17 kritik wacana pluralisme agama

advertisement
KRITIK WACANA PLURALISME AGAMA
Andi Hartoyo
Sekolah Harapan Utama Batam
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kehidupan adalah sebuah proses dialog terus-menerus dan di
dalam dialog tersebut seseorang akan memberi dan menerima.
Dialog akan terwujud hanya ketika seseorang bisa duduk
sejajar dalam dataran kediriannya. Dunia ini milik bersama,
hidup ini dijalani bersama dan semua persoalan manusia
adalah juga persoalan semua orang, termasuk persoalan
keber-Tuhan-an dan masalah agama serta keberagamaan
adalah juga persoalan sebagai sesama manusia. Kedirian akan
lestari serta akan menimbulkan rasa damai serta kreatif kalau
tali pengikatnya adalah ikatan cinta, simpati dan didasari rasa
saling menghormati, saling mempercayai serta masing-masing
bisa dipercaya. Spiritualitas akan membuat seseorang semakin
lembut, semakin peduli terhadap lingkungan dan sesama
makhluk hidup. Apabila seseorang menjadi semakin egois,
semakin mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok
berarti seseorang itu belum spiritual (belum beragama),
walaupun seseorang itu mengenakan jubah seorang pendeta
atau pastor atau ulama, maka orang itu belum memahami esensi
agama. dan jika seseorang sudah memahami esensi agama
maka, seseorang itu tidak akan terjebak dengan Fanatisisme,
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
17
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Kelompokisme, Eklusivisme dan Isme-isme yang lain.
Kata Kunci: Pluralisme, Menghormati, Peraturan-peraturan,
Simpati
Masalah Pluralisme Agama
Saat ini, manusia hidup dalam dunia yang bergerak begitu
cepat kearah pluralisme dengan beragam agama, bahasa dan budaya
sebagai akibat dari perkembangan modernisme, liberalisme dan
globalisasi.1 Di tengah gemerlap perubahan dahsyat itu, masyarakat
agama justru memperlihatkan kultur sebaliknya: kerusuhan,
kekerasan dan konflik berkepenjangan. Terutama dalam dekade
terakhir ini. Banyak ketegangan muncul yang sebagaian dipicuh oleh
minimnya paham keberagamaan, etnik dan budaya yang pluralis.2
Dampak modernisme adalah kecenderungannya untuk massifikasi
(penyeragaman manusia dalam kerangka kerja teknis), sistem kerja industri yang
menempatkan semua orang sebagai mesin atau sekrup dari sebuah sistem teknis
rasional. Maka itu agama yang berposisi menempatkan nilai masing-masing
manusia sebagai unik berharkat yang merupakan citra Tuhan. Dan dampak
yang kedua adalah sekularisme yang tidak mengakui lagi ruang nafas buat yang
Ilahi atau dimensi relegius dalam hidup ini. Sekulerisme adalah wujud ekstrem
negatif dari proses skulerisasi karena mau memilah-milah adanya jagat relegius
dengan hukum-hukum dan jadag dunia sekular dengan hukum-hukumnya pula.
Mampukah krisis sekularisme lewat wajah-wajah ekstrim ateisme ditanggapi
oleh religiositas agama secara kritis bisa menegaskanb bahwa rasionalitas atau
akal budi memang pemberian Tuhan Tertinggi untuk manusia. Lihat lagi Mudji
Sutrisno, Agama, Harkat Manusia dan Modernisme dalam Dialog: Kritik dan
Identitas Agama, seri DIAN I/th I, (Yogyakarta; Interfield, 1993), hlm. 203
2
Peperangan, kekerasan atau dorongan kearah yang menggunakan
label agama, secara implicit atau ekplisit terus merebak dan menguat di sana
sini. Ini dapat ditemui pada hampir semua agama. Misalnya pada agama Yahudi
Sholomo Goren (1984), mantan pimpinan Rabbi untuk kelompok Yahudi Eropa
Barat di Israel yang mengeluarkan fatwa bahwa “melakukan pembunuhan
terhadap Yaser Arafat merupakan bagian dari tugas suci keagamaan. Kemudian
dalam agama Kristen juga, sejak awal decade 90-an yaitu pengaruh Serbia yang
didukung Gereja ortodoks membumi hanguskan Masjid-masjid di Sarajevo
menjai lautan darah. Sementara di dalam Islam adanya gerakan terorisme
dalam beragam bentuknya seperti Hezbullah yang sering disebut sebagai pelaku
pengerahan truk-truk bom maut yang menghancurkan markas besar pasukan
Amerika Serikat, Inggris dan Perancis di Beirut. Itu semua dikatakan secara
samar-samar digerakkan oleh semangat keagamaan. Di luar itu banyak kasus lain
akan meneguhkan adanya kekerasan yang digerakkan oleh semacam motivasi
1
18a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Karena itu, paham pluralisme agama perlu disegarkan kembali.
Konflik berkepanjangan dan kerusuhan yang tak kunjung
henti dan maraknya beragam bentuk kekerasan menyadarkan
manusia bahwa nilai-nilai kemanusian tampaknya kini mulai
memudar paling tidak kurang diperhatikan dari kehidupan umat
beragama. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa adanya sebagian
umat beragama yang menganggap kekerasan atau pola-pola
agresivitas sebagai sesuatu yang biasa atau lumrah, bahkan di
antara mereka ada yang menjadikan sikap dan prilaku agresif itu
sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
Anand Krishna mengungkapkan bahwa agama berpotensi
mempersatukan umat manusia dan bukan justru memecah belah.
Walaupun pandangan tentang agama setiap umat beragama
(manusia) berbeda-beda, itu disebabkan oleh pemahaman masingmasing pemeluk agama juga berbeda. Karena agama merupakan
pengalaman individu, maka tujuan utama dari agama adalah
memanusiakan manusia.
Sebenarnya, akar berbagai kerusuhan yang berbau agama,
bermula pada rasa prustasi dan alienasi serta deprivasi ekonomi
dan politik. Marginalisasi periferialisasi dan depresi serta politik
yang dialami massa menjadi kepahitan dan kemarahan yang siap
meledak setiap saat menjadi kekerasan politik. Pada kondisi
semacam itu, agama menjadi pemicu paling mudah dan efektif
sebagai alat3 pemersatu untuk mengarahkan massa melakukan
keagamaan. Lihat Abd ‘A’la, Melampaui Dialog Agama, Qomaruddin SF, ed.,
(Jakarta: Kompas, 2002), hlm, 16-17
3
Salah satu kemajemukan yang sangat krusial mengundang konflik
atau pertentangan adalah diversitas dalam agama, bahkan dalam realitasnya
perbedaan dalam aspek-aspek yang lain sering ditarik oleh sebagaian orang
atau kelompok karena pemahaman agama mereka yang literalis atau karena
kepentingan tertentu kedalam wilayah agama dalam rangka pembenaran
(justifikasi). Justifikasi agama dalam suatu konflik, khususnya konflik yang
timbul pada antar penganut agama –agama yang berbeda sangat mudah muncul
kepermukaan. Dalam kondisi semacam itu agama merupakan bahan empuk
sebagai bahan pemersatu massa (kelompok) yang histeris dan anarkis. Demikian
pula simbol-simbol agama merupakan teriakan-teriakan pembangkit semangat
efektif. Dengan mengatas namakan agama dan mengangkat simbol-simbol
sakral, massa atau kelompok menjadi semacam pasukan berani mati yang
berupaya melenyapkan kelompok lain. Baca Mudji Sutrisno, Agama, Harkat
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
19
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
kekerasan yang dibungkus dengan label agama.
