Transplantasi sel testikular ikan gurame

advertisement
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Disosiasi Sel Testikular Ikan Gurame
Berdasarkan kriteria ukuran sel spermatogonia ikan gurame (5-15 µm)
menurut Mauluddin (2009), jumlah dan persentase sel spermatogonia hasil
disosiasi sel testikular (Gambar 7) ikan gurame pada penelitian ini
memperlihatkan hasil yang berbeda antar individu (Tabel 1). Jumlah
spermatogonia pada donor 1 sebanyak 6.300.000 sel (4,45%) sedangkan pada
donor 2 sebanyak 4.000.000 sel (14,98%). Hal ini juga berpengaruh terhadap
persentase spermatogonia pada setiap donor yaitu donor pertama dengan bobot
tubuh yang lebih tinggi memiliki persentase spermatogonia yang lebih rendah
(4,54%) dibandingkan dengan donor kedua (14,98%).
Gambar 7. Sel testikular ikan donor hasil disosiasi menggunakan
PBS yang mengandung tripsin 0,5%. Spermatogonia
ditunjukkan oleh anak panah.
Tabel 1. Hasil disosiasi sel gonad ikan donor
Donor
Bobot tubuh
(g)
Bobot gonad
(g)
∑ sel testikular
(sel)
1
2
827
608
0,1513
0,1169
138.625.000
26.704.000
Jumlah
spermatogonia
(sel)
6.300.000
4.000.000
Persentase
spermatogonia
(%)
4,54
14,98
3.1.2 Analisis PCR pada DNA Resipien 1 Hari Setelah Penyuntikan
Konfirmasi keberhasilan proses penyuntikan sel donor ke rongga peritoneal
atau rongga perut larva ikan nila (resipien) dilakukan menggunakan teknik PCR.
Dengan menggunakan teknik ini dapat diketahui masuk atau tidaknya sel donor
yang telah disuntikkan pada resipien, yaitu dengan melihat visualisasi UV dari
elektroforesis DNA sampel yang telah di PCR menggunakan primer spesifik yang
hanya mendeteksi adanya DNA gurame (donor) dalam sampel (resipien) (Gambar
8).
Gambar 8. A) Analisis PCR DNA larva 1 hari setelah penyuntikan sel donor
menggunakan marka molekular spesifik GH-Gurame
(konfirmasi keberhasilan penyuntikan). M, marker; 1-5, DNA
sampel larva; G, DNA ikan gurame sebagai kontrol positif; N,
DNA ikan nila sebagai kontrol negatif; (-) Kontrol bahan pada
proses PCR. B) PCR menggunakan primer Ti β-actin sebagai
kontrol internal
Semua sampel yaitu 1-5 yang diperiksa dengan PCR menggunakan marka
molekular spesifik GH-gurame memperlihatkan pita DNA (di atas garis merah)
yang sejajar dengan pita kontrol positif DNA ikan gurame (G) dengan target
sekuen 340 bp. Hal ini menunjukkan bahwa proses penyuntikan sel donor ke ikan
resipien berhasil dilakukan.
3.1.3 Tingkat Kelangsungan Hidup Resipien
Tingkat kelangsungan hidup resipien 7 hari setelah penyuntikan
menunjukkan kecenderungan peningkatan seiring dengan semakin meningkatnya
umur resipien pada saat penyuntikan dilakukan (Gambar 9). Resipien yang
disuntik pada umur 1-2 hari setelah menetas memiliki tingkat kelangsungan hidup
11
yang lebih rendah (89,34%) dibandingkan dengan resipien umur 3-4 hari setelah
menetas (98,96%) dan kontrol (100%).
100
SR (%)
80
60
40
20
0
Kontrol (tanpa
penyuntikan)
Hari Ke 1-2
Hari Ke 3-4
Umur resipien saat penyuntikan
Gambar 9. Survival rate (SR) larva hingga 7 hari setelah penyuntikan.
Hari 3-4, resipien yang disuntik saat berumur 3-4 hari setelah
menetas; hari 1-2, resipien yang disuntik saat berumur 1-2 hari
setelah menetas.
3.1.4 Kuantifikasi DNA Gonad Resipien 2 Bulan setelah Penyuntikan
Berdasarkan perhitungan konsentrasi DNA gonad menggunakan GeneQuant
diperoleh data bahwa konsentrasi DNA gonad resipien hasil ekstraksi terendah
adalah sebesar 1,1 ng/µl dan tertinggi adalah 10,5 ng/µl (Tabel 2). Ini
menunjukkan bahwa DNA resipien sudah berhasil diekstraksi dan siap digunakan
untuk keperluan PCR dalam mendeteksi kolonisasi sel donor pada gonad resipien.
