1 PENDAHULUAN Latar Belakang Avokad (Persea americana Mill.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai gizi tinggi (Tabel 1) serta potensi pasar yang baik sebagai salah satu komoditas target ekspor. Selain dikonsumsi sebagai buah segar dan olahan, daging buah avokad juga dimanfaatkan sebagai bahan dasar kosmetik. Daun buah avokad yang masih muda juga dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk obat batu ginjal dan rematik (Menegristek 2000). Tabel 1 Kandungan komposisi zat gizi dalam 100 gram buah avokad segar No Unsur Penyusun Daging Buah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Air Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Zat besi Vitamin C Vitamin B1 Vitamin A Serat Kadar 84.30 85.00 0.90 6.50 7.70 10.00 20.00 0.90 13.00 0.05 180.00 1.40 g kalori g g g mg mg mg mg mg S.I g Sumber : Menegristek 2000 Penyebab utama mutu buah avokad masih rendah adalah serangan penyakit yang terjadi pada saat prapanen sampai pascapanen. Dalam rangka menghadapi tantangan era perdagangan bebas melalui AFTA (Asean Free Trade Agreement), perlu dilakukan langkah-langkah dalam mengantisipasi muncul dan berkembangnya penyakit sehingga mutu dapat lebih baik (Sugipriatini 2009). Busuk buah-buahan dan sayuran pascapanen menimbulkan kerugian yang nyata. Kehilangan pascapanen pada buah dan sayuran cukup tinggi, sekitar 10% sampai 40%, tergantung dari komoditas dan teknologi yang digunakan untuk pengemasan (Gholamnejad et al. 2009). Pembusukan buah dan sayuran yang 2 dipanen di negara maju akibat penanganan pascapanen diperkirakan mencapai 20%–25% . Kerugian pascapanen di negara-negara berkembang seringkali lebih tinggi karena penyimpanan dan fasilitas transportasi yang kurang memadai (Sharma et al. 2009). Pengemasan yang kurang baik dapat menimbulkan kontaminasi, misalnya: Aspergillus rot dan stem end rot (Prabawati et al. 1993). Busuk buah avokad pascapanen adalah masalah besar terutama pada buah yang akan diekspor. Cendawan penting yang terlibat dalam busuk buah avokad adalah Colletotrichum gloeosporioides yang menyebabkan penyakit antraknosa dengan gejala warna coklat pada buah dan termasuk penyakit yang bersifat laten. Meskipun buah sudah terinfeksi sebelum panen, infeksi laten oleh cendawan penyebab busuk buah menjadi aktif dan gejala akan muncul pada saat buah menjadi lembut. Pada kondisi yang sesuai untuk perkembangannya, kerusakan buah akibat penyakit antraknosa dapat mencapai 50% (Hashem & Alamri 2009). Perlakuan pascapanen terhadap buah-buahan dan sayuran pada umumnya dilakukan dengan pengelolaan lingkungan abiotik pada saat penyimpanan serta penggunaan fungisida (Sharma et al. 2009). Sampai saat ini, untuk mengurangi kerugian hasil akibat penyakit antraknosa banyak menggunakan fungisida sintetik sebagai cara perlindungan yang paling umum dijumpai. Akibat intensifnya penggunaan fungisida dilaporkan bahwa beberapa jenis patogen telah resisten terhadap fungisida dan tertinggalnya residu bahan kimia pada produk pertanian (Indratmi 2008). Fungisida sintetik seperti imazil, tiabendazol, pirimetanil, dan prokloraz adalah fungisida yang umum digunakan untuk mengendalikan patogen pascapanen (Hao et al. 2010). Residu pestisida pada buah dan sayuran merupakan perhatian utama bagi konsumen dan industri buah serta sayuran. Peningkatan kesehatan dan perhatian lingkungan mengenai limbah pestisida dan residunya pada produk segar, perkembangan strain patogen pascapanen yang resisten terhadap fungisida, pendaftaran kembali beberapa fungisida yang lebih efektif (Droby 2006; Robiglio et al. 2011), gagalnya ekspor produk pertanian ke beberapa negara akibat tingginya residu bahan kimia serta tingginya biaya yang diperlukan untuk pengedalian secara kimiawi telah mendorong untuk mengembangkan metode pengendalian yang lebih efektif dan aman terhadap manusia dan lingkungan 3 (Droby 2006). Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah residu pestisida adalah dengan pengendalian hayati yang telah banyak dikembangkan dan telah dilaporkan cukup efektif untuk mengendalikan penyakit pascapanen (Indratmi 2008; Kefialew & Ayalew 2009). Strategi umum pengendalian hayati adalah penggunaan mikroorganisme antagonis dalam pengendalian penyakit pascapanen dan prapanen. Beberapa pendekatan biologi termasuk penggunaan mikrooorganisme antagonis atau bahan alami, telah dikembangkan sebagai alternatif penggunaan fungisida sintetik untuk pengelolaan penyakit pascapanen (Janisiewicz & Korsten 2002) dan mengendalikan pembusukan pada buah dan sayuran pascapanen (Ippolito & Nigro 2000). Khamir dan bakteri antagonis telah banyak dilaporkan secara alami terdapat pada permukaan buah (Qin et al. 2004; Droby 2006; Sharma et al. 2009). Beberapa tahun terakhir ini, khamir telah digunakan sebagai agens pengendali hayati untuk mengendalikan cendawan (Wang et al. 2009). Khamir merupakan mikroorganisme yang potensial digunakan sebagai agens pengendali hayati karena mudah diperbanyak dan memiliki beberapa karakter yang dapat dimanipulasi untuk meningkatkan efisiensi penggunaanya (Robiglio et al. 2011). Khamir memiliki banyak sifat yang bermanfaat untuk pengendalian, antara lain tidak menghasilkan spora alergik atau mikotoksin, tidak menghasilkan antibiotik yang mungkin dihasilkan oleh bakteri antagonis (Droby & Chalutz 1994). Khamir umumnya memerlukan nutrisi yang sederhana dan mampu mengkolonisasi permukaan inang dalam kondisi kering pada waktu yang cukup lama seperti pestisida yang umum digunakan untuk perlakuan pascapanen. Selain itu, khamir dapat tumbuh cepat dan mudah menghasilkan sel dalam jumlah besar (Druvefors 2004). Hasil studi juga menyatakan bahwa khamir juga tidak berbahaya bagi konsumen, sel khamir juga mengandung vitamin, mineral, dan asam amino penting yang telah dimanfaatkan dalam makanan dan pakan (Hashem & Alamri 2009). Khamir umumnya tidak menghasilkan spora alergik atau mikotoksin (Droby & Chalutz 1994). Selain itu, beberapa spesies khamir dapat menunda pemasakan buah dengan menghambat produksi etilen (Droby et al. 1997). Mekanisme kerja mikroorganisme antagonis berkaitan dengan sekresi 4 antibiotik, kompetisi ruang dan nutrisi, produksi enzim penghancur dinding sel (Qin et al. 2004). Perlakuan khamir tersebut lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan konvensional dengan klorin (Chanchaichaovivat et al. 2007). Lima strain khamir (Pichia anomala Moh 93, P. anomala Moh 104, P. guilliermondii Moh 10, Lipomyces tetrasporus Y-115 dan Metschnikowia lunata Y-1209) juga telah diketahui dapat mengendalikan busuk diplodia pada jambu yang disebabkan oleh Botryodiplodia theobromae (Hashem & Alamri 2009). Khamir Aureobasidium pullulans dan Rhodotorula mucilaginosa yang diisolasi dari pir dapat menekan kejadian penyakit hingga 33% dan mengurangi pembusukan setelah 60 hari inkubasi akibat infeksi Penicillium expansum (Robiglio et al. 2011). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mendapatkan khamir antagonis dari buah avokad yang efektif untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, 2) mengidentifikasi khamir antagonis untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad, dan 3) meneliti mekanisme kerja khamir antagonis dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah 1) penggunaan khamir antagonis efektif menghambat perkembangan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan, 2) antibiosis dan kemampuan kitinolitik khamir berperan dalam pengendalian hayati. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat menemukan teknologi pengendalian hayati dengan khamir antagonis untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada buah avokad selama penyimpanan.