Dalam tataran tersebut agama-agama diharapkan memiliki
focus terhadap persoalan hidup manusia. Sejalan dengan itu pula
sejumlah tokoh seperti Schuman menunjukkan sikap optimistiknya
tentang masa depan kehidupan manusia. Dia menyatakan :
Memasuki millenium ketiga umat manusia akan mengalami
perubahan kearah signifikan yang lebih baik. Namun untuk
pencapaian kearah sana, rekontruksi pemahaman keagamaan
umat manusia menjadi niscaya untuk dikembangkan karena
manusia agama bersifat eksklusif. Agama-agama hendaknya
berperan mengontrol manusia menjadi individu dewasa, merdeka
dan bertanggung jawab di tengah-tengah masyarakat dan bangsa
di dunia. Tetapi harapan semacam itu, hanya sekedar harapan
belaka. Kehidupan sejahtera yang mencerminkan perdamaian
secara hakiki belum dapat diwujud nyatakan dalam kehidupan
manusia.4
Memasuki millenium ketiga, kekerasan tetap mewarnai
kehidupan manusia sampai derajat tertentu menunjukan tingkat
eskalasi yang mengerikan. Dalam skala internasional, terorisme
menjadi monster yang mengintai mangsanya setiap saat. Menara
kembar World Trade Centre (WTC) dan gedung Pentagon yang
menjadi sasaran kaum teroris merupakan bukti paling konkrit
tentang jauhnya kehidupan yang damai di atas bumi. Pada tingkat
nasional, kerusuhan dan kekerasan dalam bentuk yang beragam
terus mewarnai kehidupan bangsa, bahkan para elite bangsa yang
seharusnya menjadi teladan masih sering menampakkan sikap
mereka yang jauh dari nilai-nilai civility. Secara langsung atau tidak
langsung mereka mentolerir atau bahkan mendorong penggunaan
kekerasan sekedar untuk mempertahankan kekuasaan.
Terlepas dari adanya perbedaan mengenai bentuk-bentuk
konkrit dari aplikasi nilai dan ajaran setiap agama, maka semua
Manusia...., hlm. 33. Baca juga Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani:
Gagasan, Fakta dan Tantangan, (Bandung: PT. Rosda Karya , 1999), hlm. 11
4
Olaf Schuman, Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-agama
dalam Martin L. Sinaga Edt. Agama-agama Memasuki Milenium Ketiga,
(Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 5.
20a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
agama berdiri dalam dataran yang sama,5 semuanya bertujuan
kebahagian manusia. Untuk itu, tiap-tiap agama meyakini bahwa
tujuan substansial itu tidak mungkin terwujud secara utuh tanpa
adanya kerukunan dan kerja sama di antara semua umat manusia,
terutama antar umat beragama yang berbeda-beda. Kearah sanalah
(Tuhan) semua umat akan kembali.
Di sini, pola keberagamaan yang berkembang masih
menampakkan karakter yang sarat dengan nuansa formalisme
yang kering dari nilai-nilai spiritual dan moral. Akibatnya nilainilai substansial agama yang bernuansa inklusif, moderat, toleran
dan yang searti dengan nilai-nilai itu tidak pernah ditangkap dan
diimplementasikan secarah utuh. Sebaliknya, klaim kebenaran
sepihak yang meniadakan kebenaran kelompok lain kian
mengental pada sebagian kelompok. Konsekuensinya terjadi
penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Pada sisi
lain dialog yang berkembang masih berjalan pada dataran retorik
semata, serta menitikberatkan pada relasi subyek-obyek yang
terkesan menindas. Pola ini tentunya semakin memperburuk relasi
antara manusia yang sudah tidak kondusif lagi untuk menciptakan
kehidupan yang sejuk.
Semua agama yang berdiri pada dataran yang sama dari aplikasi
nilai dan ajaran. Dalam islam misalnya, kemanusian hakiki adalah kembali
kepada fitrah manusia itu sendiri, sebagai manusia yang cenderung kepada nilainilai keagamaan yang subtansial dan nilai-nilai moral spiritual. Oleh karena itu
manusia dituntut untuk bercermin pad sifat-sifat Allah dan menyebarkannya
dalam kehidupan. Sifat Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan
sebagainya perlu diupayakan untuk diwujudkan dalam kehidupan sehingga
dunia ini menjadi dunia yang penuh kasih, penuh ketentraman, damai dan
sejahtera. Nyaris tidak berbeda dengan Islam, Kristen mengajak manusia untuk
untuk melepaskan diri dari beban ketakutan terutama terhadap kematian, beban
rasa bersalah dan beban kungkungan egoisme. Dari pembebasan ini manusia
diharapkan menuju satu hidup yang sama sekali baru. Dalam agama Kristen, satusatunya kekuatan yang dapat membebaskan manusia dan mampu menimbulkan
perubahan kehidupan sebagai mana ang diinginkan oleh cinta. Dengan demikian
menyebarkan kasih dan nilai-nilai sejenisnya menjadi tugas utama yang harus
dilakukan oleh setiap manusia yang mengaku dirinya sebagai pengikut Yesus.
Pada prinsipnya hal semacam itu merupakan ajaran hampir semua agama yang
hidup dan berkembang di dunia. Konkretnya semua agama mengajarkan tentang
kebajukan, keadilan dan pertanggung jawaban semua amal perbuatan manusia
dihadapan Sang Pencipta. Abd ‘A’la, Melampaui Dialog., hlm.xi-xii
5
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
21
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Kenyataan itu menuntut manusia untuk merekontruksi
dialog antar sesama dalam segala keberagamannya yang telah
berjalan selama ini menuju suatu penciptaan dialog antar
subyek yang mencerahkan. Pada saat yang sama dialog tersebut
hendaknya dikembangkan lebih jauh lagi ke dalam bentuk konkrit
yang bersifat praksis. Melalui model ini juga manusia diharapkan
bukan sekedar dapat menyadari tentang pluralisme kehidupan
sebagai suatu realitas yang konkrit yang tidak mungkin dihindari
lagi, tetapi lebih jauh lagi kesadaran itu bisa di bumikan dalam
kerja kreatif yang berwajah manusiawi.
