TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kelinci Kelinci yang banyak diternakkan saat ini berasal dari kelinci liar (Orytolagus cuniculus) yang telah mengalami domestikasi, tersebar di kawasan Afrika Utara, Eropa, Australia, Selandia Baru, Chili, serta pulau-pulau di Pasifik dan Atlantik. Klasifikasi kelinci adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mammalia Ordo : Lagomorpha Famili : Leporidae Sub famili : Leporine Genus : Lepus, Pentalagus, Bunolagus, Nesolagus, Romerolagus, Brachylagus, Sylvilagus, Oryctolagus, dan Poelagus. Spesies : Lepus spp., Pentalagus spp., Bunolagus spp., Nesolagus spp., Romerolagus spp., Brachylagus spp., Sylvilagus spp., Oryctolagus spp., dan Poelagus spp. Di Indonesia khususnya Pulau Jawa, kelinci pada mulanya merupakan ternak hias yang dipelihara oleh Belanda. Pada perkembangannya, kelinci mulai meluas ke kalangan rakyat biasa dan banyak diternakkan oleh petani-petani di daerah pegunungan. Breed kelinci pertama yang diternakkan di Indonesia adalah Nederland Dwarf yang pada awalnya merupakan usaha sambilan berskala kecil. Pada tahun 1980, pemerintah Indonesia mulai menggalakkan pemeliharaan kelinci sebagai sumber daging, akan tetapi usaha ini tidak berjalan mulus seperti di daerah Eropa dan Asia. Berdasarkan bobotnya, kelinci dewasa dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu tipe kecil, sedang, dan besar. Ketiga tipe tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Tipe kecil (small and dwarf breeds). Kelinci tipe ini dimanfaatkan sebagai ternak biasa atau sebagai hewan kesayangan karena sifatnya yang jinak dan mudah dipelihara. Memiliki bobot 0.9-2 kg dan dewasa kelamin pada 4-6 bulan. Beberapa breed kelinci tipe kecil antara lain Lop Dwarf, Dutch, Polish, dan English Angora. 4 2. Tipe sedang (medium breeds). Kelinci tipe ini dimanfaatkan sebagai penghasil daging, bulu, dan kulit. Bobotnya adalah antara 2-4 kg. Mencapai dewasa kelamin pada umur 7-8 bulan. Beberapa breed kelinci tipe sedang antara lain Rex, New Zealand White, English spot, dan Californian. 3. Tipe berat (giant breeds). Kelinci tipe ini dimanfaatkan sebagai penghasil daging, bulu, dan kulit seperti tipe sedang. Bobot yang dapat dicapai adalah hingga 8 kg. Kelinci tipe ini mencapai dewasa kelamin pada umur 10-12 bulan. Beberapa breed kelinci tipe berat antara lain Flemish Giant dan Giant Chinchilla (Sarwono 2001). Terdapat lebih dari 72 breed kelinci yang tersebar luas di dunia. Beberapa breed kelinci yang sudah dibudidayakan di Indonesia, antara lain: 1. Kelinci Lop Kelinci Lop memiliki kepala lebar, mata hitam, serta tubuh kompak dan padat. Ciri khas kelinci Lop terletak pada telinga yang menggantung dari pangkal kepala hingga samping pipi dengan ujung membulat, tidak seperti kelinci pada umumnya yang memiliki telinga tegak (Gambar 1). Perubahan posisi telinga terlihat setelah usia kelinci 2-4 bulan. Ciri khas ini yang menyebabkan kelinci Lop terlihat lucu dan menarik sehingga digemari banyak orang sebagai kelinci hias. Gambar 1 Kelinci Lop. 5 Lop melahirkan 6-8 ekor anak setiap kali bunting. Kemampuan beranak tiap induk cukup besar, yaitu mencapai 36 ekor per tahun. Anak Lop tumbuh cepat dan berdaging padat. Rata-rata bobot anak setelah berumur 65 hari adalah 1.8 kg dan bobot dewasa mencapai 4.5-5 kg, karenanya Lop juga banyak diternakkan untuk diambil dagingnya (Sarwono 2001). Beberapa jenis kelinci Lop antara lain English Lop, Holland Lop, Dwarf Lop, American Fuzzy Lop, Angora Lop, dan French Lop. Diantara beberapa jenis kelinci Lop tersebut, English Lop merupakan jenis yang paling terkenal, berwarna kuning, coklat, dan hitam kekuningkuningan. 