KRITIK WACANA PLURALISME AGAMA Andi Hartoyo Sekolah Harapan Utama Batam Email: [email protected] ABSTRAK Kehidupan adalah sebuah proses dialog terus-menerus dan di dalam dialog tersebut seseorang akan memberi dan menerima. Dialog akan terwujud hanya ketika seseorang bisa duduk sejajar dalam dataran kediriannya. Dunia ini milik bersama, hidup ini dijalani bersama dan semua persoalan manusia adalah juga persoalan semua orang, termasuk persoalan keber-Tuhan-an dan masalah agama serta keberagamaan adalah juga persoalan sebagai sesama manusia. Kedirian akan lestari serta akan menimbulkan rasa damai serta kreatif kalau tali pengikatnya adalah ikatan cinta, simpati dan didasari rasa saling menghormati, saling mempercayai serta masing-masing bisa dipercaya. Spiritualitas akan membuat seseorang semakin lembut, semakin peduli terhadap lingkungan dan sesama makhluk hidup. Apabila seseorang menjadi semakin egois, semakin mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok berarti seseorang itu belum spiritual (belum beragama), walaupun seseorang itu mengenakan jubah seorang pendeta atau pastor atau ulama, maka orang itu belum memahami esensi agama. dan jika seseorang sudah memahami esensi agama maka, seseorang itu tidak akan terjebak dengan Fanatisisme, Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 17 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) Kelompokisme, Eklusivisme dan Isme-isme yang lain. Kata Kunci: Pluralisme, Menghormati, Peraturan-peraturan, Simpati Masalah Pluralisme Agama Saat ini, manusia hidup dalam dunia yang bergerak begitu cepat kearah pluralisme dengan beragam agama, bahasa dan budaya sebagai akibat dari perkembangan modernisme, liberalisme dan globalisasi.1 Di tengah gemerlap perubahan dahsyat itu, masyarakat agama justru memperlihatkan kultur sebaliknya: kerusuhan, kekerasan dan konflik berkepenjangan. Terutama dalam dekade terakhir ini. Banyak ketegangan muncul yang sebagaian dipicuh oleh minimnya paham keberagamaan, etnik dan budaya yang pluralis.2 Dampak modernisme adalah kecenderungannya untuk massifikasi (penyeragaman manusia dalam kerangka kerja teknis), sistem kerja industri yang menempatkan semua orang sebagai mesin atau sekrup dari sebuah sistem teknis rasional. Maka itu agama yang berposisi menempatkan nilai masing-masing manusia sebagai unik berharkat yang merupakan citra Tuhan. Dan dampak yang kedua adalah sekularisme yang tidak mengakui lagi ruang nafas buat yang Ilahi atau dimensi relegius dalam hidup ini. Sekulerisme adalah wujud ekstrem negatif dari proses skulerisasi karena mau memilah-milah adanya jagat relegius dengan hukum-hukum dan jadag dunia sekular dengan hukum-hukumnya pula. Mampukah krisis sekularisme lewat wajah-wajah ekstrim ateisme ditanggapi oleh religiositas agama secara kritis bisa menegaskanb bahwa rasionalitas atau akal budi memang pemberian Tuhan Tertinggi untuk manusia. Lihat lagi Mudji Sutrisno, Agama, Harkat Manusia dan Modernisme dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri DIAN I/th I, (Yogyakarta; Interfield, 1993), hlm. 203 2 Peperangan, kekerasan atau dorongan kearah yang menggunakan label agama, secara implicit atau ekplisit terus merebak dan menguat di sana sini. Ini dapat ditemui pada hampir semua agama. Misalnya pada agama Yahudi Sholomo Goren (1984), mantan pimpinan Rabbi untuk kelompok Yahudi Eropa Barat di Israel yang mengeluarkan fatwa bahwa “melakukan pembunuhan terhadap Yaser Arafat merupakan bagian dari tugas suci keagamaan. Kemudian dalam agama Kristen juga, sejak awal decade 90-an yaitu pengaruh Serbia yang didukung Gereja ortodoks membumi hanguskan Masjid-masjid di Sarajevo menjai lautan darah. Sementara di dalam Islam adanya gerakan terorisme dalam beragam bentuknya seperti Hezbullah yang sering disebut sebagai pelaku pengerahan truk-truk bom maut yang menghancurkan markas besar pasukan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis di Beirut. Itu semua dikatakan secara samar-samar digerakkan oleh semangat keagamaan. Di luar itu banyak kasus lain akan meneguhkan adanya kekerasan yang digerakkan oleh semacam motivasi 1 18a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) Karena itu, paham pluralisme agama perlu disegarkan kembali. Konflik berkepanjangan dan kerusuhan yang tak kunjung henti dan maraknya beragam bentuk kekerasan menyadarkan manusia bahwa nilai-nilai kemanusian tampaknya kini mulai memudar paling tidak kurang diperhatikan dari kehidupan umat beragama. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa adanya sebagian umat beragama yang menganggap kekerasan atau pola-pola agresivitas sebagai sesuatu yang biasa atau lumrah, bahkan di antara mereka ada yang menjadikan sikap dan prilaku agresif itu sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Anand Krishna mengungkapkan bahwa agama berpotensi mempersatukan umat manusia dan bukan justru memecah belah. Walaupun pandangan tentang agama setiap umat beragama (manusia) berbeda-beda, itu disebabkan oleh pemahaman masingmasing pemeluk agama juga berbeda. Karena agama merupakan pengalaman individu, maka tujuan utama dari agama adalah memanusiakan manusia. Sebenarnya, akar berbagai kerusuhan yang berbau agama, bermula pada rasa prustasi dan alienasi serta deprivasi ekonomi dan politik. Marginalisasi periferialisasi dan depresi serta politik yang dialami massa menjadi kepahitan dan kemarahan yang siap meledak setiap saat menjadi kekerasan politik. Pada kondisi semacam itu, agama menjadi pemicu paling mudah dan efektif sebagai alat3 pemersatu untuk mengarahkan massa melakukan keagamaan. Lihat Abd ‘A’la, Melampaui Dialog Agama, Qomaruddin SF, ed., (Jakarta: Kompas, 2002), hlm, 16-17 3 Salah satu kemajemukan yang sangat krusial mengundang konflik atau pertentangan adalah diversitas dalam agama, bahkan dalam realitasnya perbedaan dalam aspek-aspek yang lain sering ditarik oleh sebagaian orang atau kelompok karena pemahaman agama mereka yang