Perkembangan spiritual dan material
Jika spiritualitas mempresentasikan totalitas sumbersumber kearifan, cinta dan perdamaian bersama di antara semua
agama, maka bagaimanakah hubungannya dengan realitas tertentu
dari tempat tertentu dan waktu tertentu? Bagaimanakah kaitan
spiritualitas total dari totalitas warisan keagamaan manusia
dengan totalitas sejarah manusia?. Selama berabad-abad, orangorang Hindu, Jaina, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam mengklaim
memiliki petunjuk unik dan sempurna bagi keselamatan manusia.
Akan tetapi, tahap yang dicapai pada titik ini tampaknya
bertentangan dengan klaim-klaim tersebut. Karena dimana-mana
dijumpai kegelapan, diskriminasi, kebencian, pertumpahan darah
dan ancaman total bagi kehidupan dan keberlangsungan hidup
seluruh ras manusia. Jika dilihat secara global dimanakah peran
spiritualitas sebagai penyembuh.
Manusia secara fitrahnya merupakan makhluk spiritual
dan makhluk rasional, memerlukan agama sebagai kebutuhan
dasar dan di samping itu kebutuhan lain yang bersifat fisikal –
kuantitatif dan rasional – saintifik. Untuk itu, agama yang terdiri
dari seperangkat ajaran, nilai dan simbol perlu dipahami secara
utuh oleh manusia, sehingga kehadirannya benar-benar fungsional
bagi penyempurnaan kehidupan dan kehadiran mereka. Akan
tetapi dalam perkembangannya, identitas agama pada umumnya
ditransformasikan menjadi identitas etnik dalam jangka waktu
yang panjang. Suatu agama sering memulainya sebagai suatu
credo abstrak dengan tampilan dan ruang lingkup universal.
Dalam generasi-generasi berikutnya agama menjadi lebih
22a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
konkrit sebagai seperangkat liturgy dan praktek yang terbatas
pada komunitas tertentu dan pada wilayah tertentu. Kemudian
agama mengkristalkan menjadi seperangkat ritual dan kebiasaan
yang lebih konkrit yang membedakan komunitas tertentu dari
komunitas lainya. Komunitas agama menjadi komunitas etnik.
Komunitas etnik masih menjadi komunitas agama dalam banyak
hal, maka agama sekarang telah sangat berbeda dengan agama
generasi terdahulu. Selaras dengan hal itu Anand mengatakan:
Pernah saya mendengar seorang tokoh lewat layar tv, kurang
lebih ia mengatakan bahwa kita harus “membudayakan agama,
jangan mengagamakan budaya”, tokoh ini patut dikasihani
– beliau masih tidak dapat melihat esensi agama itu sendiri.
Agama berkembang dari budaya, budaya tertentu melahirkan
agama-agama besar kita. Budaya itu ibarat akar agama. Agama
adalah batang pohon yang berkembang lewat spiritualitas,
berbuah lewat kesadaran. Bagaimana anda bisa memisahkan
budaya dari agama atau agama dari spiritualitas?. Berhentilah
memilah-milah pahami proses ini, jangan mentuhankan budaya
dan jangan pula mentuhankan agama. Ketahuilah bahwa semua
itu merupakan anak-anak tangga untuk mencapai kesadaran
tertinggi, untuk mencapai tujuan utama kita yang satu dan
sama – Tuhan, Allah, Widi, Budha dan sebutan apapun yang
anda berikan kepada-Nya.6
Keanggotaan etnik berperan sebagai kartu identitas.
Kebutuhan identitas diyakini berasal dari masa yang sangat
awal, bersamaan dengan munculnya kebudayaan manusia yang
hidup dalam komunitas. Kebutuhan ini cenderung dilembagakan
dalam jaringan kekeluargaan yang diperluas. Oleh karena itu,
suatu kelompok etnik adalah kelompok sodilaritas yang untuk
dimana orang terlahir dan terikat secara kultural dan biologis.
Dari perspektif ini, keanggotaan dalam komunitas etno-kultural
secara psikologis dekat dengan kekuatan yang memaksa individu
memilih keanggotaan yang tidak disukai dalam kelas yang secara
sosio-ekonomi menentukan dan menyatukan orang-orang yang
Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung
Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV, (Jakarta, Gramedia, 1999),
hlm. 92-93
6
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
23
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
tersebar luas dan dari berbagai komunitas etnik yang mempunyai
nilai-nilai yang berbeda dan berbicara dengan bahasa berbeda
pula.
Dalam setiap komunitas baik komunitas agama atau
kultural memiliki hukum (Syir’atan atau Syari’at) dan jalan
hidupnya sendiri (Minhaj) serta mengalami perkembangan
spiritualnya. Istilah Syir’ah atau Syari’ah secara bahasa berarti
‘jalan mengalirnya air’. Al-Qur’an menggambarkan syari’ah
sebagai suatui sistem hukum yang niscaya bagi kesejahteran
komunitas sosial dan spiritual. Istilah Minhaj pada sisi lain berarti
‘jalan terbuka’, yaitu jalan hidup.7 Dengan demikian, tampak
jelas bahwa para Nabi yang diutus kepada umat-umat yang
berbeda memberikan hukum dan jalan hidup kepada masyarakat
sesuai tingkat kecerdasan dan hal-hal yang dapat mengantarkan
perkembangan spiritual dan material. Anand pun mengatakan “
Tuhan tidak membedakan aapakah seorang itu Islam, atau Hindu,
atau Budha yang Tuhan perhatikan adalah amal saleh manusia itu
sendiri”.8
Bukanlah hal sulit bagi Allah untuk membuat umat
manusia menjadi satu komunitas.9 Tetapi Allah memberi rahmat
kepada manusia berupa pluralisme, sehingga menambah kekayaan
dan keberagaman hidup. Setiap komunitas memiliki jalan hidup,
kebiasaan, tradisi dan hukum sendiri, tetapi semua hukum dan
cara hidup itu haruslah dapat menjamin perkembangan dan
memperkaya hidup walaupun berbeda satu sama lain. Oleh karena
itu kebesaran sebuah agama akan diukur melalui kebesaran tradisi
yang ditinggalkannya, sedangkan kuat-lemahnya sebuah tradisi
agama akan ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pendukungnya.
Di samping itu tentu saja oleh muatan ajaran atau doktrinnya,
namun sesungguhnya semua doktrin agama selalu berkembang
Mun’im A Sirry, Membendung Militansi Agama – Iman dan Politik
dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 171
8
Anand Krishna, Bersama Sufi…. Hlm. 153
9
“… kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja, tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua
kembali…. QS: 5; 48
7
24a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
dalam perjalanan historisnya.