Tabel 2. Data kuantifikasi DNA gonad resipien menggunakan Gene Quant
No
Konsentrasi DNA
Rasio
sampel*)
(ng/µl)
1
1,784
7,3
2
1,854
3,0
3
1,896
1,4
4
1,909
2,5
5
1,856
5,9
6
1,949
1,7
7
1,764
4,1
8
1,687
10,5
9
1,777
9,8
10
1,881
1,1
Keterangan: *): sampel no 1-6, resipien yang disuntik saat umur 1-2 hari setelah menetas; no. 7-10: resipien
yang disuntik saat umur 3-4 hari setelah menetas. Rasio merupakan nilai perbandingan antara absorbansi pada
panjang gelombang 260 dan 280 nm.
12
3.1.5 Analisis PCR Gonad Resipien
Resipien yang membawa atau tidak membawa sel donor pada saat umur 2
bulan dibedakan menggunakan teknik PCR dengan marka molekular tertentu yang
mampu mendeteksi ada tidaknya sel gurame dalam gonad ikan nila. Tampak 6 (af) dari 6 sampel ikan nila resipien (disuntik pada umur 1-2 hari setelah menetas)
yang diperiksa gonadnya melalui PCR memperlihatkan adanya pita DNA
penyandi spesifik GH-gurame (Gambar 10) yang sejajar dengan (G) pita DNA
gurame sebagai kontrol positif, hal ini menunjukkan bahwa semua sampel (100%)
yang diperiksa membawa sel donor (sel testikular dari gonad ikan gurame) yang
berarti sel donor mampu berkolonisasi di dalam gonad ikan resipien. Berbeda
dengan hasil PCR terhadap resipien yang disuntik pada umur 1-2 hari setelah
menetas, hasil deteksi terhadap larva resipien yang disuntik pada umur 3-4 hari
(Gambar 11) menunjukkan adanya resipien yang tidak membawa sel donor
(sampel ke-4) dalam gonadnya yang berarti sel donor gagal berkembang dan
terkolonisasi di dalam gonad resipien.
Gambar 10. A) Analisis PCR DNA sampel resipien (yang disuntik pada
umur 1-2 hari setelah menetas) 2 bulan setelah penyuntikan
menggunakan marka molekular spesifik GH-Gurame. M,
marker; (-), kontrol negatif bahan PCR, N, DNA ikan nila; G,
DNA ikan gurame; a-f, DNA sampel resipien yang berumur 2
bulan setelah penyuntikan. B) PCR menggunakan primer Ti βaktin sebagai kontrol internal.
13
Gambar 11. A) Analisis PCR DNA sampel resipien (yang disuntik pada
umur 3-4 hari setelah menetas) 2 bulan setelah penyuntikan
menggunakan marka molekular spesifik GH-Gurame. M,
marker; 1-4, DNA sampel resipien yang berumur 2 bulan
setelah penyuntikan; G, DNA ikan gurame; N, DNA ikan nila;
(-), kontrol negatif bahan PCR. B) PCR menggunakan primer
Ti β-aktin sebagai kontrol internal.
3.2 Pembahasan
Sel donor khususnya sel spermatogonia dalam bentuk tunggal (terpisah dari
jaringan gonad dan sel germinal lainnya) yang viable (hidup) dan berpotensi untuk
berkembang ataupun berdiferensiasi di dalam gonad resipien dapat diperoleh
dengan cara disosiasi sel (pemisahan sel dari jaringan). Menurut Kobayashi et al.
(2004) selain tingkat kemurnian PGC atau sel donor dalam hal ini adalah hasil
isolasi yang melibatkan proses disosiasi sel, viabilitas PGC atau sel donor juga
dapat mempengaruhi kemampuan diferensiasi menjadi sel germinal pada resipien.
Pada penelitian ini telah berhasil diperoleh sel testikular hasil disosiasi gonad ikan
donor menggunakan tripsin 0,5% di dalam larutan PBS. Alimuddin et al. (2009)
menyatakan bahwa disosiasi sel menggunakan tripsin-phosphate buffer saline
(Trip-PBS) 0,5% dengan lama inkubasi kurang dari atau selama 2 jam diperoleh
suspensi sel testikular ikan gurame dengan viabilitas 96,77-100%.
Dalam
penelitian ini, viabilitas sel hasil disosiasi tidak diamati, namun demikian
viabilitasnya diduga sama dengan yang dilaporkan oleh Alimuddin et al. (2009).