literalis atau karena kepentingan tertentu kedalam wilayah agama dalam rangka pembenaran (justifikasi). Justifikasi agama dalam suatu konflik, khususnya konflik yang timbul pada antar penganut agama –agama yang berbeda sangat mudah muncul kepermukaan. Dalam kondisi semacam itu agama merupakan bahan empuk sebagai bahan pemersatu massa (kelompok) yang histeris dan anarkis. Demikian pula simbol-simbol agama merupakan teriakan-teriakan pembangkit semangat efektif. Dengan mengatas namakan agama dan mengangkat simbol-simbol sakral, massa atau kelompok menjadi semacam pasukan berani mati yang berupaya melenyapkan kelompok lain. Baca Mudji Sutrisno, Agama, Harkat Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 19 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) kekerasan yang dibungkus dengan label agama. Dalam tataran tersebut agama-agama diharapkan memiliki focus terhadap persoalan hidup manusia. Sejalan dengan itu pula sejumlah tokoh seperti Schuman menunjukkan sikap optimistiknya tentang masa depan kehidupan manusia. Dia menyatakan : Memasuki millenium ketiga umat manusia akan mengalami perubahan kearah signifikan yang lebih baik. Namun untuk pencapaian kearah sana, rekontruksi pemahaman keagamaan umat manusia menjadi niscaya untuk dikembangkan karena manusia agama bersifat eksklusif. Agama-agama hendaknya berperan mengontrol manusia menjadi individu dewasa, merdeka dan bertanggung jawab di tengah-tengah masyarakat dan bangsa di dunia. Tetapi harapan semacam itu, hanya sekedar harapan belaka. Kehidupan sejahtera yang mencerminkan perdamaian secara hakiki belum dapat diwujud nyatakan dalam kehidupan manusia.4 Memasuki millenium ketiga, kekerasan tetap mewarnai kehidupan manusia sampai derajat tertentu menunjukan tingkat eskalasi yang mengerikan. Dalam skala internasional, terorisme menjadi monster yang mengintai mangsanya setiap saat. Menara kembar World Trade Centre (WTC) dan gedung Pentagon yang menjadi sasaran kaum teroris merupakan bukti paling konkrit tentang jauhnya kehidupan yang damai di atas bumi. Pada tingkat nasional, kerusuhan dan kekerasan dalam bentuk yang beragam terus mewarnai kehidupan bangsa, bahkan para elite bangsa yang seharusnya menjadi teladan masih sering menampakkan sikap mereka yang jauh dari nilai-nilai civility. Secara langsung atau tidak langsung mereka mentolerir atau bahkan mendorong penggunaan kekerasan sekedar untuk mempertahankan kekuasaan. Terlepas dari adanya perbedaan mengenai bentuk-bentuk konkrit dari aplikasi nilai dan ajaran setiap agama, maka semua Manusia...., hlm. 33. Baca juga Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan, (Bandung: PT. Rosda Karya , 1999), hlm. 11 4 Olaf Schuman, Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-agama dalam Martin L. Sinaga Edt. Agama-agama Memasuki Milenium Ketiga, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 5. 20a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) agama berdiri dalam dataran yang sama,5 semuanya bertujuan kebahagian manusia. Untuk itu, tiap-tiap agama meyakini bahwa tujuan substansial itu tidak mungkin terwujud secara utuh tanpa adanya kerukunan dan kerja sama di antara semua umat manusia, terutama antar umat beragama yang berbeda-beda. Kearah sanalah (Tuhan) semua umat akan kembali. Di sini, pola keberagamaan yang berkembang masih menampakkan karakter yang sarat dengan nuansa formalisme yang kering dari nilai-nilai spiritual dan moral. Akibatnya nilainilai substansial agama yang bernuansa inklusif, moderat, toleran dan yang searti dengan nilai-nilai itu tidak pernah ditangkap dan diimplementasikan secarah utuh. Sebaliknya, klaim kebenaran sepihak yang meniadakan kebenaran kelompok lain kian mengental pada sebagian kelompok. Konsekuensinya terjadi penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Pada sisi lain dialog yang berkembang masih berjalan pada dataran retorik semata, serta menitikberatkan pada relasi subyek-obyek yang terkesan menindas. Pola ini tentunya semakin memperburuk relasi antara manusia yang sudah tidak kondusif lagi untuk menciptakan kehidupan yang sejuk. Semua agama yang berdiri pada dataran yang sama dari aplikasi nilai dan ajaran. Dalam islam misalnya, kemanusian hakiki adalah kembali kepada fitrah manusia itu sendiri, sebagai manusia yang cenderung kepada nilainilai keagamaan yang subtansial dan nilai-nilai moral spiritual. Oleh karena itu manusia dituntut untuk bercermin pad sifat-sifat Allah dan menyebarkannya dalam kehidupan. Sifat Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan sebagainya perlu diupayakan untuk diwujudkan dalam kehidupan sehingga dunia ini menjadi dunia yang penuh kasih, penuh ketentraman, damai dan sejahtera. Nyaris tidak berbeda dengan Islam, Kristen mengajak manusia untuk untuk melepaskan diri dari beban ketakutan terutama terhadap kematian, beban rasa bersalah dan beban kungkungan egoisme. Dari pembebasan ini manusia diharapkan menuju satu hidup yang sama sekali baru. Dalam agama Kristen, satusatunya kekuatan yang dapat membebaskan manusia dan mampu menimbulkan perubahan kehidupan sebagai mana ang diinginkan oleh cinta. Dengan demikian menyebarkan kasih dan nilai-nilai sejenisnya menjadi tugas utama yang harus dilakukan oleh setiap manusia yang mengaku dirinya sebagai pengikut Yesus. Pada prinsipnya hal semacam itu merupakan ajaran hampir semua agama yang hidup dan berkembang di dunia. Konkretnya semua agama mengajarkan tentang kebajukan, keadilan dan pertanggung jawaban semua amal perbuatan manusia dihadapan Sang Pencipta. Abd ‘A’la, Melampaui Dialog., hlm.xi-xii 5 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 21 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) Kenyataan itu menuntut manusia untuk merekontruksi dialog antar sesama dalam segala keberagamannya yang telah berjalan selama ini menuju suatu penciptaan dialog antar subyek yang mencerahkan. Pada saat yang sama dialog tersebut hendaknya dikembangkan