Dalam perjalan sejarahnya agama-agama berperilaku
tampaknya ditentukan oleh pandangan dunia yang pada intinya
mereka melihat diri mereka sendiri. Dengan kata lain, pandangan
dunia tidak dapat dihindarkan terkait dengan identitas10 mereka
sebagai pemilik dan yang memproyeksikan klaim kebenaran yang
menafikan klaim-klaim kebenaran lainnya.
Ada banyak identitas dan masing-masing mengaku
memiliki finalitas klaim-klaim kebenaran, maka hal itu cenderung
menjadi konflik dan hal itulah yang dapat disaksikan pada dekade
ini. Baik pada skala kecil maupun besar dalam sepanjang sejarah
manusia. Maka penyamaan antara spiritualitas dan identitas harus
dipandang sebagai penyebab utama perselisihan dan perpecahan.
Kekuatan penyamaan spiritualitas dan identitas sebegitu besar,
sehingga kendatipun terdapat beberapa kesaksian verbal (lisan)
pada hampir semua tradisi keagamaan terdapat universalitas
Tuhan dan transendensi-Nya, akan tetapi hubungan aktual di
antara komunitas-komunitas agama pun tidak berkembang dengan
mudah.
Dalam penyamaan yang tertutup antara persepsi dan
identitas yang dapat dipahami bukanlah pribadi, melainkan jenis
dimana pengertian manusia akan identitas diri yang tertutup
memproyeksikan pengertian orang lain. Sebagai contoh, jika
seseorang memperkenalkan Smith kepada Ahmad, maka karena
dikondisikan oleh pemahaman dirinya yang tertutup sebagai
Manusia didefinisikan sebagai sekelompok yang terikat memiliki
kebutuhan identitas yang hanya dapat dipertemukan secara komperatif, jika tidak
bersifat relasi oposisi inklusif /eklusif dengan kelompok lain. Pembentukan dan
keberlangsungan identitas sering bersifat relasional, oposisional dan konfliktual.
Para anggota etnik dapat menciptakan ikatan-ikatan yang unik dalam bentuk
simbol maupun fisik dalam berhubungan dengan kelompok lain. Ini tidak berarti
ikatan-ikatan yang dibangun secara sosial yang diwujudkan oleh simbol budaya
yang merupakan sistem tertutup. Karena itu tidak mengizinkan pertukaran dan
interaksi yang membentuk kembali identitas. Jika identitas sebagai diferensiasi
dipandang sebagai dimensi yang mempertahankan hidup, maka ia merupakan
bagian yang dibangun dengan menemukan orang lain. Dinamika kami-mereka
dalam hal ini terbentuk secara batiniah dalam psikologi manusia. Zakiyuddin
Baidhawy, Ambivalensi Agama – Konflik dan Nirkekerasan, (Yogyakarta:
LESFI, 2002), hlm.112
10
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
25
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
seorang muslim Ahmad akan memandang Smith sebagai seorang
Kristen. Inilah yang membentuk semua hal yang oleh Islamnya
Ahmad disamakan dengan Kristen. Begitu pula Smith tidak melihat
Ahmad sebagai pribadi, tetapi sebagi jenis yang membentuk
semua hal yang oleh Kristennya Smith disamakan dengan Islam.11
Pertemuan spiritual adalah pertemuan antara dua pribadi
dan bukan antara dua tipe. Pertemuan spiritual bersamaan dengan
realitas orang lain bagaimana pun benarnya menurut cirri-ciri
tertentu dalam penampilan dan prilaku (baik verbal maupun fisik)
orang lain, citra yang diproyeksikan terhadap orang lain (Kristen,
Yahudi ataupun Muslim) menjadikan seseorang buta dalam
melihatnya sebagai pribadi dengan segala keraguan, kecemasannya
yang membaur dalam kedalaman diri dan misteri kebenaran
transenden, mengajak orang lain agar berhubungan dengannya,
serta mencari titik temu dengan perjalanan spiritual orang lain.
Kendatipun mungkin berbeda dan bahkan bertentangan dalam
upaya berkomunikasi dan memasukinya. Karena tantangan besar
di dalam pencarian spiritualitas yang mengatasi identitas-identitas
dan klain-klaim kebenaran yang tertutup adalah mengakui pribadi
konkrit dan nyata yang dia jumpai. Dengan kata lain, jika tidak
ditemukan realitas orang lain sebagai pribadi, maka semua klaim
untuk mengenal dan untuk memiliki spiritualitas akan menjadi
abstrak dan kemunafikan yang terburuk. Sayangnya beban sejarah
yang dipikul, politik yang mengekploitasi agama dan ketakutan
sekular (yang bersifat rasial, nasional dan internasional) yang
membangun pertahanan keagamaan tampaknya tidak pernah
mengizinkan seseorang untuk melihat orang lain sebagai pribadi,
tetapi sebagai kelompok luar yang diciptakan oleh kelompok
dalam umat beragama itu sendiri.
Dengan demikian langkah yang perlu diperhatikan
menghubungkan spiritualitas dengan realitas adalah kesiapan
seseorang untuk menerima orang lain sebagai pribadi, bukan
sebagai jenis. Untuk meraih hal ini seseorang harus menyelami
bentuk lahiriah dan simbol serta memahami kesatuan internal
(batiniah) dari: 1] asal usul manusia dalam Tuhan.12 2] ketidak
Hasan Askari, Hasan Askari, Askari Hasan, Lintas Iman – Dialog
Spiritual, Terj., Sunarwoto, (Yogyakarta, LKIS, 2003), hlm. 170.
12“
sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami
11
26a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
terbagian (indivisibilitas) manusia sebagai diri tunggal
sebagaimana ciptaan.13 3] wujud spiritual itu berdasarkan asal
usul dan indivisibilitas Ilahiyahnya.14
Bentuk lahiriah, baik berupa ras, bangsa, bahasa, kultur,
keimanan maupun perbuatan manusia adalah bentuk dan tirai
yang menutupi kesatuan esensial manusia yang tak terlukiskan.
Akan tetapi, ada individu dan spesifitas pribadi dan tradisi.
Selama seseorang mampu mengesampingkan kebiasaan orang lain
sebagai jenis. Maka ia tidak hanya melihatnya menurut kesatuan,
tetapi juga sebagai individu yang unik. Hanya saja jika ia melihat
orang lain tidak hanya sebagai orang yang bersamanya dalam
wujud lahiriah yang esensial, tetapi juga unik dan tunggal. Maka
ia berhadapan langsung dengan realitas orang lain, baik sebagai
pribadi yang terbatas maupun sebagai cermin dari yang lainnya
yakni yang Esa dan unik, sumber segala wujud.
