjalani strategi awal konservatif (noninvasif) (James et al.,2011). Pilihan regimen dosisnya : i) Klopidogrel 300 mg – 600 mg sebagai dosis muatan dan diikuti dosis maintenance 75 mg per hari (Yusuf et al.,2001), ii) Tikagrelor 180 mg sebagai dosis muatan dan diikuti dosis maintenance 90 mg dua kali sehari (Wallentin et al., 2009). Dosis muatan P2Y12 Receptor Inhibitor sebaiknya diberikan untuk pasien STEMI segera mungkin. Pilihan regimen dosisnya: i) Klopidogrel 600 mg, ii) Prasugrel 60 mg, iii) Tikagrelor 180 mg (O’Gara et al., 2013). 8). Rekomendasi terapi antiplatelet kelas IIb (manfaat sedikit melebihi risiko) Klopidogrel dapat digunakan dengan dosis muatan 600 mg dan diikuti dosis maintenance yang lebih tinggi yaitu 150 mg per hari selama 6 hari kemudian 75 mg per hari pada pasien yang tidak ada risiko tinggi perdarahan pada pasien yang menjalani PCI sebagai bagian dari strategi awal invasif (Mehta et al., 2010). 9). Rekomendasi terapi antikoagulan kelas I (manfaat jauh melebihi risiko) Terapi antikoagulan sebaiknya ditambahkan pada terapi antiplatelet pada pasien UA/NSTEMI se awal mungkin setelah masuk rumah sakit. Rejimen menggunakan enoksaparin, atau unfractioned heparin (UFH), atau fondaparinuks memiliki efikasi yang telah terbukti pada pasien yang akan menjalani strategi konservatif. Fondaparinuks lebih disarankan pada pasien yang akan menjalani strategi konservatif yang memiliki risiko perdarahan yang meningkat (Amsterdam 16 et al., 2014). Untuk pasien STEMI rejimen yang direkomendasikan bisa dengan unfractioned heparin (UFH) atau bivalirudin. UFH diperlukan untuk mempertahankan terapi aktivasi level waktu pembekuan darah. Bivalirudin digunakan dengan atau tidak terapi utama (UFH) (O’Gara et al., 2013). 10). Rekomendasi terapi antikoagulan kelas IIa (manfaat melebihi risiko) Pemberian enoksaparin atau fondaparinuks lebih disarankan daripada UFH sebagai terapi antikoagulan kecuali coronary artery bypass grafting (CABG) direncanakan dalam 24 jam pada pasien yang akan menjalani strategi awal konservatif (Amsterdam et al., 2014). Pada pasien STEMI yang memiliki risiko tinggi perdarahan, perlu digunakan bivalirudin (monoterapi) atau direferensikan kombinasi dengan UFH (O’Gara et al., 2013). 11). Rekomendasi terapi antikoagulan kelas III (tidak bermanfaat atau berbahaya) Pemberian Fondaparinuks tidak dianjurkan sebagai antikoagulan untuk mendukung PCI karena risiko pembekuan darah pada kateter (O’Gara et al., 2013). 12). Rekomendasi Manajemen Lipid kelas I (manfaat jauh melebihi risiko) Terapi menggunakan golongan statin perlu diinisiasi atau diteruskan untuk pasien UA/NSTEMI maupun STEMI yang tidak kontraindikasi (Amsterdam et al., 2014). 13). Rekomendasi Manajemen Lipid kelas IIa (manfaat melebihi risiko) Perlu untuk didapatkan kadar lipid puasa pada pasien UA/NSTEMI maupun STEMI, sebaiknya dalam waktu 24 jam setelah muncul gejala (Amsterdam et al., 2014). 17 i. Monitoring Efek Samping Obat (ESO) Terapi ACS Efek samping obat dan parameter yang harus dipantau dan diwaspadai selama pemberian obat – obat untuk penanganan UA/NSTEMI maupun STEMI antara lain: 1). Nitrat (nitrogliserinm, ISDN) : hipotensi, takikardi 2). Morfin : hipotensi, bradipnea, penurunan kesadaran 3). Beta-blocker (atenolol, bisoprolol) : aritmia, bradikardia, hipotensi 4). Calcium-channelnblocker (CCB) dihidropiridin (amlodipin, nifedipin, nikardipin) : takikardi, hipotensi, edema perifer 5). Calcium-channelnblocker (CCB) nondihidropiridin (verapamil, diltiazem) : hipotensi, bradikardia, aritmia 6). Aspirin : perdarahan, nyeri lambung 7). Klopidogrel : perdarahan 8). Heparin : anemia, penurun hematokrit, perdarahan, trombositopenia 9). Enoksaparin : trombositopenia, perdarahan 10). Fondaparinuks : trombositopenia, peningkatan kreatinin, perdarahan 11). Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor (kaptopril, lisinopril, ramipril) : batuk, peningkatan BUN, hiperkalemia, peningkatan kreatinin, hipotensi. (Corbett et al., 2014) 2. PHARMACEUTICAL CARE Pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian merupakan suatu praktik di mana farmasis bertanggungjawab terhadap kebutuhan obat (drug related needs) pasien. Pelayanan kefarmasian ini dilakukan untuk mencapai hasil terapi yang 18 positif untuk pasien. Praktik profesi pelayanan kesehatan dibentuk untuk menemukan kebutuhan obat pasien dengan cara mengidentifikasi, menyelesaikan dan mencegah drug related problems. Pelayanan kefarmasian ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dalam sistem perawatan kesehatan yang timbul