HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA Yolla Dezola Psikologi, Jl. Kebon Jeruk Raya No.27, Kebon Jeruk. Jakarta Barat 11530, [email protected] (Yolla Dezola, Moondore Madalina Ali, B.Sc., M.Sc., Ph.D) ABSTRACT One of the factors that influence teenagers mindset to face their social environtment is parenting style. When parents implement the right parenting styles it will configurate the good behavior and personality for adolescents, however if the parents apply the wrong parenting style on teenagers it will give a bad impact to the development of personality in adolescents such as anxiety. One of anxiety is communication anxiety. This study intend to see whether there is a significant correlation between parenting style (authoritative, authoritarian, permissive, indulgent) with adolescents communication anxiety in Jakarta using 205 respondents from aged 14 to 19 years old. The research method used is a quantitative method that processed with statistical method. This method is use to obtain the correlation between the variables were studied significantly. The analysis used is Correlation Rank-Spearman. The result of this reseacrh indicate that there is no correlation between authoritative style (p=0,89 and ρ=-0,02), authoritarian style (p=0,356 and ρ=0,124), permissive style (p=0.970 and ρ=0,006), indulgent style( p=0,304 and ρ=0.140) and adolescents communication anxiety in Jakarta. The conclusion indicated there is no correlation parenting style and communication anxiety.There are other factors that correlate with communication anxiety such as communication experience and personalities. (YD) Keywords: Parenting Style, Communication anxiety. ABSTRAK Salah satu faktor yang mempengaruhi pola pikir seorang remaja dalam menghadapi lingkungan sosialnya adalah pola asuh. Apabila orang tua menetapkan pola asuh yang benar maka akan membentuk perilaku dan kepribadian yang baik bagi anak, namun jika salah dalam menetapkan pola asuh maka akan berdampak tidak baik bagi anak sehingga menimbulkan kepribadian yang tidak baik seperti kecemasan. Salah satu dari bentuk kecemasan adalah kecemasan komunikasi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh (otoriter, demokratis, permisif dan penelantar) dan kecemasan komunikasi pada remaja di Jakarta dengan menggunakan responden sebanyak 205 remaja tengah usia 14-19. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif yang di olah dengan metode statistika. Metode ini digunakan untuk memperoleh hubungan antar variabel yang diteliti secara signifikan. Analisa yang digunakan adalah Spearman Rank Correalation. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola asuh otoriter (p=0,89 dan ρ=-0,02), pola asuh demokratis (p=0,356 dan ρ=-0,124). Pola asuh permisif ( p=0.970 dan ρ=0,006), pola asuh penelantar (p=0,304 dan ρ=0.140) dan kecemasan berkomunikasi pada remaja di Jakarta. Kesimpulannya pola asuh tidak berkorelasi dengan kecemasan komunikasi. Ada faktorfaktor lain yang mempunyai hubungan dengan kecemasan sosial, antara lain faktor pengalaman komunikasi dan faktor kepribadian.(YD) Kata Kunci : Pola Asuh Orang Tua, Kecemasan Komunuikasi dan Remaja PENDAHULUAN Pola asuh adalah perilaku yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi dan melakukan komunikasi dengan anak dalam menerapkan disipilin serta memberikan informasi mengenai nilai dan norma dengan memberikan kasih sayang dan perhatian sehingga anak dapat menjadikan orang tua sebagai panutan yang baik (Edwards, 2006). Menurut Baumrind (1972., dalam Santrock, 2007) pola asuh orang tua di bagi menjadi empat, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh permisif dan pola asuh penelantar. Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan dimana orang tua cenderung mengekang anak, orang tua mengharuskan anaknya untuk mengikuti semua perintah yang diberikan berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh orang tua dan anak dituntut untuk mematuhinya. Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang memberikan anak kebebasan dalam bertindak, berkreasi serta berpendapat sesuai dengan keinginan dan kemampuan yang dimiliki oleh anak dimana dalam pengasuhan ini orang tua tetap memberikan arahan dan pengawasan kepada anak dengan dilakukannya komunikasi dua arah. Pola asuh permisif adalah pola asuh dimana segala perilaku, kegiatan, tindakan serta keinginan anak hampir tidak pernah atau di kontrol oleh orang tua. Pola asuh penelantar adalah dimana orang tua cenderung mengabaikan perkembangan yang terjadi pada anaknya termasuk perkembangan fisik dan psikis anak dan memiliki interaksi yang sedikit dengan anaknya (Baumrind, 1972., dalam Santrock ,2007). Widayanti dan Iryani (2005) mengungkapkan ketika pola asuh yang diberikan oleh orang tua kepada anak merupakan pola asuh yang benar, maka akan memberikan dampak yang baik bagi anak dalam berperilaku serta memiliki kepribadian yang baik, namun jika orang tua menetapkan pola asuh yang salah maka akan membuat anak memiliki moral yang tidak baik dan menyimpang sehingga membuat anak memiliki kepribadian yang tidak baik pada masa remajanya. Menurut Santrock (2007) remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju dewasa dimana seorang individu telah mengalami pertumbuhan, perubahan dan perkembangan fisik maupun psikis yang ditandai dengan perubahan bentuk badan, cara berfikir dan bertindak seperti seorang dewasa, namun mereka bukan seorang dewasa yang telah matang. Menurut Papalia, Old & Feldman (2008) terdapat 3 fase perkembangan remaja, yaitu: remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun), dan remaja akhir (19-21 tahun). Remaja pertengahan adalah remaja yang mulai menyadari adanya perubahan fisik dan kepribadian yang di alaminya serta masih memperlihatkan perilaku seperti anak-anak. Menurut Fuhrmann (1990., dalam Retnowati, 2012) remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan dalam tahap perkembangan tersebut, yaitu: memiliki hubungan yang baik serta memaknai pertemanan dengan teman sebaya sesama jenis ataupun lawan jenis, mencapai peran maskulin dan feminim pada dirinya, menerima perubahan fisik yang terjadi agar dapat mempergunakannya dengan sesuai, pencapaian terhadap kemandirian diri melalui orang tua ataupun orang dewasa lainnya, memiliki pencapaian atas pendapatan diri secara ekonomi, menentukan dan mempersiapkan diri untuk memasuki lingkungan kerja, mempersiapkan diri untuk hubungan perkawinan dan berkeluarga, mengembangkan kemampuan diri berdasarkan konsepkonsep intelektual yang dimiliki untuk mencapai kompetensi sebagai warga negara, memiliki perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan pada lingkungan sosial dengan memperoleh informasi mengenai nilai dan etika untuk dijadikan pedoman dalam berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Fuhrmann (1990., dalam Retnowati, 2012) menyebutkan bahwa ketika remaja gagal dalam memenuhi tugas perkembangannya maka akan menimbulkan tekanan-tekanan sehingga remaja dengan mudah mengalami gangguan berupa gangguan perilaku, kecemasan, pikiran maupun perasaan. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego yang membuat remaja merasakan adanya hal buruk yang akan menimpanya sehingga secara tidak sadar mempersiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan yang dikomunikasikan kepada lingkungan merupakan hasil dari upaya seorang individu dalam memelihara keseimbangan diri pada individu (Suliswati, 2005). Kecemasan adalah merupakan respon perasaan bingung dan khawatir pada objek yang tidak nyata beserta perasaan tidak berdaya atau tidak menentu yang dirasakan secara alami dan bersifat subjektif kemudian dikomunikasikan secara interpersonal (Suliswati, 2005). Ada beberapa kecemasan yang dimiliki oleh remaja, salah satunya adalah kecemasan komunikasi yang muncul ketika seorang individu berinteraksi dengan orang lain. Pada dasarnya kecemasan merupakan suatu perasaan yang cukup normal, akan tetapi bila kecemasan tersebut mengarah ke sifat patologis (keadaan sakit; abnormal) maka akan membuat individu tersebut memperlihatkan perilaku yang tidak wajar, seperti selalu berupaya untuk menghindari situasi komunikasi untuk tidak berintaksi dengan orang lain dimana situasi komunikasi diperlukan (Suliswati, 2005). Individu yang mengalami kecemasan dalam melakukan komunikasi akan