2. Kelinci Rex Kelinci Rex memiliki proporsi tubuh yang baik dengan bagian belakang membulat, tulang kuat, kepala lebar, dan telinga tegak. Ciri khas kelinci Rex terletak pada rambutnya yang halus dan lembut seperti beludru dengan panjang hingga 1.27 cm. Karena keindahan rambutnya, kelinci ini banyak dibudidayakan sebagai penghasil rambut selain sebagai kelinci hias. Rambut Rex yang eksotis digunakan sebagai bahan baku pembuatan jaket atau aksesoris pakaian. Bobot dewasa Rex dapat mencapai 2.7-3.6 kg. Ukurannya yang besar juga dimanfaatkan peternak Rex untuk diambil dagingnya (Sarwono 2001). Gambar 2 Kelinci Rex. 6 Kelinci Rex melahirkan 6-7 ekor anak setiap kali bunting dan setiap tahun kelinci ini dapat melahirkan hingga 6 kali. Warna rambut kelinci Rex sangat bervariasi antara lain putih, hitam, biru, ungu merah muda (Lilac), coklat emas (Nutria, Cinnamon), merah kuning keemasan, coklat gelap kehitam-hitaman (Havana), bertotol (Dalmation), kombinasi hitam dan oranye (Harlequin), dan seperti kucing Siam (Siamese Sable). Kelinci Rex yang paling terkenal adalah White Rex, yang berambut putih mulus dan tebal. Kualitas rambutnya sangat baik, lembut seperti beludru. Breed ini disebut juga Ermine Rex. Fisiologi Semen Semen merupakan sekresi dari organ kelamin jantan yang terdiri atas spermatozoa dan plasma semen (Garner & Hafez 2000). Spermatozoa pada semen dihasilkan oleh testis dan dipengaruhi oleh hormon gonadotropin dan gonad, sedangkan plasma semen merupakan campuran sekresi dari epididimis dan kelenjar-kelenjar kelamin seperti kelenjar vesikularis dan prostat. Plasma semen berperan dalam keberhasilan reproduksi karena digunakan sebagai media transport dan energi bagi spermatozoa. Semen memiliki larutan buffer nitrat, bikarbonat, kation, pH sedikit basa (7.3-7.8), dan tekanan osmotik yang hampir sama dengan darah. Evaluasi Semen Semen yang telah dikoleksi segera mungkin dievaluasi untuk mengetahui kuantitas dan kualitas semen sebelum semen itu digunakan. Hal ini karena hanya semen dengan kualitas baik yang memiliki kemampuan fertilisasi yang tinggi. Keberhasilan fertilisasi dari ejakulasi secara pasti hanya dapat ditentukan setelah inseminasi, akan tetapi cara ini memakan waktu dan biaya. Karenanya, tes laboratorium dikembangkan untuk memperkirakan kualitas in vitro dan mengorelasikan parameter kualitas semen tersebut dengan kesuburan in vivo. Tes laboratorium ini dapat digunakan untuk memprediksi kesuburan pejantan (Rodríguez-Martínez 2003; Carluccio et al. 2004). Menurut Freshman (2002), evaluasi semen mencakup gross evaluation, pengukuran pH, motilitas, morfologi, konsentrasi spermatozoa, sitologi, kultur semen, dan alkaline phosphate. Secara umum, evaluasi semen yang dilakukan 7 mencakup evaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, volume semen, pH, konsistensi, dan warna semen dapat dinilai, sedangkan secara mikroskopis, gerakan massa, motilitas, skor individu, konsentrasi, viabilitas, dan morfologi dapat dinilai. Morfologi Spermatozoa Garner dan Hafez (2000) membagi spermatozoa menjadi dua bagian, yaitu kepala dan ekor. Kepala spermatozoa berbentuk bulat, lonjong, dan pipih. Kepala spermatozoa terdiri atas bagian akrosom anterior dan post akrosomal posterior. Akrosom anterior dibungkus oleh tudung akrosom yang merupakan struktur berupa dua lapis membran diantara plasma membran dan anterior kepala spermatozoa. Kandungan tudung akrosom adalah akrosin, hyaluronidase, dan enzim hidrolitik lainnya yang berfungsi untuk menembus ovarium dan membran oosit. Kepala juga berisi kromosom atau untaian DNA (Barth & Oko 1989). Ekor spermatozoa terdiri atas bagian penghubung (connecting piece), bagian tengah (midpiece), bagian utama (principle piece), dan bagian ujung (endpiece). Ekor terdiri atas aksonema yang tersusun oleh sembilan pasang mikrotubulus yang melingkari 2 inti filament. Aksonema dibungkus oleh banyak mitokondria yang berfungsi sebagai sumber energi bagi motilitas spermatozoa. Fruktosa yang terkandung dalam semen merupakan sumber pembentuk adenosine triphosphate (ATP) pada mitokondria. Ekor spermatozoa berfungsi sebagai penggerak lokomosi dengan gelombang di daerah implantasi ekor kepala, mendorong spermatozoa bergerak melalui uterus dan tuba Falopii hingga bertemu dan berpenetrasi pada oosit (Schatten & Gheorghe 2007), keberhasilan fertilisasi bergantung pada hal ini. Kelainan terhadap morfologi spermatozoa atau abnormalitas secara alami dapat ditemukan pada spermatozoa karena kurang sempurnanya proses dalam organ reproduksi hewan. Abnormalitas dipicu oleh penyakit, heat stress, perlakuan kriopreservasi, dan musim (Barth & Oko 1989). Tingginya persentase spermatozoa abnormal berkorelasi dengan kesuburan pada kelinci (Lavara et al. 2005). Penilaian terhadap abnormalitas spermatozoa dibantu dengan pewanaan William. 8 Barth dan Oko (1989) mengklasifikasikan abnormalitas spermatozoa ke dalam dua kelompok, yaitu abnormalitas spermatozoa primer dan sekunder. Abnormalitas spermatozoa primer merupakan abnormalitas yang terjadi pada bagian kepala spermatozoa karena adanya kelainan saat proses spermatogenesis dalam tubuli seminiferi. Abnormalitas spermatozoa primer meliputi pyriform (pearshaped), narrow at the base (taperred), abnormal countour, undeveloped, narrow, variable size (macrocephalus, microcephalus), double head, detached head, dan diadem. Gambar 3 Struktur spermatozoa (Adelman & Cahill 1989). Abnormalitas spermatozoa sekunder terjadi pada bagian ekor akibat kerusakan selama perjalanan spermatozoa melalui epididimis dan selama fase ejakulasi atau setelah ejakulasi yang meliputi kesalahan penanganan dan perlakuan terhadap spermatozoa seperti heat shock, pemanasan berlebihan, dan karena kontaminasi urin, air, atau antiseptik (Chenoweth 2005). Abnormalitas spermatozoa sekunder meliputi abaxial tail, coiled tails (simple bent, under the head, double folded), dan abnormal midpiece. Abnormalitas dianggap serius 9 apabila abnormalitas spermatozoa primer yang ditemukan mencapai 18-20% karena dapat menurunkan fertilitas (Barth & Oko 1989). Pengujian Keutuhan Membran Plasma Spermatozoa Seluruh bagian spermatozoa diselimuti oleh membran plasma yang berfungsi sebagai pelindung terhadap perubahan lingkungan, sebagai unsur transport dari dalam ke luar sel atau sebaliknya (Pinto & Kozink 2008), serta menjaga integritas biokimia dan struktur spermatozoa (Amorim et al. 2009). Keutuhan membran plasma akan menentukan kualitas spermatozoa. HypoOsmotic Swelling test (HOS test) merupakan uji khusus yang digunakan untuk mengetahui keutuhan membran plasma spermatozoa (Lodhi et al. 2008). Mocé et al. (2004), Daader dan Seleem (2005), dan Safaah et al. (2008) menunjukkan bahwa HOS test dapat digunakan untuk menilai hasil fertilisasi in vitro dari semen kelinci. Dasar dari HOS test adalah hukum osmosis. Saat spermatozoa terpapar oleh medium hipoosmotik, bahan biokimia aktif pada spermatozoa akan meningkatkan volume spermatozoa dengan mengalirkan air masuk ke dalam spermatozoa hingga tercapai keseimbangan antara kompartemen dalam spermatozoa dengan lingkungan ekstraseluler. Proses ini menyebabkan spermatozoa membengkak, terjadi perubahan ukuran dan bentuk spermatozoa yang dapat dievaluasi menggunakan mikroskop fase kontras (Cabrita et al. 1999; Fonseca et al. 2005). Pembengkakan mudah teramati pada bagian ekor yang menunjukkan adanya kebengkokan ekor (coil).