karena beberapa resep pada tiap individu pasien, ledakan produksi serta promosi obat di pasaran, peningkatan kompleksitas terapi obat dan masih tingginya biaya yang dikeluarkan pasien karena kesalahan obat (Cipolle et al., 1998). Dalam pharmaceutical care yang dilakukan apoteker dengan melibatkan pasien dan tenaga profesional kesehatan lainnya dalam merancang, melaksanakan dan memantau hasil terapi dari pasien. Hal ini melibatkan tiga fungsi utama yaitu : 1). mengidentifikasi drug related problems yang potensial dan aktual, 2). menyelesaikan drug related problems yang aktual, dan 3). mencegah drug related problems yang potensial ( Hepler et al., 1990). Pharmaceutical care adalah elemen penting dari pelayanan kesehatan dan harus berintegrasi dengan elemen kesehatan lainnya. Pharmaceutical care bagaimanpun disediakan untuk dapat memberikan manfaat langsung kepada pasien dan farmasis bertanggungjawab langsung kepada pasien mengenai kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Farmasis memiliki kesempatan yang besar dalam pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah memberikan pelayanan terapi obat yang aman dan efektif ( Hepler et al., 1990). 19 3. DRUG RELATED PROBLEMS (DRPS) Tabel II. Jenis – jenis DRPs dan penyebab yang mungkin terjadi (Cipolle et al.,2004) Drug Related Problems (DRPs) Terapi obat yang tidak perlu (unnecessary drug therapy) a. b. c. d. Memerlukan terapi tambahan (need for additional drug therapy) a. b. c. Obat tidak efektif (Ineffective drug) a. b. Dosis terlalu rendah (Dosage too low) c. a. b. c. d. Dosis terlalu tinggi (Dosage too high) a. b. c. d. e. Reaksi yang tidak dikehendaki (Adverse drug reaction) a. b. c. d. e. f. Ketidakpatuhan pasien (Noncompliance) a. b. c. d. e. Kemungkinan kasus pada DRPs Terapi tidak sesuai dengan kondisi saat ini Menggunakan multiple drugs therapy untuk kondisi yang seharusnya cukup dengan single drug therapy Kondisi pengobatan yang lebih baik diobati tanpa terapi obat (nondrug therapy) Pasien dengan terapi obat tertentu untuk mencegah efek samping obat lain Pasien dengan kondisi membutuhkan terapi obat Membutuhkan terapi untuk mencegah risiko munculnya kondisi medis baru Kondisi kesehatan yang membutuhan kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau potensiasi Obat yang diberikan bukanlah obat yang paling efektif untuk masalah kesehatan tersebut Menerima obat yang tidak efektif untuk indikasi pengobatan Bentuk sediaan dari obat tersebut yang tidak tepat Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon Interval dosis yang terlalu jarang untuk menghasilkan respon Durasi pemberian obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon Interaksi obat yang mengurangi jumlah obat aktif dalam tubuh Dosis yang diberikan terlalu tinggi Frekuensi pemberian terlalu singkat Dosis obat meningkat terlalu cepat Durasi pemberian obat terlalu panjang Adanya interaksi obat yang menghasilkan reaksi keracunan Obat menyebabkan reaksi yang tidak dinginkan/permasalahan lain yang tidak terkait dengan dosis Obat yang lebih aman dibutuhkan karena adanya faktor risiko Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak terkait dengan dosis Regimen dosis yang diberikan berubah terlalu cepat Obat yang menyebabkan reaksi alergi Obat yang dikontraindikasikan karena adanya faktor risiko Pasien yang tidak mengerti mengenai aturan pakai Pasien lupa untuk mengambil obat Obat yang terlalu mahal untuk pasien Pasien tidak dapat menelan atau tidak dapat menggunakan obatnya sendiri dengan tepat Obat tidak tersedia untuk pasien 20 DRPS merupakan kejadian atau pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami pasien, melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien. DRPs aktual adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien. DRPs potensial adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh pasien (Cipolle et al., 1998). F. KETERANGAN EMPIRIS Dalam penggunaan obat, pasien membutuhkan terapi yang tepat, efektif, aman, rasional sehingga dapat mencapai outcome pengobatan yang diinginkan. Terkait dengan hal tersebut, bentuk kepedulian farmasi dalam pengobatan dilakukan melalui farmasi klinik dengan praktek pharmaceutical care. Praktek pharmaceutical care salah satunya melalui mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat (DRPs) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran jenis dan jumlah dari setiap kejadian Drug Related Problems (DRPs) pada penggunaan obat untuk penyakit Acute Coronary Syndrome (ACS) yang menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2015.