Dalam setiap tradisi agama terdapat jalan esoterik dan
gaib yang mengantarkan pada pusat realisasi ini. Tetapi kekuatan
lahiriah yang sedemikian rupa sehingga jalan internal yang
mengantarkan pada umumnya tertutup oleh beragam bentuk dan
simbol, hingga manusia tersesat dalam pintu bentuk dan simbol
yang tertutup.
Berkumpul bersama berarti mengetuk pintu tersebut dan
dengan demikian kebersamaan antar agama merupakan tanda
pencarian kesatuan batin tersebut. Tidak tampak sama sekali
wujudnya yang terpisah dan eksistensinya yang monologis. Begitu
seseorang mengetahui orang lain sebagai pribadi riil, baik secara
individual maupun universal maka ia bersama-sama dengannya
mewujudkan cinta dan simpati spontan. Oleh karena itu, dalam
tiap do’a, dalam tiap mereka menyembah Tuhan, dalam setiap
yang benar dan bahkan dalam perbedaan paham umat beragama
ada kesatuan dan perdamaian, harapan dan cinta.
Agama-agama dalam Perbedaan dan Persamaan
Agama dalam segala sesuatu dalam kehidupan, berdiri di
kembali” QS: 2; 156
13“
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu” QS: 4; 1
14
Hasan Askari, Lintas Iman ......., hlm. 173
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
27
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
bawah ambiguitas. Ambiguitas berarti bahwa agama adalah kreatif
sekaligus destruktif. Agama memiliki kesuciannya (sakralitas)
dan ketidaksuciannya (profanitas), oleh karena itu setiap agama
mempunyai perbedaan dan persamaannya. Kesatuan dari berbagai
bentuk agama itu dapat digambarkan dengan jelas oleh hubungan
timbal balik antara tiga agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam)
yang disebut sebagai agama monoteisme.15 Karena dari ketiga
agama itulah yang sering menampakkan dirinya dalam bentuk
eksoterik yang tidak dapat dirukunkan satu sama lainnya. Akan
tetapi yang perlu diperjelas perbedaan antara yang dapat disebut
dengan kebenaran simbolis dan kebenaran objektif.
Monoteisme pada hakikatnya didasarkan pada konsepsi
dogmatis tentang kesatuan Ilahi. Konsepsi dogmatis itu bermaksud
menunjukan konsepsi yang disertai sikap yang menolak pandangan
lain. Tanpa sikap tersebut (yang merupakan pembenaran bagi
semua dogma), tidak mungkin adanya penerapan eksoteris.
Walaupun pembatasan ini penting demi kelangsungan hidup
bentuk-bentuk eksoteris. Pembatasan itu pada dasarnya disebabkan
oleh keterbatasan yang ada dalam setiap sudut pandang teologis.16
Paham monoteisme sudah dikenal sejak dahulu sebelum orangorang kemudian beralih menyembah Tuhan-tuhan yang banyak (politeisme).
Dengan demikian ajaran monoteisme yang didakwahkan oleh agama semitik
sesungguhnya bukanlah hal baru, melainkan mempertegas dan memperjelas
kembali paham yang pernah tumbuh, tetapi karena berbagai faktor lalu menjadi
samar-samar. Dalam sejarahnya manusia menyebut Tuhan Yang Esa dan Mutlak
itu dengan berbagai nama dan istilah, namun secara subtansial, beragam nama
itu menunjuk kepada Dzat yang sama. Untuk lebih jelas lagi baca Amstrong
Karen, Sejarah Tuhan, Penerjemah Zaimul Am, (Bandung, Mizan, Cet VI, Mei
2003), hlm. 11-37 Baca juga Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyudi
Nafis, Agama Masa Depan – Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta, Gramedia,
2003), hlm. 69-73.
16
Sebuah agama tidak dibatasi oleh apa yang dicakup olehnya
melainkan oleh apa yang tidak dicakup olehnya. Ketidak pencakupan ini, tidak
akan merusak kandungan agama yang terdalam – setiap agama pada hakikatnya
merupakan suatu totalitas – tetapi sebagai gantinya akan lebih banyak wilayah
perantara yang sering dinamakan “batas manusia” dan yang merupakan arena
spekulasi dan kegairahan teologis baik moral maupun mistis. Jelas bukan
metafisika murni atau esoterisme yang akan membebani umat dengan kewajiban
untuk berpura-pura bahwa suatu pertentangan yang tampak mencolok itu bukan
suatu pertentangan. Dengan itu yang perlu dilakukan adalah mengetahui bahwa
pertententangan-pertentangan yang tidak hakiki dapat mengesampingkan
15
28a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Dengan kata lain, sudut pandang teologis ditandai oleh ketidak
sesuaian dalam bidangnya sendiri antara berbagai konsepsi. Dan
dari segi bentuk berbagai konsepsi itu saling bertentangan, namun
dari segi ajaran metafisika atau kerohanian murni rumusanrumusan yang kelihatannya saling bertentangan, sebenarnya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain atau saling berhubungan satu
sama lain.17
Keterbukaan yang makin berkembang terhadap kebaikan
dan kebenaran yang terdapat dalam tradisi agama-agama lain
memberi harapan bagi terbentuknya era baru pemikiran keagamaan.
Meskipun pertentangan antar agama-agama tetap menodai
kehidupan bersama. Namun kekacauan sejarah agama dalam semua
priode sejak zaman primitif terdahulu sampai perkembanganperkembangan terakhir akan sangat membingungkan, karena
kunci yang melahirkan aturan di luar kekacauan itu adalah segala
sesuatu dalam realitas, dapat mempengaruhi dirinya sebagai
sebuah simbol bagi hubungan khusus pikiran manusia pada dasar
dan arti pokoknya. Maka untuk membuka pintu yang tertutup
atas kekacauan simbol agama ini, seseorang harus bertanya apa
yang menjadi hubungan pokok tersebut yang disimbolisasikan
dengan simbol-simbol agama itu?. Oleh karena itu Anand selalu
menegaskan tentang manusia yang sadar akan esensi agama dan
dapat melampaui kesadaran pikirannya sendiri yang dapat menjaga
ketentraman hidup bersama dalam perbedaan agama.
Secara simbolis, simbol-simbol agama menunjukan pada
simbol yang melebihi mereka sendiri. Akan tetapi mereka sendiri
turut serta di dalamnya sebagai simbol-simbol yang mereka
tunjukan. Sehingga selalu cenderung (dalam pemikiran manusia)
menggantikan hal yang dianggap menunjuk dan menjadi pokok diri
mereka, sehingga mereka menjadi patung-patung. Pemberhalaan
bukanlah sesuatu yang berbeda dengan absolutasi simbol-simbol
Sang suci dan membuat simbol-simbol itu identik dengan Sang
kesesuaian atau identitas yang hakiki, yang sama artinya dengan mengatakan
bahwa masing-masing yang bertentangan itu mengandung kebenaran, karena
adalah salah satu aspek dari seluruh kebenaran serta satu jalan menuju totalitas.