lebih jauh lagi ke dalam bentuk konkrit yang bersifat praksis. Melalui model ini juga manusia diharapkan bukan sekedar dapat menyadari tentang pluralisme kehidupan sebagai suatu realitas yang konkrit yang tidak mungkin dihindari lagi, tetapi lebih jauh lagi kesadaran itu bisa di bumikan dalam kerja kreatif yang berwajah manusiawi. Perkembangan spiritual dan material Jika spiritualitas mempresentasikan totalitas sumbersumber kearifan, cinta dan perdamaian bersama di antara semua agama, maka bagaimanakah hubungannya dengan realitas tertentu dari tempat tertentu dan waktu tertentu? Bagaimanakah kaitan spiritualitas total dari totalitas warisan keagamaan manusia dengan totalitas sejarah manusia?. Selama berabad-abad, orangorang Hindu, Jaina, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam mengklaim memiliki petunjuk unik dan sempurna bagi keselamatan manusia. Akan tetapi, tahap yang dicapai pada titik ini tampaknya bertentangan dengan klaim-klaim tersebut. Karena dimana-mana dijumpai kegelapan, diskriminasi, kebencian, pertumpahan darah dan ancaman total bagi kehidupan dan keberlangsungan hidup seluruh ras manusia. Jika dilihat secara global dimanakah peran spiritualitas sebagai penyembuh. Manusia secara fitrahnya merupakan makhluk spiritual dan makhluk rasional, memerlukan agama sebagai kebutuhan dasar dan di samping itu kebutuhan lain yang bersifat fisikal – kuantitatif dan rasional – saintifik. Untuk itu, agama yang terdiri dari seperangkat ajaran, nilai dan simbol perlu dipahami secara utuh oleh manusia, sehingga kehadirannya benar-benar fungsional bagi penyempurnaan kehidupan dan kehadiran mereka. Akan tetapi dalam perkembangannya, identitas agama pada umumnya ditransformasikan menjadi identitas etnik dalam jangka waktu yang panjang. Suatu agama sering memulainya sebagai suatu credo abstrak dengan tampilan dan ruang lingkup universal. Dalam generasi-generasi berikutnya agama menjadi lebih 22a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) konkrit sebagai seperangkat liturgy dan praktek yang terbatas pada komunitas tertentu dan pada wilayah tertentu. Kemudian agama mengkristalkan menjadi seperangkat ritual dan kebiasaan yang lebih konkrit yang membedakan komunitas tertentu dari komunitas lainya. Komunitas agama menjadi komunitas etnik. Komunitas etnik masih menjadi komunitas agama dalam banyak hal, maka agama sekarang telah sangat berbeda dengan agama generasi terdahulu. Selaras dengan hal itu Anand mengatakan: Pernah saya mendengar seorang tokoh lewat layar tv, kurang lebih ia mengatakan bahwa kita harus “membudayakan agama, jangan mengagamakan budaya”, tokoh ini patut dikasihani – beliau masih tidak dapat melihat esensi agama itu sendiri. Agama berkembang dari budaya, budaya tertentu melahirkan agama-agama besar kita. Budaya itu ibarat akar agama. Agama adalah batang pohon yang berkembang lewat spiritualitas, berbuah lewat kesadaran. Bagaimana anda bisa memisahkan budaya dari agama atau agama dari spiritualitas?. Berhentilah memilah-milah pahami proses ini, jangan mentuhankan budaya dan jangan pula mentuhankan agama. Ketahuilah bahwa semua itu merupakan anak-anak tangga untuk mencapai kesadaran tertinggi, untuk mencapai tujuan utama kita yang satu dan sama – Tuhan, Allah, Widi, Budha dan sebutan apapun yang anda berikan kepada-Nya.6 Keanggotaan etnik berperan sebagai kartu identitas. Kebutuhan identitas diyakini berasal dari masa yang sangat awal, bersamaan dengan munculnya kebudayaan manusia yang hidup dalam komunitas. Kebutuhan ini cenderung dilembagakan dalam jaringan kekeluargaan yang diperluas. Oleh karena itu, suatu kelompok etnik adalah kelompok sodilaritas yang untuk dimana orang terlahir dan terikat secara kultural dan biologis. Dari perspektif ini, keanggotaan dalam komunitas etno-kultural secara psikologis dekat dengan kekuatan yang memaksa individu memilih keanggotaan yang tidak disukai dalam kelas yang secara sosio-ekonomi menentukan dan menyatukan orang-orang yang Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV, (Jakarta, Gramedia, 1999), hlm. 92-93 6 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 23 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) tersebar luas dan dari berbagai komunitas etnik yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda dan berbicara dengan bahasa berbeda pula. Dalam setiap komunitas baik komunitas agama atau kultural memiliki hukum (Syir’atan atau Syari’at) dan jalan hidupnya sendiri (Minhaj) serta mengalami perkembangan spiritualnya. Istilah Syir’ah atau Syari’ah secara bahasa berarti ‘jalan mengalirnya air’. Al-Qur’an menggambarkan syari’ah sebagai suatui sistem hukum yang niscaya bagi kesejahteran komunitas sosial dan spiritual. Istilah Minhaj pada sisi lain berarti ‘jalan terbuka’, yaitu jalan hidup.7 Dengan demikian, tampak jelas bahwa para Nabi yang diutus kepada umat-umat yang berbeda memberikan hukum dan jalan hidup kepada masyarakat sesuai tingkat kecerdasan dan hal-hal yang dapat mengantarkan perkembangan spiritual dan material. Anand pun mengatakan “ Tuhan tidak membedakan aapakah seorang itu Islam, atau Hindu, atau Budha yang Tuhan perhatikan adalah amal saleh manusia itu sendiri”.8 Bukanlah hal sulit bagi Allah untuk membuat umat manusia menjadi satu komunitas.9 Tetapi Allah memberi rahmat kepada manusia berupa pluralisme, sehingga menambah kekayaan dan keberagaman hidup. Setiap komunitas memiliki jalan hidup, kebiasaan, tradisi dan hukum sendiri, tetapi semua hukum dan cara hidup itu haruslah dapat menjamin perkembangan dan memperkaya hidup walaupun berbeda satu sama lain. Oleh karena itu kebesaran sebuah agama akan diukur melalui kebesaran tradisi yang ditinggalkannya, sedangkan kuat-lemahnya sebuah tradisi agama akan ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pendukungnya. Di samping itu tentu saja oleh muatan ajaran atau doktrinnya, namun sesungguhnya semua doktrin agama selalu berkembang Mun’im A