14
Hasil disosiasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sel testikular
maupun sel spermatogonia pada donor yang digunakan (Tabel 1). Perbedaan
jumlah spermatogonia hasil disosiasi gonad ikan donor tersebut diduga terkait
oleh berbedanya bobot tubuh maupun bobot gonad pada setiap donor. Data
tersebut (Tabel 1) memperlihatkan bahwa bobot tubuh yang lebih besar (donor 1)
memiliki persentase spermatogonia yang lebih kecil jika dibandingkan dengan
donor 2. Semakin tinggi bobot tubuh ikan gurame, maka semakin rendah
persentase spermatogonia yang terkandung dalam gonadnya (Alimuddin, 2009).
Kemampuan deteksi sel donor dalam tubuh resipien menggunakan teknik
PCR dengan primer spesifik GH-Gurame menunjukkan bahwa semua sampel
(resipien) 1 sampai 5 (Gambar 8) telah membawa sel donor hasil penyuntikan.
Melalui konfirmasi tersebut dapat dikatakan bahwa hasil penyuntikan sel donor ke
dalam rongga perut resipien telah berhasil dilakukan. Teknik PCR menggunakan
primer spesifik tersebut telah diuji tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya oleh
Achmad (2009). Teknik PCR ini mampu mendeteksi DNA ikan gurame dengan
konsentrasi 1 ng/μl di dalam 700 ng/μl DNA ikan nila atau jika konsentrasi DNA
tersebut dikonversi ke dalam jumlah sel melalui analisis ekstraksi DNA maka
dapat dikatakan bahwa teknik PCR tersebut mampu mendeteksi 1 sel ikan gurame
yang terdapat di dalam 10.000 sel ikan nila (Achmad, 2009). Dengan demikian
nilai rasio jumlah sel donor yang disuntikkan ke resipien (larva) dapat dikatakan
lebih dari sama dengan 1 berbanding 10.000 sel larva.
Terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup larva (Survival Rate) paling
tinggi adalah kontrol, kemudian diikuti dengan perlakuan penyuntikan pada larva
umur 3-4 hari (98,96%) dan paling rendah adalah perlakuan penyuntikan pada
larva umur 1-2 hari (89,34%) (Gambar 9). Diduga umur larva yang masih muda
memiliki daya tahan tubuh lemah dan rentan terhadap gangguan fisik dari luar
yang dalam hal ini adalah teknis penyuntikan. Karena teknis penyuntikan ini
beresiko mengenai organ lain yang dapat menyebabkan kerusakan organ sehingga
larva mudah mati ketika selesai disuntik. Hal ini sesuai dengan Takeuchi et al.
(2009) yang menyatakan bahwa resipien yang lebih kecil memiliki tingkat
kelangsungan hidup yang lebih kecil juga, hal ini diperlihatkan dengan
menurunnya SR larva dari 63,3% (pada resipien ikan nibe larva ukuran 6 mm)
15
menjadi 2,9% (pada resipien 3 mm). Kemampuan teknis dalam metode
mikroinjeksi (transplantasi) sendiri memiliki peran penting terhadap keberhasilan
masuknya sel donor ke dalam rongga perut resipien, selain itu penguasaan teknis
penyuntikan
secara
tidak
langsung
juga
dapat
mempengaruhi
tingkat
kelangsungan hidup resipien pada saat penyuntikan dilakukan. Menurut Ath-thar
(2008) dengan menggunakan teknik mikroinjeksi pada embrio memungkinkan
adanya teknis injeksi yang membuat rusaknya jaringan tertentu sehingga
menyebabkan telur tidak dapat menetas setelah dilakukan penyuntikan.
Proses kolonisasi (penggabungan) sel donor ke gonad resipien diawali
dengan proses migrasi sel donor ke jaringan bakal gonad (genital ridge) dari ikan
resipien. Menurut Yoshizaki (2010) proses migrasi primordial germ cell (PGC)
pada ikan rainbow trout diawali dengan disekresikannya chemokine stromal
derived factor-1 (SDF-1) oleh sel somatik bakal gonad resipien, kemudian PGC
(sel donor) yang terletak di luar bakal gonad tersebut mengekspresikan reseptor
yaitu CXC-chemokine receptor 4 (CXCR-4), PGC akan mengarah ke SDF-1 dan
bermigrasi ke bakal gonad menggunakan pseudopodia (Raz & Reichman-Fried
(2006) dalam Yoshizaki (2010)). Setelah mencapai daerah bakal gonad, PGC
mengalami penggabungan (terkolonisasi) dengan gonad resipien.