memiliki beberapa karaktersitik. Burgoon dan Ruffner (1978., dalam Azwar, 2007) menjelaskan karakteristik individu yang mengalami kecemasan komunikasi, yaitu unwillingness, avoiding, control. Unwillingness adalah ketidaksediaan individu untuk melakukan komunikasi kemudian akan menarik diri ketika berada dalam situasi yang membutuhkan komunikasi, memilih tidak berpartisipasi ketika diminta untuk berkomunikasi, memilih untuk tidak berbicara atau diam ketika diminta untuk berkomunikasi dalam situasi komunikasi. Avoiding berupa penghindaran dari partisipasi karena pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan, dengan indikasi dimana individu mengalami perasaan tidak nyaman dalam diri ketika menghadapi peristiwa yang membutuhkan komunikasi dari lingkungannya, mendapat rangsangan negatif untuk melakukan komunikasi dalam situasi komunikasi, rangsangan tersebut berhubungan dengan ketakutan. Control yang dimaksud adalah pengendalian terhadap situasi komunikasi dimana individu akan menghindari situasi atau keadaan yang memerlukan komunikasi, individu yang mengalami kecemasan komunikasi akan memilih untuk tidak terlibat dan tidak ikut berada dalam situasi yang membutuhkan komunikasi (Burgoon dan Ruffner, 1978,. dalam Azwar, 2007). Menurut Powell & Powell (2010), reinforcement merupakan faktor yang mempengaruhi kecemasan komunikasi, dimana kecemasan komunikasi tersebut dipengaruhi oleh seberapa sering seseorang mendapatkan penguatan untuk melakukan interaksi komunikasi dengan lingkungan sosialnya. Individu yang sering mendapatkan reinforcement positif dalam melakukan komunikasi akan mengurangi kecemasan komunikasi, sedangkan individu yang sering mendapatkan reinforcement negatif seperti tidak diberikannya kesempatan untuk melakukan komunikasi dan tidak didorong untuk melakukan komunikasi akan mengembangkan sikap negatif sehingga menimbulkan kecemasan komunikasi. Ketika remaja gagal dalam menguasai keterampilannya dalam melakukan komunikasi akan menjadikan remaja memiliki perasaan sulit untuk melakukan interaksi pada lingkungan sosialnya, menimbulkan rasa rendah diri, diabaikan oleh pergaulan kesehariannya, cenderung berperilaku anormatif misalnya, asosial ataupun anti-sosial. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil 205 subjek dengan karakteristik remaja usia 14-19 tahun yang mendapatkan pendidikan sekolah, di asuh oleh kedua orang tua, berdomisili di Jakarta. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik random sampling-simple random sampling. Menurut Sugiyono (2008), Simple Random Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dimana setiap unsur populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel dalam penelitian yang sesuai dengan persyaratan karakteristik yang diperlukan. Penelitian dilakukan dengan cara menyebarkan kuisioner secara online, dengan pengambilan sample menggunakan metode disaring (screened sample), yaitu untuk membatasi responden agar sesuai dengan keinginan peneliti. Desain penelitian yang digunakan dalam adalah kuantitatif korelasional, yaitu penelitian ilmiah yang bersifat sistematis untuk melihat hubungan-hubungan dari fenomena yang ada (Sugiyono, 2008), dengan tujuan untuk mencari hubungan antara kedua variabel dalam penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan Face Validity, Construct Validity dan Content Validity. Face Validity adalah melihat apakah alat tes dapat benar-benar mengukur apa yang ingin di ukur dan dapat di terima oleh lingkungan tertentu, Construct Validity adalah alat tes yang digunakan untuk melihat sejauh mana item tes sesuai dengan teori yang digunakan, Content Validity adalah item tes ditentukan dari derajat pertanyaannya dan apakah item dalam alat tes dapat mempresentasikan perilaku yang ingin di ukur (Azwar, 2007). Reliabilitas dari item pola asuh otoriter adalah 0.817, pola asuh demokratis sebesar 0.724, pola asuh permisif 0.745, pola asuh penelantar 0.786 dan kecemasan komunikasi sebesar 0.866. Signifikansi uji normalitas dari variabel pola asuh otoriter sebesar 0,006; variabel pola asuh demokratis 0,009; variabel pola asuh permisif 0,024; variabel pola asuh penelantar 0,014; dan variabel