Sirry, Membendung Militansi Agama – Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 171 8 Anand Krishna, Bersama Sufi…. Hlm. 153 9 “… kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali…. QS: 5; 48 7 24a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) dalam perjalanan historisnya. Dalam perjalan sejarahnya agama-agama berperilaku tampaknya ditentukan oleh pandangan dunia yang pada intinya mereka melihat diri mereka sendiri. Dengan kata lain, pandangan dunia tidak dapat dihindarkan terkait dengan identitas10 mereka sebagai pemilik dan yang memproyeksikan klaim kebenaran yang menafikan klaim-klaim kebenaran lainnya. Ada banyak identitas dan masing-masing mengaku memiliki finalitas klaim-klaim kebenaran, maka hal itu cenderung menjadi konflik dan hal itulah yang dapat disaksikan pada dekade ini. Baik pada skala kecil maupun besar dalam sepanjang sejarah manusia. Maka penyamaan antara spiritualitas dan identitas harus dipandang sebagai penyebab utama perselisihan dan perpecahan. Kekuatan penyamaan spiritualitas dan identitas sebegitu besar, sehingga kendatipun terdapat beberapa kesaksian verbal (lisan) pada hampir semua tradisi keagamaan terdapat universalitas Tuhan dan transendensi-Nya, akan tetapi hubungan aktual di antara komunitas-komunitas agama pun tidak berkembang dengan mudah. Dalam penyamaan yang tertutup antara persepsi dan identitas yang dapat dipahami bukanlah pribadi, melainkan jenis dimana pengertian manusia akan identitas diri yang tertutup memproyeksikan pengertian orang lain. Sebagai contoh, jika seseorang memperkenalkan Smith kepada Ahmad, maka karena dikondisikan oleh pemahaman dirinya yang tertutup sebagai Manusia didefinisikan sebagai sekelompok yang terikat memiliki kebutuhan identitas yang hanya dapat dipertemukan secara komperatif, jika tidak bersifat relasi oposisi inklusif /eklusif dengan kelompok lain. Pembentukan dan keberlangsungan identitas sering bersifat relasional, oposisional dan konfliktual. Para anggota etnik dapat menciptakan ikatan-ikatan yang unik dalam bentuk simbol maupun fisik dalam berhubungan dengan kelompok lain. Ini tidak berarti ikatan-ikatan yang dibangun secara sosial yang diwujudkan oleh simbol budaya yang merupakan sistem tertutup. Karena itu tidak mengizinkan pertukaran dan interaksi yang membentuk kembali identitas. Jika identitas sebagai diferensiasi dipandang sebagai dimensi yang mempertahankan hidup, maka ia merupakan bagian yang dibangun dengan menemukan orang lain. Dinamika kami-mereka dalam hal ini terbentuk secara batiniah dalam psikologi manusia. Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama – Konflik dan Nirkekerasan, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm.112 10 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 25 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) seorang muslim Ahmad akan memandang Smith sebagai seorang Kristen. Inilah yang membentuk semua hal yang oleh Islamnya Ahmad disamakan dengan Kristen. Begitu pula Smith tidak melihat Ahmad sebagai pribadi, tetapi sebagi jenis yang membentuk semua hal yang oleh Kristennya Smith disamakan dengan Islam.11 Pertemuan spiritual adalah pertemuan antara dua pribadi dan bukan antara dua tipe. Pertemuan spiritual bersamaan dengan realitas orang lain bagaimana pun benarnya menurut cirri-ciri tertentu dalam penampilan dan prilaku (baik verbal maupun fisik) orang lain, citra yang diproyeksikan terhadap orang lain (Kristen, Yahudi ataupun Muslim) menjadikan seseorang buta dalam melihatnya sebagai pribadi dengan segala keraguan, kecemasannya yang membaur dalam kedalaman diri dan misteri kebenaran transenden, mengajak orang lain agar berhubungan dengannya, serta mencari titik temu dengan perjalanan spiritual orang lain. Kendatipun mungkin berbeda dan bahkan bertentangan dalam upaya berkomunikasi dan memasukinya. Karena tantangan besar di dalam pencarian spiritualitas yang mengatasi identitas-identitas dan klain-klaim kebenaran yang tertutup adalah mengakui pribadi konkrit dan nyata yang dia jumpai. Dengan kata lain, jika tidak ditemukan realitas orang lain sebagai pribadi, maka semua klaim untuk mengenal dan untuk memiliki spiritualitas akan menjadi abstrak dan kemunafikan yang terburuk. Sayangnya beban sejarah yang dipikul, politik yang mengekploitasi agama dan ketakutan sekular (yang bersifat rasial, nasional dan internasional) yang membangun pertahanan keagamaan tampaknya tidak pernah mengizinkan seseorang untuk melihat orang lain sebagai pribadi, tetapi sebagai kelompok luar yang diciptakan oleh kelompok dalam umat beragama itu sendiri. Dengan demikian langkah yang perlu diperhatikan menghubungkan spiritualitas dengan realitas adalah kesiapan seseorang untuk menerima orang lain sebagai pribadi, bukan sebagai jenis. Untuk meraih hal ini seseorang harus menyelami bentuk lahiriah dan simbol serta memahami kesatuan internal (batiniah) dari: 1] asal usul manusia dalam Tuhan.12 2] ketidak Hasan Askari, Hasan Askari, Askari Hasan, Lintas Iman – Dialog Spiritual, Terj., Sunarwoto, (Yogyakarta, LKIS, 2003), hlm. 170. 