Konfirmasi kolonisasi sel donor pada gonad resipien umur 2 bulan setelah
transplantasi dilakukan karena gonad ikan nila yang berumur ± 2 bulan telah
berkembang dan jika dilakukan pembedahan maka gonad sudah terlihat secara
jelas dan mudah diambil serta dipisahkan dari organ lainnya untuk diekstraksi
DNA nya. Kemudian waktu ± 2 bulan diduga merupakan waktu yang dapat untuk
menentukan apakah sel donor dapat berkembang atau tidak di dalam gonad ikan
resipien. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa tingkat kolonisasi atau
perkembangan sel donor pada resipien (ikan rainbow trout) sudah dapat
ditentukan dan dideteksi pada waktu 10 hari setelah dilakukan penyuntikan
(proses transplantasi) (Takeuchi et al., 2003). Dengan mengacu Takeuchi et al.
(2003) maka pemeriksaan gonad resipien (ikan nila) dalam rangka untuk
mengetahui perkembangan sel donor pada penelitian ini masih layak dilakukan
pada resipien yang berumur 2 bulan setelah transplantasi.
16
Berdasarkan deteksi sel gonad resipien dengan menggunakan teknik PCR
tersebut dapat dikatakan bahwa keberhasilan kolonisasi dengan melakukan
penyuntikan terhadap resipien yang berumur 1-2 hari setelah menetas dalam TST
ini adalah 100% (Gambar 10). Keberhasilan ini diduga oleh karena rejection
immune system resipien belum berkembang dengan sempurna sehingga resipien
masih mampu menerima sel donor dari luar yang dimasukkan ke dalam rongga
peritonialnya. Takeuchi et al. (2003) menyatakan bahwa sel donor tidak
terkolonisasi di dalam tubuh resipien ketika resipien (rainbow trout) yang
digunakan telah berumur 45 hari setelah fertilisasi. Hal ini diduga oleh adanya
kemampuan ikan dalam menolak adanya bentuk sel dari luar. Pada beberapa
spesies ikan yang baru menetas sistem imun masih relatif belum berkembang baik
(Manning et al., 1996) sehingga sel donor masih dapat berkembang di dalam
tubuh resipien. Selain itu Nakanishi (1985) menyatakan bahwa beberapa ikan
dapat melakukan allograft rejection (penolakan transplantasi jaringan atau organ
dari individu lain yang sama spesies oleh sistem imun) setelah umur tertentu,
misalnya pada ikan mas umur 16 hari setelah menetas pada suhu 20-220C,
Xiphophorus maculates 23 hari setelah fertilisasi pada suhu 200C, dan pada
rainbow trout 14 hari setelah menetas pada suhu 140C.
Berbeda dengan hasil PCR terhadap resipien yang disuntik pada umur 1-2
hari setelah menetas, hasil deteksi terhadap larva resipien yang disuntik pada
umur 3-4 hari (Gambar 11) menunjukkan adanya resipien yang tidak membawa
sel donor (sampel ke-4) dalam gonadnya yang berarti sel donor gagal berkembang
dan terkolonisasi di dalam gonad resipien. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa keberhasilan kolonisasi hanya mencapai 75% dari 4 sampel yang diperiksa
gonadnya. Kasus yang sama juga terjadi terhadap hasil penelitian dari Takeuchi et
al. (2003) yang menggunakan PGC atau Primordial Germ Cells ikan donor
(rainbow trout). Pada penelitian tersebut yaitu dengan menggunakan PGC dari
umur embrio donor yang sama, kemudian ditransplantasikan ke resipien dengan
umur berbeda (35, 40, dan 45 days post fertilization (dpf)) menunjukkan adanya
penurunan tingkat kolonisasi yang signifikan terhadap sel donor pada resipien
umur 45-dpf yang dicek pada waktu 30 hari setelah transplantasi dilakukan. Hal
ini diduga bahwa umur resipien memiliki pengaruh penting dalam memberikan
17
lingkungan di dalam peritoneal (micro-environment) yang mampu mengarahkan
migrasi sel donor ke genital ridge-nya sehingga sel donor dapat terkolonisasi.
Hilangnya kondisi lingkungan di dalam peritoneal cavity resipien ikan rainbow
trout yang mampu mengarahkan PGC donor hasil transplantasi bermigrasi ke
genital ridge-nya ketika resipien berumur antara 40 dan 45 dpf (Takeuchi et al.
(2003). Kemudian hal ini juga sesuai dengan Takeuchi et al. (2009) bahwa tingkat
kolonisasi sel donor pada resipien (ikan nibe croaker (Nibea mitsukurii)) 3
minggu setelah penyuntikan mengalami kenaikan seiring dengan menurunnya
ukuran resipien yang digunakan, resipien ukuran 6 mm (tidak ada kolonisasi), 5
mm (7,3 ± 3,6%), 4 mm (36,3 ± 12,1%) dan 3 mm (50%).
18
Download