kecemasan komunikasi sebesar 0,427. HASIL DAN BAHASAN Dalam penelitian ini, uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecemasan komunikasi remaja di jakarta. Karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi data tidak normal, teknik pengolahan menggunakan korelasi Rank Spearman untuk mencari hubungan atau menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing masing variabel dihubungkan dalam bentuk ordinal, atau kedua variabel adalah kuantitatif namun kondisi normal tidak terpenuhi dan diolah menggunakan analisa statistik yang menggunakan software IBM SPSS Statistic Data Editor (version 20). Dimensi Pola Asuh Otoriter Demokratis Permisif Penelantar Correlation Coefficient Sig. (2tailed) -0,02 0,89 -.124 .356 .006 .970 .140 .304 Sunber: Output Pengolahan Data SPSS 20 Berdasarkan uji analisis korelasi Rank Spearman mendapatkan hasil pola asuh otoriter dan kecemasan komunikasi adalah p=0,89 dan ρ=-0,02. Pola asuh demokratis dan kecemasan komunikasi adalah p=0,356 dan ρ=-0,124. Pola asuh permisif dan kecemasan komunikasi adalah p=0.970 dan ρ=0,006. Pola asuh penelantar dan kecemasan komunikasi adalah p=0,304 dan ρ=0.140. Jika nilai p lebih besar dari 0,05 maka memiliki arti bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh dan kecemasan komukasi. Penelitian ini menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh (Otoriter, Demokratis, Permisif dan Penelantar) dan kecemasan komunikasi remaja di Jakarta karena p > 0.05. SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menyebarkan kuisioner kepada remaja usia 14-19 tahun di Jakarta mengenai hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecemasan komunikasi remaja merujuk kepada hasil yang tidak signifikan. Terdapat berbagai alasan mengapa pola asuh orang tua pada penelitian ini tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kecemasan komunikasi, yaitu karena adanya faktor-faktor pendukung lain yang memungkinkan remaja untuk memiliki kecemasan komunikasi selain dari pola asuh orang tua yaitu faktor pengalaman komunikasi dan faktor kepribadian yang dimiliki remaja sehingga kecemasan komunikasi yang muncul tidak karena berdasarkan pola asuh, melainkan karena faktor lainnya. Menurut Hurt at.al (Baker, 1982; dalam Roekminiwati, 2004) pada penelitia di Amerika Serikat kepada remaja mengemukakan bahwa terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kecemasan komunikasi adalah pengalaman komunikasi dan faktor kepribadian. Pengalaman yang diperoleh oleh remaja dapat menyebabkan kecemasan komunikasi seperti yang dikatakan oleh Stenberg (Myers, 1992; dalam Roekminiwati, 2004), pengalaman memiliki kaitan yang kuat dengan kecemasan komunikasi karena pengalaman komunikasi dapat menyebabkan perubahan sikap dan tingkah laku seseorang sesuai dengan harapan, respon beserta pesan yang didapatkan. Jika respon yang diperoleh sesuai dengan harapan seseorang dalam berinteraksi maka hal tersebut merupakan reinforcement positif, akan tetapi apabila respon yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan seseorang dan memunculkan kebingungan, maka individu akan merasakan ketidakpuasan dan merasa tersaingi karena tidak mengerti situasi. Sedangkan faktor kepribadian yang berpengaruh terhadap kecemasan komunikasi merupakan pengalaman hidup yang dialami individu, karena pengalaman hidup yang dimiliki memperngaruhi rasa kepercayaan diri (self estem) seseorang dalam komunikasi. Hal serupa juga di ungkapkan oleh Alberti dan Emons (2002; dalam Gainau, 2004) mengungkapkan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang memungkinkan remaja memiliki kecemasan komunikasi selain dari faktor pola asuh, yaitu faktor lingkungan seseorang yang meliputi budaya, sterotype, sosial ekonomi, dan pendidikan seseorang. Secara otomatis lingkungan mempengaruhi terbentuknya kebudayaan. Koenjataraningrat (1984., dalam Gainau, 2004) menyatakan bahwa lingkungan adalah kebudayaan yang diturunkan secara turun temurun berupa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, bahasa dan ide-ide. Faktor lain seperti stereotipe adalah sebuah penilaian seseorang terhadap individu lain, lingkungan lain atau keadaan