12“ sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami 11 26a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) terbagian (indivisibilitas) manusia sebagai diri tunggal sebagaimana ciptaan.13 3] wujud spiritual itu berdasarkan asal usul dan indivisibilitas Ilahiyahnya.14 Bentuk lahiriah, baik berupa ras, bangsa, bahasa, kultur, keimanan maupun perbuatan manusia adalah bentuk dan tirai yang menutupi kesatuan esensial manusia yang tak terlukiskan. Akan tetapi, ada individu dan spesifitas pribadi dan tradisi. Selama seseorang mampu mengesampingkan kebiasaan orang lain sebagai jenis. Maka ia tidak hanya melihatnya menurut kesatuan, tetapi juga sebagai individu yang unik. Hanya saja jika ia melihat orang lain tidak hanya sebagai orang yang bersamanya dalam wujud lahiriah yang esensial, tetapi juga unik dan tunggal. Maka ia berhadapan langsung dengan realitas orang lain, baik sebagai pribadi yang terbatas maupun sebagai cermin dari yang lainnya yakni yang Esa dan unik, sumber segala wujud. Dalam setiap tradisi agama terdapat jalan esoterik dan gaib yang mengantarkan pada pusat realisasi ini. Tetapi kekuatan lahiriah yang sedemikian rupa sehingga jalan internal yang mengantarkan pada umumnya tertutup oleh beragam bentuk dan simbol, hingga manusia tersesat dalam pintu bentuk dan simbol yang tertutup. Berkumpul bersama berarti mengetuk pintu tersebut dan dengan demikian kebersamaan antar agama merupakan tanda pencarian kesatuan batin tersebut. Tidak tampak sama sekali wujudnya yang terpisah dan eksistensinya yang monologis. Begitu seseorang mengetahui orang lain sebagai pribadi riil, baik secara individual maupun universal maka ia bersama-sama dengannya mewujudkan cinta dan simpati spontan. Oleh karena itu, dalam tiap do’a, dalam tiap mereka menyembah Tuhan, dalam setiap yang benar dan bahkan dalam perbedaan paham umat beragama ada kesatuan dan perdamaian, harapan dan cinta. Agama-agama dalam Perbedaan dan Persamaan Agama dalam segala sesuatu dalam kehidupan, berdiri di kembali” QS: 2; 156 13“ Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu” QS: 4; 1 14 Hasan Askari, Lintas Iman ......., hlm. 173 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 27 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) bawah ambiguitas. Ambiguitas berarti bahwa agama adalah kreatif sekaligus destruktif. Agama memiliki kesuciannya (sakralitas) dan ketidaksuciannya (profanitas), oleh karena itu setiap agama mempunyai perbedaan dan persamaannya. Kesatuan dari berbagai bentuk agama itu dapat digambarkan dengan jelas oleh hubungan timbal balik antara tiga agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam) yang disebut sebagai agama monoteisme.15 Karena dari ketiga agama itulah yang sering menampakkan dirinya dalam bentuk eksoterik yang tidak dapat dirukunkan satu sama lainnya. Akan tetapi yang perlu diperjelas perbedaan antara yang dapat disebut dengan kebenaran simbolis dan kebenaran objektif. Monoteisme pada hakikatnya didasarkan pada konsepsi dogmatis tentang kesatuan Ilahi. Konsepsi dogmatis itu bermaksud menunjukan konsepsi yang disertai sikap yang menolak pandangan lain. Tanpa sikap tersebut (yang merupakan pembenaran bagi semua dogma), tidak mungkin adanya penerapan eksoteris. Walaupun pembatasan ini penting demi kelangsungan hidup bentuk-bentuk eksoteris. Pembatasan itu pada dasarnya disebabkan oleh keterbatasan yang ada dalam setiap sudut pandang teologis.16 Paham monoteisme sudah dikenal sejak dahulu sebelum orangorang kemudian beralih menyembah Tuhan-tuhan yang banyak (politeisme). Dengan demikian ajaran monoteisme yang didakwahkan oleh agama semitik sesungguhnya bukanlah hal baru, melainkan mempertegas dan memperjelas kembali paham yang pernah tumbuh, tetapi karena berbagai faktor lalu menjadi samar-samar. Dalam sejarahnya manusia menyebut Tuhan Yang Esa dan Mutlak itu dengan berbagai nama dan istilah, namun secara subtansial, beragam nama itu menunjuk kepada Dzat yang sama. Untuk lebih jelas lagi baca Amstrong Karen, Sejarah Tuhan, Penerjemah Zaimul Am, (Bandung, Mizan, Cet VI, Mei 2003), hlm. 11-37 Baca juga Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan – Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta, Gramedia, 2003), hlm. 69-73. 16 Sebuah agama tidak dibatasi oleh apa yang dicakup olehnya melainkan oleh apa yang tidak dicakup olehnya. Ketidak pencakupan ini, tidak akan merusak kandungan agama yang terdalam – setiap agama pada hakikatnya merupakan suatu totalitas – tetapi sebagai gantinya akan lebih banyak wilayah perantara yang sering dinamakan “batas manusia” dan yang merupakan arena spekulasi dan kegairahan teologis baik moral maupun mistis. Jelas bukan metafisika murni atau esoterisme yang akan membebani umat dengan kewajiban untuk berpura-pura bahwa suatu pertentangan yang tampak mencolok itu bukan suatu pertentangan. Dengan itu yang perlu dilakukan adalah mengetahui bahwa pertententangan-pertentangan yang tidak hakiki dapat mengesampingkan 15 28a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) Dengan kata lain, sudut pandang teologis ditandai oleh ketidak sesuaian dalam bidangnya sendiri antara berbagai konsepsi. Dan dari segi bentuk berbagai konsepsi itu saling bertentangan, namun dari segi ajaran metafisika atau kerohanian murni rumusanrumusan yang kelihatannya saling bertentangan, sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain atau saling berhubungan satu sama lain.17 Keterbukaan yang makin berkembang terhadap kebaikan dan kebenaran yang terdapat dalam tradisi agama-agama lain memberi harapan bagi terbentuknya era baru pemikiran keagamaan. Meskipun pertentangan antar agama-agama tetap menodai kehidupan bersama. Namun kekacauan sejarah agama dalam semua priode sejak zaman primitif terdahulu sampai perkembanganperkembangan terakhir akan sangat membingungkan, karena kunci yang melahirkan aturan di luar kekacauan itu adalah segala sesuatu dalam realitas, dapat mempengaruhi dirinya sebagai sebuah simbol bagi hubungan khusus pikiran manusia pada dasar dan arti pokoknya. Maka untuk membuka pintu yang tertutup atas kekacauan simbol agama ini, seseorang harus bertanya apa yang menjadi hubungan pokok tersebut yang disimbolisasikan dengan simbol-simbol agama itu?. Oleh karena itu Anand selalu menegaskan tentang manusia yang sadar akan esensi agama dan dapat melampaui kesadaran pikirannya sendiri yang dapat menjaga ketentraman hidup bersama dalam perbedaan agama. Secara simbolis, simbol-simbol agama menunjukan pada simbol yang melebihi mereka sendiri. Akan tetapi mereka sendiri turut serta di dalamnya sebagai simbol-simbol yang mereka tunjukan. Sehingga selalu cenderung (dalam pemikiran manusia) menggantikan hal yang dianggap menunjuk dan menjadi pokok diri mereka, sehingga mereka menjadi patung-patung. Pemberhalaan