Frithof Schuon, Islam dan Filsafat Perennial, penerjemah Rahmani Astuti,
(Bandung: Mizan,1998), Cet IV, hlm. 55
17
Fritchof Schuon, ibid., hlm. 154
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
29
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Suci itu sendiri. Dengan cara ini orang-orang suci bisa menjadi
Tuhan.
Tindakan-tindakan ritual dapat memberikan validitas
mutlak meskipun hanya merupakan ungkapan situasi yang
khusus. Disini dapa dilihat dengan apa yang sering disebut sebagai
“demonisasi” dalam semua aktivitas sakramental agama dalam
semua obyek suci, doktrin-doktrin suci dan upacara-upacara suci.
Semuanya menjadi demonik yang terangkat pada karakter pokok
dan mutlak dari Sang Suci itu sendiri.18
Dalam semua simbol agama, ada tingkatan-tingkatan
simbol yang fundamental yaitu: tingkat transenden dan tingkat
imanen. Tingkat transenden adalah tingkat yang mulai di luar
realitas empiris yang dihadapi, sedangkan tingkat imanen adalah
tingkat yang dijumpai dalam pertemuan dengan realitas.19
Pada tingkat transenden, simbol dasar akan menjadi Tuhan
itu sendiri. Tetapi, Tuhan tidak dapat begitu saja dikatakan sebuah
simbol karena ada dua hal yang selalu berkembang dengan Tuhan
itu sendiri. Pertama adalah bahwa ada elemen non-simbolis berada
dalam image Tuhan yaitu Tuhan adalah realitas pokok, makhluk
diri, dasar kekuatan makhluk dan makhluk tertinggi dari segala
hal-hal yang benar-benar eksis dengan jalan yang paling sempurna.
Dengan demikian manusia memiliki image wujud tertinggi dalam
benak mereka dan makhluk dengan karakteristik kesempurnaan
tertinggi. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki simbol yang
merupakan simbolisasi gagasan tentang Tuhan yaitu “makhluk
diri”.20
Kedua adalah kualitas-kualitas dan lambang-lambang
Tuhan. Apapun yang dikatan umat beragama tentang-Nya ; Dia
Maha Pengasih, Maha Pemurah, Ada dimana-mana dan lain
sebagainya merupakan lambang-lambang Tuhan yang berasal dari
kualitas-kualitas yang telah dialami dalam diri manusia, dan itu
tidak dapat diaplikasikan pada Tuhan dengan pemahaman harfiah.
Paul Tillich, Teologi Kebudayaan – Tendensi, Aplikasi dan
Komparasi, Penerjemah, Mimin Muhaimin, (Yogyakarta: Ircisod, 2002), hlm.
71
19
Ibid
20
Ibid, hlm. 72
18
30a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Jika hal itu terjadi, maka ia mengarah pada absurditas yang tak
terbatas jumlahnya. Ini juga menjadi salah satu penyebab destruksi
agama akibat interpretasi komunikasi yang keliru tentang-Nya.
Sedangkan pada tingkat Imanen yaitu tingkat penampilanpenampilan Tuhan dalam waktu dan ruang. Diantaranya adalah
Inkarnasi-inkarnasi Tuhan,21 Makhluk-makhluk berbeda dalam
waktu dan ruang. Gagasan inkarnasi ini selalu berhubungan dengan
tingkat transenden dan tingkat imanen. Secara historis seseorang
dapat mengatakan bahwa perjalanan keduanya merupakan situasi
tingkat imanen dan transenden, yang ia tidak membedakannya.
Tetapi, inkarnasi-inkarnasi22 karakter sakramental lebih
dibutuhkan di Yunani (Dewa-dewa dalam Mitologi), bangsabangsa Semitik dan India karena untuk menghindari keterasingan
Tuhan yang berkembang bersama penguatan elemen transenden.
Masalah inkarnasi ini pun Anand Krishna menjelaskan:
Penciptaan itu terjadi dimana saja, tidak perlu dipermasalahkan
lagi. Apakah seorang bayi lahir secara alami, lewat test-tube
Inkarnasi Tuhan dalam hal ini adalah mitos Kristen yaitu Tuhan
turun ke dalam pribadi anak-Nya yang dilahirkan di bumi sebagai anak kecil,
yang meninggal demi ampunan dosa-dosa manusia dan bangkit kembali untuk
melanjutkan kehidupan di bumi dan kemudian naik ke surga, untuk nantinya
kembali lagi di hari akhir dengan segala kebesarannya. Dalam kata-kata yang
terkenal dari pernyataan iman (yang berasal dari abad keempat),ini adalah
kisah Tuhan Yang Maha Besar, pencipta langit dan bumi dan putera-Nya
Yesus penguasa umat, yang eksis sebelum ada waktu dan dilahirkan di bumi
dari Roh Kudus dan perawan maria. Dia menderita di bawah Pontius Pilate
dan disalib demi ampunan dosa-dosa, bangkit kembali di hari ketiga, naik ke
Surga dimana ia duduk di tangan kanan Tuhan Bapa dan kemudian datang lagi
untuk menghakimi yang hidup dan yang mati. Lihat John Hick, Dimensi Kelima
Menelusuri Makna Kehidupan, Terj., Hermansyah Tantan, (Jakarta, PT.Rosda
Grafindo Persada, 2001), hlm.302
22
Penganut Budha biasanya berbicara tentang kelahiran kembali
ketimbang inkarnasi, karena tidak ada kontinuitas entitas yang berinkarnasi
secara berurutan. Salah satu ajaran Budha adalah tidak ada diri, jiwa, atman,
yang abadi. Bahkan diri empiris atau ego bukan entitas yang tahan lama tetapi
(seperti yang dikatakan David Hume) merupakan suksesi momen kesadaran yang
terkait bersama-sama dengan fakta bahwa momen yang berikutnya dipengaruhi
oleh dan memasukan memori momen-momen awal. Di dalam kontunuitas
kasual, menurut doktrin karma, semua tindakan manusia (termasuk aksi mental)
mempengaruhi masa depan seseorang dan masa depan orang lain. John Hick,
ibid., hlm. 316
21
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
31
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
ataupun cloning – kelahirannya tetap membuktikan kehadiran
Allah. Jangan takut Tuhan anda akan menganggur. Yang berulang
kali mengalami kelahiran dan kematian adalah ego kita yang
begitu kompleks. Keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi,
obsesi-obsesi terpendam semuanya itu yang menyebabkan
terjadinya kelahiran kembali. Kelahiran dalam dunia ini ibarat
belajar di sekolah. Alam semesta ini ibarat lembaga pendidikan,
universitas. Ada fakultas-fakultas lain pila yang terdapat dalam
dimensi lain. Masih ada begitu banyak bentuk kehidupan yan
lain. Apabila seseorang mati dalam kesadaran ia akan tahu
persis mata pelajaran apa yang harus dipelajari. Begitu lahir kau
tersenyum. Susah sekali bagi seorang bayi yang baru lahir untuk
memberikan senyuman semacam itu. Kau harus menggunakan
seluruh energimu untuk memberikan senyuman pertama.