lain di luar kebiasaan atau diluar konteks pemikiran yang menimbulkan kecemasan dan menyebabkan remaja menghindar untuk melakukan interaksi dengan orang lain. Jika kecenderungan seseorang untuk memiliki rasa takut, tidak suka, dan rasa cemas lebih besar, maka individu akan memiliki perasaan atau emosi yang negatif sehingga sulit berinteraksi dengan lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, adapun saran-saran yang peneliti ajukan untuk menjadi pertimbangan dalam melakukan penelitian terkait, diantaranya adalah dalam menentukan alat ukur yang digunakan sebaiknya lebih mempertimbangkan jumlah item yang terdapat dalam masing-masing dimensi dan menambah item kuesioner untuk mengukur dimensi yang memang ingin diukur, pertanyaan-pertanyaan berupa item lebih memperhitungkan kesesuaiannya dengan variabel, baik dari segi kuantitas maupun kualitas item pertanyaan agar lebih dapat mengukur apa yang ingin diukur. Penggunaan skala populasi dan responden yang lebih besar agar lebih menggambarkan hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecemasan komunikasi pada remaja di Jakarta. Untuk peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti mengenai hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecemasan komunikasi disarankan untuk mencermati faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam kecemasan komunikasi seperti pengalaman komunikasi, faktor kepribadian, budaya, sterotype, sosial ekonomi, dll. Kemudian saran praktis yang dapat peneliti berikan agar remaja terhindar dari kecemasan komunikasi adalah dengan memberikan sosialisasi kepada remaja mengenai pengertian kecemasan komunikasi, memberikan alasan mengenai pentingnya komunikasi dan memberikan arahan untuk menghindari munculnya kecemasan komunikasi pada diri, karena hal tersebut sangat mungkin untuk muncul dalam setiap remaja. Sosialisasi dapat diberikan dengan cara memberikan seminar, pendidikan dari sekolah dan berbagai cara lain agar remaja dapat meningkatkan kepercayaan dirinya ketika berinteraksi dengan lingkungan serta menanamkan perasaan positif dalam diri setiap remaja untuk melakukan komunikasi, berfikir lebih rasional, mengendalikan perasaan akibat presepsi diri yang negatif, meningkatkan pengetahuan dan kualitas diri, pengendalian terhadap rasa cemas, segera mempelajari orang yang baru dikenal agar memiliki komunikasi yang sesuai dengan lingkungan baru dalam diri remaja. REFERENSI Alwisol. 2005. Pengertian http://psikologi.or.id Kecemasan. Diperoleh 2 Febuari 2014 dari Amelia, M.R. (2014). Bolos sekolah 4 hari, anak diborgol lalu dianiaya ayahnya. Diperoleh 28 Agustus 2014 dari http://detik.com Azwar, S.(2007). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pelajar Offset Edwards, A. (2006). Improving Inter-Professional Collaborations: Multy-Agency Working For Children’s Wellbeing. Routegle: London Gainau, M.B. (2004). Keterbukaan Diri (Self-Disclosure) Siswa Dalam Perspektif Budaya dan Implikasinya Bagi Konseling, 33 (1), 95-112 Papalia, D.E., Olds, S.W.,& Feldman, R.D. (2008). Human development. New York: The McGraw Hill Companies Powel R.G.,& Powel D.L. (2010). Classroom communication and diversity: Enhancing Instructional Practice, 2nd ed. New York: Madison Avenue Retnowati, S. (2012). Remaja dan Permasalahannya. Fakultas psikologi UGM, Yogyakarta Roekminiwati. (2004). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kecemasan Komunikasi Pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta. Skripsi S1. Universitas Indonesia, Jakarta. Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak, edisi 11. ( Jilid 2). Jakarta: Erlangga Sugiyono. (2008). Metode Bandung: Alfabeta. Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Sukmasari, N.S. (2014). Sering membentak anak saat marah? Ini dampak negatifnya bagi psikis anak. Diperoleh 28 Agustus 2014 dari http://health.detik.com Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC. Widayanti, S.Y.M.,& Iryani, S.W. (2005). Pengaruh Pola Asuh Orangtua terhadap Kenakalan Anak B2P3KS, Yogyakarta. RIWAYAT PENULIS Yolla Dezola lahir di kota Medan pada 8 Mei 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Psikologi pada 2014.