bukanlah sesuatu yang berbeda dengan absolutasi simbol-simbol Sang suci dan membuat simbol-simbol itu identik dengan Sang kesesuaian atau identitas yang hakiki, yang sama artinya dengan mengatakan bahwa masing-masing yang bertentangan itu mengandung kebenaran, karena adalah salah satu aspek dari seluruh kebenaran serta satu jalan menuju totalitas. Frithof Schuon, Islam dan Filsafat Perennial, penerjemah Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan,1998), Cet IV, hlm. 55 17 Fritchof Schuon, ibid., hlm. 154 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 29 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) Suci itu sendiri. Dengan cara ini orang-orang suci bisa menjadi Tuhan. Tindakan-tindakan ritual dapat memberikan validitas mutlak meskipun hanya merupakan ungkapan situasi yang khusus. Disini dapa dilihat dengan apa yang sering disebut sebagai “demonisasi” dalam semua aktivitas sakramental agama dalam semua obyek suci, doktrin-doktrin suci dan upacara-upacara suci. Semuanya menjadi demonik yang terangkat pada karakter pokok dan mutlak dari Sang Suci itu sendiri.18 Dalam semua simbol agama, ada tingkatan-tingkatan simbol yang fundamental yaitu: tingkat transenden dan tingkat imanen. Tingkat transenden adalah tingkat yang mulai di luar realitas empiris yang dihadapi, sedangkan tingkat imanen adalah tingkat yang dijumpai dalam pertemuan dengan realitas.19 Pada tingkat transenden, simbol dasar akan menjadi Tuhan itu sendiri. Tetapi, Tuhan tidak dapat begitu saja dikatakan sebuah simbol karena ada dua hal yang selalu berkembang dengan Tuhan itu sendiri. Pertama adalah bahwa ada elemen non-simbolis berada dalam image Tuhan yaitu Tuhan adalah realitas pokok, makhluk diri, dasar kekuatan makhluk dan makhluk tertinggi dari segala hal-hal yang benar-benar eksis dengan jalan yang paling sempurna. Dengan demikian manusia memiliki image wujud tertinggi dalam benak mereka dan makhluk dengan karakteristik kesempurnaan tertinggi. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki simbol yang merupakan simbolisasi gagasan tentang Tuhan yaitu “makhluk diri”.20 Kedua adalah kualitas-kualitas dan lambang-lambang Tuhan. Apapun yang dikatan umat beragama tentang-Nya ; Dia Maha Pengasih, Maha Pemurah, Ada dimana-mana dan lain sebagainya merupakan lambang-lambang Tuhan yang berasal dari kualitas-kualitas yang telah dialami dalam diri manusia, dan itu tidak dapat diaplikasikan pada Tuhan dengan pemahaman harfiah. Paul Tillich, Teologi Kebudayaan – Tendensi, Aplikasi dan Komparasi, Penerjemah, Mimin Muhaimin, (Yogyakarta: Ircisod, 2002), hlm. 71 19 Ibid 20 Ibid, hlm. 72 18 30a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) Jika hal itu terjadi, maka ia mengarah pada absurditas yang tak terbatas jumlahnya. Ini juga menjadi salah satu penyebab destruksi agama akibat interpretasi komunikasi yang keliru tentang-Nya. Sedangkan pada tingkat Imanen yaitu tingkat penampilanpenampilan Tuhan dalam waktu dan ruang. Diantaranya adalah Inkarnasi-inkarnasi Tuhan,21 Makhluk-makhluk berbeda dalam waktu dan ruang. Gagasan inkarnasi ini selalu berhubungan dengan tingkat transenden dan tingkat imanen. Secara historis seseorang dapat mengatakan bahwa perjalanan keduanya merupakan situasi tingkat imanen dan transenden, yang ia tidak membedakannya. Tetapi, inkarnasi-inkarnasi22 karakter sakramental lebih dibutuhkan di Yunani (Dewa-dewa dalam Mitologi), bangsabangsa Semitik dan India karena untuk menghindari keterasingan Tuhan yang berkembang bersama penguatan elemen transenden. Masalah inkarnasi ini pun Anand Krishna menjelaskan: Penciptaan itu terjadi dimana saja, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Apakah seorang bayi lahir secara alami, lewat test-tube Inkarnasi Tuhan dalam hal ini adalah mitos Kristen yaitu Tuhan turun ke dalam pribadi anak-Nya yang dilahirkan di bumi sebagai anak kecil, yang meninggal demi ampunan dosa-dosa manusia dan bangkit kembali untuk melanjutkan kehidupan di bumi dan kemudian naik ke surga, untuk nantinya kembali lagi di hari akhir dengan segala kebesarannya. Dalam kata-kata yang terkenal dari pernyataan iman (yang berasal dari abad keempat),ini adalah kisah Tuhan Yang Maha Besar, pencipta langit dan bumi dan putera-Nya Yesus penguasa umat, yang eksis sebelum ada waktu dan dilahirkan di bumi dari Roh Kudus dan perawan maria. Dia menderita di bawah Pontius Pilate dan disalib demi ampunan dosa-dosa, bangkit kembali di hari ketiga, naik ke Surga dimana ia duduk di tangan kanan Tuhan Bapa dan kemudian datang lagi untuk menghakimi yang hidup dan yang mati. Lihat John Hick, Dimensi Kelima Menelusuri Makna Kehidupan, Terj., Hermansyah Tantan, (Jakarta, PT.Rosda Grafindo Persada, 2001), hlm.302 22 Penganut Budha biasanya berbicara tentang kelahiran kembali ketimbang inkarnasi, karena tidak ada kontinuitas entitas yang berinkarnasi secara berurutan. Salah satu ajaran Budha adalah tidak ada diri, jiwa, atman, yang abadi. Bahkan diri empiris atau ego bukan entitas yang tahan lama tetapi (seperti yang dikatakan David Hume) merupakan suksesi momen kesadaran yang terkait bersama-sama dengan fakta bahwa momen yang berikutnya dipengaruhi oleh dan memasukan memori momen-momen awal. Di dalam kontunuitas kasual, menurut doktrin karma, semua tindakan manusia (termasuk aksi mental) mempengaruhi masa depan seseorang dan masa depan orang lain. John Hick, ibid., hlm. 316 21 Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 31 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) ataupun cloning – kelahirannya tetap membuktikan kehadiran Allah. Jangan takut Tuhan anda akan menganggur. Yang berulang kali mengalami kelahiran dan kematian adalah ego kita yang begitu kompleks. Keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi, obsesi-obsesi terpendam semuanya itu yang menyebabkan terjadinya kelahiran kembali. Kelahiran dalam dunia ini ibarat belajar di sekolah. Alam semesta ini ibarat