Otot-otot yang belum berkembang sempurna harus dipaksa
sedikit. Kau tidak akan perduli akan rasa sakit dan memberikan
senyuman pertama. Ah, kembali lagi ke dunia. Kau mengenali
ayahmu dalam kelahiran ini.23
Oleh karena itu, meskipun setiap agama memiliki klaim
kebenaran sendiri, ini tidak berarti persamaan dan perbedaan
pada tradisi agama menjadi jurang pemisah antar pemeluk agama.
Justru karena adanya klaim-klaim itulah maka dialog menjadi
sangat urgen, karena agama pada akhirnya tampil dalam prilaku
pemeluknya. Maka setiap umat agama adalah makhluk sosial yang
mau tidak mau mesti terlibat dalam situasi konflik dan dialog.
Meskipun respon iman pada dasarnya dialamatkan pada Tuhan,
tetapi oleh Tuhan komitmen dan respon iman tadi diperintahkan
untuk diwujudkan dalam hubungan sosial, sehingga aktualisasi
komitmen beragama tidak mungkin terwujud tanpa melibatkan
diri dalam usaha-usaha kemanusiaan. Sebagai konsekuensinya
iman selalu menuntut terwujudnya hubungan dialogis baik
antara seorang hamba dengan Tuhannya maupun antar sesama
umat beriman, hanya dengan dialog maka seseorang bisa berbagi
pengalaman iman dan berbagi kebenaran. Lebih dari itu hanya
melalui dialog maka kualitas kemanusiaan akan tumbuh dan
Anand Krishna, Reinkarnasi – Hidup Tak Pernah Berakhir, (Jakarta,
Gramedia, 1998), hlm. 29-31.
23
32a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
terbentuk.
Tuhan dalam Konsepsi dan Persepsi
Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan saat berdiskusi
mengenai Tuhan. Pertama : Dia dapat didekati sebagai ‘something
to be argued about’, yang dalam hal ini objek formalnya adalah
segala hal yang berkaitan dengan theism, atheism, non-atheism,
deism, dan agnosticism. Pendekatan kedua: dapat dilakukan
dengan memposisikan Tuhan sebagai something to be sacrificed,
yang dalam hal ini berkenaan dengan segenap aktivitas sosial
dalam kehidupan masyarakat, baik berupa commitment, dedication,
maupun involvement.
Sejalan dengan itu, ada hal lain yang perlu
dimengerti saat seseorang memahami Tuhan, yaitu bahwa
manusia harus mengerti dan memahami keterbatasan konsepsinya
tentang Tuhan, karena tak ada yang bisa mengenal Tuhan kecuali
Dia sendiri. Dari sini seseorang memiliki dua macam pengertian
tentang Tuhan, yaitu: Tuhan dalam konsepsi manusia dan
Tuhan Yang Hakiki yang berada jauh di luar konsepsi manusia.
Tuhan dalam konsepsi manusia adalah Tuhan yang dibicarakan,
didiskusikan, diperdebatkan lewat bahasa maupun akal pikiran
sedangkan Tuhan Yang Hakiki adalah Tuhan yang tidak bisa
dibicarakan baik oleh siapa pun.
Dalam tradisi monotheistik diyakini bahwa Tuhan tidak
bisa sungguh-sungguh dapat dikenal dan diketahui oleh makhluk,
sebab:”Tidak ada yang hakiki selain Dzat Maha Hakiki”. Karena
sesungguhnya Tuhan secara mutlak dan tak terhingga sungguhsungguh sebagai Dzat Maha Hakiki, sedangkan realitas alam
semesta hanya hakiki secara relatif sehingga realitas-Nya berada
jauh di luar pemahaman realitas makhluk. Jelasnya, yang relatif
tidak akan pernah sanggup menjangkau Yang Maha Mutlak, Sang
Maha Hakiki. Ibarat timbangan emas tidak dapat dipergunakan
untuk menimbang gunung. Andai manusia bisa mengetahui
sesuatu tentang Tuhan maka pengetahuannya itu bersifat relatif.
Makhluk berhubungan dengan Tuhannya melalui sifat-Nya
yang menampakkan tanda dan jejak-Nya dalam eksistensi kosmos.
Manusia tidak bisa mengetahui Tuhan dalam diri-Nya sendiri tetapi
hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
33
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Dia adalah ‘Mutiara Terpendam’, lalu Dia ciptakan makhluk yang
dengan ciptaan-Nya itu makhluk mengenal dan mengetahui-Nya.
Tegasnya, Tuhan menciptakan alam semesta seisinya sehingga
Dia dapat diketahui melalui ciptaan-Nya itu.
Tuhan bukan mitos, Dia adalah Realitas Ultim, yang
eksistensi-Nya akan meyakinkan manusia bahwa dalam rentang
sejarah umat manusia yang immorial ini kebaikan dan kebahagiaan
bisa berpadu dalam proporsi yang ‘sempurna’. Realitas itu sendirisebagaimana Kierkegaard menyatakan-adalah sebuah sistem bagi
Tuhan, meskipun realitas itu sendiri tidak bisa menjadi sistem
bagi setiap jiwa yang eksis.
Tuhan dalam Konsepsi24
Secara keilmuan, Tuhan tidak pernah dan tidak mungkin
menjadi objek kajian ilmu, karena kajian ilmu selalu parsial, terukur,
terbatas dan dapat diuji secara berulang-ulang pada lapangan atau
laboratorium percobaan keilmuan. Dengan demikian, kehendak
untuk membuka adanya Tuhan melalui pendekatan ilmu, akan
mengalami kegagalan karena sudah dari sejak awal tidak benar
secara metodelogis.25
Dalam filsafat hakikat Tuhan telah menjadi bahan
perenungan yang sangat intens, sejak Yunani Kuno bahkan sampai
saat ini. Semula Tuhan dipahami sebagai asal usul kejadian semua
yang ada ini, yang ditegaskan dengan prinsip adanya sebab pertama
first causa atau prima kausa26 yaitu yang menyebabkan adanya
Konsepsi berasal dari bahasa Latin Concipere, artinya memahami,
menerima, menangkap. Yang merupakan gabungan dari Con artinya, bersama
dan Cappere artinya menangkap atau menjinakkan secara istilah dapat diartikan:
1] kesan mental atau pemikiran, ide, suatu gagasan yang mempunyai derajat ke
kongkretan atau abstraksi yang digunakan dalam pemikiran abstrak. 2] apa yang
membuat pikiran mampu membedakan satu benda dari yang lainnya. 3] suatu
ide yang diberikan dari persepsi (hasil persepsi) atau penginderaan (sensasi).
Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat Barat, (Jakarta, Gramedia, 2002), hlm.481
25
Musa Asy’arie, Filsafat Islam – Sunnah Nabi Dalam Berpikir,
(Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm.151
26
Pada zaman pra-Sokrates yang berpandangan monistik menganggap
kosmos itu didasari oleh satu prinsip atau asas; Thales menyatakan bahwa prinsip
itu adalah air, menurut Aximenes prinsip itu udara; menurut Anaximandros
prinsip itu adalah to apeiron (yang tidak terbatas): dan bagi Heraklitos prinsip
24
34a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
semua ini. Sebab pertama itu juga disebut sebagai penggerak yang
tidak bergerak, yang menggerakkan semua yang ada ini dan yang
ada ini selalu berada dalam pergerakan atau perubahan.27
Penetapan adanya yang pertama bisa jadi karena kebuntuan
berpikir yang memaksanya harus menetapkan adanya prilaku
awal, padahal hokum sebab akibat bisa terjadi berulang-ulang.28
Dengan demikian penggerak pertama yang tidak bergerak, bagai
mana mungkin terjadi gerakan, jikalau penggerak pertama tidak
menggerakkan. Kebuntuhan berpikir pada akhirnya melawan
logikanya sendiri denag memotong lingkaran sebab akibat yang
terputus.29
Dalam perkembangan selanjutnya, oleh kemampuan
manusia mengelolah dan menundukan alam, maka ia dapat
membentuk alam seperti yang dikendakinya dan seakan-akan
hanya dialah yang menentukan segala-galanya.30 Selanjutnya
konsep Tuhan menurun, bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan
dibalik makro- cosmos atau salah satu faktor di dalamnya dan juga
bukan mikro-cosmos yaitu eksistensi manusia denag kekuatan ide
dan kemampuan kecerdasan yang kreatif, tetapi turun pada apa
yang dibuat sendiri yaitu simbolisasi benda-benda hasil karya
sendiri.31
Tetapi dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang
makin canggih, manusia menciptakan sistem kebudayaan yang
berorientasi pada cita-cita social yang makin komplek. Karena
berhadapan dengan realitas social dan kehidupan masyarakat
itu adalah api. Bertand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, Terj., Sigit Jatmiko dkk,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 31-65
27
Musa Asy’arie, Filsafat Islam......, hlm. 152
28
Ibid, hlm. 153
29
Ibid, dan logika tentang pencarian Tuhan dengan menunjuk faktor
alam yang dianggap layak menjadi Tuhan. Lihat QS: Al-An’am [6]; 76 - 79
30
Pada dataran ini Tuhan sebagai yang menentukan dalam kehidupan
yang disimbolisasikan pada seorang raja sebagai pemegang kuasa, maka dengan
itu manuialah yang bertindak sebagai Tuhan. Seperti yang terjadi pada kekuasaan
raja Fir’aun yang mengangkat dirinya sebagai Tuhan. Seperti digambarkan
dalam al-Qur’an QS: Al-Qasas [28];38-39
31
Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an QS: Al-Anbiya’ [21]; 57-59.
dan tentang perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan baca lagi Musa
Asy’arie, Filsafat Islam......, hlm 157-159.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
35
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
yang bersifat plural dan kompleks. Pada dataran ini manusia
membangun basis ideologi yang mengikatnya dalam kesatuan
komunitas yang berorientasi pada usaha mewujudkan cita-cita
ideologi dalam realitas kehidupan manusia. Pada perkembangan
ini manusia menciptakan ideologi bahkan mempertuhankannya,
mereka siap membela dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk
memenangkan ideologinya, suatu perjuangan yang menuntut
suatu totalitas.
Jika dilihat perkembangan konsep pemikiran tentang Tuhan,
sebagai kekuatan yang maha dahsyat yang menetukan kehidupan
manusia, ternyata telah mengalami berbagai perkembangan dan
pergeseran, akan tetapi tidak saling menafikan dan meniadakan.
Semua konsep itu sampai sekarang masih tetap ada dan bertahan,
meskipun mengalami banyak modifikasi dan variasi sesuai denagn
perubahan zaman. ***
DAFTAR PUSTAKA
36a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Abd ‘A’la, Melampaui Dialog Agama, Qomaruddin SF, ed.,.
Jakarta: Kompas, 2002.
Amstrong Karen, Sejarah Tuhan, Penerjemah Zaimul Am.
Bandung, Mizan, Cet VI, Mei 2003.
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta
dan Tantangan. Bandung: PT. Rosda Karya , 1999.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat Barat. Jakarta, Gramedia, 2002.
Frithof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, penerjemah Rahmani
Astuti. Bandung: Mizan,1998.
Hasan Askari, Hasan Askari, Askari Hasan, Lintas Iman – Dialog
Spiritual, Terj., Sunarwoto. Yogyakarta, LKIS, 2003.
Hick, John. Dimensi Kelima Menelusuri Makna Kehidupan,
Terj., Hermansyah Tantan. Jakarta, PT.Rosda Grafindo
Persada, 2001.
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, Agama
Masa Depan – Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta,
Gramedia, 2003.
Krishna, Anand. Reinkarnasi – Hidup Tak Pernah Berakhir.
Jakarta, Gramedia, 1998.
Krishna, Anand. Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung
Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV.
Jakarta, Gramedia, 1999
Mudji Sutrisno, Agama, Harkat Manusia dan Modernisme dalam
Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri DIAN I/th I.
Yogyakarta; Interfield, 1993.
Mun’im A Sirry, Membendung Militansi Agama – Iman dan Politik
dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Erlangga, 2003.
Musa Asy’arie, Filsafat Islam – Sunnah Nabi Dalam Berpikir.
Yogyakarta: LESFI, 2002.
Rusell, Bertand. Sejarah Filsafat Barat, Terj., Sigit Jatmiko dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Schuman, Olaf Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-agama
dalam Martin L. Sinaga Edt. Agama-agama Memasuki
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
37
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Milenium Ketiga. Jakarta: Gramedia, 2000.
Tillich, Paul. Teologi Kebudayaan – Tendensi, Aplikasi dan
Komparasi, Penerjemah, Mimin Muhaimin, (Yogyakarta:
Ircisod, 2002), hlm. 71
Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama – Konflik dan
Nirkekerasan. Yogyakarta: LESFI, 2002.
38a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Download