lembaga pendidikan, universitas. Ada fakultas-fakultas lain pila yang terdapat dalam dimensi lain. Masih ada begitu banyak bentuk kehidupan yan lain. Apabila seseorang mati dalam kesadaran ia akan tahu persis mata pelajaran apa yang harus dipelajari. Begitu lahir kau tersenyum. Susah sekali bagi seorang bayi yang baru lahir untuk memberikan senyuman semacam itu. Kau harus menggunakan seluruh energimu untuk memberikan senyuman pertama. Otot-otot yang belum berkembang sempurna harus dipaksa sedikit. Kau tidak akan perduli akan rasa sakit dan memberikan senyuman pertama. Ah, kembali lagi ke dunia. Kau mengenali ayahmu dalam kelahiran ini.23 Oleh karena itu, meskipun setiap agama memiliki klaim kebenaran sendiri, ini tidak berarti persamaan dan perbedaan pada tradisi agama menjadi jurang pemisah antar pemeluk agama. Justru karena adanya klaim-klaim itulah maka dialog menjadi sangat urgen, karena agama pada akhirnya tampil dalam prilaku pemeluknya. Maka setiap umat agama adalah makhluk sosial yang mau tidak mau mesti terlibat dalam situasi konflik dan dialog. Meskipun respon iman pada dasarnya dialamatkan pada Tuhan, tetapi oleh Tuhan komitmen dan respon iman tadi diperintahkan untuk diwujudkan dalam hubungan sosial, sehingga aktualisasi komitmen beragama tidak mungkin terwujud tanpa melibatkan diri dalam usaha-usaha kemanusiaan. Sebagai konsekuensinya iman selalu menuntut terwujudnya hubungan dialogis baik antara seorang hamba dengan Tuhannya maupun antar sesama umat beriman, hanya dengan dialog maka seseorang bisa berbagi pengalaman iman dan berbagi kebenaran. Lebih dari itu hanya melalui dialog maka kualitas kemanusiaan akan tumbuh dan Anand Krishna, Reinkarnasi – Hidup Tak Pernah Berakhir, (Jakarta, Gramedia, 1998), hlm. 29-31. 23 32a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) terbentuk. Tuhan dalam Konsepsi dan Persepsi Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan saat berdiskusi mengenai Tuhan. Pertama : Dia dapat didekati sebagai ‘something to be argued about’, yang dalam hal ini objek formalnya adalah segala hal yang berkaitan dengan theism, atheism, non-atheism, deism, dan agnosticism. Pendekatan kedua: dapat dilakukan dengan memposisikan Tuhan sebagai something to be sacrificed, yang dalam hal ini berkenaan dengan segenap aktivitas sosial dalam kehidupan masyarakat, baik berupa commitment, dedication, maupun involvement. Sejalan dengan itu, ada hal lain yang perlu dimengerti saat seseorang memahami Tuhan, yaitu bahwa manusia harus mengerti dan memahami keterbatasan konsepsinya tentang Tuhan, karena tak ada yang bisa mengenal Tuhan kecuali Dia sendiri. Dari sini seseorang memiliki dua macam pengertian tentang Tuhan, yaitu: Tuhan dalam konsepsi manusia dan Tuhan Yang Hakiki yang berada jauh di luar konsepsi manusia. Tuhan dalam konsepsi manusia adalah Tuhan yang dibicarakan, didiskusikan, diperdebatkan lewat bahasa maupun akal pikiran sedangkan Tuhan Yang Hakiki adalah Tuhan yang tidak bisa dibicarakan baik oleh siapa pun. Dalam tradisi monotheistik diyakini bahwa Tuhan tidak bisa sungguh-sungguh dapat dikenal dan diketahui oleh makhluk, sebab:”Tidak ada yang hakiki selain Dzat Maha Hakiki”. Karena sesungguhnya Tuhan secara mutlak dan tak terhingga sungguhsungguh sebagai Dzat Maha Hakiki, sedangkan realitas alam semesta hanya hakiki secara relatif sehingga realitas-Nya berada jauh di luar pemahaman realitas makhluk. Jelasnya, yang relatif tidak akan pernah sanggup menjangkau Yang Maha Mutlak, Sang Maha Hakiki. Ibarat timbangan emas tidak dapat dipergunakan untuk menimbang gunung. Andai manusia bisa mengetahui sesuatu tentang Tuhan maka pengetahuannya itu bersifat relatif. Makhluk berhubungan dengan Tuhannya melalui sifat-Nya yang menampakkan tanda dan jejak-Nya dalam eksistensi kosmos. Manusia tidak bisa mengetahui Tuhan dalam diri-Nya sendiri tetapi hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos. Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 33 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) Dia adalah ‘Mutiara Terpendam’, lalu Dia ciptakan makhluk yang dengan ciptaan-Nya itu makhluk mengenal dan mengetahui-Nya. Tegasnya, Tuhan menciptakan alam semesta seisinya sehingga Dia dapat diketahui melalui ciptaan-Nya itu. Tuhan bukan mitos, Dia adalah Realitas Ultim, yang eksistensi-Nya akan meyakinkan manusia bahwa dalam rentang sejarah umat manusia yang immorial ini kebaikan dan kebahagiaan bisa berpadu dalam proporsi yang ‘sempurna’. Realitas itu sendirisebagaimana Kierkegaard menyatakan-adalah sebuah sistem bagi Tuhan, meskipun realitas itu sendiri tidak bisa menjadi sistem bagi setiap jiwa yang eksis. Tuhan dalam Konsepsi24 Secara keilmuan, Tuhan tidak pernah dan tidak mungkin menjadi objek kajian ilmu, karena kajian ilmu selalu parsial, terukur, terbatas dan dapat diuji secara berulang-ulang pada lapangan atau laboratorium percobaan keilmuan. Dengan demikian, kehendak untuk membuka adanya Tuhan melalui pendekatan ilmu, akan mengalami kegagalan karena sudah dari sejak awal tidak benar secara metodelogis.25 Dalam filsafat hakikat Tuhan telah menjadi bahan perenungan yang sangat intens, sejak Yunani Kuno bahkan sampai saat ini. Semula Tuhan dipahami sebagai asal usul kejadian semua yang ada ini, yang ditegaskan dengan prinsip adanya sebab pertama first causa atau prima kausa26 yaitu yang menyebabkan adanya Konsepsi berasal dari bahasa Latin Concipere, artinya memahami, menerima, menangkap. Yang merupakan gabungan dari Con artinya, bersama dan Cappere artinya menangkap atau menjinakkan secara istilah dapat diartikan: 1] kesan mental atau pemikiran, ide, suatu gagasan yang mempunyai derajat ke kongkretan atau abstraksi yang digunakan dalam pemikiran abstrak. 2] apa yang membuat pikiran mampu membedakan satu benda dari yang lainnya. 3] suatu ide yang diberikan dari persepsi (hasil persepsi) atau penginderaan (sensasi). Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat Barat, (Jakarta, Gramedia, 2002), hlm.481 25 Musa Asy’arie, Filsafat Islam – Sunnah Nabi Dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm.151 26 Pada zaman pra-Sokrates yang berpandangan monistik menganggap kosmos itu didasari oleh satu prinsip atau asas; Thales menyatakan bahwa prinsip itu adalah air, menurut Aximenes prinsip itu udara; menurut Anaximandros prinsip itu adalah to apeiron (yang tidak terbatas): dan bagi Heraklitos prinsip 24 34a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) semua ini. Sebab pertama itu juga disebut sebagai penggerak yang tidak bergerak, yang menggerakkan semua yang ada ini dan yang ada ini selalu berada dalam pergerakan atau perubahan.27 Penetapan adanya yang pertama bisa jadi karena kebuntuan berpikir yang memaksanya harus menetapkan adanya prilaku awal, padahal hokum sebab akibat bisa terjadi berulang-ulang.28 Dengan demikian penggerak pertama yang tidak bergerak, bagai mana mungkin terjadi gerakan, jikalau penggerak pertama tidak menggerakkan. Kebuntuhan berpikir pada akhirnya melawan logikanya sendiri denag memotong lingkaran sebab akibat yang terputus.29 Dalam perkembangan selanjutnya, oleh kemampuan manusia mengelolah dan menundukan alam, maka ia dapat membentuk alam seperti yang dikendakinya dan seakan-akan hanya dialah yang menentukan segala-galanya.30 Selanjutnya konsep Tuhan menurun, bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan dibalik makro- cosmos atau salah satu faktor di dalamnya dan juga bukan mikro-cosmos yaitu eksistensi manusia denag kekuatan ide dan kemampuan kecerdasan yang kreatif, tetapi turun pada apa yang dibuat sendiri yaitu simbolisasi benda-benda hasil karya sendiri.31 Tetapi dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang makin canggih, manusia menciptakan sistem kebudayaan yang berorientasi pada cita-cita social yang makin komplek. Karena berhadapan dengan realitas social dan kehidupan masyarakat itu adalah api. Bertand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, Terj., Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 31-65 27 Musa Asy’arie, Filsafat Islam......, hlm. 152 28 Ibid, hlm. 153 29 Ibid, dan logika tentang pencarian Tuhan dengan menunjuk faktor alam yang dianggap layak menjadi Tuhan. Lihat QS: Al-An’am [6]; 76 - 79 30 Pada dataran ini Tuhan sebagai yang menentukan dalam kehidupan yang disimbolisasikan pada seorang raja sebagai pemegang kuasa, maka dengan itu manuialah yang bertindak sebagai Tuhan. Seperti yang terjadi pada kekuasaan raja Fir’aun yang mengangkat dirinya sebagai Tuhan. Seperti digambarkan dalam al-Qur’an QS: Al-Qasas [28];38-39 31 Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an QS: Al-Anbiya’ [21]; 57-59. dan tentang perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan baca lagi Musa Asy’arie, Filsafat Islam......, hlm 157-159. Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 35 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) yang bersifat plural dan kompleks. Pada dataran ini manusia membangun basis ideologi yang mengikatnya dalam kesatuan komunitas yang berorientasi pada usaha mewujudkan cita-cita ideologi dalam realitas kehidupan manusia. Pada perkembangan ini manusia menciptakan ideologi bahkan mempertuhankannya, mereka siap membela dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk memenangkan ideologinya, suatu perjuangan yang menuntut suatu totalitas. Jika dilihat perkembangan konsep pemikiran tentang Tuhan, sebagai kekuatan yang maha dahsyat yang menetukan kehidupan manusia, ternyata telah mengalami berbagai perkembangan dan pergeseran, akan tetapi tidak saling menafikan dan meniadakan. Semua konsep itu sampai sekarang masih tetap ada dan bertahan, meskipun mengalami banyak modifikasi dan variasi sesuai denagn perubahan zaman. *** DAFTAR PUSTAKA 36a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) Abd ‘A’la, Melampaui Dialog Agama, Qomaruddin SF, ed.,. Jakarta: Kompas, 2002. Amstrong Karen, Sejarah Tuhan, Penerjemah Zaimul Am. Bandung, Mizan, Cet VI, Mei 2003. Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan. Bandung: PT. Rosda Karya , 1999. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat Barat. Jakarta, Gramedia, 2002. Frithof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, penerjemah Rahmani Astuti. Bandung: Mizan,1998. Hasan Askari, Hasan Askari, Askari Hasan, Lintas Iman – Dialog Spiritual, Terj., Sunarwoto. Yogyakarta, LKIS, 2003. Hick, John. Dimensi Kelima Menelusuri Makna Kehidupan, Terj., Hermansyah Tantan. Jakarta, PT.Rosda Grafindo Persada, 2001. Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan – Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta, Gramedia, 2003. Krishna, Anand. Reinkarnasi – Hidup Tak Pernah Berakhir. Jakarta, Gramedia, 1998. Krishna, Anand. Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV. Jakarta, Gramedia, 1999 Mudji Sutrisno, Agama, Harkat Manusia dan Modernisme dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri DIAN I/th I. Yogyakarta; Interfield, 1993. Mun’im A Sirry, Membendung Militansi Agama – Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Erlangga, 2003. Musa Asy’arie, Filsafat Islam – Sunnah Nabi Dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI, 2002. Rusell, Bertand. Sejarah Filsafat Barat, Terj., Sigit Jatmiko dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Schuman, Olaf Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-agama dalam Martin L. Sinaga Edt. Agama-agama Memasuki Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013 37 Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo) Milenium Ketiga. Jakarta: Gramedia, 2000. Tillich, Paul. Teologi Kebudayaan – Tendensi, Aplikasi dan Komparasi, Penerjemah, Mimin Muhaimin, (Yogyakarta: Ircisod, 2002), hlm. 71 Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama – Konflik dan Nirkekerasan. Yogyakarta: LESFI, 2002. 38a Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013